Anda di halaman 1dari 13

NAMA : HUSNA RUSDIANA SUCI

KELAS : HTN 3C

NIM : 12103173040

MATKUL : SEJARAH PERADILAN DI INDONESIA

DOSEN : Reni Dwi Puspitasari, M.Sy.

UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL

TAHUN AKADEMIK 2018/2019

1. Sistem peradilan Indonesia dapat dibagi dalam beberapa tahap:


a. Masa Kerajaan
Sistem peradilan dikuasai sepenuhnya oleh raja karena konsep Trias Politica belum
dikenal (kekuasaan raja masih absolut) dengan hukum adat daerah masing-masing
sebagai hukum yang berlaku.
- Perubahan terhadap sistem peradilan terjadi pada abad VII hingga abad XIV dimana
penggunaan hukum adat juga ditambah dengan hukum agama Hindu. Pada masa ini
mulai dikenal suatu bentuk pemisahan di antara peradilan raja dengan peradilan yang
dilakukan oleh pejabat tertentu. Peradilan yang dilakukan oleh pejabat tertentu itu
meliputi perkara pradata (perkara yang menjadi urusan raja) dan perkara padu (bukan
urusan raja).
- Perubahan berikutnya terjadi pada abad XIV dimana hukum di Indonesia mendapat
pengaruh dari hukum Islam. Hukum Islam pada masa itu mulai menggantikan
kedudukan hukum Hindu. Tempat pengadilan pada masa ini adalah di serambi Mesjid
Agung. Perkara pada urusan pengadilan ini disebut kisas. Pimpinan pengadilan pada
masa ini beralih dari raja pada penghulu sebagai perpanjangan tangan raja dengan
dibantu oleh beberapa alim ulama sebagai anggotanya. Penyelesaian masalah
dilakukan dengan cara musyawarah mufakat pada masa ini dan raja akan mengambil
keputusan sesuai dengan usulan dari pengadilan.
b. Masa Kolonial Belanda
Dibagi dalam 2 daerah :
1) Daerah langsung. Merupakan daerah yang diperintah langsung oleh Belanda.
Peradilan itu meliputi :
a) Landraad
b) Raad van Justitie atau peradilan tingkat banding (tingkat pertama untuk orang
Eropa)
c) Hooggerechtshof atau peradilan tingkat kasasi
2) Daerah tidak langsung. Merupakan daerah pemerintahan tidak langsung Belanda
yang diwakili oleh raja-raja. Lembaga peradilannya meliputi:
a) Peradilan gubernemen
b) Peradilan swapraja terhadap orang Indonesia, ada tiga peradilan pemerintah
meliputi:
 Peradilan distrik untuk perkara ringan
 Peradilan kabupaten untuk perkara yang lebih besar
 Landraad, ada suatu dualisme sistem peradilan.
c. Masa pendudukan Jepang
Berdasarkan pada UU No. 14 tahun 1942, pemerintahan pendudukan Jepang
mendirikan pengadilan-pengadilan sipil yang mengadili perkara pidana dan perdata.
Pengadilan-pengadilan sipil itu antara lain:
a) Gunsei Hooin (pengadilan pemerintahan balatentara)
Berlaku untuk semua penduduk Hindia Belanda
b) Semua badan pengadilan dan pengadilan dari pemerintah Hindia Belanda kecuali
beberapa diantaranya yang diubah, seperti:
Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) -
Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim kepolisian) -
Regentscahgerecht menjadi Ken Hooin (pengadilan kabupaten)

Dan berdasarkan UU No.34 tahun 1942 (Osamu Seirei), dibentuk pula :


Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan Saikoo Hooin (pengadilan Agung). Akan tetapi
sistem peradilan pada saat itu tidak dapat berlangsung dengan sebagaimana mestinya
karena kebanyakan orang yang ditangkap oleh pemerintah pendudukan Jepang saat itu
tidak pernah melalui proses pengadilan.

d. Masa Kemerdekaan
Wilayah peradilan terbagi 3, yaitu:
- Daerah yang dikuasai Republik
Berdasarkan UU No.19 tahun 1948, peradilan Indonesia terdiri dari:
a. Peradilan umum
b. Peradilan TUN
c. Peradilan ketentaraan
Dilengkapi dengan kejaksaan dalam peradilan umum yang terdiri dari:
a. Kejaksaan negeri
b. Kejaksaan tinggi
c. Kejaksaan agung
- Daerah yang dikuasai Belanda
Lembaga pengadilan yang dibentuk adalah berupa Landrechter- landrechter untuk
menangani masalah-masalah perkara pidana sipil
- Daerah negara-negara bagian:
a. Negara Pasundan
Lembaga peradilannya terdiri dari Pengadilan Negara dan Mahkamah Negara
b.Negara Sumatra Timur
Lembaga peradilannya terdiri dari Pengadilan Negara dan Mahkamah negara
c. Negara Indonesia Timur
Lembaga peradilannya terdiri dari :
- Negorijrechtbanken
- Districtsgerechten
- Pengadilan Negara
- Mahkamah Justitie
2. Faktor yang mempengaruhi perkembangan peradilan di Indonesia dari masa ke masa
3. Reformulasi kekuasaan lembaga peradilan di Indonesia
a) Reformulasi kekuasaan lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970 sampai
tumbangnya pemerintahan orde baru 1998
Berdasarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan adanya empat
lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan
peradilan tata usaha negara. Kemudian sejalan jatuhnya pemerintahan orde baru yang
disertai dengan tuntutan reformasi disegala bidang termasuk hukum dan peradilan,
maka para hakim yang bergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia atau yang disebut
IKAHI mendesak pemerintah supaya segera mereformasi lembaga peradilan. Karena
kekuasaan peradilan yang ada saat itu masih belum bisa di pisahkan dari eksekutif,
oleh karenanya urusan administrasi dan finansial masih di bawah Menteri Kehakiman
yang merupakan pembantu Presiden. Perjuangan menjadi kekuasaan yudikatif yang
mandiri dibawah Mahkamah Agung berlangsung cukup lama hingga kemudian
mengalami perkembangan yang cukup mendasar yakni setelah dikeluarkanya
Undang-Undang No. 35 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Dari sinilah
kemudian ke empat lingkungan badan peradilan dikembalikan menjadi Yudikatif
dibawah satu atap Mahkamah Agung. Undang-undang itu sendiri kemudian dicabut
dengan berlakunya Undang undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman untuk menyesuaikan dengan adanya amandemen UUD 1945. Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, kembali terjadi perubahan
mendasar terhadap badan atau lembaga peradilan di Indonesia. Perubahan ini tidak
saja terjadi pada elemen lembaganya, melainkan perubahan ini terjadi pada
pengorganisasiannya. Oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan organisasi,
administrasi, dan finansial lmbaga pengadilan bukan lagi menjadi urusan.
Departemen hukum dan HAM melainkan menjadi urusan Mahkamah Agung.
Sementara itu organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan lainnya
untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-udang sesuai dengan
kekhususan lingkungan peradilan masing-masing. Perubahan elemen kelembagaan
yakni ditandai dengan dilahirkannya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
lembaga peradilan yang bertugas membentengi penyelewengan dan penyimpangan
terhadap UUD 1945. Pada masa awal orde baru, badan kehakiman diidealkan menjadi
hakim yang bebas serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan adalah harapan
sebagai badan yang berdiri sendiri dan kreatif untuk merintis pembaruan hukum
dengan mengartikulasikan hukum dan moral rakyat. Kekuasaan lembaga peradilan
yang merdeka sebenarnya telah disebutkan dalam pasal II ayat (1) ketetapan MPR-RI
Nomor III/MPR/1978 yang berbunyi “Mahkamah Agung adalah badan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya”. Sehingga secara
konstitusional telah terdapat jaminan kemandirian lembaga peradilan dari pengaruh
pihan lain ektrayudisial. Namun dalam kenyataannya pada periode 1970 sampai
dengan tumbangnya masa orde baru, kemandirian lembaga peradilan tidak dapat
terwujud sebagaimana yang diharapkan.
b) Perspektif Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan lembaga peradilan
tertinggi (1970-2004)
Berdasarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 Bab III. Pasal 26 ayat (1)
dikatakan: “Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi kehakiman atau pengadilan
Negara Tertinggi bagi seluruh daerah atau wilayah di Indonesia, berkedudukan di
Ibukota Negara Republik Indonesia. Ialah di Jakarta. Berfungsi mengawasi tindakan-
tindakan pengadilan yang ada di bawah kekuasaannya adalah Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri. Menurut pasal 1 dan pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung menyatakan:
Pasal 1: Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksud
dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/MPR/1978. Sedangakan dalam pasal 2 dijelaskan: Mahkamah Agung adalah
Pengadilan Tertingi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan
tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Selanjutnya
dalam pasal 3 dikatakan bahwa Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara
Republik Indonesia. Sedangkan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman, pasal 11 ayat (1), “Mahkamah Agung merupakan pengadilan
negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 10 ayat (2).” Pasal 10 ayat (2) menjelaskan “badan peradilan yang berada
dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.” Dalam
Bab II tentang badan peradilan dan asasnya, pasal 11 ayat (2) dijelaskan bahwa
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan disemua tingkat peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung;
2. Menguji peraturan perundang undangan dibawah undang undang terhadap undang
undang.
3. Kewenangan lain yang diberikan undang undang.
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan
mahkamah konstitusi. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di
Indonesia ini, dalam perjalanan sejarahnya tidak terlepas dari citra yang tidak baik.
Mahkamah Agung selama Orde Lama dan Orde Baru telah menjadi alat kekuasaan
politik pemerintah. Intervensi politik ke tubuh Mahkamah Agung berlanjut pada masa
Orde Baru, hanya saja pada masa Orde Baru intervensinya dikemas, tidak terang-
terangan meniru UU No. 19 Tahun 1964 dan UU N0. 13 Tahun 1965. Mahkamah
Agung juga memiliki tugas dan fungsi. Sejak tahun 1970, Mahkamah Agung
mempunyai Organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung
menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki,
sejak Hooggerechtshof dan tambah lagi, sebagai berikut
1. Fungsi peradilan
2. Fungsi pengawasan
3. Fungsi pengaturan
4. Fungsi memberi nasehat
5. Fungsi administrasi
6. Fungsi lain-lain
c) Perspektif independensi kekuasaan lembaga peradilan Indonesia pada 1970 sampai
tumbangnya pemerintahan orde baru 1998
Sejarah mencatat bahwa intervensi kekuasaan eksekutif terhadap proses peradilan
telah memunculkan keberanian pada sejumlah hakim untuk menegakkan kekuasaan
lembaga peradilan yang independen dalam putusan mereka, terutama dalam kasus-
kasus yang menyinggung kepentingan penguasa. Upaya memperjuangkan kekuasaan
lembaga peradilan yang independen sesungguhnya tidak pernah berhenti dilakukan
baik melalui amandemen undang-undang kekuasaan lembaga peradilan maupun
melalui serangkaian kegiatan diskusi dan seminar. Belajar dari krisis di era Orde
Lama, Soeharto ketika berbicara dihadapan musyawarah nasional IKAHI di
Yogyakarta tahun 1968 berjanji untuk mengembalikan supremasi hukum dengan
menjamin pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang bebas. Rezim Orde Baru yang
otoritarian melakukan upaya-upaya pemutusan setrategi politik-birokratik dengan
dukungan kuat dari kalangan militer. Lembaga peradilan menjadi satu dari sebagian
target pemutusan birokrasi diera Orde Baru
d) Perspektif konstitusiaonal dan problematika lembaga peradilan Indonesia pada tahun
1970-1998
Problematika independensi kekuasaan lembaga peradilan Indonesia juga tidak dapat
dilepaskan dari perbedaan kritik tentang kekuasaan lembaga peradilan independen itu
sendiri. Menurut mantan mahkamah Agung Purwoto Gandasubrata, bahwa pasal 24
dan pasal 25 UUD 1945 serta penjelasannya tidak secara tegas mengatur kekuasaan
lembaga peradilan. Berbeda dengan Menteri Kehakian Ismail Saleh, ia membenarkan
campur tangan atau keterlibatan kekuasaan Pemerintahan Negara dalam megatur
kekuasaan lembaga peradilan dengan mengajukan beberapa alasan, pertama, campur
tangan tersebut merupakan konsekuensi dari paham negara kekeluargaan yang dianut
dalam UUD 1945, kedua, campur tangan tersebut dibenarkan karena sesuai dengan
bunyi pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Ismail Saleh mengajukan pandangan tersebut
dengan menyandarkan pada fakta-fakta bahwa intervensi pemerintahan diperlihatkan
dengan pengaturan masalah rekrutmen hakim, administrasi dan organisasi hakim
termasuk masalah finansial. Fakta-fakta tersebut secara fundamental telah
mengurangi hakikat kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka.

4. Latar belakang perjuangan kearah penerapan sistem peradilan satu atap di Indonesia dalam
sebuah tuntutan reformasi hukum pada tahun 1998-2004:

A. Latar Belakang
1. Pemisahan Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif (Yustisial dan non Yustisial), harus
terpisah, harga mati.
2. Reformasi Kekuasaan Kehakiman, diadakan dengan tujuan agar tidak terjadi
tumpang tindih tugas
3. Implementasi pemisahan kekuasaan Yudikatif dan Eksekutif
B. Perubahan menuju Peradilan Satu Atap
1. Reformasi bidang-bidang hukum (Krisis Hukum)
2. Distorsi Tupoksi Peradilan
C. Pembentukan Undang-Undang tentang kekuasaan kehakiman

Reformasi berarti pembentukan atau penyusunan struktur kembali. Apabila digabungkan


dengan reformasi dibidang peradilan dan hukum, maka dapat diartikan reformasi
merupakan perubahan dengan penyusunan kembali terhadap suatu konsep, setrategi atau
kebijakan yang berkaitan dengan hukum dan peradilan dengan berbagai aspeknya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Beberapa hal berkaitan dengan latar
belakang penerapan sistem peradilan satu atap di Indonesia menurut Muladi tidak lepas
dari bergulirnya reformasi pada awal tahun 1998 yang dikenal dengan rule of the law.
Sistem hukum dalam konteks sosial tidak hanya dilihat sebagai sektor kehidupan nasional
yang harus dijadikan objek, sasaran atau variabel dependen. Sebagai objek reformasi,
sistem hukum telah mengalami proses perubahan yang signifikan, dengan
memperhitungkan berbagai aspirasi multidimensial seperti aspirasi supranatural,
insfrastruktural, kepekaan dan aspirasi universal. Pada era reformasi, untuk membenahi
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman telah dibentuk beberapa Undang-Undang dan
peraturan mengenai kekuasaan kehakiman dan badan-badan yang melaksanakannya seperti
UU No. 5 Tahun 2004 Tentang perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan dan Tata Usaha Negara.

5. Teknik organic penerapan system peradilan satu atap di Indonesia


 Perspektif peradilan satu atap di Indonesia
 Struktur organisasi mahkamah agung
 Sumber daya manusia mahkamah agung
1. Rekrutmen pegawai dan hakim
2. Mutasi hakim dan penghargaan
3. Rekrutmen hakim agung
4. Pemberhentian hakim agung
5. Promosi pegawai
6. Jabatan fungsional
7. Kenaikan pangkat
8. Pendidikan dan pelatihan jabatan
9. Mutasi
10. Pola karir pegawai secretariat pengadilan
11. Pola karir tenaga teknis peradilan
12. Pengawasan
13. Anggaran belanja mahkamah agungdan gajih hakim
 Tolak tarik permasalahan system peradilan satu atap di Indonesia
1. Factor internal

 Integretas moral
 Hukum
 Kualitas teoritik
 Struktur organisasi dan tata kerja Mahkamah Agung
 Kepegawaian
 Hakim
 Sarana dan prasarana gedung peradilan
 Kepaniteraan dan kesekretariatan
 Pembinaan
 Anggaran
2. Factor eksternal

 Kekuasaan
 Faktor politik
 Faktor kesadaran hukum masyarakat
6. a) Pembenahan struktur organisasi Mahkamah Agung
Dalam rangka pelaksanaan unsur peradilan satu atap di bawah
kukuasaan mahkamah agung dan dalam upaya menatap prospek
kemandirian lembaga peradilan di Indonesia, perlu diupayahkan
pemberdayaaan seluruh potensi dari 4 (empat) lingkungan peradilan
yang beragam menjadi kekuatan yang sinergis, untuk itu perlu
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pembenahan Struktur Organisasi Mahkamah Agung


Fungsi mahkamah agung setelah diberlakuakn unsur peradilan satu
atap di Indonesia, maka perlu disempurnakan struktur organisasi
dilingkungan mahkamah agung dan meningkatkan kualitas SDN-nya.
Kepemimpinan Mahkamah Agung merupakan kesatuan pimpinan
(unity of direction) yang merupakan prinsip bahwa tiap kelompok
aktivitas mempunyai tujuan yang sama.

Adapun unsur-unsur strukur organisasi Mahkamah Agung berdasar


UU No. 5 tahun 2004 yaitu :

1) Unsur pimpinan
1. Ketua mahkamah agung
2. Dua orang wakil ketua
a. Wakil ketua bidang yudisial, yang membawahi
1. Ketua muda perdata
2. Ketua muda pidana
3. Ketua muda agama
4. Ketua muda militer.
5. Ketua muda tata usaha Negara.
b. Wakil ketua bidang non yudisial, yang membawahi:
1. Ketua muda pembinaan
2. Ketua muda pengawasan
2) Unsur pembantu pimpinan
Sistem peradilan satu atap diindonesia akan terealisir dengan baik,
apabila di berdayakan unsur pembantu pimpinan yang dipimpin
oleh seorang sekretaris mahkamah agung dan pengadilan di
semua lingkungan yang dalam pelaksaan tugasnya dibantu oleh
direktorat jenderal dan kepala badan yang dipimpin oleh direktur
jendral dan kepala badan.

a. Tugas dan fungsi


1. Melakukan perumusan dan pelaksaan kebijakan serta
standarisasi teknis dibidang pembinaan tenaga teknis,
pembinaan administrasi peradilan, pranata dan tata laksana
perkara pada pengadilan di semua lingkungan peradilan

2. Melakukan koordinsi pelaksanaan tugas unit organisasi di


lingkukangn secretariat mahkamah agung dan kepaniteraan
mahkamah agung

3. Melakukan pembinaan dan pelaksaan dukungan teknis,


organisasi, administrasi, dan finansial di lingkungan MA dan
pengadilan di semua lingkungan,

3) Unsur pelaksanaan tugas pokok MA


Dalam upaya menatap prospek penerapan system peradilan
satu atap di Indonesia unsur pemberdayaan pelaksaan tugas
pokok MA harus terdistribusikan secara jelas baik mengenai
pejabatanya maupun pembagian tugasnya. Hal ini dimaksudkan
agar tidak terjadi tumpang tindih tugas dan pelaksana tugasnya,
sehingga tugas-tugas pokok yang menjadi sasaran tugasnya akan
berjalan efektif, efisen ,professional, dan berbiaya rendah serta
mampu menjawab pelayanan public.

4) Unsur penunjang pelaksana tugas pokok MA


Tugas pokok dan fungsi kepaniteraan yang di pimpin seorang
panitera harus mampu memberikan dukungan di bidang teknis dan
administrasi justisial kepada majelis hakim agung dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara, serta melaksanakan
administrasi penyelesaian putusan MA.untuk kelancaran tugas
seorang panitera pada lembaga kepaniteraan MA harus diangkat
seorang sekretaris kepaniteraan yang sedemikian berat, harus
diangkat beberapa panitera muda yang disesuaikan dengan
jumlah ketua muda yang ada saat ini, dan beberapa panitera
pengganti dilingkungan MA

b) Pembenahan tata keja dan kewenangan pimpinan Mahkamah Agung

Penerapan sistem peradilan satu atap dibawah kekuasaan


Mahkamah Agung menuntut pemberdayaan seluruh potensi
lembaga peradilan yang beragam menjadi kekuatan yang sinergis
melalui pembagian wewenang.

 Kewenangan pimpinan MA

 Kewenangan pembantu pimpinan MA

 Kewenangan majelis hakim agung

c) Pembenahan manajemen Mahkamah Agung

Penatan manajemen kelembagaan MA dalam menatap prospek


peradilan satu atap di Indonesia harus mengacu pada system
manajemen modern

1) Pembenahan paradigma perencanaan (panning) MA

2) Pembenahan paradigma keorganisasian (organizing) MA

d) Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan

Dalam pasal 24 (1) jo.TAP MPR X/MPR/1998 jo. UU No.4 Tahun


2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 1 jo.UU No. 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung pasal 1 berbunyi “akan terlaksana
dengan baik apabila Pembinaan Tenaga Teknis Pembinaan meliputi:
Tenaga Teknis Hakim, Tenaga Teknis Panitera Tenaga Teknis Jurusita,
dan Tenaga Non Teknis Peradilan dilakukan dengan objektif,
profesional”. Dengan adanya berbagai tenaga teknis tersebut akan
tercipta sebuah peradilan yang kompeten dalam sistem hukum yang
berlaku di Indonesia.

e) Penegakan penerapan sistem peradilan satu atap di Indonesia

Perkembangan politik pasca jatuhnya pemerintahan orde baru


membawa tuntutan pembaharuan reformasi disegenap lapangan
kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk reformasi di bidang
hukum secara umum dan reformasi dibidang peradilan secara
khusus. Pentingnya pembaharuan sistem peradilan karena kinerja
yang baik akan melahirkan produk-produk putusan pengadilan yang
berkwalitas.

f) Pembenahan administrasi peradilan

Pentingnya pembenahan teknis administrasi peradilan, sejalan


dengan tuntutan perbaikan kinerja peradilan, karena pelaksanaan
teknis peradilan tidak ditunjang dengan perangkat teknologi,
administrasi peradilan dan sumber daya manusia yang mewadai.

g) Implikasi penerapan sistem peradilan satu atap di Indonesia


terhadap kualitas penyelesaian perkara di Mahkamah Agung

Penerapan sistem peradilan satu atap di Indonesia diliputi


berbagai kendala seperti yang sedikit diulas diatas. Meskipun
demikian, Mahkamah Agung tidan henti-hentinya melakukan
beberapa pembenahan, baik dalam hal pembenahan teknis yudisial
maupun teknis non yudisial.

Anda mungkin juga menyukai