Dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi
poenali”, yang dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak
ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”.
Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta, yang dapat
diartikan dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.
Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Asas universal adalah asas yang menyatakan setiap orang yang melakukan
perbuatan pidanan dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di
luar wilayah Negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Asa ini
melihat hukum pidanan berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan
orang, yang dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang
dicantumkan pidanan menurut asas ini sangat berbahaya tidak hanya dilihat
dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal
kejahatan ini perlu dicegah dan diberantas.
Bersifat tertutup = Bahwa didalam Bersifat terbuka = Para pihak bisa membuat
hk.pidana tidak ada suatu kesepakatan yang berupa
perbuatan/sanksi pidana diluar perikatan/perjanjian, apabila telah ada
ketentuan peraturan perundang- persetujuan antara kedua belah pihak maka
undangan ( jadi, kalau tidak diatur ketentuan-ketentuan tersebut menjadi UU
berarti bukan merupakan tindak yang memiliki kekuatan hukum yang
pidana)à Sesuai dengan asas mengatur perikatan tersebut
Legalitas (ps.1 ayat 1 KUHP)
Sanksi bersifat penderitaan sanksi bersifat denda/ ganti rugi atas kerugian
Sanksi tidak dapat diwakilkan, Sanksi dapat diwakilkan oleh ahli waris
kecuali pada UU Tipikor, sanksi
dapat diteruskan pada ahli waris
9. Sanksi hk. Pidana adalah penderitaan, apa maksudnya? Dan bagaimana dengan
sanksi cabang ilmu hukum yg lain?
Sanksi penderitaan karena berupa penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu
(melanggar hukum). Dengan tujuan member efek jera kepada pelaku tindak pidana
agar tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut.
Sedangkan sanksi hk.perdata adalah untuk menuntuk kerugian yang berupa ganti
rugi/ denda.
10. Seperti pada umumnya hukum mempunyai tujuan, apa tujuan hk. Pidana?
a. Fungsi umum : hukum pidana adalah merupakan sebagian dari
keseluruhan lapangan hukum, maka fungsi hukum pidana sama dengan fungsi
hukum pada umumnya yaitu mengatur hidup masyarakat agar berjalan tertib,
damai dan tentram. Selain itu hukum pidana jaga berfungsi melindungi subjek
hukumnya.
b. Fungsi khusus : ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang
akan memperkosanya, dengan sanksi piadan yang tajam jika dibandingkan dengan
sanksi yang terdapat pada hukum lainnya. Selain itu untuk melindungi warga
negara dari tindakan kesewenang-wenangan dari penguasa.
c. Fungsi tersier : melindungi korban tindak pidana dalam hal ia terkena orang yang
melakukan tindak pidana.
11. Suatu ilmu tentunya memiliki objek kajian, apa obyek kajian Hk. Pidana?
Yang menjadi objek hukum pidana adalah perbuatan manusia atau korporasi yang
memenuhi rumusana UU hukum pidana dan hukum lain yang diancam dengan sanksi
pidana.
Perbuatan :
- Berbuat;
- Tidak berbuat : Dalam hukum pidana ada perbuatan yang tidak berbuat dapat
dijatuhi sanksi pidana atau disebut juga delik commisionis per ommissionen
commissa. Contoh dari delik ini adalah seorang ibu yang membunuh anaknya
dengan tidak memberikan air susu (ps 338, 340 KUHP) dan seorang penjaga
wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak
memindahkan wissel (ps 194 KUHP)
12. Subjek hk memiliki perkembangan higga kini, jelaskan!
a. yang melakukan tindak pidana
b. yang bisa dipertanggungjawabkan
c. yang bertanggungjawab atas tindakan pidana sehingga subyek hukum tersebut
dapat dijatuhi sanksi pidana apabila melanggar hukum.
Ada 3 fase perkmbangan subyek hk pidana
a. fase pertama (fase tradisional) : Subyek hukum Pidana hanyalah manusia Bisa
disimpulkan dari ps. 59 KUHP. (Meskipun yang melakukan tindak pidana adalah
badan usaha, maka tetap yang dipertanggungjawabkan adalah manusia)
b. fase Kedua : Subyek hukum pidana adalah manusia dan korporasi berbadan
hokum
c. fase Ketiga : Manusia, korporasi berbadan hukum dan korporasi tidak berbadan
hukum
13. Sebutkan dan jelaskan sumber hukum pidana?
a. Sumber hukum secara tertulis : adalah sumber hukum yang terdapat dalam
undang-undang atau ada bukti tertulisnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut;
- KUHP : adalah sumber utama hukum pidana Indonesia
- M.v.T : adalah memori atas rencana undang-undang pidana, digunakan untuk
memberi penjelasn terhadap pasal-pasl yang terdapat dalam KUHP
- Undang-undang atau peraturan diluar KUHP
b. Sumber hukum tidak tertulis :
Hukum pidana adat, hukum pidana adat masih berlaku sebagai sumber hukum di
daerah-daerah, sebab hukum adat itu adalah hukum yang asli dan berlaku dengan
sendirinya, kecuali ada hal-hal yang mengahalangi berlakunya. Diatur dalam
UU Darurat No 1 tahun 1951, berdasarkan pasal 5 ayat 1sub B, maka hukum yag
hidup di masyarakat bisa diperlakukan sepanjang ketentuan hukum yang tertulis
belum mengaturnya. Jenis sanksi pidana hanya pidana kurungan (berdasarkan
KUHP sanksi pidana kirungan tidak boleh melebihi 1 tahun).
14. Terangkan anatomi KUHP dan menurut KUHP?
Poging (Percobaan)
Mengenai percobaan melakukan tindak pidana dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal
53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi
sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
R. Soesilo menjelaskan bahwa menurut kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu
menuju ke suatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat
sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai. Misalnya bermaksud membunuh orang,
orang yang hendak dibunuh tidak mati; hendak mencuri barang, tetapi tidak sampai dapat
mengambil barang itu.
Apabila orang berniat akan berbuat kejahatan dan ia telah mulai melakukan kejahatannya itu,
akan tetapi karena timbul rasa menyesal dalam hati ia mengurungkan perbuatannya, sehingga
kejahatan tidak sampai selesai, maka ia tidak dapat dihukum atas percobaan pada kejahatan
itu, oleh karena tidak jadinya kejahatan itu atas kemauannya sendiri. Jika tidak jadinya selesai
kejahatan itu disebabkan karena misalnya kepergok oleh agen polisi yang sedang meronda,
maka ia dapat dihukum, karena hal yang mengurungkan itu terletak di luar kemauannya.
Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan syarat selanjutnya adalah bahwa kejahatan itu sudah
mulai dilakukan. Artinya orang harus sudah mulai dengan melakukan perbuatan
pelaksanaan pada kejahatan itu.Kalau belum dimulai atau orang baru melakukan perbuatan
persiapan saja untuk mulai berbuat, kejahatan itu tidak dapat dihukum.
Misalnya seseorang berniat akan mencuri sebuah sepeda yang ada di muka kantor pos. Ia
baru mendekati sepeda itu lalu ditangkap polisi. Andaikata ia mengaku saja terus terang
tentang niatnya itu, ia tidak dapat dihukum atas percobaan mencuri, karena di sini perbuatan
mencuri belum dimulai. Perbuatan mendekati sepeda di sini baru dianggap sebagai perbuatan
persiapan saja. Jika orang itu telah mengacungkan tangannya untuk memegang sepeda
tersebut, maka di sini perbuatan pelaksanaan pada pencurian dipandang telah dimulai, dan
bila waktu itu ditangkap oleh polisi dan mengaku terus terang, ia dapat dihukum atas
percobaan pada pencurian.
Selanjutnya apabila dalam peristiwa tersebut sepeda telah dipegang dan ditarik sehingga
berpindah tempat, meskipun hanya sedikit, maka orang tersebut tidak lagi hanya
dipersalahkan melakukan percobaan, karena delik pencurian dianggap sudah selesai jika
barangnya yang dicuri itu telah berpindah.
Yang kemudian perlu diketahui lagi adalah apa yang dimaksud dengan perbuatan
pelaksanaan dan perbuatan persiapan?
R. Soesilo menjelaskan (Ibid, hal. 69-70) pada umumnya dapat dikatakan bahwa perbuatan
itu sudah boleh dikatakan sebagai perbuatan pelaksanaan, apabila orang telah mulai
melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Jika orang belum memulai dengan
melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya itu masih harus dipandang
sebagai perbuatan persiapan. Suatu anasir dari delik pencurian ialah “mengambil”, jika
pencuri sudah mengacungkan tangannya kepada barang yang akan diambil, itu berarti bahwa
ia telah mulai melakukan anasir “mengambil” tersebut.
Dalam hal pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP), misalnya dengan membongkar,
memecah, memanjat, dan sebagainya, maka jika orang telah mulai dengan mengerjakan
pembongkaran, pemecahan, pemanjatan, dan sebagainya, perbuatannya sudah boleh
dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan, meskipun ia belum mulai mengacungkan
tangannya pada barang yang hendak diambil. Bagi tiap-tiap peristiwa dan tiap-tiap macam
kejahatan harus ditinjau sendiri-sendiri. Di sinilah kewajiban hakim.
Oleh karena itu, pada akhirnya Hakim yang akan memutuskan apakah tindakan si pelaku baru
merupakan perbuatan persiapan atau perbuatan pelaksanaan.
Hak penuntutan ditentukan undang-undang hanya ada pada penuntut umum yaitu jaksa yang
diberi wewenang oleh kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8
Tahun 1981 Pasal 13 dan 14 di lingkungan peradilan umum dan oditur militer berdasarkan
pasal 17 ayat 3 UU No. 1 Drt tahun 1958 di lingkungan peradilan militer. Dalam Pasal 14
KUHAP tindakan penuntutan itu adalah sebagai berikut:
1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu
2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan 4 dengan memberi petunjuk dalam
rangka penyempurnaan penyidikan dasar penyidik
3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan
dan atau mengubah status tahanan stelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik
4. Membuat surat dakwaan
5. Melimpahkan berkas perkara ke pengadilan
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yag disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun saksi,
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan
7. Melakukan penuntutan
8. Menutup perkara demi kepentingan hukum
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut ketentuan undang-undang ini
10. Melaksanakan penetapan hakim.
Dasar-dasar yang meniadakan penuntutan dapat dijumpai dalam KUHP antara lain :
1. Buku I Bab V, yaitu dalam pasal 61 dan 62 KUHP yang menentukan bahwa penerbit
dan pencetak itu tidak dapat dituntut apabila pada benda-benda yang dicetak dan
diterbitkan itu telah mereka cantumkan nama-nama serta alamat orang yang telah
menyuruh mencetak benda-benda tersebut, atau pada kesempatan pertama setelah
ditegur kemudian telah memberi julukan nama dan alamat orang tersebut.
2. Buku I Bab VII yaitu dalam pasal 72 KUHP dan selanjutnya, yang menambah bahwa
tidak dapat dilakukan suatu penuntutan apabila tidak ada pengaduan.
3. Buku I Bab VIII yaitu dalam pasal 76, 77, 78 dan pasal 82 KUHP yang mengatur
tentang hapusnya hak untuk melakukan penuntutan.
1. Telah ada putusan hakim yang tetap mengenai tindakan yang sama (ne bis in idem)
Hal ini diatur dalam pasal 76 KUHP yaitu:
(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan
putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan
swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.
(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu
dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
- putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
- putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun
atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
2. Terdakwa meninggal dunia
Hal ini daitur dalam pasal 77 KUHP yang berbunyi “ Kewenangan menuntut pidana
hapus, jika tertuduh meninggal dunia” .
3. Perkara tersebut Daluwarsa (verjaring)
Dalam pasal 78 ayat 1 KUHP yaitu yang berbunyi:
(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
- mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan
sesudah satu tahun;
- mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau
pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
- mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun,
sesudah dua belas tahun;
- mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, sesudah delapan belas tahun.
4. Terjadinya penyelesaian diluar persidangan (Afdoening Buiten Process)
Suatu penyelesaian yang hanya dapat dilaksanakan atas perkara yang ancaman hukum
pokoknya hanya denda saja, karena selain perkara-perkara semacam ini, semuanya harus
diselesaikan melalui sidang. Alasan ini diperjelas dalam pasal 82 KUHP.
Hapusnya hak penuntutan yang diatur di luar KUHP berdasarkan “hak pregoratif
presiden”
a. Abolisi
Wewenang Kepala Negara dengan UU untuk menghentikan atau meniadakan segala
penuntutan tentang satu atau beberapa orang tertentu.
b. Amnesti
Wewenang Kepala Negara dengan UU atau atas kuasa UU yang dengan pemberian
amnesti ini, maka semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang telah
melakukan sesuatu delik dihapuskan atau dihentikan.
c. Grasi
Wewenang Kepala Negara dengan UU menggugurkan untuk menjalani hukuman
atau sebagian hukuman.
Sanksi
- Sanksi hukum adalah hukuman yang dijatuhkan pada seseorang yg melanggar hukum.
- Merupakan bentuk perwujudan yang paling jelas dari kekuasaan negara dalam
pelaksanaan kewajibannya untuk memastikan ditaatinya hukum
Sanksi Pidana (Dijatuhkan kepada seseorang yg telah melanggar ketentuan hukum pidana.
Sanksi yg dijatuhkan dalam hukum pidana mengakibatkan perampasan kebebasan (hukuman
penjaran), harta benda (penyitaan), kehormatan bahkan jiwa seseorang (hukuman mati). Oleh
karena itu dalam penerapan hukum pidana harus mendasarkan pada hukum acara pidana yg
jelas. Hal ini untuk memberikan hak kepada seseorang untuk membela diri, berkaitan pula
dengan penerapan asas legalitas.
Stelsel sanksi = makna sanksi bisa bersifat positif dan negatif, dimana kita ketahui bahwa :
Sanksi pidana adalah ancaman hukuman yang bersifat penderitaan dan siksaan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Anselm Von Feuerbach dengan ajarannya yang terkenal dengan
“Tekanan Psikologis” (de psychologiesche dwang), yaitu bahwa ancaman hukuman akan
menghindarkan orang lain dari perbuatan jahat (Satochid Kartanegara:tanpa tahun:56).
Penerapan sanksi pidana yang tegas diharapkan dapat menekan meningkatnya pencurian
tenaga listrik secara kuantitas maupun kualitas. H. L. Packer didalam bukunya “The Limit Of
Criminal Sanction”, menimbulkan antara lain sebagai berikut:
1. Sanksi pidana sangatalah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang ataupun dimasa
yang akan datang, tanpa pidana.
2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki
untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera untuk
menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.
3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik atau prime
threatener dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara
hemat cermat atau prudently dan secara manusiawi atau humanly, ia merupakan suatu
pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (Muladi, Barda
Nawawi Arief, 1984:155-156)
Dalam hal ini hanya akan diuraikan satu-persatu tentang bentuk-bentuk pidana pokok.
Pidana Mati
Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati dijalankan dengan jalan menjerat tali yang
terikat di tiang gantungan leher pidana, kemudian algojo menjatuhkan papan tempat
terpidana berdiri. Kemudian Staatblad 1945 Nomor 123 yang dikeluarkan oleh
Belanda menyatakan bahwa pidana mati dijalankan dengan jalan tembak mati.
Staatblad ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaga
Negara 1964 Nomor 38 yang ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun
1969.
Pidana Penjara
Pidana penjara adalah adalah pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan, yang
bukan saja tidak merdeka berpergian tetapi juga kehilangan hak-hak tertentu, seperti
hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu, hak untuk memangku jabatan publik,
hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan, hak untuk mendapat perizinan-
perizinan tertentu, hak untuk mengadakan asuransi hidup, hak untuk tetap dalam
ikatan perkawinan, hak untuk kawin dan hak-hak sipil lainnya. Pidana penjara
bervariasi dari penjara sementara minimal 1 hari sampai penjara seumur hidup, yang
hanya tercantum apabila ada ancaman pidana mati (pidana mati atau seumur hidup
atau pidana penjara dua puluh tahun). Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimum
15 tahun.
Pidana Kurungan
Pembuat undang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan daripada pidana
penjara karena pidana kurungan diancam kepada delik-delik yang dipandang ringan
seperti delik culpa dan pelanggaran, dimana dimana jangka waktu pemidanaannya
lebih pendek dibandingkan dengan pidana penjara.
Pidana Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua yang terdapat setiap masyarakat.
Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan. Oleh karena itu, pidana denda
merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.
Walaupun denda dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana pribadi, tidak ada
larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana. Denda
dalam perkara pidana dibayarkan kepada negara atau masyarakat, yang apabila tidak
dibayar dapat diganti dengan pidana kurungan. Dan pidana denda tersebut tetap
dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi secara perdata kepada
korban.
Pidana Tutupan
Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10
dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok dibagian akhir, dibawah pidana
denda. Pencantuman ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946
tentang Pidana Tutupan. Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan
kejahatan yang disebabkan ideologi yang dianutnya. Jadi dalam hal ini, hakim boleh
menjatuhkan pidana tutupan terhadap mereka yang melakukan kejahatan yang
diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut
dihormati. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, pidana tutupan tidak pernah
diterapkan.
Pidana
Penderitaan yang diberikan oleh negara kepada terpidana melalui aparat penegak hukum
melalui proses penyelidikan berdasarkan pengaduan & diputuskan oleh hakim.
Contoh : Setiap tindakan medis yg dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus “inform
concern”, jadi jika dokter menangani pasien tidak ada inform concern itu bisa dikataka tindak
pidana dan dalam menangani tidak sesuai dengan SOP dokter/malapraktek itu dikatakan
pidana.
Tindak Pidana adalah perbuatan (tindak pidana dalam pengertian yuridis bukan tindak
pidana persepsi masyarakat)
- Jika perbuatannya secara tegas diatur sebagai tindak pidana oleh badan hukum
- Tindakan pidana tidak semata-mata dipandang melanggar larangan tetapi juga
melanggar perintah
Contoh: Ada kecelakan, kemudian orang tsb hanya melihat dan tidak menolong korban dan
kemudia korban meninggal maka orng tsb bisa dikatakan sebagai tindakan pidana.
Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium ini dapat dilihat
dalam UU mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi. Dari perspektif sosiologis hal ini
dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua UU tersebut merupakan tindakan yang “luar
biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat. Sehingga dalam hal ini tidak lagi
mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila
langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana
tersebut. Dan kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan “obat terakhir” (ultimum
remedium) lagi, banyak perbuatan – perbuatan yang bertentangan dengan aturan UU yang
berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana
sebagai pilihan utama (premium remedium). Misalnya penjatuhan sanksi pidana terhadap
anak yang melakukan pencurian atau perbuatan melawan hukum lainnya, adalah tidak mudah
untuk menerapkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium bagi mereka, mengingat adanya
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak membolehkan adanya
pejatuhan pidana penjara terhadap anak yang berumur 12-18 tahun, kemudian masyarakat
menganggap keadilan tidak ditegakkan apabila anak yang melakukan kejahatan tidak
dipidana, dan masyarakat menganggap bahwa siapapun yang melakukan suatu tindak pidana
maka wajib dikenai sanksi berupa pidana penjara agar pelaku jera dan tidak mengulangi
perbuatannya, hakim masih sering menganggap anak sebagai penjahat yang harus dibalas
agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya.
Jadi melihat hal tersebut di atas, bahwa dalam perkembangannya penerapan dalil ultimum
remedium ini sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor
– faktor lain salah satunya adalah karena Hukum Pidana memiliki UU yang mengatur setiap
tindak kejahatan dan pelanggaran dan tentunya di dalam penerapan sanksi Hukum Pidana
tersebut tidak mengenal kompromi atau kata damai.
Dengan demikian menurut saya penerapan asas subsidiartias hukum pidana atau asas
ultimum remidium hanya berlkau untuk delik tindak pidana sedangka untuk delik
tindak pidana lainnya secara acontrario penerapan instrumen hukum pidana dapat
menjadi upaya yg utama (premiuum remidium).
Tujuan Dikenakan Sanski
a. Preferensi spesial/khusus
adalah dengan memidana pelaku tindak pidana terpidana agar pelaku yg terlibat
menimbulkan rasa jera/tkt
Sistem hukum Indonesia juga mengenal adanya tindak pidana di luar KUHP. Inilah yang
disebut sebagai tindak pidana khusus dalam arti sebenarnya. Contoh undang-undang ini
adalah Undang-undang Anti Korupsi, Undang-undang Money Laundrey, UU Traficking dan
lain sebagainya.
Sumber Hukum :
Tidak kodifikasi = Undang-undag atau peraturan-peraturan dari pemerintah pusat atau daerah
Asas berlakunya HP
1. Menurut waktu (Kpn) legalitas
Ps. 1 ayat 1 KUHP :
- Suatu tindak pidana harus dirumusan/ disebut dalam UU
- Peraturan per UU harus ada sebelum perbuatan dilakuan (berarti ketentuan hukum
berlaku ke depan)
- Tidak rectroaktif (asaa berlaku surut)
Kecuali Jika ada perubahan UU dan menguntungkan terdakwa Ps 1 (2) maka suatu
peratura pidana berlaku surut dengan syarat sifatnya kumulatif antara lain;
- Harus ada perubahan
- Menguntungkan
- Terdakwa
Tiga Persoalan Pokok HP (Materil) /Substantif
a. Perbuatan (tindak pidana)
b. Orang (Kesalahan/pertanggungjawabkan)
Mainsrea = sikap batin yang jahat
Ex. Niat pelaku. Ada 2 hal yang mendasari niat pelaku dalam berbuat yang satunya
niat perbuatannya ingin melakukan kejahatan tetapi ada juga niatnya menolong
c. Pidana (Sanksi)
Aliran klasik : Hukum pidana bertujuan untuk menakut-nakuti setiap orang, agar tidak
melakukan perbuatan yang tidak baik (delik)
Menurut aliran ini, tujuan hukum pidana bermaksud untuk melindungi individu-individu
dari kekuasaan penguasa yang sewenang-wenang.
Aliran Modern : Hukum pidana bertujuan untuk mendidik orang yg telah melakukan
perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kedalam kehidupan
bermasyarakat.
Menurut aliran ini, hukum pidana bertujuan untuk melindungi setiap orang dari tindaj
kejahatan dan pelaku kejahatan, oleh sebab itu, aliran ini dipengaruhi
oleh kriminologi.
Fungsi Hukum Pidana
1. Secara umum
Fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi hukum pidana sama saja dengan fungsi
hukum-hukum lain pada umumnya karena untuk mengatur hidup dalam kemasyarakatan atau
menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat.
2. Secara khusus
Fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu kepentingan hukum
terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar dengan suatu sanksi atau hukuman
yang berupa pidana yang telah ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan
yang sifatnya lebih tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk memberikan
aturan-aturan untuk melindungi yang pihak yang telah dirugikan
Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi
Di dalam KUHP, Korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak dikenal . hal ini
dikarenakan KUHP adalah warisan dari Pemerintah kolonial Belanda. Diterimanya
korporasi dalam pengertian badan hukum atau konsep pelaku fungsional (functional
daderschap) dalam hukum pidana merupakan perkembangan yang sangat maju
dengan menggeser doktrin yang mewarnai Wetboek van strafrecht (KUHP)
yakni “universitas delinguere non potest” atau“societas delinguere non potest” yaitu
badan hukum tidak dapat melakukan tindak PIDANA. alasan yang menyatakan
bahwa badan hukum perusahaan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
didasari oleh pemikiran bahwa :
• Perusahaan tidak memiliki “mens rea” (keinginan untuk berbuat jahat)
• Perusahaan tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan yang aktual (abstrak),
no body to be kicked.
• Perusahaan bukan seorang /individu /pribadi ,walaupun badan hukum
dapat melakukan berbagai perbuatan hukum yang biasanya dilakukan oleh orang
pribadi /pengurusnya .
• DOKTRIN ULTRA VIRES yaitu
- Jika ada kejahatan yang dilakukan oleh direksi suatu perusahaan ‘hal mana dapat
dipastikan bahwa direksi telah melanggar anggaran dasar perusahaan.
- Oleh karena itu menurut doktrin ultra vires ,yang bertanggung jawab adalah
direksinya secara pribadi atau secara bersama sama dengan direksi lain,dan
perusahaan tidak ikut bertanggung jawab.
Saat ini dengan pengaruh perkembangan dunia usaha nasional yang semakin
berkembang pesat dimana orang-orang dapat bertindak sebagai atau mewakili
kepentingan korporasi dan menjadikan korporasi sebagai kendaraan untuk
melakukan kejahatan dan pencucian uang hasil kejahatan, maka dalam aturan
hukum dan peraturan perundang-undangan kita telah menempatkan korporasi
sebagai subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya.
Pemikiran menempatkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat diminta
pertanggungjawaban pidana adalah didasari oleh beberapa pertimbangan
diantaranya
- Walau korporasi sendiri dalam melaksanakan kegiatannya tidak melakukan sendiri
tetapi melalui orang atau orang-orang yang merupakan pengurus dan pegawainya
namun apabila perbuatan itu dilakukan dengan maksud memberikan manfaat ,
terutama berupa keuntungan finansial ataupun mengurangi kerugian finansial bagi
korporasi yang bersangkutan, maka tidak adil bagi masyarakat apabila korporasi
tidak harus ikut bertanggung jawab atas perbuatan pengurus dan pegawainya
- Bahwa tidak cukup hanya membebankan pertanggungjawaban pidana kepada
pengurus korporasi atas tindak pidana yang dilakukannya, karena pengurus jarang
memiliki harta kekayaan yang cukup untuk membayar pidana denda yang
dijatuhkan kepadanya untuk biaya sosial yang harus dipikul sebagai akibat
perbuatannya itu.
- Mempertanggungjawabkan kerusakan dan kerugian yang diakibatkan tindakan
korporasi akan mencegah korporasi lain untuk melakukan korupsi.
5. Teori corporate organs, yaitu teori menunjuk pada orang-orang yang menjalankan
kewenangan dan pengendalian dalam badan hukum, dengan kata lain, orang yang
mengarahkan dan bertanggung jawab atas segala gerak gerik badan hukum, orang
yang menetapkan kebijakan korporasi, dan orang yang menjadi otak dan pusat
syaraf dari korporasi tersebut.dengan demikian otak dari korporasi merupakan
organ penting dari korporasi sehingga bisa dimintakan pertanggung jawaban pidana
korporasi.
Teori Kausalitas
Contoh-contoh delik formal dan materiil sebagai berikut:
Delik formal
1) Pasal 362 KUHP : Yang dilarang dalam perbuatan pencurian ini adalah perbuatannya
mengambil barang milik orang lain.
2) Pasal 242 KUHP : Yang dilarang memberikan keterangan palsu dalam sumpah.
Delik materiil
1) Pasal 338 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah menyebabkan matinya orang lain.
2) Pasal 351 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah menimbulkan sakit atau luka pada
orang lain.
3) Pasal 187 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah timbulnya kebakaran , peledakan
banjir, sedangkan perbuatannya menimbulkan akibat tersebut tidak menjadi soal.
Dalam Delik formal perbuatan itulah yang dilarang dan pada delik materiil yang ditekankan
adalah akibat dari perbuatan itu. Apabila ajaran kausalitas dihubungkan dengan delik formal
sebagaimana telah diketahui akibat suatu peristiwa tidak dinyatakan dengan tekad sebagai
unsur dari suatu delik. Oleh karena itu, ajaran kausalitas dalam hubungannya dengan delik
formal tidak memberikan pengaruh yang tegas. Akan tetapi jika ajaran kausalitas ini
dihubungkan dengan delik materiil, akan lain halnya karena yang ditekankan dalam delik ini
adalah akibat dari perbuatanya, jadi ajaran kausalitas ini penting bagi delik materiil.