PEMBAHASAN
A. Pembelaan Diri
Pembelaan diri adalah hak dan kewajiban yang diberikan oleh Undang-Undang
pada seseorang guna memelihara atau menjaga keselamatan hidupnya, baik
keselamatan jiwa, harta benda ataupun kehormatannya.
Pada dasarnya pembelaan diri sendiri merupakan tindakan yang menjadi naluri
orang lain untuk mempertahankan dirinya atau orang lain, kehormatannya, dan harta
benda dari perbuatan jahat yang dilakukan orang lain yang ingin merusak atau
merugikan dengan cara melawan hukum.
Untuk menelaah dan memahami lebih dalam mengenai pembelaan diri, maka
akan kami jelaskan dalam pasal Undang-Undang dibawah ini.
C. Kasus mengenai tindak pidana antara pasal 49 KUHP dengan pasal 338 dan 351
ayat (3)
Sebagai contoh, misalkan pada kasus Muhammad Irfan Bahri yang berumur 19
(sembilan belas) tahun juga terlibat perkelahian dengan dua pembegal, yang berupaya
merebut telepon genggam miliknya dan temannya serta melukai Irfan dengan celurit.
Namun, pada akhirnya satu pembegal terluka parah dan meninggal dunia. Berbeda
dengan kasus ZA, Irfan hanya sempat ditetapkan sebagai tersangka yang kemudian
diklarifikasi oleh kepolisian sebagai saksi. Dimana kasus Muhammad Irfan tersebut
masuk dalam kategori pembelaan diri pada Pasal 49 KUHP. Dalam pasal ini digunakan
sebagai alasan pemaaf, tetapi bukan alasan yang membenarkan perbuatan melanggar
hukum, melainkan seseorang yang terpaksa melakukan tindak pidana dapat dimaafkan
karena terjadi pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan itu.
Sedangkan berbeda lagi pada kasus ke 2 ini, yang mana hampir sama. Hanya saja
tindak pidana nya yang berbanding terbanding yaitu membela diri sebagai korban
malah menjadi TERSANGKA. ZA, seorang pelajar berumur 17 (tujuh belas) tahun
terbukti melakukan penganiayaan yang menyebabkan korbannya meninggal, meskipun
ZA telah bersaksi hal tersebut dilakukannya untuk membela diri. Kronologi kejadian
malang tersebut berawal di hari Minggu malam 8 September 2019. ZA berboncengan
dengan kekasihnya menggunakan sepeda motor dan melintas di sekitar ladang tebu
yang sepi. Kemudian ZA dihadang sejumlah begal yang akan merampas barang
berharga dan sepeda motornya. Tidak hanya meminta barang berharga, begal tersebut
juga berniat untuk memperkosa kekasih ZA. Tidak terima, ZA mengambil pisau di jok
motornya dan terjadi baku hantam yang menyebabkan seorang begal bernama Misnan
tewas. ZA divonis telah melanggar Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (selanjutnya disebut KUHP) tentang penganiayaan.
Jadi, hal yang membedakan kedua pembelaan ini adalah adanya goncangan jiwa
yang sangat hebat pada pembelaan diri luar biasa. Berdasarkan penafsiran gramatikal,
kegoncangan jiwa yang hebat adalah suatu keadaan batin atau jiwa seseorang yang
tidak tetap, dalam artian menimbulkan suatu goncangan yang menyebabkan perasaan
gelisah, perasaan takut, perasaan tidak aman, perasaan cemas yang dirasakan secara
teramat sangat (dahsyat) yang berakibat terganggunya keadaan jiwa atau batin
seseorang. Hal tersebutlah yang menyebabkan batas-batas keperluan pembelaan
dilampaui. Batas-batas dari suatu pembelaan telah dilampaui apabila setelah pembelaan
yang sebenarnya itu telah selesai, orang tersebut masih tetap menyerang penyerang,
walaupun serangan dari penyerang itu sendiri sebenarnya telah berakhir.
D. Dampak positif dan negatif dari Pasal 49 KUHP Yang Berbanding Terbalik
Dengan Pasal 338 & 351 Ayat 3 Antara Membela Diri Sebagai Korban Malah Jadi
Tersangka
Semua peraturan meupun perundang-undangan yang dibuat pasti memiliki
keuntungan dan kekurangannya. Sebuah kebijakan dibuat untuk kepentingan orang
banyak, namun tak jarang juga ada sebagian kelompok yang merasa dirugikan dengan
kebijakan tersebut.
Berikut ini dampak positif atau keuntungan dari masing-masing pasal adalah:
1. Dampak positif dari Pasal 49 KUHP yaitu adanya Undang-Undang yang
mengatur tentang hak pembelaan diri yang melampaui batas, hingga
menghilangkan nyawa seseorang namun tidak terjerat tindak pidana. Adanya
alasan pemaaf, tetapi bukan alasan yang membenarkan perbuatan melanggar
hukum, melainkan seseorang yang terpaksa melakukan tindak pidana dapat
dimaafkan karena terjadi pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan itu
2. Sedangkan dampak positif dari pasal 338 dan 351 ayat 3 KUHP yaitu adanya
Undang-Undang yang mengatur tentang hukuman tindak pidana bagi orang
yang dengan sengaja melukai hingga menghilangkan nyawa seseorang. Pada
dasarnya hukuman terhadap pelaku pembunuhan dengan sengaja tersebut
bertujuan untuk memberikan keselamatan hidup manusia, baik rohani maupun
jasmani dan juga individu maupun sosial.
Berikut ini dampak negatif atau kekurangan dari masing-masing pasal adalah:
1. Dampak negatif dari Pasal 49 KUHP yaitu dengan adanya pasal tersebut maka
ada sebagian pihak yang menyalahkan bunyi atau isinya tanpa memahami
secara mendalam.
2. Sedangkan dampak negatif dari Pasal 338 dan 351 ayat 3 KUHP yaitu
berdasarkan alasannya bahwa hukuman karena pembunuhan disengaja
sangatlah kejam dan dapat dikatakan hukuman pidana yang lama.
Jadi, diantara pasal 49 dan Pasal 338 dan 351 ayat 3 KUHP harus adanya
kesingkronan. Jangan sampai ketika tindakan atau sebuah kasus yang seharusnya
sesuai dengan pasal 49 KUHP malah sebaliknya dijadikan tindak pidana terhadap Pasal
338 dan 351 ayat 3 KUHP. Sehingga, Tindak pidana penganiayaan yang
mengakibatkan kematian, baik yang disengaja atau yang tidak, oleh karenanya harus
dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kehendak untuk menimbulkan
kematian. Dengan menjunjung hak asasi manusia atau individu dalam memenuhi rasa
keadilan dan melindungi masyarakat ,serta mencegah terulangnya tindak pidana, baik
dari pelaku sendiri maupun bagi orang lain untuk melakukan perbuatan yang telah
dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
E. Menanggapi Pasal 49 KUHP Yang Berbanding Terbalik Dengan Pasal 338 & 351
Ayat 3 Antara Membela Diri Sebagai Korban Malah Jadi Tersangka
Dalam konteks hukum pidana Indonesia, teori perimbangan kepentingan hukum
dapat diterapkan dalam keadaan darurat dan pembelaan terpaksa. Dalam keadaan
darurat, hukum memberikan pilihan-pilihan yang mengutamakan kepentingan hukum
yang lebih tinggi ditentukan secara konkret dan kasuistis dengan mempertimbangkan
keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan. Sangat dimungkinkan bahwa kedua
kepentingan hukum yang bertentangan mempunyai kedudukan yang setara. Dalam
keadaan demikian, orang tersebut diberikan otonomi sebagai pengemban hak dan
kewajiban untuk menentukan pilihan hukumnya. Pilihan hukum inilah yang menjadi
perhatian utama dari kepentingan hukum yang hendak dilindungi.
Pembelaan diri merupakan pemakaian hak yang diberikan oleh undang-undang
dan merupakan tugas kewajiban karena memang sudah merupakan hak bahkan
kewajiban setiap orang untuk memelihara hidupnya dan mempertahankan diri atau
harta bendanya. Hal ini sesuai dengan pasal 49 KUHP tentang hak pembelaan diri yang
melampaui batas yang tidak mendapatkan tindak pidana atas dasar pembelaan diri.
Namun, bagaimana jika hak pembelaan ini dilihat dari perspektif pasal 338 & 351
KUHP tentang perbuatan atau tindakan yang melampaui batas hingga menghilangkan
nyawa seseorang akan mendapat tindak pidana.
Pada dasaranya konsep pembelaan diri dalam hukum pidana harus dipahami
secara utuh . Pertama, dapat dilihat dari segi Parameter. Pada prinsipnya, seseorang
dijatuhi hukuman pidana (penjara, denda, dan sebagainya) apabila dua persyaratan
dipenuhi, yakni; pertama, perbuatannya merupakan perbuatan pidana; dan kedua,
pelaku bersalah atas perbuatan pidana tersebut. Rumus sederhananya adalah perbuatan
pidana + kesalahan pelaku = hukuman pidana.
Pada pembuktian perbuatan pidana dan kesalahan pelaku tersebut terdapat
keadaan atau peristiwa tertentu yang dapat menghapus atau meniadakan masing-
masing persyaratan tersebut. Jika keadaan atau peristiwa ini ada, terjadi, dan dapat
dibuktikan, maka tentu pidana tidak dapat dijatuhkan. Keadaan atau peristiwa yang
demikian disebut dengan alasan penghapus pidana. Konsep pembelaan diri
berhubungan dengan alasan penghapus pidana ini.
Pembelaan diri menjadi keadaan atau peristiwa yang dapat menghapus pidana,
baik menghapus sifat melawan hukum sebagai alasan pembenar ataupun menghapus
kesalahan pelaku sebagai alasan pemaaf. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana parameter
pembelaan diri agar dapat memenuhi alasan penghapus pidana? Titik tolak parameter
pembelaan diri ada pada Pasal 49 KUHP. Pasal ini bahkan tidak hanya menyangkut
pembelaan terhadap diri sendiri saja, tetapi juga orang lain.
Menurut konsep hukum pidana, pembelaan pada pasal tersebut terdiri atas dua
bentuk, yakni pembelaan darurat (noodweer) pada Pasal 49 ayat (1) dan pembelaan
darurat yang melampau batas (noodweer exces) pada Pasal 49 ayat (2). Kedua
ketentuan ini berbeda dalam hal penghapusan pidana; jika pembelaan darurat adalah
alasan pembenar, maka pembelaan pembelaan darurat yang melampau batas termasuk
alasan pemaaf, sebab jenis pembelaan ini memiliki faktor keguncangan jiwa yang
hebat.
Kesalahan pelaku dalam hal ini yang dimaafkan, bukan perbuatannya yang
dibenarkan. Menilai keguncangan jiwa dalam suatu peristiwa tertentu membutuhkan
penilaian psikolog atau dokter ahli kejiwaan. Lain halnya dalam menilai pembelaan
darurat biasa.
Terkait pembelaan darurat, parameternya terletak pada dua unsur utama, yakni
unsur serangan dan unsur pembelaan. Pertama, unsur serangan atau ancaman serangan.
Serangan atau ancaman itu secara tempo harus terjadi seketika (saat itu juga), tidak
boleh untuk serangan yang diperkirakan pada waktu mendatang, serta tidak boleh pada
waktu serangan telahberakhir.
Contohnya jebakan pistol yang dipasang bagi pencuri. Jebakan ini tidak bisa diartikan
sebagai pembelaan darurat, karena bukan serangan yang seketika datang. Selain itu,
jika serangan atau situasi terancam sudah tidak ada, maka dalil pembelaan darurat juga
tidak bisa digunakan. Contohnya pelaku penyerangan sudah tidak berdaya akibat
pembelaan, tetapi tetap dipukul atau ditusuk. Maka pemukulan dan penusukan yang
dilakukan setelah pelaku tidak berdaya tidak bisa disebut pembelaan darurat.
Serangan atau ancaman ini juga melawan hukum atau dengan kata lain mengarah
pada tindak pidana. Jika ruang lingkup yang dilindungi adalah diri sendiri/orang lain
(badan atau nyawa), kesusilaan, dan harta, maka perbuatan serangan itu mengarah pada
tindak pidana yang konkretnya terdiri dari penganiayaan, pembunuhan pencabulan,
pemerkosaan, dan pencurian (perampokan).
Kedua dapat dilihat dari segi unsur pembelaan. Pembelaan hanya dikhususkan
untuk kepentingan diri dan orang lain (badan dan nyawa), menyangkut kehormatan
kesusilaan serta harta benda. Pembelaan yang terjadi bersifat terpaksa, artinya tidak
ada cara lain untuk menghalau serangan atau ancaman serangan tersebut. Untuk
menilai sifat pembelaan ini, maka digunakan asas proporsionalitas atau asas
subsidiaritas sesuai pemahaman doktrin para ahli (Van Hatum, Andi Hamzah, Satochid
Kartanegara).
Asas ini menentukan adanya keseimbangan antara kepentingan hukum yang
dilindungi dari serangan dengan kepentingan hukum dilanggar dengan pembelaan atau
keseimbangan antara cara pembelaan yang dilakukan dengan cara serangan yang
diterima. Apabila terdapat cara perlindungan lain untuk menghalau serangan/ancaman,
maka pembelaan tidak boleh dilakukan dengan memilih cara paling berat yang
mengorbankan kerugian lebih besar bagi penyerang.
Sebagai contoh, menembak atau menusuk pencuri jemuran di bagian vital dan
menyebabkan kematian bukan suatu yang proporsional. Penembakan atau penusukan
tersebut jelas bukan termasuk sebagai pembelaan darurat.
Aparat penegak hukum mestinya dapat menerapkan asas
proporsionalitas/subsidiaritas pada kasus-kasus pembelaan seperti ZA dan Irfan pada
kasus yang telah dijelaskan diatas sebagai parameter pembuktian, tidak hanya
berdasarkan unsur pasal yang dipersangkakan atau didakwakan saja. Pembuktian
berdasarkan asas ini secara terbuka dapat menjaga objektivitas dan independensi aparat
penegak hukum, serta mencegah perspektif sempit masyarakat yang hanya membaca
ulasan heroisme dari media, tanpa memahami fakta kasus secara jernih.
Penggalian fakta dengan menerapkan asas proporsioanalitas/ subsidiaritas tentu
lebih adil dibanding sebatas penetapan tersangka/terdakwa dan pembuktian sekadarnya
berdasarkan pengenaan pasal-pasal pembunuhan atau penganiayaan. Fakta-fakta
pembelaan dan fakta-fakta penyerangan masing-masing harus dibuktikan, ditimbang,
dan dinilai sedemikian rupa secara proporsional, sehingga tidak mencederai keadilan
serta menimbulkan polemik di masyarakat.
Jika didasarkan pada asas tersebut, maka kasus ZA dan Irfan tentu tidak bisa
dipersamakan. Sekalipun cara pembelaan keduanya sama-sama berakhir dengan
hilangnya nyawa pembegal, namun apakah kepentingan hukum yang dilindungi dan
serangan atau ancaman yang terjadi juga memiliki kualitas yang sama.
Dapat disimpulkan bahwa, pembelaan terpaksa menekankan pada pembelaan
atau pertahanan diri yang dilakukan oleh seseorang bersamaan ketika ada ancaman
yang datang kepadanya. Batas-batas dari suatu pembelaan telah dilampaui apabila
setelah pembelaan yang sebenarnya itu telah selesai, orang tersebut masih tetap
menyerang penyerang, walaupun serangan dari penyerang itu telah berakhir. Pada
pembelaan diri luar biasa, keadaan jiwa yang terguncanglah yang menyebabkan batas
pembelaan diri dilampaui. Kejelian para penegak hukum dalam menerapkan aturan
Pasal 49 KUHP dan Pasal 338 , 351 Ayat 3 sangat diperlukan sebab aturan tersebut
merupakan sebuah perlindungan hukum bagi mereka yang dianggap berhak untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu sebagai bentuk pembelaan terpaksa atau
kesengajaan.
Adapun solusi atas Pasal 49 KUHP Yang Berbanding Terbalik Dengan Pasal 338
& 351 Ayat 3 Antara Membela Diri Sebagai Korban Malah Jadi Tersangka sebagai
berikut:
1. Kita sebagai masyarakat agar tetap meghormati hukum yang berlangsung.
2. Berusahalah lebih bijak dalam menyikapi persoalan.
3. Hindari memberikan komentar miring atau negatif di media sosial. Disini
maksudnya bukan berarti melarang dalam berkomentar, hanya saja ketika
memberikan komentar berisikan kritikan dengan bahasa yang sopan dan baik.
4. Jangan mudah terpancing
5. Pandai-pandailah dalam memilah antara berita atau informasi hoax dan fakta
6. Pihak berwenang seperti kepolisan dan kejaksaan wajib bersikap netral dalam
mengambil keputusan, yakni tetap menjunjung tinggi keadilan.
A. KESIMPULAN
Permasalahan yang ada di masyarakat semakin beragam, bahkan ada yang tidak
segan untuk menghilangkan nyawa orang lain demi suatu tujuan, sehingga khusususnya
hukum pidana disini sebagai alat penegak atau penjamin Hak asasi Manusia tersebut. Untuk
menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu dengan adanya suatu ketentuan
dalam KUHP yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan suatu sanksi
terhadapnya.
KUHP sendiri telah mengklasifikasikan tindak pidana atau delik kedalam dua
kelompok besar yaitu dalam Buku Kedua dan ketiga masing-masing menjadi kelompok
kejahatan dan pelanggaran. Kemudian bab-babnya dikelompokkan menurut sasaran yang
hendak dilindungi oleh KUHP terhadap tindak pidana tersebut. Dalam hal ini kita akan
berfokus pada Pasal 49 KUHP dengan Pasal 338 & 351 KUHP ayat (3).
Pasal 49 KUHP mengatur mengenai perbuatan “pembelaan darurat” atau
“pembelaan terpaksa” (noodweer) untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan
kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman
serangan yang sangat dekat. Sedangkan isi dari pasal 338 yaitu sebagai berikut: “Barang
siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun." Dan pasal 351 ayat (3) KUHP yang
berbunyi: “Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Semua peraturan meupun perundang-undangan yang dibuat pasti memiliki
keuntungan dan kekurangannya. Sebuah kebijakan dibuat untuk kepentingan orang banyak,
namun tak jarang juga ada sebagian kelompok yang merasa dirugikan dengan kebijakan
tersebut. Jadi, diantara pasal 49 dan Pasal 338 dan 351 ayat 3 KUHP harus adanya
kesingkronan. Keduanya memiliki sisi positif dan negatif, dimana jangan sampai ketika
tindakan atau sebuah kasus yang seharusnya sesuai dengan pasal 49 KUHP malah
sebaliknya dijadikan tindak pidana terhadap Pasal 338 dan 351 ayat 3 KUHP. Sehingga,
Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, baik yang disengaja atau yang
tidak, oleh karenanya harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kehendak
untuk menimbulkan kematian. Dengan menjunjung hak asasi manusia atau individu dalam
memenuhi rasa keadilan dan melindungi masyarakat ,serta mencegah terulangnya tindak
pidana, baik dari pelaku sendiri maupun bagi orang lain untuk melakukan perbuatan yang
telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Adapun tanggapan pasal 49 KUHP yang berbanding dengan pasal 338 & 351
KUHP ayat 3 antara membela diri sebagai korban malah jadi tersangka adalah Kejelian
para penegak hukum dalam menerapkan aturan Pasal 49 KUHP Pasal 338 & 351 Ayat 3
sangat diperlukan sebab aturan tersebut merupakan sebuah perlindungan hukum bagi
mereka yang dianggap berhak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu sebagai bentuk
pembelaan terpaksa atau kesengajaan.
Sedangkan solusi yang dapat kami berikan atas Pasal 49 KUHP Yang Berbanding
Terbalik Dengan Pasal 338 & 351 Ayat 3 Antara Membela Diri Sebagai Korban Malah Jadi
Tersangka yaitu kita sebagai masyarakat agar tetap meghormati hukum yang berlangsung,
berusahalah lebih bijak dalam menyikapi persoalan, hindari memberikan komentar miring
atau negatif di media sosial. disini maksudnya bukan berarti melarang dalam berkomentar,
hanya saja ketika memberikan komentar berisikan kritikan dengan bahasa yang sopan dan
baik, jangan mudah terpancing, pandai-pandailah dalam memilah antara berita atau
informasi hoax dan fakta, dan pihak berwenang seperti kepolisan dan kejaksaan wajib
bersikap netral dalam mengambil keputusan, yakni tetap menjunjung tinggi keadilan.