NIM : 2019110091
Kelas : A (Pagi)
Sedangkan bagi pandangan aliran dualistis yang mutlak harus ada di unsur-unsur
perbuatan pidana adalah;
A. Tingkah laku manusia, dan
B. Sifat melawan hukum
Sementara untuk unsur kesalahan melekat pada orangnya, dapat dikatakan bahwa
kesalahan seseorang bukanlah sifat perbuatannya, tetapi sifat orang yang melakukan
perbuatan tersebut.
Pasal 2
Ketentuan Pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam
wilayah Indonesia melakukan suatu tindak pidana.
Yang menjadi ukuran asas ini adalah tindak pidana yang terjadi di dalam batas wilayah
Republik Indonesia dan bukan ukuran bahwa pembuat harus berada di dalam batas wilayah
Indonesia. Oleh sebab itu ada kemungkinan bahwa seseorang melakukan tindak pidana di
Indonesia sedangkan ia berada di luar wilayah Indonesia. Berdasarkan ketentuan ini maka
wilayah berlakunya hukum pidana Indonesia mengikuti batas kedaulatan negara, yaitu dari
Sabang sampai Merauke. Sedangkan batas lautnya meliputi, perairan laut wilayah Indonesia,
beserta perairan pedalaman Indonesia.
Pasal 3 KUHP merupakan perluasan berlakunya asas teritorialitas yang memandang
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia sebagai ruang tempat berlakunya hukum pidana
(bukan memperluas wilayah).
Pasal 3
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar
wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
Pasal 5
(1) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapksn bagi warga negara yang di luar
Indonesia melakukan:
1. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240,
279, 450, dan 451.
2. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana
perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
(2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh
menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
2) Analisis Kasus
a) Kadir dapat dipidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku di Indonesia karena ia telah
melakukan suatu tindakan pidana di Hongkong yaitu merampok suatu Bank di mana
perbuatan ini merupakan suatu kejahatan yang pastinya juga diatur di dalam hukum pidana
setiap negara karena perbuatan tersebut dapat merugikan Bank yang berada di Hongkong.
Hal itu dipertegas di dalam Pasal 5 KUHP ayat (1) ke-2 di mana apabila seorang warga
negara Indonesia yang melakukan tindak pidana atau kejahatan yang diatur di dalam hukum
pidana negara tersebut, maka ketika dia kembali ke Indonesia atau sedang berada di Indonesia
maka pelaku tersebut juga masih bisa dipidana berdasarkan hukum pidana Indonesia.
Kasus di atas merupakan ruang lingkup asas nasional aktif atau personalitas, dimana
perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi setiap warga negara yang melakukan tindak
pidana tertentu di luar wilayah Negara atau di luar negeri
b) Dalam hal ini, Kadir sudah melakukan tindakan pidana yang mengancam keamanan negara
di mana dalam Pasal 4 KUHP sub ke-1 berbunyi:
Pasal 4
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan
di luar Indonesia:
Ke-1 Salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-Pasal 104, 106, 107, 107, 108, 111 bis butir 1, 127,
dan 131 KUHP.
Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan
kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Sudah ditegaskan di Pasal 104 KUHP bahwa Kadir sudah melakukan Makar yang telah
mengancam keamanan suatu negara walaupun Kadir mengancam Presiden Hongkong namun
dalam ruang lingkup asas Nasional Pasif, Kadir dapat dipidana dengan perundang-undangan
hukum pidana yang berlaku di Indonesia karena hal tersebut sudah ditegaskan dalam Pasal 4
KUHP Sub Ke-1. jadi dapat disimpulkan bahwa Kadir dalam kasus ini dapat dijerat hukuman
pidana di Indonesia dan kasusnya merupakan ruang lingkup Asas Nasional Pasif dimana asas
ini berlakunya perundang-undangan hukum pidana didasarkan pada kepentingan hukum suatu
negara yang dilanggar oleh seseorang di luar wilayah Negara atau luar negeri, tidak
dipersoalkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana apakah warga Negara atau orang asing.
(1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.
(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
(4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang
sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Pada Pasal 57 ayat (1) ditegaskan bahwa dipidana dengan pidana pengurangan
sepertiga maksimum ancaman pidana bagi kejahatan yang bersangkutan. Jika kejahatannya
diancam mati atau penjara seumur hidu, maka ancaman pidananya paling lama 15 tahun
hukuman penjara (ayat 2).
Analisis Kasus
1. Kadir, Baidawi & Bahrowi termasuk dalam bentuk penyertaan “Penganjuran (Uitlokken) ,
hal itu jelas karena Baidawi dan Bahrowi dianjurkan untuk membunuh Amir oleh Kadir
dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu, hal itu sesuai dengan Pasal 55 ayat (1) ke-2
KUHP yang disebutkan bahwa supaya untuk terjadinya penganjuran yaitu “Memberikan
dan Menjanjikan sesuatu” kepada orang yang dianjurkan untuk melakukan kejahatan yang
dapat dipertanggungjawabkan oleh yang dianjurkan. Memberi dalam hal ini ialah
memberikan masing-masing 50 juta jika keduanya berhasil membunuh Amir.
Antara “menyuruh melakukan” dan “menganjurkan” terdapat persamaan, yaitu
adanya “manus domina” atau yang menyuruh dan “manus manistra” atau orang yang
disuruh. Sedangkan perbedaannya adalah, dalam manus manistra dalam Doen Pleger
haruslah seorang yang tidak dapat dipidana, sedangkan dalam manus manistra dalam
penganjuran adalah orang yang dapat mempertanggunjawabkan atas perbuatannya. Selain
itu perbedaannya adalah dalam hal menyuruh, Doen Plegen menyuruh tidak ditentukan
oleh undang-undang, sedangkan cara-cara untuk menganjurkan ditentukan secara limtatif
seperti ditegaskan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP tersebut juga dapat diketahui
bahwa kesengajaan dari penganjur harus ditujukan kepada tindak pidananya yang
diharapkan dilakukan oleh orang lain yang telah digerakkan dengan cara tersebut.
Adapun perbedaan antara penganjuran dan pelaku penganjuran yaitu:
a. Adanya penganjuran adalah bila kesengajaan dari orang yang melakukan
(digerakkan) baru timbul setelah terjadinya penganjuran. Jadi kesengajaan seorang
penganjur dengan kesengajaan yang digerakkan timbul di waktu yang berbeda
b. Seorang penganjur tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang yang digerakkan
jika melebihi batas dari apa yang telah dianjurkan untuk dilakukan.
2. Pengenaan Sanksi jika dianjurkan melakukan tindak pidana dengan ancaman dan
kekerasan. Apabila menggunakan kekerasan sampai timbul overmacht (Keadaan yang
memaksa), m aka hal ini tidak termasuk dalam penganjuran, tetapi berada dalam
lingkungan menyuruh melakukan (Doen Pleger). Hal itu dipertegas dalam Pasal 48
KUHP, barang siapa yang melakukan tindak pidana dalam keadaan terpaksa maka orang
itu tidak dapat dipidana.
Jadi pelaku utama tetap Kadir sebagai orang yang menyuruh melakukan atau
manus domina, sehingga Baidawi dan Bahrowi bebas dalam jeratan pidana dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang mereka lakukan dengan membunuh Amir,
karena mereka berdua telah diancam oleh Kadir.
Putusan HR tanggal 21 April 1915 menyatakan bahwa: “seseorang yang disuruh
melakukan itu bukanlah seorang pelaku, melainkan disamakan dengan orang yang
demikian, karenanya seseorang yang tidak mempunyai sifat-sifat pribadi tersebut
merupakan unsur dari kejahatan yang dilakukan itu”.