HUKUM PIDANA
Disusun Oleh :
BUSTAMI
Dosen Pembimbing :
ZULFIKAR ADNAN WIJAYA, M.H
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Pidana Objektif (Ius Punale) ialah semua peraturan yang mengandung
keharusan atau larangan, terhadap pelanggaran mana yang diancam dengan hukuman
yang bersifat siksaan.
Hukum Pidana Objektif dibagi dalam Hukum Pidana Materil dan Hukum
Pidana Formil:
Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan yang menegaskan:
(1) Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
(2) Siapa yang dapat dihukum.
(3) Dengan hukuman apa menghukum seseorang.
2
Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran
serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum. Jadi Hukuman Pidana Materiil
mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila
seseorang dapat dihukum.
Hukum Pidana Materiil membedakan adanya:
a) Hukum Pidana Umum.
b) Hukum Pidana Khusus, misalnya Hukum Pidana Pajak (seorang yang tidak
membayar pajak kendaraan bermotor, hukumannya tidak terdapat dalam
Hukum Pidana Umum, akan tetapi diatur tersendiri dalam Undang-undang
(Pidana Pajak).
3
Hukum Pidana Khusus ialah Hukum Pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang
yang tertentu.
4
suatu perimbangan yang serasi dari suatu tindakan yang tercela/kejahatan di
satu pihak dari tindak-tindakan perbuatan yang melanggar yang merugiakan
dilain pihak.
Untuk membuat orang yang ingin melakukan kejahatan atau perbuatan yang
tidak baik akan menjadi takut untuk melakukan perbuatan tersebut.
Untuk mendidik seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar agar
tidak melakukan lagi, dan agar diterima kembali dilingkungan masyarakat.
Mencegah akan terjadinya gejala-gejala sosial yang tidak sehat atau yang
melakukan perbuatan yang dilanggar, dan hukuman untuk orang yang sudah
terlanjur berbuat tidak baik.
Fungsi Hukum Pidana
1. Secara umum
Fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi hukum pidana sama saja dengan
fungsi hukum-hukum lain pada umumnya karena untuk mengatur hidup dalam
kemasyarakatan atau menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat.
2. Secara khusus
Fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu kepentingan hukum
terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar dengan suatu sanksi atau hukuman
yang berupa pidana yang telah ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan
yang sifatnya lebih tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk memberikan
aturan-aturan untuk melindungi yang pihak yang telah dirugikan
5
3.Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang
dibuat setelah kemerdekaan antara lain :
1.UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.
2.UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
3.UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme. Dll
6
masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas
konstitusional.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam
teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-
undang pidana yang terlebih dulu ada)
Adagium ini menganjurkan supaya :
1) Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan
bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas,
tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan;
2) Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang
dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan
kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan;
3) Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak
berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang,
maka dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
7
berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara,
sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara
yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan
nasionalnya. Ciri utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada
warga negara saja, selain itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-
tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan nasional indonesia yang
karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional tersebut ialah:
8
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada
waktu perang, keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan;
D. Asas Universal
Asas universal adalah asas yang menyatakan setiap orang yang melakukan
perbuatan pidanan dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar
wilayah Negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Asa ini melihat
hukum pidanan berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan orang, yang
dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang dicantumkan pidanan
menurut asas ini sangat berbahaya tidak hanya dilihat dari kepentingan Indonesia
tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal kejahatan ini perlu dicegah dan
diberantas.
E. Asas Legalitas
Secara Hukum Asas legaliatas terdapat di pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu
perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”
Dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi
poenali”, yang dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada
delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga
dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan
dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.
Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
9
F. Asas transitoir
Adalah asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal
terjadi atau ada perubahan undang-undang.
G. Asas Retroaktif
Asas retroaktif ialah suatu asas hukum dapat diberlakukan surut. Artinya hukum
yang baru dibuat dapat diberlakukan untuk perbuatan pidana yang terjadi pada masa
lalu sepanjang hukum tersebut mengatur perbuatan tersebut, misalnya pada
pelanggaran HAM berat.
10
pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak
membedakan keduanya.
11
Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :
Perbuatan (manusia)
Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :
1) Kelakuan dan akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai
negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana
korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal
11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang
menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak
mungkin diterapka pasal tersebut.
b. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang
penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan
kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka
umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini Unsur keadaan ini dapat berupa
keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun
permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi
dalam praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian
perkara pidana. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin
(pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap
rumusan undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna
karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan sehingga
memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.
12
tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban
pidana bagi si pembuat.
Dengan mengutip pendapat Alf Ross, Roeslan Saleh memberikan jawaban
bahwa bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan
secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.18 Pidana itu dapat dikenakan
secara sah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum
tertentu, dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan itu. Singkatnya, dapat
dikatakan bahwa tindakan (hukuman) itu dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Hal
itulah yang mendasari konsepsi liability menurut Roeslan Saleh. Perlu juga dicatat
keterangan-keterangan Alf Ross yang dikutip Roeslan Saleh lebih jauh menegaskan
tentang pertanggungjawaban itu dinyatakan adanya hubungan antara kenyataan-
kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang disyaratkan.
Hubungan antara keduanya itu tidak bersifat kodrati atau tidak bersifat kausal,
melainkan menurut hukum. Jadi, pertanggungjawaban itu adalah pernyataan dari
suatu keputusan hukum. Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam
Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut :
Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada
tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk
dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Di dalam penjelasannya
dikemukakan:19 Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala
terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak
pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya
celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai
tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang
memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Dasar
adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya
pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak
pidana-tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam
melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan
merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang
13
mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari
segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.
14
dijalankan kemudian terdapat kekeliruan, tak ada seorangpun yang dapat
mengembalikan keadaan.
Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek
hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman mati tidak lebih baik dari
pada hukuman penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana
pembunuhan. Hasil studi tersebut secara signifikan mempengaruhi keputusan
beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati.
Banyak negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk diterapkan di
KUHP-nya seperti: Belanda, Jerman, Italia, Portugal, dan lain-lain. Sedangkan
negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Pakistan, dan lain-lain masih
mencatumkan pidana mati di KUHP-nya. Bahkan di Indonesia semakin banyak delik
yang diancam dengan pidana mati, diantaranya :
Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden)
Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing berperang)
Pasal 124 ayat (3) KUHP (menyerahkan kekuasaan, menganjurkan huru-hara)
Pasal 140 ayat (3)KUHP (makar pada negara sahabat)
Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)
Pasal 365 ayat (4)KUHP (curat curas dengan kematian)
Pasal 444 KUHP (pembajakan laut,dengan akibat kematian)
Pasal 479 K ayat (2) dan pasal 479 O ayat (2) KUHP (kekerasan dalam pesawat
dengan akibat kematian)
Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), di Indonesia juga dilindungi dengan
peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang
yang mengatur mengenai HAM, yaitu undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kehidupan,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”.
Demikan juga dalam amandemen kedua konstitusi UUD 1945, pasal 28 ayat 1,
menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
15
keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap
mencantumkan ancaman hukuman mati.
Hal ini dikarenakan hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari
pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di
Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh
saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak
untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka
pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Untuk meringankan penderitaan fisik bagi terpidana mati, maka beberapa
usaha telah dilakukan dalam eksekusi seperti: guillotine (Prancis, 1792), kursi listrik
(Prancis, 1888), kamar gas (1924), dan dengan suntikan.
Pelaksanaan hukuman mati diatur dalam PP No 2 tahun 1964, yaitu:
Ditembak mati (pasal 1)
Ditempat penjatuhan hukuman pengadilan tingkat pertama (pasal 2)
Regu tembak(1 perwira,1 bintara, dan 12 tamtama) (pasal 10/1.2)
Berdiri, duduk, berlutut (pasal 12)
Sasaran tembak jantung (pasal 14)
B. Hukuman Penjara.
A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah (2006:284) menegaskan bahwa pidana
penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana
kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga
berupa pengasingan.
PAF Lamintang (1988:69) bentuk pidana penjara adalah suatu pidana berupa
pembatasan kebebbasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan
menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan
orang itu untuk mentaati semua peraturan tatatertib yang berlaku dalam lembaga
pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang
telah melanggar peraturan tersebut.
Hukuman penjara adalah untuk sepanjang hidup atau sementara waktu (pasal 12
KUHP). Lamanya hukuman penjara untuk sementara waktu berkisar antara 1 hari
sedikit-dikitnya dan 15 tahun berturut-turut paling lama. Akan tetapi dalam beberapa
16
hal lamanya hukuman penjara sementara itu dapat ditetapkan sampai 20 tahun
berturut-turut. Yaitu dalam hal kejahatan yang menurut pilihan hakim sendiri boleh
dihukum mati, penjara seumur hidup, dan penjara sementara, hukuman ditambah
karena ada gabungan kejahatan atau karena berulang-ulang membuat kejahatan atau
karena aturan pasal 52. Akan tetapi, bagaimanapun juga hukuman penjara sementara
waktu tidak boleh melebihi 20 tahun. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (4) KUHP.
Pidana penjara disebut juga pidana hilang kemerdekaan. Tidak hanya itu, tapi
narapidana juga kehilangan hak-hak tertentu, diantaranya:
Hak untuk memilih dan dipilih.
Hak untuk memangku jabatan politik.
Hak untuk bekerja di perusahaan.
Hak untuk mendapatkan perizinan tertentu.
Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
Hak untuk kawin, dan lain-lain.
C. Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan seperti halnya dengann hukuman penjara, maka dengan
hukuman kurungan pun, terpidana selama menjalani hukumannya, kehilangan
kemerdekaannya. Menurut pasal 18 KUHP, lamanya hukuman kurungan berkisar
antara 1 hari sedikit-dikitnya dan 1 tahun paling lama. Hukuman kurungan ini
mempunyai banyak kesamaan dengan hukuman penjara.
Di dalam beberapa hal, (samenloop, residive, dan pemberatan karena jabatan)
hukuman kurungan itu dapat dikenakan lebih lama, yaitu 1 tahun 4 bulan (pasal 18
ayat (2) KUHP). Hukuman kurungan dianggap lebih ringan dari hukuman penjara
dan hanya diancamkan bagi peristiwa yang ringan sifatnya seperti di dalam kejahatan
yang tidak disengaja dan di dalam hal pelanggaran.
Persamaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:
Hukuman penjara dan hukuman kurungan merupakan hukuman penahanan
yang termasuk dalam hukuman pokok, sehingga dalam penjatuhannya masih
dapat disertai oleh hukuman-hukuman tambahan pula.
Sama-sama berinti pada penghilangan kebebasan seseorang selama
hukumannya.
17
Batas minimum hukuman penjara sama dengan batas minimum hukuman
kurungan, yaitu 1 (satu) hari.
Perbedaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:
Perbedaan yang penting antara pidana penjara dan pidana kurungandisebutkan
di dalam penjelasan pasal 18 KUHP oleh Sugandhi (1981), sebagai berikut :
Hukuman penjara dapat dijalankan didalam penjara di mana saja, sedangkan
hukuman kurungan dilaksanakan di daerah tempat terhukum bertempat
tinggal pada waktu hukuman dijatuhkan.
Pekerjaan yang diberikan kepada terpidana kurungan lebih ringan daripada
pekerjaan yang harus dijalankan oleh terpidana penjara.
Terpidana kurungan mempunyai hak Pistole. Hak Pistole adalah suatu hak
terpidana untuk memperbaiki kehidupannya didalam lembaga dengan biaya
sendiri.
Ruba`i (1997), menambahkan perbedaan pidana kurungan dan pidana penjara
sebagai berikut :
Maksimum umum pidana kurungan adalah satu tahun. Jika dibandingkan
dengan maksimum umum pidana penjara yang lamanya sampai lima belas
tahun, maka maksimum umum pidana kurungan jauh lebih ringan.
Maksimum umum satu tahun ini dapat ditambah menjadi satu tahun empat
bulan apabila terjadi perbarengan, pengulangan atau tindak pidana yang
dilakukan berkaitan dengan jabatan.
Menurut pasal 62 ayat (1) Reglemen penjara, terpidana kurungan hanya
diwajibkan bekerja 8 jam sehari, sedangkan terpidana penjara diwajibkan
bekerja 9 jam sehari.
D. Hukuman Denda
Beberapa pelanggaran hukuman dianggap kurang cukup dengan ancaman
hukuman denda. Walaupun sifatnya hukuman ini ditujukan pada orang yang
bersalah, akan tetapi berlainan dengan hukuman-hukuman lainnya, yang tidak dapat
dijalankan dan diderita orang yang dikenai hukuman. Maka di dalam hal hukuman
denda tidak dapat dihilangkan kemungkinan, bahwa hukuman itu dibayar oleh pihak
ketiga.
18
Berbeda dengan hukuman-hukuman lain, maka di dalam hukuman denda,
hukuman itu dapat dirubah menjadi kurungan sebagai pengganti. Yang dikenakan
hukuman dapat memilih, membayar denda atau kurungan sebagai gantinya. Dalam
undang-undang tidak ditentukan maksimum umum besarnya denda yang harus
dibayar. Yang ada ialah minimum umum yang semula 25 sen, kemudian diubah
dengan undang-undang no.18 (perpu) tahun 1960 (LN 1960 no. 52) menjadi lima
belas (15) kali lipat.
Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi kasus
dengan putusan hakim, minimum umum 1 hari dan maksimum 6 bulan (pasal 30 ayat
(3) KUHP). Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi 8 bulan dalam hal gabungan
(concursus) resedive, dan delik jabatan menurut pasal 52 dan 52 bis (pasal 30 ayat
(5) KUHP).
Kurungan itu dapat saja dihentikan segera, setelah si terhukum membayar
dendanya. Jangka waktu untuk membayar denda ditentukan oleh jaksa yang
mengeksekusinya, dimulai dengan waktu 2 bulan dan diperpanjang menjadi 1 tahun.
E. Hukuman Tutupan
Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada
pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah
pidana denda. Tentulah pencatuman ini didasarkan kepada undang-undang no. 20
tentang pidana tutupan.
Di dalam pasal 2 undang-undang 1946 no. 20 itu ditetapkan bahwa di dalam
mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara,
karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim boleh menjatuhkan
hukuman tutupan. Dari pasal 1 undang-undang tersebut, ternyata hukuman tutupan
itu dimaksudkan untuk menggantikan hukuman penjara.
Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang
disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini,
tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.
19
dalam hal-hal tertentu, dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan
ini bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
20
Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
Jika barang itu tidak diserahkan atau harganya tidak dibayar, maka harus diganti
dengan kurungan. Lamanya kurungan ini 1 hari paling sedikit dan 6 bulan paling
lama. Jika barang itu dipunyai bersama, dalam keadaan ini, perampasan tidak dapat
dilakukan karena sebagian barang kepunyaan orang lain akan terampas pula.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma yang baru,
melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum.
Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana memuat peraturan-peraturan
tentang bagaimana memelihara atau mempertahankan Hukum Pidana Materiil, dan
karena memuat cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan
pidana, maka hukum ini dinamakan juga Hukum Acara Pidana.
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari hukum public
merupakan salah satu isntrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya dalam
menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas
Negara dan bahkan merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitas para
pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana
yang ada di setiap masanya.
22
DAFTAR PUSTAKA
www.academia.com/MakalahHukumPidana
www.Hukumonline.com/HukumPidanaIndonesia
www.id.scribd.com/hukumyangmenjarattindakan
Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Frans Maramis, SH. MH, Rajawali
Ekspres
23