Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT KETERANGAN DOKTER,

PENYERTAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

2.1. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Keterangan Dokter

2.1.1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan istilah yang berasal dari buku hukum Belanda

yaitu stafbaarfiet yang tersusun dari tiga suku kata yaitu staf yang artinya pidana

dan hukum, baar yang diartikan sebagai boleh, dan feit yang diterjemahkan

tindak, peristiawa, pelanggaran, dan perbuatan. Dalam kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) kata stafbaarfiet itu sendiri tidak diberi penjelasan,

namun biasanya kata tindak pidana disepadankan dengan kata delik, yang diambil

dari bahasa latin yaitu delicticum. Stafbaarfiet atau delik (delict) ketika diartikan

ke bahasa indonesia maka kata tersebut terdiri dari beberapa istilah. (Moeljanto,

2008, hal 61).

Adapun istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain:

(Nandang Sambas dan Ade Mahmud, 2019, hal. 97-98).

1. Peristiwa Pidana, istilah ini digunakan pada Undang-Undang Dasar

Sementara (UUDS) Tahun 1950 khususnya terdapat pada pada pasal 14.

2. Perbuatan Pidana, istilah ini terdapat pada Undang-Undang Nomor 1 tahun

1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan satuan

susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil.


3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah tersebut terdapat pada

Undang-Undang Darurat Nomor Tahun 1951 tentang perubahan

Ordonantie Tijdelijke Byzondere Straf Bepalingen.

4. Hal yang diancam oleh hukum, Istilah ini digunakan pada Undang-Undang

darurat Nomor 16 tahun 1951 tentang penyelesaian perburuhan.

5. Delik, merupakan istilah yang sangat sering digunakan, hal ini karana

istilah tersebut memiliki makna yang sama dengan istilah stafbaarfiet.

6. Tindak pidana merupakan istilah yang sangat sering dipakai pada

peraturan perundang-undangan saat ini.

Tindak pidana menurut Chairul Huda adalah sanksi pidana yang melekat

pada suatu perbuatan maupun serangkain perbuatan. Selanjutnya menurut

Chairul Huda jika ditinjau dari istilahnya, yang meliputi suatu tindak

pindana hanyalah sifat-sifat perbuatanya, sedangkan sifat pelaku tinda

pidana adalah persoalan lain, yakni pertanggungjawaban pidana. (Chairul

Huda, 2006, hal 15)

Tindak pidana menurut D. Simons ( dalam Rahman Syamsuddin dan

Islami, 2014, hal 193) merupakan kesalahan yang dilakukan oleh

seseorang dengan perbuatan melawan hukum serta dapat

dipertanggungjawabkan.

Sedangkan tindak pidana menurut Van Hamel ( dalam Moeljatno, 2008,

hal 61) adalah perbuatan seseorang dalam melawan hukum serta patut

dipidana karena dilakukan dengan kesalahan.


Berdasarkan pendapat di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa tindak

pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh seseorang serta patut dipidana karena dilakukan dengan kesalahan.

Sebagai warisan Belanda hukum pidana Indonesia mengenal berbagai

macam jenis delik atau tindak pidana yaitu:

1. Delik Formil, adalah tindak pidana yang formulasinya dititikberatkan pada

perbuatan yang dilarang.

2. Delik Materil adalah tindak pidana yang rumusannya dititkberatkan pada

dampak atau akibat yang dilarang. Suatu perbuatan tidak dapat dipidana

jika hanya terpenuhinya rumusan tindak pidana, namun juga harus

menimbulkan dampak yang dilarang undang-undang. Hal ini menunjukan

bahwa pelaku dapat dipidana jika ada akibat yang timbul dari tindak

pidana yang dilakukan.

3. Delik Comisionis adalah delik yang melanggar suatu larangan atau

melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-undang.

4. Delik Ommisionis adalah delik yang melanggar atau tidak melaksanakan

suatu perintah uu yang diharuskan oleh undang-undang.

5. Delik Comissinis Per ommisionsionis commisa adalah delik yang

melanggar larangan, akan tetapi bisa dilakukan tanpa berbuat.

6. Delik Dolus, merupakan delik yang dikerjakan dengan senganja. Delik ini

biasa dikenal sebagai perbiatan yang dilakukan karena “dolus” atau

“opzet”

7. Delik Culpa, adalah perbuatan pidana yang dilakukan karena kealpaan.


8. Delik Tunggal, adalah delik yan dilakukan sekali tanpa diikuti oleh

perbuatan lain.

9. Delik Berganda, adalah delik yang melakukan perbuatan yang sama

namun dilakukan secara berulang-ulang.

10. Delik berlansung, adalah delik yang memiliki ciri bahwa perbuatan yang

dilarang itu berlangsung secara terus-menerus.

11. Delik tidak berlangsun, delik yang memiliki ciri bahwa perbuatan yang

dilarang tidak berlangsung terus menerus.

12. Delik pengaduan, merupakan delik yang hanya dapat dilakukan jika

adanya pengaduan dari korban

13. Delik aduan absout, adalah delik dimana pengaduan korban merupan

syarat mutlak yang harus dipenuhi agar suatu delik dapat dipidana atau

dilakukan penuntutan.

14. Delik aduan relatif, adalah delik yang seharusnya tidak termaksuk delik

aduan, namun sifatnya menjadi delik aduan karena antara pelaku dan

korban terdapat hubungan yang khusus.

15. Delik biasa merupakan delik yang tanpa pengaduan korban pelakunya

dapat dituntut.

16. Delik yang Diskualifisier, adalah delik biasa yamg dibarengi dengan

unsur-unsur lain, yang membedakan ancaman pidananya, yaitu karena

objek, cara, atau dampaknya lebih khusus dari delik biasa.

17. Delik politik adalah delik yang didalamnya terdapat unsur politik.

( Sambas dan Mahmud, 2019, hal 106-109).


2.1.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap perbuatan pidana pada hakikatnya terdiri dari unsur-unsur lahiriah

atau fakta oleh perbuatan, terdapat perbuatan dan dampak yang ditimbulkan

karenanya. Keduanya menimbulkan peristiwa dalam alam lahir atau dunia.

(moeljatno, 2008, hal 64)

Unsur tindak pidana pada umumnya dapat dibagi menjadi dua unsur

(Syamsuddin dan islami, 2014, hal 194) yaitu:

1. Unsur Subjektif, unsur subjektif adalah unsur yang bersumber dari dalam

diri pelaku tindak pidana. Dasar hukum pidana menyebutkan bahwa tidak

ada hukuman jika tidak ada kesalahan. Kesalahan yang dimaksud adalah

kesalahan yang dilakukan secara sengaja (Dolus) dan kealpaan

(Negligence). Kesengajaan sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu:

a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk).

b. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn).

c. Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus evantualis).

Sedangkan kealpaan terbagi menjadi dua macam yaitu:

a. Tak berhati-hati.

b. Dapat menduga perbuatan itu.

2. Unsur Objektif

Jika unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku,

maka unsur objektif adalah unsur-unsur yang berasal dari luar diri si pelaku.

Beberapa ahli merincikan beberapa unsur yang terdapat diluar diri pelaku.
Lamintang (dalam Sambas dan Mahmud, 2019, hal 102) merinci unsur objektif

dari tindak pidana sebagai berikut:

a. Sifat melawan hukum;

b. Kaulitas atau dalam diri pelaku; dan

c. Kausalitas, yakni hubungan suatu perbuatan sebagai dampak dengan

suatu fakta sebagai akibat dari perbuatan.

2.1.3. Asas Legalitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi legalitas adalah suatu

perihal ( keadaan) sah, keabsahan. Legal adalah kata dasar dari legalitas artinya

sesuatu yang sah dan diperbolehkan. Asas legalitas biasanya juga disebut dengan

kekuasaan undang-undang, sedangkan dalam hukum pidana asas legalitas adalah

tidak ada hukuman tanpa undang-undang. ( Ridwan HR, 2010, hal. 96)

Asas legalitas sangat kuat kaitannya dengan gagasan demokrasi dan

gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi mengharuskan setiap bentuk undang-

undang dan keputusan harus mendapat persertujuan dari wakil rakyat dengan

mempertimbangkan dan memperhatikan kepentingan rakyat. Negara hukum

mengharuskan setiap pelakasanaan urusan pemerintahan dan kenegaraan harus

berlandaskan undang-undang serta jaminan dan hak-hak rakyat harus diberikan.

(Ridwan HR, 2010, hal. 96)

Dalam hukum pidana asas legalitas adalah asas yang sangat funda mental.

Oleh karenanya asas legalitas sangatlah penting untuk menentukan apakah

peraturan hukum dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi,

jika ada suatu tindak pidana yang terjadi maka harus diperhatikan apakah ada
ketentuan hukum yang mengatur dan dapat diberlakukan terhadap tindak pidana

yang terjadi. ( Mahrus Ali, 2012, hal 59)

2.1.4. Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Tindak kejahatan pemalsuan surat merupakan suatu kejahatan yang

didalamnya terdapat unsur suatu keaadaan ketidabenaran atau palsu pada suatu

objek yang mana objek tersebut seolah-olah benar adanya namun faktanya

bertentangan dengan yang sebenarnya. Sedangkan pemalsuan atau perbuatun

memalsu adalah tindakan mengubah dengan cara apapun oleh orang yang tidak

memiliki hak atas sebuah surat yang dampaknya merubah sebagian atau

keseluruhan isi surat sehngga berbeda dengan isi surat semula. (Adami Chazawi,

2001, hal.3)

Tindak pidana pemalsuan surat telah diatur pada Bab XII buku II KUHP,

dari pasal 263 sampai dengan pasal 276 yang terdiri dari 7 macam jenis

pemalsuan surat yaitu: ( Adami Chazawi, 2001, hal.97)

1. Pemalsuan Surat secara umum ( Pasal 263)

Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah pemalsuan surat yang

bentuknya standart atau pokok, dimuat daam pasal 263 KUHP, yang Rumusannya

sebagai berikut:

(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat dapat


menimbulkan hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang
diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal yang dimaksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, dipidana jika pemakaian
surat terebut dapat menimbulkan kerugian, kaena pemalsuan surat,
dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.

(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau dipalsukan seolah-olah asli, jika surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
Berdasarkan pasal diatas maka yang membuat dan juga menggunakan

surat palsu secara sengaja maka dipidana paling lama 6 tahun penjara.

Namun perlu diketahui bahwa tidak semua surat dapat menjadi objek

pemalsuan, namun hanya terbatas pada 4 macam surat saja yaitu: surat yang

menimbulkan suatu hak, surat yang menimbulkan suatu perikatan, surat yang

dapat membesakan hutang dan surat yang digunakan sebagai bukti untuk suat hal.

(Adami Chazawi, 2001, hal.102)

2. Pemalsuan Surat yang diperberatkan ( Pasal 264 )

Rumusan pasal 264 adalah sebagai berikut:

(1) Pemalsuan surat dipidana penjara paling lama 8 tahun, jika


dilakukan terhadap:
1. Akta otentik
2. Surat hutang atau sertifikat dari suatu Negara atau bagiannya
dari suatu lembaga umum
3. Surat sero atau surat hutang atau etifikat sero hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai.
4. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat
yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang
dikeluarkan sebagai ganti surat-surat itu
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk
diedarkan

(2) Dipidana dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja


memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak asli
atau dipalsukan seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemakaian
surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Berdasarkan pasal diatas maka tampaklah bahwa yang menyebabkan ditambahnya

atau diperberat pidana pemalsuan surat menjadi 8 tahun penjara terletak pada

faktor macamnya atau jenis suratnya.

3. Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu Ke dalam Akta Otentik (Pasal

266)

Adapun rumusan dari pasal 266 adalah sebagai berikut:

(1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam


suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus
dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya
sesuai dengan kebenaran, dipidana, jika pemakaian itu dapat
menimbulkan kerugian, dengan pidana paling lama 7 tahun.

(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa memakai akta


terebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena
pemakaina tersebut dapat menimbulkan kerugian.

4. Pemalsuan Surat Keterangan Dokter

Hal yang mengatur tentang kejahatan pemalsuan surat keterangan dokter

dimuat pada pasal 267 dan 268. Dokter adalah sifat pribadi yang melakat pada

subyek hukum tindak pidana ini. Hanya seorang yang memiliki kualitas seorang

dokter yang dapat melanggar pasal 267 ayat 1 dan 2 sedangkan orang yang tidak

mempunyai kualifikasi sebagai dokter tidak dapat dijerat dengan pasal 267.

Oleh sebab itu jika pelaku pemalsuan surat keterangan dokter yang

dilakukan oleh orang yang non dokter dapat dijerat dengan pasal 268 KUUHP

yang rumusannya sebagai berikut:


(1) Barangsiapa membuat surat keterangan palsu atau memalsukan
surat keterangan dokter tentang adanya atau tidak adanya sesuatu
penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud akan
memperdayakan kekuasaan umum atau orang-orang yang
menanggung asuransi, dihukum selama-lamanya empat tahun.

(2) Dengan hukum serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan


maksud serupa itu juga menggunakan surat keterangan palsu atau
yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan.
Unsur-unsur tindak pidana berdasarkan pasal 268 KUHP ayat 1 dan 2

adalah sebagai berikut:

1. Unsur barang siapa, yaitu subjek hukum perseorangan, dalam hal ini

subjek hukumnya tidak mensyaratkan kualitatas tertentu dari pelaku

untuk melakukan tindak pidana ini. Berbeda dengan subjek hukum

pada pasal 267 yang menjadi subjek hukumnya dibatasi pada dokter.

2. membuat surat keterangan palsu atau memalsukan surat keterangan

dokter tentang adanya atau tidak adanya sesuatu penyakit, kelemahan

atau cacat. Maksud dari membuat surat keterangan dokter adalah yang

awalnya tidak ada surat apapun, kemudian dibuat surat yang isinya

bertentangan dengan kebenaran. Sedangkan memalsukan adalah surat

keterangan dokter sudah ada sejak semula, namun isinya ada yang

ditambahkan, dikurangi, dan diubah sehingga bertentangan dengan

kebenaran.

3. Unsur dengan maksud yaitu menandakan bahwa bentuk kejahatan

pasal ini dilakukan dengan sengaja. Artinya pelaku mengetahui dan

menghendaki baik perbuatan maupun akibat dari perbuatan terebut

yaitu membuat dan memalsukan surat keterang dokter.


Ada dua bentuk tindak pidana yang terkandung di dalam pasal 268 KUHP

ayat 1 dan ayat 2 . jika keduanya diklasifikasi menjadi unsur objektif dan subjektif

maka unsur-unsurnya ialah sebagai berikut: (Chazawi dan ferdian 2019, hal.189)

Unsur objektif:

a. Perbuatannya: 1) Membuat secara palsu

2) Memalsu;

b. objeknya: dalam surat dokter tentang ada tidaknya penyakit,

kelemahan ataupun kecacatan;

unsur subjektif

a. Kesalahan: dengan maksud untuk menyesatkan para penguasa umum

ataupun para penanggung.

5. Pemalsuan surat tertentu ( pasal 269, pasal 270 dan pasal 271)

Objek pada pasal 269 adalah jenis surat yang biasanya dikeluarkan oleh

pejabat umum yang berwenang. Misalnya, surat keterang tidak mampu/miskin

yang ikeluarkan oleh lurah atau camat, dan juga surat keakuan baik yang

diterbitkan oleh pihak kepolisian. Sedangkan objek kejahatan pada pasal 270

adalah jenis surat seperti surat jalan atau perintah jalan yang dibuat dan

dikeluarkan oleh pejabat berwenang. (Chazawi dan ferdian 2019, hal.124).

6. Pemalsuan surat keterangan pejabat tentang hak milik (pasal 274)

Pada pasal 274 ayat 1 dan 2 terdapat unsur sebagai berikut: (Adami

Chazawi, 2001, hal.124)


Unsur objektif:

a. Perbuatannya: 1) Membuat secara palsu

2) Memalsu;

b. objeknya: surat keterangan pejabat selaku penguasa yang sah tentang

hak milik atau hak lainnya atas suatu benda

unsur subjektif

a. Untuk memudahkan penjualannya

b. Untuk memudahkan penggadaiannya

c. Untuk menyesatkan pejabat kehakiman atau kepolisian tentang asalnya

benda.

Sedangkan ayat 2 mempunyai insur berikut:

Unsur objektif:

a. Perbuatannya: 1) memakai

b. objeknya: surat-surat keterangan ayat 1

unsur subjektif

a. Dengan maksud untuk memakai surat tersebut seolah-olah surat

asli dan tidak dipalsukan.

Pejabat yang dimaksud sebagai penguasa yang sah adalah pejabat yang

menurut kebiasaan bukan berdasarkan undang-undang untuk membuat surat

tentang hak milik suatu benda, misalnya hak atas ternak yang dibuat oleh kepala
desa atau lurah setempat. Surat seperti ini dapat menjadi objek pemalsuan baik

dilakukan pejabat maupun selain pejabat.( Adami Chazawi, 2001, hal.137)

7. Menyimpaan bahan atau benda untuk pemalsuan surat ( Pasal 275)

Rumusan pasal 275 tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur objektif:

a. Perbuatannya: 1) Menyimpan

b. objeknya: 1) benda

2) bahan yang digunakan ketika melakukan salah

satu kejahatan 264 No 2 -5.

unsur subjektif

a. Yang diketahuinya untuk melakukan salah satu kejahatan pada

pasal 264 No 2-5

Perbuatan menyimpan adalah kegiatan membuat benda dan bahan berada

dalam kekuasaanya, sehingga jika dibutuhkan dapat segera digunakan.

Menyimpan juga tidak harus berada dalam kekuasaannya, dapat juga berada

dalam tangan orang lain atas permintaan atau perintahnya. ( Adami Chazawi,

2001, hal.137)

2.1.5. Pengertian Surat Keterangan Dokter


Surat adalah alat komunikasi yang medianya berupa tulisan dan digunakan

sebagai alat tukar informasi dari pihak satu ke pihak lainnya. Isi atau informasi

dari surat bisa berupa perintah, pernyataan pemberitahuan, alat bukti dan laporan.

(Wikipedia).

Surat keterangan dokter adalah keterangan tertulis yang diterbitkan oleh

dokter untuk pasien dengan tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pada

pasien dan atas permintaan pasien atau permintaan pihak lain yang diatur dalam

undang-undang. Penerbitan surat keterangan dokter haruslah berdasarkan hasil

pemeriksaan, dan dokter yang menerbitkan surat tersebut harus dapat

membuktikan kebenarannya jika diminta. Hal ini diatur telah diatur dalam kode

etik kodekteran iIndonesia (pasal 7) yang menyatakan bahwa “ seorang dokter

harus memberi keterangan sesuai dengan hasil yang diperiksa sendiri”

Seorang dokter sebelum memberikan diagnosa dan tindakan medis

terhadap pasien, maka ia harus melakukan pemeriksaan fisik serta tanya jawab

tentang apa yang dirasakan pasienya. Hal ini agar dokter tidak asal-asalan dalam

menerbitkan surat keterangan dokter, karena kewenangan dokter dalam

pembuatan surat telah diatur dalam Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 poin ke

8 tentang praktek kedokteran yaitu “ dokter atau okter gigi yang mempunyai surat

tanda regristrasi memiliki kewenangan berpraktek kodekteran sesuai keilmuan an

kemampuan yang dimiliki salah satunya membuat surat keterangan kedokteran

atau dokter gigi”

Bentuk dan jenis surat keterangan dokter berdasarkan tujuannya, yaitu:


1. Surat sakit, untuk digunakan ketika sesorang tidak dapat hadir dalam ujian,

bekerja, dan selolah.

2. Surat sehat, digunakan untuk melamar pekerjaan, pembuatan SIM,

asuransi dan lain-lain.

3. Surat keterangan lahiran, untuk pendataan bayi yang baru lahir, yang berisi

waktu kelahiran dan nama orangtua.

4. Surat kematian, untuk pendataan pasien yang tlah meninggal di rumah

sakit.

5. Visum et ripertum demi kepentingan peradilan dan dibuat atas permintaan

penyidik dan pengadilan. ( Noka Novita, 2018).

2.1.6. Pelimpahan Wewenang Dokter Kepada Perawat

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah lulusan pendidikan

kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan penyakitnya.

Menurut Astuti (2009) Dokter adalah orang yang memiliki wewenang dan

izin untuk melaksanakan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan

mengobati penyakit dan dilakukan berdasarkan hukum dalam pelayanan

kesehatan.

Sedangkan perawat adalah orang yang telah menyelesaikan pendidikan

keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri( Republik Indonesia Keputusan

Mentri Kesehatan Republik Indonesia, 2001).


Menurut Wardah, Febriana, Dewi (2017) adalah tenaga kesehatan yang

bekerja dengan profesional dan memiliki kemampuan dan tanggung jawab dalam

melaksanakan asuhan keperawatan.

Kolaborasi antara dokter dan perawat seringkali terjadi ketika dokter

menjalankan tugasnya di dunia kedokteran (Mohammad, 2019). Perawat sebagai

tenaga kesehatan memiliki dua kewenangan sekaligus yaitu kewenangan

melakukan tindakan keperawatan dan kewenangan melakukan tindakan medis.

Perawat boleh melakukan tindakan medis kepada pasien jika aa pelimpahan

wewenang dari dokter, hal ini tertulis dalam pasal 32 Undang-Undang nomor 38

Tahun 2014 tentang Keperawatan , jika memenuhi ketentuan peraturan

perundang-undangan maka perawat diberi kesempatan untuk melakukan tindakan

medik (Presiden, 2014) Pernyataan mengenai “Dokter atau dokter gigi dapat

memberikan pelimpahan tindakan kedokteran kepada perawat, bidan dan tenaga

kesehatan lainnya wajib dilakukan secara tertulis” tertuang dalam Permenkes

nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik

Kedokteran, dalam pasal 23Ayat (1).

Pengalihan tindakan medis secara hukum terjadi ketika tindakan tersebut

dilimpahkan kepada perawat ( Istiomah, Erawanti, & Putra, 2020) maksudnya jika

dalam pelimpahan wewenang tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien, maka

perawat turut menjadi orang yang bertanggung jawab atas kerugiannya. (Wati &

Nuraini, 2019). Terdapat pemahaman yang universal yaitu surat tertulis ketika

seorang dokter melimpahkan tanggung jawab atau wewenang kepada pasien, surat
tertulis terebut dibutuhkan agar tidak terjadi kekeliruan dalam pembuktian hukum

antara dokter dan perawat. ( Gunawan & Christianto,2020).

Ada dua jenis pelimpahan wewenang oleh dokter kepada perawat yaitu:

(Merdekawatil, 2021).

1. Pelimpahan secara delegatif, adalah pelimpahan suatu tindakan kepada

perawat dan tanggung jawab atas tindakan tersebut juga ditanggung

oleh perawat. Namun perlu diketahui bahwa pelimpahan delegatif ini

hanya dapat diberikan kepada perawat yang memiliki kompetensi

dalam melakukan tindakan tersebut.

2. Pelimpahan secara mandat, adalah pelimpahan tindakan dimana

perawat dapat melakukan tindakan namun tetap berada dalam

pengawasan dokter, serta tanggung jawab atas tindakan tersebut tetap

berada pada orang yang memberikan delegasi yaitu dokter. (Amir &

Purnama, 2021).

Pelimpahan wewenang oleh dokter kepada perawat sering terjadi dengan

hanya menggunakan lisan atau bahkan hanya melalui sambungan telepon tanpa

adanya surat tertulis. Hal ini sering terjadi ketika dokter tidak berada ditempat

praktik.

Pegalihan wewenang secara lisan tersebut belum diatur dalam perundang-

undangan secara jelas, namun hal tersebut bukan menjadi masalah yang berarti

jika dapat dipertanggung jawabkan serta tidak berdampak buruk bagi pasien.

(Anam.2018).
Pelimpahan wewenang oleh dokter kepada perawat baik secara delegatif

maupun mandat harus dilakukan secara tertulis, karena hal ini berkaitan dengan

hukum yang terkait dengan hak dan kewajiban perawat dan dokter dalam

menjalankan wewenangnya.

Dalam melimpahkan tindakan medis kepada ners, dokter bersandarkan

pada Permenkes Nomor 2052/menkess/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan

Pelaksanaan Praktik kedokteran, pasal 23 ayat (1). Bagi perawat, ketika menerima

pelimpahan dari dokter kepadanya maka:

1. Melaksanakan tugas yang wewenangnya dilimpahkan hanya boleh

diberikan secara tertulis oleh dokter sebagai tenaga medis kepada perawat

sebagai tenaga kesehatan untuk melakukan suatu tindakan medis kepada

pasien dan melakukan evaluasi pelaksanaanya.

2. Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat diatas diberikan

secara delegatif maupun mandat.

Pelimpahan wewenang secara tertulis dapat memberikan kekuatan dalam

ranah hukum hukum, karena pelimpahan secara tertulis apat menjadi alat bukti

yang sah jika mengacu pada macam alat bukti pada acara pidana yang dianut di

Indonesia.

Pelimpahan wewenang atau tanggung jawab dengan cara lisan mempunyai

kekuatan hukum yang lemah kareana tidak diatur secara jelas dalm Undang-

Undang. Menurut macam alat bukti pada acara pidana pelimpahan wewenang atau

tanggung jawab secara lisang yang terjadi disuatu ruangan yang dilengkapi

dengan CCTV ataupun pelimpahan lewat telepon yang pembicaraanya direkam,


belum cukup sebagai alat bukti sehingga pelimpahan wewenang secara lisan tidak

menjamim kekuatan hukum yang kuat. ( Pertanggungjawaban Pidana tindakan

Malpraktek Kedokteran Dalam kaitannya Dengan Masalah Pembuktian, 2019).

5.1. Penyertaan

Penyertaan atau deelneming terjadi apabila dalam suatu tindak pidana

melibatkan lebih dari satu orang (Prasetyo, 2018). Roni Wiyanto (2016)

menjelaskan bahwa penyertaan pada dasarnya untuk menentukan

pertanggungjawaban pidana dari masing-masing orang terhadap suatu tindak

pidana, sehingga harus dapat dibuktikan hubungan masing-masing orang terhadap

tindak pidana yang bersangkutan sebagai berikut:

1. Beberapa orang bersama-sama melakukan satu tindak pidana;


2. Mungkin hanya seorang saja yang mempunyai kehendak dan
merencanakan tindak pidana, akan tetapi tindak pidana tersebut tidak
dilakukan sendiri, tetapi ia mempergunakan orang lain untuk
melaksanakan tindak pidana tersebut;
3. Dapat juga terjadi bahwa seorang saja yang melakukan tindak pidana,
sedang lain orang membantu orang itu dalam melaksanakan tindak pidana
(hal. 248).
Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yang dirumuskan

sebagai berikut:

Pasal 55 KUHP

(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:


1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang
turut serta melakukan perbuatan;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu,
dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang
lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan
sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 KUHP

1. Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan:


2. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan;
3. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, Teguh Prasetyo (2018) membagi

penyertaan menjadi dua pembagian besar, yaitu:

a. Pembuat atau Dader (Pasal 55 KUHP) yang terdiri dari:


1. Pelaku (pleger);
2. Yang menyuruhlakukan (doenpleger);
3. Yang turut serta (medepleger);
4. Penganjur (uitlokker).
b. Pembantu atau Medeplichtige (Pasal 56 KUHP) yang terdiri dari:
1. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan;
2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan (hal. 205).
Adami Chazawi (2016) menjelaskan yang dimaksud dengan pembuat

(dader) dalam rumusan Pasal 55 Ayat (1) KUHP sebagai berikut:

Orang yang tidak melakukan secara pribadi, melainkan bersama-sama dengan


orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu. Jika dilihat dari sudut
perbuatan masing-masing berdiri sendiri, perbuatan mana hanyalah
memenuhi sebagian dari syarat atau unsur tindak pidana. Semua syarat tindak
pidana terpenuhi tidak oleh perbuatan satu peserta, akan tetapi oleh rangkaian
perbuatan semua peserta. Maka jelaslah para pembuat (mededader) bukanlah
dader, peserta-peserta dalam mededader tidak memenuhi syarat yang sama
dengan syarat seorang dader. Bahwa yang sama ialah beban tanggung
jawabnya, bahwa pertanggungjawaban pidana bagi para terlibat dalam
mededader adalah sama dengan pertanggungjawaban bagi seorang dader (hal.
84).
Pelaku atau pleger menurut Teguh Prasetyo (2018) adalah “Orang yang

melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang

paling bertanggung jawab atas kejahatan” (hal. 206).

Leden Marpaung (2005, sebagaimana dikutip oleh Wiyanto, 2012)

berpendapat bahwa untuk menentukan siapa yang menjadi pelaku tindak pidana,

pada umumnya dapat diketahui dari jenis tindak pidana, sebagai berikut:

a. Tindak pidana formil, pelakunya adalah barangsiapa yang memenuhi

perumusan tindak pidana dalam undang-undang;

b. Tindak pidana materiil, pelakunya adalah barangsiapa yang

menimbulkan akibat yang dilarang dalam perumusan tindak pidana;

c. Tindak pidana yang memuat unsur kualitas atau kedudukan, pelakunya

adalah barangsiapa yang memiliki unsur kedudukan atau kualitas

sebagaimana yang dirumuskan. Misalnya, dalam kejahatan jabatan,

pelakunya adalah pegawai negeri (hal. 251).

Secara umum, para pakar berpendapat bahwa “Pelaku adalah orang yang

memenuhi semua unsur dari perumusan delik” (Marpaung, 2005, hal. 79).

Yang menyuruh melakukan atau doenpleger menurut Teguh Prasetyo

(2018) adalah “Orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain,

sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian, ada dua

pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra atau auctor physicus), dan

pembuat tidak langsung (manus domina atau auctor intellectualis)” (hal. 207).
Lebih lanjut, Teguh Prasetyo (2018) menjelaskan unsur-unsur pada

doenpleger dan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat

dipertanggungjawabkan sebagai berikut:

Unsur-unsur pada doenpleger adalah:


a. Alat yang dipakai adalah manusia;
b. Alat yang dipakai berbuat;
c. Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat
dipertanggungjawabkan adalah:
a. Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (Pasal 44 KUHP);
b. Bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48 KUHP);
c. Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 Ayat (2)
KUHP);
d. Bila ia sesat (keliru) mengenai salah satu unsur delik;
e. Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan
yang bersangkutan (hal. 207).
Sementara menurut MvT unsur-unsur dari bentuk doenpleger, yaitu:

a. Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di


dalam tangannya;
b. Orang lain itu berbuat:
1) Tanpa kesengajaan;
2) Tanpa kealpaan;
3) Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
a) Yang tidak diketahuinya;
b) Karena disesatkan; dan
c) Karena tunduk pada kekerasan (Chazawi, 2016, hal. 88).
Sehingga orang yang disuruh melakukan tidak dapat dipidana karena

keadaan subjektif (batin: tanpa kesalahan atau tersesatkan) dan atau tidak berdaya

karena pembuat materiilnya tunduk pada kekerasan (objektif).


Yang turut serta melakukan atau medepleger menurut MvT adalah “Orang

yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh

karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama” (Prasetyo,

2018, hal. 207). Lebih lanjut, Teguh Prasetyo (2018) menjelaskan yang dimaksud

turut mengerjakan sesuatu, yaitu:

1. Mereka memenuhi semua rumusan delik;

2. Salah satu memenuhi semua rumusan delik;

3. Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik (hal. 208).

Andi Hamzah (2021) memberikan definisi batasan bagi para pelaku

peserta (medeplegers) adalah “Dua atau lebih orang bekerja sama secara sadar dan

bersama-sama melakukan perbuatan-perbuatan yang secara keseluruhan

mewujudkan delik ataupun sesuai dengan kesepakatan pembagian peran, seorang

melakukan perbuatan pelaksanaan seluruhnya, sedangkan kawan berbuatnya

melakukan perbuatan yang sangat penting bagi terwujudnya delik” (hal. 419).

Jan Remmelink (2003, sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, 2011)

mengemukakan bahwa “Pelaku dalam tindak pidana bisa dikatakan sebagai

medepleger, maka harus ada unsur-unsur turut serta melakukan, yaitu antara

peserta ada kerja sama yang diinsyafi, dan pelaksanaan tindak pidana secara

bersama-sama” (hal. 126).

Di dalam medepleger terdapat tiga ciri penting yang membedakannya

dengan bentuk penyertaan yang lain. Pertama, pelaksanaan perbuatan pidana

melibatkan dua orang atau lebih. Kedua, semua yang terlibat, benar-benar

melakukan kerja sama secara fisik (saling membantu) dalam pelaksanaan


perbuatan pidana yang terjadi. Ketiga, terjadinya kerja sama fisik bukan karena

kebetulan, tetapi memang telah merupakan kesepakatan yang telah direncanakan

bersama sebelumnya. (Mahrus Ali, 2011, hal. 127) sampai bawah:

Khusus berkaitan dengan ciri kedua, yakni harus adanya kerja sama fisik

antara para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan perbuatan pidana, terdapat tiga

kemungkinan yang terjadi, sebagai berikut:

1. Perbuatan dari masing-masing pihak yang terlibat tindak pidana,

secara individual hakikatnya telah memenuhi semua unsur delik yang

terjadi. Hanya saja pada saat delik dilakukan oleh setiap pihak yang

terlibat itu, pihak yang lainnya memberikan bantuan fisik sehingga

terlihat adanya suatu kerja sama.

2. Perbuatan dari masing-masing pihak yang terlibat tindak pidana, pada

dasarnya memang tidak atau belum memenuhi semua unsur delik yang

terjadi. Namun, jika seluruh perbuatan dari masing-masing yang

terlibat tersebut digabungkan, maka semua unsur dalam rumusan delik

menjadi dapat terpenuhi.

3. Di antara dua orang atau lebih yang terlibat kerja sama fisik pada saat

dilakukannya suatu tindak pidana, hakikatnya hanya ada satu orang

saja yang perbuatannya benar-benar memenuhi semua unsur dari delik

yang terjadi. Sedangkan yang lainnya, walaupun tidak memenuhi

semua unsur delik, tetapi peranannya cukup menentukan bagi

terjadinya delik tersebut.


Penganjur atau uitlokker menurut Teguh Prasetyo (2018) adalah “Orang

yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan

menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif,

yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau

martabat, kekerasan, ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan,

sarana, atau keterangan” (hal. 208).

Adami Chazawi (2016) berpendapat bahwa ada 5 syarat dari seorang

pembuat penganjur (uitlokker) ialah:

a. Kesengajaan si pembuat penganjur harus ditujukan pada 4 hal, yaitu:


1. Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran;
2. Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta
akibatnya;
3. Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang
dianjurkan); dan
4. Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat
dipidana.
b. Dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus menggunakan cara-cara
menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 55 Ayat (1)
Angka 2 tersebut.
c. Terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya)
untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah
disebabkan langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh si
pembuat penganjur (adanya psychische causaliteit).
d. Orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya) telah melaksanakan tindak
pidana sesuai dengan yang dianjurkan (boleh pelaksanaan itu selesai atau
tindak pidana sempurna atau boleh juga terjadi percobaannya).
e. Orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan
bertanggung jawab (hal. 113).
Pembantu atau medeplichtige diatur dalam tiga pasal, yaitu Pasal 56, 57

dan 60 KUHP. Menurut Pasal 56 KUHP, bentuk pembantuan atau pembuat

pembantu dibedakan antara:

a. Pemberian bantuan sebelum dilaksanakannya kejahatan, yaitu dengan


memberikan kesempatan, sarana, dan keterangan; dan
b. Pemberian bantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan
(Chazawi, 2016, hal. 141-142).
Menurut Adami Chazawi (2016) syarat adanya bentuk pembantuan ialah:

1) Dari sudut subjektif, kesengajaan pembuat pembantu dalam mewujudkan


perbuatan bantuannya (baik sebelum pelaksanaan maupun pada saat
pelaksanaan kejahatan) ditujukan perihal untuk mempermudah atau
memperlancar bagi orang lain (pembuat pelaksana) dalam melaksanakan
kejahatan. Jadi di sini, dapat dikatakan kesengajaan pembuat pembantu ini
tidak ditujukan pada pelaksanaan atau penyelesaian kejahatan, melainkan
sekadar ditujukan pada mempermudah pelaksanaan kejahatan saja. Artinya
juga ialah sikap batin pembuat pembantu terhadap kejahatan tidak sama
dengan sikap batin dari pembuat pelaksananya. Pembuat pembantu tidak
mempunyai kehendak dan kepentingan yang sama dengan pembuat
pelaksana terhadap penyelesaian kejahatan.
Timbulnya kehendak pembuat pelaksana untuk melaksanakan kejahatan
selalu lebih dahulu dari terbentuknya kehendak pembuat pembantu untuk
melakukan perbuatan, bukan sebaliknya. Inisiatif untuk mewujudkan
kejahatan selalu berasal dari pembuat pelaksana, bukan pada pembuat
pembantu. Ketika terbentuknya kehendak pembuat pembantu untuk
melakukan perbuatan bantuannya, pada ketika itu telah harus terbentuk
pula keinsyafan atau kesadaran bahwa apa yang hendak diperbuatnya itu
adalah untuk kepentingan orang yang dibantunya. Artinya telah
disadarinya bahwa orang lain itu akan dan atau sedang melakukan suatu
kejahatan.
Dari sudut sikap batin pembuat pelaksana, diperlukan kesengajaan atau
pengetahuan bahwa dalam pelaksanaan tindak pidana ia memperoleh
bantuan dari pembuat pembantu.
2) Dari sudut objektif, bahwa wujud apa dari perbuatan yang dilakukan oleh
pembuat pembantu hanyalah bersifat mempermudah atau memperlancar
pelaksanaan kejahatan. Pada kenyataannya menurut pengalaman manusia
pada umumnya, mengenai wujud perbuatan apa yang dilakukan oleh
pembuat pembantu berperan atau mempunyai andil, atau memberi
sumbangan dalam hal mempermudah atau memperlancar penyelesaian
kejahatan. Artinya dari wujud perbuatan pembuat pembantu itu, tidaklah
dapat menyelesaikan kejahatan, yang menyelesaikan kejahatan itu adalah
wujud perbuatan apa yang dilakukan sendiri oleh pembuat pelaksananya
(hal. 143-145).
5.2. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana dilandasi oleh asas “tidak

dipidana jika tidak ada kesalahan” (geen straf zonder schuld). Seseorang yang

melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam

melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan (Moeljatno, 2008). Agus Rusianto

(2016) juga berpendapat bahwa “penilaian adanya kesalahan dalam hukum pidana

akan menentukan ada atau tidak adanya pertanggungjawaban pidana” (hal. 35).

Adapun unsur-unsur kesalahan menurut Moeljatno (2008) meliputi:

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);


2. Mampu bertanggung jawab;
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;
4. Tidak adanya alasan pemaaf (hal. 177).
Unsur kesalahan kesatu adalah melakukan perbuatan pidana (sifat

melawan hukum). Pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno (2008) adalah

“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar

larangan tersebut” (hal. 59). “Untuk dapat dikatakan seseorang melakukan

perbuatan pidana, perbuatannya tersebut harus bersifat melawan hukum” (Ali,

2015, hal. 144). Lebih lanjut, Mahrus Ali (2015) menjelaskan bahwa “melawan

hukum berarti bertentangan dengan undang-undangan maupun hukum tidak

tertulis atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat” (hal. 147) sebagaimana

berdasarkan paham-paham sifat melawan hukum dibedakan atas sifat melawan

hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum formil

adalah apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang (hukum

tertulis). Sedangkan sifat melawan hukum materiil adalah apabila perbuatan

tersebut bertentangan dengan norma dan nilai-nilai masyarakat (hukum tidak

tertulis) (Ali, 2015).

Unsur kesalahan kedua adalah mampu bertanggung jawab. Seseorang

dikatakan mampu bertanggungjawab ditentukan oleh beberapa faktor sebagai

berikut:

a. Faktor akal (batin) jiwa beserta fungsinya (normal), yaitu dapat


membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan;
b. Faktor kehendak yang berkaitan dengan perbuatan pidana, yaitu dapat
menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana
diperbolehkan dan mana yang tidak (Hand Out Hukum Pidana, 2017, hal.
66).
Kemampuan bertanggung jawab menurut van Hamel adalah keadaan

normalitas kejiwaan dan kematangan yang membawa tiga kemampuan, yaitu:

1. Mengerti akibat dari perbuatannya;


2. Menyadari perbuatannya tidak diperbolehkan oleh masyarakat
(bertentangan dengan ketertiban masyarakat);
3. Mampu menentukan kehendaknya untuk berbuat (Prasetyo, 2018, hal. 86).
Namun KUHP mengatur sebaliknya, tidak dapat dipertanggungjawabkan

mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana apabila seseorang tidak mampu

bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45 KUHP. Pasal

44 Ayat (1) KUHP pada hakikatnya untuk menunjukkan syarat-syarat bilamana

seseorang dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab,

yaitu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Jiwanya cacat dalam pertumbuhan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah
kurang sempurna akalnya (pikirannya) sehingga sifat dan perbuatannya
seperti kekanak-kanakan, seperti: idiot, buta, tuli, imbicil (dungu), atau
bisu sejak dilahirkan. Orang-orang yang digolongkan semacam ini disebut
abnormal.
b. Jiwanya terganggu karena penyakit. Dalam hal ini yang dimaksud adalah
orang-orang yang mengalami penyakit kejiwaan, seperti: orang gila,
penyakit syaraf (epilepsi), histeris, dan penyakit-penyakit jiwa lainnya.
Gangguan keadaan jiwa dalam golongan ini disebut penyakit patologis
(Wiyanto, 2016, hal. 189-190).
Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 45 KUHP berkaitan dengan

seseorang tidak mampu bertanggung jawab dalam melakukan perbuatan pidana

apabila orang tersebut belum berumur 16 tahun (belum dewasa) dan

pemidanaannya diatur dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP (Prasetyo, 2018).

Unsur kesalahan ketiga adalah mempunyai suatu bentuk kesalahan berupa

kesengajaan atau kealpaan. “Untuk adanya kesalahan, hubungan antara keadaan

batin dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan


atau kealpaan” (Moeljatno, 2008, hal. 174). Di dalam hukum pidana pada

umumnya dikenal tiga jenis kesengajaan sebagai berikut:

a. Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan, yaitu seseorang dengan sengaja


melakukan suatu perbuatan dengan maksud atau bertujuan untuk
menimbulkan suatu akibat dari perbuatannya itu;
b. Kesengajaan sebagai kesadaran akan kepastian, yaitu kesengajaan untuk
melakukan suatu perbuatan dengan tujuan menimbulkan suatu akibat yang
pasti atau akibat yang menjadi keharusan;
c. Kesengajaan sebagai kesadaran akan kemungkinan, yaitu kesengajaan
yang dilakukan seseorang untuk menimbulkan suatu akibat yang tertentu,
tetapi ia menyadari bahwa perbuatan itu juga akan memungkinkan
timbulnya suatu akibat yang lain yang sebenarnya tidak dikehendaki dan
akibat itu juga dilarang oleh undang-undang (Wiyanto, 2016, hal. 208-
213).
Selanjutnya menurut Leden Marpaung (2014) menjelaskan mengenai

kealpaan (culpa) pada umumnya dibedakan atas:

1. Kealpaan dengan kesadaran. Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan


atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha
untuk mencegah, timbul juga akibat tersebut;
2. Kealpaan tanpa kesadaran. Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan
atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam
hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya memperhitungkan
akan timbulnya suatu akibat (hal. 26).
Unsur kesalahan keempat adalah tidak adanya alasan pemaaf. Pengertian

alasan pemaaf menurut Moeljatno (2008, hal. 148) adalah “alasan yang

menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap

bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak

dipidana, karena tidak ada kesalahan”. Mahrus Ali (2015, hal. 181) juga
menjelaskan bahwa “dalam hukum pidana yang termasuk ke dalam alasan

penghapus kesalahan atau alasan pemaaf antara lain, daya paksa (overmacht)

(Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 Ayat (2)

KUHP), dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh

iktikad baik (Pasal 51 Ayat (2) KUHP)”. Dalam hal ini, apabila seseorang dalam

melakukan perbuatan melawan hukum terbukti adanya kesalahan, maka perbuatan

tersebut dapat dipidana.

Berdasarkan uraian unsur-unsur pertanggungjawaban pidana di atas, dapat

dijelaskan bahwa setiap orang dalam melakukan perbuatannya mempunyai

kesalahan, maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana sebagaimana telah diatur

dalam undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai