Anda di halaman 1dari 9

A.

Pendapat Arah Kiblat dan Dalil-Dalilnya

Ilmu Falak yang membahas mengenai penentuan arah kiblat, pada dasarnya
merupakan perhitungan untuk menentukan arah menghadap dari suatu tempat di
permukaan bumi menuju kearah Ka’bah. Dalam teknis penerapannya ilmu Falak
menghitung berapa besar sudut yang diapit oleh garis meridian yang melewati suatu
tempat tertentu dan Ka’bah melalui lingkaran besar.
Secara historis cara penentuan arah kiblat di Indonesia dari masa ke masa
mengalami perkembangan sesuai dengan majunya ilmu pengetahuan dan sains teknologi
yang dimiliki oleh masyarakat Islam Indonesia itu sendiri (Depag RI, 1995: 47-49).
Perkembangan tersebut terlihat pada perlu adanya koreksi kembali arah kiblat masjid Al-
Husna Sumbergempol yang hasil sudut arah kiblatnya telah dikoreksi dan dapat dilihat
pula dari sejarah peralatan yang digunakan untuk mengukurnya, seperti bancet, atau
miqyas, tongkat istiwa’, rubu’ al-mujayyab, kompas, theodolite, dan alat ukur canggih
lainnya. Selain itu, data yang digunakan untuk perhitungan juga mengalami
perkembangan dari segi akurasinya baik data titik koordinat maupun system teori
perhitungannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai arah kiblat bagi orang yang tidak dapat
melihat Ka’bah. Apakah harus menghadap ‘ainul Ka’bah (bangunan ka’bah) ataukah
hanya cukup hanya menghadap jihatul Ka’bah (arah Ka’bah) saja. Dari empat ulama
madzhab, ada beberapa ulama yang berpendapat cukup menghadap jihatul Ka’bah saja,
yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali. Mayoritas alasan yang mereka
kemukakan bahwa menghadap bangunan Ka’bah bagi orang yang tidak dapat melihat
Ka’bah dan terletak jauh dari Makkah merupakan hal yang sangat sulit dilakukan,
sehingga mereka memberikan keputusan hokum dengan hanya cukup menghadap arah
Ka’bah.
Sedangkan Imam Syafi’i lebih ketat dalam memberikan keputusan hokum.
Menghadap kiblat haruslah menghadap ‘ainul Ka’bah baik bagi orang yang jauh dari
Ka’bah wajib berijtihad untuk mengetahui Ka’bah sehingga seolah-olah ia menghadap
‘ainul Ka’bah, walaupun pada hakikatnya menghadap jihatul Ka’bah. Karena pada
dasarnya, menghadap ke kiblat merupakan salah satu dari syarat sahnya sholat.

1
Adapun dalil tentang menghadap kiblat sebagai berikut :

a. Surat Al-Baqarah Ayat 144

‫ث َما‬ ُ ‫ض ٰى َه ۚا فَ َو ِل َو ۡج َه َك ش َۡط َر ۡٱل َم ۡس ِج ِد ۡٱل َح َر ِۚام َو َح ۡي‬


َ ‫س َما ِۖ ِء فَلَنُ َو ِليَنَّ َك قِ ۡبلَ ٗة ت َۡر‬ َ ُّ‫قَ ۡد ن ََر ٰى تَقَل‬
َّ ‫ب َو ۡج ِه َك فِي ٱل‬
َّ ‫ب لَيَعۡ لَ ُمونَ أَنَّهُ ۡٱل َح ُّق ِمن َّر ِب ِه ۡم َو َما‬
َ ‫ٱَّللُ ِب ٰغَ ِف ٍل‬
‫ع َّما‬ َ َ ‫ُكنت ُ ۡم فَ َولُّواْ ُو ُجو َه ُك ۡم ش َۡط َرهۥُ َو ِإ َّن ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ۡٱل ِك ٰت‬
١٤٤ َ‫يَعۡ َملُون‬
Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu
ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab
(Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah
benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”
(QS. Al-Baqarah [2] : 144).

b. Surat Al-Baqarah Ayat 149

َ‫ع َّما ت َعۡ َملُون‬ َّ ‫ت فَ َو ِل َو ۡج َه َك ش َۡط َر ۡٱل َم ۡس ِج ِد ۡٱل َح َر ِِۖام َوإِنَّ ۥهُ لَ ۡل َح ُّق ِمن َّربِ َك َو َما‬
َ ‫ٱَّللُ بِ ٰغَ ِف ٍل‬ ُ ‫َو ِم ۡن َح ۡي‬
َ ‫ث خ ََر ۡج‬
١٤٩

Artinya : “Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu
yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu
kerjakan” (QS. Al-Baqarah [2] : 149).

Ayat-ayat yang menjelaskan tentang arah kiblat di atas merupakan ayat yang
memiliki munasabatul ayat. Artinya, antara satu ayat dengan ayat yang lainnya saling
berkaitan. Sehingga dalam memahaminya pun tidak dapat dipisahkan Antara ayat yang
satu dengan ayat yang lainnya. Pada awal perkembangan Islam, Rasulullah SAW
mendapatkan perintah untuk melaksanakan sholat lima waktu. Kiblat yang pertama
ditunjuk adalah Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha).

2
Rasulullah SAW menghadap kearah Baitul Maqdis selama enam belas bulan saat
di Makkah dan dua bulan setelah hijrah ke Madinah.1
Namun setelah Rasulullah SAW hijrah ke kota Madinah selama dua bulan, Nabi
merasa rindu untuk menghadap ke tempat kelahirannya di Makkah. Masjidil Haram.
Nabi sering menengadah ke langit memohon agar kiblat dikembalikan ke Baitullah.
Dengan adanya ejekan dari orang-orang musyrik bahwa agama Nabi Muhammad SAW
sama dengan agama orang-orang Yahudi, yang berkiblat ke Masjidil Aqsha, juga
menjadi penyebab Nabi berdoa pada Tuhan. Dan ketika Nabi sedang berada di dalam
masjid Bani Salamah, kemudian turunlah Surat Al-Baqarah ayat 144 sebagaimana
disebutkan di atas. Ayat ini menasakh kiblat dari Baitul Maqdis di Palestina ke Masjidil
Haram di Makkah.

B. Sejarah Masjid Al-Husna Sumbergempol

Menurut takmir dari masjid Al-Husna, masjid tersebut telah berdiri sejak zaman
Belanda, untuk perihal tahun tidak dapat dipastikan tepatnya. Tanah yang menjadi
tempat didirikan masjid Al-Husna ini dikabarkan oleh masyarakat adalah tanah milik
negara. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat naib (Penghulu/Modin) pertama
yang mengelola masjid tersebut bernama mbah Kusno. Sebelumnya masjid tersebut
belum tertera jelas namanya, lambat laun setelah wafatnya mbah Kusno, atas inisiatif
masyarakat sekitar masjid tersebut dinamakan masjid Al-Husna. Masjid tersebut
mengalami kurang lebih 3 kali renovasi, renovasi terakhir dilakukan pada tahun kurang
lebih tahun 2000. Untuk pergantian takmir, masih menggunakan sistem tunjuk-menunjuk
berdasar keaktifan yang bersangkutan dalam melakukan sholat berjama’ah di masjid
tersebut. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di masjid Al-Husna ini, hampir sama dengan
kegiatan-kegiatan masjid lain pada umumya, namun ada suatu pengajian yang masih
eksis sampai sekarang yaitu pengajian malem seloso yang dipimpin langsung oleh Bapak
Misbah yang juga pernah menjadi takmir masjid Al-Husna ini 10 tahun yang lalu.

1
Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majjah perihal kiblat Masjidil Aqsha.
َ ‫ت ْال ِق ْبلَةُ اِلَى ْال َك ْع َب ِة َب ْعدُ ُدُ ُخ ْو ِل ِه اِلَى ْال َم ِد ْينَ ِة ِب‬
‫َش ْه َري ِْن‬ ِ َ‫ص َرف‬
َ ‫ش ْهرا َو‬ َ َ‫ت ْال ُمقَد َِّس ث َ َمانِ َية‬
َ ‫عَش ََر‬ ُ ‫صلَ ْينَا َم َع َر‬
ِ ‫ نَحْ َو َب ْي‬: ِ‫س ْو ِل هللا‬ َ ُ‫ع ْنه‬
َ ُ‫ى هللا‬ ِ ‫ع ِن ْال َب َراءِ َر‬
َ ‫ض‬ َ

3
C. Metode Perhitungan Arah Kiblat Menggunaka Rumus Cotg B
Diketahui :
Lintang : -8o 05o Cotg = 1 : tan
Bujur : 111o 54o
a = 90o – Lintang (Φ) Tulungagung
= 90o – (-8o 05o) = 98o 5o
b = 90o – Lintang (Φ) Ka’bah
= 90o – (21o 25o 15o) = 68o 34o 45o
C = Bujur (λ) Tulungagung – Bujur (λ) Ka’bah
=111o 54o – 39o 49o 40o = 72o 4o 20o

Cotg B = cotg b x sin a / sin C – cos a x cotg C


Cotg B = cotg 68o 34o 45o x sin 98o 5o / sin 72o 4o 20o – cos 98o 5o x cotg 72o 4o 20o
= 0,453731502 (x-1, =, shift, tan, ans, =, shift, o, ,,)
= 65o 35o 40.9o (Utara-Barat) – 360o = -294o 24o 19o
= 24o 24o 19.05o (Barat-Utara)

A. Menurut Busur Bulat


Imam

4
Keterangan :
: arah mata angin sejati

: arah kiblat Makkah

: arah kiblat masjid

B. Menggunakan segitiga siku-siku

= tan 65o 35o 40.95o (U-B) x 30cm = 66.11840051 cm

66.11840051 cm
K U
30 cm
Arah Kiblat
S

Keterangan :

1. Titik U adalah Arah Utara.


2. Titik S adalah Arah Selatan.
3. Titik K adalah Arah Barat
4. Hubungan antara titik S ke titik K adalah Garis yang mengarah ke Kiblat.

5
D. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, menghasilkan data bahwasanya arah
kiblat Masjid Al-Husna mempunyai selisih 5o ke sebelah Barat dari arah kiblat yang
menggunakan rumus Cotg B. Untuk persamaan arah kiblat sesungguhnya masjid Al-
Husna ini dengan arah kiblat yang telah kami lakukan, tidak dapat membedakan karena
kurangnya informasi mengenai sejarah masjid Al-Husna secara rinci.

6
LAMPIRAN

7
8
9

Anda mungkin juga menyukai