Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PERBANDINGAN HUKUM KEKERABATAN ANTARA HUKUM PERDATA


BARAT, ADAT, DAN ISLAM

Guna memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Perbandingan Hukum Perdata 3.2

Dosen Pengampu:
Dr. Dahlil Marjon, S.H., M.H.

Disusun Oleh
Kelompok 6 :
1. Fakhri Rukmana 2010112098
2. Urva Hilma Nida 2010112100
3. Fenty Maharani Putri 2010112115
4. Rifki Juniko Desyef 2010112120
5. Fadhil Akbar 2010112122
6. M. Naufal Al-Hadi Kasuma 2010112125

Fakultas Hukum
Universitas Andalas
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah kelompok
dengan judul "Perbandingan Hukum Kekerabatan Antara Hukum Perdata Barat, Adat,
dan Islam.”
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak anggota
kelompok 6 yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai
pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik
dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena
itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini dan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca makalah
ini. Terima kasih.

Padang, Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I ........................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
BAB II ......................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ............................................................................................. 4
A. Hukum kekerabatan ditinjau dari Hukum Perdata Barat ...................................... 4
B. Hukum kekerabatan ditinjau dari Hukum Adat ................................................... 6
C. Hukum kekerabatan ditinjau dari Hukum Islam ................................................ 13
D. Perbandingan Hukum Kekerabatan antara Hukum Perdata Barat, Adat, dan Islam
......................................................................................................................... 17
BAB III...................................................................................................... 21
PENUTUP .................................................................................................. 21
A. Kesimpulan .................................................................................................... 21
DAFTAR KEPUSTAKAAN ............................................................................ 22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat selalu berkembang, dimulai dari keluarga sebagai masyarakat yang


paling kecil atau masyarakat sederhana kemudian berkembang menjadi semakin
kompleks atau masyarakat modern. Perkembangan masyarakat dibarengi dengan
timbulnya hukum untuk mengatur dan mempertahankan sistem pergaulan hidup
anggota–anggotanya. Keberadaan hukum di dalamnya adalah sebagai peraturan yang
bersifat umum dimana seseorang atau kelompok secara keseluruhan ditentukan
batas–batas hak dan kewajibannya. Setiap keluarga memiliki aturan hidup sendiri-
sendiri dalam menjalankan hidup bermasyarakat. Dunia pergaulan hidup manusia ini
dibagi-bagi dalam sejumlah negara dan bangsa, dan setiap negara dan bangsa itu
mempunyai hukumnya sendiri, Terdapat tak kurang dari 42 sistem hukum di dunia.1

Sistem hukum yang ada di dunia pada dasarnya terbagi atas tiga kelompok
besar, yaitu : sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system), sistem hukum Anglo
Saxon (common law system) dan sistem hukum sosialis. Sistem hukum civil , dalam
satu pengertian, merujuk ke seluruh sistem hukum yang saat ini diterapkan pada
sebagian besar negara Eropa Barat, Amerika Latin, negara-negara di Timut Dekat, dan
sebagian wilayah Afrika, Indonesia dan Jepang2, Sistem hukum anglo saxon (commom
law system) dianut oleh negara Inggris kemudian berkembang dan menyebar ke
Amerika Serikat, Canada, Amerika Utara, dan Australia.
Sistem hukum common law berbeda dengan sistem hukum civil law, karena
dalam sistem hukum common law sumber hukum utamanya adalah putusan hakim/
yurisprudensi. Putusan hakim yang telah disahkan/ ditetapkan mengakibatkan
putusan tersebut memiliki sifat mengikat dan mewujudkan suatu kepastian hukum.

1
Peter de cruz, Perbandingan Sistem Hukum Commom Law, Civil Law dan Socialist Law, Jakarta : Diadit Media, 2013, hlm.4
2
Ibid. hlm. 61

1
Oleh karena adanya perbedaan setiap sistem hukum yang dianut oleh setiap
negara, beberapa para ahli mencoba memperbandingkan dua sistem hukum atau lebih
tersebut.
Para ahli juga mencoba mengkaji apakah sistem hukum yang dianut oleh dua
negara atau lebih memiliki perbedaan atau permasaan, dan apakah satu sistem hukum
dapat diterapkan ke dalam sistem hukum yang berbeda guna mengembangkan sistem
hukum di negara tersebut. Perbandingan tersebut dilakukan dengan meletakkan
unsur-unsur yang dapat diperbandingkan dari dua sistem hukum, atau lebih, terhadap
satu sama lain yang menentukan persamaan dan perbedaannya. Sistem hukum dan
unsur mana yang hendak dipilih untuk dibandingkan, dengan sendirinya digantung
pada tujuan perbandingan itu dan minat-minat pengguna metode pembandingan
Perbandingan hukum mempunyai fungsi penting. Sampai sekarang masih
sering kita dengar bahwa sarjana hukum tidak dapat diajak untuk berevolusi
maksudnya bahwa para sarjana hukum itu selalu ketinggalan zaman. Peraturan-
peraturan atau hukum (selalu) baru dibuat setelah permasalahan berlalu atau berkali-
kali terjadi. Padahal yang sangat dibutuhkan ialah adanya peraturan-peraturan yang
selalu siap untuk mengatasi sengketa–sengketa. Dibutuhkan seseorang legal drafters
yakni perencana-perencana hukum yang dapat menyiapkan hukum pada masa yang
akan datang. Untuk mewujudkan peraturan-peraturan hukum ini, perbandingan
hukum dapat menyiapkannya, karena dengan perbandingan hukum kita
mengetahuinya melalui pengalaman pengalaman di negara lain 3
Perbandingan dapat bersifat bilateral (di antara dua sistem hukum ) atau
multilateral (lebih dari dua sistem hukum). Perbandingan dapat berupa perbandingan
hukum substansif atau formal. (perbandingan hukum substansif dapat dilakukan
dengan cara menafsirkan undang-undang dan keputusan keputusan pengadilan).
Lebih jauh terdapat juga pembandingan mikro (antara aturan-aturan hukum individual
atau lembaga-lembaga hukum). Perbandingan makro dilakukan dengan mengkaji
sistem-sistem hukum secara menyeluruh atau antara keluarga-keluarga lengkap
sistem-sistem hukum. Perbandingan mikro juga dapat dilakukan dengan
membandingkan aturan-aturan dalam lingkungan hukum dan non hukum.

3
R.Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafia, 2014, hlm.30

2
B. Rumusan Masalah

1. bagaimana hukum kekerabatan ditinjau dari hukum perdata barat?


2. bagaimana hukum kekerabatan ditinjau dari hukum adat ?
3. bagaimana hukum kekerabatan di tinjau dari hukum islam?
4. bagaimana perbandingan hukum kekerabatan antara hukumm perdata barat,
adat dan islam?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum kekerabatan ditinjau dari Hukum Perdata Barat

Kekerabatan diartikan sebagai unit-unit sosial yang didalamnya terdapat


beberapa keluarga yang terdapat hubungan darah atau perkawinan. 4 Sistem
kekerabatan tersebut tetap dipertahankan sehingga prinsip kekerabatan memiliki
fungsi yang berkaitan dengan perkawinan yaitu keadaan untuk dapat melanjutkan
keturunan, mengeksistensikan silsilah dan kedudukan keluarga. 5 Ketentuan hukum
dan perundang- undangan mengenai penempatan derajat dalam keluarga merujuk
pada Pasal 291 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sampai dengan
Pasal 296 (KUHPerdata), sebagai berikut: 6
1. Pasal 291 KUHPerdata menyatakan urusan derajat yang satu dengan derajat
yang lain disebut garis. Garis lurus adalah urutan derajat antara orang- orang,
di mana yang satu merupakan keturunan yang lain, garis menyimpang ialah
urutan derajat antara orang-orang, di mana yang seorang bukan keturunan
dari yang lain tetapi mereka mempunyai bapak asal (nenek moyang) yang
sama;
2. Pasal 292 KUHPerdata mengatur mengenai garis lurus ke bawah yaitu
kekerabatan antara nenek moyang sekaligus keturunannya, sedangkan garis
lurus ke atas yaitu hubungan antara seseorang dengan semua mereka yang
menurunkannya;
3. Pasal 293 KUHPerdata menyatakan pertalian anak bersama bapak merupakan
derajat kesatu, pertalian bapak terhadap cucunya merupakan derajat kedua,
dan pertalian antara bapak dan kakek dengan anak serta cucu merupakan
derajat kesatu dan derajat kedua;

4
Irawan, W. D. 2019. Kata Sapaan Kekerabatan dalam Masyarakat Lampung Sungkai. Edukasi Lingua Sastra, 17(1), 96-101.
5
Ellyne Dwi Poespasari, 2014, Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Pewarisan Ditinjau dari Sistem Hukum Kekerabatan Adat,
Jurnal Perspektif, Vol. XIX No. 3, hlm. 212-222, hlm. 1
6
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),diterjemahkan oleh R.Subekti dan R.Tjitrosudibyo,

4
4. Pasal 294 KUHPerdata mengatur tentang kekeluargaan pada garis
menyimpang yaitu diperhitungkan dengan memakai patokan yang berasal
pada leluhur yang sama atau yang terdekat sebagai contoh Dua saudara
adalah bertalian keluarga dalam derajat ke 2 (dua), Paman dan keponakan
adalah bertalian keluarga pada derajat ke 3 (tiga) sedangkan Antara dua anak
saudara (saudara sepupu) adalah bertalian keluarga pada derajat ke 4
(empat) ;
5. Pasal 295 KUHPerdata dan Pasal 296 KUHPerdata mengatur tentang
hubungan keluarga sebagai akibat adanya perkawinan yaitu ikatan antara
seseorang diantara suami istri bersama keluarga sedarah dari yang lain.Tidak
ada keluarga semenda bagi para keluarga sedarah suami dengan keluarga
dari isteri serta kebalikan penderajatan keluarga semenda diperhitungkan
menggunakan cara seperti dengan penderajatan keluarga sedarah.
Dalam hal perkawinan BW tetap berlaku sejauh undang-undang tidak mengatur
hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan. Mengenai perkawinan yang dimaksud
disini adalah perkawinan yang terbatas bagi warga negara Indonesia saja, sedangkan
bagi orang asing yang termasuk golongan Eropa atau Timur Asing Tionghoa masih
tetap diatur dalam BW.7 Perkawinan dalam BW mendasarkan pada asas monogami,
yang artinya dalam waktu yang sama seorang pria hanya diperbolehkan mempunyai
seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27
BW), sehingga dalam BW tidak diperbolehkan seseorang untuk melangsungkan
perkawinan lagi selama ia masih terikat perkawinan lama.
Sedangkan dalam hal pewarisan, tidak lepas dari sistem kekerabatan, karena
sistem kekerabatan menentukan penarikan garis keturunan dalam keluarga yaitu dari
pihak laki-laki atau dari pihak perempuan yang akan melanjutkan keturunan keluarga
tersebut, sehingga pembagian harta warisan didasarkan pada penarikan garis
keturunan dalam keluarga tersebut. Menurut Burgerlijk Wetboek (B.W), hukum waris
adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan
seseorang pewaris yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya, serta akibat

7
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Cetakan Pertama, Airlangga Press 2000, hlm.2

5
hukum bagi para ahli waris tersebut atas harta benda yang diwarisinya. Penggolongan
Ahli Waris Menurut B.W:8
a. Golongan pertama, terdiri anak/sekalian keturunan mereka meskipun
dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun, dan suami/istri yang hidup
terlama, dipersamakan dengan seorang anak yang sah (Pasal 852 BW);

b. Golongan kedua, terdiri dari orang tua, saudara dan keturunan saudara (Pasal
855 jo. Pasal 859 BW);

c. Golongan ketiga, terdiri dari keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau
dalam garis menyimpang harus dibelah menjadi dua bagian yang sama (Pasal
850 BW), dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 854,
Pasal 855 dan Pasal 859 BW;

d. Golongan keempat, terdiri dari sanak keluarga lainnya dalam garis


menyimpang sampai dengan derajat keenam (Pasal 858 jo. Pasal 860-861
BW).

B. Hukum kekerabatan ditinjau dari Hukum Adat

Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang


bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak
terhadap orangtua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya
dan masalah perwalian anak. Jelasnya hukum adat kekerabatan mengatur tentang
pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (sekuturunan) pertalian perkawinan dan
perkawinan adat.9

Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, keturunan merupakan hal yang


penting untuk meneruskan garis keturunan (clan) baik garis keturunan lurus atau
menyamping. Seperti di masyarakat Bali dimana laki-laki nantinya akan meneruskan
Pura keluarga untuk menyembah para leluhurnya. Pada umumnya keturunan
mempunyai hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan darah, antara lain

8
Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, Cetakan Kesatu, Refika Aditama, 2012, hlm 8.
9
Hilman Hadikusuma, Pengantar ilmu Hukum Adat Indonesia;2003, hal;201

6
antara orangtua dengan anak-anaknya. Juga ada akibat hukum yang berhubungan
dengan keturunan yang bergandengan dengan ketunggalan leluhurnya, tetapi akibat
hukum tersebut tidak semuanya sama diseluruh daerah. Meskipun akibat hukum yang
berhubungan dengan ketunggalan leluhur diseluruh daerah tidak sama, tapi dalam
kenyataannya terdapat satu pandangan pokok yang sama terhadap masalah
keturunan ini diseluruh daerah, yaitu bahwa keturunan adalah merupakan unsur yang
hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku ataupun kerabat yang menginginkan agar
garis keturunannya tidak punah, sehingga ada generasi penerusnya.

Apabila dalam suatu klan, suku ataupun kerabat khawatir akan menghadapi
kepunahan klan, suku ataupun kerabat ini pada umumnya melakukan adopsi
(pengangkatan anak) untuk meneruskan garis keturunan, maupun pengangkatan
anak yang dilakukan dengan perkawinan atau pengangkatan anak untuk
penghormatan. Seperti dalam masyarakat Lampung dimana anak orang lain yang
diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan
bapak angkatnya. Individu sebagai keturunan (anggota keluarga ) mempunyai hak
dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga
yang bersangkutan. Misalnya, boleh ikut menggunakan nama keluarga (marga) dan
boleh ikut menggunakan dan berhak atas kekayaan keluarga, wajib saling membantu,
dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan
lain sebagainya10 (Bushar Muhammad; 2006, hal: 3).

Dalam Kamus Sosiologi, Sistem Kekerabataan dapat juga dikatakan sebagai


Organisasi sosial yang dinyatakan sebagai cara – cara perilaku manusia yang
terorganisasi secara social. Dikatakan terorganisasi secara sosial karena adanya
sekelompok individu yang merasa terikat oleh aturan – aturan atau adat – istiadat
tertentu yang mengatur kehidupan kelompoknya. Itulah sebabnya kelompok sosial
semacam ini disebut kesatuan sosial. Dalam system kekerabatan terdapat lagi
pengelompokan social dalam masyarakat yaitu system kekerabatan Matrilineal,
system kekerabatan Patrilineal dan system kekerabatan Bilateral.

10
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat; 2006, hal: 3

7
Dalam Ilmu Antroplogi menelaah manusia secara luas yaitu meliputi
perkembangan manusia secara ragawi, social budaya dan perilaku manusia sejak
pertama kali muncul dimuka bumi ini yang mana memeperhatikan masalah sejarah
asal dan perkembangan manusia ( evolusinya ) secara biologis, mengenai asas – asas
dari kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa,
masalah perkembangan, penyebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan
manusia diseluruh dunia. Dengan semua itu lah salah satunya dengan unsure sistem
kekerabatan ini sehinggga dapat secara langsung memahami dan mempelajari dari
suatu kebudayaan tersebut.

Kekerabataan yaitu suatu unit sosial yang tiap – tiap individu mempunyai
hubungan keturunan atau hubungan darah ( genous ) baik melalui ayah maupun ibu.
Dengan demikian system kekerabataan biasanya menyangkut keluarga baik kecil
maupun besar, system kekerabataan ini pada umunya diperlukan untuk
menyelesaikan berbagai masalah di keluarga.

Selain itu ada beberapa system kekerabataan, diantaranya bilateral atau


parental atau cognatic descent dan susunan keluarga ( kekerabataan ) unilateral (
unilineal ) Kekerabataan yang terjadi dalam masyarakat / kelompok kekerabataan
didasari oleh adanya pertalian darah dan perkawinan.

a. Dasar pertalian darah. Meliputi anak – anak yang lahir dari perkawinan dan
keturunan berikutnya. Misalnya, kakek dengan cucunya, atau paman dengan
keponakannya. Sering juga disebut contoh sanguine, yaitu menjadi kerabat
karena keturunan.

b. Dasar perkawianan. Suami dan isteri merupakan dasar hubungan. Orang –


orang yang berasal dari pertalian darah suami dan orang – orang yang berasal
dari pertalian darah isteri menjadi kerabat perkawinan, seperti : ipar
keponakan mertua, menantu, paman, dan sebagainya.

Dalam struktur masyarakat adat kita menganut adanya tiga (3) macam sistem
kekerabatan, yaitu :

1. Kekerabataan Patrilineal.

8
Patrinieal berasal dari kata pater yang berarti ayah atau Agnatic discent,
yaitu susunan keluarga yang hanya mengikuti garis laki – laki ( ayah ). Suatu
system kekerabataan yang menggunakan system patrineal, anak laki – laki jauh
lebih penting baik kedudukan maupun fungsinya dalam keluarga, dibandingkan
anak perempuan. Anak laki – laki dalam system ini dianggap yang bertanggung
jawab atas kelestarian kelompoknya. Misalnya dalam masyarakat batak, Toba,
Tapanuli, dan Karo. Orang yang semarga secara adapt dianggap bersaudara.

Jadi, gadis dan pemuda yang semarga tidak dibolehkan menikah,


walaupun keduanya secara bertalian darah tidak bersaudara atau mungkin
sudah sangat jauh. Anak menghubungkan diri dengan ayahnya (berdasarkan
garis keturunan lakii-laki). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan
diri dengan kerabat ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki secara
unilateral. Di dalam susunan masyarakat Patrilineal yang berdasarkan garis
keturunan bapak (laki-laki), keturunan dari pihak bapak (laki-laki) dinilai
mempunyai kedudukan lebih tinggi serta hak-haknya juga akan mendapatkan
lebih banyak. Susunan sistem kekerabatan Patrilineal berlaku pada masyarakat
Batak dan Bali.

2. Kekerabataan Matrinieal.

Matrineal adalah kekerabataan yang menghubungkan kekerabataan


melalui pihak ibu saja. Misalnya dalam masyarakat suku bangsa Minangkabau
di Sumatera barat, salah satu kelompok kekerabataan di lingkungan mereka
yang terkenal ialah suku. Orang yang sesuku secara adapt dianggap
bersaudara. Suku bangsa Minagkabau dapat memperhitungkan dua generasi di
atas ego laki – laki dan satu generasi di atas ego laki – laki dan satu generasi
di bawahnya. Anak menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis
keturunan perempuan). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri
dengan kerabat ibu berdasarkan garis keturunan perempuan secara unilateral.
Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu
dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan hubungan pergaulan
kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para warganya yang

9
seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang menyebabkan tumbuhnya
konsekuensi (misalkan, dalam masalah warisan) yang jauh lebih banyakk dan
lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak (Bushar
Muhammad;2006,hal:5). Susunan sistem kekerabatan Matrilinel berlaku pada
masyarakat minangkabau.

3. Kekerabataan Bilateral.

Bilateral adalah kekerabataan yang menghubungkan kekerabataan


melaui pihak ayah dan pihak ibu, jadi melalui dua pihak. Kekerabataan ini biasa
disebut juga kekerabataan parental. Dalam sususnan kekerabataan bilateral
semua kerabat baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, termasuk ke dalam
lingkungan kerabat seseorang. Susunan kekerabatan bilateral umumnya
terdapat dalam masyarakat kita. Misalnya, orang suku bangsa sunda. Sistem
kekerabataan suku bangsa sunda adalah bilateral, yaitu garis keturunan yang
memperhitungkan hubungan kekerabataan melalui pihak laki-laki maupun
perempuan. Anak menghubungkan diri dengan kedua orangtuanya. Anak juga
menghubungkan diri dengan kerabat ayah-ibunya secara bilateral.

Dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua maupun kerabat


dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang
perkawinan, kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam
susunan parental ini seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan
perkawinan, maupun langsung oleh perkawinannya sendiri, maupun secara tak
langsung oleh perkawinan sanak kandungnya, memang kecuali perkawinan
antara ibu dan ayahnya sendiri (Van Dijk; 2006; Hal : 40). Susunan sistem
kekerabatan parental berlaku pada masyarakat jawa, madura, Kalimantan dan
sulawesi. Adapun system kekerabatan pada orang sunda menunjutkan cirri –
ciri Bilateral dan Generasional. Di lihat dari ego, orang sunda mengenal istilah
untuk tujuh generasi keatas dan tujuh generasi kebawah : Ke atas : Kolot,
Embah, Buyut, bao, Janggawareng, Udeg – udeg, Gantung siwur. Ke bawah :
Anak, Incu, Buyut, Bao, Janggawareng, Udeg – udeg, Gantung siwur.

10
Kelompok sosial mengorganisasikan anggota – anggota kelompoknya,
dapat kita lihat pada kesatuan – kesatuan sosial berikut ini.

1) Kesatuan genealogis atau kesatuan seketurunan (tunggal darah), kesatuan ini


terbentuk sebagai akibat adanya ikatan keturunan atau ikatan darah. Termasuk
ke dalam bentuk sosial ini antara lain keluarga inti, keluarga luas, dan kelompok
keturunan.

a) Keluarga inti (nuclear family) terdiri dari suami, isteri, dan anak – anak yang
belum membentuk keluarga inti sendiri. Keluarga inti ini merupakan
kesatuan seketurunan yang paling mendasar. Keluarga inti ini terbentuk
karena adanya ikatan perkawinan.

b) Keluarga luas (extended family) dapat terdiri dari satu keluarga inti
ditambah nenek, kakek, paman atau bibi yang belum kawin, bahkan
mungkin beberapa keponakan. Mereka hidup bersama dalam satu ikatan
rumah tangga. Keluarga luas bisa juga terdiri dari beberapa keluarga inti
yang hidup bersama dan saling berhubungan karena adanya ikatan
keturunan

c) Kelompok keturunan (descent group). merupakan kelompok kekerabataan


yang keanggotannya diakui berasal dari keturunan satu moyang tertentu
yang sungguh – sungguh ada atau hanya dalam mitologi. Satu kelompok
keturunan biasanya menghitung garis atau sisilah keturunannya secara
unilineal.

2) Kesatuan territorial atau kedaerahan. Kesatuan ini terbentuk akibat adanya rasa
kedaerahan yang sama, karena bertempat tinggal di daerah yang sama dengan
batas – batas wilayah yang jelas. Walaupun tidakterikat oleh pertalian darah,
kesatuan ini merasa berada dalam satu kesatuan masyarakat yang sama.
Contoh, bentuk kesatuan territorial antara lain lembur di sunda, dukuh dan desa
di jawa, desa di bali, dan wanua di Bugis.

3) Kesatuan sosial yang bersifat genealogis dan territorial. Kesatuan sosial


semacam ini terbentuk sebagai akibat adanya kesamaan pertalian darah dan

11
kedaerahan. Anggota – anggota kelompok sosialnya biasanya terdiri dari
kesatuan kerabat unilineal yang menempati wilayah yang sama. Contoh bentuk
kesatuan sosial yang bersifat genelogis dan territorial antara lain huta di batak,
nagari di Minangkabau, uma di Dani-Irian, dan dalu di Manggarai ( flores )

4) Kesatuan sosial yang bersifat sacral karena adanya ikatan suci keagamaan. Para
anggotanya merasa terikat karena adanya kesamaan agama yang dianutnya.
Contohnya kesatuan sosial yang bersifat sacral antara lain jamaah ( Islam ) dan
jemaat ( Kristen ).

5) Kesatuan sosial berdasarkan tingkat umur ( age class ). Para anggotanya


merasa terikat karena adanya kesamaan tingkat umur. Contohnya kesatuan
sosial yang bersifat sacral antara lain kelompok anak – anak, orang dewasa, dan
orang tua.

6) Kesatuan sosial berdasarkan kesamaan jenis kelamin ( sexe class ). Para


anggotanya merasa terikat karena adanya kesamaam jenis kelamin. Contohnya
kesatuan sosial ini antara lain kelompok laki - laki dan kelompok perempuan

7) Kesatuan sosial yang bersifat “ paguyuban “ ( Sunda : guyub; Jerman :


gemeinschaft ). Paguyuban adalah kelompok sosial yang memiliki ikatan
kesetiakawanan sosial yang sangat kompak dan bersifat kekeluargaan. Hal itu
terjadi karena adanya ikatan kekerabataan, kedaerahan, atau suatu
kepentingan sosial secara gotong royong. Contohnya perkumpulan subak di bali
yang menganut system pembagian air di antara para petani, dan kebiasaan
“sambat-sinambat” diantara masyarakat petani Sunda.

8) Kesatuan social yang bersifat “patembayan” ( lawannya paguyuban; Jerman :


gesselschaft ). Kesatuan ini terbentuk karena adanya kepentingan –
kepentingan tertentu yang bersifat pamrih. Artinya, apabila kepentingan itu
tidak terpenuhi, yang bersangkutan akan mundur atau menarik diri dari
keanggotaan kelompoknya. Itulah sebabnya untuk memperkokoh
organisasinya, kesatuan social semacam ini sering dibentuk dengan ikatan
hokum melalui pejabat resmi, sperti notaries, pejabat pemerintah yang

12
berwenang, atau aturan – aturan resmi lainnya. Contohnya kesatuan social ini
antara lain organisasi social di bidang kesenian dan keolahragaan, organisasi
politik, dan perekonomian. Di bidang perekonomian, kesatuan social ini dapat
berbentuk badan usaha seperti perseroan terbatas, firma, dan koperasi.

Dalam system kekerabataan yang ada di Indonesia ini dapat kita lihat bahwa
setiap masyarakat mempunyai tatanan berupa adat – istiadat dan aturan – aturan.
Tatanan ini muncul untuk menjaga kesatuan dalam masyarakat. Kesatuan sosial
ini yang paling dekat dan erat adalah kesatuan kekerabataan, yang berupa
keluarga inti / batih dan kaum kerabat yang lain. Sehingga dalam system
kekerabataan dikenal seperangkat istilah kekerabataan yang hubungkan dengan
adapt istiadat setempat.

C. Hukum kekerabatan ditinjau dari Hukum Islam

Hukum kekerabatan dalam Islam mengatur hubungan antara anggota keluarga


dan penting untuk dipatuhi oleh umat Muslim. Hukum ini didasarkan pada ajaran Al-
Quran dan Hadis, serta prinsip-prinsip syariat Islam.11 Beberapa aturan penting dalam
hukum kekerabatan Islam antara lain sebagai berikut:
1. Kewajiban berbakti kepada orang tua
Dalam Islam, anak-anak memiliki kewajiban untuk berbakti kepada
orang tua mereka. Ini termasuk memberikan perawatan, mencari nafkah, dan
memenuhi kebutuhan mereka. Al-Quran menyebutkan dalam Surah Al-Isra
ayat 23, “Dan janganlah kamu berkata-kata kasar kepada kedua orang tua-mu,
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.”12
2. Larangan untuk melakukan pernikahan sesama keluarga dekat
Islam melarang pernikahan antara anggota keluarga dekat seperti
saudara kandung, sepupu, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
kesehatan generasi berikutnya dan mencegah terjadinya kelainan genetik. Al-
Quran menyebutkan dalam Surah An-Nisa ayat 23, “Dan janganlah kamu

11
A. Muhamad Natsir, Hukum Kekeluargaan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2014).
12
Hadis Sahih Bukhari, Kitab Al-Adab, Bab 1: Menunjukkan Kehormatan kepada Ibu

13
menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu atau anakmu dari istri-
istri yang telah dinikahinya; sesungguhnya perbuatan itu sungguh besar
kejijikan dan dosa.”13
3. Hak waris dan pembagian harta warisan
Dalam Islam, hukum waris mengatur pembagian harta warisan sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Pada dasarnya, harta warisan harus
dibagi antara keluarga dekat seperti anak-anak, suami atau istri, dan orang tua.
Al-Quran menyebutkan dalam Surah An-Nisa ayat 7, “Laki-laki memperoleh
bagian yang sama dengan dua wanita, dan jika anak-anak lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta warisan dan jika satu anak perempuan saja,
maka baginya setengah.”14

Salah satu dasar hukum dalam kekerabatan dalam Islam adalah konsep
hubungan keluarga yang kuat dan penting dalam membentuk struktur sosial yang
sehat dalam masyarakat Muslim. Dalam Al-Quran, Allah SWT menyatakan bahwa
hubungan keluarga sangat penting, dengan perintah untuk menghormati dan
mencintai orang tua, suami atau istri, anak-anak, dan kerabat dekat lainnya.
"Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun, dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga
yang jauh, dan teman sejawat yang setia, dan orang-orang yang memohon
(pertolongan) dan anak-anak yang dalam perjalanannya dan kaum yang
diberi kekuasaan oleh kamu, dan orang-orang yang dijajah dan tawanan yang
sedang dalam belenggu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong, membangga-banggakan diri." (QS An-Nisa': 36)

Islam juga menekankan pentingnya menjaga hubungan keluarga, bahkan


ketika ada perbedaan pendapat dan masalah yang timbul di dalam keluarga. Allah
SWT berfirman,

13
Hadis Sahih Muslim, Kitab Al-Birr Was Silla Wal Adab, Bab 18: Mendahulukan Saudara-Saudara dalam Islam untuk Berbisik
14
Abdul Rahman, Hukum Kekeluargaan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015).

14
"Dan bertaqwalah kamu kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain (perkara-perkara yang baik). Dan
(juga bertaqwalah) terhadap hubungan keluarga. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu." (QS An-Nisa': 1)15

Dalam hukum kekerabatan Islam, ada tiga jenis hubungan keluarga:


1. Hubungan keluarga melalui darah atau keturunan (nasab)
Yaitu hubungan keluarga yang terbentuk karena adanya hubungan
darah atau keturunan. Hubungan ini meliputi hubungan antara orang tua dan
anak, antara saudara kandung, antara kakek-nenek dan cucu, serta kerabat
lainnya yang memiliki hubungan keturunan. Hubungan nasab dilihat sebagai
hubungan yang sangat penting dalam Islam, karena melalui hubungan ini,
seseorang dapat mengetahui siapa keturunannya, serta memiliki hak-hak dan
kewajiban yang terkait dengan keluarga yang sama.16 antara lain:
a. Hubungan antara orang tua dan anak: Hukum Islam sangat menghargai
orang tua dan menempatkan kedudukan mereka sangat penting. Anak
bertanggung jawab kepada orang tuanya dan dianjurkan untuk memelihara
hubungan yang baik dengan mereka. Orang tua juga diberikan hak untuk
mendidik anaknya dalam ajaran Islam. Dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-
Isra' ayat 23-24.

b. Hubungan antara saudara kandung: Saudara kandung memiliki hubungan


yang sangat erat dan seharusnya saling menghormati dan mendukung.
Sebagai umat Islam, saudara seagama diwajibkan untuk saling membantu
dalam kebaikan dan tidak saling menindas. Dijelaskan dalam Al-Quran surat
Al-Hujurat ayat 10.

2. Hubungan keluarga melalui perkawinan (zikr)

15
Al-Quran
16
Rahim, A. (2017). Konsep Ta'aruf dalam Islam Sebagai Landasan Pendidikan Berkarakter.

15
Yaitu hubungan keluarga yang terbentuk karena adanya perkawinan.
Hubungan ini meliputi hubungan antara suami dan istri, serta antara keluarga
dari kedua belah pihak yang menjadi satu keluarga karena pernikahan tersebut.
Hubungan zikr dilihat sebagai hubungan yang sangat penting dalam Islam,
karena perkawinan memiliki tujuan untuk membentuk keluarga yang harmonis
dan saling mendukung dalam memenuhi kebutuhan hidup, serta untuk
memperkuat ikatan antara individu dan masyarakat.17
Contohnya hubungan antara suami istri: Menurut hukum Islam, suami-
istri terikat dalam ikatan pernikahan yang diatur oleh hukum syariat. Tujuan
pernikahan adalah untuk membangun keluarga yang harmonis, saling
menghormati, dan saling mendukung dalam kebaikan. Terdapat dalam Al-
Quran surat An-Nisa' ayat 21.

3. Hubungan keluarga melalui pengangkatan (tabanni)


Yaitu hubungan keluarga yang terbentuk karena adanya pengangkatan
atau perwalian. Hubungan ini meliputi hubungan antara pengangkat atau wali
dengan anak yang tidak memiliki hubungan darah atau keturunan dengan
pengangkat atau wali tersebut. Hubungan tabanni dilihat sebagai hubungan
yang penting dalam Islam, karena pengangkatan atau perwalian memiliki
tujuan untuk memberikan perlindungan dan dukungan kepada anak yang tidak
memiliki keluarga, serta untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat Islam
dalam membantu sesama yang membutuhkan. 18

17
Nurdin, M. (2016). Peran Keluarga Islam dalam Pendidikan Anak Usia Dini. At-Tarbawi:
Jurnal Pendidikan Islam, 2(2), 203-214.
18
Setyono, B., & Suwardi, E. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lex Jurnalica,
14(2), 209-225.

16
D. Perbandingan Hukum Kekerabatan antara Hukum Perdata Barat, Adat,
dan Islam

Hukum kekerabatan adalah bagian penting dari sistem hukum yang mengatur
hubungan antara anggota keluarga. Di Indonesia, terdapat tiga sistem hukum
kekerabatan yang umum dikenal yaitu Hukum Perdata Barat, Adat, dan Islam.
Hukum Perdata Barat adalah sistem hukum yang diperkenalkan oleh Belanda
pada masa penjajahan. Hukum ini mengatur hubungan kekerabatan dengan
memperhatikan asas-asas hukum yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam hukum perdata barat, hubungan kekerabatan
diatur berdasarkan pada pernikahan, pengakuan anak, pewarisan, dan hak-hak
keluarga lainnya. Pernikahan dalam hukum perdata barat mengatur tentang
persyaratan sahnya pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, serta pembagian harta
bersama.
Hukum Adat adalah sistem hukum yang berlaku di masyarakat adat. Hukum
adat mengatur hubungan kekerabatan dengan berlandaskan pada adat dan kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat. Pada umumnya, hukum adat mengatur tentang
pernikahan, perceraian, pengakuan anak, pewarisan, dan hak-hak keluarga lainnya.
Dalam hukum adat, pernikahan dapat dilakukan dengan upacara adat dan tata cara
yang telah berlaku dalam masyarakat adat. Pewarisan dalam hukum adat biasanya
mengikuti garis keturunan yang menurun dari leluhur.
Hukum Islam adalah sistem hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan
umat Muslim, termasuk dalam hubungan kekerabatan. Hukum Islam mengatur
hubungan kekerabatan berdasarkan pada ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran
dan Hadis. Pada umumnya, hukum Islam mengatur tentang pernikahan, perceraian,
pengakuan anak, pewarisan, dan hak-hak keluarga lainnya. Pernikahan dalam hukum
Islam mengatur tentang persyaratan sahnya pernikahan, hak dan kewajiban suami
istri, serta pembagian harta bersama. Pewarisan dalam hukum Islam biasanya
mengikuti ketentuan dalam Al-Quran dan Hadis yang mengatur tentang pembagian
harta warisan.
Secara umum, meskipun ketiga sistem hukum kekerabatan ini memiliki
perbedaan dalam asas-asas yang digunakan, namun kesamaan yang terdapat dalam
tiga sistem ini adalah mengatur hubungan kekerabatan dalam masyarakat. Namun,

17
bagi masyarakat yang mengalami konflik hukum dalam hubungan kekerabatan, maka
harus mencari solusi dan konsultasi kepada ahli hukum yang berpengalaman.
Diantara tiga dari kelima sistem hukum tersebut terdapat di tanah air kita yakni
sistem-sistem Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat (disebut berturut-turut
menurut “umurnya” berlaku dinegeri kita). Ketiga-tiganya akan di bandingkan
mengenai apa yang kelihatan dan berlaku di Indonesia, dalam garis–garis besarnya
saja. Caranya adalah dengan melihat hal-hal yang sama dan dengan menyebut hal
yang sama itu, akan kelihatan perbedaannya. Mohammad Koesnoe mantan Guru
Besar Hukum Adat Universitas Airlangga pernah membandingkan ketiga sistem hukum
tersebut. ( Daud, 2007, hal 208- 222) Dengan mengacu pokok-pokok uraian
Mohammad Koesnoe (1980) disertai perubahan dan penambahan disana-sini, adalah
sebagai berikut :
1. Keadaannya
Hukum Adat telah lama berlaku di Tanah Air kita. Bila mulainya tidak
dapat dikatakan dengan pasti, tetapi dapat dikatakan bahwa, jika dibandingkan
dengan kedua sistem hukum lainnya, hukum adatlah yang tertua umurnya.
Sebelum tahun 1927 keadaanya biasa saja, hidup dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia. Sejak tahun 1927 di pelajari dan di perhatikan dengan
seksama dalam rangka pelaksanaan politik hukum pemerintah Belanda, setelah
teori resepsi dikukuhkan dalam pasal 134 ayat 2 I.S. 1925. Hukum Islam baru
dikenal di Indonesia setelah agama Islam di sebarkan di Tanah air kita. Bila
Islam datang ke Tanah air kita belum ada kata sepakat diantara para ahli
sejarah Indonesia. Ada yang mengatakannya pada abad ke– 1 Hijriah atau
abad ke VII Masehi, ada pula yang mengatakan pada abad ke VII.
Hijriah atau abad ke XIII Masehi, Islam baru masuk ke Nusantara ini.
Walaupun para ahli itu berbeda pendapat mengenai kapan Islam datang di
Indonesia, namun dapat dikatakan bahwa setelah Islam datang ke Indonesia
hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Islam di
nusantara ini. Hal itu dapat dilihat pada studi para pujangga yang hidup pada
masa itu mengenai Hukum Islam dan peranannya dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang timbul di masyarakat.

18
Hasil studi dan karya ahli Hukum Islam Indonesia, kemudian dapat
disebut sebagai contoh, misalnya Miratul Thullab, Sirathal Mustaqim, Sabilal
Muhtadin, Kutaragama, Sajinatul Hukum dan lain-lain, disamping studi
mengenai hukum Islam yang ditulis oleh bukan orang Indonesia seperti
misalnya Muharrar karangan ar-Rafi’i, Tuhfah karangan Ibnu Hajar, Nihayah
karangan ar-Ramli dan Kitab-kitab Hukum mazhab Syafi’i lainnya. Setelah
Belanda menjajah Nusantara ini perkembangan hukum Islam dikendalikan dan
sesudah tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat landasan peraturan
Perundang-undangan (I.S 1925), menurut Hazairin, perkembangan hukum
Islam dihambat di tanah air kita.
Hukum Barat di perkenalkan di Indonesia bersamaan dengan
kedatangan orang-orang Belanda untuk berdagang di nusantara ini. Mula-
mulanya hanya diperlakukan bagi orang Belanda dan Eropa saja, tetapi
kemudian melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan (pernyataan
berlaku, penundukan dengan sukarela, pemilihan hukum dan sebagainya),
Hukum barat dinyatakan berlaku juga bagi mereka yang disamakan dengan
orang Eropah, orang timur Asing (terutama Cina) dan orang Indonesia. Sebagai
hukum golongan yang berkuasa pada waktu itu di Nusantara kita ini keadaan
hukum Barat jauh lebih baik dan menguntungkan dari keadaan kedua sistem
hukum di atas. Hukum Adat dan Hukum Islam adalah Hukum bagi orang-orang
Indonesia asli dan mereka yang di samakan dengan penduduk Bumi Putera.
Keadaan itu diatur Pemerintah Hindia Belanda dahulu sejak 1845 sampai
dengan meninggalkan tanah air kita Indonesia pada tahun 1942.

2. Bentuknya
Pada dasarnya, Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis. Ia
tumbuh dan berkembang dan hilang sejalan dengan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat. Pada waktu ini sedang diadakan usaha-usaha
untuk mengangkat hukum Adat itu menjadi hukum perudang-undangan dan
dengan begitu diikhtiarkan ia memperoleh bentuk tertulis. Contohnya dapat
dilihat pada Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. tetapi, Hukum Adat

19
yang telah menjadi hukum tertulis itu menjadi lain bentuknya dari hukum Adat
sebelumnya. Ia telah menjadi hukum perundang-undangan.
Hukum Islam (dalam kepustakaan hukum Islam di Indonesia, istilah
hukum Islam ini mungkin di pergunakan untuk hukum fikih Islam mungkin juga
di pergunakan untuk hukum syari’at Islam seperti di uraikan di atas), juga tidak
tertulis seperti halnya hukum Adat. Artinya, Hukum Islam itu tidak tertulis
dalam peraturan Perundang-undangan. Hukum Islam dalam makna hukum
fikih Islam adalah hukum yang bersumber dan disalurkan darui hukum Syari’at
Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad,
dikembangkan melalui Ijtihad oleh para ulama atau ahli hukum islam yang
memenuhi syarat untuk berijtihad dengan cara-cara yang telah di tentukan.
Walaupun Hukum Islam (dalam pengertian hukum fikih) ini tidak diberi
padahan atau sanksi oleh penguasa, namun ia dipatuhi oleh masyarakat Islam
kerena kesadaran keyakinan para pemimpin atau ulama Islam, bahwa hukum
Islam itu hukum yang benar. Hukum Barat, yang kita bandingkan adalah hukum
perdatanya, tertulis dalam bahasa Belanda di dalam Undang-Undang atau Kitab
Undang-Undang seperti misalnya Burgelijk Wethoek (B.W). Namun karena
bahasa yang dipakai oleh hukum tersebut telah menjadi rintangan bagi
berlakunya hukum itu sebagai hukum yang tertulis dalam perundang-undangan
aslinya, maka hukum eksBarat itu, kini diterjemahkan kedalam Bahasa
Indonesia, Misalnya Burgelijk Wethoek (B.W). dengan nama Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Karena terjemahannya itu merupakan karya pribadi
seseorang, dan karena itu tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti
Undang-Undang, maka sesungguhnya didalam praktek diIndonesia, hukum
(Perdata) Barat itu telah berubah menjadi hukum tidak tertulis secara tidak
dinyatakan dengan sadar.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Terhadap Hukum Perdata Barat yang secaranya diatur di Indonesia sendiri ddalam
BW. Dimana dalam BW mengatur hal perkawinan BW tetap berlaku sejauh undang-
undang tidak mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan. Mengenai
perkawinan yang dimaksud disini adalah perkawinan yang terbatas bagi warga negara
Indonesia saja, sedangkan bagi orang asing yang termasuk golongan Eropa atau
Timur Asing Tionghoa masih tetap diatur dalam BW. Menurut Burgerlijk Wetboek
(B.W), hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan
yang ditinggalkan seseorang pewaris yang meninggal dunia kepada para ahli
warisnya, serta akibat hukum bagi para ahli waris tersebut atas harta benda yang
diwarisinya.
2. Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana
kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap
orangtua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan
masalah perwalian anak. Dalam Hukum Adat sendiri terhadap sistem kekerabatannya
dikenal atas 3 kekerabatan yaitu Kekerabatan Patrilinial, Kekerabatan Matrilinial, dan
Kekerabatan Bilateral.
3. Hukum kekerabatan dalam Islam mengatur hubungan antara anggota keluarga dan
penting untuk dipatuhi oleh umat Muslim. Hukum ini didasarkan pada ajaran Al-Quran
dan Hadis, serta prinsip-prinsip syariat Islam
4. Berkaitan dengan Perbandingan antara tiga pembahasan dari makalah ini yaitu
Hukum Perdata Barat, Hukum Adat, dan Hukum Islam itu dapat dibedakan dari segi
bentuknya dan juga dari segi keadaannya yang berlaku pada saat ini.

21
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Quran dan Hadits

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh


R.Subekti dan R.Tjitrosudibyo.

Hadis Sahih Bukhari, Kitab Al-Adab, Bab 1: Menunjukkan Kehormatan kepada Ibu

Hadis Sahih Muslim, Kitab Al-Birr Was Silla Wal Adab, Bab 18: Mendahulukan Saudara-
Saudara dalam Islam untuk Berbisik

A. Muhamad Natsir, 2014, Hukum Kekeluargaan Islam, Jakarta: Gema Insani Press.

Abdul Rahman, 2015, Hukum Kekeluargaan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Abdul Kahhar, Abdul Hadi, 2013, Hukum Keluarga Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Al-Mahalli, Jalaluddin dan As-Suyuti, Jalaluddin, 2007, Tafsir Al-Jalalain, Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar.

Bushar Muhammad, 2006, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Ellyne Dwi Poespasari, 2014, “Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Pewarisan Ditinjau
dari Sistem Hukum Kekerabatan Adat”, Jurnal Perspektif, Vol. XIX No. 3.

Henny Tanuwidjaja, 2012, Hukum Waris Menurut BW, Cetakan Kesatu, Refika
Aditama.

Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar
Maju.

Iman Sudiyat, 2007, Hukum Adat (sketsa asas), Yogyakarta, Liberty Koentjaraningrat

22
Irawan, W. D, 2019, “Kata Sapaan Kekerabatan dalam Masyarakat Lampung Sungkai”,
Jurnal Edukasi Lingua Sastra, 17(1).

Nurdin. M, 2016, “Peran Keluarga Islam dalam Pendidikan Anak Usia Dini”, At-Tarbawi:
Jurnal Pendidikan Islam, 2(2), 203-214.

Peter de cruz, 2013, Perbandingan Sistem Hukum Commom Law, Civil Law dan
Socialist Law, Jakarta : Diadit Media.
Rahim. A, (2017, Konsep Ta'aruf dalam Islam Sebagai Landasan Pendidikan
Berkarakter.
R.Soeroso, 2014, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafia.

R. Soetojo Prawirohamidjojo, 2000, Hukum Waris Kodifikasi, Cetakan Pertama,


Airlangga Press.

Setyono, B., & Suwardi, E, 2017, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak”.Lex Jurnalica, 14(2), 209-225.

23
24

Anda mungkin juga menyukai