Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
pertolongan-Nya, saya bisa menyelesaikan makalah Hukum Pidana kami sadari, masih
banyak sekali kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, semoga hal ini tidak
menghalangi saya untuk terus berkarya. Saya berharap di masa yang akan datang, saya dapat
membuat makalah yang lebih baik lagi dan menjadi penulis yang sukses.

Di dalam penyusunan makalah ini, kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman
yang telah membantu & mendukung juga. Semoga dengan dukungannya dapat menambah
kemampuan saya di masa yang akan datang.

Kami berharap makalah ini dapat menjadi inspirasi bagi kami di masa yang akan
datang dan juga memberi manfaat bagi pembaca agar lebih meningkatkan kesadaran untuk
membaca.

Bekasi, 15 November 2018

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................1

DAFTAR ISI........................................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................3

A. Latar Belakang........................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................3

C. Tujuan......................................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................................4

A. Dasar Penghapus Pidana.........................................................................................................4

1. Pengertian Dasar Penghapus Pidana.................................................................................4

2. Dasar Pembenar dan Dasar Pemaaf...................................................................................6

3. Dasar Penghapusan Pidana berdasarkan Kepatutan dalam Masyarakat.......................7

B. Pasal 44 KHUP Ketidakmampuan Bertanggungjawab........................................................7

C. Pasal 48 KUHP Daya Paksa....................................................................................................8

D. Pasal 49 KUHP Pembelaan Terpaksa....................................................................................9

E. Pasal 50 KUHP Melaksanakan Perintah Undang-Undang................................................10

F. Pasal 51 KUHP.......................................................................................................................11

G. Suatu Kesengajaan Dapat Terjadi Karena Salah Paham atau Kekeliruan (Dwaling).....11

H. Sifat Melawan HukumMateriil.............................................................................................12

I. Amnesti, Abolisi dan Grasi...................................................................................................13

BAB III PENUTUP...........................................................................................................................14

A. Kesimpulan............................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................15

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum pidana adalah hukum positif yang menentukan tentang perbuatan
pidana danmenentukan tentang kesalahan bagi si pelanggarnya (substansi hukum
pidana) danmenentukan tentang pelaksanaan substansi hukum pidana (hukum acara
pidana). Tujuan hukum pidana merupakan suatu aturan yang dibuat oleh pejabat
berwenang yang berhubungan dengan ketertiban, ketenangan, keamanan,
perlindungan kepentingan tertentu, menghindari tindakan main hakim sendiri dari
pihak penduduk atau masyarakat secara perseorangan, serta setiap saat harus
ditagakkan kebenarannya agar terciptanya kehidupan yang sejahtera bernegara.
Hukum pidana berlaku pada masarakat dan badan-badan negara lain karena tidak ada
yang kebal terhadap hukum yang berlaku (hukum positif) Hukum pidana mempunyai
ketentuan-ketentuan terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat,
tindakan mana yang dapat dipidana dan mana yang tidak dapat dipidana,dan mana
yang tindakan mendapat suatu penghapus, peringan dan pemberat pidana. Hal ini
disebut dengan Dasar Penghapus,Peringan dan pemberat pidana.
Pembentuk undang-undang telah menetapkan sejumlah alasan penghapus
pidana umum dalam Buku I Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP
sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang makna dari alasan penghapus
pidana itu. Di dalam KUHP, pada buku kesatu bab III terdapat beberapa pasal yang
mengatur tentang hal-hal yang menghapuskan pemidanaan terhadap seorang
terdakwa.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana penjelasan lebih detailnya dalam Dasar Penghapusan Pidana?

C. Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memunih nilai tugas Hukum acara Pidana dan dapat lebih
memahami tentang apa itu Dasar Penghapusan Pidana.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Penghapus Pidana


1. Pengertian Dasar Penghapus Pidana
Pada dasarnya, apa yang diatur dalam aturan perundang-undangan
adalah hal-hal yang umum sifatnya. Utrech menyatakan, bahwa sifat umum
tersebut membuka kemungkinan peluang akan kemungkinan dijatuhkannya
pidana yang tidak adil. Dengan kata lain, kemungkinan bahwa dijatuhkannya
hukuman kepada seseorang yang tidak bersalah.1 Para pembentuk undang-
undang melihat bahwa perlunya suatu pengaturan tentang kondisi-kondisi atau
keadaan-keadaan tertentu untuk meniadakan pemidanaan bagi seseorang.
Kondisi-kondisi atau keadaan keadaan tertentu ini merupakan suatu kondisi
atau keadaan yang berkaitan dengan perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak
pidana ataupun kesalahan yang melekat pada diri seorang pelaku tindak
pidana.2
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan
kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah
memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-
undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam
hal ini, menempatkan wewenang dalam dirinya (dalam mengadili perkara
yang konkret) sebagai pelaku penentu apakah telah terdapat keadaan khusus
dalam diri pelaku, seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.3
Di dalam KUHP meskipun mengatur tentang alasan penghapus pidana,
akan tetapi KUHP tidak memberikan pengertian yang jelas tentang makna
alasan penghapus pidana tersebut. Menurut doktrin alasan penghapus pidana
dapat dibagi dua yaitu alasan penghapus pidana yang merupakan alasan
1
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2010, Hlm 45.
2
Ibid
3
M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, Op. Cit., Hlm. 27

4
pemaaf, dan yang kedua alasan penghapus pidana yang merupakan alasan
pembenar.4
Khusus mengenai dasar penghapus pidana, KUHP merumuskan
beberapa keadaan yang dapat menjadi dasar penghapus pidana, sebagai berikut
:
1. Pasal 44 KUHP tentang Ketidakmampuan Bertanggungjawab.
2. Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa dan Keadaan Terpaksa.
3. Pasal 49 KUHP tentang Bela Paksa.
4. Pasal 50 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Undang-undang.
5. Pasal 51 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Atasan.

Secara umum, doktrin telah membedakan sumber dasar penghapus pidana


tersebut dalam dua bagian, yaitu sebagai berikut :5

a. Dasar penghapus pidana yang sifatnya umum


(straftuitsluitungsgronden yang umum).
b. Dasar penghapus pidana yang sifatnya khusus
(straftuitsluitungsgronden yang khusus).

Utrech menyatakan, pembedaan ini didasarkan alasan yang berbeda


antara dasar penghapus pidana yang umum dan khusus. Dasar penghapus
pidana yang umum ini didasarkan ketiadaan sifat melawan hukum dari
perbuatan (wederrechtelijkheid) atau ketiadaan kesalahan dalam pengertian
yang luas (schuld). Sementara, dasar penghapus pidana yang khusus adalah
pada kepentingan umum yang tidak diuntungkan dengan adanya penuntut
pidana.6

4
Ibid Hlm.29
5
Ibid
6
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana, Op.Cit,
Hlm. 47

5
2. Dasar Pembenar dan Dasar Pemaaf
Menurut doktrin hukum pidana, penyebab tidak dipidananya si
pembuat tersebut dibedakan dan dikelompokan menjadi dua dasar yaitu
pertama alasan pemaaf (schuiduitsluitingsgronden), yang bersifat subjektif dan
melekat pada diri orangnya, khususnya mengenal sikap batin sebelum atau
pada saat akan berbuat, dan kedua dasar pembenar
(rechtsvaardingingsgronden), yang bersifat objektif dan melekat pada
perbuatannya atau hal-hal lain diluar batin si pembuat.7
Pada umumnya, pakar hukum memasukkan kedalam dasar pemaaf yaitu
sebagai berikut :8
a. Ketidakmampuan bertanggung jawab
b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas
c. Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik.

Sementara itu, yang selebihnya masuk ke dalam dasar pembenar yaitu


sebagai berikut :9

a. Adanya daya paksa


b. Adanya pembelaan terpaksa
c. Sebab menjalankan perintah undang-undang
d. Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah

Tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf walaupun


perbuatannya terbukti melanggar undang-undang, yang artinya perbuatannya
itu tetap bersifat melawan hukum, namun karena hilang atau hapusnya
kesalahan pada diri si pembuat, perbuatannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya. Contohnya orang gila memukul orang lain
sampai luka berat, dia dimaafkan atas perbuatannya itu. Berlainan dengan
alasan pembenar, tidak dipidananya si pembuat, karena perbuatan tersebut
kehilangan sifat melawan hukumnya perbutan. Walaupun dalam kenyataannya
perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tidak pidana, tetapi karena

7
Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan
Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2009, Hlm. 18.
8
Ibid
9
Ibid

6
hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, si pembuat tidak dapat
dipidana.

3. Dasar Penghapusan Pidana berdasarkan Kepatutan dalam Masyarakat


Berdasarkan kepatutan didalam masyarakat, hukum pidana menginsyafi
beberapa kondisi yang pada dasarnya dapat dikonstruksikan sebagai tindak
pidana, akan tetapi dalam kondisi tertentu dianggap sebagai hal yang dapat
diterima oleh masyarakat, sehingga pelakuknya tidak dipidana. Kondisi itu
diantaranya:10
a. Hak mendidik orang tua (tuchrecht), wali atau guru.
b. Hak jabatan dokter, dokter hewan, juru obat dan bidang
c. Dalam beberapa peristiwa izin orang tua yang dirugikan

B. Pasal 44 KHUP Ketidakmampuan Bertanggungjawab


Yang pada dasar hukumnya sebagai beikut :11
1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana.
2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya
karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka
hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit
jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Pasal 44 KUHP merupakan gambaran yang jelas atas suatu kondisi, di mana
seorang pelaku tindak pidana tidak dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatan
yang dilakukannya itu. Simons menggambarkan suatu konsep, bahwa setiap
tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan, karena adanya kesalahan (schuld
dalam arti luas) yang melekat pada diri seseorang. Simons pun menyatakan, bahwa
maksud kesalahan dalam arti luas ini tidak bisa otomatis disamakan dengan opzet
atau culpa. Kesalahan sebagai dasar dari seorang pelaku yang memungkinkan pelaku

10
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan Pidana, PPT
11
Pasal 44 KUHP

7
tersebut dapat menilai akan maksud dari tindakannya, sehingga bila yang
dilakukannya merupakan tindak pidana, maka hal ini dapat dipersalahkan
kepadanya.12

Pada Pasal 44 ayat (1) KUHP yang dimaksud dengan tidak dapat
dipertanggungjawabkan adalah sebagai berikut :

a. Adanya pertumbuhan yang tidak sempurna dari akalnya.


b. Adanya kondisi kecacatan jiwa karena penyakit.

Menurut Van Hamel, yang dimaksut pertumbuhan yang tidak sempurna dari
kemampuan jiwa yaitu dengan mengatakan bahwa orang yang kemampuan jiwanya
tidak tumbuh secara sempurna, seperti adanya gangguan secara psikis, idiot atau
imbecile, siamping itu van Hamel juga Pompe berpendapat bahwa kecacatan2
tertentu yang berdampak pada pertumbuhan tidak sempurna dari kemampuan
berfikir seperti orang2 yang buta sejak lahir atau orang2 tuli sejak lahir termasuk
didalamnya.13

C. Pasal 48 KUHP Daya Paksa


Daya paksa atau dikenal dengan istilah overmecht diatur dalam Pasal 48
KUHP yang menyatakan bahwa “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh
daya paksa, tidak dipidana.” Menurut memorie van toelichting (MvT) penyebab yang
datang dari luar dan membuat suatu perbuatan itu menjadi tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelakunya.14
Menurut Jonkers overmacht itu berwajah tiga rupa yaitu sebagai berikut :15
a. Overmacht yang bersifat mutlak, dalam hal ini orang yang terpaksa tidak
mungkin dapat berbuat lain. Ia tidak mungkin memilih jalan lain.
b. Overmacht dalam arti sempit yang bersifat nisbi berat lawan, dalam hal ini
orang yang terpaksa masih ada kesempatan untuk memilih berbuat lain, akan
tetapi menurut perhitungan yang layak tidak mungkin dapat dielakan.

12
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana, Op.Cit,
Hlm. 56.
13
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan Pidana, PPT
14
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hlm. 70.
15
Ibid

8
c. Overmacht dalam arti Noodtoestand atau keadaan darurat, keadaan darurat ada
bila kepentingan hukum seseorang berada dalam keadaan bahaya, maka untuk
mengelakkan bahaya itu, terpaksa melanggar kepentingan hukum orang lain.

D. Pasal 49 KUHP Pembelaan Terpaksa


Dalam RUUKUHP bela paksa diatur dalam pasal :16
Pasal 34
Tidak dipidana setiap orang yang terpaksa melakukan tindak pidana kerana
pembelaan terpaksa terhadap serangan seketika atau ancaman serangan segera yg
melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kerhormatan kesusilaan, herta
benda sendiri atau orang lain.
Pasal 44
Tidak dipidana setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampui
batas, yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan
seketika atau ancaman serangan yang segera.

Ada beberapa persyaratan pembelaan terpaksa pasal 49 ayat (1) yaitu:17


1. Ada serangan seketika
2. Serangan tersebut harus melawan hukum
3. Pembelaan merupakan keharusan
4. Cara pembelaan adalah patut

Pengertian serangan dalam pasal a quo adalah serangan nyata yg berlanjut,


baik terhadap badan, martabat atau kesusilaan dan harta benda, sedangkan pengertian
seketika yaitu antara saat melihat adanya serangan dan mengadakan pembelaan harus
tidak ada selang waktu yang lama, begitu terjadi serangan seketika itu ada pembelaan.
pembelaan terpaksa merupakan keharusan, artinya sudah tidak ada jalan lagi untuk
menghindar dari serangan tersebut.

16
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan Pidana, PPT
17
Ibid

9
Pembelaan terpaksa Melampaui Batas dapat terjadi dalam 2 hal :18

1. Orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang


demikian hebat kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatau serangan.
2. Orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami kegoncangan jiwa yg
begitu hebat dg serta merta menggunakan upaya bela diri yg berlebihan atau
tidak menggunakan upaya drastis untuk membela diri.

E. Pasal 50 KUHP Melaksanakan Perintah Undang-Undang


Pada Pasal 50 KUHP dinyatakan bahwa “ barang siapa melakukan perbuatan
untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.” Apa yang
diperintahkan oleh undang-undang atau wewenang yang diberikan oleh undang-
undang untuk melakukan sesuatu hal tidak dapat dianggap seperti suatu peristiwa
pidana. Perbuatan yang dilakukan tidak merupakan peristiwa pidana dan karenanya
tidak ada dasar untuk mengenakan pidana terhadapnya.
Pelaksanaan ketentuan Pasal 50 KUHP mensyaratkan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Adanya peraturan yang merumuskan suatu perintah kepada seorang
berdasarkan kompetensi atau jabatan tertentu.
b. Orang yang melaksanakan perintah adalah orang yang ditunjuk oleh
undangundang berdasarkan kompetensi dan jabatannya. Hal ini harus diartikan
bahwa orang yang melaksanakan perintah undang-undang harus memahami,
bahwa ia hanya dapat melakukan tindakan tersebut karena peraturan
perundangundangan menentukan sebagai kewajiban baginnya untuk
melakukan tindakan seperti itu dan bukan karena orang itu mempunyai hak
untuk berindak demikian.
c. Tindakan yang dilakukan adalah tindakan yang secara jelas dirumuskan dan
berdasarkan perintah undang-undang.19

Pada syarat yang terakhir, tidak setiap ketentuan perundang-undangan


merumuskan dengan jelas tindakan yang diperintahkan untuk dilaksanakan

Ibid
18

Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana, Op.Cit,
19

Hlm. 96.

10
terhadap seseorang yang diberikan kewenangan oleh undang-undang selayaknya
dapat mengukur tindakan diperintahkan oleh undang-undang.20

F. Pasal 51 KUHP Melaksanakan Perintah Atasan


Hal ini sama dengan pembahasan tentang Pasal 50 KUHP mengenai
pelaksanaan perintah undang-undang perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat
yang berwenang, sebenarnya juga merupakan perintah yang ditentukan berdasarkan
aturan perundang-undangan.
Perbedaan antara ketentuan Pasal 50 dan Pasal 51 khususnya ayat (1) 21 adalah,
dalam ketentuan Pasal 51 dipersyaratkan adanya hubungan atasan dan bawahan,
bahwa kewenangan atasan untuk memberikan perintah adalah pada kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang kepadanya. Semantara dalam Pasal 50, yang diberikan
kewenangan oleh undang-undang adalah pelaku fisik yang melaksanakan tindakan
secara langsung. Oleh karena itu, perbuatan untuk melaksanakan perintah yang
diberikan oleh pejabat berwenang tidak dipidana.22
Syarat melakukan perintah jabatan sebagai berikut :
a. Antara yang memerintah dan diperintah berada dalam dimensi hukum publik.
b. Antara yang memerintah dan yang diperintah terdapat hubungan subordinasi
atau hubungan dalam dimensi kepegawaian.
c. Melaksanakan perintah jabatan harus dengan cara yang patut, dan seimbang
sehingga tidak melampui batas kewajaran. 23

G. Suatu Kesengajaan Dapat Terjadi Karena Salah Paham atau Kekeliruan


(Dwaling)
Seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancan dengan
pidana oleh peraturan hokum pidana itu dilakukan dengan sengaja karena kekeliruan.
Mengenai dwaling ada beberapa bentuk, dan biasanya dibarengi dengan masalah
hubungan antara kesengajaan dengan sifat melawan hukum, yaitu ada tidaknya

20
Ibid
21
KUHP Pasal 51 ayat (1)
22
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana, Op.Cit,
Hlm. 100.
23
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan Pidana, PPT

11
penginsyafan atas unsur melawan hukum daripada delik. Apabila menginsyafi atas
sifat melawan hukum itu berdasarkan atas kesalahfahaman (dwaling) mengenai hal-
hal di luar hukum pidana maka di situ tidak ada opzet (feitelijke dwaling), akan tetapi
apabila kesalahfahaman itu berdasarkan atas hukum pidan maka di situlah
kesalahfaman tidak mempunyai arti sama sekali untuk melepaskan diri dari tuntutan
pidana (rechtsdwaling).24

H. Sifat Melawan Hukum Materiil


Sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak/esenssial dari suatu tindak
pidana, namun dalam kenyataannya tidak semua rumusan tindak pidana yang
mencantumkan secara tegas/eksplisit sifat melawan hukum ini sebagai bagian inti dari
rumusan tindak pidana (bestandellen van het delict). Melawan hukum
sebagai bestandellen van het delict terlihat dalam beberapa pasal, yakni Pasal 362,
Pasal 368, Pasal 369, Pasal 372, dan Pasal 378. Pasal-pasal lain dalam KUHP banyak
pula yang menjadikan sifat melawan hukum ini sebagai elemen dari tindak pidana
(elementen van het delict) atau tidak secara tegas dinyatakan sebagai unsur dalam
rumusan tindak pidana, namun demikian bukanlah berarti perbuatan yang
dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana tersebut tidak memiliki sifat melawan
hukum. Hal ini dapat pula diartikan secara sederhana bahwa suatu tindak pidana
sebenarnya merupakan salah satu bentuk tindakan melawan hukum yang mendapat
tempat secara khusus dalam suatu undang-undang hukum pidana.25
Dari pengertian sifat melawan hukum dan pembagiannya di atas, maka dapat
dinyatakan bahwa sifat melawan hukum memiliki 4 (empat) makna. Pertama, sifat
melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan
sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakukan manusia yang termasuk
dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela; kedua, kata melawan
hukum dicantumkan dalam rumusan delik, dengan demikian sifat melawan hukum
merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan; ketiga, sifat
melawan hukum formil mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah
terpenuhi; dan keempat, sifat melawan hukum materiil mengandung 2 (dua)
pandangan, pertama dari sudut perbuatannya yang mengandung arti melanggar atau
membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-
24
Dulkadir SH.MH, http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2010/08/pidana.html
25
Juventhy M Siahaan, SH.MH  http://lbhamin.org/perbuatan-melawan-hukum/

12
undang dalam rumusan delik, dan kedua dari sudut sumber hukumnya, dimana sifat
melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan
hukum yang hidup di masyarakat.26

I. Amnesti, Abolisi dan Grasi


Menurut pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, grasi adalah
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.27
Pasal 4 UU No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi menyebutkan
bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap
orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan. Sedangkan untuk pemberian abolisi,
penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan.28

26
Ibid
27
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan Pidana, PPT
28
Ibid

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim.
Peraturan ini menetapkan keadaan apa seorang pelaku yang telah memenuhi
perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana.
Dalam hukum pidana, seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dapat
dipidana bila memenuhi dua hal, yaitu :
1. Perbuatannya bersifat melawan hukum
2. Pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang
didakwakan (adanya kesalahan pelaku) atau perbuatan tersebut dapat
dilecehkan kepada pelakunya dan tidak ada alasan pemaaf.

Di dalam judul ketiga dari buku pertama KUHP, terdapat hal-hal yang
menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana, yaitu :

1. Tidak mampu bertanggungjawab


2. Belum berumur 16 tahun
3. Daya Paksa
4. Pembelaan terpaksa
5. Ketentuan Undang-undang
6. Perintah jabatan
7. Melaksanakan perintah atasan

14
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku
Eva Achjani Zulfa, 2010, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan
Pemberat Pidana, Ghalia Indonesia, Bogor.
M. Hamdan, 2012, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, PT. Refika
Aditama, Bandung.
Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan
Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, PT. Raja
Grafindo, Jakarta, 2009.
Endik Wahyudi SH.MH, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan menjalankan Pidana, PPT.
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta.

Website
Dulkadir SH.MH, http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2010/08/pidana.html
Juventhy M Siahaan, SH.MH, http://lbhamin.org/perbuatan-melawan-hukum/

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang No. 1 Tahun 1964 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)

15

Anda mungkin juga menyukai