Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Perbandingan Hukum Tata Negara


(Perbandingan Hukum Tata Negara dan Konstitusi)

Disusun Oleh Kelompok 3 :


Febrian Aspianto ( 2111150123 )
Shella PiroNica (2111150147 )

Dosen Pengampu :
M. Irwan Febrianto, SH, MH.

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
FATMAWATI SUKARNO BENGKULU
TAHUN AJARAN 2024/2025
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Pembaharuan Islam di Indonesia ini
dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga
terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan
kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam Penulisan Makalah “Perbandingan Hukum Tata Negara” . Dan kami juga
menyadari pentingnya akan sumber bacaan ( Buku) dan referensi internet yang
telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat
dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan Makalah ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah
SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah
Pembaharuan Islam di Indonesia ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Bengkulu , Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................................1
B. Perumusan Masalah............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................3
A. Hubungan Perbandingan Hukum Dengan Filsafat Hukum................................3
B. Perbandingan Tradisi Hukum Common Law dan Civil Law.............................5
C. Perbandingan Hukum Sebagai Jalan Mencari Jalan Sendiri..............................7
D. Perdebatan Awal Perbandingan Hukum Tata Negara........................................8
BAB III PENUTUP....................................................................................................11
A. Kesimpulan.......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.1


Perbandingan hukum tata negara dalam bahasa Perancis disebut dengan La
Methode Compare, Sri Soemantri Martosoewigyo memberi keterangan bahwa
perbandingan hukum tata negara adalah suatu cabang ilmu dari ilmu hukum
dengan menggunakan metode perbandingan sebagai metode membandingkan
beberapa unsur dalam hukum tata negara pada dua negaraa atau lebih.
Perbandingan hukum tata negara juga dapat diartikan sebagai ilmu yang
digunakan untuk membandingkan dua negara atau lebih yang tentunya
menggunakan metode perbandingan hukum tata negara untuk menganalisis
sistem ketatanegaraan secara sistematis di berbagai negara, menemukan sistem
ketatanegaraan pada negara yang diteliti, menguji hasil penelitian serta untuk
meyempurnakan sistem ketatanegaraan pada negara yang diteliti (Diniyanto,
n.d.).
Kedudukan ilmu perbandingan hukum tata negara adalah untuk memberi
gambaran di suatu negara atau lebih kemudian untuk meneliti lebih jauh asal usul
dan pengembangan ilmu hukum dan tentunya hukum umum serta sebagai
pedoman untuk mewujudkan negara diinginkan atau yang dicita-citakan (staats
idee) (Diniyanto, n.d.). Perbandingan hukum tata negara dapat diperoleh dari
menemukan bentuk pemerintahan, bentuk negara, sistem pemerintahan,
hubungan cabang kekuasaan, hak asasi manusia bahkan dengan konstitusi di
suatu negara atau lebih. Pendekatan yang dilakukan dalam ilmu perbandingan
hukum tata negara adalah salah satunya dengan menggunakan pendekatan
traditional-institutional atau kelembagaan. Pendekatan traditional-institutional

1
Barda Arief Nawawi. Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003, h.15

1
adalah pendekatan yang menggunakan pandangan secara normatif dengan kajian
struktur formal atau kelembagaan negara. Selain pendekatan
traditionalinstitutional atau kelembagaan ada juga pendekatan behavior dan post
behavior (Diniyanto, n.d.).
Perbandingan hukum tata negara dapat dilihat dari konstitusi dan fungsi
kekuasaan legislatifnya. Konstitusi bisa disebut sebagai aturan hukum yang
sangat penting dan menggambarkan sistem ketatanegaraan suatu negara. Negara
juga mempunyai parlemen atau lembaga legislatif yang setiap negara juga
berbeda-beda dan pastinya akan mempunyai peran yang berbeda pula.

B. Perumusan Masalah.
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji
dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana Konsepsi Awal Hukum Tata Negara Dan Konstitusi ?
2. Apa saja Lingkup Kajian Hukum Tata Negara Dan Konstitusi ?
3. Bagimana Hakikat Hukum Tata Negara Dan Konstitusi ?
4. Apa itu Konstitusionalisme Dan Negara Hukum?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendahuluan: Konsepsi Awal Hukum Tata Negara Dan Konstitusi


Filsuf zaman klasik semisal Aristoteles dan Plato telah lama meneliti
dokumen-dokumen resmi kenegaraan atau konstitusi dan secara kritis
2
melakukan evaluasi terhadapnya. Aristoteles melakukan pengelompokan
(taksonomi) terhadap beberapa konstitusi-konstitusi negara/polis secara kritis
namun lebih bersifat deskriptif, sedangkan Plato lebih jauh memberi konsep
ideal-normatif (outh to be) dari suatu konstitusi sebagai kerangka politik
kekuasaan negara. Plato lebih realis, tetapi tetap memiliki dimensi normatif
dalam memahami negara dan konstitusi sebagai bangunan politik (political
arrangement). Pemikiran Plato (juga Aristoteles) yang kritis terhadap 'struktur'
di dalam hukum, dikembangkan oleh pemikir hukum tata negara zaman
Pencerahan Eropa, semisal John Locke, Thomas Hobbes, Jean J. Rousseau, dan
John Rawls, semuanya berjangkar pada cita heuristik (heuristic); keinginan
untuk membongkar tabir hukum guna menyelesaikan isu pelik ketatanegaraan.3
Dalam konteks ini, pembahasan terkait dinamika ketatanegaraan dimulai
dari konstitusi sebagai dokumen hukum otoritatif yang memiliki posisi paling
tinggi (the most supreme) dan konstitusi tersebut memberi kewenangan hukum
terhadap tindakan dan kebijakan pemerintahan. 4 Dalam pengertian yang luas,
Hukum Tata Negara dipadankan dengan konsep constitutional law, atau Hukum
Konstitusi. Dalam literatur asing, terutama yang berbasis common law dan
American law, Hukum Tata Negara adalah Hukum Konstitusi, dan begitu juga
2
Adriaan Bedner, "Indonesian Legal Scholarship and Jurisprudence as an Obstacle for
Transplanting Legal Institutions' 5 Hague Journal on the Rule
3
Tom Ginsburg dan Aziz Z. Huq, Assessing Constitutional Performance, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016), hlm, 4.
4
Black's Law Dictionary with Pronounciation, (London: West Publishing Company, 1977),
him, 282.

3
sebaliknya. Karena dalam Hukum Konstitusi, sebagai hukum tertinggi dalam
suatu negara, termaktub juga susunan-susunan, tatanan-tatanan, dan deskripsi-
deskripsi normatif tentang kelembagaan negara, sistem pemisahan kekuasaan
antara lembaga-lembaga negara dan sekaligus jaminan akan penghormatan (to
respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) negara terhadap
HAM.5
B. Lingkup Kajian Hukum Tata Negara Dan Konstitusi
Secara konseptual perlu dipaparkan beberapa perbedaan konsep dari
'negara' dan pemerintahan. Keduanya memiliki dimensi yang berbeda namun
berada dalam satu hubungan. Kata 'negara' sendiri pertama kali diperkenalkan
oleh Machiavelli (1469-1527) dalam bukunya yang termasyur Il Principe, 256
Eksistensi negara diberi persyaratan mutlak, semisal: harus memiliki unit
masyarakat politik (state people), yang berdiam di suatu wilayah tertentu
(national territory) dan tunduk kepada otoritas pemerintah (government
authority).6
1. Definisi Negara dan Pemerintah
Dalam konteks Hukum Internasional, negara untuk dapat diakui
sebagai subjek hukum haruslah memiliki beberapa kualifikasi, yakni:
a) memiliki wilayah yang jelas (a defined territory);
b) memiliki populasi yang permanen/tidak berpindah-pindah atau noma-
den (a permanent population);
c) memiliki pemerintahan yang stabil dan sah menurut hukum (a
legitimate government); dan
d) cakap dalam melakukan hubungan internasional dengan negara-negara
lain (a capacity to enter into relations with other states).

5
Suri Ratnapala, Australian Constitutional Law: Foundation and Theory, (Oxford: Oxford
University Press, 2003), hlm, 2.
6
The 1919 Weimar Constitution, Volume 6, Weimar Germany, 1918-1933 <http://
germanhistorydocs.ghi-dc.org/pdf/eng/ghi_wr_weimarconstitution_Eng.pdf>. diakses tanggal 21
Maret 2024.

4
Lewat beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa negara atau
dalam literatur asing disebut state atau country, adalah konsep ideologis-
filosofis suatu negara yang lahir lewat kesepakatan politik dan diikat oleh
konsensus terhadap ideologi negara. Dengan kata lain, negara merupakan
ide abstrak dari relasi pengaturan antara yang mengatur dengan yang diatur
("the abstract idea of government in general or the governing authority as
opposed to the governed").7
2. Definisi dan Relasi Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara dalam perspektif civil law kemudian dibagi
dalam 2 (dua) kluster utama, yakni: staatsrecht in ruimere zin, atau Hukum
Tata Negara dalam arti luas yang juga mencakup Hukum Administrasi
Negara (HAN),8 dan staatsrecht in engere zin, atau Hukum Tata Negara
dalam arti sempit yang hanya membahas susunan-susunan dan kewenangan
kewenangan negara dan pemerintahan, tetapi tidak membahas bagaimana
kewenangan tersebut dijalankan oleh HAM.
Dalam konsepsi Hukum Tata Negara dalam arti sempit, Van Vollen-
hoven, menyebut Hukum Tata Negara sebagai ajaran tentang negara dalam
keadaan tidak bergerak, 'statis' atau 'diam, ketika ajaran tersebut hanya
memaparkan bentuk, kerangka, dan sistem ketatanegaraan suatu negara,
tanpa ada ikhtiar untuk mengelaborasi aspek-aspek administratif yang
menjalankan sistem ketatanegaraan tersebut. Lebih spesifik, Scholten,
menyebut Hukum Tata Negara sebagai hukum yang mengatur organisasi-
organisasi negara, bagaimana kedudukannya, hubungan, hak dan kewajiban,
serta tugas-tugasnya (“het recht dat regelt staats organisatie”).9

7
Carl Schmitt, Legality and Legitimacy, (Chapel Hill: Duke University Press, 1932), hlm.117
8
Tom Ginsburg, Aziz Z. Huq dan Mila Versteeg, "The Coming Demise of Liberal
Constitutionalism, The University of Chicago Law Review (2018), hlm. 240.
9
Frederick H Lawson, The Comparison: Selected Essay, (Amsterdam: Elsevier, 1977), Lihat
juga, Mousourakis, op. cit., hlm. 225.

5
C. Hakikat Hukum Tata Negara Dan Konstitusi
Agar konstitusi dapat memainkan perannya sebagai pengawal tindak
tanduk kekuasaan politik dalam pemerintahan, setidaknya ada 3 (tiga) aspek
substantif yang harus diperhatikan: (1) konstitusi sebagai penopang negara
hukum dan demokrasi; (2) konstitusi sebagai hukum tertinggi (the paramount
law) dan 'batu uji' konstitusional; dan (3) konstitusi sebagai konstruksi sistem
pemerintahan.10
1. Konstitusi sebagai Penopang Negara Hukum dan Demokrasi
Ratnapala menyatakan, adalah mudah untuk mengaku sebagai negara
yang berlandaskan atas supremasi hukum (rule of law) dengan semata
memiliki konstitusi negara. Namun, perlu diingat bahwa pengakuan tersebut
hanya bersifat deklaratoir semata. Perlu dipertanyakan, apakah ada jaminan
bahwa hukum (konstitusi) tersebut dijalankan atau tidak adalah soal lain ("it
is not enough for a country to have a Constitution, whether written or
unwritten. It must also practise constitutionalism). Itu sebabnya, penting
mengelaborasi aspek-aspek substantif dari konstitusi.
2. Konstitusi sebagai Hukum Tertinggi dan 'Batu Uji' Konstitusional
Konsep konstitusi sebagai hukum dasar sekaligus tertinggi dalam suatu
negara. Supremasi tersebut membawa konsekuensi logis yang menempatkan
konstitusi juga sebagai 'batu uji' untuk semua perundang-undangan yang ada
di bawahnya. Selain peran strategis dari konstitusi di atas, juga dibahas
tentang aspek 'budaya hukum' konstitusi yang kerap menjadi jangkar utama
pelaksanaan nilai-nilai konstitusionalisme. Konsep konstitusi sendiri
sejatinya berasal dari tradisi latin, constitutio yang bermakna sebagai aturan
tertinggi (a royal statute), yang berkebalikan dengan consuetudo yang
bermakna sebagai kebiasaan-kebiasaan usang dan kuno. Konsep-konsep
tersebut pertama kali disebut dalam karya filsuf Romawi, Cicero dalam De

10
Peter Russel, Constitutional Odyssey: Can Canadians Become a Sovereign People?
(Toronto: University of Toronto Press, 1993), hlm. 106.

6
Re Publica yang merupakan salah satu teks filsafat politik tertua. Sudah jelas
bahwa secara harfiah, konstitusi memang sudah diletakkan sebagai hukum
dasar dan tertinggi negara.11
3. Konstitusi sebagai Konstruksi Dasar Sistem Pemerintahan
Sebagai rujukan awal, subbab ini akan mengetengahkan 2 (dua)
perspektif dari perbandingan hukum antara sistem Hukum Tata Negara di
Inggris dan Amerika Serikat, terutama dalam konteks konstruksi sistem
pemerintahan. Keduanya memiliki kesamaan dalam pembagian 3 (tiga)
cabang kekuasaan utama: eksekutif, legislatif/kedaulatan parlemen, dan
yudikatif. Walaupun dalam perkembangannya, banyak lembaga-lembaga
independen lain yang berfungsi sebagai penunjang dari lembaga-lembaga
utama tersebut. Namun, secara umum, konstitusi, baik dalam bentuk tertulis
atau tidak tertulis (tidak terkodifikasi), berperan signifikan sebagai kerangka
system Pemerintahan (legal framework) yang berisi aturan-aturan dan
wewenang-wewenang lembaga-lembaga negara. Tata-tata aturan hukum dan
etika bernegara baik secara eksplisit maupun implisit diatur dalam
konstitusi-konstitusi mengatur tentang sistem pemerintahan yang secara
aktual sedang dilaksanakan

D. Konstitusionalisme Dan Negara Hukum


1. Kritik terhadap Konstitusionalisme
Daniel Lev mengkritik pendekatan konstitusionalisme yang terlalu normatif
sekaligus berjarak pada aspek politik dan relasi kuasa. Hal ini membuat konstitusi
tidak memberi pemihakan dan pembelaan yang eksplisit terhadap orang termarginal
atau, Lev menyatakan: "konstitusionalisme tidak bisa memberi solusi langsung
terhadap isu-isu yang dihadapi oleh kemanusiaan, (konstitusionalisme) tidak bisa
meng- hapus kelaparan, diskriminasi sosial, kesewenang-wenangan politik, dan
kepemimpinan politik yang rakus, tidak kompeten dan tidak rasional".

11
Ferdinand Stone, "The End to be Served by Comparative Law, Tulane Law Review (1951),
hlm. 332

7
Menurut Lev, hukum bukanlah entitas yang otonom, melainkan dinamis
dengan relasi saling memengaruhi (reciprocal) dengan entitas kekuasaan. Untuk
dapat mema- hami produk hukum negara berupa undang-undang dan kebijakan-
kebijakan strategis, perlu terlebih dulu dilihat dulu 'politik hukum yang
melatarbelakanginya (occasio legis).
2. Hubungan Negara Hukum dan Demokrasi
Konsepsi demokrasi dalam negara hukum memiliki asumsi bahwa rakyat
ditempatkan pada posisi yang strategis dalam sistem ketatanegaraan. Mahfud MD
memberi penegasan tentang pentingnya demokrasi, "...karena dengan demokrasi
hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin ...".
Dengan kata lain, demokrasi menjadi suatu credo yang mengidealkan pola
pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif (participatory) semua anggota
masyarakat dalam keputusan yang diambil oleh mereka yang diberi wewenang.
Maka legitimasi sosial politik dari pemerintah adalah kehendak rakyat yang
memilihnya dan mengawasinya. Namun, Mahfud MD kembali mengingatkan
bahwa: “...operasionalisasi dan implikasi demokrasi di berbagai negara tidak selalu
sama. Ketidaksamaan tersebut bukan hanya pada pembentukan lembaga- lembaga
atau aparatur demokrasi, melainkan menyangkut perimbangan porsi yang terbuka
bagi peranan negara maupun bagi peranan rakyať"12
3. Rintangan kontemporer konstitualisme dan negara hukum
Deskripsi normatif terkait negara hukum tidak selalu diterima secara penuh
oleh beberapa negara. Senadah dan kritik dan nilai terhadap konstitualisme, konsep
negara hukum ( rule of law) yang lahir dari rahim politik liberal juga dimodifikasi
secara politis oleh beberapa negara agar sesuai dengan kebutuhan dan prioritas
politik dan ekonomi kelompok berkepentingan.

12
Mengutip pendapat Mahfud MD dalam suatu sesi diskusi pada tahun 2010 silam

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filsuf zaman klasik semisal Aristoteles dan Plato telah lama meneliti
dokumen-dokumen resmi kenegaraan atau konstitusi dan secara kritis melakukan
evaluasi terhadapnya. Aristoteles melakukan pengelompokan (taksonomi)
terhadap beberapa konstitusi-konstitusi negara/polis secara kritis namun lebih
bersifat deskriptif, sedangkan Plato lebih jauh memberi konsep ideal-normatif
(outh to be) dari suatu konstitusi sebagai kerangka politik kekuasaan negara.
Plato lebih realis, tetapi tetap memiliki dimensi normatif dalam memahami
negara dan konstitusi sebagai bangunan politik (political arrangement).
Secara konseptual perlu dipaparkan beberapa perbedaan konsep dari
'negara' dan pemerintahan. Keduanya memiliki dimensi yang berbeda namun
berada dalam satu hubungan.
Agar konstitusi dapat memainkan perannya sebagai pengawal tindak
tanduk kekuasaan politik dalam pemerintahan, setidaknya ada 3 (tiga) aspek
substantif yang harus diperhatikan: (1) konstitusi sebagai penopang negara
hukum dan demokrasi; (2) konstitusi sebagai hukum tertinggi (the paramount
law) dan 'batu uji' konstitusional; dan (3) konstitusi sebagai konstruksi sistem
pemerintahan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Barda Arief Nawawi. Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003.
Adriaan Bedner, "Indonesian Legal Scholarship and Jurisprudence as an Obstacle for
Transplanting Legal Institutions' 5 Hague Journal on the Rule
Tom Ginsburg dan Aziz Z. Huq, Assessing Constitutional Performance, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016).
Black's Law Dictionary with Pronounciation, (London: West Publishing Company,
1977).
Suri Ratnapala, Australian Constitutional Law: Foundation and Theory, (Oxford:
Oxford University Press, 2003).
The 1919 Weimar Constitution, Volume 6, Weimar Germany, 1918-1933 <http://
germanhistorydocs.ghi-dc.org/pdf/eng/ghi_wr_weimarconstitution_Eng.pdf>.
diakses tanggal 21 Maret 2024.
Carl Schmitt, Legality and Legitimacy, (Chapel Hill: Duke University Press, 1932).
Tom Ginsburg, Aziz Z. Huq dan Mila Versteeg, "The Coming Demise of Liberal
Constitutionalism, The University of Chicago Law Review (2018).
Frederick H Lawson, The Comparison: Selected Essay, (Amsterdam: Elsevier, 1977),
Lihat juga, Mousourakis, op. cit.
Peter Russel, Constitutional Odyssey: Can Canadians Become a Sovereign People?
(Toronto: University of Toronto Press, 1993).
Ferdinand Stone, "The End to be Served by Comparative Law, Tulane Law Review
(1951).
Mengutip pendapat Mahfud MD dalam suatu sesi diskusi pada tahun 2010 silam

10

Anda mungkin juga menyukai