Anda di halaman 1dari 4

1.1.

Ajaran tempat atau lokasi pidana (locus delicti) dan waktu tindak pidana (tempus delicti) ini tidak
ada ketentuannya dalam undang-undang huukum pidana. Akan tetapi ajaran ini sangat penting, hal ini
sebagaimana ditentukan dalam Pasa 121 KUHP bahwa : penyidik dalam membuat berita acara
diantaranya harus meneyebutkan "waktu dan tempat tindak pidana dilakukan"; dan Pasal 143 ayat (2)
huruf b KUHP bahwa: penuntut umum dalam membuat surat dakwaan diantaranya harus menyebutkan
"waktu dan tempat tindak pidana dilakukan". Hal ini menunjukan begitu pentingnya ajaran locus delicti
dan tempus delicti.

Dalam hubungannya dengan delik komisis (commissie delict), locus delicti itu mempunyau beberapa
teori, yaitu :

a. Teori perbuatan material, menurut teori ini yang akan menjadi tempat tindak pidana adalah di tempat
pembuat melakukan tindak pidana.

b. Teori alamat, menurut teori ini yang menjadi tempat tindak pidana adalah di tempat mulai bekerjanya
alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana.

c. Teori akibat, menurut teori ini yang menjadi tempat tindak pidana adalah di tempat tindak pidana itu
menimbulkan akibat.

d. Teori beberapa tempat, teori ini merupakan gabungan dari ketiga-tiganya atau dua diantara teori
tersebut diatas. Menurur teori ini tempat tindak pidana itu adalah beberapa tempat, apabila tindak
pidana itu dilakukan, bekerjanya alat yang dipergunakan, akibatnya di beberapa tempat itu.

Dalam rangka pembentukan KUHP Nasional yang akan datang dengan maksud untuk adanha kepastian
hukum, maka mengenai locus delicti dan tempus delicti tidam diserahkan kepada doktrin melainkan
ditentukan secara pasti dalam ketentuan-ketentuan KUHP 1991/1992 yaitu, tempus delicti dalam Pasal
12 dan locus delicti dalam Pasal 13.

Pasal 12 berbunyi : "waktu tindak pidana ditentukan pada saat pembuat melakukan perbuatan yang
dilarang atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan".

Dalam pasal ini antara lain diterangkan bahwa waktu tindak pidana adalah waktu ketika dilakukannya
tindak pidana. Dalam konteks ini tidak dibedakan delik dengan perumusan secara formal dan yang
dirumuskan secara material.

Pasal 13 berbunyi : "tempat tindak pidana adalah tempat dimana pembuat melakukan perbuatan yang
dilarang, atau dalam hal pembuat tidak melakukan sesuatu adalah tempat ia seharusnya melakukannya,
atau tempat terjadinya akibat yang dimaksud dalam perumusan peraturan perundang-undangan atau
tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat itu".

Dalam penjelesan ini diterangkan antara lain bahwa yang dipakai untuk menentukan tindak pidana ialah
teori perbuatan material dan teori akibat. Mengenai tempat terjadinya akibat dibedakan antara :

(1) tempat dimana akibat itu sungguh-sungguh terjadi; dan


(2) tempat dimana diperkirakan akibat itu akan terjadi.

Bagi tindak pidana yang dalam pelaksanaanya mempergunakan alat, maka tempat tindak pidana adalah
dimana alat tersebut mulai bekerja.

1.2. Asas bahwa hukum Pidana Indonesia berlaku terhadap semua orang yang dalam bilangan Indonesia
melakukan tindak pidana, kecuali korp diplomatik berlaku hukum negara asalnya.

Dalam asas ini disebutkan dalam bilangan Indonesia maksudnya adalah dalam wilayah Indonesia dari
Sabang sampai Merauke dan di tempat kerja dan tinggal perwakilan Indonesia di luar negeri yang
tunduk pada asas lex teritorial dari hukum internasional. Asas ini tercantum dalam pasal 2 KUHP. Asas
hukum pidana Indonesia juga berlaku bagi kapal-kapal yang berbendera Indonesia tanpa
memperhatikan siapa pemiliknya. Karena kapal dianggap pulau terapung maka harus tunduk pada
hukum pidana Indonesia.

2.1. Pasal 77 huruf a KUHAP menyatakan:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan;

Pengajuan praperadilan dalam hal penetapan tersangka dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1
angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal, penetapan tersangka adalah bagian dari proses
penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang
termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.

2.2. Dalam putusan perkara nomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah menyatakan frasa “bukti permulaan”,
“bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17,
dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal
184 KUHAP.

Ketentuan dalam KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah dari frasa “bukti
permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Satu-satunya pasal yang
menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti ... dst”.

Oleh karena itu, pemaknaan “minimal dua alat bukti” dinilai Mahkamah merupakan perwujudan asas
due process of law untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Sebagai
hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia, masih terdapat beberapa frasa dalam KUHAP
yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta agar melindungi
seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik.

“Dengan demikian, seorang penyidik di dalam menentukan ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang
cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal
21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang".
3.1. Yurisdiksi berarti, kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum, atau dengan
singkat dapat diartikan "kekuasaan atau kewenangan hukum. Yurisdiksi teritorial adalah setiap negara
mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayahnya (teritorial).
Prinsip teritorial ini berlaku pada hal-hal berikut ini :

(1) Hak Lintas di laut teritorial;

(2) Prinsip Yurisdiksi teritorial terhadap kapal berbendera asing di laut teritorial;

(3) Pelabuhan;

(4) Terhadap orang asing;

(5) Yurisdiksi teritorial terhadap pelaku tindak pidana;

(6) Pengecualian terhadap yurisdiksi terhadap kasus teritorial.

3.2.A. Yurisdiksi nasionalitas aktif, asas ini menitikberatkan pada adanya hubungan langsung dan aktif
antara negara itu sendiri dengan warga negaranya. Asas ini berdasarkan pada suatu bahwa setiap orang
warga negara akan membawa dan menaati hukum negaranya dimanapun dia berada. Dengan kata lain,
hukum negaranya akan selalu mengikutinya, kemanapun dia pergi dimanapun dia berada.

Namun tidaklah dalam segala hal dan segala peristiwa hukum dimana seseorsng warganegaranya harus
diberlakukan. Dalam hal ini, berlakulah asas selektifitas yaitu penentuan tentang dapat berlaku atau
tidaknya hukum nasional negaranya itu harus ditentukan oleh negara itu sendiri. Tegasnya negara itu
sendirilah yang menentukan peraturan perundang-undangan yang manakah yang dapat diberlakukan
terhadap warga negaranya yang terlibat dalam peristiwa hukum yang mnegandung aspek-aspek
internasional atau peristiwa hukum yang tidak semata-mata merupakan masalah domestik. Sudah tentu
pula, harus menghormati dan memperhatikan kaedah-kaedah hukum internasional dan hukum nasional
dari negara-negara lain.

3.2.B. Yurisdiksi nasionalitas pasif, dalam yurisdiksi ini, titik beratnya tidak terletak pada hubungan
langsung antara negara dengan orang-orang yang bersangkutan, sebab orang itu bukan
warganegaranya, melainkan warga negara asing itu untuk melindungi kepentingannya maupun
kepentingan warganegaranya sendiri terhadap tindakan-tindakan atau perilaku orang asing yang
merugikan. Jadi, orang yang bukan warganegaranya ditundukkan dibawah hukum nasionalnya,
disebabkan oleh karena perbuatan atau perilaku orsng asing itu yang merugikan kepentingan negara
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara tersebut.

3.3. Yurisdiksi universal, prinsip yurisdiksi ini adalah tindakan tertentu yang melanggar hukum
internasional secara serius dan dapat diadili oleh setiap negara, terlepas dari kewarganegaraan pelaku
atau tempat kejadian tindak pidana.
Nandang Alamsah Deliarnoor. (2022). ISIP4131 Sistem Hukum Indonesia. Tanggerang Selatan :
Universitas Terbuka.

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10796

Anda mungkin juga menyukai