Anda di halaman 1dari 22

PENGANTAR ILMU HUKUM

HUKUM PIDANA

KELOMPOK 4

ANGGOTA KELOMPOK:

1. Ahlan J. Abdullah (3)


2. Erfina Dita Nirmala (13)
3. Hellen Ela Meylanti (19)
4. M. Syahevan Fauzi (22)
5. Muhammad Faizal A (24)
6. Nostalita Br. Tarigan (26)
7. Novita Dewi Sawarni (27)
8. Putri Ramadhani (29)

D3 PAJAK 1-08
HUKUM PIDANA
A. PENGERTIAN DELIK
Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam Wetboek Van
Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa Jerman disebut delict,
dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut :

perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap


undang-undang; tindak pidana.

Utrecht memakai istilah peristiwa pidana karena istilah peristiwa itu meliputi suatu
perbuatan (handelen atau doen) atau suatu melalaikan (verzuin atau nalaten) maupun
akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu), dan
peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum, yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan
yang membawa akibat yang diatur oleh hukum (Utrecht, 1994 : 251).

Tirtaamidjaja (Leden Marpaung, 2005 : 7) menggunakan istilah pelanggaran


pidana untuk kata delik.

Andi Zainal Abidin Farid (1978 : 114) menggunakan istilah peristiwa pidana
dengan rumusan peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang diancam pidana,
melawan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu.

Demikian pula Rusli Effendy (1989 : 54) memakai istilah peristiwa pidana yang
menyatakan bahwa peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan sebagai kata
majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lain, sebab kalau dipakai perkataan
peristiwa saja, maka hal ini dapat mempunyai arti yang lain.

Menurut Moeljatno (1993 : 54) memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan
yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai
ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan
tersebut.

Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing
memberiikan Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik adalah feit yang
dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van Hammel mendefiniskan
delik sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain, sedangkan
Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya
tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (Leden Marpaung, 2005 : 8).

Berdasarkan Prof. Simons maka delik memuat beberapa unsur yaitu:


a. Suatu perbuatan manusia
b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang
c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan

Berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP maka seseorang dapat dihukum bila memenuhi
hal-hal sebagai berikut:

a. Ada suatu norma pidana tertentu


b. Norma pidana tersebut berdasarkan Undang-undang
c. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan itu terjadi.5

Dengan kata lain tidak seorangpun dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu
hukuman berdasarkan Undang-undang terhadap perbuatan itu.

Pengertian dari delik menurut Achmad Ali (2002:251) adalah: Pengertian umum
tentang semua perbuatan yang melanggar hukum ataupun Undang-Undang dengan
tidak membedakan apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat ataupun hukum publik
termasuk hukum pidana.

B. KEJAHATAN DAN PELANGGARAN

1. Pengertian Pelanggaran dan Kejahatan


Kejahatan merupakan sifat yang dalam kamus bahasa indonesia berasal berarti
sifat yang jelek atau buruk. Jahat kemudian mendapat awalan ke dan akhiran an yang
berarti melakukan suatu tindakan yang buruk atau jelek. Menurut B. Simandjuntak
kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak
dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.
Sedangkan Van Bammelen merumuskan kejahatan sebagai tiap kelakuan yang
bersifat tidak susila dan merugikan, dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan
dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya
dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan
sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.
R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian
kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah
suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undangundang. Ditinjau dari
segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau
tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat
yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Lebih lanjut, pengertian kejahatan dapat diuraikan menurut penggunaannya
sebagai berikut:
1. Pengertian secara praktis : kejahatan tersebut dapat melanggar norma yang dapat
menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau
pengucilan.
2. Pengertian secara religius : menguraikan bahwa kejahatan merupakan suatu dosa
yang diancam dengan hukman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.
3. Pengertian dalam arti juridis : kejahatan merupakan suatu tindakan atau perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang yang berakibat pada timbulnya suatu kerugian
atau berakibat pada menderitanya seseorang, yang mana perbuatan tersebut
dapat diancam dengan hukuman baik kurungan atau penjara sebagaimana pasal
10 KUHP.
Sebagai contoh pembunuhan dengan disengaja tanpa terlebih dahulu
direncanakan yang merupakan kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan oleh
seseorang. Dengan hilangnya nyawa seseorang, maka ada suatu perbuatan yang tidak
pantas yang dapat merugikan baik keluarga ataupun masyarakat, sehingga terjadi
ketidakseimbangan, hilangnya ketentraman dan ketertiban di masyarakat tersebut.
Secara praktis, pelaku telah melanggar norma yang dapat menyebabkan suatu reaksi
yang berupa sanksi sosial berupa cemoohan atau pengucilan dari masyarakat. Jika
ditinjau dari aspek religius, maka pelaku telah berbuat dosa yang kelak akan mendapat
hukuman dari Tuhan berupa siksa api neraka. Sedangkan dari aspek yuridisnya,
pelaku telah melanggar pasal 338 KUHP, sehingga dapat diancam dengan ancaman
pidana penjara 15 tahun
Lantas kejahatan apakah sebuah pelanggaran ?kejahatan merupakan suatu
pelanggaran berat terhadap aturan atau undang-undang yang berda dalam suatu
masyarakat yang dilakukan oleh seseorang. Sebagaimana digambarkan diatas,
pelaku pembunuhan telah melanggar ketentuan yang ada dalam KUHP, ketentuan
yang ada dalam norma masyarakat, ketentuan yang telah digariskan oleh Tuhan
yang diajarkan dalam setiap agama masing-masing.
Pelanggaran merupakan perilaku seseorang yang menyimpang untuk
melakukan tindakan menurut kehendak sendiri tanpa memperhatikan peraturan
yang telah dibuat dan disepakati bersama. Ketidakpahaman akan seseorang
terhadap sebuah aturan menjadikannya berbuat dari apa yang telah dilarang oleh
aturan tersebut. Secara sosiologis, pelanggaran merupakan perbuatan atau
perilaku yang dilakukan oleh seseorang yang bertentangan dengan nilai-nilai yang
berada dalam masyarakat ataupun negara yang telah dituangkan dalam sebuah
aturan hukum yang baku. Penyebab dari pelanggaran bisa terjadi karena
keterbatasan informasi ataupun akses akan aturan tersebut ataupun kurangnya
penjelasan akan aturan hukum tersebut.

2. Perbedaan Pelanggaran dan Kejahatan


Terdapat dua cara pandang dalam membedakan antara kejahatan dan
pelanggaran (Moeljatno,2002:72), yakni pandangan pertama yang melihat adanya
perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dari perbedaan kualitatif. Dalam
pandangan perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran dikatakan bahwa
kejahatan adalah rechtsdeliten, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak
ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan
sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentantangan dengan tata hukum.
Pelanggaran sebaliknya adalah wetsdeliktern, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat
melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian
(Moeljatno,2002:71).Pandangan kedua yakni pandangan yang menyatakan bahwa
hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana) antara
kejahatan dan pelanggaran.

Bisa dikatakan bahwa perbedaan antara pelanggaran dengan kejahatan adalah:


-Pelanggaran
orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karena perbuatan
tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik
undang-undang). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal
569. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP),
perkosaan (pasal 285 KUHP).

-Kejahatan
meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi
tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan
dan patut dipidana, istilahnya disebutrechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam
buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum
(pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan
cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).

Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu (Moeljatno,2002:74) :


1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau
kelapaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh jaksa,
sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung
dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan
culpa.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (Pasal 54
KUHP). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60
KUHP).
4. Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak
penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada
kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5. Dalam hal pembarengan (concurcus) pada pemidanaan berbeda buat
pelanggaran dan kejahatan. kumulasi pidana yang enyeng lebih mudah
daripada pidana berat.

3. Persamaan Pelanggaran dan Kejahatan


Persamaan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu merupakan perbuatan yang
termasuk dalam hukum pidana, merugikan orang lain, dan bertentangan dengan
kepentingan umum.

C. DELIK OMISI DAN KOMISI

Delik Komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan (verbod)
undang-undang. Delik ini bersifat aktif. Contoh: Perbuatan mencuri, yang dilarang adalah
mencuri atau mengambil barang orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal 362
KUHP.
Delik Omisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan (gebod)
menurut undang-undang. Hal ini terjadi karena dakwa melakukan kelalaian terhadap apa
yang harus dilakukan dan bersifat diam. Contoh : Suatu keadaan di mana seseorang
mengetahui ada tindak kejahatan tetapi tidak melaporkan ke pihak berwajib, maka
dikenakan pasal 164 KUHP.
Delik commisionis per ommisionen commissa adalah delik yang berupa
pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara
tidak berbuat. Contoh : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air
susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan
kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).

D. DELIK FORMIL DAN MATERIIL

1. Delik Formil
Menurut Drs. P.A.F. Lamintang, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia
Delik formil ialah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan
yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas
perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan
selesainya tindak pidana, jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan,
tindak pidana itu selesai pula tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari
perbuatan.
Adapun macam-macam delik yang terdapat di KUHP, yang termasuk dalam Delik
Formil, sebagai berikut :
Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan
Pasal 209 KUHP tentang Penyuapan
Pasal 242 KUHP tentang Sumpah Palsu
Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Pada pencurian misalnya, asal sudah dipenuhi unsur dalam pasal 362 KUHP,
tindak pidana sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian
itu merasa rugi atau tidak, merasa terancam kehidupannya atau tidak.

2. Delik Materil
Menurut Drs. P.A.F. Lamintang,
Delik materil ialah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya
akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang
Disebut materil maksudnya ialah yang menjadi pokok larangan tindak pidana ialah
pada menimbulkan akibat tertentu, disebut dengan akibat yang dilarang atau akibat
konstitutif. Titik beratnya larangan adalah pada menimbulkan akibat, sedangkan
wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan.
Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, maka untuk selesainya
tindak pidana bukan tergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi bergantung
pada apakah dari wujud perbuatan itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum.
Adapun macam-macam delik yang terdapat di KUHP, yang termasuk dalam Delik
Materil, sebagai berikut :
1) Pasal 187 KUHP tentang Pembakaran dan sebagainya,
2) Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan
3) Pasal 378 KUHP tentang Penipuan
Harus timbul akibat-akibat seperti kebakaran, matinya si korban, pemberian suatu
barang.

D. DELIK ADUAN DAN DELIK UMUM


1). Delik Aduan

Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang
merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus
ada aduan dari pihak yang dirugikan. Selain itu, yang dimaksud dengan delik aduan
(klach delict) merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada
atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang
dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini membicarakan
mengenai kepentingan korban.

Dalam ilmu hukum pidana delik aduan ini ada dua macam, yaitu :
1. Delik Aduan absolute (absolute klacht delict)
2. Delik aduan relative (relatieve klacht delict)

1. Delik Aduan absolute (absolute klacht delict)


Merupakan suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari
pihak yang dirugikan. Dan yang diadukan sifatnya hanyalah perbuatannya saja atau
kejahatannya saja. Dalam hal ini bahwa perbuatan dan orang yang melakukan
perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara pada kejahatan yang
dilakukan. Oleh karena itu delik aduan absolute ini mempunyai akibat hukum dalam
masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/onsplitbaar.
Contoh : A dan B adalah suami istri. B berzinah dengan C dan D. Dan A hanya
mengadukan B telah melakukan perbuatan perzinahan. Namun, karena tidak dapat
dipisahkan/onsplitbaar maka tidak hanya B saja yang dianggap sebagai pelaku, tetapi
setiap orang yang terlibat suatu perbuatan atau kejahatan yang bersangkutan yaitu C
dan D secara otomatis (sesuai hasil penyelidikan) harus diadukan pula oleh A.
Setidaknya delik perzinahan tidak dapat diajukan hanya terhadap dader/mededader
saja, melainkan harus keduanya dan pihak lain yang terlibat.
Adapun macam-macam delik yang terdapat dalam KUHP yang termasuk dalam Delik
Aduan Absolut, sebagai berikut :
Pasal 284 KUHP, tentang perzinahan.
Pasal 287 KUHP, bersetubuh di luar perkawinan dengan seorang wanita berumur
di bawah lima belas tahun atau belum waktunya untuk kawin.
Pasal 293-294 KUHP, tentang perbuatan cabul.
Pasal 310-319 KUHP (kecuali pasal 316), tentang penghinaan.
Pasal 320-321 KUHP, penghinaan terhadap orang yang telah meninggal dunia.
Pasal 322-323 KUHP, perbuatan membuka rahasia.
Pasal 332 KUHP, melarikan wanita.
Pasal 335 ayat (1) butir 2, tentang pengancaman terhadap kebebasan individu.
Pasal 485 KUHP, tentang delik pers.

2. Delik aduan relative (relatieve klacht delict)


Yakni merupakan suatu delik yang awalnya adalah delik biasa, namun karena ada
hubungan istimewa/keluarga yang dekat sekali antara si korban dan si pelaku atau si
pembantu kejahatan itu, maka sifatnya berubah menjadi delik aduan atau hanya dapat
dituntut jika diadukan oleh pihak korban.
Dalam delik ini, yang diadukan hanya orangnya saja sehingga yang dilakukan
penuntutan sebatas orang yang diadukan saja meskipun dalam perkara tersebut
terlibat beberapa orang lain. Dan agar orang lain itu dapat dituntut maka harus ada
pengaduan kembali. Dari sini, maka delik aduan relative dapat dipisah-
pisahkan/splitsbaar.
Contoh : A adalah orang tua. B adalah anaknya. Dan C adalah keponakannya. B
dan C bekerjasama untuk mencuri uang di lemari A. Dalam perkara ini jika A hanya
mengadukan C saja maka hanya C sajalah yang dituntut, sedangkan B tidak.
Dari kasus di atas bisa dilihat bahwa delik aduan relative ini seolah bisa memilh
siapa yang ingin diadukan ke kepolisian. A karena orang tua dari B, maka ia tidak
ingin anaknya yaitu B terkena hukuman pidana, dia hanya memilih C untuk diadukan,
bisa karena dengan pertimbangan C bukanlah anaknya. Namun jka kita bandingkan
dengan contoh kasus pada delik aduan absolute, dalam kasus perzinahan itu, walau
si A hanya kesal dengan salah satu pelaku perzinahan itu, ia tidak bisa hanya
mengadukan orang itu saja, karena bagaimanapun konsekuensinya, pihak lain yang
terlibat juga dianggap sebagai pelaku.
Adapun macam-macam delik yang terdapat dalam KUHP yang termasuk dalam
Delik Aduan Relatif, sebagai berikut :
1. Pasal 367 ayat (2) KUHP, tentang pencurian dalam keluarga.
2. Pasal 370 KUHP, tentang pemerasan dan pengancaman dalam keluarga.
3. Pasal 376 KUHP, tentang penggelapan dalam keluarga
4. Pasal 394 KUHP, tentang penipuan dalam keluarga.
5. Pasal 411 KUHP, tentang perusakan barang dalam keluarga.

2) Delik Biasa

Suatu perkara tindak pidana yang dapat di proses tanpa adanya persetujuan atau
laporan dari pihak yang di rugikan (korban). Didalam delik biasa walaupun korban telah
berdamai dengan tersangka, proses hukum tidak dapat di hentikan. Proses Hukumnya
tetap berjalan sampai di pengadilan.
Seperti Pasal 338 dan 362 KUHP apa bila tindak pidana tersebut terjerat pasal
338 atau 362 KUHP maka proses hukumnya harus tetap berjalan
Contoh: Penganiayaan, pembunuhan, perampokan.

F. KESENGAJAAN DAN KELALAIAN

I. Kesengajaan

A. Pengertian Kesengajaan
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesengajaan dalam hukum
pidana adalah merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku
mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang
terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa). Karenanya ancaman pidana pada
suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya kesenggajaan daripada dengan
kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan
kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan
sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan (pasal 372
KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.

Lalu apa itu yang disebut dengan kesenggajaan? KUHP kita tidak memberi
definisi mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam
pasal 18 dengan tegas ditentukan: Barang siapa melakukan perbuatan dengan
mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan
sengaja.

Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari


M.v.T. (Memorie van Toelichting), yaitu Pidana pada umumnya hendaknya
dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan
dikehendaki dan diketahui. Dalam pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan
diartikan sebagai : menghendaki dan mengetahui (willens en wetens). Artinya,
seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki
serta menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan,
bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang
yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan
disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan
akibat yang akan timbul daripadanya.

B. Teori-Teori Kesengajaan

Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja,


yang berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan
hukum pidana dapat disebut 2 (dua) teori sebagai berikut:

1) Teori kehendak (wilstheorie)


Teori kehendak diajarkan oleh Von Hippel (Jerman) dengan karangannya
tentang Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit 1903 menerangkan
bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan
kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu, dengan kata lain
apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, maka kehendak orang
tersebut adalah menimbulkan akibat atas perbuatannya, karena ia melakukan
perbuatan itu justru karena ia menghendaki akibatnya, ataupun hal ikhwal yang
menyertai.
Teori tentang kehendak terbagi menjadi 2 (dua) ajaran, yaitu:
a. Determinisme, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai
kehendak bebas. Manusia melakukan suatu perbuatan didorong
oleh beberapa hal, baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari
luar dirinya;
b. Indeterminisme, aliran ini muncul sebagai reaksi dari aliran
determinasi, yang menyatakan bahwa walaupun untuk melakukan
sesuatu perbuatan dipengaruhi oleh bakat dan milieu, manusia
dapat menentukan kehendaknya secara bebas;
Aliran Determinisme tidak dapat diterapkan dalam hukum pidana karena
akan menimbulkan kesulitan dalam hal pertanggungjawaban. Sehingga muncul
Determinisme Moldern yang menyatakan bahwa Manusia adalah anggota
masyarakat, dan sebagai anggota masyarakat apabila melanggar ketertiban
umum, maka ia bertanggungjawab atas perbuatannya.

2) Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie)


Teori pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan
oleh Frank(Jerman) dengan karanganya tentang Vorstelung un Wille in der
Moderner Doluslehre 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu
akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya
tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat
membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.
Untuk memperjelas teori ini, umumnya digunakan ilustrasi : seseorang yang
hendak membunuh orang lain, lalu menembakkan pistol dan pelurunya meletus
ke arah sasaran orang yang dituju, maka perbuatan menembak itu dikehendaki
oleh si pembuat, akan tetapi akibatnya belum tentu timbul sebagaimana kehendak
orang tersebut, misal saja karena pelurunya meleset justru mengenai orang lain
yang tidak dituju.
Oleh karena itu menurut teori pengetahuan, pelaku tindak pidana tidak
harus menghendaki akibat perbuatannya melainkan hanya dapat
membayangkan/menyangka (voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan
timbul sudah cukup untuk menyatakan pelaku menghendaki dan mengetahui.
C. Bentuk atau Corak Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan
ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari
kesengajaan sebagai berikut:
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu
tujuan (dolus directus).
Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau
noodzakkelijkheidbewustzijn).
Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun akibatnya yang tidak
diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan, contoh Kasus Thomas
van Bremenhaven.
3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau
voorwaardelijk-opzet).
Dalam hal ini keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian
benar-benar terjadi, contoh: meracuni seorang bapak, yang kena anaknya.

D. Sifat Kesengajaan

Kesengajaan memiliki 2 (dua) sifat, yaitu:


Sebagai penguat teori kesengajaan, dapat pula ditinjau berdasarkan sifatnya,
dimana kesengajaan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu kesengajaan berwarna
(gekleurd) dan kesengajaan tidak berwarna (kleurloos).

1. Kesengajaan berwarna (gekleurd)


Sifat kesengajaan dikatakan berwarna bilamana kesengajaan melakukan
sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya
melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin pelaku
dengan sifat melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini
berarti dolus malus, artinya untuk menyatakan adanya kesengajaan untuk berbuat
jahat di perlukan syarat, bahwa pada saat melakukan perbuatan pidana, si pelaku
ada kesadaran bahwa perbuatannya dilarang dan/atau dapat dipidana.
Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan bahwa : Kesengajaan
senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam
kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya
perbuatan. Sistem hukum Indonesia tidak menganut teori kesengajaan ini.

2. Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos)


Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti
bahwa untuk adanya kesengajaan pelaku perbuatan yang dilarang/dipidana tidak
disyaratkan bahwa Ia perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang/sifat melawan
hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan telah berbuat dengan sengaja, walaupun
ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan
hukum.
Di Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak berwarna karena di
Indonesia menganut doktrin fiksi hukum. Fiksi hukum adalah asas yang
menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure). Semua orang
dianggap tahu hukum, tak terkecuali petani yang tak lulus sekolah dasar, atau
warga yang tinggal di pedalaman. Dalam bahasa Latin dikenal pula adagium
ignorantia jurist non excusat, ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan.
Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau
tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu.
Mungkin ada yang merasa ini tidak adil, tapi itu hak anda sedangkan yang saya
jelaskan adalah fakta yang terjadi.

Berdasarkan uraian teori kesengajaan dan sifatnya maka dapat


disimpulkan sistem hukum pidana kita (KUHP) menganut Teori
pengetahuan/membayangkan (voorstellingtheorie) dan Kesengajaan tidak
berwarna (kleurloos) dalam menentukan kesengajaan dalam perbuatan pidana.
Untuk menilai apakah pelaku tindak pidana sengaja melakukan perbuatannya
adalah dengan menilai apakah pelaku membayangkan/menyangka (voorstellen)
akibat dari perbuatannya tersebut, tidak menjadi masalah apakah akibat
perbuatannya sesuai dengan bayangan ataupun sangkaan ataupun tujuan pelaku,
dan juga tidak menjadi masalah apakah pelaku tahu perbuatan tersebut
melanggar hukum ataupun tidak. Kalimat sederhananya adalah bila pelaku tindak
pidana tahu apa yang dilakukan dan juga akibat perbuatannya walaupun tidak
sesuai dengan tujuan yang dimaksud maka pelaku sudah secara sengaja
melakukan perbuatan tindak pidana tersebut. Sesederhana itu saja.

E. Macam Kesengajaan

Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kesengajaan (dolus) mengenal berbagai


macam kesenggajaan, antara lain:
1. Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak
pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang
lain.
2. Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
3. Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya
menghendaki matinya.
4. Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek,
misalnya menembak segerombolan orang.
5. Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu
dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur.
6. Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya,
tetapi juga kepada akibat perbuatannya.
7. Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua
akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak
diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya
dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan
tergilas mobil (dolus ini berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak
menganut dolus ini).

F. Jenis Kesengajaan

a) Kesengajaan yang Bersifat Tujuan


Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai.
Apabila kesenjangan seperti ini ada pada suau tindakan pidana, si pelaku pantas
dikenakan hukum pidana karena dengan adanya kesenjangan yang bersifat tujuan
ini, berarti si pelau benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi
di pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b) Kesengajaan secara Keinsyafan Kepastian


Kesengajaan ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan
untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa
akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Dengan kata lain, bahwa
perbuatannya pasti akan menimbulkan akibat lain. Tapi pelaku mengambil resiko
terjadinya akibat lain demi tercapai akibat utidak diserta bayangan suatu kepastian
akan terjadi akibat yang bama.

c) Kesengajaan secara Keinsyafan Kemungkinan


Kesengajaan ini yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu
kepastian akan terjadiakibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan
suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

II. Kealpaan (culpa)


A. Pengertian Kealpaan
Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari
kesalahan. Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada
kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan
dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang
timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Di
sinilah juga letak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan
bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang
dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan
mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu
keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau
mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak
dapat diperbaiki lagi. Oleh karena itu, undang-undang juga bertindak terhadap
larangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor), dan pendek kata schuld
(kealpaan yang menyebabkan keadaan seperti yang diterangkan tadi). Jadi, suatu
tindak pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan
karena kurang penduga-duga atau kurang penghati-hati. Misalnya, mengendari
mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang ditabrak
tersebut mati.
Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, dan
berbagai referensi yang kami kumpulan dalam pembahasan ini. Jadi untuk lebih
mudah dalam memahami tentang kealpaan ada baiknya dikemukakan dalam
bentuk contoh simpel seperti tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya
dalam rumah yang terbuat dari jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran.
Tidak membuat tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga ada orang yang
terjatuh ke dalamnya, dsb.
Dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal
kealpaan, pada diri pelaku terdapat:
1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

B. Bentuk-Bentuk Kealpaan
Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas:
1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta
akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak
akan terjadi
2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari
kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat
menduga sebelumnya.

Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya
lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena
tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang
sangat berat. Van Hattum mengatakan, bahwa kealpaan yang disadari itu
adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan
(yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis. Jadi
perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian
yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan
feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar,
harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu
berbuat.
Oleh Vos (Bambang Poerrnomo 1992: 174) dinyatakan bahwa culpa
mempunyai dua elemen yaitu:
a. Tidak mengadakan penduga-duga terhadap akibat bagi si pembuat
(voorzien-baarheid);
b. Tidak mengadakan penghati-hati mengenai apa yang diperbuat atau
tidak diperbuat (onvoorzictigheid).
Mengenai isi kealpaan yang pertama bahwa mengadakan penduga-
duga terhadap akibat, berarti disini harus diletakkan adanya hubungan
antara batin terdakwa dengan akibat yang timbul, bahkan perlu dicari
hubungan kasual antara perbuatan terdakwa dengan akibat yang dilarang.
Mengenai kurang/tidak mengadakan penghati-hati apa yang
diperbuat itu, oleh Vos (Bambang Poenormo 1992: 175), diadakan
perincian adanya dua hal yang diperlukan yaitu:
a. Pembuat tidak berbuat secara hati-hati menurut yang semestinya
(tukang cat membersihkan pakaian kerja dengan bensin dekat
dapur);
b. Pembuat telah berbuar dengan hati-hati, akan tetapi perbuatanya
pada pokoknya tidak boleh dilakukan (seseorang membuat mercon
dengan sangat hati-hati, namun toh terjadi juga kebakaran).
Timbul pertanyaan sampai dimana adanya kurang berhati-hati
sehingga si pelaku harus dihukum. Hal kesengajaan tidak menimbulkan
pertanyaan ini karena kesengajaan adalah berupa suatu keadaan batin
yang tegas dari seorang pelaku. Lain halnya dengan kurang berhati-hati
yang sifatnya bertingkat-tingkat. Ada orang yang dalam melakukan
sesuatu pekerjaan sangat berhati-hati, ada juga yang tidak berhati-hati,
ada juag kurang berhati-hati, sehingga menjadi serampangang atau
ugal-ugalan.
Menurut Memorie van Toelichting atau risalah penjelasan Undang-
Undang, culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan, Rusli Effendy
(1989: 85) Jurisprudensi menginterprestasikan culpa sebagaikurang
mengambil tindakan pencegahan atau kurang hati.

G. TIPIKOR
1. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus yang kemudian muncul
dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie
dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi (Dr. Andi
Hamzah, S.H., 1985: 143). Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk (John M.
Echols dan Hassan Shadily, 1977: 149), sedangkan A.I.N Kramer ST.
menerjemahkannya sebagai busuk, rusak, atau dapat disuapi (A.I.N. Kramer ST.
1997: 62). Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan
buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.
Korupsi dikenal pembuktian terbalik terbatas yaitu orang yang diteriksa harta
bendanya oleh pengadilan tinggi wajib memberikan keterangan secukupnya yaitu
mengenai harta benda sendiri dan harta benda orang lain yang dipandang erat
hubungannnya menurut ketentuan pengadilan tinggi. Jika membicarakan tentang
korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi
menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi
atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan di
bawah kekuasaan jabatannya.
Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya
istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas. Yaitu penyelewengan atau penggelapan
(uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang
lain.
Sedangkan menurut undang-undang korupsi diartikan :
1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung
merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau
perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung
dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3);
3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210,
387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
2. Sejarah UU Tipikor Di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana
korupsi di Indonesia sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1. Undang-undang nomor 24 tahun 1960 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
2. Undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
3. Pertanggung Jawaban Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana
korupsi yaitu:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang


tentang kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.


4. Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Pada Perkara Tindak Pidana
Korupsi

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-


undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan
hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

1. Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi

a. Pidana Mati, Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun
1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam
keadaan tertentu
b. Pidana Penjara

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling


singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi
setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi
atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para
saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi
setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal
29, pasal 35, dan pasal 36.

c. Pidana Tambahan

Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak


berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi.
Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu
paling lama 1 (satu) tahun.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu
yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terpidana.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama
dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana
dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi
ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan
undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang
nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan
dalam putusan pengadilan.
2. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama Korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan


ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini
melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31
tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai
berikut:

Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas


nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana
dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama.
Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus,
kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang
lain.
Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi
menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula
memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding
pengadilan.
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi,
maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat
panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat
tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.

Anda mungkin juga menyukai