Anda di halaman 1dari 5

MODUL KULIAH ONLINE PERTEMUAN KE-8 HUKUM PIDANA

LOCUS DELIKTI DAN TEMPUS DELICTI

Oleh : Endik Wahyudi

A. PENDAHULUAN
Sebagaimana telah dikemukakan Jan Remmelink, masalah waktu dan
tempat tindak pidana atau yang dikenal dengan istilah lain tempus delicti dan
locus delicti adalah persoalan yang nampaknya sederhana, namun
kenyataanya tidak demikian.1 Ketika penuntut umum tidak menyebutkan atau
salah menentukan pempus dan locus delicti akan berakibat fatal pada surat
dakwaan, dalam kontek indonesia, arti penting tempus delicti dan locus delicti
tersimpul dalam pasal 143 KUHP.
Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP menyatakan: Penuntut umum
membuat surat dakwan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan. Selanjutnya Pasal 143 ayat (3) KUHAP Surat dakwaan yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b
batal demi hukum.

B. PEMBAHASAN
Locus delicti adalah tempat terjadinya tindak pidana, sedangkan yang
dimaksud dengan tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu tindak pidana.
Untuk menentukan locus delicti dan tempus delicti tidaklah mudah. Namun
walaupun demikian, penyebutan secara tegas mengenai kedua hal ini sangat
berperan penting bagi berbagai permasalahan yang terdapat dalam bidang
hukum pidana.
Sedangkan dalam KUHAP Republik Indonesia dalam pasal pasal 84
menjelaskan locus delicti sebagai berikut:
Pasal (1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai
tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Pasal (2) Pengadilan
negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam
terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili
perkara terdakwa tersebut apabila tempat kediaman sebagian besar saksi
yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat
kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu
dilakukan. (UU no 8 /1981 tentang KUHAP)
Meskipun locus delicti dan tempus delicti ini tidak ada ketentuannya di
dalam KUHP, locus dan tempus delicti tetap perlu diketahui. Locus delicti
perlu diketahui untuk :

1
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. 2016,hlm 295
1. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia tetap berlaku
terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak, ini berhubungan
dengan Pasal 2-8 KUHP.
2. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus
mengurus perkaranya, ini berhubungan dengan kompetensi relatif. 2

Menurut Van Hamel yang dianggap sebagai locus delicti adalah:


1. Tempat di mana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri
perbuatannya.
2. Tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh seorang pelaku
itu bekerja.
3. Tempat di mana akibat langsung dari sesuatu tindakan itu telah
timbul
4. Tempat di mana sesuatu akibat konstitutif itu telah diambil. 3

Tempus delicti adalah penting karena berhubungan dengan:

1. Pasal 1 KUHP, untuk menentukan apakah perbuatan yang


bersangkut paut pada waktu itu sudah dilarang dan diancam
dengan pidana atau belum;
2. Pasal 44 KUHP, untuk menentukan apakah terdakwa ketika itu
mampu bertanggung jawab atau tidak;
3. Pasal 45 KUHP, untuk menentukan apakah terdakwa ketika
melakukan perbuatan sudah berumur 16 tahun atau belum, jika
belum berumur 16 tahun, maka boleh memilih antara ketiga
kemungkinan;
4. Pasal 79 KUHP (verjaring atau daluarsa), dihitung mulai dari hari
setelah perbuatan pidana terjadi;
5. Pasal 57 HIR, diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap
tangan (opheterda).

Teori Tempus Delicti dibagi menjadi 4 yaitu;


1. Teori Perbuatan Fisik (de leer van de lichamelijke daad)
2. Teori Bekerjanya Alat Yang Digunakan
3. Teori Akibat

Teori  perbuatan materiil (de leer van de lichamelijke daad)


Menurut ajaran ini yang harus dianggap sebagai tempat terjadinya
tindak pidana (Locus Delicti) didasarkan kepada perbuatan secara fisik. Itulah
sebabnya ajaran ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat
terjadinya tindak pidana/locus delicti, adalah tempatdimana perbuatan
tersebut dilakukan.

2
PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya, Bandung. 2011, hlm 12.
3
Ibid
contoh kasus: Anda seorang mahasiswa Universitas Muhammadia Malang,
suatu hari anda sedang mengerjakan tugas anda diluar. setelah anda
membaca artikel saya ini, kemudian Anda berniat kembali ke kost Anda.
Diperjalanan menuju kost datang seseorang yang memusuhi anda, lalu tiba-
tiba Ia menikam Anda. Kondisi Anda sekarat tapi belum mati, dan dilarikan
kerumah sakit Surabaya. 3 hari kemudian anda tewas.

Teori Bekerjanya Alat Yang Digunakan (de leer van het instrument)

Teori ini dikenal juga dengan nama de leer van het instrument atau
Teori Instrumental. menurut teori ini, yang harus menjadi atau dianggap
sebagai locus delicti adalah tempat dimana alat yang digunakan
menimbulkan akibat tindak pidana. akbiat apa? bisa kematian, penderitaan,
kerugian dan akibat-akibat lain. namun dalam kasus anda tadi akibat yang
timbul adalah anda mati  karena anda ditikam.

Contoh: Suatu hari hari Anda mengirip paketan buku kepada musuh anda
yang berda diluar kabupaten Malang, anggap saja musuh anda di Surabaya.
Ketika musuh Anda membuka paketan tersebut DOORRRR ternyata isinya
adalah BOM. musuh anda terluka atau mati. Dimana locus delictinya?
berdasarkan ajaran instrumen maka locus deliktinya di Surabaya. Karena
instrumen yang digunakan dalam tindak pidana tersebut menyebabkan akibat
di Surabaya.

Teori Akibat

ajaran ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut ajaran
ini bahwa yangdianggap sebagai locus delicti adalah tempat
dimana akibat daripada tindak pidana tersebut timbul.
Menurut Van Hamel , bahwa yang harus diterima sebagai locus delicti, ialah :
1. Tempat seseorang pembuat (dader) telah melakukan perbuatannya yang
dilarang (atau yang dipereintahkan) oleh Undang-Undang Pidana.
2. Tempat alat yang dipergunakan oleh pembuat bekerja.
3. Tempat akibat langsung perbuatannya telah terwujud.
4. Tempat sesuatu akibat konstitutif telah terwujud.

Moeljatno (1987:78-79) menjelaskan bahwa para ahli dalam


menentukan manakah yang menjadi tempat terjadinya pidana berbeda
pendapat, sehingga menimbulkan dua aliran. Yaitu: (1) aliran yang
menentukan “di satu tempat”, yaitu tempat di mana terdakwa melakukan
perbuatan tersebut, dan (2) aliran yang menentukan “di beberapan tempat”,
yaitu mungkin tempat perbuatan dan mungkin di tempat akibat. 4

4
Moeljatno. 1987. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara
Moeljatno (1987:79) dalam bukunya menjelaskan bahwa aliran
pertama dipelopori oleh Pompe dan Langemeyer yang mengatakan bahwa
tempat kejahatan bukan ditentukan oleh tempat akibat dari perbuatan,
melainkan ditentukan berdasarkan di mana terdakwa berbuat. Mengenai
pandangan ini diperluas dengan tempat dimana alat yang dipergunakan oleh
terdakwa berbuat, jika terdakwa menggunakan alat. 5

Aliran yang kedua dianut oleh Simon, Van Hammel, Jonker dan
Bemelen yang menyatakan bahwa tempat perbuatan itu boleh dipilih antara
tempat di mana perbuatan dimulai terdakwa sampai dengan perbutan itu
selesai dengan timbulnya akibat. Di samping itu, Moeljatno juga menyatakan
bahwa perbuatan terdiri atas kelakuan dan akibat, sehingga boleh memilih
tempat perbutan/kelakuan atau memilih tempat akibat. 6

Asas Teritorial

Ruang lingkup berlakunya undang-undang pidana dalam suatu negara


dapat dilihat dalam kitap undang-undang hukum pidana. Pemberlakuan lex
loci delicti atau undang-undang yang berlaku di tempat tindak pidana itu telah
dilakukan. Baik terhadap pelaku yang merupakan warga negaranya sendiri
maupun terhadap orang asing yang diketahui telah melakukan tindak pidana
di dalam wilayahnya. Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2KUHP yang menyatakan :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkanbagi
setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.

Asas teritorial ini melahirkan yuridiksi teritorial, yaitu kedaulatan atau


kewenangan suatu negara yang berdasarkan hukum Internasional untuk
mengatur segala sesuatu yang terjadi dalam batas-batas wilayah negaranya.
Salah satu wujud dari yuridiksi teritorial suatu negara adalah membuat serta
memberlakukan hukum pidana nasional nya terhadap tindak pidana yang
terjadi dalam wilayah negara tersebut. Ketentuan ini berlaku bagi warga
negaranya sendiri maupun orang asing yang melakukan suatu tindak pidana.
7
Ini merupakan dasar yang diunggulkan bagi pelaksanaan yuridiksi negara.
Peristiwa yang terjadi dalam batas-batas teritorial suatu negara dan
orangorang yang berada di wilayah tersebut sekalipun untuk sementara, pada
lazimnya tunduk pada penerapan hukum lokal. 8

Asas atau prinsip teritorial mempersoalkan tentang lingkungan kuasa


berlakunya hukum pidana terhadap ruang, jadi lebih luas dari pada tanah

5
ibid
6
Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentarnya (Bogor: Politea, 1991), h. 31.
7
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yarma Widya, 2003. hlm. 12-13
8
Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Arumanadi, Semarang: IKIP Semarang
Press, 1993, hlm. 120.
(bumi),9 ia merupakan asas yang tertua dari asas-asas berlakunya hukum
pidana menurut tempat. Asas teritorial merupakan asas yang fundamental.
Hal ini berarti, sekalipun telah diterapkan batas-batas berlakunya hukum
pidana Indonesia, dalam keadaan tertentu serta untuk subyek hukum tertentu,
dapat diterapkan perluasan-perluasan terhadap asas teritorial.10

Wilayah perairan Indonesia meliputi seluruh perairan yang terletak di


sebelah dalam garis dasar serta laut wilayah (teritorial sea) di sekelilingnya
selebar 12 mil laut, diukur mulai garis dasar ke arah luar. Wilayah ini
ditambah lagi seluas 200 mil diukur dari garis dasar yang disebut Zone
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Seperti halnya terhadap wilayah daratan, Indonesia
memiliki kedaulatan penuh (soveregnty) di seluruh wilayah perairan yang
diikuti pula oleh yuridiksi kriminal. 11

Berlakunya undang-undang Indonesia terhadap tindak pidana yang


terjadi dalam pesawat Indonesia tercantum dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kejahatan Penerbangan dan
Kejahatan terhadap Sarana-prasarana Penerbangan. 12

9
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 162.
10
Romli Atmasamita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem hukum Pidana Indonesia (Bandung:
PT. Citra aditya Bakti, 1997, hlm. 105.
11
Mustafa Djuang Harahap, Yuridiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang Berkaitan dengan hukum
Internasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 125.
12
Ibid

Anda mungkin juga menyukai