Anda di halaman 1dari 8

NPM : 110 110 100 267

NAMA : Hany Widhyastri


MATA KULIAH : Tindak Pidana Khusus
NAMA DOSEN : Nella Sumika Putri, S.H., M.H.

RESUME MATERI KULIAH

TINDAK PIDANA TERHADAP HARTA KEKAYAAN


Pencurian
 Diatur dalam pasal 362 – 363 KUHP. Unsur khasnya adalah mengambil barang orang lain
untuk memilikinya.
 Jenis-jenis pencurian :
1. Pencurian biasa, 362 KUHP.
Unsur-unsurnya :
 Mengambil
 Barang sesuatu
 Seluruhnya atau sebagian milik orang lain
 Dengan maksud dimiliki
 Dengan melawan hukum
2. Pencurian dengan pemberatan pidana/ terkualifikasi (363 KUHP)
Unsur-unsurnya :
 Pencurian ternak
 Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan gunung berapi, banjir, gempa
bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar,
kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang.
 Pencurian pada diwaktu malam.
 Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
 Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan dilakukan
dengan merusak sarana yang menuju tempat tersebut.
3. Pencurian ringan (364 KUHP)
Pencurian yang mana harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp. 25,-
4. Pencurian dengan kekerasan (365 KUHP)
5. Pencurian dalam keluarga (367 KUHP)
Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan adalah suami atau istri dari
yang terkena kejahatan, dan tidak terpisah meja atau tempat tidur, tidak bisa
dituntut secara pidana.
Pemerasan dan Pengancaman
 Diatur dalam pasal 368 – 371 KUHP. Unsur khas pemerasan adalah memaksa orang lain
dengan kekerasan untuk memberikan sesuatu.
 Bedanya dengan pencurian adalah, bahwa dalam pencurian yang mengambil adalah
pelaku sendiri, sedangkan dalam pemerasan adalah si korban dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan.
 Pemerasan merupakan pengkhususan dari delik paksaan pada umumnya (pasal 335 ayat
(1) KUHP).
 Unsur khas pengancaman adalah memaksa orang lain dengan ancaman untuk
memberikan sesuatu.
 Persamaan dengan delik pemerasan adalah bahwa yang dituju si pelakunya adalah
sama, adapun perbedaannya adalah dalam cara-cara yang dipergunakan si pelaku untuk
mencapai tujuan, dalam hal ini dalam delik pengancaman adalah ancaman saja, bukan
ancaman dengan kekerasan, melainkan dengan membuka rahasia.
Penggelapan
 Diatur dalam pasal 372 – 377 KUHP. Unsur khasnya adalah memiliki barang milik orang
lain yang ada dalam kekuasaannya. Barang ada dalam kekuasaannya, tetapi bukan
karena tindak pidana.
 Contoh kasus :
Pada saat si Anto berjalan-jalan disuatu mall ia menemukan jam tangan, Anto
mengambilnya dan menjualnya. Dalam hal ini Anto melakukan dua tindak pidana :
1. pencurian, yaitu ketika pertama si Anto menemukan jam tangan tersebut, ia berniat
untuk memilikinya.
2. penggelapan, yaitu terjadi apabila ia tidak berniat memilikinya dan ia akan
melaporkan ke Polisi tetapi ia tidak melapor melainkan menjualnya.
 Jenis-jenis penggelapan meliputi :
1. Penggelapan biasa, 372 KUHP.
2. Penggelapan ringan, 373 KUHP.
3. Penggelapan dengan pemberatan pidana, 374 KUHP.
4. Penggelapan karena terpaksa, diberi barang atau disimpan, 375 KUHP.
5. Penggelapan di kalangan keluarga, 376 KUHP.
Penipuan
 Diatur dalam pasal 378 – 395 KUHP. Unsur khasnya adalah membujuk orang lain dengan
tipu muslihat untuk memberi sesuatu.
 Persamaannya dengan pemerasan dan pengancaman adalah bahwa ketiganya memiliki
kesamaan mengenai akibat yang dituju, yaitu si korban menyerahkan suatu barang atau
membuat utang, atau menghapus suatu piutang.
 Adapun perbedaannya adalah pada cara yang dipergunakan oleh si pelaku, dimana pada
penipuan yaitu menggunakan nama atau kedudukan palsu atau perbuatan tipu muslihat
(listige kun stgrepen) atau rangkaian kebohongan (samenweefsel van verdichtsels).
Penghancuran dan perusakan barang
Diatur dalam pasal 406 – 412 KUHP. Unsur khasnya adalah melakukan perbuatan
terhadap barang orang lain secara merugikan tanpa mengambil barang itu.
Penadahan
Diatur dalam pasal 480 – 485 KUHP. Unsur khasnya adalah menerima atau
memperlakukan barang yang diperoleh orang lain secara tindak pidana.

TINDAK PIDANA TERHADAP TUBUH


 Kejahatan terhadap tubuh dalam KUHP disebut penganiayaan. Namun KUHP sendiri
tidak memuat definisi dari penganiayaan itu sendiri. Berdasarkan doktrin ilmu
pengetahuan, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Pasal 351 KUHP
menyatakan bahwa penganiayaan dipidana dengan hukuman penjara selama-
lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
 Menurut penjelasan Menteri Kehakiman sewaktu pembentukan Pasal 351 KUHP,
ketentuan tersebut dirumuskan sebagai berikut :
 Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan
badan kepada orang lain.
 Setiap perbuatan yang dilakukan sengaja untuk merugikan kesehatan orang lain.
Dengan demikian, unsur kesengajaan tersebut terbatas pada wujud tujuan.
 Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh terbagi menjadi dua
macam, yakni :
 Yang dilakukan dengan sengaja. Dikualifikasikan sebagai penganiayaan.
Dimuat dalam Bab XX Buku II Pasal 351-358 KUHP.
 Karena kelalaian. Dimuat dalam Bab XXI Pasal 360 KUHP. Dikuslifikasikan
sebagai karena lalai menyebabkan orang lain luka.

TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA


 Menurut KUHP, kejahatan terhadap nyawa orang lain terdiri dari :
1. Didasarkan pada unsure subjektifnya :
 Kejahatan terhadap nyawa manusia yang dilakukan dengan sengaja (Bab XIX
Buku II pasal 338 – 350 KUHP).
 Kejahatan terhadap nyawa manusia yang dilakukan karena kealpaan (Bab XXI
Buku II pasal 359 KUHP)
2. Didasarkan pada unsur objektifnya :
 Kejahatan yang dilakukan terhadap nyawa manusia pada umumnya (pasal
338 – 340, 433 – 435 KUHP).
 Kejahatan terhadap seorang anak pada saat dilahirkan atau tidak lama
kemudian setelah dilahirkan (pasal 341 – 343 KUHP).
 Kejahatan terhadap nyawa seorang anak yang masih dalam kandungan
seorang perempuan (346 – 349 KUHP).
Pembunuhan
 Menurut pasal 338 KUHP, pembunuhan didefinisikan sebagai “..dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang lain..”
 Pasal 338 KUHP disebut pasal pembunuhan biasa, pasal 339 KUHP disebut pembunuhan
dengan pemberatan, pasal 341 KUHP disebut dengan pembunuhan berencana.
 KUHP tidak melarang untuk melakukan bunuh diri, tetapi tidak diperbolehkan orang lain
membunuh orang atas permintaannya sendiri (pasal 344 KUHP).
Kejahatan terhadap seorang anak saat dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan
 Pasal 341 KUHP (endedoodslag) :
 Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya sendiri.
 Unsur pentingnya yaitu takut diketahui bahwa anaknya hasil hubungan gelap.
 Pasal 342 KUHP : ketika anak masih dalam kandungan, ada niat untuk dibunuh, misalnya
karena lelakinya tidak mau bertanggung jawab.
 Pasal 345 KUHP : membantu proses pembunuhan anak yang masih dalam kandungan.
 Abortus terdiri dari :
1. Abortus spontanius, akibat keguguran, keluar dengan sendirinya.
2. Abortus provokatus,
3. Abortus provokatus therapantis (medicantis),
Diperbolehkan oleh hukum karena demi keselamatan jiwa si ibu.
4. Abortus provokatus criminalis,
Dilarang oleh hukum.
 Pasal 347 KUHP : aborsi dengan persetujuan si wanita.

TINDAK PIDANA TERHADAP KESUSILAAN


Ketentuan tindak pidana kesusilaan dalam KUHP dapat dikelompokkan sebagai berikut :
 Bentuk kejahatan diatur dalam Pasal 281-289 KUHP
 Bentuk pelanggaran diatur dalam Pasal 532-535 KUHP
Delik susila menjadi ketentuan yang bersifat universal apabila :
 Dilakukan dengan kekerasan
 Korbannya dibawah umur
 Dilakukan di muka umum
 Korban dalam keadaan tidak berdaya
 Terdapat hubungan tertentu antara pelaku dan korban

TINDAK PIDANA KORUPSI


 Tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan
manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan
atau kepentingan rakyat/umum. Perbuatan yang merugikan keuangan atau
perekonomian negara adalah korupsi dibidang materiil. Pengertian menurut UU no
17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam pasal 1 ayat (1) dapat ditemukan
definisi dari keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang,serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
 Dari isinya, perbedaan pasal 2 dan pasal 3 dalam UU no 31 tahun 1999 jo. UU no 20
tahun 2001 memiliki letak perbedaan dalam subjek hukumnya. Menurut Prof. Eman
Suparman, Pergantian atau perubahan UU Pemberantasan Korupsi sejak tahun 1960
sampai dengan UU Nomor 20 tahun 2001 selalu memuat ketentuan yang
menetapkan seorang pegawai negeri atau mereka yang menduduki jabatan publik
tertentu sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi. Penegasan seorang pegawai
negeri sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi tercantum dalam Pasal 2 UU
Nomor 3 tahun 1971; selanjutnya pengertian istilah “pegawai negeri” drinci di dalam
UU Nomor 31 tahun 1999, yaitu dengan dirinci menjadi 5(lima) kriteria (Pasal 1
angka 2). Selain perubahan mendasar tsb, dengan UU Nomor 31 tahun 1999, telah
ditetapkan juga, Korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi disamping
orang perorangan. Sejak diberlakukanya UU Nomor 31 tahun 1999, subjek hukum
tindak pidana korupsi, bukan hanya termasuk pegawai negeri, melainkan juga
termasuk, korporasi dan orang perorangan (lihat Pasal 1 angka 3).
 Penjelasan di atas logis adanya karena itu pembentuk UU Nomor 31 tahun 1999
telah memasukkan dan membedakan 3(tiga) subjek hukum dalam UU Nomor 31
Tahun 1999, yaitu: pegawai negeri dalam arti luas; orang perorangan dan korporasi.
Pengertian istilah “pegawai negeri” dicantumkan dalam lihat Pasal 1 angka 2; dan
“setiap orang” atau “korporasi” dicantumkan dalam lihat Pasal 1 angka 3. Dengan
perubahan-perubahan yang tercantum dalam UU Nomor 31 tahun 1999 maka subjek
hukum tindak pidana korupsi telah lengkap dan sempurna di dalam penegakan
hukum tindak pidana korupsi sampai saat ini.
 Untuk mengetahui mengapa terdapat perbedaan subjek hukum yang merupakan
adressat UU Nomor 31 tahun 1999 maka perlu dikemukakan terlebih dulu apa yang
telah diterangkan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 3 tahun 1971, alinea ketiga,
antara lain menerangkan,” … pengertian pegawai negeri dalam Undang-undang ini
sebagai subjek tindak pidana korupsi, meliputi bukan saja pengertian pegawai negeri
menurut perumusan yang dimaksud dalam Pasal 2, karena berdasarkan pengalaman
selama ini, orang-orang bukan pegawai negeri menurut pengertian hukum
administrasi , dengan menerima tugas tertentu dari suatu badan negara … dapat
melakukan perbuatan-perbuatan tercela”.
 Penjelasan Umum di atas, diperkuat dengan Penjelasan Pasal 1 UU Nomor 3 tahun
1971 yang menerangkan sebagai berikut: “Tindak Pidana Korupsi pada umumnya
memuat aktivitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti
yang luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seseorang
pegawai negeri atau kedudukan istimewa dipunyai seseorang dalam jabatan
umum…maupun orang menyuap sehingga perlu dikualfisiir sebagai tindak pidana
korupsi”. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa, ketentuan Pasal 3 ditujukan untuk
mereka yang tergolong pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2
Sedangkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 diperuntukkan bagi mereka
yang tergolong bukan pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3.
 Salah satu asas yang diatur berbeda dalam UU no 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun
2001 misalnya asas pembuktian terbalik, Pada UU tersebut maka ketentuan
mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan
b, Pasal 37, Pasal 37 A dan Pasal 38B. Apabila dicermati maka UU tindak pidana
korupsi mengklasifikasikan pembuktian menjadi 3 (tiga) sistem. Pertama,
pembalikan beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan
dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini
berlaku untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan
terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya dengan
tindak pidana korupsi (Pasal 38B). Apabila mengikuti polarisasi pemikiran pembentuk
UU sebagai kebijakan legislasi, ada beberapa pembatasan yang ketat terhadap
penerapan pembalikan beban pembuktian dikaitkan dengan hadiah yang wajar bagi
pejabat. Pembatasan tersebut berorientasi kepada aspek hanya diterapkan kepada
pemberian (gratifikasi) dalam delik suap, pemberian tersebut dalam jumlah Rp.
10.000.000,00 atau lebih, berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediening) dan
yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban (in strijd met zijn
plicht) dan harus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua,
pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik atau berimbang terbalik
dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun jaksa
penuntut umum secara berimbang terhadap objek pembuktian yang berbeda secara
berlawanan (Pasal 37A). Ketiga, sistem konvensional dimana pembuktian tindak
pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi
dibebankan sepenuhnya kepada jaksa penuntut umum. Aspek ini dilakukan terhadap
tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta) rupiah (Pasal 12B ayat (1) huruf b) dan tindak pidana korupsi pokok.

TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA


 Diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1997 Tentang Psikotropika dan Undang-
undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.
 Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis, bukan narkotika yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental. Dapat menyebabkan kerusakan
parsial (pada syaraf pusat).
 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, dapat
sintesis ataupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan menurunnya atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan dalam golongan-golongan tertentu.
 Perbedaan antara keduanya, dilihat pada saat ketagihan, yang mana pada narkotika
dapat menyebabkan kelumpuhan total, tetapi tidak pada psikotropika.
 Terhadap tindak pidana narkotika dan psikotropika ini, peraturan hukum yang
mengaturnya dapat berbentuk :
1. Preventif
Melindungi masyarakat dari produk-produk narkotika dan psikotropika.
2. Represif
Pemidanaan, baik komulatif maupun alternatif.
3. Rehabilitatif
Perbaikan terhadap fisik dan mental para pecandu.
4. Regulatif
Mengatur peredaran dan perdangan narkotika dan psikotropika.

Anda mungkin juga menyukai