PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Era reformasi yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1998 salah satu
penyebabnya adalah pengaruh perubahan nilai terhadap perilaku politik, ekonomi
dan hukum. Oleh karena itu reformasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu politik,
ekonomi dan hukum. Reformasi di bidang hukum berusaha untuk menegakkan
kembali supremasi hukum.
B. Rumusan Masalah
a) Bagaimana Perspektif Konstitusional dan Problematika Lembaga
Peradilan Indonesia periode 1970 – 1998?
b) Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakmandirian Lembaga
Peradilan Indonesia pada Periode 1970 – 1998?
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Praktik peradilan Indonesia yang tidak memuaskan masyarakat telah lama
dirasakan, yang bertentangan dengan prinsip peradilan yang murah, cepat, dan
sederhana. Mochtar Kusumaatmadja mengajukan setidaknya ada 6 faktor
yang melatarbelakangi ketidakpuasan masyarakat terhadap proses peradilan
selama ini, yakni:
4
Ironisnya, penyimpangan tetap terjadi sekalipun tidak terdapat kolusi
antara hakim dan pencari keadilan, yaitu penulisan putusan yang sengaja
dilakukan secara keliru oleh panitera.
Faktor struktur atau institusi akan berpengaruh ketika struktur itu bukan
sebagai lembaga otonom yang merdeka, melainkan sebagai struktur tergantung
dan berada di bawah kekuasaan struktur lain. Ketika sebuah struktur atau institusi
menjadi sub-ordinasi dengan struktur lain, maka struktur yang tersub-ordinasi itu
akan menjadi penyebab lembaga itu tidak bebas dan mandiri. Demikianlah yang
terjadi pada lembaga peradilan selama ini, di mana struktur organisasinya menjadi
bagian dan tidak terpisahkan dengan lembaga eksekutif.
5
Berbagai UU telah menuju ke arah ketidakmandirian lembaga peradilan,
termasuk UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana terlihat dalam Pasal 11 ayat (1)
menyebutkan: badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam Pasal 10
ayat (1) organisasi, administrasi dan finansial di bawah kekuasaan masing-
masing departemen yang bersangkutan. Dengan demikian Pasal tersebut telah
menjadikan badan-badan yang melakukan peradilan menjadi sub ordinasi pada
dua kekuasaan, yaitu di satu pihak pada departemen-departemen yang
bersangkutan (sebut eksekutif) dan di lain pihak pada MA.
2) Faktor Hakim
Jaminan profesi dan stasus hakim menjadi faktor yang menentukan pula,
ketika jaminan sosial dan status kepegawaian para hakim kuat pulalah pendirian
para hakim itu, sebaliknya jika jaminan sosial dan status kepegawaian lemah dan
tidak jelas, maka lemah pula pendirian hakim itu
Integritas moral para hakim, adalah persoalan utama dan faktor terpenting
bagi kemandirian lembaga peradilan. Bukan rahasia lagi bahkan selalu menjadi
pembicaraan bahwa moralitas para hakim telah berada pada titik rendah.
Rendahnya moral para hakim sering dikaitkan dengan baik buruknya citra
lembaga peradilan. Ketika citra peradilan rusak, maka petaka bagi kemandirian
lembaga peradilan. Dan inilah yang terjadi selama mas orde baru.
6
Sebuah gejala yang mengkhawatirkan penegakan hukum dan keadilan di
Indonesia, adalah keadilan hukum negara yang tidak sejalan dengan keadilan
moral dan keadilan masyarakat. Dengan kata lain, adanya putusan pengadilan
yang tidak sejalan dengan norma-norma masyarakat. Dampak langsung gejala ini,
pertama, adalah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada keadilan hukum
negara, dan kedua, timbulnya inisiatif masyarakat untuk membuat pengadilan
sendiri yang disebut sebagai main hakim sendiri.
7
4) Faktor Administrasi Peradilan
5) Faktor Kekuasaan
1
Mariam budiardjo, Aneka PemikiranTentang Kekuasaan dan Wibawa, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, 1991, hal. 9
8
6) Faktor Politik
Faktor politik juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi lemah dan
kuatnya kemandirian lembaga peradilan. Politik demikian mengandung bahaya
karena orang haya akan berpikir untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan
sempit dari golongannya sendiri, sebagaimana berdampak pada kekuasaan
kehakiman di bawah kendali kepentingan-kepentingan kekuasaan eksekutif
maupun legislatif. Berdasarkan hasil penelitian kebanyakan mereka yang
menduduki jabatan Hakim Agung bahkan menjadi pimpinan di Mahkamah Agung
pada periode 1970-1998 berawal dari kedekatan mereka dengan penguasa
eksekutif kala itu2
2
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES, 1998, hal 2
3
Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, 2007, hal
112-113
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
10
Daftar Pustaka
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES
11