A. PENDAHULUAN
Sebagaimana telah dikemukakan Jan Remmelink, masalah waktu dan
tempat tindak pidana atau yang dikenal dengan istilah lain tempus delicti dan
locus delicti adalah persoalan yang nampaknya sederhana, namun
kenyataanya tidak demikian.1 Ketika penuntut umum tidak menyebutkan atau
salah menentukan pempus dan locus delicti akan berakibat fatal pada surat
dakwaan, dalam kontek indonesia, arti penting tempus delicti dan locus delicti
tersimpul dalam pasal 143 KUHP.
Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP menyatakan: Penuntut umum
membuat surat dakwan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan. Selanjutnya Pasal 143 ayat (3) KUHAP Surat dakwaan yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b
batal demi hukum.
B. PEMBAHASAN
Locus delicti adalah tempat terjadinya tindak pidana, sedangkan yang
dimaksud dengan tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu tindak pidana.
Untuk menentukan locus delicti dan tempus delicti tidaklah mudah. Namun
walaupun demikian, penyebutan secara tegas mengenai kedua hal ini sangat
berperan penting bagi berbagai permasalahan yang terdapat dalam bidang
hukum pidana.
Sedangkan dalam KUHAP Republik Indonesia dalam pasal pasal 84
menjelaskan locus delicti sebagai berikut:
Pasal (1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai
tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Pasal (2) Pengadilan
negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam
terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili
perkara terdakwa tersebut apabila tempat kediaman sebagian besar saksi
yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat
kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu
dilakukan. (UU no 8 /1981 tentang KUHAP)
Meskipun locus delicti dan tempus delicti ini tidak ada ketentuannya di
dalam KUHP, locus dan tempus delicti tetap perlu diketahui. Locus delicti
perlu diketahui untuk :
1
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. 2016,hlm 295
1. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia tetap berlaku
terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak, ini berhubungan
dengan Pasal 2-8 KUHP.
2. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus
mengurus perkaranya, ini berhubungan dengan kompetensi relatif. 2
2
PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya, Bandung. 2011, hlm 12.
3
Ibid
contoh kasus: Anda seorang mahasiswa Universitas Muhammadia Malang,
suatu hari anda sedang mengerjakan tugas anda diluar. setelah anda
membaca artikel saya ini, kemudian Anda berniat kembali ke kost Anda.
Diperjalanan menuju kost datang seseorang yang memusuhi anda, lalu tiba-
tiba Ia menikam Anda. Kondisi Anda sekarat tapi belum mati, dan dilarikan
kerumah sakit Surabaya. 3 hari kemudian anda tewas.
Teori Bekerjanya Alat Yang Digunakan (de leer van het instrument)
Teori ini dikenal juga dengan nama de leer van het instrument atau
Teori Instrumental. menurut teori ini, yang harus menjadi atau dianggap
sebagai locus delicti adalah tempat dimana alat yang digunakan
menimbulkan akibat tindak pidana. akbiat apa? bisa kematian, penderitaan,
kerugian dan akibat-akibat lain. namun dalam kasus anda tadi akibat yang
timbul adalah anda mati karena anda ditikam.
Contoh: Suatu hari hari Anda mengirip paketan buku kepada musuh anda
yang berda diluar kabupaten Malang, anggap saja musuh anda di Surabaya.
Ketika musuh Anda membuka paketan tersebut DOORRRR ternyata isinya
adalah BOM. musuh anda terluka atau mati. Dimana locus delictinya?
berdasarkan ajaran instrumen maka locus deliktinya di Surabaya. Karena
instrumen yang digunakan dalam tindak pidana tersebut menyebabkan akibat
di Surabaya.
Teori Akibat
ajaran ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut ajaran
ini bahwa yangdianggap sebagai locus delicti adalah tempat
dimana akibat daripada tindak pidana tersebut timbul.
Menurut Van Hamel , bahwa yang harus diterima sebagai locus delicti, ialah :
1. Tempat seseorang pembuat (dader) telah melakukan perbuatannya yang
dilarang (atau yang dipereintahkan) oleh Undang-Undang Pidana.
2. Tempat alat yang dipergunakan oleh pembuat bekerja.
3. Tempat akibat langsung perbuatannya telah terwujud.
4. Tempat sesuatu akibat konstitutif telah terwujud.
4
Moeljatno. 1987. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara
Moeljatno (1987:79) dalam bukunya menjelaskan bahwa aliran
pertama dipelopori oleh Pompe dan Langemeyer yang mengatakan bahwa
tempat kejahatan bukan ditentukan oleh tempat akibat dari perbuatan,
melainkan ditentukan berdasarkan di mana terdakwa berbuat. Mengenai
pandangan ini diperluas dengan tempat dimana alat yang dipergunakan oleh
terdakwa berbuat, jika terdakwa menggunakan alat. 5
Aliran yang kedua dianut oleh Simon, Van Hammel, Jonker dan
Bemelen yang menyatakan bahwa tempat perbuatan itu boleh dipilih antara
tempat di mana perbuatan dimulai terdakwa sampai dengan perbutan itu
selesai dengan timbulnya akibat. Di samping itu, Moeljatno juga menyatakan
bahwa perbuatan terdiri atas kelakuan dan akibat, sehingga boleh memilih
tempat perbutan/kelakuan atau memilih tempat akibat. 6
Asas Teritorial
5
ibid
6
Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentarnya (Bogor: Politea, 1991), h. 31.
7
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yarma Widya, 2003. hlm. 12-13
8
Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Arumanadi, Semarang: IKIP Semarang
Press, 1993, hlm. 120.
(bumi),9 ia merupakan asas yang tertua dari asas-asas berlakunya hukum
pidana menurut tempat. Asas teritorial merupakan asas yang fundamental.
Hal ini berarti, sekalipun telah diterapkan batas-batas berlakunya hukum
pidana Indonesia, dalam keadaan tertentu serta untuk subyek hukum tertentu,
dapat diterapkan perluasan-perluasan terhadap asas teritorial.10
9
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 162.
10
Romli Atmasamita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem hukum Pidana Indonesia (Bandung:
PT. Citra aditya Bakti, 1997, hlm. 105.
11
Mustafa Djuang Harahap, Yuridiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang Berkaitan dengan hukum
Internasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 125.
12
Ibid