Anda di halaman 1dari 9

Nama : Mohammad Mahmud Sultony

NIM : 2019110091
Kelas : A (Pagi)

TUGAS HUKUM PIDANA KE-4

1. Unsur dari perbuatan Pidana


Tidak ada kesepakatan diantara para sarjana, tetapi terdapat dua aliran dalam menentukan
unsur-unsur dari tindakan pidana, yaitu aliran monistis dan aliran dualistis. Di mana dapat
dikatakan bahwa pokok dalam perbedaan antara kedua aliran tersebut adalah terpisahnya unsur
kesalahan (pertanggungjawaban pidana) dengan unsur-unsur lainnya. Berikut penjelasan dari
masing-masing aliran yang menentukan unsur dari tindakan pidana;
Aliran Monistis, ​adapun ahli yang berpendapat tentang unsur perbuatan pidana dengan
aliran monistis, yaitu adalah:
A. Simons, membedakan menjadikan dua unsur, yaitu unsur objektif yang meliputi perbuatan
orang, akibat, keadaan tertentu); dan unsur subjektifnya adalah orang yang mampu untuk
bertanggung jawab dan kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).
B. Van Hamel; perbuatan manusia, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, yang
memenuhi unsur tersebut patut untuk dipidana.
C. Mezger; perbuatan yang melawan hukum, dapat dipertanggungjawabkan pada seseorang dan
dapat diancam pidana.
D. Van Bemmelen berpendapat bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana sekaligus
melakukan sesuatu yang dapat disebut melawan hukum.
E. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa “tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”.

Aliran Dualistis​ terdiri dari:


A. Pompe, unsur-unsurnya adalah perbuatan dan ancaman pidana di satu sisi, perbuatan bersifat
melawan hukum di sisi lainnya lagi menghasilkan pidana.
B. Mulyatno, berpendapat bahwa unsur-unsur perbuatan pidana tersebut meliputi; perbuatan
manusia, memenuhi rumusan dalam undang-undang dan bersifat melawan hukum. Kesalahan
dan kemampuan bertanggungjawab tidak termasuk unsur perbuatan pidana melainkan melekat
pada orangnya. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan kalau tidak melakukan
perbuatan pidana, dan juga untuk memidana seseorang tidak cukup hanya dengan adanya
perbuatan pidana saja. Intinya adalah kesalahan seseorang bukanlah sifat perbuatannya, tetapi
merupakan sifat dari orang yang melakukan perbuatan tersebut.
C. Roeslan Saleh mengatakan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana adalah “perbuatan”,
sementara yang diancam dengan pidana adalah orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Dapat disimpulkan dari kedua aliran tersebut yaitu unsur-unsur perbuatan pidana bagi aliran
monistis yang merupakan unsur mutlak harus ada dan melekat dalam tindak pidana adalah
1) Unsur tingkah laku​, yaitu perbuatan seseorang yang dapat menjadi syarat seorang
tersebut melakukan tindak pidana, seperti kejahatan dan merugikan orang lain. Hal
tersebut dapat dilakukan pembelaan atau menuntut keadilan jika seseorang yang dilakukan
merasa dirugikan oleh pelaku.
2) Bersifat melawan hukum​, tingkah laku yang sudah kelewatan dan melawan hukum yang
diciptakan untuk melindungi publik. Jika melakukan hal di luar batas itu, maka orang
tersebut sudah memiliki unsur perbuatan pidana. Misalnya mengambil barang yang bukan
haknya (mencuri). Tindakan yang melawan hukum di sini adalah “mengambil barang”
tersebut karena barang tersebut bukan miliknya sendiri dan tanpa seijin pemilik barang.
3) Kesalahan​, kesalahan di sini harus ada unsur yang berasal dari akal pikiran dan “niat”
dari hati. Artinya sudah ada niat buruk sebelum melakukan tindakan sehingga unsur ini
sangat penting dalam hal mempertanggungjawabkan tindakan pidana yang dapat
diteruskan ke tingkat peradilan atas nama negara.

Sedangkan bagi pandangan aliran dualistis yang mutlak harus ada di unsur-unsur
perbuatan pidana adalah;
A. Tingkah laku manusia, dan
B. Sifat melawan hukum
Sementara untuk unsur kesalahan melekat pada orangnya, dapat dikatakan bahwa
kesalahan seseorang bukanlah sifat perbuatannya, tetapi sifat orang yang melakukan
perbuatan tersebut.

2. Unsur dari Pertanggungjawaban Pidana


Untuk dapat dipertanggungjawabkannya seseorang melakukan tindak pidana maka selain
melakukan perbuatan pidana maka pelakunya harus memiliki unsur kesalahan.
“An Act Does Not Make A Person Guilty, Unless The Mind is Guilty”.
Dengan kata lain yaitu tidak cukup jika hanya ada perbuatan pidananya saja dalam
mempertanggungjawabkan pidana, namun harus ada unsur kesalahan atau sikap batin (pikiran,
hati) yang dapat dicela, dan juga memperhatikan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Kejahatan
merupakan perbuatan atau pengabaian yang dilarang oleh hukum demi melindungi publik, dan
dibuat sehingga dapat dipidana melalui proses peradilan atas nama negara.
Pertanggungjawaban pidana diatur dalam Pasal 36 RKUHP 2012 yang menentukan,
“pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada dalam tindak
pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana
karena perbuatan itu”, dengan kata lain bahwa pertanggungjawaban berada di luar tindak pidana
dan merupakan unsur yang harus melekat pada orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Pendapat dari Sudarto menyimpulkan bahwa dalam hal pemidanaan yang terpenting dan
harus diperhatikan adalah syarat-syarat pemidanaan, yaitu; perbuatan tersebut harus mempunyai
sifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan pelaku harus mampu dalam
mempertanggungjawabkan tindakan pidana tersebut, dan tidak ada alasan pemaaf.
Intinya adalah unsur dari pertanggungajawaban pidana terdiri dari:
A. Mempunyai kesalahan (Kealpaan atau Kesengajaan)
B. Mampu untuk bertanggungjawab
C. Tidak adanya alasan pemaaf.

1) Asas berlakunya KUHPidana Indonesia dan Dasar Hukumnya


Berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang ditentukan dalam Pasal 2 s/d 9
KUHP yang terdiri dari empat asas, yaitu:
(1) Asas Teritorialitas atau Asas Kewilayahan;
Dalam perundang-undangan hukum pidana asas ini terimplementasi dalam Pasal 2 dan
Pasal 3, yang menyebutkan dalam Pasal 2 adalah:

Pasal 2
Ketentuan Pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam
wilayah Indonesia melakukan suatu tindak pidana.

Yang menjadi ukuran asas ini adalah tindak pidana yang terjadi di dalam batas wilayah
Republik Indonesia dan bukan ukuran bahwa pembuat harus berada di dalam batas wilayah
Indonesia. Oleh sebab itu ada kemungkinan bahwa seseorang melakukan tindak pidana di
Indonesia sedangkan ia berada di luar wilayah Indonesia. Berdasarkan ketentuan ini maka
wilayah berlakunya hukum pidana Indonesia mengikuti batas kedaulatan negara, yaitu dari
Sabang sampai Merauke. Sedangkan batas lautnya meliputi, perairan laut wilayah Indonesia,
beserta perairan pedalaman Indonesia.
Pasal 3 KUHP merupakan perluasan berlakunya asas teritorialitas yang memandang
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia sebagai ruang tempat berlakunya hukum pidana
(bukan memperluas wilayah).

Pasal 3
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar
wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

(2) Asas Nasionalitas Aktif atau Asas Personalitas


Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi setiap warga negara yang melakukan
tindak pidana tertentu di luar wilayah Negara atau di luar Negeri. Inti dari asas ini adalah
mempermasalahkan tentang orangnya (warga negara) tanpa mempersoalkan dimanapun ia berada.
Asas Personalitas ini tercermin di dalam Pasal 5 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

Pasal 5

(1) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapksn bagi warga negara yang di luar
Indonesia melakukan:
1. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240,
279, 450, dan 451.
2. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana
perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
(2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh
menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.

Pasal 5 ayat (1) mengisyaratkan kejahatan-kejahatan tersebut merupakan suatu tindakan


yang mengancam kepentingan-kepentingan yang khusus bagi Indonesia, tetapi kejahatan tersebut
tidak dimuat di dalam hukum pidana asing sehingga pelaku tidak dapat dipidana apabila
kejahatan-kejahatan itu dilakukan di wilayah negara tersebut. Pasal 5 ayat (2) merupakan
perluasan Sistem yang mengatur bahwa penuntutan terhadap suatu perbuatan sebagaimana
ditentukan dalam ayat (1) ke-2 juga dapat dilakukan, bila tersangka baru menjadi warga negara
Indonesia setelah melakukan perbuatan tersebut.

(3) Asas Nasionalitas Pasif atau Asas Perlindungan


Berlakunya perundang-undangan hukum pidana didasarkan pada kepentingan hukum
suatu negara yang dilanggar oleh seseorang di luar wilayah Negara atau di luar negeri. Tidak
dipersoalkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana apakah warga Negara atau orang asing. Asas
ini tercermin di dalam Pasal 4 dan Pasal 8 KUHP.
Di dalam Pasal 4 yang dilindungi adalah kepentingan nasional yang meliputi kepentingan
negara dan kepentingan keuangan negara. Sedangkan di dalam Pasal 8 dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan pelayaran Indonesia. Dengan kata lain Pasal 8 merupakan perluasan dari
Pasal 3 KUHP karena yang dapat dipidana menurut perundang-undangan hukum pidana tidak
hanya apabila tindak pidana pelayaran itu dilakukan di atas kendaraan air Indonesia yang sedang
berada di wilayah laut negara asing, tetapi termasuk juga nahkoda dan penumpang kendaraan air
yang sedang berada di luar kendaraan air itu.

(4) Asas Universalitas.


Berdasarkan asas ini bahwa berlakunya perundang-undangn hukum pidana yaitu kepada
kepentingan seluruh dunia yang dilanggar oleh seseorang. Asas ini mempunyai tujuan melindungi
kepentingan dunia dan jika seseorang melakukan kejahatan yang dapat merugikan kepentingan
internasional maka setiap negara berhak untuk menerapkan ketentuan perundang-undangannya
tanpa melihat status kewarganegaraannya bahkan jika kejahatan itu tidak secara langsung
menyangkut kepentingan hukum negara yang bersangkutan. Yang tergolong kejahatan ini adalah
narkotika, terorisme, pembajakan pesawat udara, genosida, kejahatan perang dan lain-lain.
Asas ini diatur di dalam Pasal 4 Sub ke-2 KUHP yang menegaskan bahwa siapa saja yang
memalsukan uang atau uang kertas dari negara manapun juga dapat dituntut menurut hukum
pidana Indonesia. Sedangkan pada Pasal 4 Sub ke-4 melarang perampokan di laut tanpa melihat
siapa pelaku dan yang menjadi korban.

2) Analisis Kasus
a) Kadir ​dapat dipidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku di Indonesia karena ia telah
melakukan suatu tindakan pidana di Hongkong yaitu merampok suatu Bank di mana
perbuatan ini merupakan suatu kejahatan yang pastinya juga diatur di dalam hukum pidana
setiap negara karena perbuatan tersebut dapat merugikan Bank yang berada di Hongkong.
Hal itu dipertegas di dalam ​Pasal 5 KUHP ayat (1) ke-2 di mana apabila seorang warga
negara Indonesia yang melakukan tindak pidana atau kejahatan yang diatur di dalam hukum
pidana negara tersebut, maka ketika dia kembali ke Indonesia atau sedang berada di Indonesia
maka pelaku tersebut juga masih bisa dipidana berdasarkan hukum pidana Indonesia.
Kasus di atas merupakan ruang lingkup ​asas nasional aktif atau personalitas​, dimana
perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi setiap warga negara yang melakukan tindak
pidana tertentu di luar wilayah Negara atau di luar negeri

b) Dalam hal ini, Kadir sudah melakukan tindakan pidana yang ​mengancam keamanan negara
di mana dalam ​Pasal 4 KUHP sub ke-1 berbunyi:

Pasal 4
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan
di luar Indonesia:
Ke-1 Salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-Pasal ​104​, 106, 107, 107, 108, 111 bis butir 1, 127,
dan 131 KUHP.

Di dalam sub Pasal tersebut terdapat Pasal 104 yang berbunyi:

Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan
kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun​.

Sudah ditegaskan di Pasal 104 KUHP bahwa Kadir sudah melakukan Makar yang telah
mengancam keamanan suatu negara walaupun Kadir mengancam Presiden Hongkong namun
dalam ruang lingkup asas Nasional Pasif, Kadir dapat dipidana dengan perundang-undangan
hukum pidana yang berlaku di Indonesia karena hal tersebut sudah ditegaskan dalam Pasal 4
KUHP Sub Ke-1. jadi dapat disimpulkan bahwa Kadir dalam kasus ini dapat dijerat hukuman
pidana di Indonesia dan kasusnya merupakan ruang lingkup Asas Nasional Pasif dimana asas
ini berlakunya perundang-undangan hukum pidana didasarkan pada kepentingan hukum suatu
negara yang dilanggar oleh seseorang di luar wilayah Negara atau luar negeri, tidak
dipersoalkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana apakah warga Negara atau orang asing.

Penyertaan (Turut Serta) dan Pembantuan


1. Berdasarkan rumusan Pasal 55 KUHP, maka bentuk-bentuk penyertaan dalam arti luas
menurut KUHP terdiri atas:
(1) Orang yang melakukan/pelaku (​pleger​) yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
yang dimaksud dalam Pasal ini bukan pelaku tunggal yang secara sendiri mewujudkan
suatu tindak kejahatan tanpa adanya keterlibatan orang lain sebagai peserta di dalamnya.
Pelaku melakukan suatu delik ada kemungkinan disuruh atau dibujuk oleh orang lain.
(2) Orang yang menyuruh melakukan (​Doen Pleger)​ , seseorang yang berkehendak untuk
melakukan suatu delik, tetapi tidak melakukan sendiri dan menyuruh orang lain untuk
melakukannya. ​Doen Pleger i​ ni terdapat 2 (dua) pihak, yaitu ​orang yang menyuruh dan
orang yang disuruh​.
(3) Turut Melakukan (​Medeplengen)​ , orang yang turut serta melakukan ialah orang yang
dengan serngaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Adapun syarat
seseorang bisa dikatakan sebagai ​Medeplengen yaitu adalah; Ada kerjasama secara sadar
dan adanya pelaksanaan bersama secara fisik.
(4) Menganjurkan (​Uitlokken​), di dalam Pasal 55 ayat (1) ayat ke-2 KUHP disebutkan secara
limitatif upaya untuk terjadinya penganjuran, yaitu:
(a) Memberi atau menjanjikan sesuatu
(b) Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat
(c) Dengan kekerasan
(d) Dengan ancaman atau penyesatan
(e) Memberi kesempatan, sarana atau keterangan
Penganjuran merupakan kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat
dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana,
dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang dan karena
tergerak, orang tersebut kemudian dengan sengaja melakukan tindak pidana yang
bersangkutan.
Pengenaan pidana atau pertanggungjawaban seorang penganjur diatur di dalam
Pasal 55 ayat (2) KUHP, “terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan
sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya, maka dapat disimpulkan bahwa
disatu pihak pertanggungjawabannya dibatasi, tetapi dilain pihak diperluas.
Dibatasi karena yang diperhitungkan hanyalah apa yang dianjurkan saja, maka jika
yang dianjurkan melakukan deli yang melebihi anjurannya, si penganjur hanya
bertanggungjawab atas yang dianjurkannya. Dieprluas karena juga menyangkut berserta
akibat-akibatnya.
2. Pembantuan (​Medeplightigheid)​ diatur di dalam 3 Pasal, yaitu Pasal 56, 57, dan 60 KUHP.
Macam-macam pembantuan dijelaskan di dalam Pasal 56 KUHP yang menentukan bahwa
dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan bagi mereka yang sengaja memberikan bantuan
pada saat terjadinya tindak pidana tersebut serta mereka yang sengaja memberikan
kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Di Dalam Pasal 56 KUHP juga membedakan 2 (dua) pembantuan, yaitu; Membantu
“melakukan kejahatan” dan Membantu untuk melakukan kejahatan. Dengan kata lain bahwa
yang pertama fokus terhadap waktu terjadinya kejahatan dilakukan, sedangkan yang kedua
adalah pembantuan yang diberikan mendahului kejahatan dilakukan, yaitu dengan upaya yang
berwujud kesempatan, sarana, dan atau keterangan. Di dalam Pasal 56 KUHP diatur secara
limitatif, yakni dengan Memberi Kesempatan, Memberi Sarana, dan Memberikan keterangan
untuk melakukan kejahatan.
a) Memberikan kesempatan yaitu memberikan peluang sebaik-baiknya dalam hal orang
lain untuk melakukannya.
b) Memberi sarana di sini yaitu memberikan peluang yang sebaik-baiknya dalam hal orang
lain untuk melakukan.
c) Memberi Keterangan untuk melakukan kejahatan yaitu menyampaikan
ucapan-ucapan dalam susunan kalimat yang di mengerti orang lain, berupa nasihat atau
petunjuk dalam hal orang lain melaksanakan kejahatan.
Ketiga cara ini tidak berfungsi membentuk orang yang dibantu untuk melakukan
kejahatan, karena kehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat pelaksanaannya telah
lebih dahulu terbentuk sebelum pembuat pembantu menggunakan atau menyampaikan (3)
upaya tersebut.
Pembantuan bersifat ​accesoir​, artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang
melakukan kejahatan sebagai orang yang dibantu. Jika pelaku utama telah melakukan
kejahatan tindak pidana dengan bantuan pembantu maka tanggungjawab pembantu adalah
sebagai pembantu melakukan kejahatan.
Sanksi Pidana terhadap “Pembantuan” ditegaskan dalam Pasal 57 KUHP yang
berbunyi:

(1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.
(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
(4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang
sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Pada Pasal 57 ayat (1) ditegaskan bahwa dipidana dengan pidana pengurangan
sepertiga maksimum ancaman pidana bagi kejahatan yang bersangkutan. Jika kejahatannya
diancam mati atau penjara seumur hidu, maka ancaman pidananya paling lama 15 tahun
hukuman penjara (ayat 2).

3. Perbedaan antara Penyertaan dan Pembantuan

Turut Serta (Penyertaan) Pembantuan

Perbuatan seorang peserta ditekankan pada Pembantuan ditekankan pada perbuatan


perbuatan ​turut melakukan. membantu melakukan​ atau ​membantu
untuk melakukan​ suatu kejahatan.

Seorang peserta harus melakukan Seorang pembantu cukup bila telah


perbuatan pelaksanaan. melakukan perbuatan persiapan atau suatu
perbuatan dukungan.

Turut serta dalam pelanggaran dapat Pembantuan dalam membantu melakukan


dipidana. pelanggaran tidak dapat dipidana.

Ancaman pidana peserta = ancaman Ancama pidana pembantu = sepertiga dari


pidana pelaku utama. ancaman pidana pelaku utama.

Kesengajaan pembantu hanya ditujukan terhadap perbuatan pemberian bantuan


untuk mempermudah dilakukannya kejahatan oleh pelaku utama. Sedangkan untuk turut
serta melakukan kesengajaan dalam tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku utama.
Hubungan pertanggungjawaban antara pembantu dan pelaku utama adalah terkait,
sedangkan pada turut serta hubungan pertanggungjawabannya adalah mandiri.

Analisis Kasus
1. Kadir, Baidawi & Bahrowi termasuk dalam bentuk penyertaan “Penganjuran (​Uitlokken)​ ,
hal itu jelas karena Baidawi dan Bahrowi dianjurkan untuk membunuh Amir oleh Kadir
dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu, hal itu sesuai dengan Pasal 55 ayat (1) ke-2
KUHP yang disebutkan bahwa supaya untuk terjadinya penganjuran yaitu “Memberikan
dan Menjanjikan sesuatu” kepada orang yang dianjurkan untuk melakukan kejahatan yang
dapat dipertanggungjawabkan oleh yang dianjurkan. Memberi dalam hal ini ialah
memberikan masing-masing 50 juta jika keduanya berhasil membunuh Amir.
Antara “menyuruh melakukan” dan “menganjurkan” terdapat persamaan, yaitu
adanya “​manus domina​” atau yang menyuruh dan “​manus manistra”​ atau orang yang
disuruh. Sedangkan perbedaannya adalah, dalam manus manistra dalam ​Doen Pleger
haruslah seorang yang tidak dapat dipidana, sedangkan dalam manus manistra dalam
penganjuran adalah orang yang dapat mempertanggunjawabkan atas perbuatannya. Selain
itu perbedaannya adalah dalam hal menyuruh, ​Doen Plegen menyuruh tidak ditentukan
oleh undang-undang, sedangkan cara-cara untuk menganjurkan ditentukan secara limtatif
seperti ditegaskan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP tersebut juga dapat diketahui
bahwa kesengajaan dari penganjur harus ditujukan kepada tindak pidananya yang
diharapkan dilakukan oleh orang lain yang telah digerakkan dengan cara tersebut.
Adapun perbedaan antara penganjuran dan pelaku penganjuran yaitu:
a. Adanya penganjuran adalah bila kesengajaan dari orang yang melakukan
(digerakkan) baru timbul setelah terjadinya penganjuran. Jadi kesengajaan seorang
penganjur dengan kesengajaan yang digerakkan timbul di waktu yang berbeda
b. Seorang penganjur tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang yang digerakkan
jika melebihi batas dari apa yang telah dianjurkan untuk dilakukan.
2. Pengenaan Sanksi jika dianjurkan melakukan tindak pidana dengan ancaman dan
kekerasan. Apabila menggunakan kekerasan sampai timbul ​overmacht (Keadaan yang
memaksa), m ​ aka hal ini tidak termasuk dalam penganjuran, tetapi berada dalam
lingkungan menyuruh melakukan (​Doen Pleger​). Hal itu dipertegas dalam Pasal 48
KUHP, barang siapa yang melakukan tindak pidana dalam keadaan terpaksa maka orang
itu tidak dapat dipidana.
Jadi pelaku utama tetap Kadir sebagai orang yang menyuruh melakukan atau
manus domina,​ sehingga Baidawi dan Bahrowi bebas dalam jeratan pidana dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang mereka lakukan dengan membunuh Amir,
karena mereka berdua telah diancam oleh Kadir.
Putusan HR tanggal 21 April 1915 menyatakan bahwa: “​seseorang yang disuruh
melakukan itu bukanlah seorang pelaku, melainkan disamakan dengan orang yang
demikian, karenanya seseorang yang tidak mempunyai sifat-sifat pribadi tersebut
merupakan unsur dari kejahatan yang dilakukan itu”.

Anda mungkin juga menyukai