Asas legalitas atau the principle of legality merupakan asas yang menentukan bahwa tindak
pidana haruslah diatur terlebih dulu dalam undang-undang atau suatu aturan hukum sebelum
seseorang melakukan pelanggaran atau perbuatannya.
Menurut Amir Ilyas dalam Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana sebagai Syarat Pemidanaan, keberadaan asas legalitas ini
memiliki tiga pokok pengertian sebagai berikut.
1. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana apabila perbuatan itu tidak diatur
dalam suatu peraturan terlebih dahulu.
2. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh didasarkan pada analogi.
3. Peraturan-peraturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Dalam KUHP Baru atau UU 1/2023, kehadiran asas legalitas dapat ditemukan dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU 1/2023 yang menerangkan bahwa suatu perbuatan tidak dapat
dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan.
nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang memiliki arti bahwa tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas aturan pidana.
Asas Universal
Asas persamaan atau yang dikenal juga dengan asas universal adalah asas yang
menitikberatkan pada kepentingan hukum internasional secara luas atau. Makna luas berarti
hukum pidana tidak dibatasi oleh tempat, wilayah, atau bagi orang tertentu saja, melainkan
berlaku dimanapun dan bagi siapa pun. Diterangkan Eddy Hiariej dalam Prinsip-Prinsip
Hukum Pidana, arti penting dari asas universal adalah jangan sampai ada pelaku kejahatan
internasional yang lolos dari hukuman. Agar tidak ada pelaku yang lolos, setiap negara
berhak untuk menangkap, mengadili dan menghukum pelaku kejahatan internasional.
Kemudian, jika pelaku kejahatan internasional telah diadili dan dihukum oleh suatu negara,
negara lain tidak boleh mengadili dan menghukum pelaku kejahatan internasional atas kasus
yang sama. Asas universal ini berlaku bagi tindak pidana yang dinilai sebagai kejahatan
internasional, bukan kejahatan transnasional.
Kehadiran asas universal dalam UU 1/2023 dapat ditemukan dalam:
● Pasal 6 UU 1/2023 yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam
undang-undang berlaku bagi setiap orang yang berada di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana menurut hukum
internasional yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang.
● Pasal 7 UU 1/2023 yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam
undang-undang berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh
Pemerintah Indonesia atas dasar suatu perjanjian internasional yang memberikan
kewenangan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana
Masa Nusantara
Jauh sebelum masa penjajahan, banyak data yang menguatkan bahwa Nusantara telah
melanggar norma-norma pidana atau norma pidana adat.
Norma pidana adat ini berlaku secara terpisah menurut wilayah kekuasaan setiap kerajaan,
baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain, beberapa kerajaan ada yang membukukan dan memberlakukan norma
pidana secara turun-temurun dari generasi satu ke generasi berikutnya.
Namun, ada pula kerajaan yang hanya memberlakukan dan menerapkan norma-norma pidana
yang berlaku dan diakui sekelompok masyarakat untuk setiap kasus kejahatan.
Semua peraturan yang sudah dibuat tersebut kemudian dimuat dalam papan pengumuman di
dinding kantor VOC. Aturan tertempel ini pun disebut sebagai Pelakat. Pelakat mencakup
hukum privat dan hukum pidana. Peraturan pidana ini tetap berlaku sampai berlakunya
Wetboek van Strafrecht voor de Europeanen pada 1 Januari 1867 bagi orang Eropa. Baca
juga: Apa Artinya Hukuman Mati pada Vonis Ferdy Sambo? Sementara bagi bangsa
Indonesia dan Timur Asing berlaku Wetboek van Strafrecht tertanggal 1 Januari 1873. Pada
akhir abad ke-19, pemerintah kolonial merasa perlu melakukan unifikasi atau
menyeragamkan hukum pidana. Pemerintah Belanda kemudian mengadakan kodifikasi
(penyusunan) hukum pidana baru, yaitu Wetboek van Strafrecht 1881 dan diberlakukan
secara nasional mulai 1 September 1886. Dengan demikian, mulai 1 September 1886, di
Belanda hanya berlaku Wetboek van Strafrecht 1881 sebagai peraturan pidana. Di sisi lain,
unifikasi hukum pidana juga dilakukan di negeri jajahan berdasarkan pengumuman Raja
Belanda pada 15 Oktober 1915.
Asas Hukum Acara Pidana
3. Asas Oportunitas
Terkait definisi asas oportunitas, A. Z. Abidin dalam Sejarah dan Perkembangan Asas
Oportunitas di Indonesia mengartikan asas oportunitas adalah asas hukum yang memberikan
wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa
syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.
5. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum (Equality Before the
Law)
Pada intinya, asas ini bermakna semua orang harus diperlukan sama di pengadilan. Hal ini
sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) UU Kehakiman yang menerangkan bahwa
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
Kemudian, sebagaimana dimuat pula dalam bagian penjelasan umum butir 3a KUHAP yang
menyebutkan bahwa perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan pembedaan perlakuan.
Masa Kolonial
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum pidana adat secara pelan-pelan digeser oleh hukum
yang dilahirkan melalui asas konkordansi. Melalui asas konkordansi, perubahan peraturan
perundang-undangan yang terjadi di Negeri Belanda turut diberlakukan di Indonesia. Khusus
dalam hukum acara pidana beberapa peraturan tersebut antara lain:
1. Reglement op de rechterlijkeorganisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie, yang
lazim dikenal sebagai RO (Stb 1847-23), mengatur mengenai susunan organisasi
kehakiman;
2. Inlandsch Reglement (Stb 1848 Nomor 16), mengatur tentang hukum acara pidana
dan perdata di persidangan bagi mereka yang tergolong penduduk pribumi dan timur
asing seperti cina dan arab;
3. Reglement of strafvordering (Stb. 1849 Nomor 63), mengatur tentang hukum acara
pidana bagi golongan penduduk eropa dan yang dipersamakan;
4. Landgerechtsreglement (Stb 1914 Nomor 317 jo Stb. 1917 Nomor 323), mengatur
acara di depan pengadilan dan mengadili perkara-perkara sumir untuk semua
golongan penduduk.
Dalam perkembangannya, Inlandsch Reglement diperbaharui menjadi Reglemen Indonesia
yang dibaharui (RIB) yang terkenal dengan nama Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR),
yang mendapatkan persetujuan dari Volksraad pada tahun 1941 (Stb 1941 Nomor 44). HIR
memuat reorganisasi penuntutan dan pembaharuan terhadap pemeriksaan pendahuluan dalam
hukum acara pidana. Melalui HIR, muncul Lembaga Penuntut Umum (Openbare Ministerie)
yang berdiri sendiri dan tidak lagi di bawah pamong praja.