Anda di halaman 1dari 11

NOODWEER EXCES DALAM TINDAK PIDANA

PEMBEGALAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN


BERDASARKAN PASAL 49 AYAT (2) KUHP

Alleshia Astradi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:


astradialleshia@gmail.com
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, SH., MH., Fakultas Hukum Universitas
Udayana, e-mail: dikewidhiyaastuti@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengkaji perihal penjelasan daripada noodweerexces dalam tindak pidana
pembegalan yang menyebabkan kematian berdasarkan pasal 49 ayat (2) KUHP. Studi ini menggunakan
metode yuridis normatif dengan menggunakan jenis pendekatan kasus (case approach) dan perundang-
undangan (statue approach). Selain itu, studi kepustakaan (legal research) terhadap sejumlah buku
hukum, jurnal, dokumen, dokumen kasus, dan penelitian ilmiah lainnya turut menjadi sarana penunjang
dalam penelitian ini. Hasil studi menunjukkan bahwa penjelasan substansi norma dalam pasal 49 ayat
(2) KUHP terkait kriteria pembelaan yang harus dipenuhi sebagai syarat masuknya unsur pembelaan
terpaksa melampaui batas (noodweer exces) adalah terdiri dari 3 hal yakni melampaui batas pembelaan
yang diperlukan, terjadi guncangan jiwa yang hebat, dan adanya hubungan kausal antara serangan dan
guncangan jiwa. Sehingga apabila ingin berhasil dengan pembelaan atas dasar noodweer exces, maka
harus memenuhi kriteria terbut. Melihat akan pernyataan tersebut, terkait pertanggungjawaban pelaku
pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces) sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 49
ayat (2) KUHP tidak dapat dihukum karena pembelaan terpaksa tersebut merupakan akibat langsung
dari gejolak hati atau keguncangan jiwa yang hebat dan ditimbulkan oleh suatu serangan yang melawan
hukum. Sehingga pertanggungjawabannya tidak dapat dimintakan.

Kata Kunci: Noodweer Exces, Pembegalan, Keguncangan Jiwa

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine the explanation of noodweerexces in the crime of robbery that
causes death based on article 49 paragraph (2) of the Criminal Code. This study uses a normative
juridical method using a case approach and a statutory approach. In addition, literature studies (legal
research) on a number of legal books, journals, documents, case documents, and other scientific research
also become a means of supporting this research. The results of the study show that the explanation of the
substance of the norm in Article 49 paragraph (2) of the Criminal Code related to the defense criteria that
must be met as a condition for the entry of elements of the defense forced to exceed the limit (noodweer
excesses) consists of 3 things, namely exceeding the required defense limit, a great mental shock occurs. ,
and the existence of a causal relationship between attacks and mental shocks. So, if you want to succeed
with a defense on the basis of noodweer excesses, you must meet these criteria. In view of this statement,
regarding the liability of the defense actors who were forced to exceed the limits (noodweer excesses) as
stated in Article 49 paragraph (2) of the Criminal Code, they cannot be punished because the forced
defense is a direct result of heart turmoil or great mental shock and is caused by an unlawful attack. So, it
cannot be held accountable.

Keywords: Noodweer Exces, Beheading, Mental Shock


1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembegalan bukanlah hal baru dalam kehidupan di Indonesia. Sudah sangat
banyak sekali korban berjatuhan akibat dari tindakan pembegalan. Apabila
dilihat dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai lex generali
atau hukum yang bersifat umum, tidak ada definisi tentang perbuatan pidana
pembegalan. Namun melihat realita yang telah terjadi, penulis dapat definiskan
bahwa pembegalan merupakan sebuah aksi merampas harta milik orang lain
ditengah jalan dengan disertai kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap
korban yang dirampas harta bendanya. Biasanya pembegalan ini dilakukan di
daerah yang sunyi dan jauh dari keramaian baik itu siang hari maupun malam
hari. Meskipun sudah banyak pelaku begal yang telah diamankan oleh pihak
kepolisian namun hal tersebut tidak mengurangi aksi pembegalan di Indonesia.
Dalam hukum positif di Indonesia, Pembegalan diklasifikasikan ke dalam
kejahatan terhadap harta benda yang tercantum dalam buku ke-III Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHP) yang
artinya begal termasuk dalam pencurian disertai dengan kekerasan, terdapat
dalam pasal 365 KUHP.1
Pembegal biasanya tidak seorang diri melainkan berdua atau bahkan
beramai-ramai dalam menjalankan aksinya. Di mana para begal membawa
senjata tajam atau senjata api sebagai alat untuk melukai atau membunuh
korban yang hendak melakukan perlawanan atas aksinya atau bahkan sampai
memperkosa korban jika korban itu adalah seorang perempuan. Sebagian besar
dari beberapa kasus pembegelan yang sudah terjadi, kebanyakan pelaku begal
berhasil menjalankan aksinya sehingga mendapatkan benda/harta korban yang
diinginkan. Namun tidak sedikit kemungkinan juga, ternyata aksi pembegalan
tidaklah selalu berjalan mulus di mana mungkin saja para begal tersebut
mendapatkan perlawanan dari korban sehingga tidak mendapatkan apa yang
diinginkan dan bahkan kehilangan nyawanya. Dalam kasus demikian, sistem
Hukum Pidana Indonesia yang berlandaskan kepada KUHP, dikenal beberapa
alasan penghapusan pidana yang terdiri dari alasan pembenar dan alasan
pemaaf yang diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 51 KUHP.
Salah satu alasan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP adalah
pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces) yang diatur dalam Pasal
49 ayat (2) KUHP. Tindakan melakukan pembelaan diri dari si penyerang sesuai
dengan yang tercantum dalam pasal 49 ayat (2) KUHP membuat pelaku
pembelaan tidak dapat dihukum karena pembelaan terpaksa tersebut
merupakan akibat langsung dari gejolak hati atau keguncangan jiwa yang hebat
dan ditimbulkan oleh suatu serangan yang melawan hukum. 2 Pembelaan
terpaksa melampaui batas (noodweer exces) tetap memiliki sifat melanggar
hukum, akan tetapi pelaku noodweer atau orang yang melakukan pembelaan
terpaksa itu tidak dapat dihukum karena tidak adanya unsur schuld atau
kesalahan seperti dijelaskan pada asas nulla poena sine culpa atau geen straf zonder
schuld. Ketentuan aturan tersebut berasal dari postulat Necessitas Quod Cogit

1
Sanjaya, Merta, I Gede Windu, Sugiartha, Gede, I Nyoman, dan Widyantara, Minggu, I
Made. “Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Begal
Sebagai Upaya Perlindungan Diri,” Jurnal Konstruksi Hukum 3, no. 2 (2022): 406-4013.
2
Julaiddin, Julaiddin, dan Prayitno, Rangga. "Penegakan Hukum Bagi Pelaku Tindak
Pidana Pembunuhan Dalam Pembelaan Terpaksa." UNES Journal of Swara Justisia 4, No. 1
(2020): 33-38.
Defendit, yang artinya keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat.
Perlu diperhatikan bahwa tidak serta merta segala perbuatan pembelaan diri
yang dilakukan dapat dijustifikasi oleh pasal ini, setidaknya, terdapat tiga syarat
pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces), antara lain:3
a. Serangan dan ancaman yang melawan hak yang mendadak dan harus
bersifat seketika (sedang dan masih berlangsung) yang berarti tidak ada
jarak waktu yang lama, begitu orang tersebut mengerti adanya serangan,
seketika itu pula dia melakukan pembelaan.
b. Serangan tersebut bersifat melawan hukum (bersifat wederrechtelijk), dan
ditujukan kepada tubuh, kehormatan, dan harta benda baik punya sendiri
atau orang lain.
c. Pembelaan tersebut harus bertujuan untuk menghentikan serangan, yang
dianggap perlu dan patut untuk dilakukan berdasarkan asas
proporsionalitas dan subsidiaritas. Perbuatan dilakukan karena tidak ada
cara lain untuk melindungi diri kecuali dengan melakukan pembelaan
dimana perbuatan tersebut melawan hukum.
Setidaknya sejak awal 2022 kita dihebohkan dengan beberapa peristiwa
penetapan tersangka seorang korban begal yang membunuh pelaku begal. Hal
ini tentu menimbulkan polemik di masyarakat, sejatinya apakah boleh
melakukan pembelaan diri terhadap tindak pidana yang ditujukan pada
seseorang. Dampaknya, timbul opini bahwa korban tindak pidana hanya bisa
pasrah menghadapi suatu tindak pidana yang ditujukan kepadanya. Bahkan
sering kali pada kasus tersebut korban divonis oleh majelis hakim dengan
pembunuhan biasa (338 KUHP) dan penganiayaan yang mengakibatkan
hilangnya nyawa seseorang (351 ayat (3) KUHP).4 Wajar saja, permasalahan
tersebut terjadi karena ketentuan terkait pembelaan terpaksa melampaui batas
(noodweer exces) tidak dijelaskan lebih rinci lagi bahkan pada rumusan beberapa
pasal dalam KUHPpun tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut mengenai
ketentuan yang mengatur terkait pembelaan terpaksa melampaui batas
(noodweer exces) sehingga menyebabkan kekaburan norma. Baik dari segi
bagaimana kriteria yang menjadi batas-batas dalam pembelaan terpaksa
melampaui batas (noodweer exces), bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi
pelaku pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces), dan lain-lain.
Dalam penjelasan KUHP pada rumusan pasal 49 ayat (2) hanya memberikan
kata berupa “cukup jelas”.
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, penulis berkeinginan
mengadakan penelitian lebih mendalam lagi yang hasilnya akan dituangkan ke
dalam tulisan yang berbentuk jurnal dengan judul yang bertajuk “Noodweer
Exces Dalam Tindak Pidana Pembegalan Yang Menyebabkan Kematian
Berdasarkan Pasal 49 Ayat (2) KUHP”. Diharapkan dengan adanya sumbangan
pemikiran penulis melalui jurnal ini, dapat memberikan inforasi serta
pemahaman secara khusus kepada masyarakat untuk lebih mengetahui terkait

3
Dumgair, Wenlly. “Pembelaan Terpaksa (Noodweer) dan Pembelaan Terpaksa yang
Melampaui Batas (Noodweer Exces) sebagai Alasan Penghapus Pidana.” Jurnal Lex Crimen 5, No.
5 (2016): 61-68.
4
Marselino, Rendy. "Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Exces)
Pada Pasal 49 Ayat (2)." Jurist-Diction 3, No. 2 (2020): 633-648.
tindakan pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweer exces agar
nantinya, apabila dihadapkan dalam situasi tersebut masyarakat dapat
melakukan tindakan pembelaan. Apabila dalam upaya melindungi diri
sehingga menyebabkan pelaku pembegalan mengalami luka-luka atau sampai
meninggal dunia, tindakan pembelaan tersebut dapat dibenarkan oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian yang melatarbelakangi penulisan ini, terdapat 2
rumusan masalah yang menurut hemat penulis dianggap perlu untuk diulas,
kedua rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana kriteria pembelaan terpaksa melampaui batas yang
menyebabkan kematian terhadap pelaku tindak pidana pembegalan
berdasarkan Pasal 49 ayat (2) KUHP dapat dijadikan sebagai alasan
pemaaf?
1.3.1 Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pembelaan terpaksa
melampaui batas (noodweer exces) yang menyebabkan kematian terhadap
pelaku tindak pidana pembegalan berdasarkan Pasal 49 ayat (2) KUHP?

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan ini bertujuan untuk mengalisa hal-hal sebagai berikut:
1.3.2 Kriteria pembelaan terpaksa melampaui batas yang menyebabkan
kematian terhadap pelaku tindak pidana pembegalan berdasarkan Pasal
49 ayat (2) KUHP dapat dijadikan sebagai alasan penghapus pidana.
1.3.3 Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pembelaan terpaksa melampaui
batas (noodweer exces) yang menyebabkan kematian terhadap pelaku
tindak pidana pembegalan berdasarkan Pasal 49 ayat (2) KUHP.

2. Metode Penelitian
Pada dasarnya suatu kegiatan yang dikatakan tidak dapat terlepas dari metode,
sistematika, serta pemikiran rasionalitas yang memiliki tujuan untuk mempelajari
suatu hal ialah disebut sebagai penelitian. Pada hakikatnya, metode memiliki
makna untuk memberikan pedoman dalam melaksanakan analisis dan pemahaman
mengenai hukum. Maka dari itu, dapat dikatakan pula bahwa suatu ilmu
pengetahuan dapat diperoleh melalui metode ilmiah dan penelitiannya. 5 Metode
peneilitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mengumpulkan data
penelitian dan membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan.
Dalam hal ini peneliti menggunakan beberapa perangkat penelitian yang sesuai
dalam metode penelitian ini guna memperoleh hasil yang maksimal.
Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah yuridis normatif.
Rumusan masalah akan dianalisis dengan menggunakan jenis pendekatan kasus
(case approach). Hal ini digunakan untuk mengetahui lebih dalam terkait noodweer
exces dalam tindak pidana pembegalan yang menyebabkan kematian
berdasarkan pasal 49 ayat (2) KUHP. Penelitian ini juga menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statue approach). Yang mana, menggunakan
sejumlah peraturan perundang-undangan, asas hukum, serta putusan pengadilan
yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Karena termasuk ranah penelitian
yuridis normatif, maka penelitian ini menggunakan data sekunder berupa bahan
5
Sunggono, Bambang. Metodelogi Penelitian Hukum (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2007), 44.
hukum. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini ialah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagai bahan hukum sekunder
untuk menunjang penelitian ini terdapat perspektif hukum dari beberapa praktisi
hukum yang bermitra dengan kantor hukum LBH Lingkar Karma. Selain itu, studi
kepustakaan (legal research) terhadap sejumlah buku hukum, jurnal, dokumen,
dokumen kasus, dan penelitian ilmiah lainnya turut menjadi sarana penunjang
dalam penelitian ini.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Kriteria Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Yang Menyebabkan Kematian
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembegalan Berdasarkan Pasal 49 Ayat (2)
KUHP Dapat Dijadikan Sebagai Alasan Pemaaf.
Alasan pemaaf merupakan suatu alasan yang menyebabkan hapusnya sifat
dapat dicela dari suatu tindak pidana, dengan hapusnya sifat dapat dicela maka
si pelaku tidak dipidana. Alasan pemaaf merupakan alasan subjektif yang
menyebabkan seseorang tidak dipidana.6 Dengan alasan pemaaf ini maka
pelaku terbukti melakukan tindak pidana, akan tetapi kesalahan dari si pelaku
dianggap tidak ada karena melakukan pembelaan diri, hal ini sesuai dengan
asas tiada pidana tanpa kesalahan. Salah satu yang termasuk alasan pemaaf
adalah pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces) yang dirumuskan
dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP. Salah seorang ahli hukum bernama Fletcher
mengemukakan bahwa pembelaan terpaksa tidak dapat di hukum,
dikarenakan:
a) Noodweer sebagai suatu pembelaan yang sah menurut hukum atau suatu
legitime defense (hak membela diri);
b) De wet staat hier eigen richting toe bahwa dalam suatu pembelaan Undang-
Undang telah mengizinkan seseorang untuk main hakim sendiri.7
Dari pendapat ahli hukum tersebut dapat dipahami bahwa perbuatan
membela diri melampaui batas itu tetap dikatakan melawan hukum, hanya saja
orangnya tidak dipidana karena adanya keguncangan jiwa yang hebat yang
membuat pembelaan terpaksa melampaui batas tersebut menjadi dasar pemaaf.
Dalam kaitannya dengan kasus pembegalan, banyak kasus yang telah terjadi,
dimana korban membunuh begal dalam keadaan terpaksa. Jika dilihat dari
kacamata orang awam, hal ini merupakan tindakan yang tidak dapat
disalahkan, karena tujuan dari sang korban adalah menyelamatkan nyawanya
dari pelaku kriminal yang dapat melukainya. Namun jika dilihat dari sisi
hukum positif di Indonesia, pada praktiknya kasus ini tidak akan semudah itu
terselesaikan. Indonesia merupakan negara hukum, dimana setiap tindakan
masyarakat yang menyalahi aturan, akan ditindak tegas dan jika perlu
diberikan hukuman. Termasuk dengan aturan hukum membela diri hingga
hilangnya nyawa orang lain atau dengan kata lain membunuh. Dimana pihak
pengadilan akan membuktikan, apakah kasus yang telah terjadi memang murni
tindakan pembelaan diri, atau terdapat kepentingan-kepentingan lain, dan
dibuat sebagai alibi untuk membela diri.
Aturan hukum menjadi landasan bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam
bertindak, agar tidak ada kejadian yang menyalahi aturan atau bahkan
6
Suarda, I Gede Widhiana. Hukum Pidana: Materi Penghapus, Peringan dan Pemberat
Pidana (Malang, Bayu Media, 2012), 121.
7
Hamdan, M. Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus (Bandung, PT. Refika
Aditama, 2014), 70.
mengambil hak seseorang. Untuk itu sangat perlu untuk kita menelaah lebih
dalam lagi secara khusus ketentuan pada pasal 49 ayat (2) KUHP agar pada
pelaksanaanya tidak terjadi salah tafsir atau salah mengartikan frasa yang
termatub dalam substansi rumusan pasal tersebut. Adapun kriteria pembelaan
yang harus dipenuhi sebagai syarat masuknya unsur pembelaan terpaksa
melampaui batas (noodweer exces) adalah:8
1) Melampaui batas pembelaan yang diperlukan.
Kriteria ini menjadi salah satu elemen dari pembelaan terpaksa
melampaui batas disebabkan oleh alat yang digunakan untum membela diri
lebih keras dari yang semestinya atau pihak yang diserang sebenarnya
punya kesempatan untuk melarikan diri, namun ia memilh untuk membela
diri. Salah satu contohnya ialah kasus begal yang bernama Amaq Sinta
ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Lombok Tengah karena
melakukan penyerangan kembali menggunakan pisau kecil miliknya
terhadap pelaku begal yang mencoba merampas sepeda motor milik Amaq
Sinta menggunakan sabit sehingga menyebabkan terbunuhnya pelaku begal
tersebut. Amaq Sinta pada saat itu berhadapan dengan 4 pelaku begal, dan 2
diantaranya tewas terbunuh oleh Amaq Sinta karena 2 orang pelaku begal
tersebut mencoba merampas secara paksa motor Amaq Sinta, sehingga
terjadilah perlawanan yang menyebabkan 2 pelaku begal tewas.
Merujuk pada contoh kasus pembegalan diatas, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa ketika seseorang dihadapkan dalam situasi mencekam,
terlebih lagi jika situasi tersebut membuat nyawa mereka terancam, tidak
sedikit seseorang akan melakukan pertahanan atau perlawanan, agar diri
sendiri tidak terluka atau bahkan kehilangan nyawa. Sejak awal tidak ada
mens rea atau niat jahat (untuk membunuh) tidak ada karena korban
melakukan pembelaan diri semata. Oleh karena itu dimaafkan oleh Undang-
Undang melalui pasal 49 (2) KUHP.9
2) Terjadi guncangan jiwa yang hebat.
Guncangan jiwa yang hebat berarti keadaan batin seseorang yang tidak
tetap atau mengalami kepanikan sehingga muncul perasaan seperti
ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan. Oleh karena itu, meskipun
melampaui batas pembelaan diri, tindakan ini bisa dimaafkan di mata
hukum karena dianggap kondisi batinnya terguncang akibat adanya
serangan yang mendadak kepada dirinya. Dilihat dari gramatikal
keguncangan jiwa yang hebat yang dimaksud dalam pasal 49 ayat (2)
KUHP, terdapat tiga suku kata yakni “keguncangan”, “jiwa”, dan “hebat”.
Untuk memaknai lebih rinci maka akan digunakan penafsiran secara
gramatikal. Metode penafsiran gramatikal yang digunakan dengan cara
melihat arti dari tiap-tiap suku kata didalam kamus hukum maupun kamus
besar bahasa Indonesia. Makna yang bisa didapat dari ketiga suku kata
yakni “keguncangan”, “jiwa”, dan “hebat” menurut penafsiran gramatikal,
keguncangan jiwa yang hebat ialah suatu keadaan batin atau jiwa seseorang
yang tidak tetap dalam artian menimbulkan suatu keguncangan yang
menyebabkan perasaan gelisah, perasaan takut, perasaan tidak aman,
perasaan cemas yang dirasakan secara teramat sangat (dahsyat) yang
berakibat terganggunya keadaan jiwa atau batin seseorang.
8
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2012), 1-2.
9
Bahri, Saiful. "Problema dan Solusi Peradilan Pidana yang Berkeadilan dalam Perkara
Pembelaan Terpaksa." Jurnal Wawasan Yuridika 5, No. 1 (2021): 131-147.
Untuk lebih memahami pemaknaan dari frasa keguncangan jiwayang
hebat, penulis menarik pendapat dari salah seorang ahli hukum bernama
Van Hattum. Melalui pendapat beliau, penulis dapat simpulkan
bahwasannya seseorang dapat dikatakan melakukan pembelaan terpaksa
yang melampaui batas karena orang yang mendapat serangan tersebut telah
mengabaikan syarat tentang harus adanya suatu keseimbangan antara
kepentingan yang dibela dengan kepentingan yang dikorbankan. Seseorang
yang menerima serangan, tidak bisa berpikir jernih untuk berlaku seimbang
dalam memutuskan apakah ia melakukan pembelaan atau tidak sehingga
kondisi jiwa atau gejolak batin ini perlu dipertimbangkan. 10 Seseorang yang
melakukan pembelaan tidak dapat dihukum karena tidak ada unsur schuld
atau unsur kesalahan pada diri pelaku pembelaan, sehingga tidak pantas
disalahkan. Pendapat ini dapat dibenarkan walaupun tidak sepenuhnya
benar, penulis berpendapat bahwa unsur kesalahan memang harus menjadi
dasar pertimbangan utama dalam menentukan seseorang pantas dihukum
atau tidak, akan tetapi harus tetap mempertimbangkan norma yang ada.
Kondisi atau keadaan jiwa dan batin seseorang juga harus ditelisik lebih
jauh, apakah dalam melakukan pembelaan orang tersebut memang
melakukan kesengajaan atau hanya sebuah kealpaan.11
3) Adanya hubungan kausal antara serangan dan guncangan jiwa
Hubungan kausal harus didasarkan kepada semua hal ikhwal keadaan
yang terkandung dalam hubungan kausal. Di satu sisi, hubungan kausal
harus mempertimbangkan perbuatan dan alat yang digunakan sebelum
terjadinya akibat. Di sisi lain, keadaan korban yang secara obyektif turut
mempengaruhi terjadinya kausalitas, keadaan mana hanya dapat ditentukan
setelah akibatnya terjadi.12 Dalam hubungannya dengan pembelaan terpaksa
melampaui batas, meski merugikan orang lain dan tidak dapat
mengilangkan sifat melanggar hukumnya, akan tetapi dalam kondisi terjadi
guncangan jiwa, bisa menjadi alasan pembenar atau alasan pemaaf yang
dapat menghapuskan pidana, sehingga pihak yang membela diri dapat
terbebas dari tuntutannya. Sebagai contoh seperti kasus pembegalan yang
dialami oleh Amaq Sinta dengan lokasi kejadian di Lombok Tengah. Oleh
sebab adanya serangan yang dilakukan oleh pelaku begal tersebut, maka
mengakibatkan timbulnya perasaan antara amarah, bingung, ketakutan
yang hebat dalam kaitannya dengan ketentuan pasal 49 ayat (2) disebut
keguncangan jiwa yang hebat. Sehingga dengan tiba-tiba korban mengambil
pisau menusuk beberapa para begal hingga mati. Oleh sebab adanya
keguncangan jiwa yang hebat inilah, maka pakar hukum memasukkan
noodweer exces ke dalam alasan pemaaf karena menghilangkan unsur
kesalahan pada diri si pelaku pembelaan.
Melihat beberapa kriteria tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwasannya apabila ingin berhasil dengan pembelaan atas dasar noodweer

10
Lamintang dan Lamintang, Theojunior, Franciskus. Dasar-dasar Hukum Pidana di
Indonesia (Jakarta, Sinar Grafika, 2014), 515.
11
Hidayat, Bakti Riza, Nurini Aprilianda, dan Lucky Endrawati. "Legal Implications of
Stopping the Investigation Because the Forced Defense (Noodweer) and Emergency Defense
Exceed the Limits (Noodweer Excesses)." International Journal of Multicultural and Multireligious
Understanding 9, No. 2 (2022): 244-251.
12
Kalensang, Andrio Jackmico. “Hubungan Sebab Akibat (Causaliteit) Dalam Hukum
Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek”. Jurnal Lex Crimen 5, No. 7 (2016): 12-19.
exces, maka harus ada situasi pembelaan terpaksa, yang berarti suatu situasi
dalam mana pembelaan raga, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda
terhadap serangan yang bersifat melawan hukum menjadi keharusan. Selain itu
pelampauan batas dari keharusan dalam melakukan pembelaan, harus
merupakan akibat langsung dari guncangan jiwa yang hebat, yang pada
gilirannya disebabkan oleh serangan.13 Pada akhirnya batas yang lebih jelas
tentu bila serangan yang terjadi sudah selesai, namun seseorang masih
menyerang pelaku, maka ini tidak dianggap sebagai mempertahankan diri lagi.
Jadi, batas-batas tetap harus diperhatikan dalam hal mempertahankan diri.

3.2 Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Pembelaan Terpaksa Melampaui


Batas (Noodweer Exces) Yang Menyebabkan Kematian Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Pembegalan Berdasarkan Pasal 49 Ayat (2) KUHP
Pertanggungjawaban pidana merupakan konsep sentral yang dikenal
dengan ajaran kesalahan. Kesalahan dalam arti sempit dapat berbentuk sengaja
(opzet) atau lalai (culpa). Dalam bahasa latin ajaran kesalahan ini disebut dengan
sebutan “mens rea”. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak
mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat (niat). 14
Dalam bahasa inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a
person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada
dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada
perbuatan lahiriah yang terlarang atau perbuatan pidana (actus reus), dan ada
sikap batin jahat atau tercela (mens rea). Pertanggungjawaban pidana dimaksud
sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana
dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dipidana karena
perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas,
sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan.15
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme
yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu. Adapun perbuatan pidana
merupakan perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan yang
melanggar hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam
arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata di dalam
pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.
Namun tidaklah semua perbuatan yang melawan hukum atau yang bersifat
merugikan masyarakat dapat disebut dengan perbuatan pidana. Tidak semua
perbuatan yang merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Begitu pula tidak
hanya perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian yang besar saja yang
dijadikan perbuatan pidana. Jadi syarat utama dari adanya perbuatan pidana
ialah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang dan mengancam dengan
pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Seyogyanya
pertanggungjawaban pidana erat kaitannya dengan masalah kesalahan. Jika
ditinjau dari segi psikologis, kesalahan itu harus dicari di dalam batin pelaku
yaitu adanya hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan sehingga ia
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Seseorang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan
13
Suarda, I Gede Widhiana. Op.Cit., 406-4013.
14
Ishaq. Hukum Pidana (Depok, Rajawali Pers, 2020), 93.
15
Bahri, Saiful. Op. Cit., 131-147.
pidana tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu dapat
dipidana. Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah, bagaimana
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pembelaan terpaksa melampaui batas
(noodweer exces) yang menyebabkan kematian terhadap pelaku tindak pidana
pembegalan berdasarkan pasal 49 ayat (2) KUHP.
Seperti pada penjelasan yang telah dijabarkan diatas, pembelaan terpaksa
melampaui batas (noodweer exces) penulis dapat menarik beberapa poin-poin
penting bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebagai pembelaan terpaksa
(noodweer) apabila pembelaan diri yang dilakukan saat adanya suatu serangan
yang bersifat melawan hukum dan menyebabkan kondisi batin atau jiwa benar-
benar terguncang hebat. Pelampauan dari batas-batas tindakan pembelaan yang
secukupnya atau seperlunya harus dikarenakan oleh adanya suatu
keguncangan jiwa atau soul shaking yang sangat hebat dan disebabkan oleh
adanya vrees atau perasaan takut, ketidak tahuan tentang tindakan apa saja yang
seharusnya diperbuat atau radeloos haid, kemarahan atau torn, dan medelijden
atau perasaan kasihan.16 Batas-batas keperluan pembelaan dikatakan telah
dilampaui apabila dalam pelaksanaannya menggunakan cara yang melewati
batas atau saat melakukan pembelaan dilakukan secara berlebihan seperti
membunuh si penyerang dalam kasus pembegalan, padahal dengan
memukulnya saja membuat si penyerang tidak berdaya. 17 Melihat akan
pernyataan tersebut, terkait pertanggungjawaban pelaku pembelaan terpaksa
melampaui batas (noodweer exces) sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 49
ayat (2) KUHP tidak dapat dihukum karena pembelaan terpaksa tersebut
merupakan akibat langsung dari gejolak hati atau keguncangan jiwa yang hebat
dan ditimbulkan oleh suatu serangan yang melawan hukum. Pembelaan
terpaksa melampaui batas atau noodweer exces tetap memiliki sifat melanggar
hukum, akan tetapi pelaku noodweer atau orang yang melakukan pembelaan
terpaksa itu tidak dapat dihukum karena tidak adanya unsur schuld atau
kesalahan seperti dijelaskan pada asas nulla poena sine culpa atau geen straf zonder
schuld. Sehingga pertanggungjawabannya tidak dapat dimintakan.

4. Kesimpulan
Berdasarkan uraian penjelasan tersebut diatas, maka terkait dengan penjelasan
terkait noodweer exces dalam tindak pidana pembegalan yang menyebabkan
kematian berdasarkan pasal 49 ayat (2) KUHP, dapat disimpukan bahwa penjelasan
substansi norma dalam pasal 49 ayat (2) KUHP terkait kriteria pembelaan yang
harus dipenuhi sebagai syarat masuknya unsur pembelaan terpaksa melampaui
batas (noodweer exces) adalah terdiri dari 3 hal yakni melampaui batas pembelaan
yang diperlukan, terjadi guncangan jiwa yang hebat, dan adanya hubungan kausal
antara serangan dan guncangan jiwa. Sehingga apabila ingin berhasil dengan
pembelaan atas dasar noodweer exces, maka harus memenuhi kriteria terbut. Melihat
akan pernyataan tersebut, terkait pertanggungjawaban pelaku pembelaan terpaksa
melampaui batas (noodweer exces) sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 49
ayat (2) KUHP tidak dapat dihukum karena pembelaan terpaksa tersebut

16
Fransisco, Wawan. "Status Hukum Korban Bertahan Dan Melawan Pelaku Begal
Hingga Meninggal." Lajour (Law Journal) 2, No. 2 (2022): 1-14.
17
Heatubun, Lance Heavenio R., dan Ferry Irawan. "Tindakan Noodweer Exces Dalam
Tindak Pidana Pembunuhan Sebagai Bentuk Mempertahankan Diri, Harta, Dan
Kehormatan." Journal of Law, Administration, and Social Science 2, No. 2 (2022): 91-99.
merupakan akibat langsung dari gejolak hati atau keguncangan jiwa yang hebat
dan ditimbulkan oleh suatu serangan yang melawan hukum. Sehingga
pertanggungjawabannya tidak dapat dimintakan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bambang Sunggono. 2007. Metodelogi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo.
I Gede Widhiana Suarda. 2012. Hukum Pidana: Materi Penghapus, Peringan dan Pemberat
Pidana. Malang: Bayu Media.
Ishaq. 2020. Hukum Pidana. Depok: Rajawali Pers.
M Hamdan. 2014. Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Lamintang dan Lamintang, Franciskus Theojunior. 2014. Dasar-dasar Hukum Pidana di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Teguh Prasetyo. 2012. Hukum Pidana. Jakata: Raja Grafindo Persada.

Jurnal:
Andrio Jackmico Kalensang. 2016. “Hubungan Sebab Akibat (Causaliteit) Dalam
Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek”. Jurnal Lex Crimen Vol 5,
No. 7: 12-19.
Heatubun, Lance Heavenio R., dan Ferry Irawan. 2022. "Tindakan Noodweer Exces
Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Sebagai Bentuk Mempertahankan Diri,
Harta, Dan Kehormatan." Journal of Law, Administration, and Social Science Vol. 2,
No. 2: 91-99.
Hidayat, Bakti Riza, Nurini Aprilianda, and Lucky Endrawati. 2022. "Legal
Implications of Stopping the Investigation Because the Forced Defense
(Noodweer) and Emergency Defense Exceed the Limits (Noodweer
Excesses)." International Journal of Multicultural and Multireligious
Understanding Vol. 9, No. 2: 244-251.
Julaiddin, Julaiddin, dan Rangga Prayitno. 2020. "Penegakan Hukum Bagi Pelaku
Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Pembelaan Terpaksa." UNES Journal of
Swara Justisia Vol 4, No. 1: 33-38.
Marselino, Rendy. 2020. "Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer
Exces) Pada Pasal 49 Ayat (2)." Jurist-Diction Vol. 3, No. 2: 633-648.
Sanjaya, I Gede Windu Merta, Sugiartha, I Nyoman Gede,dan Widyantara, I Made
Minggu. 2022. “Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan Begal Sebagai Upaya Perlindungan Diri,” Jurnal Konstruksi
Hukum Vol 3, no. 2: 406-4013.
Saiful Bahri. 2021. "Problema dan Solusi Peradilan Pidana yang Berkeadilan dalam
Perkara Pembelaan Terpaksa." Jurnal Wawasan Yuridika Vol. 5, No. 1: 131-147.
Wenlly Dumgair. 2016. “Pembelaan Terpaksa (Noodweer) dan Pembelaan Terpaksa
yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) sebagai Alasan Penghapus
Pidana.” Jurnal Lex Crimen Vol 5, No. 5: 61-68.
Wawan Fransisco. 2022. "Status Hukum Korban Bertahan Dan Melawan Pelaku Begal
Hingga Meninggal." Lajour (Law Journal) Vol. 2, No. 2: 1-14.

Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Anda mungkin juga menyukai