Anda di halaman 1dari 20

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK


DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP

Kekerasan adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap

orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi siterancam atau

mengagetkan yang dikerasi. Mengenai perluasannya, termuat dalam Pasal 89

KUHP yang berbunyi : “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan

dengan menggunakan kekerasan”. Suatu contoh tentang kekerasan antara lain

ialah seorang pria menarik wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah,

tangannya dipegang kuat-kuat, dagunya ditekan lalu diinjak-injak oleh si-pria

25
tersebut.

Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) terdapat kejahatan

kekerasan yang pengaturannya tidak disatukan dalam satu bab khusus, akan tetapi

terpisah-pisah dalam bab tertentu. Didalam KUHP kejahatan kekerasan dapat

digolongkan sebagai berikut:

1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain ( Pasal 338-350 KUHP )

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai

suatu pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa

(misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang

25
SR. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHAEM-
PETEHAE: Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231

Universitas Sumatera Utara


lain. Untuk menghilangkannya nyawa orang lain itu seorang pelaku harus

melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan

meninggalnya orang lain.

Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau

dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu:

1) Atas dasar unsur kesalahan

2) Atas dasar objeknya (nyawa)

Atas dasar kesalahan ada 2 (dua) kelompok kejahatan terhadap nyawa, ialah:

1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven)

2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian (Culpose

misdrijven)

Berdasarkan atas objeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan


26
terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu:

1. Kejahatan terhadap nyawa orang pada umunya, dimuat dalam Pasal: 338,
339, 340, 344, 345
2. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan,
dimuat dalam Pasal: 341, 342, dan 343
3. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin),
dimuat dalam Pasal: 346, 377, 348, dan 349.

Sedangkan kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian adalah

kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan:

“barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,

dipidana kurungan paling lama 1 tahun”.

26 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-


Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1988, hal. 240-244

Universitas Sumatera Utara


2. Kejahatan penganiayaan ( Pasal 351-356 )

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh adalah pada KUHP disebut

penganiayaan di bentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia ini di tunjukan

bagi kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan berupa penyerangan atas tubuh

atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena

luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.

Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan)


27
dapat dibedakan menjadi 6 macam, yakni:

1. Penganiayaan biasa (pasal 351 KUHP);


2. Penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP);
3. Penganiayaan berencana (pasal 353 KUHP);
4. Penganiayaan berat (pasal 354 KUHP);
5. Penganiayaan berat berencana (pasal 355 KUHP);
6. Penganiayaan dengan cara dan terhadap orang-orang yang berkualitas
tertentu yang memberatkan (pasal 356 KUHP).
Pasal 356 KUHP ancaman pidana penjara yang ada dapat ditambah dengan

sepertiga dari ancaman yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 KUHP
28
yaitu bila:

1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah,
istrinya atau anaknya;
2. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena
menjalankan tugasnya yang sah;
3. Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

3. Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan ( Pasal 365 KUHP )

Pasal 365 KUHP adalah pasal yang mengatur tentang pencurian yang di

dahului dengan kekerasan. Kekerasan yang dimaksud yaitu dilakukan kepada

27Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, (Edisi Kedua), Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 25
28 Ibid., hal.37

Universitas Sumatera Utara


Orang bukan barang dengan tujuan untuk menyiapkan atau mempermudah dalam

menjalankan tindak pidana pencurian yang dilakukan.

Kejahatan pencurian dengan kekerasan oleh pembentuk undang-undang yang


29
diatur dalam pasal 365 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah
pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan
diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang
dicuri.
2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat
atau dengan memakai anak kunci palsu, periniah palsu atau pakaian
jabatan palsu.
4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana
penjarapaling lama lima belas tuhun.
4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan
luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan
3.

4. Kejahatan terhadap kesusilaan, khususnya ( Pasal 285 KUHP)

Delik pemerkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi sebagai
30
berikut:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang

wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan

perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

29 R. Soesilo, Op.cit. hal.253


30 Ibid., hal. 210

Universitas Sumatera Utara


5. Kejahatan kekerasan terhadap ketertiban umum ( Pasal 170 KUHP )

Kekerasan terhadap ketertiban umum aturannya dapat dilihat dalam Pasal 170
31
KUHP yang bunyinya adalah:

1) Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan

terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun

enam bulan.

2) Tersalah dihukum:

1. dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja


merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan
sesuatu luka.
2. dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu
menyebabkan luka berat pada tubuh
3. dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan
itu menyebabkan matinya orang.

2. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di luar KUHP

Diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pengaturan tentang

kekerasan dapat juga kita lihat, di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


32
Di dalam UU Penghapusan KDRT kekerasan adalah:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga”.

31 Ibid., hal. 146


32 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004

Universitas Sumatera Utara


Kekerasan didalam undang-undang ini lebih menekankan kepada tindak

kekerasan yang dilakukan terhadap istri tetapi bukan hanya istri saja yang dapat

dikatakan sebagai korban kekerasan. Semua orang yang berada didalam rumah

tangga dapat juga dikatakan sebagai korban termasuk anak.

Rumah tangga dapat diartikan sebagai semua orang yang tinggal bersama

di satu tempat kediaman. Rumah Tangga adalah suatu unit sosial yang berorientasi

pada tugas, unit ini lebih besar dari individu tetapi lebih kecil daripada

ketetanggaan atau komunitas. Dalam rumah tangga ada sejumlah aturan-aturan

dan pembagian fungsi dan tanggung jawab setiap anggotanya. Anggota suatu

rumah tangga bisa terdiri dari satu atau beberapa keluarga (family) atau juga

keluarga dengan orang lain selam mereka hidup bersama, jadi jelas rumah tangga

33
berbeda dengan keluarga.

Pasal 2 UU PKDRT yang termasuk cakupan rumah tangga ialah: suami,

isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);orang-orang yang

mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas

karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan),

persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;

dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang

bersangkutan.

33
Purnianti, Menyikap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Mitra Perempuan,
Jakarta: 2006, Hal. 7

Universitas Sumatera Utara


Kekerasan didalam rumah tangga ini dapat dikatakan juga sebagai

penganiayaan karena kekerasan ini juga menimbulkan tekanan mental maupun

gangguan fisik dari seorang korban yang mengalami kekerasan, yang dimana
34
bentuk-bentuk kekerasan tersebut berupa :

a. Kekerasan fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat;
b. Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;
c. Kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu, yang meliputi: pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu.

Selain itu kekerasan di luar KUHP juga terdapat di dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Di dalam UU


35
Perlindungan Anak kekerasan adalah:

“Setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman

untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara

melawan hukum.”

Pengertian anak di dalam Pasal 1 UU Perlindungan Anak yakni:

“Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.”

34 Pasal 5-8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004


35
Pasal 1 angka (16) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


Larangan kekerasan dalam UU Perlindungan Anak ini terdapat dalam

Pasal 76A, 76C, 76D, 76E yang berbunyi:

1. Pasal 76A
Setiap orang dilarang:
a. Memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak
mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat
fungsi sosialnya; atau
b. Memperlakukan anak penyandang disabilitas secara diskriminatif.
2. Pasal 76C
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, atau turut serta
melakukan kekerasan terhadap anak.
3. Pasal 76D
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
4. Pasal 76E
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul.

Mengenai Pasal 76D dan 76E tentang kekerasan seksual sanksi pidana

yang terdapat dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 81 telah diubah dalam

peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2016 tentang

perubahan kedua atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak, yang kini telah diundangkan menjadi undang-undang nomor

17 tahun 2016.

B. Tindak Pidana dan Sanksi Pidana Atas Kekerasan Yang Dilakukan


Terhadap Anak
Berbicara mengenai hukum pidana, tidak akan terlepas dari perbuatan

pidana atau tindak pidana dan juga pertanggungjawaban pidana. Setiap orang

yang melakukan tindak pidana, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya

tersebut. Bentuk pertanggungjawaban pidana adalah dengan menjatuhkan sanksi

Universitas Sumatera Utara


pidana terhadap pelaku tindak pidana. Secara sederhana, sanksi dapat diartikan

sebagai suatu ganjaran yang bersifat negatif.

Dalam hal pemberian sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

kekerasan terhadap anak di dalam keluarga, hakim dapat menjatuhkan pidana

tambahan berupa pencabutan hak hak-hak tertentu sesuai dengan yang telah diatur

dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: Pidana

terdiri atas ;

1. Pidana Pokok

a. Pidana Mati

b. Pidana Penjara

c. Pidana Kurungan

d. Pidana Denda

2. Pidana Tambahan

a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu

c. Pengumuman Putusan Pengadilan

Berdasarkan kepada pasal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa pidana

pokok itu terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana

denda. Berdasarkan ketentuan pasal 69 KUHP, maka urutan pidana pokok

sebagaimana disebutkan di dalam pasal 10 menunjukkan perbandingan berat atau

Universitas Sumatera Utara


ringannya pidana pokok yang tidak sejenis. Dengan demikian pidana pokok yang
36
terberat adalah pidana mati.

Pidana penjara merupakan pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana

kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dikenal pula dengan pidana

pemasyarakatan. Dalam KUHP, jenis pidana ini digolongkan sebagai pidana

37
pokok. Pada umumnya, hukuman penjara dijalani dalam suatu ruangan tertentu.

Sama halnya dengan pidana kurungan yang juga bersifat membatasi kemerdekaan

orang lain. Bedanya, pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi

orang-orang dewasa dan merupakan satu-satunya jenis pidana pokok berupa

pembatasan kebebasan bergerak yang dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-

orang yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana di atur dalam

38
KUHP. Pidana kurungan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai pokok pidana

39
ataupun sebagai pengganti dari pidana denda.

Selain itu, dalam pidana pokok ketiga yaitu pidana denda. Menurut Andi

Hamzah dalam buku Marlina, pidana denda merupakan bentuk pidana tertua lebih

tua dari pidana penjara, dan mungkin setua pidana mati. Pidana denda terdapat

40
pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitive.

Selain tindak pidana pokok, KUHP memberikan tindak pidana yang

bersifat tambahan seperti pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang dan

36 Ekaputra, Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut
Konsep KUHP Baru, Medan: USU Press, 2010, hal. 21
37 Marlina, Hukum Penitensir, Bandung: PT. Refika Aditama, 2011, hal. 87
38 P.A.F Lamintang, Hukum Pidana I : Hukum Pidana Material Bagian Umum,
Bandung: Bina Cipta, 1987, hal. 16
39 Marlina, Op.cit., hal. 111
40 Ibid., hal. 112

Universitas Sumatera Utara


lainnya. Biasanya, pidana tambahan sering digunakan kepada korporasi yang

melakukan tindak pidana.

Dalam hal kasus kekerasan anak dalam keluarga, maka pidana tambahan

yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa pencabutan hak asuh atas seorang anak.

Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak asuh yang dijatuhkan oleh hakim

dalam pemidanaan terhadap orang tua (ayah atau ibu) sebagai pelaku tindak

pidana kekerasan terhadap anak dalam keluarga dilakukan dengan pertimbangan

bahwa orang tua telah gagal atau tidak melaksanakan kewajibannya terhadap

anak. Mengenai pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh atas anak yang

dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku (orang tua) dalam kasus tindak

pidana kekerasan terhadap anak dalam keluarga, diatur dalam Pasal 37 ayat (1)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:

(1) Kekuasaan bapak kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu

pengawas, baik atas nama anak sendiri maupun atas orang lain, dapat dicabut

dalam hal pemidanaan:

1. Orang tua atau wali yang dengan sengaja melakukan kejahatan dengan

bersama-sama dengan anak yang belum dewasa yang ada di bawah

kekuasaannya;

2. Orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa yang ada di bawah

kekuasaannya, melakukan kejahatan yang tersebut dalam Bab XIII, XIV, XV,

XVIII, XIX, dan XX Buku Kedua.

Universitas Sumatera Utara


C. Tindak Pidana dan Sanksi Atas Kekerasan yang dilakukan terhadap
anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak.
UU No. 35 Tahun 2014, yaitu tentang Perlindungan Anak memberikan

perlindungan hukum terhadap hak anak khususnya juga terhadap anak korban

tindak pidana kekerasan. Pasal 1 UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan

anak memberikan pengertian tentang Perlindungan Anak yaitu segala kegiatan

untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Di dalam UU No. 35 tahun 2014 juga telah mengatur sanksi terhadap

pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak atau penyiksaan terhadap anak.

Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3) sebagaimana

tersebut di bawah ini:

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal


76C yang berbunyi : Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan
terhadap anak. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah).
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Dalam Pasal 80 ayat (4) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak juga mengatur secara khusus mengenai tidak pidana

penganiayaan terhadap anak dalam keluarga disertai sanksi pidana yaitu: Pidana

Universitas Sumatera Utara


ditambah 1/3 (sepertiga) dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah orang

tuanya.

Adapun kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah terhadap

penyelenggaraan perlindungan anak, ditegaskan dalam Pasal 21 sampai Pasal 25

UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang meliputi kewajiban dan

tanggungjawab:

1. Pasal 21
1) Menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras,
golongan, jenis kelamin, etnik budaya dan bahasa, status hukum, urutan
kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental
2) Untuk menjamin pemenuhan Hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati
Hak Anak
3) Untuk menjamin pemenuhan Hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab dalam merumuskan
dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan Perlindungan
Anak
4) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak dan melaksanakan kebijakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah berkewajiban
dan bertanggungjawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan
nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah
5) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diwujudkan
melalui upaya daerah membangun Kabupaten/Kota layak Anak.
2. Memberikan dukungan sarana, prasarana dan ketersediaan sumber daya
manusia dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak (Pasal 22)
3. Menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan Anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban Orang tua, wali, atau orang lain. Dalam
hal ini Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah mengawasi
penyelenggaraan Perlindungan Anak (Pasal 23)
4. Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin Anak untuk
mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia
dan tinkat kecerdasan Anak (Pasal 24)
5. Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap Perlindungan Anak
dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
Perlindungan Anak. Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat yakni dengan
melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati Anak (Pasal
25).

Universitas Sumatera Utara


Di dalam Pasal 26 juga mengatur kewajiban dan tanggungjawab keluarga

dan orang tua, yakni:

1. Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk:


a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak
b. Menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak, dan
d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada
Anak.
2. Dalam hal Orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau
karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan
tanggungjawabnya, kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapt beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Orang tua sebagaimana dimaksud dalam UU No. 35 Tahun 2014 Pasal 1
adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah
dan/atau ibu angkat”.

Selanjutnya dalam Pasal 33 Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak juga mengatur mengenai pencabutan hak asuh bagi orang tua

yang melakukan tindak pidana kekerasan anak dalam keluarga, yaitu:

1. Dalam hal Orang Tua dan Keluarga Anak tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk
sebagai Wali dari Anak yang bersangkutan
2. Untuk menjadi Wali dari Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui penetapan pengadilan
3. Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki
kesamaan dengan agama yang dianut Anak
4. Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggungjawab terhadap diri
Anak dan wajib mengelola harta milik Anak yang bersangkutan untuk
kepentingan terbaik bagi Anak
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penunjukan Wali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Apabila hakim menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak asuh anak

terhadap orang tua sebagai pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam

keluarga, maka hakim juga harus menentukan batas waktu atau lamanya

Universitas Sumatera Utara


pencabutan hak asuh anak tersebut, dengan kata lain orang tua mempunyai hak

untuk memperoleh kembali hak asuh anak melalui penetapan pengadilan. Dan

Penetapan pengadilan tentang kuasa asuh anak tidak memutuskan hubungan darah

antara anak dan orang tua kandungnya dan/atau tidak menghilangkan kewajiban

orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya.

Upaya perlindungan hukum terhadap anak perlu secara terus-menerus

diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak, mengingat anak

merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa di kemudian hari.

Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat/tingkat yang

sama dengan perlindungan terhadap orang-orang yang berusia dewasa mengingat

setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before

the law).

Oleh karena itu, negara bersama-sama dengan segenap anggota masyarakat

lainnya, perlu bahu-membahu memberikan perlindungan yang memadai kepada

anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan manipulasi yang dilakukan oleh

orang-orang yang tidak bertanggungjawab, agar anak sebagai generasi pewaris

bangsa dapat berdiri dengan kokoh dalam memasuki kehidupan yang semakin

keras di masa-masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara


D. Tindak Pidana dan Sanksi Atas Kekerasan yang dilakukan terhadap
anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
UU No. 23 Tahun 2004 memberikan pengertian tentang Kekerasan dan

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yakni di dalam Pasal 1 UU ini

yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan

terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan

atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga

Dan selanjutnya di dalam Pasal 2, yang dimaksud dengan Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk

mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan

dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang dimaksud dengan korban adalah orang

yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah

tangga. Korban menurut undang-undang ini yaitu mereka yang memilki

kedudukan sosial yang lemah yang mengakibatkan ia menjadi korban.

Di dalam pasal 2 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004, lingkup rumah tangga

meliputi:

a. Suami, istri, dan anak


b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Ketentuan tentang larangan KDRT tercantum dalam Pasal 5, Pasal 8 dan

Pasal 9 UU No.23 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 5 UU No.23 Tahun 2004

menyebutkan : “Setiap orang dilarang melakukan KDRT terhadap orang dalam

lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a. Kekerasan fisik

b. Kekerasan psikis

c. Kekerasan seksual atau

d. Penelantaran rumah tangga.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah

perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan

psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang

menyebabkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan

untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada

seseorang. Sedangkan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

huruf c meliputi :

1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap

dalam lingkup rumah tangga tersebut

2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Universitas Sumatera Utara


Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.23 Tahun 2004 ditentukan, sebagai berikut

1. “Setiap orang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal


menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian
ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah,
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.”

Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak dalam keluarga merupakan

bagian dari tindak kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga dan salah satu

bagian dari suatu rumah tangga itu adalah seorang anak, maka penulis

berpendapat bahwa lebih baik jika ketentuan pidana yang dijatuhkan kepada

pelaku tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga adalah ketentuan pidana

yang terdapat dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu dalam Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3)

dijelaskan mengenai ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan fisik dalam lingkup

rumah tangga, yaitu:

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah).
3. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh
lima juta rupiah).

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatur mengenai

ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, yaitu:

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah

tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00

(sembilan juta rupiah)”.

Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami

penderitaan/kerugian yang sangat beragam, seperti materiil, fisik maupun psikis

sehingga perlindungan yang diberikan kepada korban pun harus beragam pula.

Tidak sedikit korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami penderitaan

secara beruntun pada waktu bersamaan. Oleh karena itu, guna mengurangi beban

penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga, undang-

undang memberikan hak kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, untuk
41
mendapatkan:

1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,


lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan
5. Pelayanan bimbingan rohani.

41 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan


dalam Rumah Tangga.

Universitas Sumatera Utara


Dalam UU KDRT, disebutkan juga: “Pemerintah bertanggung jawab

dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga” (Pasal 11). Upaya

pencegahan tersebut adalah:

(a) Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

(b) Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan

dalam rumah tangga;

(c) Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah

tangga (Pasal 12).

Untuk tetap menjaga agar tidak terjadinya kekerasan terhadap anak dalam

keluarga tersebut, tentu saja tetap dibutuhkan peran serta dari masyarakat, anggota

keluarga itu sendiri, juga peran dari si korban yang bersangkutan, guna

terungkapanya kasus tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Hal

tersebut diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di mana disebutkan bahwa:

“Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua,

wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai