KELAS : HTN 3C
NIM : 12103173040
d. Masa Kemerdekaan
Wilayah peradilan terbagi 3, yaitu:
- Daerah yang dikuasai Republik
Berdasarkan UU No.19 tahun 1948, peradilan Indonesia terdiri dari:
a. Peradilan umum
b. Peradilan TUN
c. Peradilan ketentaraan
Dilengkapi dengan kejaksaan dalam peradilan umum yang terdiri dari:
a. Kejaksaan negeri
b. Kejaksaan tinggi
c. Kejaksaan agung
- Daerah yang dikuasai Belanda
Lembaga pengadilan yang dibentuk adalah berupa Landrechter- landrechter untuk
menangani masalah-masalah perkara pidana sipil
- Daerah negara-negara bagian:
a. Negara Pasundan
Lembaga peradilannya terdiri dari Pengadilan Negara dan Mahkamah Negara
b.Negara Sumatra Timur
Lembaga peradilannya terdiri dari Pengadilan Negara dan Mahkamah negara
c. Negara Indonesia Timur
Lembaga peradilannya terdiri dari :
- Negorijrechtbanken
- Districtsgerechten
- Pengadilan Negara
- Mahkamah Justitie
2. Faktor yang mempengaruhi perkembangan peradilan di Indonesia dari masa ke masa
3. Reformulasi kekuasaan lembaga peradilan di Indonesia
a) Reformulasi kekuasaan lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970 sampai
tumbangnya pemerintahan orde baru 1998
Berdasarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan adanya empat
lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan
peradilan tata usaha negara. Kemudian sejalan jatuhnya pemerintahan orde baru yang
disertai dengan tuntutan reformasi disegala bidang termasuk hukum dan peradilan,
maka para hakim yang bergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia atau yang disebut
IKAHI mendesak pemerintah supaya segera mereformasi lembaga peradilan. Karena
kekuasaan peradilan yang ada saat itu masih belum bisa di pisahkan dari eksekutif,
oleh karenanya urusan administrasi dan finansial masih di bawah Menteri Kehakiman
yang merupakan pembantu Presiden. Perjuangan menjadi kekuasaan yudikatif yang
mandiri dibawah Mahkamah Agung berlangsung cukup lama hingga kemudian
mengalami perkembangan yang cukup mendasar yakni setelah dikeluarkanya
Undang-Undang No. 35 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Dari sinilah
kemudian ke empat lingkungan badan peradilan dikembalikan menjadi Yudikatif
dibawah satu atap Mahkamah Agung. Undang-undang itu sendiri kemudian dicabut
dengan berlakunya Undang undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman untuk menyesuaikan dengan adanya amandemen UUD 1945. Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, kembali terjadi perubahan
mendasar terhadap badan atau lembaga peradilan di Indonesia. Perubahan ini tidak
saja terjadi pada elemen lembaganya, melainkan perubahan ini terjadi pada
pengorganisasiannya. Oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan organisasi,
administrasi, dan finansial lmbaga pengadilan bukan lagi menjadi urusan.
Departemen hukum dan HAM melainkan menjadi urusan Mahkamah Agung.
Sementara itu organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan lainnya
untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-udang sesuai dengan
kekhususan lingkungan peradilan masing-masing. Perubahan elemen kelembagaan
yakni ditandai dengan dilahirkannya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
lembaga peradilan yang bertugas membentengi penyelewengan dan penyimpangan
terhadap UUD 1945. Pada masa awal orde baru, badan kehakiman diidealkan menjadi
hakim yang bebas serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan adalah harapan
sebagai badan yang berdiri sendiri dan kreatif untuk merintis pembaruan hukum
dengan mengartikulasikan hukum dan moral rakyat. Kekuasaan lembaga peradilan
yang merdeka sebenarnya telah disebutkan dalam pasal II ayat (1) ketetapan MPR-RI
Nomor III/MPR/1978 yang berbunyi “Mahkamah Agung adalah badan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya”. Sehingga secara
konstitusional telah terdapat jaminan kemandirian lembaga peradilan dari pengaruh
pihan lain ektrayudisial. Namun dalam kenyataannya pada periode 1970 sampai
dengan tumbangnya masa orde baru, kemandirian lembaga peradilan tidak dapat
terwujud sebagaimana yang diharapkan.
b) Perspektif Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan lembaga peradilan
tertinggi (1970-2004)
Berdasarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 Bab III. Pasal 26 ayat (1)
dikatakan: “Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi kehakiman atau pengadilan
Negara Tertinggi bagi seluruh daerah atau wilayah di Indonesia, berkedudukan di
Ibukota Negara Republik Indonesia. Ialah di Jakarta. Berfungsi mengawasi tindakan-
tindakan pengadilan yang ada di bawah kekuasaannya adalah Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri. Menurut pasal 1 dan pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung menyatakan:
Pasal 1: Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksud
dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/MPR/1978. Sedangakan dalam pasal 2 dijelaskan: Mahkamah Agung adalah
Pengadilan Tertingi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan
tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Selanjutnya
dalam pasal 3 dikatakan bahwa Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara
Republik Indonesia. Sedangkan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman, pasal 11 ayat (1), “Mahkamah Agung merupakan pengadilan
negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 10 ayat (2).” Pasal 10 ayat (2) menjelaskan “badan peradilan yang berada
dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.” Dalam
Bab II tentang badan peradilan dan asasnya, pasal 11 ayat (2) dijelaskan bahwa
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan disemua tingkat peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung;
2. Menguji peraturan perundang undangan dibawah undang undang terhadap undang
undang.
3. Kewenangan lain yang diberikan undang undang.
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan
mahkamah konstitusi. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di
Indonesia ini, dalam perjalanan sejarahnya tidak terlepas dari citra yang tidak baik.
Mahkamah Agung selama Orde Lama dan Orde Baru telah menjadi alat kekuasaan
politik pemerintah. Intervensi politik ke tubuh Mahkamah Agung berlanjut pada masa
Orde Baru, hanya saja pada masa Orde Baru intervensinya dikemas, tidak terang-
terangan meniru UU No. 19 Tahun 1964 dan UU N0. 13 Tahun 1965. Mahkamah
Agung juga memiliki tugas dan fungsi. Sejak tahun 1970, Mahkamah Agung
mempunyai Organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung
menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki,
sejak Hooggerechtshof dan tambah lagi, sebagai berikut
1. Fungsi peradilan
2. Fungsi pengawasan
3. Fungsi pengaturan
4. Fungsi memberi nasehat
5. Fungsi administrasi
6. Fungsi lain-lain
c) Perspektif independensi kekuasaan lembaga peradilan Indonesia pada 1970 sampai
tumbangnya pemerintahan orde baru 1998
Sejarah mencatat bahwa intervensi kekuasaan eksekutif terhadap proses peradilan
telah memunculkan keberanian pada sejumlah hakim untuk menegakkan kekuasaan
lembaga peradilan yang independen dalam putusan mereka, terutama dalam kasus-
kasus yang menyinggung kepentingan penguasa. Upaya memperjuangkan kekuasaan
lembaga peradilan yang independen sesungguhnya tidak pernah berhenti dilakukan
baik melalui amandemen undang-undang kekuasaan lembaga peradilan maupun
melalui serangkaian kegiatan diskusi dan seminar. Belajar dari krisis di era Orde
Lama, Soeharto ketika berbicara dihadapan musyawarah nasional IKAHI di
Yogyakarta tahun 1968 berjanji untuk mengembalikan supremasi hukum dengan
menjamin pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang bebas. Rezim Orde Baru yang
otoritarian melakukan upaya-upaya pemutusan setrategi politik-birokratik dengan
dukungan kuat dari kalangan militer. Lembaga peradilan menjadi satu dari sebagian
target pemutusan birokrasi diera Orde Baru
d) Perspektif konstitusiaonal dan problematika lembaga peradilan Indonesia pada tahun
1970-1998
Problematika independensi kekuasaan lembaga peradilan Indonesia juga tidak dapat
dilepaskan dari perbedaan kritik tentang kekuasaan lembaga peradilan independen itu
sendiri. Menurut mantan mahkamah Agung Purwoto Gandasubrata, bahwa pasal 24
dan pasal 25 UUD 1945 serta penjelasannya tidak secara tegas mengatur kekuasaan
lembaga peradilan. Berbeda dengan Menteri Kehakian Ismail Saleh, ia membenarkan
campur tangan atau keterlibatan kekuasaan Pemerintahan Negara dalam megatur
kekuasaan lembaga peradilan dengan mengajukan beberapa alasan, pertama, campur
tangan tersebut merupakan konsekuensi dari paham negara kekeluargaan yang dianut
dalam UUD 1945, kedua, campur tangan tersebut dibenarkan karena sesuai dengan
bunyi pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Ismail Saleh mengajukan pandangan tersebut
dengan menyandarkan pada fakta-fakta bahwa intervensi pemerintahan diperlihatkan
dengan pengaturan masalah rekrutmen hakim, administrasi dan organisasi hakim
termasuk masalah finansial. Fakta-fakta tersebut secara fundamental telah
mengurangi hakikat kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka.
4. Latar belakang perjuangan kearah penerapan sistem peradilan satu atap di Indonesia dalam
sebuah tuntutan reformasi hukum pada tahun 1998-2004:
A. Latar Belakang
1. Pemisahan Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif (Yustisial dan non Yustisial), harus
terpisah, harga mati.
2. Reformasi Kekuasaan Kehakiman, diadakan dengan tujuan agar tidak terjadi
tumpang tindih tugas
3. Implementasi pemisahan kekuasaan Yudikatif dan Eksekutif
B. Perubahan menuju Peradilan Satu Atap
1. Reformasi bidang-bidang hukum (Krisis Hukum)
2. Distorsi Tupoksi Peradilan
C. Pembentukan Undang-Undang tentang kekuasaan kehakiman
Integretas moral
Hukum
Kualitas teoritik
Struktur organisasi dan tata kerja Mahkamah Agung
Kepegawaian
Hakim
Sarana dan prasarana gedung peradilan
Kepaniteraan dan kesekretariatan
Pembinaan
Anggaran
2. Factor eksternal
Kekuasaan
Faktor politik
Faktor kesadaran hukum masyarakat
6. a) Pembenahan struktur organisasi Mahkamah Agung
Dalam rangka pelaksanaan unsur peradilan satu atap di bawah
kukuasaan mahkamah agung dan dalam upaya menatap prospek
kemandirian lembaga peradilan di Indonesia, perlu diupayahkan
pemberdayaaan seluruh potensi dari 4 (empat) lingkungan peradilan
yang beragam menjadi kekuatan yang sinergis, untuk itu perlu
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Unsur pimpinan
1. Ketua mahkamah agung
2. Dua orang wakil ketua
a. Wakil ketua bidang yudisial, yang membawahi
1. Ketua muda perdata
2. Ketua muda pidana
3. Ketua muda agama
4. Ketua muda militer.
5. Ketua muda tata usaha Negara.
b. Wakil ketua bidang non yudisial, yang membawahi:
1. Ketua muda pembinaan
2. Ketua muda pengawasan
2) Unsur pembantu pimpinan
Sistem peradilan satu atap diindonesia akan terealisir dengan baik,
apabila di berdayakan unsur pembantu pimpinan yang dipimpin
oleh seorang sekretaris mahkamah agung dan pengadilan di
semua lingkungan yang dalam pelaksaan tugasnya dibantu oleh
direktorat jenderal dan kepala badan yang dipimpin oleh direktur
jendral dan kepala badan.
Kewenangan pimpinan MA