Anda di halaman 1dari 16

AJARAN TENTANG TEMPAT DAN WAKTU

(Locus delicti dan Tempus delicti)

TERJADINYA TINDAK PIDANA DALAM KUHP LAMA DAN 2023


Dosen Pengampu: Nisfawati Laili Djalilah, MH.

Disususn Oleh:

Kelompok 5

Nama: NURUL ADIAN

Kelas: HKI/IVA

NIM: 210202011

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2023
PEMBAHASAN DAN CONTOH KASUS

A. Locus Delicti

1. Pengertian Locus Delicti

Locus delicti adalah tempat terjadinya suatu tindak pidana atau lokasi tempat
terjadinya perkara. Locus delicti penting diketahui untuk:

a) Menentukan apakah hukuman pidana Indonesia berlaku atau tidak terhadap suatu
perbuatan yang terjadi. Hal ini berhubungan dengan Pasal 2 hingga 8 Kitab
UndangUndang Hukum Pidana.

b) Menentukan pengadilan mana yang berhak mengadili suatu perkara pidana. Dalam hal
ini, kita berbicara mengenai kompetensi relatif suatu pengadilan. berdasarkan ketentuan
yang dimuat dalam Pasal 84 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang menyebutkan bahwa: “Pengadilan negeri yang di dalam daerah
hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau
ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman
sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu dari
pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu
dilakukan.”

Moeljatno menjelaskan bahwa para ahli dalam menentukan manakah yang


menjaditempat terjadinya pidana berbeda pendapat, sehingga menimbulkan dua aliran,
yaitu:

a) Aliran yang menentukan di satu tempat, yakni tempat di mana terdakwa berbuat.

b) Aliran yang menentukan di beberapa tempat, yakni mungkin tempat kelakuan dan
tempat Berdasarkan aliran yang pertama, terdapat dua teori, yakni teori tentang tempat di
mana tindakan atau kelakuan terjadi (leer der lichamelijk) dan teori instrumen (leer van
instrument). Sedangkan aliran kedua, dapat memilih menggunakan teori tentang tempat
di mana tindakan atau kelakuan terjadi atau menggunakan teori akibat.
a) Teori perbuatan materiil (leer der lichamelijk) Menurut teori ini, arti locus delicti
adalah tempat di mana tindakan atau kelakuan terjadi.

b) Teori instrumen (leer van instrument) Locus delicti diartikan sebagai tempat suatu
perkara pidana yang ditentukan oleh alat yang digunakan dan dengan alat itu, perbuatan
pidana dapat diselesaikan. Teori ini merupakan perluasan dari teori perbuatan materiil.

c) Teori akibat Teori ini menyatakan bahwa locus delicti ada di tempat di mana akibat
perbuatan pidana tersebut terjadi. Aliran kedua ini boleh memiliki locus delicti antara
tempat di mana perbuatan dimulai dengan tindakan atau tempat di mana akibat perbuatan
pidana itu terjadi.

Dari berbagai teori di atas, Prof. Eddy berpendapat bahwa:

a) Untuk delik-delik formil menggunakan teori perbuatan materiil karena lebih mudah
menentukan locus delictinya.

b) Untuk delik-delik yang dirumuskan secara materiil, teori yang dapat digunakan adalah
teori akibat.

c) Untuk kejahatan-kejahatan dengan modus operandi yang canggih dan meliputi lintas
batas, teori instrumenlah yang digunakan.

d) Untuk menghindari celah hukum, dapat menggunakan aliran kedua.

2. Azas Locus Delicti

Mengenai ruang berlakunya peraturan-peraturan pidana menurut tempat, dapat


disebutkan beberapa azas:

a) Asas Teritorial
Moeljanto memberikan pengertian mengenai azas teritorial dengan arti
perundangundangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi
di dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri, maupun oleh
orang asing. Kemudian Van Hamel juga turut memberikan pendapatnya mengenai
azas teritorial, yakni undang-undang hukum pidana suatu negara menguasai semua
perbuatan yang dilakukan dalam batas-batas negara, yang menurut sifatnya tidak
tergantung kewarganegaraan pelaku atau kepentingan hukum yang diserang. Dari
uraian tersebut, maka azas teritorial ini menitikberatkan pada terjadinya perbuatan di
dalam wilayah negara. Siapa yang melakukannya, baik org asing maupun warga
negara, tidak menjadi persoalan. Azas teritorial ini terdapat dalam Pasal 2 KUHP
yang berbunyi: “Aturan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di wilayah Indonesia”.
Azas teritorial ini diperluas dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3
KUHP yang menyatakan “peraturan pidana Indonesia dapat diterapkan kepada
setiap orang yang berada di luar negeri yang melakukan suatu tindak pidana dalam
perahu (vaartuig) Indonesia”.

 Berdasarkan KUHP baru (2023)


Pasal 4
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang
melakukan:
a. Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di Pesawat Udara Indonesia; atau
c. Tindak Pidana di bidang teknologi informasi atau Tindak Pidana lainnya yang
akibatnya dialami atau terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
atau di Kapal Indonesia dan di Pesawat Udara Indonesia.

b) Azas personalitas (Azas nasional aktif)

Azas nasional aktif artinya peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap
Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana, baik di dalam negeri
maupun luar negeri.

 Berdasarkan KUHP baru (2023)


Pasal 8
(1) Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi setiap warga negara
Indonesia yang melakukan Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku jika perbuatan
tersebut juga merupakan Tindak Pidana di negara tempat Tindak Pidana
dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Tindak
Pidana yang diancam dengan pidana denda paling banyak kategori III.
(4) Penuntutan terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan walaupun tersangka menjadi warga negara Indonesia, setelah Tindak
Pidana tersebut dilakukan sepanjang perbuatan tersebut merupakan Tindak Pidana
di negara tempat Tindak Pidana dilakukan.
(5) Warga negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dijatuhi pidana mati jika Tindak Pidana tersebut menurut hukum negara tempat
Tindak Pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengaa pidana mati.
c) Azas perlindungan (Azas nasional pasif)
Azas perlindungan memuat prinsip bahwa peraturan hukum pidana Indonesia
berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum Indonesia, baik
yang dilakukan oleh WNI atau bukan, yang dilakukan di luar Indonesia. Kejahatan
tersebut dapat dibagi dalam lima kategori:
• Kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat presiden
• Kejahatan-kejahatan tentang materai atau merk yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia
• Pemalsuan surat-surat hutan dan sertifikat-sertifikat hutang atas beban
Indonesia, daerah atau sebagian dari daerah; talon-talon deviden atau surat bunga
yang termasuk surat-surat itu, dan juga surat-surat yang dikeluarkan untuk surat-
surat itu; atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan
tersebut seolah-olah tulen dan tidak dipalsukn.
• Kejahatahn jabatan yang tercantum dalam Titel XXVIII Buku ke II yang
dilakukan oleh pegawai negeri Indonesia di luar Indonesia.
• Kejahatan pelayaran yang tercantum dalam Titel XXIX buku ke-2
 Berdasarkan KUHP baru (2023)

Pasal 5
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana
terhadap kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berhubungan
dengan:
a. keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan;
b. martabat Presiden, Wakil Presiden, dan/ atau Pejabat Indonesia di luar negeri;
c. mata uang, segel, cap negara, meterai, atau Surat berharga yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Indonesia, atau kartu kredit yang dikeluarkan oleh perbankan
Indonesia;
d. perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia;
e. keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan;
f. keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara
Indonesia;
g. keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik;
h. kepentingan nasional Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
Undang; atau i. warga negara Indonesia berdasarkan perjanjian internasional
dengan negara tempat terjadinya Tindak Pidana.
d) Azas Universal
Artinya adalah perundang-undangan hukum pidana suatu negara berlaku
bagi semua orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana
internasional.
 Berdasarkan KUHP baru (2023)
Pasal 6
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang berada
di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak
Pidana menurut hukum internasional yang telah ditetapkan sebagai Tindak Pidana
dalam Undang-Undang.
Pasal 7
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang
melakukan Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang penuntutannya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia atas dasar suatu
perjanjian internasional yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah
Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana.

3. Ekstradisi

Remmelink mengartikan ekstradisi sebagai penyerahan seorang tersangka atau


terdakwa atau terpidana oleh negara tempat di mana orang tersebut berada kepada negara
lain yang hendak mengadili orang yang diminta atau melaksanakan putusan pengadilan
negara dari negara yang diminta. Diterima atau ditolaknya suatu permintaan ekstradisi,
tidak terlepas dari prinsip-prinsip ekstradisi:
a) Asas perjanjian (pasal 2 ayat 1) Asas ini mengatur bahwa ekstradisi baru dapat
dilaksanakan oleh Negara Peminta dan Negara Peminta setelah terlebih dulu ada
perjanjian internasional mengenai ekstradisi antara keduanya.
b) Asas timbal balik (pasal 2 ayat 2) Asas ini mengatur bahwa jika belum ada perjanjian
internasional mengenai ekstradisi antara kedua Negara, maka ekstradisi tetap dapat
dilaksanakan atas dasar hubungan baik dan demi kepentingan negara.
c) Asas penyerahan pelaku kejahatan (pasal 3 ayat 1) Asas ini mengatur bahwa yang
dapat diekstradisikan adalah orang yang merupakan pelaku kejahatan dengan status
sebagai tersangka atau terpidana.
d) Asas penyerahan pelaku pembantu kejahatan (pasal 3 ayat 2) Asas ini mengatur bahwa
orang yang disangka atau dipidana karena melakukan pembantuan, percobaan, dan
permufakatan untuk melakukan kejahatan juga dapat diekstradisi, sepanjang perbuatan
tersebut merupakan kejahatan di Negara Peminta.
e) Asas persamaan kejahatan/kejahatan terdaftar (pasal 4 ayat 1) Asas ini mengatur
bahwa ekstradisi dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan yang tindakannya tersebut
diatur dalam daftar kejahatan yang dilampirkan dan merupakan bagian tak terpisahkan
dari Undang-undang ini. Kejahatan-kejahatan tersebut merupakan kejahatan biasa.
f) Asas kejahatan tidak terdaftar (pasal 4 ayat 2) Asas ini mengatur bahwa ekstradisi juga
dapat dilakukan terhadap kejahatankejahatan yang tidak termasuk dalam daftar lampiran
Undang-undang ini, namun kejahatan tersebut dinilai sebagai kejahatan oleh Negara yang
diminta.
g) Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (pasal 5 ayat 1), pelaku kejahatan
militer (pasal 6), pelaku kejahatan yang bertalian dengan agama22, keyakinan politik,
kewarganegaraan, suku bangsa atau golongan tertentu (pasal 14). Orangorang yang
disangka atau dituduh melakukan kejahatan-kejahatan seperti di atas tidak digolongkan
sebagai penjahat karena perbuatan yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana biasa.
Namun pasal 5 ayat (3) dan dan pasal 6 mengatur bahwa pelaku kejahatan politik dan
militer ini dapat dikestradisi jika telah diperjanjikan oleh kedua Negara sebelumnya;
h) Asas tidak menyerahkan warga Negara sendiri (pasal 7) Asas ini menyatakan bahwa
jika negara Peminta meminta ekstradisi terhadap warga Negara Indonesia, maka
Indonesia tidak akan menyerahkan warganya tersebut, kecuali jika pemerintah Indonesia
merasa jika pelaku lebih baik diadili di Negara peminta.
i) Asas teritorial (pasal 8) Asas ini mengatur bahwa Negara tempat terjadinya kejahatan
(baik sebagian atau seluruh kejahatan) berwenang penuh untuk mengadili pelaku, sesuai
dengan asas terpenting di dalam hukum pidana, yaitu Lex Locus Delicti (hukum yang
berlaku adalah hukum tempat kejahatan dilakukan), sehingga Indonesia dapat menolak
permintaan ekstradisi tersebut.
j) Asas ne bis in idem (pasal 9, 10 dan 11) Asas ini mengatur bahwa Indonesia dapat
menolak mengekstradisi jika pelaku sedang dalam proses pengadilan untuk kejahatan
yang sama (pasal 9), pelaku telah dijatuhi vonnis hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap untuk kejahatan yang sama(pasal 10), atau pelaku telah selesai
menjalani hukumannya untuk kasus yang sama (pasal 11).
k) Asas kadaluarsa (pasal 12) Asas ini mengatur bahwa Indonesia dapat menolak
permintaan ekstradisi atas pelaku kejahatan jika menurut pemerintah Indonesia hak untuk
menuntut dan mengadili pelaku telah kedaluwarsa.
l) Asas tidak menyerahkan pelaku yang diancam pidana mati di Negara Peminta (pasal
13) Asas ini mengatur bahwa jika kejahatan pelaku diancam hukman mati di Negara
Peminta, sedangkan di Indonesia kejahatan tersebut tidak dioancam pidana mati, maka
ekstradisi akan ditolak, kecuali Negara Peminta meyakinkan bahwa pelaku tidak akan
diancam hukuman mati.
m) Asas kejahatan lain (pasal 15) Asas ini mengatur bahwa permintaan ekstradisi akan
ditolak oleh pemerintah Indonesia jika ekstradisi dimintakan untuk penuntutan dan
pemidanaan kejahatan lain yang tidak tercantum dalam permintaan ekstradisi.
n) Asas tidak menyerahkan pelaku jika akan diserahkan kepada Negara ketiga (pasal 16)
Asas ini mengatur bahwa Indonesia akan menolak mengekstradisi seseorang yang tidak
akan diadili oleh Negara Peminta, melainkan akan diserahkan kepada Negara ketiga
untuk kejahatan lain yang dilakukan diluar permintaan ekstradisi.
o) Asas penundaan ekstradisi (pasal 17) Asas ini mengatur bahwa pelaksanaan ekstradisi
akan ditunda jika orang yang diminta untuk diekstradisi sedang menjalani hukuman
untuk kejahatan lain yang dilakukan di Indonesia.

B. Tempus Delicti

1. Pengertian Tempus Delicti

Tempus Delicti merupakan waktu terjadinya perbuatan delik atau tindak


pidana. Tempus Delicti penting untuk menentukan waktu atau kapan terjadinya suatu
tindak pidana dan juga untuk menentukan apakah suatu undang-undang pidana dapat
diberlakukan untuk mengadili tindak pidana yang terjadi tersebut. Suatu undang-
undang yang pemberlakuannya setelah terjadi suatu delik atau tindak pidana tidak
dapat digunakan sebagai dasar untuk memeriksa dan memutuskan suatu tindak
pidana.

2. Tujuan Diketahuinya Tempus Delicti


Tempus delicti adalah waktu terjadinya tindak pidana adapun tujuan
diketahuinya tempus delicti adalah sebagai berikut:
a) Untuk keperluan daluarsa dan hak penuntutan.
b) Untuk mengetahui apakah pada saat itu sudah berlaku hukum pidana atau
belum (asas legalitas).
c) Apakah si pelaku sudah mampu bertanggung jawab atau belum
(pertanggungjawaban).
3. Teori untuk Menentukan Tempus Delicti
Terdapat beberapa yang teori yang digunakan untuk menentukan tempus suatu
tindak pidana, yaitu terdapat 4 (empat) teori yakni sebagai berikut:
a) Teori Perbuatan Fisik
Teori ini didasarkan pada perbuatan secara fisik. Itulah sebabnya teori ini
menegaskan bahwa waktu terjadinya tindak pidana yaitu saat delik (kejahatan)
atau perbuatan pidana itu dilakukan oleh tersangka.
b) Teori Bekerjanya Alat yang Digunakan
Teori yang didasarkan kepada berfungsinya suatu alat yang digunakan
dalam perbuatan pidana. Teori ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai
waktu terjadinya tindak pidana adalah waktu dimana alat yang digunakan dalam
bentuk Tindakan pidana berekasi untuk melakukan pertanggung jawaban suatu
pidana.
c) Teori Akibat
Teori ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut teori
ini bahwa yang dianggap sebagai waktu terjadinya Tindakan Pidana adalah saat
dimana akibat dari tindak pidana tersebut timbul.
d) Teori Waktu
yang Jamak Teori ini merupakan gabungan dari teori perbuatan fisik dan teori
akibat.
4. Pentingnya Tempus Delicti
Mezger berpendapat bahwa untuk tempus delicti ini tidak mungkin diadakan
jawaban yang sama buat semua keperluan. Haruslah dibedakan menurut maksud
daripada peraturan. Pentingnya Tempus Delicti, yakni :
a) Untuk keperluan kadaluwarsa dan hak penuntutan yang perlu waktu perbuatan
seluruhnya terjadi, jadi pada waktu sesudah terjadinya akibat.
b) Untuk keperluan apakah aturan-aturan hukum pidana berlaku atau tidak, dan
untuk penentuan apakah mampu bertanggung jawab atau tidak, atau ada tidaknya
perbuatan bersifat melawan hukum (karena ada atau tidaknya izin dari yang
berwajib).
c) Menentukan usia pelaku (Pasal 74 KUHP) dan usia korban untuk delik Susila
(Pasal 287 Ayat 2 dan Pasal 290).
d) Keadaan jiwa pelaku (Pasal 44 KUHP).
e) Sebagai syarat mutlak sahnya surat dakwaan.

5. Pasal-Pasal Yang Berhubungan Dengan Berlakunya Tempus Delicti

Tempus Delicti adalah penting berhubungan dengan :

a) Pasal 1 KUHP : Apakah perbuatan yang bersangkut-paut pada waktu itu sudah
dilarang dan diancam dengan pidana? Mengenai Asas Legalitas yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Suatu Perbuatan
tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan
pidana yang telah ada.” Bahwa hanya perbuatan yang disebut dengan tegas oleh
peraturan perundangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai
hukuman (pidana). Asas ini memberikan jaminan kepada orang untuk tidak
diperlakukan sewenang-wenang oleh alat penegak hukum.

b) Berhubungan dengan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan : “Bilamana ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”
c) Pasal 44 KUHP : Apakah terdakwa ketika itu mampu bertanggung jawab?
d) Pasal 45 KUHP : Apakah terdakwa ketika melakukan perbuatan sudah berumur
16 tahun atau belum. Jikalau usianya belum berumur 16 tahun, maka boleh
memilih anatar ketiga kemungkinan:

• Mengembalikan anak tersebut kepada orang tuanya tanpa diberi pidana apapun,

• Menyerahkan anak tersebut keapada pemerintah untuk dimasukkan rumah


pendidikan,
• Menjatuhi pidana seperti orang dewasa. Maksimum dari pada pidana-pidan
pokok dikurangi 1/4.
e) Pasal 79 (verjaring atau kedaluarsa). Dihitung mulai hari setelah perbuatan
pidana terjadi.
f) Pasal 57 HIR. Diketahuinya kelakuan perbuatan dalam keadaan tertangkap
tangan (op heterdaad).
6. Hal-hal Yang Menentukan Terjadinya Delik Tempus
Delicti Rumusan delik sendiri menunjukkan kapan delik itu dilakukan
seperti pencurian pada waktu malam di sebuah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya (Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP). Jika dilakukan bukan pada waktu
malam atau antara matahari terbenam dan matahari terbit, makan akan menjadi
pencurian biasa (Pasal 362 KUHP).
Tentulah penuntut umum harus membuktikan kapan waktu terjadinya delik dan
harus dapat membuktikannya.
Ada lima hal waktu yang menentukan terjadinya delik, yaitu:
a) Menyangkut berlakunya hukum pidana (Pasal I ayat (1) KUHP)

b) Berlakunya peradilan anak, apakah anak itu sudah dewasa pada saat melakukan
delik

c) Menyangkut ketentuan residive (apakah pengulangan delik atau gabungan


concursus) delik d) Menyangkut lewat waktu (verjaring)

e) Rumusan delik sendiri menentukan (pencurian pada wakti malam dan


seterusnya; pencurian pada waktu banjir, gempa, dan seterusnya).

Waktu terjadinya perbuatan pidana atau tempus delicti memiliki 4 (empat) arti
penting, yaitu:

a) Apakah pada saat perbuatan itu terjadi, perbuatan tersebut telah


dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana? Hal ini berkaitan erat dengan asas
legalitas sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam Bab II tentang asas legalitas
dan perbuatan pidana.

b) Apakah pada saat melakukan perbuatan pidana, terdakwa mampu atau tidak
mampu bertanggung jawab? Hal ini berkaitan dengan kemampuan bertanggung
jawab seperti yang telah dibahas dalam Bab III mengenai pertanggungjawaban
pidana.

c) Apakah pada saat terjadinya perbuatan pidana, terdakwa telah cukup umur.
Hal ini pada dasarnya juga berbicara perihal kemampuan bertanggung jawab.

d) Terkait kedaluwarsa atau verjaring. Pada dasaranya kedaluwarsa dihitung


mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi, akan tetapi ada beberapa kejahatan
yang perhitungan kedaluwarsanya tidak demikian. Berapa lama kedaluwarsa
penuntutan pidana, tidak terlepas dari maksimum ancaman pidana terhadap
perbuatan pidana tersebut.

Penentuan waktu tewujudnya delik formil, yaitu yang terwujud dengan


melakukan perbuatan yang dilarang tanpa hal-hal sebagai berikut :

a) Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang,tenggang waktu mulai berlaku


pada hari sesudah barang yang di palsu atau mata uang yang dirusak digunakan
oleh si pembuat.

b) Mengenai kejahatan tersebut dalam pasal 328, 329, 330 dan 333, tenggang
waktu dimulai pada hari sesudah orang langsung terkena oleh kejahatan
dibebaskan atau meninggal dunia.

Contoh Kasus

FS, seorang ibu rumah tangga berusia 19 tahun di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat Barat
ditemukan tewas menggantung di dalam rumahnya pada Selasa (3/1/2023).

Ia tercatat sebagai warga Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah.

Korban ditemukan menggantung di rumah sang suami di Dusun Pondok Komak, Desa Lantan,
Lombok Tengah. Mayat FS pertama kali ditemukan adik iparnya, R (13) pada Selasa siang
sekitar pukul 11.30 Wita.

R yang ketakutan langsung beteriak memanggil orangtuanya, S (50) yang tak lain mertua korban.

Dalam kasus tersebut, anggota berhasil tiga pelaku kurang dari tiga jam setelah pihaknya
mendapatkan informasi dan melakukan penyelidikan.
"Ada tiga pelaku yang diamankan dan kurang dari 24 jam pasca kejadian," katanya. 
Dari hasil autopsi dan hasil kejanggalan yang di TKP, dan suami mengaku melakukan
pembunuhan dengan melakukan pemukulan dan baru digantung menggunakan tali nilon di paku.
Pelaku membunuh korban dibantu kakak kandungnya dan ibu kandungnya untuk melakukan
pembunuhan berencana tersebut. 
"Pelaku membunuh korban dengan alasan kesal, karena korban suka melawan kemauan suami,"
katanya. 
Sebelumnya, penemuan mayat yang diduga gantung diri menggegerkan warga Dusun Pondok
Komak, Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara Kabupaten Lombok Tengah, Selasa
(03/1/2023).
Kapolsek Batukliang Utara Iptu Sribagyo mengatakan, korban Inisial FS (19) ditemukan oleh
adiknya yang pulang dari sekolah dan melihat posisi korban dengan leher terikat tali dan
tergantung di belakang pintu. 
"Melihat kejadian tersebut saksi  langsung berteriak memanggil S, 50 tahun (Mertua Korban),"
katanya. 
Mendengar panggilan itu,  Ibu mertua korban langsung bergegas menuju TKP dan melihat
korban dalam keadaan tergantung dan sudah meninggal dunia.
Akhirnya ibu mertua korban langsung berteriak memanggil tetangganya yang ada di sekitar
rumah, tetangga pun berdatangan dan langsung menghubungi suami korban yang saat itu sedang
bekerja di kebun yang jaraknya cukup jauh dari rumah korban.
Menerima laporan tentang kejadian tersebut unit Reskrim Polsek Batukliang Utara yang
dipimpin langsung oleh Kapolsek langsung turun ke Tempat Kejadian Perkara (TKP)
mengamankan lokasi kejadian, meminta keterangan saksi saksi dan menghubungi tim Inafis
Polres Lombok untuk dilakukan identifikasi dan olah TKP.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Tim Medis Puskesmas Tanak Beak, pada bagian kepala serta
muka tidak ditemukan kelainan, sementara pada leher terdapat bekas tali ikatan yang terlihat
kebiruan dan bengkak yang diduga akibat jeratan tali.
"Lidah dalam keadaan tergigit, Sementara pada alat kelamin korban terlihat cairan yang
kekuningan setelah Urine," katanya. 
Sementara pada bagian dada dan tangan tidak ditemukan bekas luka, hanya pada lutut sebelah
kiri ada bekas jeratan tali dan pada lutut sebelah kanan terlihat ada lebam serta lecet. Untuk
memastikan penyebab kematian korban, kedua orang tua korban dan semua keluarga yang hadir
sepakat untuk dilakukan autopsi.
Kemudian Jenazah korban langsung diberangkatkan menuju Rumah Sakit Bhayangkara Mataram
untuk dilakukan autopsi dengan dikawal langsung oleh tim Inafis Polres Lombok Tengah.

Dari hasil autopsi dan hasil kejanggalan di TKP korban tewas karena dibunuh, sehingga setelah
dilakukan penyelidikan, suami korban mengaku membunuh korban dengan melakukan
pemukulan dan baru digantung menggunakan tali nilon di sebuah paku yang ada di belakang
pintu yang di bantu oleh dua pelaku lainnya yaitu ibu dari suami korban (mertua) dan ipar korban
atau saudara dari suami korban.

ANALISIS

Dari kasus di atas, dimana kasus tersebut merupakan kasus pembunuhan berencana yang
bertempat di Desa Lantan, Batukliang Utara, Lombok Tengah NUSA TENGGARA BARAT.
Waktu kejadian Selasa (3/1/2023) Jam 11:30 WITA.

Tiga pelaku diancam dengan pasal pembunuhan berencana sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 340 KUHP subsider pasal 338 KUHP junto pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. yang berbunyi,
"Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun."

Anda mungkin juga menyukai