Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

lembaga yang paling mendapat perhatian dalam rangka menegakkan


supremasi hukum adalah lembaga peradilan. Sebagai salah satu ciri negara
hukum, lembaga peradilan itu haruslah bebas dan tidak memihak. Peradilan harus
independent serta impartial (tidak memihak). Peradilan yang bebas pada
hakikatnya berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh putusan yang seadil-
adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa
pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Tugas dan fungsi pengadilan tidak
sekedar menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk
ketertiban umum dalam masyarakat. Untuk itu perlu reformasi sistem peradilan
menyangkut penataan kelembagaannya (institu-tional reform) ataupun
menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (legal substance
reform).

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia secara konstitusional diamanatkan


dalam Bab IX Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di
dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah
Konstitusi merupakan wujud dari Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka mengandung makna, bahwa dalam


melaksanakan tugas dan fungsi yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman
tersebut baik yang bersifat fungsional maupun institusional tidak boleh
diintervensi atau dipengaruhi oleh kekuasaan manapun.

1
Era reformasi yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1998 salah satu
penyebabnya adalah pengaruh perubahan nilai terhadap perilaku politik, ekonomi
dan hukum. Oleh karena itu reformasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu politik,
ekonomi dan hukum. Reformasi di bidang hukum berusaha untuk menegakkan
kembali supremasi hukum.

B. Rumusan Masalah
a) Bagaimana Perspektif Konstitusional dan Problematika Lembaga
Peradilan Indonesia periode 1970 – 1998?
b) Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakmandirian Lembaga
Peradilan Indonesia pada Periode 1970 – 1998?

C. Tujuan

a) Untuk mengetahui Perspektif Konstitusional dan Problematika Lembaga


Peradilan Indonesia periode 1970 – 1988
b) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakmandirian
Lembaga Peradilan Indonesia pada Periode 1970 – 1998

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perspektif Konstitusional dan Problematika Lembaga Peradilan


Indonesia Periode 1970-1998

Menurut Mantan Ketua Mahkamah Agung Purwoto Gandasubrata, bahwa


Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 serta penjelasannya tidak secara tegas
mengatur kekuasaan lembaga peradilan.karena itu dia mengusulkan
pentingnya penjabaran lebih lanjut tentang kedua Pasal tersebut, yang tidak
boleh mengurangi dan membatasi kekuasaan lembaga peradilan dan
mempertegas kedudukannya sederajat dengan kekuasaan pemerintah negara.

Berbeda dengan Mantan Ketua MA, mantan Menteri Kehakiman Ismail


Saleh menbenarkan campur tangan kekuasaan pemerintah negara dalam
mengatur kekuasaan lembaga peradilan dengan mengajukan 3 alasan.
Pertama, campur tangan tersebut merupakan konsekuensi dari paham negara
kekeluargaan yang dianut dalam UUD1945. Kedua, campur tangan tersebut
dibenarkan karena sesuai dengan bunyi pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa presiden bersama DPR juga menjalankan kekuasaan
Legislatif. Dengan demikian menurutnya Pemerintah juga mengatur tentang
kekuasaan kehakiman. Ketiga, dengan pasal 5 tersebut maka kekuasaan
lembaga peradilan bisa dikontrol sehingga tidak berat sebelah dalam
melaksanakan tugasnya.

R. Subekti berpendapat bahwa kebebasan hakim yang menjadi sendi


peradilan yang baik tidak saja dalam hal larangan untuk mempengaruhi
kekuasaan lembaga peradilan oleh kekuasaan lain diluar kekuasaan lembaga
peradilan, tetapi MA juga dilarang campur tangan atau mempengaruhi suatu
peradilan dibawahnya yang sedang memeriksa dan memutus suatu perkara.
MA baru mempunyai kekuasaan dalam pemutusan suatu perkara jika ada
permohonan pemeriksaan kasasi dalam perkara tersebut. Fungsi pengawasan
atas jalannya peradilan yang dapat dilakukan oleh MA terhadap peradilan
dibawahnya, antara lain, yaitu dalam hal menegur penyelesaian perkara yang
sudah terlalu lama, memerintahkan pelaksanaan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang terlampau lama tertunda, perintah
penangguhan yang secara mencolok menyalahi syarat-syarat menurut
undang-undang.

3
Praktik peradilan Indonesia yang tidak memuaskan masyarakat telah lama
dirasakan, yang bertentangan dengan prinsip peradilan yang murah, cepat, dan
sederhana. Mochtar Kusumaatmadja mengajukan setidaknya ada 6 faktor
yang melatarbelakangi ketidakpuasan masyarakat terhadap proses peradilan
selama ini, yakni:

1. Lambatnya penyelesaian perkara, yang disebabkan oleh proses


distribusi perkara di Pengadilan, penentuan majelis hakim dan
penentuan sidang pertama untuk pemeriksaan perkara ataupun
permohonan
2. Adanya kesan bahwa terkadang hakim kurang berusaha
memutuskan perkara dengan sungguh-sungguh yang didasarkan
atas pengetahuan hukumnya, hukum positif dan keyakinannya.
3. Adanya kasus penyuapan atau percobaan penyuapan terhadap
hakim yang tidak dapat dibuktikan, karena teknik pemberian uang
suap dilakukan tanpa bukti dan tanpa saksi-saksi yang cukup
4. Perkara yang diperiksa kadang diluar pengetahuan hakim yang
bersangkutan, karena kompleksitas permasalahan maupun
kemalasan hakim yang bersangkutan untuk membuka buku-buku
referensi tentang perkara tersebut. Karena itu sangat sedikit hakim
yang mampu memeriksa kasus transaksi ekonomi berdimensi
modern ataupun kasus multimedia.
5. Para pengacara yang tidak selalu secara profesional bertindak demi
klien yang mempercayakan perkara kepadanya dan melaksanakan
tugas pengacara untuk turut menegakkan hukum dan keadilan.
6. Pencari keadilan sendiri tidak melihat proses pengadilan itu
sebagai suatu cara untuk mencari keadilan menurut hukum,
melainkan hanya sebagai sarana untuk memenangkan perkaranya
dengan cara apapun

Segenap faktor tersebut kemudian menurunkan kinerja pengadilan,


kepercayaan publik terhadap pengadilan dan profesi hukum secara keseluruhan.
Pelayanan penegakan hukum di lingkungan peradilan diperburuk lagi dengan
tidak adanya kepastian kapan suatu perkara selesai diputus oleh hakim. Hal ini
dapat terjadi karena tidak transparannya waktu penyelesaian perkara, di samping
faktor menumpoknya perkara di MA. Dalam situasi ketidakpastian inilah, terbuka
peluang “kong-kalikong” antara pencari keadilan dengan petugas kepaniteraan di
pengadilan.

4
Ironisnya, penyimpangan tetap terjadi sekalipun tidak terdapat kolusi
antara hakim dan pencari keadilan, yaitu penulisan putusan yang sengaja
dilakukan secara keliru oleh panitera.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakmandirian Lembaga


Peradilan Indonesia pada Periode 1970-1998

Bersumber dari hasil kajian, terdapat 7 (tujuh) faktor yang mempengaruhi


ketidakmandirian lembaga peradilan Indonesia pada sekitar tahun 1970-1998
yaitu:

1) Struktur Organisasi atau Institusi

Faktor struktur atau institusi akan berpengaruh ketika struktur itu bukan
sebagai lembaga otonom yang merdeka, melainkan sebagai struktur tergantung
dan berada di bawah kekuasaan struktur lain. Ketika sebuah struktur atau institusi
menjadi sub-ordinasi dengan struktur lain, maka struktur yang tersub-ordinasi itu
akan menjadi penyebab lembaga itu tidak bebas dan mandiri. Demikianlah yang
terjadi pada lembaga peradilan selama ini, di mana struktur organisasinya menjadi
bagian dan tidak terpisahkan dengan lembaga eksekutif.

Berdasarkan hasil penelitian pada periode 1970-1998, ditemukan tentang


susunan organisasi lembaga peradilan, khususnya pada Peradilan Tingkat
Pertama, Peradilan Tingkat Banding, dan Mahkamah Agung adanya jabatan
sekertariat. Demikian pula pada Peradilan Tingkat Banding terdapat jabatan
kesekretariatan yang dipimpin oleh seorak Pansek (Panitera Sekretaris) dibantu
oleh seorang Wakil Sekretaris. Pada tingkat Mahkamah Agung terdapat
Sekretariat Jenderal yang di pimpin oleh Sekretaris Jenderal dibantu oleh seorang
Wakil Sekretaris Jenderal.

Sebenarnya jaminan untuk tidak ter-sub ordinasi kepada kekuasaan lain


merupakan syarat mutlak bagi suatu lembaga peradilan yang tidak memihak
terutama dalam hal penyelesaian perkara-perkara di mana badan eksekutif
menjadi satu pihak yang berpekara atau mempunyai kepentingan dalam perkara
yang bersangkutan. Namun kenyataannya, dalam sejarah peradilan Indonesia telah
menunjukkan bahwa susunan kelembagaan peradilan telah menjadi sub-ordinasi
dari lembaga lain.

5
Berbagai UU telah menuju ke arah ketidakmandirian lembaga peradilan,
termasuk UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana terlihat dalam Pasal 11 ayat (1)
menyebutkan: badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam Pasal 10
ayat (1) organisasi, administrasi dan finansial di bawah kekuasaan masing-
masing departemen yang bersangkutan. Dengan demikian Pasal tersebut telah
menjadikan badan-badan yang melakukan peradilan menjadi sub ordinasi pada
dua kekuasaan, yaitu di satu pihak pada departemen-departemen yang
bersangkutan (sebut eksekutif) dan di lain pihak pada MA.

2) Faktor Hakim

Faktor hakim berpengaruh pula terhadap kemandirian lembaga peradilan.


Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa indikator yang melekat pada diri
hakim yang berpengaruh terhadap independensi lembaga peradilan, meliputi:
budaya paternalistik (ketergantungan), jaminan profesi, status kepegawaian dan
integritas/moralitas.

Sikap tidak enak terhadap atasan menjadikan hakim tidak berani


menentukan dan mengambil sikap sendiri dalam menjatuhkan putusan, semuanya
diserahkan kepada atasan, sikap seperti ini adalah bagian dari budaya paternalistik
yang ternyata masih menjadi bagian dari kehidupan beberapa hakim. Sepanjang
budaya paternalistik ini tetap dipertahankan, sepanjang itu pula lembaga peradilan
tidak akan mandiri.

Jaminan profesi dan stasus hakim menjadi faktor yang menentukan pula,
ketika jaminan sosial dan status kepegawaian para hakim kuat pulalah pendirian
para hakim itu, sebaliknya jika jaminan sosial dan status kepegawaian lemah dan
tidak jelas, maka lemah pula pendirian hakim itu

Integritas moral para hakim, adalah persoalan utama dan faktor terpenting
bagi kemandirian lembaga peradilan. Bukan rahasia lagi bahkan selalu menjadi
pembicaraan bahwa moralitas para hakim telah berada pada titik rendah.
Rendahnya moral para hakim sering dikaitkan dengan baik buruknya citra
lembaga peradilan. Ketika citra peradilan rusak, maka petaka bagi kemandirian
lembaga peradilan. Dan inilah yang terjadi selama mas orde baru.

6
Sebuah gejala yang mengkhawatirkan penegakan hukum dan keadilan di
Indonesia, adalah keadilan hukum negara yang tidak sejalan dengan keadilan
moral dan keadilan masyarakat. Dengan kata lain, adanya putusan pengadilan
yang tidak sejalan dengan norma-norma masyarakat. Dampak langsung gejala ini,
pertama, adalah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada keadilan hukum
negara, dan kedua, timbulnya inisiatif masyarakat untuk membuat pengadilan
sendiri yang disebut sebagai main hakim sendiri.

3) Faktor Peraturan Hukum

Faktor internal ketiga yang berpengaruh terhadap kemandirian lembaga


peradilan adalah peraturan hukum. Menempatkan peraturan hukum sebagai faktor
yang berpengaruh terhadap kemandirian lembaga peradilan seperti agak aneh dan
tidak masuk akal, tapi pada kenyataannya tidak demikian, karena ternyata dari
peraturan hukumlah menjadikan lembaga peradilan menjadi tidak mandiridan
sebaliknya dari peraturan hukum itu pulalah kemandirian lembaga peradilan
terwujud. Memang peraturan hukum tidaak selamanya mengandung nilai-nilai
positif bagi kehidupan manusia, melainkan pula mengandung nilai-nilai negatif

Satjipto Rahardjo megemukakan penegakan hukum yang hanya berpijak


pada nilai positiviisme menganggap hukum sebagai sebuah bangunan atau tatanan
logis-rasional, yakni membuat rumusan-rumusan atau definisi yang spesifik
hukum, memilahkan, menggolongkan, mensistematisir, diterapkan terhadap
undang-undang. Dengan demikian hukum hanya benar-benar menjadi wilayah
esteroik bagi praktisi hukum. Cara tersebut hukum dipisahkan dari realitasnya
yang penuh, dan jauh dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam sosialnya.

Faktor peraturan hukum akan berdampak negatif kepada kemandirian


lembaga peradilan tidak saja terjadi pada materi peraturan hukum itu, akan tetapi
dapat juga terjadi pada ajaran-ajaran dasar di sekitar peraturan hukum itu, seperti
halnya ajaran positivis, ajaran legalitas, dan laiin sebagainya. Ajaran hukum yang
demikian ternyata menurut hasil penelitian yang bersumber dari keterangan
beberapa hakim sangat melekat pada setiap hakim di dalam membuat
pertimbangan hukum, padahal mereka tahu sikap yang demikian membatasi
kreativitas dan kebebasan mereka. Karena kuatnya doktrin legalistik, sehingga
terasa bahwa hakim seakan-akan tidak diperkenankan melakukan penilaian dan
interpretasi.

7
4) Faktor Administrasi Peradilan

Realita praktik hukum selama ini, yang ditandai dengan ketidakpuasan


masyarakat terhadap putusan - putusan peradilan yang dinilai tidak adil, tidak
jujur dan memihak. Di samping itu kinerja aparat lembaga peradilan amburadul,
menurut temuan dalam penelitian disebabkan karena orientasi pada hakim
terhadap tugas utamanyadianggap sebagai “tugas rutin” saja, sehingga serting
mengabaikan pembuatan pertimbangan hukum yang memadai dalam membuat
putusannya, bahkan dalam perkara tertentu yang tidak melakukan upaya hukum
cukup dimasukkan blanko putusan saja. Sehingga pencapaian putusan pengadilan
yang disebut adil, jujur, tidak memihak, dan berkualitas Sangat sulit didapatkan
dalam muatan isi sebuah putusan.

Apabila pelaksanaan teknis peradilan tidak ditunjang dengan perangkat


teknologi, administrasi peradilan, dan sumber daya manusia yang memadai, maka
tidak mungkin dapat diharapkan jalannya peradilan yang efektif. Berdasarkan
penelitian ditemukan banyak pengadilan yang tidak memiliki perngkat penujang
tersebut. Akibat tidak memadainya perangkat kerja tersebut telah melahirkan
biaya tinggi dalam proses peradilan.

5) Faktor Kekuasaan

Penumpukan kekuasaan pada satu tangan akan menjadikan pemegang


kekuasaan itu dapat melakukan apa saja, dan karena itu sulit sekali untuk
menjamin kebebasan bagi warganya. Tidak hanya kebebasan yang hilang dari
warga masyarakat, melainkan juga melumpuhkan kebebasan pranata-pranata
sosial, termasuk lembaga peradilansebagai lembaga hukum. Sisi positif siapapun
yang menjadi penguasa memiliki kemauan keras untuk mendukung terlaksananya
penegakan hukum, maka akan terwujudlah cita – cita itu, namun sebaliknya
apabila penguasa hanya setengah hati mendukung terlaksananya penegakan
hukum, maka reduplah cita-cita itu.

Berdasarkan hasil penelitan yang bersumber pada pengalaman hakim yang


pernah ditugaskan pada daerah tertentu, pada periode 1970-1998 banyak hakim
karena faktor kedekatannya dengan penguasa eksekutif dengan sangat mudah
memperoleh tempat tugas pada pada pengadilan di kota-kota besar yang banyak
perkara yang melibatkan konglomerat kelas kakap.1

1
Mariam budiardjo, Aneka PemikiranTentang Kekuasaan dan Wibawa, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, 1991, hal. 9

8
6) Faktor Politik

Faktor politik juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi lemah dan
kuatnya kemandirian lembaga peradilan. Politik demikian mengandung bahaya
karena orang haya akan berpikir untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan
sempit dari golongannya sendiri, sebagaimana berdampak pada kekuasaan
kehakiman di bawah kendali kepentingan-kepentingan kekuasaan eksekutif
maupun legislatif. Berdasarkan hasil penelitian kebanyakan mereka yang
menduduki jabatan Hakim Agung bahkan menjadi pimpinan di Mahkamah Agung
pada periode 1970-1998 berawal dari kedekatan mereka dengan penguasa
eksekutif kala itu2

7) Kesadaran Hukum Masyarakat

Kesadaran hukum masyarakat adalah sebagai faktor yang berpengaruh


terhadap kemandirian lembaga peradilan. Bilamana kondisi kesadaran hukum
masyarakat tinggi, akan mengandung pula tingginya kemandirian lembaga
pengadilan.

Kesadaran hukum masyarakat tidak saja berdampak kepada lembaga


peradilan melainkan kepada pranata hukum, baik menyangkut materi hukumnya,
penegak hukumnya, maupun lembaganya. Pada kenyataannya, selama masa orde
lama dan orde barukemandirian lembaga peradilan berada pada tingkat yang
rendah. Salah satu penyebabnya adalah kesadaran hukum masyarakat yang masih
rendah, baik pada masyarakat umum, masyarakat golongan berperkara dan
terutama masyarakat kalangan penegak hukum itu sendiri.3

2
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES, 1998, hal 2
3
Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, 2007, hal
112-113

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut Mantan Ketua Mahkamah Agung Purwoto Gandasubrata, bahwa


Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 serta penjelasannya tidak secara tegas mengatur
kekuasaan lembaga peradilan.karena itu dia mengusulkan pentingnya penjabaran
lebih lanjut tentang kedua Pasal tersebut, yang tidak boleh mengurangi dan
membatasi kekuasaan lembaga peradilan dan mempertegas kedudukannya
sederajat dengan kekuasaan pemerintah negara.

Berbeda dengan Mantan Ketua MA, mantan Menteri Kehakiman Ismail


Saleh menbenarkan campur tangan kekuasaan pemerintah negara dalam mengatur
kekuasaan lembaga peradilan dengan mengajukan 3 alasan. Pertama, campur
tangan tersebut merupakan konsekuensi dari paham negara kekeluargaan yang
dianut dalam UUD1945. Kedua, campur tangan tersebut dibenarkan karena sesuai
dengan bunyi pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden
bersama DPR juga menjalankan kekuasaan Legislatif. Dengan demikian
menurutnya Pemerintah juga mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Ketiga,
dengan pasal 5 tersebut maka kekuasaan lembaga peradilan bisa dikontrol
sehingga tidak berat sebelah dalam melaksanakan tugasnya.

Bersumber dari hasil kajian, terdapat 7 (tujuh) faktor yang mempengaruhi


ketidakmandirian lembaga peradilan Indonesia pada sekitar tahun 1970-1998
yaitu:

1) Struktur Organisasi atau Institusi


2) Faktor Hakim
3) Faktor Peraturan Hukum
4) Faktor Administrasi Peradilan
5) Faktor Kekuasaan
6) Faktor Politik
7) Kesadaran Hukum Masyarakat

10
Daftar Pustaka

Budiardjo mariam, 1991, Aneka PemikiranTentang Kekuasaan dan


Wibawa, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES

Ahmad Mujahidin, 2007, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung, PT Refika


Aditama

11

Anda mungkin juga menyukai