Anda di halaman 1dari 11

Hukum merupakan suatu kaidah atau aturan-aturan terkait tingkah laku manusia dalam kehidupan

masyarakat. Manusia dalam kehidupannya selalu terikat dengan hukum, baik dari lahir sampai
meninggal. Setiap tingkah laku itu telah ada aturan yang menentukan batas-batas mengenai mana yang
boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Berlakunya hukum ini tentunya diharapkan ada
kesadaran hukum dari masyarakat agar mampu menciptakan keadaan yang aman, tentram dan damai
sehingga kesetaraan terkait hak hiudp manusia mamp terpelihara karena dilindungi oleh hukum.

Peraturan yang berlaku dalam suatu masyarakay tentunya berbeda-beda di setiap negara baik dari segi
sistem hukumnya mauoun aturan yang telah dibuat dan telah diberlakukan secara sah. Indonesia sendiri
telah mengalami kisah sejarah yang panjang terkhususnya terkait hukum telah menganut sistem hukum
Eropa Kontinental dan telah mengkodifikasi hukum dari Belanda terkhususnya bidang hukum pidana.

Dalam pengkajian hukum pidana tentunya telah dikenal istilah delict, yang dimana delict merupakan
perbuatan pidana atau delict ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi pidana. Oleh sebab itu dalam pemberlakuan hukum
pidana di Indonesia telah ditentukan hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana
dari tingkah laku masyarakat yang telah diatur dalam KUHPidana dan Undang-Undang terkait lainnya.

Perbuatan pidana atau delict ialah perbuatan yang ilarang oleh aturan hukum dan barangsiapa yag
melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi pidana. Hukum pidana Belanda memakai istila strafbaar
feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Selain itu perbuatan pidana
dapat dikatakan sebagai perbuatan yang oelh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, perlu
diingat bahwa larangan ditujukan pada orang yang menimbulkan perbuatan pidana itu.

Menurut Van Hammel, delict adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.
Sedangkan menurut Prof. Simons, delict adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan, atas
tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang
dapat dihukum.

Berdasarkan Prof. Simons maka delict memuat beberapa unsur yaitu:

1. Suatu perbuatan manusia.

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang.

3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP maka seseorang dapat dihukum bila memenuhi hal-hal sebagai
berikut:

1. Ada suatu norma pidana tertentu.

2. Norma pidana tersebut berdasarkan Undang-Undang.

3. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan itu terjadi.
Dengan kata lain tidak seorangpun dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan
Undang-Undang terhadap perbuatan itu. Menurut Moeljatno, kata “perbuatan” dalam “perbuatan
pidana” mempunyai arti yang abstrak yaitu merupakan suatu pengertian yang menunjuk pada dua
kejadian yang kongkrit yakni adanya kejadian tertentu dan adanya orang yang berbuat sehingga
menimbulkan kejadian.

Unsur-Unsur Delict

Berdasarkan analisa, delict terdiri dari dua unsur pokok, yaitu:

1. Unsur pokok subyektif

Asas poko hukum pidana “Tak ada hukuman kalau tak ada kesalahan” kesalahan yang dimaksud disini
adalah sengaja dan kealpaan.

2. Unsur pokok obyektif

Perbuatan manusia yang berupa act dan omission. Act adalah perbuatan aktif atau perbuatan positif.
Sedangkan omission yaitu perbuatan tidak aktif atau perbuatan negatif. Dengan kata lain adalah
mendiamkan atau membiarkan.

a. Akibat perbuatan manusia

Menghilangkan, merusak, membahayakan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum.


Misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan lain sebagainya.

Keadaan-keadaan yaitu keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan keadaan setelah perbuatan
melawan hukum.

b. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Semua unsur delict tersebut merupakan satu kesatuan dalam satu delict. Satu unsur saja tidak ada atau
tidak didukung bukti, akan menyebabkan tersangka/terdakwa dapat dihukum. Penyelidik, penuntut
umum harus dengan cermat meneliti tetnang adanya unsur-unsur delict tersebut.

C. Macam-macam delict

Penggolongan jenis-jenis delict terdapat di dalam KUHP dan di luar KUHP. Jenis-jenis delict dalam KUHP
terdiri atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) atau disebut delict hukum
(rechtsdelicten) dan delcit Undang-Undang (wetdelicten).

Suatu perbuatan merupakan delcit hukum (kejahatan) apabila perbuatan itu bertentangan dengan asas-
asas hukum yang ada dalam kesadatan hukum dari rakyat, terlepas dari apakah asas-asas hukum
tersebut dicantumkan atau tidak dalam Undang-Undang Pidana. Rechtdelictum adalah perbuatan dalam
keinsyafan batin manusia yang dirasakan sebagai perbuatan tidak adil menurut Undang-Undang dan
perbuatan tidak adil menurut asas-asas hukum yang tidak dicantumkan secara tegas dalam Undang-
Undang, tetapi masyarakt memandangnya sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan bertentangan
dengan hukum masyarakat yang bersangkutan, maka disitu merupakan rechtdelicten sebagai suatu
kejahatan.

Westdelicten adalah perbuatan yang menurut keinsyafan batin manusia tidak dirasakan sebagai
perbuatan tidak adil, tetapi baru dirasakan sebagai perbuatan terlarang karena Undang-Undang
mengancam dengan pidana. Jadi, delict Undang-Undang merupakan perbuatan yang bertentangan
dengan apa yang secara tegas dicantumkan dalam Undang-Undang Pidana, terlepas dari apakah
perbuatan tersebut bertentangan atau tidak dengan kesadaran hukum rakyat.

Berikut adalah macam-macam delict:

1. Delict kejahatan dan pelanggaran

Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahtan (misdrijven) dan pelanggaran
(overtredingen). Pembagian tersebut didasarkan atas perbedaan prinsipil. Pembagian kejahatan disusun
dalam Buku II KUHP dan pelanggaran disusun dalam buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan
penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas.

Kejahatan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan


pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh
penguasa negara. Ada tiga macam kejahatan yang dikenal dalam KUHP yakni:

a. Kejahatan terhadap Negara. Sebagai contohnya adalah Penyerangan terhadap Presiden atau Wakil
Presiden yang terdapat pada pasal 104 KUHP; Penganiyaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden pada
pasal 131 KUHP; Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 134 KUHP.

b. Kejahatan terhadap harta benda misalnya pencurian pada pasal 362 s/d 367 KUHP, pemerasan pada
pasal 368 s/d 371 KUHP, penipuan pada pasal 406 s/d 412 KUHP. Menurut Undang-Undang pencurian
itu dibedakan atas lima macam pencurian yaitu: (a) pencurian biasa pada pasal 362 KUHP, (b) pencurian
dengan pemberatan pada pasal 363 KUHP, (c) pencurian dengan kekerasan pada pasal 365 KUHP, (d)
pencurian ringan pada pasal 364 KUHP, (e) pencurian dalam kalangan keluarga pada pasal 367 KUHP.

c. Kejahatan terhadap badan dan nyawa orang semisal penganiyaan dan pembunuhan.

Pelanggaran yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada
keterangan yang menentukan demikian. Pelanggaran dibagi atas tiga macam yakni: Pelanggaran tentang
keamanan umum bagi orang, barang dan kesehatan umum. Misalnya, kenakalan yang artinya semua
perbuatan orang bertentangan dengan ketertiban umum ditujukan pada orang atau binatang atau
barang yang dapat menimbulkan bahaywa atau kerugian atau kerusuhan yang tidak dapat dikenakan
dalam KUHP.

Perbedaan kejahatan dan pelanggaran:

a. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.


b. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan
disitu, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah.

c. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54).

d. Tenggang kadaluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggatan
pidana satu tahun, sedangkan kejahatan dua tahun.

2. Delict dolus dan culpa

Delict dolus ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja.
Contohnya terdapat pada pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Selain pada pasal 338 338 KUHP, terdapat pula contoh Delict Dolus lainnya yaitu pasal 354 KUHP dan
pasal 187 KUHP.

Delict culpa ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan
(kelalaian). Contoh delict culpa yaitu pasal 359 KUHP yang berbunyi “Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun”.

Culpa dibedakan menjadi culpa dengan kesadaran dan culpa tanpa kesadaran. Culpa kesadaran terjadi
ketika si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbul suatu akibat, tetapi walaupun ia
berusaha untuk mencegah, agar tempat timbul masalah. Sedangkan culpa tanpa kesadaran terjadi
ketika si pelaku tidak menduga akan timbul usatu akibat, yang dilarang dan diancam dengan hukuman
oleh Undang-Undang, sedang ia seharusnya memperhitunhkan akan timbulnya akibat.

Tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mampu bertanggungjawab selalu dianggap
dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan dan kealpaan adalah bentuk-bentuk
kesalahan.

Tidak adanya salah satu dari keduanya tersebut berarti tidak ada kesalahan.

3. Delict commissionis dan Delict Ommisionis

Delict Commisionis adalah perbuatan melakukan sesuatu yang dilarang oleh aturan-aturan pidana,
misalnya mencuri (pasal 362), menggelapkan (pasal 372), menipu (pasal 378). Delict Commisionis pada
umumnya terjadi di tempat dan waktu pembuat (dader) mewujudkan segala unsur perbuatan dan unsur
pertanggungjawaban pidana.

Delict Ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan pasif yakni, tidak melakukan sesuatu yang
diperintahkan. Contoh delict ommisionis terdapat dalam BAB V pasal 164 KUHP tentang kejahatan
terhadap ketertiban umum.

4. Delict formil dan delict materiil


Delict formil ialah rumusan Undang-Undang yang menitikberatkan kelakukan yang dilarang dan diancam
oleh Undang-Undang, seperti pasal 362 KUHP tentang pencurian.\

Delict materiil ialah rumusan Undang-Undang yang menitik beratkan akibat yang dirangan dan diancam
dengan pidana oleh Undang-Undang, seperti pasal 35 KUHP tentang penganiyaan. Kadang-kadang suatu
delict diragukan sebagai delict formil ataukah materiil, seperti tersebut dalam pasal 279 KUHP tentang
larangan bigami.

5. Delict biasa dan delict berkualifikasi

Delict biasa yaitu delict yang mempunyai bentuk poko yang disertai unsur memberatkan atau juga
mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang meringankan. Contohnya pasal 341 lebih ringan
daripada pasal 342, pasa; 338 lebih ringan daripada pasal 340 dan 339, pasal 308 lebih ringan daripada
pasal 305 dan 306.

Delict berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur bentuk poko yang disertai satu atu
lebih unsur yang memberatkan. Misalnya pencurian dengan membongkar, penganiyaan yang
mengakibatkan kematian, pembunuhan berencana. Dalam pasal 365 terhadap pasal 362, pasal 372
terhadap pasal 372.

6. Delict murni atau delcit aduan

Delict murni yaitu Delict yang tanpa permintaan menuntut. Negara akan segera bertindak untuk
melakukan pemeriksaan. Berdasarkan pasal 189 KUHAP setiap orang yang melihat, mengalami,
mengetahui, menyaksiakn, menjadi korban PNS dalam melakukan tugasnya berhak melaporkan.

Delict aduan adalah delict yang proses penuntutannya berdasarkan pengaduan korban. Delict aduan
dibagi menjadi dua yaitu yang pertama murni dan yang kedua relatif.

7. Delict selesai dan delict berlanjut

Delict selesai yaitu delict yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat atau tidak berbuat dan delict telah
selesai ketika dilakukan, seperti kejahatan tentang penghasutan, pembunuhan, pembakaran ataupun
pasal 330 KUHP yang berbunyi:

a. Barang siapa dengan sengaja menarik orang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut
Undang-Undang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

b. Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana
anaknya belum berumur 12 tahun, dijatuhkan hukuman pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Berdasarkan bunyi ayat (2) pasal ini, maka unsur kekerasan atau ancaman kekerasan merupakan hal
yang memperberat pidana. Jadi, Delict aslinya yang tercantum di ayat satu tidak perlu ada unsur
kekerasan atau ancaman kekerasan.
Delict berlanjut yaitu Delict yang terdiri atas melangsungkan atau membiarkan suatu keadaan yang
terlarang, walaupun keadaan itu pada mulanya ditimbulkan untuk sekali perbuatan. Contohnya,
terdapat dalam pasal 221 tentang menyembunyikan orang jahat, pasal 333 tentang meneruskan
kemerdekaan orang, pasal 250 tentang mempunyai persediaan bahan untuk memalsukan mata uang.

D. Kausalitas (sebab akibat)

Secara etimologi, kausalitas atau causalitied berasal dari kata causa yang berarti sebab. Kata kausa
dalam Kamus Hukum diartikan dengan alasan atau dasar hukum; suatu sebab yang dapat menimbulkan
suatu kejadian. Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kausalitas merupakan
suatu yang menyatakan tentang hubungan sebab dan akibat. Dalam ilmu hukum pidana teori kausalitas
dimaksudkan untuk menentukan hubungan ilmu hukum pidana teori kausalitas dimaksudkan untuk
menentukan hubungan objektif antara perbuatan manusia dengan akibat yang tidak dikehendaki
Undang-Undang. Penentuan sebab akibat dalam kasus-kasus pidana menjadi persoalan yang sulit untuk
dipecahlan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri tidak petunjuk tentang hubungan sebab dan
akibat yang dapat menimbulkan delict. Meskipun dalam beberapa pasal KUHP dijelaskan bahwa dalam
delict-delict tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu guna menjatuhkan pidana terhadap
pembuatnya.

Sebelum membahas lebih jauh tentang teori kausalitas, pada bagian ini diperlukan penjelasan tentang
tindak pidana berdasarkan cara merumuskannya. Tindak pidana dibagi menjadi dua, yaitu tindak pidana
formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieell delicten). Tindak pidana formil adalah
tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan suatu tingkah laku tertentu. Artinya dalam
rumusan itu secara tegas disebutkan perbuatan tertentu yang menjado pokok larangan. Dalam
kaitannya dengan kasus pidana, pabila perbuatan tersebut selesai dilakukan maka dapat disebut sebagai
tindak pidana, tanpa memandang akibat yang ditimbulkan. Misalnya tindak pidana pencurian Pasal 362
KUHP. Apabila pencurian telah selesai dilakukan maka dapat disebut sebagai tindak pidana.

Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang mentitik beratkan pada karangan timbulnya
akibat tertentu atau akibat konstitutif. Meskipun dalam rumusan tindak pidana disebutkan adanya
unsur tingkah laku tertentu. Untuk menyelesaikan tindak pidana tidak tergantung pada selesainya
perbuatan, akan tetapi tergantung pada akibat terlarang yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Misalnya menghilangkan nyawa pada kasus pembunuhan Pasal 338 KUHP. Perbuatan menghilangkan
nyawa seperti menusuk dengan benda tajam tidak bisa menimbulkan tindak pidana pembunuhan jika
korbannya tidak meninggal dunia. Tindakan ini dimasukkan dalam kategori percobaan pembunuhan
Pasal 338 KUHP. Untuk menimbulkan tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan 3 syarat yang
tak terpisahkan, yaitu terwujudnya tingkah laku, terwujudnya akibat, dan adanya hubungan kausalitas
diantara keduanya.

Dalam menentukan adanya sebab yang benar-benar menimbulkan suatu akibat tidaklah mudah. Hal ii
disebabkan oleh kompleksitas faktor-faktor yang berkaitan dengan peristiwa yang dihadapi. Contohnya,
seorang laki-laki mengendarai sepeda motor mendadak menyebrang tanpa memberikan isyarat lampu
dan dari arah belakang melaju kencang sebuah mini bus, spoir mini bus yang kaget membunyikan
klakson dan menginjak rem sekuat tenaga sehingga tabrakan pun tidak sampai terjadi. Namu, laki-laki
tersebut tiba-tiba jatuh dan segera dilarikan ke rumah sakit. Beberapa jam kemudian, laki-laki ini
meninggal dunia karena serangan jantung. Pihak kepolisian menyatakan bahwa kecelakaan yang terjadi
akibat pengendara sepeda motor yang tidak mematuhi peraturan dan sopir minibus dibebaskan.
Namun ahli waris tidak terima terhadap penghentian penyelidikian dan mengajukan upaya pra peradilan
ke Pengadilan Negeri agar menetapkan bahwa penghentian penyelidikan tidak sah dan memerintahkan
kepada penyidik untuk melanjutkan perkara itu. Hali ini tentunya tidak mudah bagi pengadilan negeri
dan penyidik dalam menilai kasus ini.

Berdasarkan ilustrasi di atas, disinilah letak urgensi ajaran kausalitas, yaitu ajaran yang mencari dan
menetukan ada atau tidaknya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat yang timbul. Selain itu,
ajaran ini juga dapat menentukan hubungan antara suatu perbuatan dengan akibat dalam tindak pidana
yang dikualifisir oleh unsur akibatnya, yaitu suatu tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten)
yang ditambah dengan unsur khusus. Unsur ini merupakan akibat dari perbuatan, baik yang bersifat
meringankan atau memberatkan. Misalnya pada tindak pidana penganiayaan sebagai bentuk pokok,
pasal 351 ayat (1) KUHP. Hukumannya akan menjadi lebih berat jika penganiayaan itu menimbulkan luka
berat (pasal 351 ayat (2)) atau kematian (pasal 3510 ayat (3)) yang menjadi unsur khusus.

Usaha menentukan hubungan sebab akibat dalam suatu kasus pidana terdapat beberapa teori yang
dapat digunakan. Meskipun demikian, tetap harus berpedoman pada falsafah Poset hoc no propter hic
yang menyatakan bahwa suatu peristiwa yang terjadi setelah peristiwa lain belum tentu merupakan
akibat dari peristiwa yang mendahuluinya.

Ada beberapa ajaran kausalitas yang dikelompokkan menjadi tiga teori besar:

1. Teori conditio sine qua non

Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dan mantan presiden
Reichsgericht (Mahkamah Agung) Jerman. Von Buri mengatakan bahwa tiap-tiap syarat atau semua
faktor yang turut serta atau bersama-sama menjadi penyebab suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan
dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap causa (akibat). Tiap-tiap faktor
memiliki nilai yang sama dan sederajat tidak membedakan faktor syarat dan faktor penyebab. Jika salah
satu syarat tidak ada maka akan menimbulkan akibat yang lain pula. Teori ini juga disebut dengan
equivalent theori karena setiap syarat nilainya sama dan bedingung theori sebab bagiannya tidak ada
perbedaan antara syarat dan penyebab. Ajaran ini berimplikasi pada perluasan pertanggungjawaban
dalam perbuatan pidana.

Seperti halnya teori-teori yang lain, teori Von Buri ini memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri.
Kelemahan ajaran ini adalah tidak dibedakannya faktor syarat dan faktor penyebab. Dalam ilustrasi
kasus di atas, si pengemudi mini bus harus diminta pertanggungjawaban atas kematian pengendara
sepeda motor. Padahal bunyi klakson dan suara rem merupakan faktor syarat bukan faktor penyebab.
Hal ini dipandang tidak adil sebab tidak ada unsur kesengajaan atau kealpaan pada dirinya. Artinya teori
ini bertentangan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonden schuld). Sedangkan
kelebihan dari teori ini adalah mudah digunakan dan diterapkan tanpa menimbulkan perdebatan dan
pemikiran mendalam untuk mencari faktor penyebab yang sebenarnya.

Penganut teori Von Buri adalah Van Hammel yang mengatakan bahwa teori Conditio Sine Qua Non satu-
satunya teori logis yang dapat dipertahankan. Namun, penggunaannya dalam hukum pidana harus
disertai oleh teori kesalahan. Teori menyatakan tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah
satu faktr diantara sekian banyak faktor dalam suatu peristiwa yang menimbulkan akibat terlarang harus
bertanggungjawab atas akibat itu, melainkan apabila perbuatan dirinya terdapat unsur kesalahan baik
kesengajaan atau kealpaan. Pendapat Van Hammel ini dianggap wajar sebab ia adalah pengikut aliran
monistis yang tidak memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum
pidana.

Kritik dan keberatan atas teori ini kemudian bermunculan. Misalnya ada orang yang mati ditembak
orang lain. Menurtu teori ini, penjual senhata api, perusahaan senjata api juga bertanggungjawab atas
kematian prang tersebut. Menurut Van Bammelan teori ini terlalu luas jangkauannya. Prof. Moelyatno
tidak bisa menerima teori ini meskipun secara logis adalah benar. Teroi ini bertentangan dengan
pandangan umum dalam pergaulan masyatakat, yang justru membedakan antara syarat dan penyebab.
Menurutnya, perbuatan seorang penjual senjata api tidak dapat diterima sebagai penyebab
terbunuhnya seseorang yang disamakan dengan perbuatan pembinhnya. Beliau membedakan
perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Ajaran tentang kesalahan digunakan apabila
terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan pidana. Padahal hubungan kausalitas bertujuan
menentukan apakah terdakwa melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak.

2. Teori Individualisasi

Teori ini berusaha mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada
faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan. Dengan kata lain peristiwa dan akibatnya
benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori ini tidak semua faktor merupakan
penyebab. Dan faktor penyebab itu sendiri adalah faktor yang sangat dominan atau memiliki peran
terkuat terhadap timbulnya suatu akibat. Pendukun teori ini adalah Birkmayer dan Karl Binding.

Birkmayer mengemukakan teori de meest weerkzame factor pada tahun 1885 yang menyatakan bahwa
dari serentetan syarat yang tidak dapat dihilangkan, tidak semua dapat digunakan untuk menimbulkan
suatu akibat, hanya faktor yang dominan atau kuat pengaruhnya lah yang dapat dijadikan penyebab
timbulnya suatu akibat. Kesuliatannya adalah bagaimana menetukan faktor yang dominan dalam suatu
perkara. Contohnya, faktor seranga jantung yang menjadi faktor dominan yang menyebabkan seseorang
meninggal dunia dalam ilustrasi di atas. Dan pengemudi mini busa yang menyembunyikan klakson tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Karl Binding mengemukakan teori ubergewischts theorie
yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor terpenting dan sesuai dengan akibat yang
timbul. Dalam suatu peristiwa pidana, akibat terjadi karena fakotr yang menyebabkan timbulnya akibat
lebih dominan (faktor positif) daripada faktor yang meniadakan akibat (faktor negatif). Satu-satunya
faktor sebab adalah faktor syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor
positif tadi.
Selain dua tokoh di atas, terdapat tokoh lain yang mengemukakan teori individualisir seperti, Teori die
art des werden yang dikemukakan oleh Kohler, yang menyatakan bahwa sebab adalah syarat yang
menurut sifatnya menimbulkan akibat. Ajaran ini merupakan variasi dari ajara Birkmeyer. Syarat-syrat
yang menimbulkan akibat tersebut jika memiliki nilai yang hampir sama akan sulit untuk menetukan
syarat mana yang menimbulkan akibat. Kemudian teori Letze Bedingung yang dikemukakan oleh
Ortman, menyatakan bahwa faktor yang terakhir yang mematahkan keseimbanganlah yang merupakan
factor, atau menggunakan istilah Sofyan Sastrawidjaja bahwa sebab adalah syarat penghabisan yang
menghilangkan kesimbangan antara syarat positif dengan syarat negative, sehingga akhirnya syarat
positiflah yang menentukan.

Kelemahan dari teori ini adalah penentuan faktor yang paling kuat pengaruhnya jika semua faktor sama-
sama kuat untuk meimbulkan akibat atau jika sifat dan corak pengaruh tidak sama dalam rangkaian
faktor tidak sama. Kelemahan teori ini juga dapat dipahami dari ilustrasi berikut: A berniat membakar
gudang orang lain, lalu ditempatkannya kaca pembesar di atas tumpukan jerami sehingga kalau
matahari mengenai kaca dapat menimbulkan percikan api yang memicu kebakaran. Berdasarkan teori
ini maka A lupt dari jerat hukum pidana sebab faktor dominan terakhir adalah sinar matahari yang
mengenai kaca pembesar. Karena persoalan ini kemudian munculah teori generalisasi.

3. Teori Generalisasi

Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau
berhubungan dengan timbulnya akibat dilakukan dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang
secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suau akibat.
Pencarian faktor penyebab tidak berdasarkan faktor setelah peristiwa terjadi beserta kaibatnya, tetapi
pada pengalaman umum yang menurut akal dan kewajaran manusia. Persoalannya kemudian
bagaimana menentukan sebab yang secara akal dan menurut pandangan umum menimbulkan akibat ?
Berdasakarkan pertanyaan ini kemudian muncul teori Adequat yaitu:

a. Teori Adequat Subjektif

Dipelopori oleh J. Von Kries yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor yang
berhubungan dengan terwujudnya delict, hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yakni yang
sebelumnya telah dapat diketiahui oleh pembuat. Contoh, si A mengetahui bahwa si B mengidap
penyakit jantung dan dapat menimbulkan kematian juka dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tiba-tiba
memukul si B dengan yang berakibat pada kematiannya, maka perbuatan mengejutkan itu dikatakan
sebagai sebab.

b. Teori Adequat objectif-nachtraglicher prognose

Teori ini dikemukakan oleh Rumelim, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah
faktor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya Delict,
setelah delict terjadi. Atau dengan kata lain causa dari suatu akibat terletak pada faktor objektif yang
dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.
c. Teori Adequate menurut Traeger

Menurut Traeger, akibat delict haruslah in het algemeen voorzienbaar artinya pada umumnya dapat
didasari sebagai sesuatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Van Bemmelen mengomentari teori ini
bahwa yang dimaksud dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hode mate van waarschijlijkheid
yang artinya, disadari sebafai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.

Apabila dilihat dari unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana aktif (tindak
pidana comissi) dan tindak pidana pasif (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak pidana
yang disebabkan oleh [erbuatan pasif. Pelaku melanggar suatu kewajiban hukum (rechtplicht) untuk
berbuat sesuatu. Misalnya barangsiapa oleh hukum diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan akan
tetapi dia tidak melakukan (pasal 304 KUHP) atau diperintahkan untuk datang tetapi tidak datang (pasal
522 KUHP).

Tindak pidana pasif sendiri masih dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, tindak pidana pasif murni
yang merupakan tindak pidana formil yang tidak tergantung pada akibat. Misalnya, pasal 522
menyatakan Barang siapa menurut undang0undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak
datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan rauts rupiah.
Tidak datangnya saksi yang dimaksud secara sempurna telah menimbulkan delict, tanpa memperhatikan
akibat yang ditimbulkan.

Kedua, tindak pidana pasif yang tidak murni yang terjadi pada tinda pidana materiil yang mementingkan
aspek akibat daripada perbuatan pidananya. Tindak pidana materiil tertentu bisasaja terjadi meskipun
dengan tidak berbuat. Misalnya seorang ibu sengaja tidak menyusui anaknya yang dapat mengakibatkan
kematia bagi anaknya tersebut (Pasal 338 KUHP).

Tindak pidana pasif sendiri masih dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, tindak pidana pasif murni
yang merupakan tindak pidana formil yang tidak tergantung pada akibat. Misalnya, pasal 522
menyatakan Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak
datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Tidak datangnya saksi yang dimaksud secara sempurna telah menimbulkan delict, tanpa memperhatikan
akibat yang ditimbulkan.

Kedua, tindak pidana pasif yang tidak murni yang terjadi pada tindak oidana materiil yang
mementingkan aspek akibat daripada perbuatan pidananya. Tindak pidana materiil tertentu bisa saja
terjadi meskipun dengan tidak berbuat. Misalnya seorang ibu sengaja tidak menyusi anaknya yang dapat
mengakibatkan kematian bagi anaknya tersebut (Pasal 338 KUHP). Persoalan yang menimbulkan akibat
? mengenai persoalan ini ada beberapa pandangan:

1. Pandangan ilmu pengetahuan alam

Tidak mungkin adanya hubungan antara akibat dengan tidak melakukan perbuatan. Pandangan ini tidak
sejalan dengan pandangan hukum yang mangatur tentang nilai. Dalam kehidupan sehari-hari banyak
kejadian pidana yang disebabkan oleh tidak berbuatnya seseorang, dimana menurut rasa keadilan
masyarakat perlu diminta pertanggungjawaban. Misal, kecelakaan kereta api yang menewaskan banyak
orang.

2. Pandangan teori berbuat lain

Anda mungkin juga menyukai