Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

RESUME MATERI

Oleh :

Laela Mustika

1710112084

Perbandingan Hukum Pidana 4.4

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG
2020
RESUME MATERI PERBANDINGAN HUKUM PIDANA
(Dari Materi Setelah UTS)

I. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA BELANDA


Berdasarkan Hukum Pidana Belanda, pertanggungjawaban pidana pada seorang pelaku
tindak pidana harus memenuhi 4 persyaratan, yaitu:
1. Adanya suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku.
Delict Commission adalah melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh Undang-
Undang (perbuatan aktif). Misalnya membunuh, mencuri, dan menipu. Sedangkan
Ommission adalah tidak melakukan suatu tindakan yang diharuskan oleh Undang-
Undang (perbuatan pasif). Misalnya, tidak melaporkan adanya suatu
permufakatan jahat yang diketahui oleh si pelaku, tidak memenuhi panggilan
sebagai saksi.
2. Yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang.
Perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku telah memenuhi semua unsur-unsur delik
yang telah dirumuskan dalam suatu pasal Undang-Undang Pidana.
3. Tindakan tersebut bersifat melawan hukum (unlawfull).
Perbuatan melawan hukum ini ada dalam pengertian yang formil ada pula dalam
pengertian materil. Melawan hukum dalam pengertian yang formil maksudnya
perbutan yang dilakukan oleh si pelaku merupakan suatu perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang. Sedangkan melawan hukum
dalam pengertian yang materiil maksudnya adalah perbuatan si pelaku tidak saja
dilarang oleh Undang-Undang namun juga dilarang oleh hukum yg tidak tertulis.
4. Pelaku harus bisa dipertanggungjawabkan
Pelaku harus bisa mempertanggungjawabkan tindakan atau perbuatan yang
dilakukannya secara hukum

Alasan-alasan Pengurungan Atau Penghapus Pidana

Dalam Hukum Pidana Belanda dibedakan 2 landasan pembenar dari st tindak pidana:

1) Written Statutory Condition, terdiri dari :


- General defence
Yang termasuk dalam General Defence adalah:
a. Self Defence (Noodwer)
Merupakan ketentuan tentang pembelaan diri (self defence atau noodweer)
ini diatur dalam Pasal 41 WvS Belanda atau Pasal 48 KUHP Indonesia.
Unsur2 suatu pembelaan diri (noodweer) adalah:
1) Pembelaan itu bersifat terpaksa;
2) Yang dibela adalah diri sendiri, orang lain, kehormatan, kesusilaan,
harta benda tersendiri atau orang lain;
3) Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yg sgt dekat pd saat
itu;
4) Serangan itu melawan hukum.

b. Existence Of A Legal Duty (Wettelijke Voorschrift)


Atau yang disebut juga melaksanakan ketentuan Undang-Undang. Diatur
dalam Pasal 42 WvS Belanda atau Pasal 50 KUHP Indonesia yang
berbunyi: “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk
melaksanakan peraturan UU. Misalnya perbuatan seorang jaksa yang
mengeksekusi terpidana untuk dipenjara di Lapas berdasarkan suatu
putusan pengadilan yangg telah memiliki kekuatan hukum tetap.
c. Official Orders (Ambtelijk bevel)
Melaksanakan Perintah Jabatan (Ambtelik Bevel). Rumusan tentang
melaksanakan perintah jabatan (Official Orders atau Ambtelijk Bevel) ini
terdapat dalam Pasal 43 WvS Belanda atau Pasal 51 KUHP Indonesia.
Perintah jabatan dapat diartikan sebagai suatu perintah yang diberikan
oleh seorang atasan kepada bawahan dimana kewenangan untuk
memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijke positie atau
suatu kedudukan menurut jabatan baik darir orang yang memberikan
perintah maupun dari orang yang menerima perintah )
d. Necessity (Noodtoestand)
Keadaan darurat ini diatur Pasal 40 WvS Belanda atau Pasal 49 KUHP
Indonesia.
Keadaan darurat ini sesungguhnya muncul dari suatu keadaan konflik
antara dua kepentingan: sseorang mengorbankan kepentingan yang lebih
kecil demi kepentingan yang lebih besar.

- Special Defence

2) Unwritten Statutory Condition


Merupakan alasan untk mengurangi atau menghapus pidana yang tidak terdapat
di dalam UU. Dalam Hukum Pidana Belanda alasan ini dikenal dengan nama
“The Absence of Substantive Illegality” yang dianut oleh Hooge Raad Belanda tgl
20 Februari 1933. Menurut Hooge Raad, tidak mungkin menjatuhkan pidana
terhadap seseorang jika unsur melawan hukum tidak ada pada kejahatan yang
dituduhkan sekalipun unsur itu tidak selamanya harus secara tegas dicantumkan
sebagai bagian dalam rumusan suatu delik.

II. PERBANDINGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA


DENGAN MALAYSIA
Korupsi pada dasarnya merupakan penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan
publik untk memeperoleh keuntungan pribadi. Korupsi meurpakan suatu tindak pidana
yang ditentang diseluruh negara di dunia termasuk Indonesia dan Malaysia.
Negara Indonesia dan Malaysia sama-sama menganggap korupsi merupakan
kejahatan luar biasa dan telah menerapkan berbagai macam kebijakan maupun peraturan
perundang-undangan guna mengurangi, bahkan menghilangkan tindak pidana korupsi.
Perbandingannya dan perbedaannya korupsi di Indonesia dengan Malaysia
terletak pada formulasi jenis tindak pidana korupsi yang bersangkutan, formulasi
sanksinya serta lembaga pemberantasannya.
Secara umum, dalam sistem hukum pidana di Indonesia khususnya terkait dengan
Tindak Pidana korupsi ada beberapa ketentuan pokok yang terkait antara lain KUHP
sebagai ketentuan pidana dasar dan UU Nomor 31 tahun 1999 jo. UU Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Di Indonesia memiliki KPK sebagai institusi negara yang
kedudukannya independen dan tidak terikat pada politik atau kekuasaan apapun sebagai
lembaga institusi yang bergerak dalam pemberantasan korupsi.
Sedangkan di Malaysia landasan hukum utama bagi penegakan hukum di
Malaysia untuk memberantas tindak pidana korupsi adalah Prevention of Corruption Act
1961. Dimana Kerangka hukum Malaysia adalah Prevention of Corruption Act 1961
(PCA 61) dan pada tahun 1967, Anti-Corruption Agency of Malaysia (ACA), yang
kemudian mengganti ACA dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia (MACC)
(dalam bahasa Melayu, Suruhanjanya Pencegaha Rasuah Malaysia) dan kemudian pada
tahun 2003 pemerintah kerajaan Malaysia menetapkan ANTI-CORRUPTION
COMMISSION ACT 694 OF 2009 (Undang-undang komisi anti korupsi nomor 694
tahun 2009). Lembaga pemberantasan korupsi di Malaysia adalah SPRM (suruhanjaya
pencegah rasuah Malaysia) yang sebelumnya dikenal dengan Lembaga BPR (Badan
Pencegah Rasuah) badan pencegah korupsi yang merupakan sebuah lembaga yang
dipertanggung jawabkan khusus untuk mencegah korupsi.

III. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA INGGRIS


Dalam Hukum Pidana Inggris, pada prinsipnya setiap orang yg melakukan kejahatan dpt
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya kecuali ada sebab-sebab yang meniadakan
atau menghapuskan pertanggungjawaban si pelaku (exemptions from liability)
Seseorang tdk dipertanggungjawabkan jika:
1. Memperoleh tekanan (fisik atau psikologis) sedemikian rupa sehinga mengurangi
pengendalian diri yg bersangkutan atau membatasi kebebasan pribadinya. Tekanan
fisik atau psikologi tersebut dapat berupa :
• Insanity (gila atau sakit jiwa)
Insanity merupakan suatu upaya pembelaan yg bersifat mutlak (a complete
defense). Jadi apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa pada saat terjadi
kejahatan tersebut, ia sedang mengalami cacat akal atau penyakit mental
sehingga ia tidak mengetahui sifat & kualitas dari perbuatannya atau jika pun ia
mengetahuinya, ia tidak tahu bahwa perbuatannya itu salah.
Peraturan tentang insanity ini dalam hukum pidana Inggris & AS dikenal dengan
istilah “M’naghten Rule (1846)”. M’naghten Rule mengandung tiga hal:
a. Setiap org dianggap sehat jiwanya & beban pembuktian terletak pd pihak
terdakwa;
b. Kebodohan semata2 tidak cukup dijadikan sbg dasar pembelaan, hrs ada apa
yg disebut dgn “some desease of mind”;
c. “Irresistible impulse” bukan st pembelaan. Akan tetapi jika si terdakwa dpt
membuktikan bhw ia menderita abnormalitas pikiran yg mengakibatkan
“berkurangnya” kemampuan bertanggung jawab maka hal ini hanyalah faktor
yg memperingan hukuman bukan faktor yg meniadakan hukuman.

 Automatism (gerak reflek)


Dalam hal “gerak reflek”, suatu perbuatan tertentu tidak bisa dipidana jika
dilakukan secara reflek atau tidak sengaja. Misalnya seseorang yang secara reflek
memukul orang lain yang meraba saku celananya. Namun pembelaan atas dasar
gerak reflek ini tidak berlaku terhadap beberapa perbuatan tertentu, misalnya
seorang sopir yang menjalankan kendaraannya dalam keadaan mengantuk
sehingga terjadi tabrakan yang mengakibatkan seorang pejalan kaki mati.

 Drunkenness (mabuk)
Mabuk dalam hukum pidana Inggris dibedakan 2 macam:
1) “Involuntary Drunkenness”, seorang mabuk disebabkan perbuatan orang lain.
Jika hal itu dpt dibuktikan maka alasan mabuk merupakan suatu pembelaan
yang mutlak.
2) “Voluntary Drunkenness”, pada umumnya tidak diakui sebagai suatu
pembelaan yang bersifat mutlak kecuali kalau mabuknya itu mengakibatkan
“gila” sementara waktu sehingga menghilangkan unsur niat yg disyaratkan
oleh suatu tindak pidana.
 Coercion (daya paksa)
Coercion diakui sebagai suatu upaya pembelaan jika dapat dibuktikan bahwa
terdakwa melakukan suatu perbuatan yg bertentangan dengan kemampuan dari
dalam dirinya dan dibawah tekanan orang lain.
Coercion dibedakan ke dlm 3 bagiam: “Coercion by orders of a superior” (daya
paksa karna perintah atasan), “Coercion by threats” (daya paksa karena suatu
ancaman), “Marital Coercion” (Daya paksa oleh salah satu pihak dalam
perkawinan).

 Necessity (keadaan darurat)


Keadaan darurat merupakan suatu upaya pembelaan yang bersifat mutlak dalam
hal:
a. kasus self defense mnrt keadaan tertentu
b. untuk mencegah kejahatan dengan kekerasan.

 Mistake or ignorance of fact (kesalahan atau pengabaian atas fakta)


Kekeliruan atas fakta dapat menjadi suatu pembelaan dalam situasi tertentu jika
kekeliruan itu beralasan. Sedangkan kekeliruan atas hukum tidak bisa dijadikan
sebagai alasan dalam pembelaan.

 Accident (kecelakaan atau ketidaksengajaan)

2. Pelaku termasuk pada golongan orang-orang yang tunduk pada peraturan khusus.
a. Pengusaha atau bangsawan yg memegang kekuasaan atau raja yang berdaulat
The Sovereign, dikenal dengan istilah “The King or Queen can do no wrong”
sehingga dengan sendirinya seorang Raja atau Ratu di Inggris tidak bisa dituntut.
Foreign Sovereign, diplomat asing memiliki kekebalan hukum namun kekebalan
hukumnya itu dapat dicabut oleh pemerintah dari negara asalnya.
b. Diplomat asing
c. Perkumpulan atau badan usaha secara terbatas
Korporasi pada dasarnya hanya bisa dipertanggungjawabkan secara pidana untuk
hal-hal tertentu saja.
d. Anak dibawah usia 10 (sepuluh) tahun
- Dibawah usia 10 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan;
- Usia 10-14 dianggap belum mampu bertanggung jawab dan hanya bisa
dituntut apabila penuntut sanggup membuktikan bahwa anak tersebut
mengetahui bahwa perbuatannya itu salah.
- Usia 14-21 tahun sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
akan tetapi tidak boleh dijatuhi pidana penjara.

Strict Liability
Strict Liability merupakan prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak tanpa harus
dibuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana.
Strict liability menurut hukum pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara
pelanggaran ringan yaitu pelanggaran terhadap ketertiban umum yg mencakup:
1) Contempt of court, pelanggaran thd tata tertib pangadilan;
2) Criminal Libel, pencemaran nama baik seseorang;
3) Public Nuissance, mengganggu ketertiban umum.

Karakteristiknya :
 Kejahatan yg dilakukan bukan kejahatan berat
 Ancaman hukumannya ringan
 Syarat adanya “mens rea” akan menghambat tujuan perundang-undangan
 Kejahatan yg dilakukan secara langsung merupakan pelanggaran terhadap hak-
hak orang lain.
 Menurut UU yg berlaku, “mens rea” secara kasuistis tidak perlu dibuktikan.

Vicarious Liability
Vicarious liability merupakan suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan
kepada seseorang atas perbuatan orang lain Dalam sistem hukum civil law, jenis
pertanggungjawaban pidana seperti ini tidak dikenal. Vicarious liability hanya
berlaku terhadap beberapa tindak pidana tertentu dalam hukum pidana Inggris seperti:
1) Delik-delik yang mensyaratkan kualitas
2) Delik2 yg mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dengan majikan

Delik-Delik Yang Mensyaratkan Kualitas


Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain dalam hal tindak
pidana terhadap public nuisance yaitu suatu perbuatan yang menyebabkan gangguan
substansial terhadap penduduk ataupun menimbulkan bahaya terhadap kehidupan,
kesehatan, dan harta benda.

Delik-Delik Yang Mensyaratkan Hubungan Buruh Dan Majikan


• Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang
dilakukan orang lain apabila ia telah mendelegasikan kewenangannnya menurut
UU kepada orang lain tersebut.
• Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik
dilakukan oleh buruhnya apabila menurut hukum perbuatan buruh itu dipandang
sebagai perbuatan majikan. Oleh karna itu, buruh sebagai pelaku materiil (auctor
fisicus) dan majikan sebagai pelaku intelektual (auctor intellectualis).

IV. AZAS LEGALITAS DALAM BEBERAPA HUKUM PIDANA NEGARA ASING


Azas legalitas dapat dilihat sebagai azas tentang sumber hukum & azas tentang ruang
berlakunya hukum pidana menurut waktu.
Persoalan terkait dengan azas legalitas sebagai sumber hukum yaitu:
1. Apakah sumber hkm pidana hanya UU (berupa hukum tertulis)?
2. Apakah hukum tidak tertulis bisa jadi sumber hukum?

Persoalan terkait dengan azas legalitas sebagai masalah ruang berlakunya hukum pidana
menurut waktu adalah:
1. Hukum pidana manakah yang berlaku pada saat delik dilakukan?
2. Hukum pidana manakah yang berlaku apabila ada perubahan UU?
a. Azas Legalitas Dalam KUHP Korea
Dirumuskan dalam Pasal 1 dengan subjudul “Criminality And Punishment” yang
terdiri dari 3 ayat yaitu:
1) Apa yang merupakan suatu kejahatan & pidana apa yang diancamkan untuk itu
akan ditentukan menurut UU yang berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan;
2) Apabila suatu UU berubah setelah kejahatan dilakukan dengan akibat perbuatan k
itu tidak lagi merupakan suatu kejahatan atau pidana yang diancamkan lebih
ringan dari pada yang ditetapkan oleh UU yang lama, maka UU baru yang akan
diterapkan;
3) Apabila suatu UU berubah setelah adanya putusan pengadilan menyangkut suatu
perbuatan jahat dg akibat perbuatan itu bukan lagi suatu kejahatan maka
pelaksanaan pidana menyangkut perbuatan itu akan dibatalkan.

Persamaan Dan Perbedaan Azas Legalitas Dalam KUHP Korea Dan KUHP Indonesia
• Perumusan ayat 1 dam 2 KUHP Korea ini pada dasarnya sama dengan KUHP
Indonesia.
• Perbedaannya terdapat pada perumusannya dimana KUHP Indonesia tidak ada
perumusan tegas mengenai arti atau ruang lingkup perubahan perundang2an
sedangkan dalam KUHP Korea hal itu diatur dengan tegas.
• Selain itu dalam ayat 3 KUHP Korea dimana ada aturan menyangkut putusan
pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap suatu perbuatan jahat
dalam konteks terjadinya perubahan UU. Aturan seperti ini tidak ada dalam
KUHP Indonesia namun hal ini dapat ditemukan dalam praktek peradilan
(yurisprudensi) di Indonesia.

b. Azas Legalitas Dalam KUHP Thailand


Ketentuan tentang azas legalitas diatur dalam Pasal 2 ayat I dan 2 KUHP Thailand
yang berbunyi: “Seseorang hanya akan dipidana apabila perbuatan yg dilakukannya
ditetapkan sebagai tindak pidana & pidananya dirumuskan dalam UU yang berlaku
saat perbuatan itu dilakukan, dan pidana yang dikenakan pada si pelanggar adalah
pidana sebagaimana yang ditetapkan oleh UU itu.
Apabila menurut UU yang ditetapkan kemudian, perbuatan itu tidak lagi
merupakan suatu tindak pidana, orang yang melakukan perbuatan itu akan
dibebaskan: dan apabila ada putusan pemidanaan yang final, orang itu dianggap
belum pernah dipidana atas perbuatan itu, akan tetapi apabila ia sedang menjalani
pidana, maka pidana itu akan diakhiri dengan segera.
Dari perumusan Pasal 2 ayat 1 itu terlihat bahwa KUHP Thailan menganut
azas Lex Temporis Delicti. Sedangkan ayat 2 mengatur adanya perubahan UU
khususnya dalam hal UU baru menyatakan bahwa perbuatan yang diatur dalam UU
lama tidak lagi merupakan tindak pidana menurut UU baru.Dalam hal ini ada 2
kemungkinan:
- Dalam hal belum ada putusan berdasarkan UU lama, maka terdakwa akan
dibebaskan.
- Dalam hal sudah ada putusan pemidanaan yang final berdasarkanan UU lama
maka: Apabila pidana belum dijalankan, terpidana dianggap ssebagai belum
pernah dipidana. Namun Apabila terpidana sedang mnjalani pidana,
pidananya itu akan segera dihentikan (trpidana dibebaskan).
- Dalam hal terdakwa sudah diputus berdasarkan UU lama sedangkan menurut
UU baru perbuatan terdakwa tetap merupakan suatu tindak pidana namun
dengan pengaturan yang berbeda maka Pasal 3 KUHP Thailand menentuakan
hal2 sbg berikut: Apabila pidana yang dijatuhkan lebih berat dibanding
ancaman pidana dalam UU baru, maka pengadilan akan menentukan kembali
pidana sesuai dengan UU baru. Namun Apabila terdakwa dijatuhi pidana mati
menurut UU lama tetapi mnrt UU baru ancaman pidananya bukan pidana
mati, mk eksekusi pidana mati itu akan ditunda dan dianggap bahwa pidana
mati itu diganti dengan pidana terberat menurut UU baru.

c. Azas Legalitas Dalam KUHP Polandia


Perwujudan azas legalitas terdpt dlm Psl 1 & 2 bab I KUHP Polandia.
Pasal 1 berbunyi: pertanggungjawaban pidana hanya akan dikenakan kepada seseorg
yang melakukan suatu perbuatan yang membahayakan masyarakat yang diancam
pidana oleh UU yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
Pasal 2 ayat 1: apabila pd saat keputusan pengadilan, UU yg berlaku adl lain drpd yg
berlaku saat tindak pidana dilakukan, mk UU baru akan diterapkan, akan tetapi UU
lama akan tetap diterapkan apabila ancaman pidananya lbh ringan drpd UU baru.
Pasal 2 ayat 2: apabila menurut UU yang baru perbuatan yang dimaksud tidak lagi
dilarang & diancam pidana, pemidanaan itu akan dihapuskan dengan berlakunya UU
yang baru.
Persamaan Azas Legalitas Dalam KUHP Polandia Dengan KUHP Indonesia
• Perumusan pasal 1 KUHP Polandia ini jelas mempunyai prinsip yang sama
dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP Indonesia yaitu prinsip Lex Temporis Delicti (UU
yang berlaku adl UU pada saat delik terjadi).
• Persamaan juga terlihat dalam Pasal 2 KUHP Polandia yang prinsipnya sama
dengan Pasal 1 ayat 2 KHUP Indonesia yaitu UU yang lebih menguntungkan
terdakwa yang diterapkan.
• Akan tetapi dalam Pasal 2 KUHP Polandia ini ada penegasan bahwa pada
prinsipnya UU baru yang harus didahulukan atau dinyatakan berlaku.

d. Azas Legalitas Dalam KUHP Norwegia


Ketentuan tentang azas legalitas terdapat dalam Pasal 3 General Provisions (Aturan
Umum) KUHP Norwegia Yaitu:
Alinea 1: Apabila UU pidana telah diubah dalam tenggang waktu antara
dilakukannya perbuatan dengan pemeriksaan pengadilan, maka ketentuan2 pidana
yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan itulah yang diterapkan kecuali kalau
ditentukan sebaliknya.
Alinea 2: Ketentuan2 pidana baru yang berlaku pada saat putusan dalam suatu
perkara tertentu diterapkan apabila ketentuan itu lebih menguntungkan bagi terdakwa
daripada ketentuan2 pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. Akan
tetapi ketentuan2 pidana baru yang berlaku setelah keputusan pengadilan tidak akan
diterapkan dalam hal putusan itu dimintakan banding atau pemeriksaan ulang.
Jika dilihat ketentuan Pasal 3 alinea 1 dan 2 tersebut terlihat bahwa KUHP
Norwegia menganut azas Lex Temporis Delicti kecuali ditentukan sebaliknya. KUHP
Norwegia tampaknya lebih mengutamakan UU yang lama daripada UU yang baru.
UU yang baru akan berlaku jika:
(1) UU baru itu berlaku sebelum putusan pengadilan dijatuhkan dan
(2) UU baru itu lebih menguntungkan daripada UU yang lama.
UU baru yang berlaku setelah keluarnya putusan pengadilan tidak bisa digunakan
sebagai dasar untuk mengajukan upaya hukum (banding ataupun kasasi).

e. Azas Legalitas Dalam KUHP Sudan


Perumusan menyangkut azas legalitas terdapat dalam section 3 KUHP Sudan yang
mengatur tentang “pidana untukk tindak pidana yang dilakukan di wilayah Sudan”
yang berbunyi: “Setiap orang dapat dipidana berdasarkan KUHP ini untuk setiap
perbuatan (berbuat atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan KUHP ini dan yang
dilakukan dalam wilayah Sudan yg baru”. Dimana “Dalam menerapkan KUHP ini,
pengadilan dapat mempertimbangkan hukum kebiasaan yangg ada & praktek yg
berlaku di tiap wilayah”
Perbandingan Azas Legalitas Dlm KUHP Sudan dengan KUHP Indonesia
1. Sumber hukum utama dari hukum pidana Sudan adalah KUHP namun dimungkin
juga berlakunya hukum kebiasaan di tiap wilayah Sudan. Sedangkan sumber
hukum pidana indonesia adalah peraturan perundang-undangan (KUHP & UU
pidana diluar KUHP).
2. Perumusan ayat 1 section 3 KUHP Sudan menggabungkan azas legalitas dengan
azas teritorialitas.

V. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM BEBERAPA KUHP NEGARA


ASING
Pertanggungjawaban pidana merupakan salah satu dari ajaran-ajaran umum dalam hukum
pidana. Namun dalam KUHP Indonesia masalah pertanggungjawaban pidana ini tidak
seluruhnya mendapat pengaturan dalam aturan umum Buku I KUHP.
Adapun masalah2 yang belum diatur dalam KUHP Indoesia mencakup:
1. Masalah azas kesalahan (Azas Culpabilitas)
Azas kesalahan ini pada umumnya diakui sebagai prinsip umum dalam hukum pidana
di berbagai negara. Namun tidak banyak KUHP di berbagai negara tersebut yang
merumuskan secara tegas azas ini dalam KUHP-nya.
Azas kesalahan dalam Pasal 59 KUHP Thailand: “Seseorang hanya akan
dipertanggungjawabkan apabila ia melakukan suatu perbuatan dengan sengaja kecuali
dalam hal:
1) UU menetapkan bahwa ia harus dipertanggungjawabkan apabila ia melakukan
suatu perbuatan dengan kealfaan;
2) UU secara jelas menetapkan bahwa ia harus bertanggung jawab walaupun ia
melakukan perbuatan tidak dengan sengaja.

Dari perumusan di atas terlihat bahwa pada prinsipnya hanya orang yang melakukan
perbuatan dengan sengaja sajalah yang dapat dinyatakan bersalah & dipidana.
- Dapat dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan karna kealfaan
dalam point 1) & 2) diatas hanya merupakan suatu pengecualian.
- Pengecualian pada point 2) menunjukkan dianutnya ajaran strict liability
sebagai pengecualian dari azas kesalahan.
- Sedangkan Prinsip bahwa hanya orang yang melakukan perbuatan dengan
sengaja sajalah yang dapat dipersalahkan & dipidana sedangkan pemidanaan
untuk perbuatan karna kealfaan hanya merupakan suatu pengecualian apabila
ditentukan secara khusus dulu UU terlihat dalam beberapa KUHP negara lain
seperti: KUHP Jepang, Polandia, & Norwegia.

2. Pengertian kesengajaan dan kealpaan (kelalaian).


Pengertian atau definisi kesengajaan & kealfaan pada dasarnya tidak terdapat dalam
KUHP Indonesia. Sedangkan dalam KUHP negara lain perumusan pengertian
kesengajaan & kealfaan ini ada 2 kelompok:
a. Ada KUHP yang cukup merumuskan atau menegaskan bahwa orang hanya dapat
dipidana apabila ada kesengajaan atau kealfaan tanpa memberikan pengertian
kedua bentuk selahan tersebut. Teknis perumusan ini misalnya terlihat dalam
KUHP Jepang, Korea, & Norwegia.
b. Dipihak lain ada pula KUHP yg memberikan pengertian kesengajaan & kealfaan
seperti antara lain trlihat dlm KUHP Thailand, Polandia, & Jerman.

Pengertian Kesengajaan
- Dalam KUHP Thailand (Pasal 59 Paraghraf 2): “melakukan perbuatan dengan
sengaja ialah melakukan suatu perbuatan secara sadar & pada saat yang sama
si pelaku menghendaki atau dapat memperkirakan/ mengetahui lebih dahulu
akibat dari perbuatan itu.
- Dalam KUHP Polandia (Pasal 7 Paraghraf 1): “Suatu tindak pidana dilakukan
dengan sengaja apabila si pelaku punya keinginan untuk melakukan perbuatan
terlarang dimana ia menghendaki terjadinya perbuatan itu atau walaupun ia
telah memperkirakan kemungkinan terjadinya akibat dari perbuatan itu, ia
tetap melakukan perbuatan itu.

Sedangkan Pengertian Kealpaan


- Dalam KUHP Thailand (Pasal 59 Paragraf 4): “Perbuatan dengan kealpaan
ialah melakukan suatu tindak pidana dengan tidak sengaja, tetapi tanpa
melakukan penghati-hatian sebagaimana seharusnya diharapkan dari orang
yang berada dalam kondisi & keadaan serupa itu, sedangkan si pelaku
seharusnya dapat melakukan penghati2an seperti itu tetapi ia tidak berbuat
demikian”.
- Dalam KUHP Polandia (Pasal 7 Paragraf 2): “Suatu tindak pidana dilakukan
dengan kealpaan apabila si pelaku mengetahui sebelumnya kemungkinan
terjadinya perbuatan terlarang itu tetapi ia tanpa alasan yang rasional
menganggap dapat menghindari perbuatan itu; dan apabila ia tidak dapat
menduga kemungkinan seperti itu walaupun ia seharusnya dapat menduga
kemungkinan terjadinya hal itu.
-
3. Pertanggungjawaban terhadapakibat-akibat yang timbul karena ketidaksengajaan.
Akibat-akibat yang timbul tidak dengan sengaja biasanya dirumuskan dalam
delik2 yang dikualifikasi atau yang diperberat oleh akibatnya. Delik2 ini dalam
KUHP Indonesia misalnya dirumuskan dalam Pasal2 187 (2 & 3), 333 (1), & 354 (2).
Secara doktrin, persoalan diatas didasarkan pada ajaran Erfolgshaftung.
Menurut ajaran ini seseorang dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat yang
timbul tanpa diperlukan adanya hubungan dengan sikap bathin yang jahat dari si
pelaku terhadap akibat itu asalkan secara obyektif akibat benar2 telah terjadi sebagai
akibat dari perbuatannya. Ajaran ini disebut juga sebagai ajaran Erfolgshaftung yang
murni. Ajaran ini dilhami oleh doktrin Versari in re illicite dalam hukum kanonik
yang merupakan pengecualian dari azas culpabilitas. KUHP Indonesia tidak secara
tegas menganut ajaran Erfolgshaftung yang murni ini.
Sedangkan Azas Erfolgshaftung dalam KUHP Korea (Psl 15 ayat 1): “Apabila
pidana yang lebih berat diancamkan terhadap akibat2 tertentu dari suatu kejahatan,
pidana yang lebih berat itu tidak diterapkan apabila akibat2 itu tidak dapat
dibayangkan atau diduga sebelumnya”.
Di dalam KUHP Polandia (Pasal 8): “Pelaku tindak pidana dengan sengaja akan
dikenakan pertanggungjawaban yang lebih berat yang oleh UU dikaitkan dengan
suatu akibat tertentu, apabila sekurang2nya ia seharusnya dapat atau telah dapat
menduga akibat itu sebelumnya
.
4. Masalah kesesatan (error).
Dalam teori hukum pidana dikenal 3 bentuk kekeliruan atau error yaitu: error in
persona (keliru mungkin orang, error in objecta (keliru mgn objek), & rechts dwaling
(keliru mgn fakta hukum). Namun persoalan keliru ini tidak diatur dalam KUHP
Indonesia.
Sementara itu, Dalam KUHP Thailand (Pasal 61 & 62)
Pasal 61:“Apabila seseorang bermaksud melakukan suatu perbuatan terhadap
seseorang tapi karna kekeliruan ia melakukan perbuatan itu terhadap orang lain, maka
orang itu tidak dapat mengajukan kekeliruan itu sebagai alasan pemaaf bahwa ia
secara tidak sengaja melakukan perbuatan itu”. Pasal 61 ini menyangkut mungkin
error in persona.
Pasal 62: “kekeliruan terhadap suatu fakta atau peristiwa akan diperlakukan sesuai
dengan pokok perkaranya
Persoalan kekeliruan ini juga diatur dalam KUHP Korea (Psl 15 & 16).
Kekeliruan dalam Pasal 15 menyangkut error/mistake of fact dimana hal ini tidak
dapat dipidana. Sedangkan Pasal 16 mengatur mengenai kekeliruan mengenai hukum
(mistake of law). Kekeliruan mengenai hukum ini tidak dapat dipidana apabila
kekeliruannya itu didasarkan pada alasan2 yang masuk akal (reasonable ground). Hal
ini menarik karna menurut adagium tradisional mistake of law ini harusnya dapat
dipidana.

VI. PERBANDINGAN TENTANG MASALAH PERCOBAAN MELAKUKAN


TINDAK PIDANA DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM
PIDANA SINGAPURA.
Percobaan seseorang melakukan tindak pidana berhubungan dengan saat ketika seseorang
melakukan suatu tindak pidana maka akan ada kemungkinan bahwa tindak pidana yang
dilakukannya tersebut tidak selesai dikarenakan adanya alasan-alasan, dimana alasan-
alasan tersebut diatur dalam undang-undang.
Perbedaan KUHP Indonesia dan Singapore Penal Code, yaitu :
1. Pengaturan dalam Undang-Undang
Pengaturan mengenai percobaan tindak pidana di Indonesia diatur dalam Pasal 53 dan
54 KUHP, dimana terletak dalam Buku I tentang Ketentuan Umum. Berbeda dengan
pengaturan percobaan di Singapura yang menempatkannya pada bab tersendiri dan
terakhir, yaitu Bab 23 Pasal 511 tentang Percobaan Tindak Pidana.
2. Sanksi Pidana
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia sanksi untuk tindak pidana
percobaan jelas berbeda dengan sanksi pidana pada kejahatan yang sudah selesai,
menurut Pasal 53 ayat (2) mengatakan bahwa “maksimum pidana pokok terhadap
kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga”. Namun demikian apabila
ditambah dengan pidana tambahan maka pidana tambahan tersebut disamakan dengan
kejahatan selesai (Pasal 53 ayat (4)).
Berbeda dengan undang-undang Singapura yang mencantumkan bahwa hukuman
percobaan tindak pidana adalah disamakan dengan sanksi pidana dalam tindak pidana
selesai, bahkan ada juga yang memberikan sanksi hanya berupa hukuman cambuk
dan/atau denda tanpa adanya sanksi pidana berupa penjara. Sehingga dapat dikatakan
bahwa sanksi percobaan melekat pada pasal sanksi tindak pidana, kecuali jika sanksi
pidana selesai tersebut adalah hukuman mati atau seumur hidup, maka ada
pengecualian.
3. Percobaan Pelanggaran
KUHP Indonesia percobaan melakukan pelanggaran tidak diancam pidana, hal ini
dapat dilihat dari Pasal 54 KUHP. Sedangkan di Singapura sendiri tidak ada
penjelasan tersendiri mengenai percobaan melakukan pelanggaran, dianggap bahwa
hal tersebut tidak menjadi permasalahan dalam struktur hukum Singapura.
4. Selesainya Percobaan Tindak Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia menyatakan bahwa syarat
suatu tindak pidana dianggap percobaan adalah tidak selesainya tindak pidana
tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari luar dan bukan keinginannya sendiri.
Contohnya saja ketika seseorang hendak mencuri uang, akan tetapi saat hendak
mengambil uang tersebut dia ketahuan oleh pihak keamanan, maka orang tersebut
dijatuhi percobaan pencurian. Berbeda apabila ketika seseorang tersebut hendak
mengambil uang ternyata ia menyadari bahwa tidakannya tersebut adalah dosa
sehingga atas kemauannya sendiri ia membatalkan untuk mencuri uang tersebut,
maka ia tidak dipidana atas tindakan percobaan pencurian.
Berbeda dengan undang-undang di Singapura, dari penjelasan Pasal 511 Singapore
Penal Code dapat dilihat bahwa tidak ada penjelasan khusus bagaimana berakhirnya
tindak pidana tersebut agar bisa dikatakan percobaan, apakah bila seseorang
membatalkan aksi nya karena kehendak pribadi maka tidak dapat dipidana selesainya
suatu percobaan tindak pidana di Singapura apakah menurut keinginannya sendiri
atau diluar kehendaknya dapat dipidana atau tidak tergantung pada pembuktian dan
putusan pengadilan, karena tidak diatur secara jelas dalam Singapore Penal Code.
5. Obyek Tindak Pidana
Di Indonesia mengenal dengan apa yang dimaksud Percobaan Tidak Mampu, dimana
ada dua kriteria percobaan tidak mampu, yaitu tidak mampu karena obyeknya
(misalnya, seseorang mencoba membunuh tapi ternyata orang tersebut telah mati) dan
tidak mampu karena alatnya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Memorie van
Toelichting (M.V.T) bahwa syarat-syarat umum delik percobaan menurut Pasal 53
KUHP yaitu syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan tertentu dalam buku
II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya
obyek maka percobaan melakukan itupun harus ada obyeknya. Kalau tidak ada
obyeknya, maka juga tidak ada percobaan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketika obyeknya tidak ada, maka percobaan
tindak pidana pun dianggap tidak ada, sehingga tidak dapat dipidana.
Sedangkan di Singapura berbeda, menilik pada isi Pasal 511 Singapore Penal Code
beserta ilustrasinya dapat kita ketahui bahwa menurut hukum Singapura, walaupun
obyeknya tidak ada maka orang tersebut dijatuhi pasal percobaan tindak pidana
sehingga dapat dijatuhi sanksi pidana. Dimana tertulis A mencoba mencuri berlian
tapi ternyata berlian tersebut (obyek yang akan dicuri) tidak ada, begitu pula ketika A
yang hendak mencopet Z tapi ternyata tidak ada apapun di kantong Z (obyeknya tidak
ada).
6. Percobaan tidak selesai karena alatnya
Percobaan tindak pidana Indonesia, menganut teori tentang Percobaan Tidak Mampu,
dimana dibedakan menjadi dua yaitu menurut obyeknya dan menurut alatnya, tidak
mampu secara obyeknya telah dijelaskan sebelumnya. Dan untuk percobaan tidak
mampu menurut alatnya sendiri dibedakanmenjadi dua, yaitu tidak mampu mutlak
dan tidak mampu relatif. Menurut M.V.T tidak mampu mutlak itu ada bila dengan
alat itu tidak pernah mungkin menimbulkan delik selesai, dan dalam hal alat tersebut
tidak mampu mutlak maka tidak ada delik percobaan. Sedangkan percobaan tidak
mampu relatif bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai, karena justru hal
ikhwal yang tertentu, dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena
keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada.
Sementara itu, Singapura mengenal apa yang disebut dengan Inept Attempt, yaitu
istilah yang dapat dikatakan hampir sama dengan percobaan tidak mampu berdasar
alatnya dalam hukum Indonesia.

Namun dari perbedaan itu, KUHP Indonesia juga memiliki persamaan dengan Singapore
Penal Code, diantaranya terkait :
1. Pengertian Percobaan
Tidak dijelaskan secara rinci mengenai pengertian percobaan tindak pidana
2. Sanksi pidana berupa hukuman mati atau penjara seumur hidup
Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara semumur hidup maka sanksi
pidana percobaan yang dijatuhkan maksimal selama 15 tahun penjara.

Anda mungkin juga menyukai