Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PERIKANAN DAN TEORI-TEORI

PEMIDANAAN

A. Pengertian Tindak Pidana Dan Perikanan

1. Tindak Pidana

Tindak pidana adalah istilah paling umum untuk istilah strafbaar feit dalam

bahasa belanda. Terjemahan atas istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia

diterjemahkan dengan berbagai istilah misalnya tindak pidana, delik, peristiwa

pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan pidana, strafbaar feit.5

Terdapat beberapa istilah oleh para ahli hukum dalam mendefiniskan istilah

tindak pidana.

Menurut Jan Remmelink, tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu

tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolelir dan harus

diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum

pidana.6 Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah “tindak pidana” dan

mengartikan tindak pidana sebagai tindakan yang melanggar berbagai

kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan kepentingan tersebut terdiri dari

tiga jenis kepentingan yaitu : kepentingan individu-individu, kepentingan

masyarakat, dan kepentingan Negara.7

5
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2011,
hlm.96-97
6
Jan Remmelink. Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 61
7
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT Rafika
Aditama, Bandung, 2003, hlm. 16

11
12

Berbeda dengan Wirjono Prodjodikoro, Moeljatno menggunakan istilah

“perbuatan pidana” dan memberi makna perbuatan pidana sebagai perbuatan yang

dilarang oleh 0suatu aturan hukum, larangan mana disertai sanksi yang berupa

pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Simons

sebagaimana dikutip oleh M. Haryanto menggunakan istilah strafbaar feit dalam

mendefinisikan tindak pidana, dimana menurutnya strafbaar feit adalah kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang

berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggungjawab.

Serupa dengan Simons, Van Hamel juga menggunakan istilah strafbaar feit

yang diartikan sebagai kelakuan orang (menslijke gedraging) yang dirumuskan

dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan

dilakukan dengan kesalahan. Dari defini diatas, maka dapat diambil kesimpulan

bahwa strafbaar feit mengandung unsur :8

1) Perilaku manusia (gedragingen);


2) Diancam dengan pidana;
3) Bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid);
4) Berhubungan dengan kesalahan (schuld);
5) Dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Dalam hal penggunaan istilah, pembentuk undang-undang Belanda tidak

menggunakan istilah “perbuatan” atau “tindak”, melainkan “fakta” (feit-tindak

pidana). Penggunaan istilah tersebut dikarenakan pengertian feit mencakup omne

8
Leden Marpaung, Asas-Teori-Hukum Pidana, Cetakan Keempat, PT Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, hlm. 7
13

quod fit, jadi keseluruhan kejadian (perbuatan), termasuk kelalaian serta situasi

dan kondisi lainnya yang relevan:9

“Istilah tersebut baru dapat dipakai setelah ada penetapan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, karena untuk mengetahui orang
bersalah atau tidak, melawan hukum atau tidak, dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak harus melalui suatu proses penyelesaian
perkara pidana berdasarkan hukum formil yang berlaku”.
Selain istilah perbuatan pidana, strafbaar feit dan tindak pidana terdapat

istilah lain yang digunakan oleh para ahli hukum dalam mendeskripsikan “tindak

pidana”, yaitu istilah “delik”.

Kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni, delictum. Dalam bahasa

Jerman disebut delict, dalam bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia, delik

diartikan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang. Beberapa ahli hukum pidana menggunakan

istilah “delik” dan masing-masing memberi definisi sebagai berikut:10

1. Vos: Delik adalah feit yang dapat dihukum berdasarkan undang-undang.

2. Van Hammel: Delik adakah suatu serangan terhadap hak-hak orang lain.

3. Simons: Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah

dilakukan dengan sengaja atau tidak yang tindakannya dapat

dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang dinyatakan sebagai

perbuatan yang dapat dihukum.

Dengan melihat pendapat- pendapat tersebut di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa tindak pidana adalah perilaku manusia yang dilarang

oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana.

9
Jan Remmelink, Op.Cit., hlm. 85
10
Leden Marpaung. 2008, Op.Cit., hlm. 7
14

2. Tindak pidana Perikanan

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana

(yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara

yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis

normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam

peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah

perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara

konkrit. Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh

peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang

dengan ancaman pidana. Perikanan adalah kegiatan yang berhubungan

dengan pengelolaan dan pemanfaataan sumber daya ikan.11 Tindak pidana

dibidang perikanan merupakan tindak pidana diluar KUHPidana yang diatur

menyimpang, karena tindak pidananya dapat menimbulkan kerusakan dalam

pengelolaan perikanan Indonesia yang berakibat merugikan masyarakat,

bangsa, dan negara. Dengan hukuman pidananya tinggi dan berat sebagai

salah satu cara untuk dapat menanggulangi tindak pidana di bidang

perikanan. Banyak masyarakat menyalahgunakan kegiatan perikanan

menjadi suatu keuntungan bagi diri mereka sendiri tanpa memikirkan

ekosistem laut, misalnya dengan menggunakan alat penangkap ikan yang

dilarang yang mengakibatkan kerusakan ekosistem laut. Kini tindak pidana

perikanan menjadi sorotan masyarakat akibat maraknya tindak pidana

mengenai perikanan. Contoh tindak pidana perikanan adalah penangkapan

11
Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
2002, hlm. 22
15

ikan dengan alat yang dilarang, pengeboman ikan, bisnis perikanan illegal

tanpa mempunyai surat perizinan serta masih banyak lagi kasus yang

lainnya.

Tindak pidana dibidang perikanan menurut Undang-Undang Nomor

45 tahun 2009 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004

tentang Perikanan telah dicantumkan beberapa Pasal yang mengatur tentang

tindak pidana (delik) dibidang perikanan. Tindak pidana Perikanan

bedasarkan Pasal 103 Undang-Undang Perikanan dibedakan dalam 2 (dua)

kategori yaitu kategori pelanggaran dan kategori kejahatan. Ada 17 buah

Pasal yang mengatur rumusan delik perikanan dari Pasal 84, Pasal 85, Pasal

86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 adalah kejahatan,

sedangkan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89,

Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100

adalah pelanggaran. Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut

ternyata dalam perumusannya sama-sama menempatkan kesalahan pelaku

sebagai syarat pemidanaan, yaitu dalam Pasal 90 dan Pasal 87 mensyaratkan

adanya kesengajaan atau kealpaan yang pada hakikatnya adalah bentuk dari

kesalahan. Padahal doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa pelanggaran

adalah delik Undang-Undang (wetsdelict) dan untuk dapat dipidananya

pelaku tidak perlu menilai sikap bathin pelaku. Terbuktinya pelaku

melakukan perbuatan yang dilarang sudah cukup menjatuhkan pidana

kepada pelaku. Hal ini berbeda dengan kejahatan yang dalam

pemidanaannya mensyaratkan adanya kesalahan (kesengajaan/kealpaan).


16

Hakim yang mengadili pelanggaran dibidang perikanan juga khusus,

yaitu hakim ad hoc yang terdiri atas dua hakim ad hoc dan satu hakim

karier. Pemeriksaan pengadilannya dapat dilakukan secara in absentia yaitu

upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh

terdakwa.

Di Indonesia, menurut Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan,

kegiatan yang termasuk dalan perikanan dimulai dari Praproduksi, Produksi,

Pengolahan, sampai dengan Pemasaran yang dilaksanankan dalam suatu

sistem bisnis perikanan.12 Bisnis perikanan tersebut sering terjadi suatu

tindak pidana perikanan, tindak pidana perikanan mengacu berdasarkan

Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 45

tahun 2009.

Tindak pidana perikanan juga dapat didefinisikan dari beberapa aspek

yaitu :

a. Pengertian tindak pidana di bidang perikanan diartikan dari aspek

ruang lingkup aktivitas di bidang perikanan;

b. Pengertian tindak pidana di bidang perikanan yang diberikan atas

dasar modus operandi tindak pidana yang dilakukan;

c. Pengertian tindak pidana perikanan dilihat dari aspek wilayah atau

daerah atau tempat terjadinya tindak pidana, maka tindak pidana

12
Supriadi dan Alimuddin, Op.Cit., hlm 68
17

dibidang perikanan dapat diartikan sebagai tindak pidana yang

merupakan bagian dari tindak pidana wilayah perairan.

Penangkapan ikan tanpa Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dengan maksud

dan tujuan tertentu, dengan cara atau modus kejahatan yang telah direncanakan

merupakan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perUndang-Undangan

sehingga digolongkan dalam tindak pidana perikanan.

Pasal 92 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 Perubahan atas Undang-

Undanng Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan mengatur tentang Surat Izin

Usaha Perikanan berbunyi :

“setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan


Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengelolaan dan pemasaran ikan, yang tidak
memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) sebagaimana dimaksud dalam
pasal 26 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah)”.
B. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Di dalam Buku II KUHP terdapat rumusan-rumusan perihal tindak pidana

tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan di dalam buku III memuat

kelompok pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap

rumusan, yaitu mengenai tingkah laku/perbuatan walaupun ada pengecuakian

seperti Pasal 351 KUHP (Penganiayaan). Unsur kejahatan dan melawan hukum

kadang-kadang dicantumkan, mengenai unsur kemampuan bertanggungjawab. Di

samping itu, banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik mengenai objek

kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.


18

Menurut Adami Chazawi tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya

dari dua sudut pandang yakni dari sudut teoritis, dan dari sudut pandang Undang-

Undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin

pada bunyi rumusannya, sementara itu, sudut pandang Undang-Undang adalah

bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumusukan menjadi tindak pidana dalam

Pasal-pasal Peraturan Perundang-undangan yang ada.13

1) Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis

Menurut Moeljanto, Unsur tindak pidana adalah :

a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum.

Berdasarkan kata majemuk, perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada

perbuatan itu, tetapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam)

dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan

benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum,

yang artinya pada umunya dijatuhi pidana karena melakukan tindakan yang

bertentangan dengan undang-undang.14

Menurut R. Tresna tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni :

a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

13
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana), PT Raja Grafindo, Bandung, 2002, hlm. 79
14
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Banding, 1997, hlm. 72
19

c. Diadakan tindakan penghukuman.

Dari unsur ketiga, kalimat diadakan penghukuman, terdapat pengertian

bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan

penghukuman (pemidanan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam

pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian dijatuhi

pidana.

Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan

dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur

itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada

orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.

Dari batasan yang dibuat Jonkers dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana

adalah :

a. Perbuatan (yang);

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);

c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);

d. Dipertanggungjawabkan.

Sementara itu Schravendjik mengutarakan bahwa unsur-unsur tindak

pidana adalah sebagai berikut :15

a. Kelakuan (orang yang);

b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;

c. Diancam dengan hukuman;

d. Dilakukan oleh orang (yang dapat);

15
Schravendijk, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B. Woltes, Jakarta-
Groningen, 1955.
20

e. Dipersalahkan/kesalahan.

Walaupun rincian dari beberapa rumusan diatas tampak berbeda-beda,

namun pada hakikatnya ada persamaanya, yaitu : tidak memisahkan antara

unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri

orangnya.

2) Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang

Menurut Adami Chazawi, dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu

dalam KUHP itu dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu :

1. Unsur tingkah laku


2. Unsur melawan hukum
3. Unsur kesalahan
4. Unsur akibat konstitutif
5. Unsur keadaan yang menyertai
6. Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana
7. Unsur tambahan untuk memperberat pidana
8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana
9. Unsur objek hukum tindak pidana
10. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana
11. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dari sebelas unsur itu, di antaranya terdapat dua unsur subjektif yaitu

unsur kesalahan dan melawan hukum, sedangkan selebihnya berupa unsur

objektif. Adakalanya unsur melawan hukum bersifat objektif, misalnya melawan

hukumnya perbuatan mengambil pada pencurian (Pasal 362 KUHP) terletak

bahwa dalam mengambil itu di luar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan

hukum objektif). Atau pada Pasal 251 KUHP pada kalimat “tanpa izin

pemerintah”, juga Pasal 253 KUHP pada kalimat “menggunakan cap asli secara

melawan hukum” adalah berupa melawan hukum objektif. Akan tetapi, ada juga

melawan hukum subjektif misalnya melawan hukum dalam penipuan (Pasal 378
21

KUHP) pemerasan (Pasal 368 KUHP) pengancaman (Pasal 369 KUHP) dimana

disebutkan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang kain secara melawan

hukum. Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan memiliki dalam

penggelapan Pasal (372 KUHP) yang bersifat subjektif, artinya terdapat kesadaran

bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaannya itu merupakan

celaan masyarakat.16

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perikanan di

perairan Indonesia tidak terrlepas dari lingkungan strategis global terutama

kondisi perikanan di Negara lain yang memiliki perbatasan laut, dan sistem

pengelolaan perikanan di Indonesia itu sendiri, secara garis besar faktor penyebab

tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) faktor, sebagaimana di uraikan

berikut :17

1. Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia

menurun, terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal

ini mendorong armada perikanan dunia berburu ikan manapun dengan cara

legal atau pun illegal.

2. Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain

dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya

surplus pendapatan.

3. Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di

Indonesia masih menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan

16
Ibid., hlm 82
17
Rohmin Dahuri, Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perikanan,
Pusdiklat Kejagung RI, 2012, hlm 4
22

pasokan ikan untuk konsumsi mereka dan harus mempertahankan produksi

pengolahan di negara tersebut tetap bertahan.

4. Laut Indonesia sanfar luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan

khususnya armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat

terbatas dibandingkan kebutuhan untuk mengawasi daerah rawan. Luasnya

wilayah laut yang menjadi yuridiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat

terbukanya Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia yang berbatasan dengan laut

lepas (High Seas) telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-kapal ikan

asing maupun lokal untuk melakukan tindak pidana perikanan.

5. Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk perizinan saat ini bersifat

terbuka (open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap

(input restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi

faktual geografi Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia yang berbatasan dengan

laut lepas.

6. Masih terbatasanya sarana dan prasarana pengawasan serta Sumber Daya

Manusia pengawasan khususnya dari sisi kuantitas dibandingkan dengan

luas wilayah perairan yang harus diawasi. Hal ini ditambah lagi dengan

keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.

7. Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam

penanganan perkara tindak pidana perikanan masih belum terorganisasi

dengan optimal, terutama dalam hal pemahaman tindakan hukum, dan

komitmen operasi kapal pengawasan di Zona Ekonomi Eklusif.


23

C. TEORI PEMIDANAAN

Teori tujuan sebagai Theological dan teori gabungan sebagai pandangan

integratif di dalam tujuan pemidanaan beranggapan bahwa pemidanaan

mempunyai tujuan pliural, di mana kedua teori tersebut menggabungkan

pandangan Utilitarians dengan pandangan Retributivist.

Pandangan Utilitarians yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus

menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan

Retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang

Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip

keadilan.18

Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut :

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldingstheorien)

Teori ini mengatakan bahwa di dalam kejahatan itu sendiri terletak

pembenaran dari pemidanaan terlepas dari manfaat yang hendak dicapai.

Adanya pemidanaan karena ada pelanggaran hukum. Jadi menurut teori

ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan

kejahatan atau tindak pidana. Tujuan utama dari pidana menurut teori

absolute adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan, sedangkan pengaruh-

pengaruhnya adalah skunder. Contoh, apabila ada dua orang pelaku yang

seorang menciptakan akibat yang lebih serius dari yang lain, maka dia

dipidana lebih berat.

2. Teori Relatif atau Tujuan (doeltheorien)

18
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002.
24

Pada penganut teori ini memandang sebagaimana sesuatu yang

dapat digunakan untuk mencapai pemanfaataan, baik yang berkaitan

dengan orang yang bersalah maupun yang berkaitan dengan dunia luar,

misalnya dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah

penjahat potensial, akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik.19

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada

tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quita peccatu est (karena orang

membuat kesalahan) melakukan ne peccetur (supaya orang jangan

melakukan kejahatan), maka cukup jelas bahwa teori bertujuan ini

berusaha mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.20

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, bisa dibedakan

menjadi dua istilah, yaitu :

a. Prevensi Special (special preventie) atau Pencegahan Khusus

Bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap terpidana, dimana

prevensi khusus ini menekan tujuan pidana agar terpidana tidak

mengulangi perbuatannya lagi. Pidana berfungsi untuk mendidik dan

memperbaiki terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik

dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.

b. Prevensi General (Generale Preventie) atau Pencegahan Umum

Prevensi General menekan bahwa tujuan pidana adalah untuk

mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat.

Pengaruh pidana ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya


19
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
2001
25

dengan maksud untuk menakut-nakuti. Artinya pencegahan kejahatan

yang ingin dicapai oleh pidana adalah dengan mempengaruhi tingkah

laku anggota masyarakat pada umunya unuk tidak melakukan tindak

pidana.

Menurut Johan Andenaes terdapat tiga bentuk pengaruh dalam

pengertiannya prevensi general, yaitu :

a. Pengaruh pencegahan;

b. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;

c. Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan pembuatan patuh pada

hukum.

Sehubungan yang dikemukakan oleh Johan Andenaes, maka Van Veen

berpendapat bahwa prevensi general mempunyai tiga fungsi, yaitu :21

a. Menegakan Kewibawaan

b. Menegakan Norma

c. Membentuk Norma

3. Teori Gabungan (Verenigingsthrorien)

Teori gabungan adalah kombinasi dari teori relatif. Menurut teori

gabungan, tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga

dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban

dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan

yang adil.22

21
Ibid.,
22
Samosir, Djisman, Op.Cit
26

Menurut Pellegrino Rossi dalam bukunya “Traite de Droit Penal” yang

ditulis pada tahun 1828 menyatakan : ‘sekalipun pembalasan sebagai asas dari

pidana bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang

adil, namun pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan

sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general’. 23

Terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruhi,

yaitu:

a. Teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi

sifatnya yang berguna bagi masyarakat. Pompe menyebutkan dalam

bukunya “Hand Boek Van het Net Strafrecht” bahwa pidana adalah

suatu sanksi yang memiliki ciri-ciri tersendiri dari sanksi lain dan

terikat dengan tujuan dengan sanksi-sanksi tersebut karenanya akan

diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah yang

berguna bagi kepentingan umum.24

b. Teori gabungan yang menitikberatkan pertahan tata tertib masyarakat.

Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuannya adalah

melindungi kesejahteraan masyarakat.

c. Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan

tata tertib masyarakat.25

23
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung , 2002
24
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 135-
137
25
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi,
Pradya Paramita, Jakarta, 1986
27

D. Kewenangan dalam Wilayah Laut

Laut sebagai wilayah laut teritorial, merupakan daerah yang menjadi

tanggung jawab sepenuhnya negara yang bersangkutan dengan penerapan hukum

yang berlaku di wilayahnya yaitu hukum nasional negara yang bersangkutan.

Batas laut teritorial sebagaimana disinggung dimuka, hampir setiap negara lautan

mempergunakan prinsipnya untuk menentukan lebar laut teritorial dengan tetap

memperhatikan konvensi hukum laut internasional yang berlaku.

Lautan yang membentang luas dengan posisi untuk menghubungkan

wilayah daratan satu dengan yang lain dan kemungkinan berlaku hukum yang

berbeda, disadari atau tidak pada dasarnya setiap insan manusia mempunyai hak

untuk menikmati kekayaan yang terkandung di dalamnya, namun masalahnya

sekarang bagaimana ketentuan yang mengatur masalah prosedur pemanfaatan

kekayaan tersebut. Secara makro dapat digambarkan bahwa ada 2 (dua) ketentuan

yang dapat diterapkan berlakunya, yaitu :

1. Hukum nasional sepanjang wilayah lautan itu berada pada kekuasaan

hukum nasional, suatu negara hal ini sudah barang tentu prosedur

perizinan pun diatur di dalam hukum nasional yang bersangkutan.

2. Hukum internasional di mana di dalam wilayah lautan tersebut tidak

berada di bawah suatu negara sehingga pengaturanya dengan

memperhatikan Hukum Internasional. Kedua ketentuan itu tidak

bertentangan berlakunya, namun hukum nasional selau

memperhatikan ketentuan-ketentuan yang bersifat internasional.


28

Masalah ketentuan ini secara yuridis wilayahnya dapat dikatakan dengan

tidak mengurangi fungsi lautnya, yaitu dapat dibagi dalam 3 (tiga) wilayah yaitu :

1. Laut merupakan wilayah teritorial.

2. Laut merupakan wilayah ekonomi atau zona ekonomi ekslusif indonesia.

3. Laut bebas.

Laut yang merupakan wilayah zona ekonomi ekslusif, kewenangan negara

yang bersangkutan hanya terbatas sepanjang menyangkut masalah ekonomi saja

dan bagi negara-negara asing yang ingin menggunakan wilayah tersebut harus

mendapatkan izin dari pemerintah sebagai ppenguasa wilayah tersebut, sedangkan

untuk kepentingan lainnya di luar itu dapat dilakukan dengan segala tuujuan

damai.

Mengenai laut bebas atau laut lepas (high sea) sangat terbuka bagi semua

negara, tidak satu negara pun dapat menyatakan bahwa laut lepas ini termasuk

wilayah daerah kekuasaannya yang berada di bawah kedaulatannya. Untuk

wilayah laut yang satu ini tidak ada suatu kedaulatan pun yang menghinggapi

wilayah tersebut, andaikan ada hanya merupakan suatu sistem blokade, hal ini

terutama untuk kegiatan-kegiatan perang dengan prakarsa PBB (Perserikatan

Bangsa-Bangsa) dengan tujuan kedamaian.

Setiap negara, baik negara pantai maupun negara tidak berpantai mempunyai

kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatannya dengan tetap memperhatikan

ketentuan-ketentuan yang telah disyaratkan oleh Hukum Internasional, yang

merupakan kesepakatan bersama antara lain kkebebasan tersebut meliputi :

a. Kebebasan melakukan navigasi


29

b. Kebebasan penangkapan ikan

c. Kebebasan memasang kabel dan pipa saluran dibawah permukaan air laut

d. Kebebasan melakukan penerbangan di atas laut lepas.

E. Wilayah Pengelolaan Perikanan

Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan dan

lingkungannnya sesuai dengan yang di amanatkan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, perlu menetapkan Wilayah

Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). WPP-RI merupakan

wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,

konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan meliputi perairan

pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan Zona Ekonomi

Ekslusif Indonesia.

Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan

ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi :

1. perairan indonesia;

2. Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI);

3. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat

diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah

Republik Indonesia.

Sebagaimana diatur pada Undang-Undang Perikanan, bahwa usaha

perikanan diwilayah pengelolaan perikanan republik indonesia hanya boleh

dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau Badan Hukum

Indonesia. Kecuali terhadap orang atau badan hukum asing yang melakukan
30

penangkapan ikan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) , sepanjang

hal tersebut menyangkut kewajiban negara Republik Indonesia berdasarkan

persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum

asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan,

pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara pemerintah Republik

Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal. Perjanjian perikanan yang

dibuat antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara

bendera kapal harus mencantumkan kewajiban pemerintah negara bendera

kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan orang atau baadan hukum

negara bendera kapal untuk mematuhi perjanjian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai