Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan pertolongan-Nya, saya bisa menyelesaikan makalah Hukum Pidana kami
sadari, masih banyak sekali kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, semoga
hal ini tidak menghalangi saya untuk terus berkarya. Saya berharap di masa yang
akan datang, saya dapat membuat makalah yang lebih baik lagi dan menjadi
penulis yang sukses.

Di dalam penyusunan makalah ini, kami ucapkan terima kasih kepada


teman-teman yang telah membantu & mendukung juga. Semoga dengan
dukungannya dapat menambah kemampuan saya di masa yang akan datang.

Kami berharap makalah ini dapat menjadi inspirasi bagi kami di masa
yang akan datang dan juga memberi manfaat bagi pembaca agar lebih
meningkatkan kesadaran untuk membaca.

Banda Aceh, 25 Oktober 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................1

BAB I.................................................................................................................................3

PENDAHULUAN.............................................................................................................3

A. Latar Belakang.....................................................................................................3
B. Rumusan Masalah................................................................................................3
C. Tujuan...................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................5

A. Dasar Penghapus Pidana.....................................................................................5


1. Pengertian Dasar Penghapus Pidana..............................................................5
3. Dasar Penghapusan Pidana berdasarkan Kepatutan dalam Masyarakat. . .8
B. Pasal 44 KHUP Ketidakmampuan Bertanggungjawab.....................................8
C. Pasal 48 KUHP Daya Paksa...............................................................................10
D. Pasal 49 KUHP Pembelaan Terpaksa...............................................................11
E. Pasal 50 KUHP Melaksanakan Perintah Undang-Undang.............................12
F. Pasal 51 KUHP Melaksanakan Perintah Atasan.............................................13
G. Suatu Kesengajaan Dapat Terjadi Karena Salah Paham atau Kekeliruan
(Dwaling).....................................................................................................................14
H. Sifat Melawan Hukum Materiil.........................................................................14
I. Amnesti, Abolisi dan Grasi................................................................................15
BAB III............................................................................................................................17

PENUTUP.......................................................................................................................17

A. Kesimpulan.........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................18

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hukum pidana adalah hukum positif yang menentukan tentang


perbuatan pidana danmenentukan tentang kesalahan bagi si pelanggarnya
(substansi hukum pidana) danmenentukan tentang pelaksanaan substansi
hukum pidana (hukum acara pidana). Tujuan hukum pidana merupakan
suatu aturan yang dibuat oleh pejabat berwenang yang berhubungan
dengan ketertiban, ketenangan, keamanan, perlindungan kepentingan
tertentu, menghindari tindakan main hakim sendiri dari pihak penduduk
atau masyarakat secara perseorangan, serta setiap saat harus ditagakkan
kebenarannya agar terciptanya kehidupan yang sejahtera bernegara.
Hukum pidana berlaku pada masarakat dan badan-badan negara lain
karena tidak ada yang kebal terhadap hukum yang berlaku (hukum positif)
Hukum pidana mempunyai ketentuan-ketentuan terhadap tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh masyarakat, tindakan mana yang dapat
dipidana dan mana yang tidak dapat dipidana,dan mana yang tindakan
mendapat suatu penghapus, peringan dan pemberat pidana. Hal ini disebut
dengan Dasar Penghapus,Peringan dan pemberat pidana.
Pembentuk undang-undang telah menetapkan sejumlah alasan
penghapus pidana umum dalam Buku I Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP). KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas
tentang makna dari alasan penghapus pidana itu. Di dalam KUHP, pada
buku kesatu bab III terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang hal-hal
yang menghapuskan pemidanaan terhadap seorang terdakwa.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana penjelasan Perbandingan Dasar Pemidanaan Dan Penghapusan


Pidana?

3
C. Tujuan

Makalah ini dibuat untuk memunih nilai tugas Hukum acara Pidana dan
dapat lebih memahami tentang apa itu Dasar Penghapusan Pidana.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Penghapus Pidana

1. Pengertian Dasar Penghapus Pidana


Pada dasarnya, apa yang diatur dalam aturan perundang-
undangan adalah hal-hal yang umum sifatnya. Utrech menyatakan,
bahwa sifat umum tersebut membuka kemungkinan peluang akan
kemungkinan dijatuhkannya pidana yang tidak adil. Dengan kata
lain, kemungkinan bahwa dijatuhkannya hukuman kepada
seseorang yang tidak bersalah.1 Para pembentuk undang-undang
melihat bahwa perlunya suatu pengaturan tentang kondisi-kondisi
atau keadaan-keadaan tertentu untuk meniadakan pemidanaan bagi
seseorang. Kondisi-kondisi atau keadaan keadaan tertentu ini
merupakan suatu kondisi atau keadaan yang berkaitan dengan
perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana ataupun
kesalahan yang melekat pada diri seorang pelaku tindak pidana.2
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama
ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai
keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang yang
seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam hal
ini, menempatkan wewenang dalam dirinya (dalam mengadili
perkara yang konkret) sebagai pelaku penentu apakah telah
terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku, seperti dirumuskan
dalam alasan penghapus pidana.3
Di dalam KUHP meskipun mengatur tentang alasan
penghapus pidana, akan tetapi KUHP tidak memberikan pengertian

1
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan
Pemberat Pidana, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, Hlm 45.
2
Ibid
3
M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, Op. Cit., Hlm. 27

5
yang jelas tentang makna alasan penghapus pidana tersebut.
Menurut doktrin alasan penghapus pidana dapat dibagi dua yaitu
alasan penghapus pidana yang merupakan alasan pemaaf, dan yang
kedua alasan penghapus pidana yang merupakan alasan pembenar.4
Khusus mengenai dasar penghapus pidana, KUHP
merumuskan beberapa keadaan yang dapat menjadi dasar
penghapus pidana, sebagai berikut :
1. Pasal 44 KUHP tentang Ketidakmampuan Bertanggungjawab.
2. Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa dan Keadaan Terpaksa.
3. Pasal 49 KUHP tentang Bela Paksa.
4. Pasal 50 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Undang-
undang.
5. Pasal 51 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Atasan.

Secara umum, doktrin telah membedakan sumber dasar


penghapus pidana tersebut dalam dua bagian, yaitu sebagai
berikut :5

a. Dasar penghapus pidana yang sifatnya umum


(straftuitsluitungsgronden yang umum).
b. Dasar penghapus pidana yang sifatnya khusus
(straftuitsluitungsgronden yang khusus).

Utrech menyatakan, pembedaan ini didasarkan alasan yang


berbeda antara dasar penghapus pidana yang umum dan khusus.
Dasar penghapus pidana yang umum ini didasarkan ketiadaan sifat
melawan hukum dari perbuatan (wederrechtelijkheid) atau
ketiadaan kesalahan dalam pengertian yang luas (schuld).
Sementara, dasar penghapus pidana yang khusus adalah pada

4
Ibid, Hlm.29
5
Ibid.

6
kepentingan umum yang tidak diuntungkan dengan adanya
penuntut pidana.6

2. Dasar Pembenar dan Dasar Pemaaf


Menurut doktrin hukum pidana, penyebab tidak
dipidananya si pembuat tersebut dibedakan dan dikelompokan
menjadi dua dasar yaitu pertama alasan pemaaf
(schuiduitsluitingsgronden), yang bersifat subjektif dan melekat
pada diri orangnya, khususnya mengenal sikap batin sebelum atau
pada saat akan berbuat, dan kedua dasar pembenar
(rechtsvaardingingsgronden), yang bersifat objektif dan melekat
pada perbuatannya atau hal-hal lain diluar batin si pembuat.7
Pada umumnya, pakar hukum memasukkan kedalam dasar pemaaf
yaitu sebagai berikut :8
a. Ketidakmampuan bertanggung jawab
b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas
c. Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan
itikad baik.

Sementara itu, yang selebihnya masuk ke dalam dasar


pembenar yaitu sebagai berikut :9

a. Adanya daya paksa


b. Adanya pembelaan terpaksa
c. Sebab menjalankan perintah undang-undang
d. Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah

6
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan
Pemberat Pidana, Op.Cit, Hlm. 47
7
Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan,
Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2009, Hlm.
18.
8
Ibid
9
Ibid

7
Tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf
walaupun perbuatannya terbukti melanggar undang-undang, yang
artinya perbuatannya itu tetap bersifat melawan hukum, namun
karena hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pembuat,
perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Contohnya orang gila memukul orang lain sampai luka berat, dia
dimaafkan atas perbuatannya itu. Berlainan dengan alasan
pembenar, tidak dipidananya si pembuat, karena perbuatan tersebut
kehilangan sifat melawan hukumnya perbutan. Walaupun dalam
kenyataannya perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tidak
pidana, tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada
perbuatan itu, si pembuat tidak dapat dipidana.

3. Dasar Penghapusan Pidana berdasarkan Kepatutan dalam


Masyarakat
Berdasarkan kepatutan didalam masyarakat, hukum pidana
menginsyafi beberapa kondisi yang pada dasarnya dapat
dikonstruksikan sebagai tindak pidana, akan tetapi dalam kondisi
tertentu dianggap sebagai hal yang dapat diterima oleh masyarakat,
sehingga pelakuknya tidak dipidana. Kondisi itu diantaranya:10
a. Hak mendidik orang tua (tuchrecht), wali atau guru.
b. Hak jabatan dokter, dokter hewan, juru obat dan bidang
c. Dalam beberapa peristiwa izin orang tua yang dirugikan

B. Pasal 44 KHUP Ketidakmampuan Bertanggungjawab

Yang pada dasar hukumnya sebagai beikut :11

10
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan Pidana, PPT
11
Pasal 44 KUHP

8
1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada
pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu
karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang
itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.
3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Pasal 44 KUHP merupakan gambaran yang jelas atas suatu


kondisi, di mana seorang pelaku tindak pidana tidak dapat
mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya itu. Simons
menggambarkan suatu konsep, bahwa setiap tindakan harus dapat
dipertanggungjawabkan, karena adanya kesalahan (schuld dalam arti
luas) yang melekat pada diri seseorang. Simons pun menyatakan, bahwa
maksud kesalahan dalam arti luas ini tidak bisa otomatis disamakan
dengan opzet atau culpa. Kesalahan sebagai dasar dari seorang pelaku
yang memungkinkan pelaku tersebut dapat menilai akan maksud dari
tindakannya, sehingga bila yang dilakukannya merupakan tindak pidana,
maka hal ini dapat dipersalahkan kepadanya.12

Pada Pasal 44 ayat (1) KUHP yang dimaksud dengan tidak dapat
dipertanggungjawabkan adalah sebagai berikut :

a. Adanya pertumbuhan yang tidak sempurna dari akalnya.


b. Adanya kondisi kecacatan jiwa karena penyakit.

12
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan
Pemberat Pidana, Op.Cit, Hlm. 56.

9
Menurut Van Hamel, yang dimaksut pertumbuhan yang tidak
sempurna dari kemampuan jiwa yaitu dengan mengatakan bahwa orang
yang kemampuan jiwanya tidak tumbuh secara sempurna, seperti adanya
gangguan secara psikis, idiot atau imbecile, siamping itu van Hamel juga
Pompe berpendapat bahwa kecacatan2 tertentu yang berdampak pada
pertumbuhan tidak sempurna dari kemampuan berfikir seperti orang2
yang buta sejak lahir atau orang2 tuli sejak lahir termasuk didalamnya.13

C. Pasal 48 KUHP Daya Paksa

Daya paksa atau dikenal dengan istilah overmecht diatur dalam


Pasal 48 KUHP yang menyatakan bahwa “Barang siapa melakukan
perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Menurut memorie
van toelichting (MvT) penyebab yang datang dari luar dan membuat suatu
perbuatan itu menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pelakunya.14
Menurut Jonkers overmacht itu berwajah tiga rupa yaitu sebagai
berikut :15
a. Overmacht yang bersifat mutlak, dalam hal ini orang yang terpaksa
tidak mungkin dapat berbuat lain. Ia tidak mungkin memilih jalan
lain.
b. Overmacht dalam arti sempit yang bersifat nisbi berat lawan,
dalam hal ini orang yang terpaksa masih ada kesempatan untuk
memilih berbuat lain, akan tetapi menurut perhitungan yang layak
tidak mungkin dapat dielakan.
c. Overmacht dalam arti Noodtoestand atau keadaan darurat, keadaan
darurat ada bila kepentingan hukum seseorang berada dalam
keadaan bahaya, maka untuk mengelakkan bahaya itu, terpaksa
melanggar kepentingan hukum orang lain.
13
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan Pidana, PPT
14
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hlm.
70.
15
Ibid

10
D. Pasal 49 KUHP Pembelaan Terpaksa

Dalam RUUKUHP bela paksa diatur dalam pasal :16


Pasal 34
Tidak dipidana setiap orang yang terpaksa melakukan tindak pidana
kerana pembelaan terpaksa terhadap serangan seketika atau ancaman
serangan segera yg melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain,
kerhormatan kesusilaan, herta benda sendiri atau orang lain.
Pasal 44
Tidak dipidana setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang
melampui batas, yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat
karena serangan seketika atau ancaman serangan yang segera.

Ada beberapa persyaratan pembelaan terpaksa pasal 49 ayat (1) yaitu:17


1. Ada serangan seketika
2. Serangan tersebut harus melawan hukum
3. Pembelaan merupakan keharusan
4. Cara pembelaan adalah patut

Pengertian serangan dalam pasal a quo adalah serangan nyata yg


berlanjut, baik terhadap badan, martabat atau kesusilaan dan harta benda,
sedangkan pengertian seketika yaitu antara saat melihat adanya serangan
dan mengadakan pembelaan harus tidak ada selang waktu yang lama,
begitu terjadi serangan seketika itu ada pembelaan. pembelaan terpaksa
merupakan keharusan, artinya sudah tidak ada jalan lagi untuk menghindar
dari serangan tersebut.

Pembelaan terpaksa Melampaui Batas dapat terjadi dalam 2 hal :18

16
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan Pidana, PPT
17
Ibid
18
Ibid

11
1. Orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan
batin yang demikian hebat kemudian mengubah pembelaan diri
menjadi suatau serangan.
2. Orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami
kegoncangan jiwa yg begitu hebat dg serta merta menggunakan
upaya bela diri yg berlebihan atau tidak menggunakan upaya
drastis untuk membela diri.

E. Pasal 50 KUHP Melaksanakan Perintah Undang-Undang

Pada Pasal 50 KUHP dinyatakan bahwa “ barang siapa melakukan


perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.”
Apa yang diperintahkan oleh undang-undang atau wewenang yang
diberikan oleh undang-undang untuk melakukan sesuatu hal tidak dapat
dianggap seperti suatu peristiwa pidana. Perbuatan yang dilakukan tidak
merupakan peristiwa pidana dan karenanya tidak ada dasar untuk
mengenakan pidana terhadapnya.
Pelaksanaan ketentuan Pasal 50 KUHP mensyaratkan beberapa hal
sebagai berikut:
a. Adanya peraturan yang merumuskan suatu perintah kepada
seorang berdasarkan kompetensi atau jabatan tertentu.
b. Orang yang melaksanakan perintah adalah orang yang ditunjuk
oleh undangundang berdasarkan kompetensi dan jabatannya. Hal
ini harus diartikan bahwa orang yang melaksanakan perintah
undang-undang harus memahami, bahwa ia hanya dapat
melakukan tindakan tersebut karena peraturan perundangundangan
menentukan sebagai kewajiban baginnya untuk melakukan
tindakan seperti itu dan bukan karena orang itu mempunyai hak
untuk berindak demikian.

12
c. Tindakan yang dilakukan adalah tindakan yang secara jelas
dirumuskan dan berdasarkan perintah undang-undang.19

Pada syarat yang terakhir, tidak setiap ketentuan perundang-


undangan merumuskan dengan jelas tindakan yang diperintahkan
untuk dilaksanakan terhadap seseorang yang diberikan kewenangan
oleh undang-undang selayaknya dapat mengukur tindakan
diperintahkan oleh undang-undang.20

F. Pasal 51 KUHP Melaksanakan Perintah Atasan

Hal ini sama dengan pembahasan tentang Pasal 50 KUHP


mengenai pelaksanaan perintah undang-undang perintah jabatan yang
diberikan oleh pejabat yang berwenang, sebenarnya juga merupakan
perintah yang ditentukan berdasarkan aturan perundang-undangan.
Perbedaan antara ketentuan Pasal 50 dan Pasal 51 khususnya ayat
(1)21 adalah, dalam ketentuan Pasal 51 dipersyaratkan adanya hubungan
atasan dan bawahan, bahwa kewenangan atasan untuk memberikan
perintah adalah pada kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
kepadanya. Semantara dalam Pasal 50, yang diberikan kewenangan oleh
undang-undang adalah pelaku fisik yang melaksanakan tindakan secara
langsung. Oleh karena itu, perbuatan untuk melaksanakan perintah yang
diberikan oleh pejabat berwenang tidak dipidana.22
Syarat melakukan perintah jabatan sebagai berikut :
a. Antara yang memerintah dan diperintah berada dalam dimensi
hukum publik.
b. Antara yang memerintah dan yang diperintah terdapat hubungan
subordinasi atau hubungan dalam dimensi kepegawaian.

19
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan
Pemberat Pidana, Op.Cit, Hlm. 96.
20
Ibid
21
KUHP Pasal 51 ayat (1)
22
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan
Pemberat Pidana, Op.Cit, Hlm. 100.

13
c. Melaksanakan perintah jabatan harus dengan cara yang patut, dan
seimbang sehingga tidak melampui batas kewajaran. 23

G. Suatu Kesengajaan Dapat Terjadi Karena Salah Paham atau


Kekeliruan (Dwaling)

Seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancan


dengan pidana oleh peraturan hokum pidana itu dilakukan dengan sengaja
karena kekeliruan. Mengenai dwaling ada beberapa bentuk, dan biasanya
dibarengi dengan masalah hubungan antara kesengajaan dengan sifat
melawan hukum, yaitu ada tidaknya penginsyafan atas unsur melawan
hukum daripada delik. Apabila menginsyafi atas sifat melawan hukum itu
berdasarkan atas kesalahfahaman (dwaling) mengenai hal-hal di luar
hukum pidana maka di situ tidak ada opzet (feitelijke dwaling), akan tetapi
apabila kesalahfahaman itu berdasarkan atas hukum pidan maka di situlah
kesalahfaman tidak mempunyai arti sama sekali untuk melepaskan diri
dari tuntutan pidana (rechtsdwaling).24

H. Sifat Melawan Hukum Materiil

Sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak/esenssial dari suatu


tindak pidana, namun dalam kenyataannya tidak semua rumusan tindak
pidana yang mencantumkan secara tegas/eksplisit sifat melawan hukum ini
sebagai bagian inti dari rumusan tindak pidana (bestandellen van het
delict). Melawan hukum sebagai bestandellen van het delict terlihat dalam
beberapa pasal, yakni Pasal 362, Pasal 368, Pasal 369, Pasal 372, dan
Pasal 378. Pasal-pasal lain dalam KUHP banyak pula yang menjadikan

23
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan Pidana,
PPT

24
Dulkadir SH.MH, http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2010/08/pidana.html

14
sifat melawan hukum ini sebagai elemen dari tindak pidana (elementen
van het delict) atau tidak secara tegas dinyatakan sebagai unsur dalam
rumusan tindak pidana, namun demikian bukanlah berarti perbuatan yang
dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana tersebut tidak memiliki sifat
melawan hukum. Hal ini dapat pula diartikan secara sederhana bahwa
suatu tindak pidana sebenarnya merupakan salah satu bentuk tindakan
melawan hukum yang mendapat tempat secara khusus dalam suatu
undang-undang hukum pidana.25
Dari pengertian sifat melawan hukum dan pembagiannya di atas,
maka dapat dinyatakan bahwa sifat melawan hukum memiliki 4 (empat)
makna. Pertama, sifat melawan hukum diartikan syarat umum dapat
dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni
kelakukan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan
hukum dan dapat dicela; kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam
rumusan delik, dengan demikian sifat melawan hukum merupakan syarat
tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan; ketiga, sifat melawan
hukum formil mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah
terpenuhi; dan keempat, sifat melawan hukum materiil mengandung 2
(dua) pandangan, pertama dari sudut perbuatannya yang mengandung arti
melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak
dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik, dan kedua
dari sudut sumber hukumnya, dimana sifat melawan hukum mengandung
pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di
masyarakat.26

I. Amnesti, Abolisi dan Grasi

Menurut pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi,


grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan,

25
Juventhy M Siahaan, SH.MH  http://lbhamin.org/perbuatan-melawan-hukum/
26
Ibid

15
atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh Presiden.27
Pasal 4 UU No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi
menyebutkan bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat
hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan.
Sedangkan untuk pemberian abolisi, penuntutan terhadap orang-orang
yang diberikan abolisi ditiadakan.28

27
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan Pidana,
PPT
28
Ibid

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan


kepada hakim. Peraturan ini menetapkan keadaan apa seorang pelaku yang
telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak
dipidana.
Dalam hukum pidana, seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak
pidana dapat dipidana bila memenuhi dua hal, yaitu :
1. Perbuatannya bersifat melawan hukum
2. Pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan
yang didakwakan (adanya kesalahan pelaku) atau perbuatan
tersebut dapat dilecehkan kepada pelakunya dan tidak ada alasan
pemaaf.

Di dalam judul ketiga dari buku pertama KUHP, terdapat hal-hal yang
menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana, yaitu :

1. Tidak mampu bertanggungjawab


2. Belum berumur 16 tahun
3. Daya Paksa
4. Pembelaan terpaksa
5. Ketentuan Undang-undang
6. Perintah jabatan
7. Melaksanakan perintah atasan

17
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku
Eva Achjani Zulfa, 2010, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus,
Peringan, dan Pemberat Pidana, Ghalia Indonesia, Bogor.
M. Hamdan, 2012, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, PT.
Refika Aditama, Bandung.
Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan,
Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan
dan Ajaran Kausalitas, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2009.
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan
Pidana, PPT.
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang No. 1 Tahun 1964 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)

18

Anda mungkin juga menyukai