TUGAS 2
NIM : 044839859
UNIVERSITAS TERBUKA
TUGAS. 2
HUKUM PIDANA
Jawaban :
No. 1 :
Langkah Hukum
Upaya yang dapat ditempuh bilamana hukum pidana Indonesia hendak diterapkan pada
pelaku, sedangkan pelaku berada di negara tempat dilakukan tindak pidana ialah
melalui mekanisme ekstradisi.
Menjawab pertanyaan Anda selanjutnya, hukum pidana termasuk dalam ranah hukum
publik dan bersifat dwingenrecht, maka pekerja migran Indonesia yang menjadi pelaku
tindak pidana tidak dapat memilih akan menundukkan diri pada hukum yang
dianggap lebih dapat menguntungkan dirinya.
Akan tetapi perlu digarisbawahi, jika pekerja migran Indonesia telah diadili dan
mendapatkan hukuman dari negara tempat tindak pidana dilakukan, maka si pelaku
tidak dapat diadili oleh pengadilan di Indonesia atas kasus yang sama, hal ini merujuk
pada asas ne bis in idem dalam Pasal 76 ayat 2 KUHP:
Jika putusan yang menjadi tetap berasal dari Hakim lain, maka terhadap orang
itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam
hal:
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai asas-
asas berlakunya hukum pidana suatu negara menurut tempat, yakni:
1. Asas Teritorial
Pada umumnya asas teritorial ini dianut oleh semua negara di dunia. Asas ini
dilandasi oleh kedaulatan negara bahwa setiap negara yang berdaulat wajib
menjamin ketertiban hukum di wilayahnya dan barangsiapa yang melakukan
tindak pidana maka negara berhak untuk memidana.
Dengan demikian, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang
melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia, atau dalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia tunduk pada hukum pidana
Indonesia. Hal ini berdasarkan satu postulat interest reipublicae ne maleficia
remaneant impunita, yang artinya ialah kepentingan suatu negara agar kejahatan
yang terjadi di negaranya tidak dibiarkan saja.
Asas nasional aktif disebut juga dengan asas personalitas yang berarti perundang-
undangan pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh
warga negara di mana pun berada termasuk juga di luar wilayah negaranya.
Tegasnya, asas ini dikaitkan dengan orangnya (warga negara) tanpa
mempersoalkan di manapun ia berada.
Asas ini hanya berlaku apabila perbuatan yang dilakukan di negara lain, menurut
hukum nasional negara tersebut juga merupakan tindak pidana. Sebaliknya, asas
nasional aktif ini tidak berlaku jika perbuatan yang dilakukan menurut hukum
negara asalnya adalah tindak pidana, sedangkan menurut hukum negara tempat
perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan suatu tindak pidana.
Asas ini tercantum di dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 KUHP, dengan bunyi
sebagai berikut:
Pasal 5 KUHP:
a. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua
dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451;
b. Suatu perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut
ketentuan pidana dalam undang-undang negeri, tempat perbuatan
itu dilakukan.
Pasal 6 KUHP:
Berlakunya Pasal 5 ayat (1) ke-2 dibatasi sedemikian rupa hingga tidak
dijatuhi pidana mati jika menurut perundang-undangan negara di mana
perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancam dengan pidana mati.
Asas nasional pasif ini didasarkan pada prinsip interest reipublicae quod homines
conserventur yang artinya kepentingan suatu negara agar warga negaranya
dilindungi. Tegasnya, dengan asas ini ada unsur melindungi kepentingan
nasional terhadap siapapun juga dan di manapun juga.
Adapun asas nasional pasif ini terkandung di dalam Pasal 4 ke-1, ke-2, dan ke-
3 KUHP yang berbunyi:
Asas nasional pasif ini diperluas oleh Pasal 8 KUHP yang menyebutkan:
4. Asas Universal
Arti penting dari asas universal adalah jangan sampai ada pelaku kejahatan
internasional yang lolos dari hukuman. Oleh karena itu setiap negara berhak
untuk menangkap, mengadili dan menghukum pelaku kejahatan internasional.
Namun, bilamana pelaku kejahatan internasional telah diadili dan dihukum oleh
suatu negara, maka negara lain tidak boleh mengadili dan menghukum pelaku
kejahatan internasional atas kasus yang sama. Asas universal ini berlaku bagi
tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional dan bukan
kejahatan transnasional.
Asas universal terdapat dalam Pasal 4 ke-2 dan ke-4 KUHP yang menyatakan:
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan
bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan
oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan
merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai
dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan
kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang
penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m,
n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan
sipil.
Patut dicatat, berkenaan dengan penerapan keempat asas sebagaimana telah dijelaskan
di atas, KUHP memberikan pembatasan berdasarkan bunyi Pasal 9 KUHP:
1. Bahwa rumah dan pekarangan dari para duta besar dan duta dari negara asing
dianggap wilayah dari negara asing yang bersangkutan;
2. Bahwa para diplomat asing tidak dapat dituntut di muka pengadilan dari negara
tempat mereka ditugaskan;
3. Bahwa kapal-kapal perang dari negara asing yang berlabuh di pelabuhan negara
awak, dianggap pula sebagai wilayah negara asing yang bersangkutan.
Dalam hal ini diperlakukan prinsip “ex-teritorialitas”, yang berarti bahwa orang-orang
dianggap ada di luar suatu wilayah tempat mereka sebenarnya ada.
Namun menurut hemat kami, dalam keadaan tertentu terdapat 3 kemungkinan hukum
pidana Indonesia juga dapat diterapkan pada pekerja migran Indonesia tersebut, yakni:
1. Asas nasional aktif, hukum pidana Indonesia juga dapat diterapkan jika tindak
pidana yang dilakukan diatur dalam hukum pidana Indonesia, sedangkan
menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam
pula dengan pidana.
Pada kejahatan golongan pertama ini tidak mempersoalkan apakah perbuatan itu
merupakan tindak pidana atau tidak di negara asing yang bersangkutan.
Sedangkan golongan kedua, mensyaratkan bahwa hukum pidana Indonesia dapat
diterapkan bilamana di samping perbuatan itu merupakan tindak pidana di negara
Indonesia juga merupakan tindak pidana di luar negeri (double criminality
principle).
2. Asas nasional pasif, jika pekerja migran yang bersangkutan melakukan tindak
pidana Pasal 4 ke-1, ke-2, dan ke-3 KUHP seperti yang telah diterangkan
sebelumnya.
3. Asas universal, jika perbuatan pekerja migran Indonesia melakukan perbuatan
dalam Pasal 4 ke-2 dan ke-4 KUHP sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Dengan demikian, selain hukum pidana dari negara tindak pidana dilakukan, juga
terdapat kemungkinan hukum pidana Indonesia dapat diterapkan dengan persyaratan
tertentu. Keadaan semacam ini disebut dengan concurrent jurisdiction, yang
dalam The Law Dictionary didefinisikan an authority that has been conferred on 2 or
more courts to hear and decide similar cases.
Sumber :
- BMP : HKUM4203
- https://www.hukumonline.com/klinik/a/berbuat-pidana-di-ln--bisakah-
wni-memilih-hukum-yang-lebih-meringankan-baginya-lt607558203d57d
No. 2 :
Larangan dalam hukum pidana secara khusus disebut sebagai tindak pidana. Muljanto
mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku
di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
a). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.
b). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah di
ancamkan.
c). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Hukum pidana mengenal berbagai asas yang berlaku untuk keseluruhan perundang-
undangan pidana yang ada, kecuali hal-hal yang diatur secara khusus di dalam undang-
undang tertentu seperti yang disebutkan pada Pasal 103 KUHP. Terdapat asas yang
sangat penting dan seyogianya tidak boleh diingkari, asas tersebut dapat dikatakan
merupakan tiang penyangga hukum pidana. Asas-asas tersebut dapat kita simpulkan
dari pasal-pasal awal Buku I KUHP, dan di sini hanya akan dibicarakan yang penting
saja. Secara umum asas hukum merupakan prinsip-prinsip dasar yang menjadi ratio
legis pembentukan[1]
Hukum pidana di Indonesia bersumber dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Hal ini mengingat sistem hukum Indonesia bersifat pluralistik. Meski demikian,
menurut Bambang Poernomo, sumber utama hukum pidana terdapat dalam KUHP dan
peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya, serta hukum adat atau hukum
rakyat yang masih hidup. Dengan demikian, sumber hukum pidana yaitu:
a. Wetboek van strafrecht (S. 1915 No.732) atau KUHP yang merupakan
kodifikasi hukum pidana sebagai induk peraturan hukum pidana positif.
b. Peraturan hukum pidana di luar kodifikasi: a. Undang-undang Darurat
No.12 Tahun 1951 (LN RI Tahun 1951 No.78) tentang senjata api. b.
Undang-undang no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsu (LN RI Tahun 1999 No.140) jo. Undang-undang No.20 Tahun
2001 tentang perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi (LN RI Tahun 2001 no 134) jo
UU No. 30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana
korupsi (LN RI Tahun 2002 No 137).
Sumber :
- BMP : HKUM4203
- https://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_kuhp.pdf
No. 3 :
Ajaran kausalitas adalah ajaran tentang sebab akibat. Untuk delik materil
permasalahan sebab akibat menjadi sangat penting. Kausalitas berlaku ketika suatu
peraturan pidana tidak berbicara tentang perbuatan atau tindak pidananya (yang
dilakukan dengan sengaja), namun menekankan pada hubungan antara kesalahan atau
ketidaksengajaan (culpa) dengan akibat. Dengan demikian, sebelum mengulas unsur
kesalahan, hakim pertama-tama menetapkan ada tidaknya hubungan kausal antara suatu
tindakan dan akibat yang muncul. Jadi ajaran kausalitas menentukan
pertanggungjawaban untuk delik yang dirumuskan secara materil, mengingat akibat
yang ditimbulkan merupakan unsur dari delik itu sendiri.
Seperti tindak pidana pembunuhan, di mana tidak ada perbuatan pidana pembunuhan
jika tidak ada akibat kematian dari perbuatan tersebut. Sebagai contoh, Pasal
338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi:
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Dalam kasus ini, diduga terdapat tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa
orang lain karena tersambar petir. Mengenai teori kausalitas yang Anda tanyakan,
berikut penjelasannya masing-masing:
Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatakan menimbulkan akibat tertentu,
sepanjang akibat tersebut tidak dapat dilepaskan dari tindakan pertama
tersebut. Karena itu suatu tindakan harus merupakan conditio sine qua non (syarat
mutlak) bagi keberadaan sifat tertentu. Semua syarat (sebab) harus dipandang setara.
Konsekuensi teori ini, kita dapat merunut tiada henti sebab suatu peristiwa hingga ke
masa lalu (regressus ad infinitum). Dalam kasus ini, maka majikan yang menyuruh
pembantunya membeli sesuatu ke warung agar disambar petir, atau orang yang tidak
memasang penangkal petir di sekitar jalan yang dilalui pembantu, atau orang lain yang
memberi ide kepada majikan tentang adanya cara untuk membuat orang mati karena
disambar petir tanpa tahu adanya masalah antara majikan dan pembantunya, pun dapat
dianggap sebagai penyebab kematian pembantu tersebut. Beberapa ahli menyatakan
teori ini tidak mungkin digunakan dalam menentukan pertanggungjawaban pidana
karena terlalu luas.
Teori ini hanya mencari satu saja dari sekian banyak sebab yang menimbulkan akibat
yang dilarang. Termasuk dalam teori ini adalah teori adequat dari Von Kries, yakni
musabab dari suatu kejadian adalah tindakan yang dalam keadaan normal dapat
menimbulkan akibat atau kejadian yang dilarang.
Keadaan yang normal dimaksud adalah bila pelaku mengetahui atau seharusnya
mengetahui keadaan saat itu, yang memungkinkan timbulnya suatu akibat.
Dalam hal ini, menurut hemat kami, maka harus diselidiki lebih dahulu apakah:
Dalam ajaran causa proxima, sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat
dilepaskan dari akibat. Peristiwa pidana dilihat secara in concreto atau post factum. Di
sini hal yang khusus diatur menurut pandangan individual, yaitu hanya ada satu syarat
sebagai musabab timbulnya akibat. Dalam tataran praktik harus dilihat pembuktiannya,
apakah dalam pembuktian forensik terbukti kematian memang akibat dari tersambar
petir, dan petir terpercik karena apa. Akhirnya ditemukan sebab yang paling dekat dan
tidak dapat dilepaskan dari adanya sambaran petir tersebut. Mengenai
pertanggungjawaban pidana, maka harus dilihat terpenuhi tidaknya unsur pidana serta
unsur kesalahan dari tindak pidana yang dikenakan terhadap terdakwa.
Sumber :
BMP : HKUM4203/
- http://repository.ut.ac.id/4058/1/HKUM4203-M1.pdf
- https://www.hukumonline.com/klinik/a/macam-macam-teori-
kausalitas-dalam-hukum-pidana-lt5e931262b32db
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.