HUKUM PIDANA
KELOMPOK 4
ANGGOTA KELOMPOK:
D3 PAJAK 1-08
HUKUM PIDANA
A. PENGERTIAN DELIK
Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam Wetboek Van
Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa Jerman disebut delict,
dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut :
Utrecht memakai istilah peristiwa pidana karena istilah peristiwa itu meliputi suatu
perbuatan (handelen atau doen) atau suatu melalaikan (verzuin atau nalaten) maupun
akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu), dan
peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum, yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan
yang membawa akibat yang diatur oleh hukum (Utrecht, 1994 : 251).
Andi Zainal Abidin Farid (1978 : 114) menggunakan istilah peristiwa pidana
dengan rumusan peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang diancam pidana,
melawan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu.
Demikian pula Rusli Effendy (1989 : 54) memakai istilah peristiwa pidana yang
menyatakan bahwa peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan sebagai kata
majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lain, sebab kalau dipakai perkataan
peristiwa saja, maka hal ini dapat mempunyai arti yang lain.
Menurut Moeljatno (1993 : 54) memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan
yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai
ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan
tersebut.
Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing
memberiikan Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik adalah feit yang
dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van Hammel mendefiniskan
delik sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain, sedangkan
Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya
tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (Leden Marpaung, 2005 : 8).
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP maka seseorang dapat dihukum bila memenuhi
hal-hal sebagai berikut:
Dengan kata lain tidak seorangpun dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu
hukuman berdasarkan Undang-undang terhadap perbuatan itu.
Pengertian dari delik menurut Achmad Ali (2002:251) adalah: Pengertian umum
tentang semua perbuatan yang melanggar hukum ataupun Undang-Undang dengan
tidak membedakan apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat ataupun hukum publik
termasuk hukum pidana.
-Kejahatan
meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi
tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan
dan patut dipidana, istilahnya disebutrechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam
buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum
(pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan
cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).
Delik Komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan (verbod)
undang-undang. Delik ini bersifat aktif. Contoh: Perbuatan mencuri, yang dilarang adalah
mencuri atau mengambil barang orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal 362
KUHP.
Delik Omisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan (gebod)
menurut undang-undang. Hal ini terjadi karena dakwa melakukan kelalaian terhadap apa
yang harus dilakukan dan bersifat diam. Contoh : Suatu keadaan di mana seseorang
mengetahui ada tindak kejahatan tetapi tidak melaporkan ke pihak berwajib, maka
dikenakan pasal 164 KUHP.
Delik commisionis per ommisionen commissa adalah delik yang berupa
pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara
tidak berbuat. Contoh : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air
susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan
kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
1. Delik Formil
Menurut Drs. P.A.F. Lamintang, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia
Delik formil ialah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan
yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas
perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan
selesainya tindak pidana, jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan,
tindak pidana itu selesai pula tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari
perbuatan.
Adapun macam-macam delik yang terdapat di KUHP, yang termasuk dalam Delik
Formil, sebagai berikut :
Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan
Pasal 209 KUHP tentang Penyuapan
Pasal 242 KUHP tentang Sumpah Palsu
Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Pada pencurian misalnya, asal sudah dipenuhi unsur dalam pasal 362 KUHP,
tindak pidana sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian
itu merasa rugi atau tidak, merasa terancam kehidupannya atau tidak.
2. Delik Materil
Menurut Drs. P.A.F. Lamintang,
Delik materil ialah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya
akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang
Disebut materil maksudnya ialah yang menjadi pokok larangan tindak pidana ialah
pada menimbulkan akibat tertentu, disebut dengan akibat yang dilarang atau akibat
konstitutif. Titik beratnya larangan adalah pada menimbulkan akibat, sedangkan
wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan.
Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, maka untuk selesainya
tindak pidana bukan tergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi bergantung
pada apakah dari wujud perbuatan itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum.
Adapun macam-macam delik yang terdapat di KUHP, yang termasuk dalam Delik
Materil, sebagai berikut :
1) Pasal 187 KUHP tentang Pembakaran dan sebagainya,
2) Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan
3) Pasal 378 KUHP tentang Penipuan
Harus timbul akibat-akibat seperti kebakaran, matinya si korban, pemberian suatu
barang.
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang
merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus
ada aduan dari pihak yang dirugikan. Selain itu, yang dimaksud dengan delik aduan
(klach delict) merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada
atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang
dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini membicarakan
mengenai kepentingan korban.
Dalam ilmu hukum pidana delik aduan ini ada dua macam, yaitu :
1. Delik Aduan absolute (absolute klacht delict)
2. Delik aduan relative (relatieve klacht delict)
2) Delik Biasa
Suatu perkara tindak pidana yang dapat di proses tanpa adanya persetujuan atau
laporan dari pihak yang di rugikan (korban). Didalam delik biasa walaupun korban telah
berdamai dengan tersangka, proses hukum tidak dapat di hentikan. Proses Hukumnya
tetap berjalan sampai di pengadilan.
Seperti Pasal 338 dan 362 KUHP apa bila tindak pidana tersebut terjerat pasal
338 atau 362 KUHP maka proses hukumnya harus tetap berjalan
Contoh: Penganiayaan, pembunuhan, perampokan.
I. Kesengajaan
A. Pengertian Kesengajaan
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesengajaan dalam hukum
pidana adalah merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku
mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang
terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa). Karenanya ancaman pidana pada
suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya kesenggajaan daripada dengan
kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan
kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan
sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan (pasal 372
KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.
Lalu apa itu yang disebut dengan kesenggajaan? KUHP kita tidak memberi
definisi mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam
pasal 18 dengan tegas ditentukan: Barang siapa melakukan perbuatan dengan
mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan
sengaja.
B. Teori-Teori Kesengajaan
D. Sifat Kesengajaan
E. Macam Kesengajaan
F. Jenis Kesengajaan
B. Bentuk-Bentuk Kealpaan
Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas:
1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta
akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak
akan terjadi
2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari
kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat
menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya
lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena
tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang
sangat berat. Van Hattum mengatakan, bahwa kealpaan yang disadari itu
adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan
(yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis. Jadi
perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian
yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan
feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar,
harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu
berbuat.
Oleh Vos (Bambang Poerrnomo 1992: 174) dinyatakan bahwa culpa
mempunyai dua elemen yaitu:
a. Tidak mengadakan penduga-duga terhadap akibat bagi si pembuat
(voorzien-baarheid);
b. Tidak mengadakan penghati-hati mengenai apa yang diperbuat atau
tidak diperbuat (onvoorzictigheid).
Mengenai isi kealpaan yang pertama bahwa mengadakan penduga-
duga terhadap akibat, berarti disini harus diletakkan adanya hubungan
antara batin terdakwa dengan akibat yang timbul, bahkan perlu dicari
hubungan kasual antara perbuatan terdakwa dengan akibat yang dilarang.
Mengenai kurang/tidak mengadakan penghati-hati apa yang
diperbuat itu, oleh Vos (Bambang Poenormo 1992: 175), diadakan
perincian adanya dua hal yang diperlukan yaitu:
a. Pembuat tidak berbuat secara hati-hati menurut yang semestinya
(tukang cat membersihkan pakaian kerja dengan bensin dekat
dapur);
b. Pembuat telah berbuar dengan hati-hati, akan tetapi perbuatanya
pada pokoknya tidak boleh dilakukan (seseorang membuat mercon
dengan sangat hati-hati, namun toh terjadi juga kebakaran).
Timbul pertanyaan sampai dimana adanya kurang berhati-hati
sehingga si pelaku harus dihukum. Hal kesengajaan tidak menimbulkan
pertanyaan ini karena kesengajaan adalah berupa suatu keadaan batin
yang tegas dari seorang pelaku. Lain halnya dengan kurang berhati-hati
yang sifatnya bertingkat-tingkat. Ada orang yang dalam melakukan
sesuatu pekerjaan sangat berhati-hati, ada juga yang tidak berhati-hati,
ada juag kurang berhati-hati, sehingga menjadi serampangang atau
ugal-ugalan.
Menurut Memorie van Toelichting atau risalah penjelasan Undang-
Undang, culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan, Rusli Effendy
(1989: 85) Jurisprudensi menginterprestasikan culpa sebagaikurang
mengambil tindakan pencegahan atau kurang hati.
G. TIPIKOR
1. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus yang kemudian muncul
dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie
dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi (Dr. Andi
Hamzah, S.H., 1985: 143). Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk (John M.
Echols dan Hassan Shadily, 1977: 149), sedangkan A.I.N Kramer ST.
menerjemahkannya sebagai busuk, rusak, atau dapat disuapi (A.I.N. Kramer ST.
1997: 62). Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan
buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.
Korupsi dikenal pembuktian terbalik terbatas yaitu orang yang diteriksa harta
bendanya oleh pengadilan tinggi wajib memberikan keterangan secukupnya yaitu
mengenai harta benda sendiri dan harta benda orang lain yang dipandang erat
hubungannnya menurut ketentuan pengadilan tinggi. Jika membicarakan tentang
korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi
menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi
atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan di
bawah kekuasaan jabatannya.
Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya
istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas. Yaitu penyelewengan atau penggelapan
(uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang
lain.
Sedangkan menurut undang-undang korupsi diartikan :
1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung
merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau
perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung
dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3);
3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210,
387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
2. Sejarah UU Tipikor Di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana
korupsi di Indonesia sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1. Undang-undang nomor 24 tahun 1960 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
2. Undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
3. Pertanggung Jawaban Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana
korupsi yaitu:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. Pidana Mati, Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun
1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam
keadaan tertentu
b. Pidana Penjara
c. Pidana Tambahan