Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH HUKUM PIDANA KODIFIKASI

“ANALISIS PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER) SEBAGAI DASAR


PENGHAPUS PIDANA DALAM KASUS PENGANIAYAAN DI
KABUPATEN DONGGALA”
(Studi Putusan Perkara Pidana Nomor 32/Pid.B/2021/PN Dgl)

Disusun untuk memenuhi tugas pendamping Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Hukum Pidana Kodifikasi (K)
Dosen Pengampu: Dr. Rehnalemken Ginting, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Lusyana Ratna Fahradila
NIM E0022269

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai negara hukum sesuai yang tertera dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh
warga negaranya. Sebagaimana yang tercantum di dalam alinea IV pembukaan
UUD 1945, Indonesia sebagai negara memberikan perlindungan kepada warga
negara dalam bentuk perlindungan hukum melalui perundang-undangan. Hal
ini bertujuan untuk menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang adil tanpa
terciptanya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak yang melekat pada diri
setiap individu, seperti hak hidup, hak kebebasan, dan hak dilindungi dari
ancaman.
Meskipun begitu, kehadiran negara tidak selalu ada dalam kehidupan
masyarakat. Maka oleh sebab itu, untuk mewujudkan ketertiban serta menjamin
rasa aman bagi warga negara, negara membuat peraturan perundang-undangan
yang berisi perintah atau larangan bagi tiap-tiap warga negara serta adanya
sanksi pidana apabila tidak menaatinya.
Dalam permasalahan terjadinya sebuah pelanggaran terhadap ketentuan di
dalam hukum pidana, seseorang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana
dan harus bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan olehnya
apabila telah memenuhi unsur delik. Akan tetapi dalam pertanggungjawaban
seseorang yang melakukan tindak pidana, tidak selalu berakhir dipidana sesuai
dengan ketentuan. Hal ini sebagai bentuk manivestasi dari asas
pertanggungjawaban pidana, yaitu tiada pidana tanpa kesalahan.
Pembelaan terpaksa (noodweer) adalah salah satu bentuk alasan tidak dapat
dipidananya seseorang meskipun tindakannya telah memenuhi suatu unsur
delik. Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP yang saat ini berlaku
telah mengatur alasan penghapus pidana sebagai dasar tidak menjatuhkan
pidana kepada terdakwa. Pengaturan tersebut terdapat di dalam Pasal 49 yang
berbunyi:
“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana”.

2
Sementara pembelaan terpaksa sendiri secara rinci dijelaskan di dalam Pasal
49 ayat (1):
“Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta
benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman
serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.”1
B. RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kasus
penganiayaan yang telah diputuskan dalam Putusan Perkara Pidana Nomor
32/Pid.B/2021/PN Dgl. 2
Kasus posisi pada putusan tersebut adalah terdakwa yang bernama Khofifa
alias Fifa sedang berada di rumahnya pada tanggal 4 November 2020. Lalu
Saksi Maghfira datang menggunakan sepeda motor. Terdakwa Khofifa alias
Fifa keluar mendatangi Saksi Maghfira dan terlibat cekcok dengan Saksi
Maghfira dan Saksi Maghfira turun dari motor. Saksi Maghfira menarik daster
terdakwa Khofifa yang sedang hamil 4 bulan dan menyebabkan sobekan pada
dasternya hingga menampakkan area sensitifnya. Setelah itu terdakwa memukul
Saksi Maghfira di bagian pipi kiri dengan menggunakan tangan kanan terkepal
sebanyak 2 (dua) kali, kemudian menendang Saksi Maghfira di bagian perut
kiri sebanyak 1 (satu) kali, kemudian Saksi Maghfira pergi dan ketika berada di
atas motor terdakwa memukul Saksi Maghfira di bagian tangan kanan sebanyak
satu kali. Setelah itu keluarga terdakwa menahan terdakwa untuk melerai
terdakwa dengan Saksi Maghfira.
Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP
tentang Penganiayaan dengan tuntutan pidana penjara 2 (dua) bulan 17 (tujuh
belas) hari. Akan tetapi Putusan Pengadilan menyatakan pelepasan terdakwa
Khofifa dari segala tuntutan dengan beberapa pertimbangan.
Maka dari itu, permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah
mengapa tindakan terdakwa Khofifa tergolong alasan penghapus pidana dan
memenuhi unsur pembelaan terpaksa.

1
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta, n.d.).
2 Pengadilan Negeri Donggala, “Putusan Nomor 32/Pid.B/2021/PN Dgl” (Donggala, 2021).

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PEMBELAAN TERPAKSA
Sebagai suatu dasar pembenaran, pembelaan terpaksa (noodweer) harus
memenuhi beberapa persyaratan, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
serangannya dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pembelaannya itu
sendiri. Menurut Profesor van Hamel, serangan itu harus3:
1. bersifat melanggar hukum mendatangkan suatu bahaya yang mengancam
secara langsung;
2. bersifat berbahaya bagi tubuh, kehormatan atau benda kepunyaan sendiri
atau kepunyaan orang lain.
Sedangkan pembelaan itu yakni: harus bersifat perlu; perbuatan yang
dilakukan untuk melakukan pembelaan itu haruslah dapat dibenarkan.
Faktor-faktor perlunya suatu pembelaan ditentukan oleh beberapa faktor,
yaitu antara lain:
1. ada atau tidak adanya suatu serangan yang bersifat melawan hukum dan
yang bersifat seketika;
2. adanya perasaan harga diri yang mendorong seseorang untuk membela
kepentingan orang lain atau tidak;
3. cara yang dilakukan untuk melakukan sesuatu pembelaan.

B. ANALISIS KASUS
Berdasarkan dasar teori tersebut, analisis kasus penganiayaan yang diadili
di Pengadilan Negeri Donggala dengan terdakwa Khofifa alias Fifa akan
dijabarkan sebagai berikut.
1. Adanya serangan yang sangat dekat waktu atau serangan seketika
Mengenai pengertian “serangan seketika” (ogenblikkelijk aanranding)
diberikan penjelasan oleh Moeljatno sebagai berikut 4: Apakah arti

3 P.A.F. Lamintang and Fransiscus Theojunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di


Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2014).
4
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).

4
“menyerang” kiranya tak perlu dijelaskan. Yang perlu dijelaskan ialah saat
dimulainya serangan dan tentunya juga saat berhentinya serangan.
Tentang saat dimulainya serangan dalam pasal tadi ditentukan harus
“seketika itu”, yaitu antara saat melihatnya ada serangan dan saat
mengadakan pembelaan harus tidak ada jarak waktu yang lama.
Moeljatno menafsirkan “serangan seketika itu” dari sudut jarak waktu
antara serangan dan pembelaan diri. “Serangan seketika itu” berarti antara
saat melihat adanya serangan dengan saat mengadakan pembelaan harus
tidak ada jarak waktu yang lama. Dengan demikian serangan seketika itu
merupakan serangan yang sudah dimulai dan yang belum diakhiri. Jika
serangan belum dimulai atau sudah diakhiri, tidak boleh dilakukan
pembelaan.5
Pada kasus ini, terbukti bila ada serangan yang mengancam terdakwa
Khofifa, yakni Saksi Maghfira lebih dulu secara tiba-tiba menarik daster
Khofifa. Tindakan Saksi Maghfira ini dapat dikatakan sebagai serangan
seketika karena pada posisi tersebut terdakwa Khofifa tidak memprediksi
hal tersebut karena pertikaian di antara keduanya semula hanya adu mulut.
2. Serangan yang melawan hukum
Serangan atau ancaman serangan, yang terhadapnya dapat dilakukan
pembelaan diri, haruslah bersifat melawan hukum (wederrechtelijk). Jika
serangan itu tidak melawan hukum, maka orang yang melakukan pembelaan
diri terhadap serangan itu tidak dapat mengajukan alasan telah melakukan
suatu pembelaan terpaksa dalam arti Pasal 49 ayat (1) KUHP.
Terhadap terdakwa Khofifa, serangan Saksi Mahgfira yaitu menarik
kerah daster terdakwa Khofifa hingga robek dan menampakkan daerah
sensitifnya dapat digolongkan sebagai bentuk penganiayaan. Meskipun di
dalam KUHP maupun undang-undang tidak terdapat definisi yang
menjelaskan secara spesifik, R. Soesilo menerangkan bahwa menurut
yurisprudensi, maka penganiayaan diartikan sengaja menyebabkan
perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Apa yang dilakukan

5Revani Engeli Kania Lakoy, “Syarat Proporsionalitas Dan Subsidaritas Dalam Pembelaan
Terpaksa Menurut Pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” Lex Crimen
9, no. 2 (June 2020): 45–52.

5
Saksi Maghfira terhadap terdakwa Khofifa merupakan perbuatan yang
menimbulkan perasaan tidak enak (penderitaan) bagi terdakwa.
3. Serangan yang ditujukan terhadap diri, kehormatan kesusilaan atau harta
benda sendiri atau orang lain
Pasal 49 ayat (1) KUHP telah membatasi perihal kepentingan-
kepentingan apa saja yang dapat dibela dalam pembelaan terpaksa
(noodweer). Secara tegas hal tersebut telah diatur, yakni meliputi:
1) Diri (lijf) sendiri atau orang lain;
Yang dimaksud dengan diri “lijf” diterjemahkan sebagai: diri,
mencakup nyawa (hidup) dan badan manusia. Serangan terhadap nyawa
(hidup) adalah serangan untuk merampas nyawa (pembunuhan),
sedangkan serangan terhadap badan, adalah misalnya serangan dengan
tujuan untuk menganiaya.
2) Kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) sendiri atau orang lain;
Yang dimaksudkan dengan “eerbaarheid” adalah kehormatan
kesusilaan, yaitu kehormatan dalam arti seksual.
3) Harta benda (goed) sendiri atau orang lain.
Serangan balik yang dilakukan terdakwa Khofifa terhadap Saksi
Maghfira memenuhi kepentingan yang dapat dibela dalam kondisi
pembelaan terpaksa (noodweer). Perbuatan terdakwa yakni memukul Saksi
Maghfira ditujukan agar cengkraman pada dasternya terlepas. Yang mana
selain mengekspos daerah sensitif terdakwa Khofifa, perbuatan terdakwa
dilakukan semata-mata untuk melindungi kandungannya yang saat itu telah
menginjak usia 4 bulan. Dimana tindakan Saksi Maghfira memiliki potensi
melukai terdakwa dan bayi dalam kandungannya.
4. Pembelaan harus bersifat perlu
Pembelaan terpaksa (noodweer) adalah satu perbuatan yang tidak dapat
di pidana karena pembelaan terpaksa (noodweer) menghapuskan sifat
melawan hukum dalam perbuatan seseorang. Seseorang yang melakukan
tindak pidana karena alasan pembelaan terpaksa, subjek hukum tersebut
tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya karena perbuatan
yang awalnya bersifat melawan hukum dibenarkan. Jika diuraikan lebih
luas, Van Hamel berpendapat pembelaan terpaksa tidak dapat dipidana
karena pembelaan terpaksa menurut Undang-Undang merupakan suatu hak,

6
pembelaan terpaksa memiliki dasar hukum yang diatur dalam KUHP
sehingga pembelaan terpaksa dapat dijadikan sebagai pembelaan yang sah
menurut hukum, pembelaan terpaksa terjadi diluar kemauan seseorang,
pembelaan terpaksa dilakukan bertujuan pada pembelaan yang artinya sikap
mengalah tidak harus dilakukan pada setiap tindakan yang melawan hukum.
Dalam kasus penganiayaan ini, perbuatan terdakwa Khofifa dapat
dikatakan pembelaan yang perlu dilakukan, karena pada saat kejadian
penarikan kerah tidak ada orang lain di sekitar mereka, yang mana pada saat
itu terdakwa Khofifa perlu melindungi keselamatan kandungannya.
Dengan demikian, meskipun terdakwa Khofifa memenuhi unsur delik
penganiayaan pada Pasal 351 KUHP, putusan majelis hakim pada perkara ini
adalah terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

7
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Pembelaan terpaksa telah diatur dalam Pasal 49 ayat (1):
“Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta
benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman
serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.”
Pengaturan pembelaan terpaksa (noodweer) sebagai penghapus tindak
pidana harus memenuhi syarat-syarat yang sesuai dengan dasar hukumnya.
Pembelaan terpaksa (noodweer) adalah salah satu perbuatan yang tidak dapat
dipidana karena pembelaan terpaksa (noodweer) adalah sebagai alasan
pembenar yang menghapuskan unsur melawan hukum dari tindakan seseorang
yang membela dirinya.
Dalam kasus penganiayaan yang dibahas, terdakwa terbukti memenuhi
unsur Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Akan tetapi, terdakwa juga
memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP mengenai pembelaan
terpaksa sehingga terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atau
dihapus perbuatan melawan hukumnya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta, n.d.

Lakoy, Revani Engeli Kania. “Syarat Proporsionalitas Dan Subsidaritas Dalam


Pembelaan Terpaksa Menurut Pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.” Lex Crimen 9, no. 2 (June 2020): 45–52.

Lamintang, P.A.F., and Fransiscus Theojunior Lamintang. Dasar-Dasar Hukum


Pidana Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Pengadilan Negeri Donggala. “Putusan Nomor 32/Pid.B/2021/PN Dgl.” Donggala,


2021.

Anda mungkin juga menyukai