Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

HUKUM PIDANA

Disusun Oleh :
BUSTAMI

Dosen Pembimbing :
ZULFIKAR ADNAN WIJAYA, M.H

UNIVERSITAS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


ACEH SELATAN
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji syukur selalu terucap kepada Allah SWT yang sampai saat ini telah
memberikan nikmat sehat, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas makalah tanpa
terkendala masalah berarti. Terimakasih juga saya ucapkan kepada kedua orang
tua, dosen, teman kuliah yang turut membantu.
Keterbatasan waktu menjadi salah satu hal yang menjadi kesulitan dalam
pembuatan makalah ini. Namun berkat dukungan dari mereka, akhirnya yang
diperjuangkan bisa selesai tepat waktu. Sebagai mahasiswa, saya menyadari
masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu saya
secara pribadi memohon maaf atas kesalahan yang mungkin ada pada isi makalah.
Isi makalah yang berjudul “Hukum Pidana” berharap bisa bermanfaat
bagi pembaca. Mohon untuk memaklumi jika terdapat penjelasan yang sulit untuk
dimengerti. Untuk itu saya mengharapkan kritik maupun saran, sehingga penulis
bisa memperbaikinya dikemudian hari.

Tapaktuan, Oktober 2023


Hormat Saya,

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 1
1.3 Tujuan Masalah ............................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ......... .................................................................... 2


2.1 Hukum Pidana ............................................................................ 2
2.2 Asas - Asas Hukum Pidana ......................................................... 7
2.3 Tindak Pidana ............................................................................. 10
2.4 Jenis Hukuman ............................................................................ 14

BAB III PENUTUP . ...................................................................................... 22


A. Kesimpulan .................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Perbuatan masyarakat yang dapat merugikan kepentingan umum d sebut
dengan tindak pidana, yang mana segala perbuatan tersebut memiliki hukum yang
mengatur dari tindakan tersebut.
Di pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan”. Dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine
praevia legi poenali”, yang dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan:
”Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”.
Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta, yang dapat
diartikan dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.

1.2 Rumusan Masalah


Agar kajian makalah ini tidak terlalu jauh penulis membagi, makalah ini
menjadi sebagai berikut :
1. Apa itu Hukum Pidana ?
2. Apa tujuan, fungsi dan Maksud Dari Hukum Pidana ?

1.3 Tujuan Masalah


Penulis memahami betapa penting nya untuk mengetahui Hukum Pidana untuk
kehidupan sehari-hari. Besar harapan dengan adanya makalah ini dapat memahi
sedikit tentang Hukum Pidana.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Pidana


A. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana itu ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran
dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam
dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Dari definisi
tersebut di atas tadi dapatlah kita mengambil kesimpulan, bahwa Hukum Pidana itu
bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma yang baru, melainkan hanya
mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-
norma hukum yang mengenai kepentingan umum.

B. Pembagian Hukum Pidana


Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut:
1) Hukum Pidana Objektif (lus Punale), yang dapat dibagi ke dalam:
1. Hukum Pidana Materil
2. Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana).
2) Hukum Pidana Subjektif (ius Puniendi).
3) Hukum Pidana Umum.
4) Hukum Pidana Khusus, yang dapat dibagi lagi ke dalam:
1. Hukum Pidana Militer.
2. Hukum Pidana Pajak (Fiskal).

Hukum Pidana Objektif (Ius Punale) ialah semua peraturan yang mengandung
keharusan atau larangan, terhadap pelanggaran mana yang diancam dengan hukuman
yang bersifat siksaan.
 Hukum Pidana Objektif dibagi dalam Hukum Pidana Materil dan Hukum
Pidana Formil:
 Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan yang menegaskan:
(1) Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
(2) Siapa yang dapat dihukum.
(3) Dengan hukuman apa menghukum seseorang.

2
Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran
serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum. Jadi Hukuman Pidana Materiil
mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila
seseorang dapat dihukum.
Hukum Pidana Materiil membedakan adanya:
a) Hukum Pidana Umum.
b) Hukum Pidana Khusus, misalnya Hukum Pidana Pajak (seorang yang tidak
membayar pajak kendaraan bermotor, hukumannya tidak terdapat dalam
Hukum Pidana Umum, akan tetapi diatur tersendiri dalam Undang-undang
(Pidana Pajak).

Hukum Pidana Formil ialah hukum yang mengatur cara-cara menghukum


seseorang yang melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari Hukum
Pidana Materiil). Dapat juga dikatakan bahwa Hukum Pidana Formil atau Hukum
Acara Pidana memuat peraturan-peraturan tentang bagaimana memelihara atau
mempertahankan Hukum Pidana Materiil, dan karena memuat cara-cara untuk
menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana, maka hukum ini
dinamakan juga Hukum Acara Pidana.
Hukum Acara Pidana terkumpul/diatur dalam Reglemen Indonesia yang dibarui
disingkat dahulu RIB (Herziene Inlandsche Reglement — HIR) sekarang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Tahun 1981. Hukum
Pidana Subjektif (Ius Puniendi), ialah hak Negara atau alat-alat untuk menghukum
berdasarkan Hukum Pidana Objektif.
Pada hakikatnya Hukum Pidana Objektif itu membatasi hak Negara untuk
menghukum. Hukum Pidana Subjektif ini baru ada, setelah ada peraturan-peraturan
dari Hukum Pidana Objektif terlebih dahulu.
Dalam hubungan ini tersimpul kekuasaan untuk dipergunakan oleh Negara,
yang berarti, bahwa tiap orang dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam
menyelesaikan tindak pidana (perbuatan melanggar hukum = delik).
Hukum Pidana Umum ialah Hukum Pidana yang berlaku terhadap setiap
penduduk (berlaku terhadap siapa pun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota
ketentaraan.

3
Hukum Pidana Khusus ialah Hukum Pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang
yang tertentu.

C. Hukum Pidana Memmiliki tempat tersendiri di antara hukum lainnya


Semua hukum pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dalam
pergaulan hidup bermasyarakat, baik dalam lingkungan yang kecil maupun dalam
lingkungan yang lebih besar, agar di dalamnya terdapat suatu epastian hukum dan
ketertiban hukum. Dalam hukum pidana menunjukkan suatu perbedaan dari hukum
yang lain pada umumnya yaitu bahwa di dalamnya orang mengenal adanya suatu
kesengajaan untuk memberikan suatu akibat hukum berupa suatu penderitaan yang
bersifat khusus dalam bentuk suatu hukuman kepada mereka yang telah melakukan
suatu pelanggaran terhadap keharusan-keharusan atau larangan-larangan yang telah
ditentukan di dalamnya. Adanya suatu penderitaan khusus dalam bentuk pidana itu
sudah pasti tidak dapat dihindarkan di dalam bagian-bagian yang lain dari hukum
pada umumnya, yaitu apabila orang menginginkan agar norma-norma yang terdapat
di dalamnya benar-benar akan ditaati oleh orang. Dengan demikian, hukum pidana
mendapatkan tempat tersendiri diantara hukum-hukum yang lain, yang menurut
pendapat para sarjana, hendaknya hukum pidana tersebut hendaknya dipandang
sebagai suatu ultimum remedium atau sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki
kelakuan manusia, setelah upaya-upaya lain yang ditempuh seperti melalui sanksi
administratif atau sanksi perdata belum mencakupi tujuan masyarakat yang dicita-
citakan dan penerpannya haruslah disertai dengan pembatasan-pembatasan yang
seketat mungkin.
Ultimum remedium haruslah diartikan sebagai alat bukan sebagai alat untuk
memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian akan tetapi sebagai alat
untuk memulihkan keadaan yang tidak tentram di dalam masyarakat, apabila terjadi
ketidakadilan tersebut tidak dilakukan sesuatu, maka hal tersebut dapat menyebabkan
orang main hakim sendiri.

D. Tujuan dan fungsi hukum pidana


Tujuan Hukum Pidana
 Untuk melindungi suatu kepentingan orang atau perseorangan (hak asasi
manusia) untuk melindungi kepentingan suatu masyarakat dan negara dengan

4
suatu perimbangan yang serasi dari suatu tindakan yang tercela/kejahatan di
satu pihak dari tindak-tindakan perbuatan yang melanggar yang merugiakan
dilain pihak.
 Untuk membuat orang yang ingin melakukan kejahatan atau perbuatan yang
tidak baik akan menjadi takut untuk melakukan perbuatan tersebut.
 Untuk mendidik seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar agar
tidak melakukan lagi, dan agar diterima kembali dilingkungan masyarakat.
 Mencegah akan terjadinya gejala-gejala sosial yang tidak sehat atau yang
melakukan perbuatan yang dilanggar, dan hukuman untuk orang yang sudah
terlanjur berbuat tidak baik.
Fungsi Hukum Pidana
1. Secara umum
Fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi hukum pidana sama saja dengan
fungsi hukum-hukum lain pada umumnya karena untuk mengatur hidup dalam
kemasyarakatan atau menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat.
2. Secara khusus
Fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu kepentingan hukum
terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar dengan suatu sanksi atau hukuman
yang berupa pidana yang telah ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan
yang sifatnya lebih tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk memberikan
aturan-aturan untuk melindungi yang pihak yang telah dirugikan

E. Sistematika Hukum Pidana


KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah kitab undang-undang
hukum yang berlaku sebagai dasar hukum di Indonesia. KUHP merupakan bagian
hukum politik yang berlaku di Indonesia, dan terbagi menjadi dua bagian: hukum
pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan dengan hukum
pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana dan pidana
(sanksi). Sedangkan, hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tentang
pelaksanaan hukum pidana materil.
Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain :
1.Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
2.Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).

5
3.Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).

Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang
dibuat setelah kemerdekaan antara lain :
1.UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.
2.UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
3.UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme. Dll

Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan
Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perindungan
Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya

F. Ruang Lingkup Hukum Pidana


Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan
dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum pidana
menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal
seseorang melakukan perbuatan (feit)pidana sedangkan perbuatan tersebut belum
diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak
dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana.
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali)Terdapat
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan
yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih
dahulu. Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat
(1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang
Dasar 1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu

6
masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas
konstitusional.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam
teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
 Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
 Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
 Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-
undang pidana yang terlebih dulu ada)
Adagium ini menganjurkan supaya :
1) Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan
bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas,
tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan;
2) Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang
dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan
kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan;
3) Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak
berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang,
maka dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

2.2 Asas – Asas Hukum Pidana


A. Asas Teritorial
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu
dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak
pidana di Indonesia”.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan
: “Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia”. Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang
terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau

7
berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara,
sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.

B. Asas Personal (Nasionaliteit aktif)


yakni apabila warganegara Indonesia melakukan ke-jahatan meskipun terjadi di
luar Indonesia, pelakunya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, apabila pelaku
kejahatan yang hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia—-sedangkan
perbuatan pidana yang dilakukan warganegara Indonesia di negara asing yang telah
menghapus hukuman mati, maka hukuman mati tidak dapat dikenakan pada pelaku
kejahatan itu, hal ini diatur dalam pasal 6 KUHP.

C. Asas Perlindungan (Nasional Pasif)


Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara
yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan
nasionalnya. Ciri utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada
warga negara saja, selain itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-
tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan nasional indonesia yang
karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional tersebut ialah:
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada
waktu perang, keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan

Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara
yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan
nasionalnya. Ciri utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada
warga negara saja, selain itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-
tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan nasional indonesia yang
karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional tersebut ialah:

8
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada
waktu perang, keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan;

D. Asas Universal
Asas universal adalah asas yang menyatakan setiap orang yang melakukan
perbuatan pidanan dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar
wilayah Negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Asa ini melihat
hukum pidanan berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan orang, yang
dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang dicantumkan pidanan
menurut asas ini sangat berbahaya tidak hanya dilihat dari kepentingan Indonesia
tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal kejahatan ini perlu dicegah dan
diberantas.

E. Asas Legalitas
Secara Hukum Asas legaliatas terdapat di pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu
perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”
Dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi
poenali”, yang dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada
delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga
dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan
dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.
Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

9
F. Asas transitoir
Adalah asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal
terjadi atau ada perubahan undang-undang.

G. Asas Retroaktif
Asas retroaktif ialah suatu asas hukum dapat diberlakukan surut. Artinya hukum
yang baru dibuat dapat diberlakukan untuk perbuatan pidana yang terjadi pada masa
lalu sepanjang hukum tersebut mengatur perbuatan tersebut, misalnya pada
pelanggaran HAM berat.

2.3 Tindak Pidana


A. Pengertian Tindak Pidana
Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana (strafbaar feit).adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan
tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
 Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam pidana.
 Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian
yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
 Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena
antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat
pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang,
dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang
ditimbulkan olehnya”.

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan


(die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den
person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act)
dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Pandangan ini disebut

10
pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak
membedakan keduanya.

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan
dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa
unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan
jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana
menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman
pidana kalau dilanggar.
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :
 Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan).
 Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
 Melawan hukum (onrechtmatig)
 Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
 Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak
pidana (strafbaar feit).
Unsur Obyektif :
 Perbuatan orang
 Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
 Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam
pasal 281 KUHP sifat
 “openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur Subyektif :
 Orang yang mampu bertanggung jawab
 Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan.
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan
keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

11
Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :
 Perbuatan (manusia)
 Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
 Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :
1) Kelakuan dan akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai
negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana
korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal
11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang
menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak
mungkin diterapka pasal tersebut.
b. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang
penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan
kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka
umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini Unsur keadaan ini dapat berupa
keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun
permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi
dalam praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian
perkara pidana. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin
(pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap
rumusan undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna
karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan sehingga
memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.

C. Pertanggung Jawaban Pidana


Pertanggung jawaban pidana menurut hukum pidana positif yakni dapat
dipertanggung jawabkannya dari si pembuat, adanya perbuatan melawan hukum,

12
tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban
pidana bagi si pembuat.
Dengan mengutip pendapat Alf Ross, Roeslan Saleh memberikan jawaban
bahwa bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan
secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.18 Pidana itu dapat dikenakan
secara sah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum
tertentu, dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan itu. Singkatnya, dapat
dikatakan bahwa tindakan (hukuman) itu dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Hal
itulah yang mendasari konsepsi liability menurut Roeslan Saleh. Perlu juga dicatat
keterangan-keterangan Alf Ross yang dikutip Roeslan Saleh lebih jauh menegaskan
tentang pertanggungjawaban itu dinyatakan adanya hubungan antara kenyataan-
kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang disyaratkan.
Hubungan antara keduanya itu tidak bersifat kodrati atau tidak bersifat kausal,
melainkan menurut hukum. Jadi, pertanggungjawaban itu adalah pernyataan dari
suatu keputusan hukum. Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam
Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut :
Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada
tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk
dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Di dalam penjelasannya
dikemukakan:19 Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala
terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak
pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya
celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai
tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang
memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Dasar
adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya
pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak
pidana-tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam
melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan
merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang

13
mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari
segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.

2.4 Jenis Hukuman


Jenis hukuman pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP. Jenis hukuman
pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan, dimana pidana
tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan.

Jenis jenis hukuman pidana tersebut adalah:


Hukuman-hukuman pokok, yaitu :
 Hukuman mati
 Hukuman penjara
 Hukuman kurungan
 Hukuman denda
 Hukuman tutupan
Hukuman-hukuman tambahan, yaitu :
 Pencabutan beberapa hak-hak tertentu
 Perampasan barang-barang tertentu
 Pengumuman keputusan hakim
Penjelasan :
Hukuman-hukuman pokok
A. Hukuman mati
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan oleh
pengadilan ataupun tanpa pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Hukuman ini adalah puncaknya dari
segala hukuman.
Dalam abad abad terakhir sering terjadi pro-kontra mengenai hukuman mati ini.
Salah satunya karena sifatnya yang mutlak yang tidak memungkinkan mengadakan
perbaikan atau perubahan. Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekeliruan,
meskipun di dalam suatu perkara terlihat pemeriksaan dan bukti-bukti menunjuk
kepada kesalahan terdakwa akan tetapi kebenaran itu hanya pada Tuhan.
Maka tidak mustahil seorang hakim dengan segala kejujurannya melakukan
suatu kekeliruan di dalam pandangan dan pendapatnya. Apabila hukuman itu telah

14
dijalankan kemudian terdapat kekeliruan, tak ada seorangpun yang dapat
mengembalikan keadaan.
Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek
hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman mati tidak lebih baik dari
pada hukuman penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana
pembunuhan. Hasil studi tersebut secara signifikan mempengaruhi keputusan
beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati.
Banyak negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk diterapkan di
KUHP-nya seperti: Belanda, Jerman, Italia, Portugal, dan lain-lain. Sedangkan
negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Pakistan, dan lain-lain masih
mencatumkan pidana mati di KUHP-nya. Bahkan di Indonesia semakin banyak delik
yang diancam dengan pidana mati, diantaranya :
 Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden)
 Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing berperang)
 Pasal 124 ayat (3) KUHP (menyerahkan kekuasaan, menganjurkan huru-hara)
 Pasal 140 ayat (3)KUHP (makar pada negara sahabat)
 Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)
 Pasal 365 ayat (4)KUHP (curat curas dengan kematian)
 Pasal 444 KUHP (pembajakan laut,dengan akibat kematian)
 Pasal 479 K ayat (2) dan pasal 479 O ayat (2) KUHP (kekerasan dalam pesawat
dengan akibat kematian)
Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), di Indonesia juga dilindungi dengan
peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang
yang mengatur mengenai HAM, yaitu undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kehidupan,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”.
Demikan juga dalam amandemen kedua konstitusi UUD 1945, pasal 28 ayat 1,
menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

15
keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap
mencantumkan ancaman hukuman mati.
Hal ini dikarenakan hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari
pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di
Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh
saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak
untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka
pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Untuk meringankan penderitaan fisik bagi terpidana mati, maka beberapa
usaha telah dilakukan dalam eksekusi seperti: guillotine (Prancis, 1792), kursi listrik
(Prancis, 1888), kamar gas (1924), dan dengan suntikan.
Pelaksanaan hukuman mati diatur dalam PP No 2 tahun 1964, yaitu:
 Ditembak mati (pasal 1)
 Ditempat penjatuhan hukuman pengadilan tingkat pertama (pasal 2)
 Regu tembak(1 perwira,1 bintara, dan 12 tamtama) (pasal 10/1.2)
 Berdiri, duduk, berlutut (pasal 12)
 Sasaran tembak jantung (pasal 14)

B. Hukuman Penjara.
A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah (2006:284) menegaskan bahwa pidana
penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana
kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga
berupa pengasingan.
PAF Lamintang (1988:69) bentuk pidana penjara adalah suatu pidana berupa
pembatasan kebebbasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan
menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan
orang itu untuk mentaati semua peraturan tatatertib yang berlaku dalam lembaga
pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang
telah melanggar peraturan tersebut.
Hukuman penjara adalah untuk sepanjang hidup atau sementara waktu (pasal 12
KUHP). Lamanya hukuman penjara untuk sementara waktu berkisar antara 1 hari
sedikit-dikitnya dan 15 tahun berturut-turut paling lama. Akan tetapi dalam beberapa

16
hal lamanya hukuman penjara sementara itu dapat ditetapkan sampai 20 tahun
berturut-turut. Yaitu dalam hal kejahatan yang menurut pilihan hakim sendiri boleh
dihukum mati, penjara seumur hidup, dan penjara sementara, hukuman ditambah
karena ada gabungan kejahatan atau karena berulang-ulang membuat kejahatan atau
karena aturan pasal 52. Akan tetapi, bagaimanapun juga hukuman penjara sementara
waktu tidak boleh melebihi 20 tahun. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (4) KUHP.
Pidana penjara disebut juga pidana hilang kemerdekaan. Tidak hanya itu, tapi
narapidana juga kehilangan hak-hak tertentu, diantaranya:
 Hak untuk memilih dan dipilih.
 Hak untuk memangku jabatan politik.
 Hak untuk bekerja di perusahaan.
 Hak untuk mendapatkan perizinan tertentu.
 Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
 Hak untuk kawin, dan lain-lain.

C. Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan seperti halnya dengann hukuman penjara, maka dengan
hukuman kurungan pun, terpidana selama menjalani hukumannya, kehilangan
kemerdekaannya. Menurut pasal 18 KUHP, lamanya hukuman kurungan berkisar
antara 1 hari sedikit-dikitnya dan 1 tahun paling lama. Hukuman kurungan ini
mempunyai banyak kesamaan dengan hukuman penjara.
Di dalam beberapa hal, (samenloop, residive, dan pemberatan karena jabatan)
hukuman kurungan itu dapat dikenakan lebih lama, yaitu 1 tahun 4 bulan (pasal 18
ayat (2) KUHP). Hukuman kurungan dianggap lebih ringan dari hukuman penjara
dan hanya diancamkan bagi peristiwa yang ringan sifatnya seperti di dalam kejahatan
yang tidak disengaja dan di dalam hal pelanggaran.
Persamaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:
 Hukuman penjara dan hukuman kurungan merupakan hukuman penahanan
yang termasuk dalam hukuman pokok, sehingga dalam penjatuhannya masih
dapat disertai oleh hukuman-hukuman tambahan pula.
 Sama-sama berinti pada penghilangan kebebasan seseorang selama
hukumannya.

17
 Batas minimum hukuman penjara sama dengan batas minimum hukuman
kurungan, yaitu 1 (satu) hari.
Perbedaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:
Perbedaan yang penting antara pidana penjara dan pidana kurungandisebutkan
di dalam penjelasan pasal 18 KUHP oleh Sugandhi (1981), sebagai berikut :
 Hukuman penjara dapat dijalankan didalam penjara di mana saja, sedangkan
hukuman kurungan dilaksanakan di daerah tempat terhukum bertempat
tinggal pada waktu hukuman dijatuhkan.
 Pekerjaan yang diberikan kepada terpidana kurungan lebih ringan daripada
pekerjaan yang harus dijalankan oleh terpidana penjara.
 Terpidana kurungan mempunyai hak Pistole. Hak Pistole adalah suatu hak
terpidana untuk memperbaiki kehidupannya didalam lembaga dengan biaya
sendiri.
Ruba`i (1997), menambahkan perbedaan pidana kurungan dan pidana penjara
sebagai berikut :
 Maksimum umum pidana kurungan adalah satu tahun. Jika dibandingkan
dengan maksimum umum pidana penjara yang lamanya sampai lima belas
tahun, maka maksimum umum pidana kurungan jauh lebih ringan.
Maksimum umum satu tahun ini dapat ditambah menjadi satu tahun empat
bulan apabila terjadi perbarengan, pengulangan atau tindak pidana yang
dilakukan berkaitan dengan jabatan.
 Menurut pasal 62 ayat (1) Reglemen penjara, terpidana kurungan hanya
diwajibkan bekerja 8 jam sehari, sedangkan terpidana penjara diwajibkan
bekerja 9 jam sehari.

D. Hukuman Denda
Beberapa pelanggaran hukuman dianggap kurang cukup dengan ancaman
hukuman denda. Walaupun sifatnya hukuman ini ditujukan pada orang yang
bersalah, akan tetapi berlainan dengan hukuman-hukuman lainnya, yang tidak dapat
dijalankan dan diderita orang yang dikenai hukuman. Maka di dalam hal hukuman
denda tidak dapat dihilangkan kemungkinan, bahwa hukuman itu dibayar oleh pihak
ketiga.

18
Berbeda dengan hukuman-hukuman lain, maka di dalam hukuman denda,
hukuman itu dapat dirubah menjadi kurungan sebagai pengganti. Yang dikenakan
hukuman dapat memilih, membayar denda atau kurungan sebagai gantinya. Dalam
undang-undang tidak ditentukan maksimum umum besarnya denda yang harus
dibayar. Yang ada ialah minimum umum yang semula 25 sen, kemudian diubah
dengan undang-undang no.18 (perpu) tahun 1960 (LN 1960 no. 52) menjadi lima
belas (15) kali lipat.
Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi kasus
dengan putusan hakim, minimum umum 1 hari dan maksimum 6 bulan (pasal 30 ayat
(3) KUHP). Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi 8 bulan dalam hal gabungan
(concursus) resedive, dan delik jabatan menurut pasal 52 dan 52 bis (pasal 30 ayat
(5) KUHP).
Kurungan itu dapat saja dihentikan segera, setelah si terhukum membayar
dendanya. Jangka waktu untuk membayar denda ditentukan oleh jaksa yang
mengeksekusinya, dimulai dengan waktu 2 bulan dan diperpanjang menjadi 1 tahun.

E. Hukuman Tutupan
Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada
pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah
pidana denda. Tentulah pencatuman ini didasarkan kepada undang-undang no. 20
tentang pidana tutupan.
Di dalam pasal 2 undang-undang 1946 no. 20 itu ditetapkan bahwa di dalam
mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara,
karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim boleh menjatuhkan
hukuman tutupan. Dari pasal 1 undang-undang tersebut, ternyata hukuman tutupan
itu dimaksudkan untuk menggantikan hukuman penjara.
Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang
disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini,
tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.

F. Hukuman Hukuman Tambahan


Melihat namanya saja, sudah nyata bahwa pidana tambahan ini hanya bersifat
menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Jadi, tidaklah dapat berdiri sendiri, kecuali

19
dalam hal-hal tertentu, dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan
ini bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.

G. Pencabutan Hak-Hak Tertentu.


Pencabutan segala hak yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga
disebut “burgerlijke dood”, tidak diperkenankan oleh undang-undang sementara
(pasal 15 ayat 2).
Hak-hak yang dapat dicabut oleh keputusan, dimuat dalam pasal 35 KUHP,
yaitu:
 Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
 Hak memasuki angkatan bersenjata.
 Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diakan berdasarkan aturan-
aturan umum.
 Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum
(gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu
atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri.
 Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan
atas anak sendiri.
 Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.
Untuk berapa lamanya hakim dapat menetapkan berlakunya pencabutan hak-
hak tersebut, hal ini dijelaskan dalam pasal 38 KUHP, yaitu:
 Dalam hal pidana atau mati, lamanya pencabutan seumur hidup.
 Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya
pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 5 tahun lebih lama dari
pidana pokoknya.
 Dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan palin banyak
5 tahun.

H. Perampasan Barang-Barang Tertentu.


Perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana
benda. Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-barang yang dapat dirampas,
yaitu:
 Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan.

20
 Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
Jika barang itu tidak diserahkan atau harganya tidak dibayar, maka harus diganti
dengan kurungan. Lamanya kurungan ini 1 hari paling sedikit dan 6 bulan paling
lama. Jika barang itu dipunyai bersama, dalam keadaan ini, perampasan tidak dapat
dilakukan karena sebagian barang kepunyaan orang lain akan terampas pula.

I. Pengumuman Putusan Hakim.


Di dalam pasal 43 KUHP, ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan
supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan yang
lain. Maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya
terpidana.
Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim hanya dapat dijatuhkan
dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Terhadap orang-orang yang
melakukan peristiwa pidana sebelum berusia 16 tahun, hukuman pengumuman tidak
boleh dikenakan.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum Pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma yang baru,
melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum.
Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana memuat peraturan-peraturan
tentang bagaimana memelihara atau mempertahankan Hukum Pidana Materiil, dan
karena memuat cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan
pidana, maka hukum ini dinamakan juga Hukum Acara Pidana.
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari hukum public
merupakan salah satu isntrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya dalam
menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas
Negara dan bahkan merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitas para
pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana
yang ada di setiap masanya.

22
DAFTAR PUSTAKA

www.academia.com/MakalahHukumPidana

www.Hukumonline.com/HukumPidanaIndonesia

www.id.scribd.com/hukumyangmenjarattindakan

Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Frans Maramis, SH. MH, Rajawali
Ekspres

23

Anda mungkin juga menyukai