Anda di halaman 1dari 13

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

TEMPAT DAN WAKTU TERJADINYA TINDAK PIDANA,


MODUL PENGERTIAN PERIHAL MELAWAN HUKUM, SIFAT
TIDAK BERLAKU SURUT DARI HUKUM PIDANA DAN
AJARAN KAUSALITAS
03 4 JP ( 180 Menit )

Pengantar

Modul ini berisi tentang pemahaman hukum pidana yang pada dasarnya
membahas tempat dan waktu terjadinya tindak pidana,pengertian perihal
melawan hukum, sifat tidak berlaku surut dari hukum pidana dan ajaran
kausalitas.

Kompetensi Dasar

Memahami tempat dan waktu terjadinya tindak pidana,pengertian perihal


melawan hukum, sifat tidak berlaku surut dari hukum pidana dan ajaran
kausalitas.

Indikator Hasil Belajar :

a. Menjelaskan tempat dan waktu terjadinya tindak pidana


b. Menjelaskan pengertian perihal melawan hukum
c. Menjelaskan sifat tidak berlaku surut dari hukum pidana
d. Menjelaskan ajaran kausalitas.

Materi Pokok

Tempat dan waktu terjadinya tindak pidana, pengertian perihal melawan


hukum, sifat tidak berlaku surut dari hukum pidana dan ajaran kausalitas

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Metode Pembelajaran

1. Ceramah, metode ini Pendidik menyampaikan / menjelaskan kepada


peserta didik tentang :

b. Tempat dan waktu terjadinya tindak pidana


c. Pengertian perihal melawan hukum
d. Sifat tidak berlaku surut dari hukum pidana
e. Ajaran kausalitas.

2. Penugasan, metode ini diberikan oleh Gadik kepada peserta didik


secara individu untuk membuat rangkuman.

3. Tanya Jawab, metode ini diberikan oleh Gadik kepada peserta didik
dalam rangka penguatan materi yang telah disampaikan.

4. Diskusi kelompok

Bahan dan Alat

1. Bahan
. – Hanjar KUHP

2. Alat
a. Laptop
b. Flip Chart
c. LCD
d. Spidol

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Proses Pembelajaran

1. Tahap awal 10 menit


a. Perkenalan
b. Menyampaikan maksud dan tujuan materi

2. Tahap inti 155 menit


a. Menjelaskan tempat dan waktu terjadinya tindak
pidana,pengertian perihal melawan hukum, sifat tidak berlaku
surut dari hukum pidana dan ajaran kausalitas
b. Serdik mendengarkan penjelasan
c. Pendidik menanyakan materi dan tanya jawab

3. Tahap akhir 15 menit


Pendidik memberikan ulasan materi dan mengecek penguasaan
materi kapada semua serdik

TAGIHAN / TUGAS

Peserta didik mengumpulkan hasil diskusi kelompok

LEMBAR KEGIATAN

Peserta didik membuat resume modul 3 sesuai dengan arahan dan


tugas yang diberikan oleh pendidik

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Bahan Bacaan

1. Tempat dan waktu terjadinya tindak pidana

a. Locus Delicti (Tempat Delik)

Baik tempat Delicti maupun waktu delicti tidak di atur dalam KUHP
melainkan di serahkan kepada ilmu dan yurisprudensi. Locus
Delicti itu menjadi persoalan apabila pembuat dan penyelesaian
delict tidak berada di suatu tempat yang sama tetapi berada di dua
tempat yang berlainan.

Misalnya : seorang mengirimkan bom waktu kepada lawannya di


suatu kota lain, dan bom waktu meletus di sana.
Timbul pertanyaan tempat manakah yang menjadi Locus Delicti ?
Tempat kediaman pengirim atau kah tempat kediaman korbannya?
Jawaban atas pertanyaan mengenai dimanakah suatu delict di
lakukan adalah penting untuk dua hal :
1) Menentukan berlakunya Undang-undang pidana nasional
dalam hal konkrit .
2) Menyelesaikan kompetensi relatif ( menentukan pengadilan
negeri mana yang berwenang untuk mengadili perkara yang
bersangkutan )

Agar dapat menyelesaikan persoalan “ Locus Delicti “ itu maka


ilmu Hukum pidana bersama-sama dengan Yurisprudensi Hukum
pidana telah membuat 3 macam teori yaitu

1) Teori perbuatan materil atau teori perbuatan badaniah ( de leer


van de lichamelijke daad )
Menurut teori ini maka menjadi locus delicti ialah tempat
dimana pembuat melakukan segala sesuatu yang kemudian
dapat mengakibatkan delict.
Oleh sebab itu, hanya tempat di mana perbuatan materiil di
lakukan yang dapat menjadi locus delict, HAYZEWINKEL
SURINGA, mengemukakan bahwa teori ini tidak dapat
membawa penyelesaian dalam hal “ Delict materiil ‘

2) Teori alat yang dipergunakan ( de leer van het instrument )


Menurut teori ini , maka delict dilakukan tempat dimana alat
yang di
4

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

gunakan itu menyelesaikannya. Teori ini boleh di anggap


sebagai suatu tambahan atas teori perbuatan materiil.
Contoh kasus :
Pengarang membuat tulisan di luar negeri tetapi menggunakan
mesin percetakan di Indonesia untuk mempublikasikan
tulisannya yang berisi hasutan terhadap pemerintah RI

3) Teori akibat ( de leer van het gevolg )


Menurut teori ini maka tempat terjadinya akibat yang menjadi
locus delicti.
Contoh kasus :
Dalam hal penipuan, maka perbuatan menipu adalah yang
ditipu melepaskan barang yang di minta karena muslihat
penipu. Seorang asing di LN dengan memakai nama palsu,
berhasil menipu seorang Indonesia melepaskan barangnya.
Perkara ini hanya dapat di seslesaikan dengan teori akibat dan
tidak dapat di selesaikan dengan teori alat yang dipergunakan.
Timbul pertanyaan, teori manakah diantara ketiga ini yang
paling cocok ? Oleh banyak pengarang di kemukakan bahwa
ketiga teori ini sama pentingnya. Kita dapat memilih dengan
teori mana sesuatu kasus itu dapat di selesaikan. Bila mana
tiga teori tersebut di pakai serentak, maka ada tiga Locus delicti
misalnya : A di kota Surabaya mengirimkan racun kepada B di
Semarang, dan setelah racun itu di minunmnya maka pergi ke
kota Cirebon, dimana ia meninggal dunia, karena minum racun
itu. Jadi disini ada tiga locus delicti yaitu :
- Kota Surabaya, menurut teori perbuatan materiil .
- Kota Semarang, menurut teori alat yang dipergunakan .
- Kota Cirebon menurut teori akibat
Sering Hakim pidana di beri kemerdekaan untuk memilih di
antara tiga locus delicti ini.

b. Tempus Delicti ( Waktu Delict )

Tempus delicti ini berhubungan dengan :


1) Berlakunya KUHP, yaitu Pasal 1ayat 1 KUHP
2) Hukum Transitur ( Transitoir Recht ) , yaitu Pasal 1 ayat 2
KUHP
3) Lewat waktu ( Verjaring ) , yaitu Pasal 78 dan 79 KUHP.
4) Pasal 45 KUHP

Tempus delicti menjadi suatu persoalan apabila perbuatan dan


akibat dari
5

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

perbuatan itu terjadi pada dua saat yang berlain-lainan , misalnya :


A memukul B pada tanggal 1 Mei 1998, karena pukulan sangat
keras maka pada tanggal 3 Mei 1998 meninggal di rumah sakit,
Utrech menyetujui pendapat bahwa tanggal 3 Mei itulah sebagai
tempat tempus delicti yaitu tanggal akibat di mana suatu delict
barulah selesai dilakukan ( lengkap )

2. Pengertian perihal melawan hukum

Vos dengan beberapa Sarjana lainnya membela suatu pendapat dan


pandangan luas tentang batas – batas anasir melawan hukum itu
sebagai suatu anasir yang tidak hanya melawan hukum yang tertulis,
yaitu melawan azas-azas hukum yang umum.

Mereka itu, membedakan antara dua macam “ melawan hukum “ yaitu :


a. Melawan hukum positif tertulis ( Formele Wederrechtelijkheid ).
b. Melawan hukum materil ( Materiele wederrechelijkhied )

Mereka itu , melihat “ melawan hukum “ sebagai anasir setiap peristiwa


hukum pidana, juga apabila undang-undang tidak menyebutnya. Dalam
KUHP tidak selalu memakai kata “ Melawan hukum “ hanyadalam
beberapa yang memakai kata tersebut yaitu : Pasal 179, 180,198,253
Sub 2e, 254 Sub 2e, Pasal 255 Sub 2e, 256, Sub 2e Pasal 257, 328,
329, 333,334, 339, 362, 368, 372, 378, 406, 408.

Disamping itu anasir “ Melawan hukum “ disinggung juga dengan


memaki istilah – istilah : “ Dengan tidak berhak “ , tanpa berhak “ atau
“ Tanpa kekuasaan “ dalam KUHP , antara lain :

Pasal 303 (1) : Dengan hukuman penjara delapan bulan atau denda
sebanyak – banyak Rp 90.000,- dihukum barang
siapa dengan tidak berhak : dan seterusnya
(memberikan kesempatan main judi )
Pasal 548 : Barang siapa dengan tidak berhak membeiarkan
ternaknya yang bersayap tiadak dapat terbang, dan
seterusnya.
Pasal 549 (1) : Barang siapa dengan tidak berhak membiarkan
hewannya berjalan di kebun dan seteursnya.Juga
dengan mempergunakan istilah : “ Dengan tidak
memperhatikan cara yang di tentukan pada Undang –
undang umum “ seperti dalam KUHP :
Pasal 429 (1) : Pegawai Negeri dengan melampaui batas kekuasaan

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

atau dengan tidak memperhatikan peraturan yang di


tentukan dalam Undang – undang umum,. Masuk ke
dalam rumah atau kedalam ruangan arau
perkarangan yang tertutup dan seterusnya
Pasal 403 (1) : Pegawai Negeri yang melampaui batas kekuasaannya
menyuruh orang menunjukan kepadanya atau
menista surat kartu pos, barang atau paket dan
seterusnya.

Demikian pula dipergunakan istilah : “ Tanpa ijin, seperti dalam KUHP:

Pasal 496 : Barang siapa yang membakar barang tetapnya sendiri


, tidak dengan ijin kepada Polisi atau Pegawai Negeri
yang di tunjuk oleh pembesar itu dan seterusnya.
Pasal 510 (1) : Di hukum dengan hukuman denda sebanyak –
banyaknya Rp.375,- barang siapa yang tidak dengan
ijin kepada Polisi atau Pegawai Negeri yang di tunjuk
oleh pembesar itu ia mengadakan pesta umum, dan
setrusnya.

Menurut Pelajaran “ melawan hokum materil “ maka Kata “ Melawan


hukum itu “ itu harus diinterprestasikan sebagai melawan hukum baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga merupakan
penapsiran yang luas, jadi yang dimaksud dengan hukum itu bukan
hanya “ Undang – undang “ saja, akan tetapi hokum seluruh termasuk
azas hokum. SIMONS ZEVENBERGER dll, pengarang yang tidak
dapat menerima pelajaran melawan hokum secara, meteril, menolak
suatu penafsiran yang begitu luas dan bagi mereka “ Hukum “ itu
adalah Undang – undang “ saja , “ yakni hukum tertulis “ .

Arti melawan hukum ( Wedeerchtelijk ) yang luas itu sesuai dengan arti
“ bertentangan dengan hukum “ ( Onrecatmatig ) seperti yang
tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata setelah ada keputusan H.R.
tanggal 31 januari 1919 ( Drukkers – Arrest ) dan memutuskan apa
yang dimaksud dengan “ Perbuatan yang bertentangan dengan hukum
( Onrrecht Matige Daad ) ialah “ membuat sesuatu atau tidak membuat
sesuatu / melalaikan sesuatu :
a. Melanggar hak orang lain.
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan
perbuatan itu .
c. Bertentangan baik dengan kesusilaan maupun azas-azas
pergaulan kemasyarakatan mengenai penghormatan diri orang lain
atau barang
7

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

orang lain .

Keberatan-keberatan yang biasanya dikemukakan terhadap ajaran “


melawan hukum materil “ itu ialah ;
a. Kepastian hukum ( Reechtszekerheid ) akan berkurang.
b. Kepada hakim akan di berikan kesempatan untuk dapat bertindak
sewenang- wenang

VOS membela sekeras-kerasnya ajaran “ melawan hukum materil ‘


dengan mengemukakan jawaban-jawaban sebagai berikut :
1) Hakim selalu dapat di beri kelonggaran karena pasal 48 KUHP
: Barang siapa yang melakukan perbuatan karena terpaksa
oleh suatu kekuasaan yang tidak dapat di hindarkan tidak boleh
dihukum.
2) Banyak ketentuan-ketentuan delict-delict khusus memuat
perumusan -perumusan yang begitu gelap, sehingga banyak
penentuan konkrit diserahkan kepada hakim : bahkan ada
juga suatu ketentuan yang memuat suatu perumusan yang
pada pokoknya mengandung unsur “ melawan hukum materil ‘
sebagai anasir delict, yakni Pasal 302 KUH Pidana, yang
menggunkan kata-kata ;
3) “Tiada dengan maksud yang patut, “ yaitu sengaja menyakiti
atau membikin cacat binatang atau merusak kesehatan
binatang
4) Berkat kemerdekaan besar yang di beri kepada hakim yang
menentukan berartinya hukuman, maka hakim itu dapat
memberi tempat yang layak kepada ajaran – ajaran “ melawan
hukum materil .

3. Sifat tidak berlaku surut dari hukum pidana kita

Hukum pidana kita tidak berlaku surut artinya ialah bahwa ketentuan
hukum pidana itu baru dapat diterapkan setelah saat berlakunya dan
tidak dapat di terapkan terhadap hal-hal atau kejadian-kejadian yang
telah ada sebelumnya saat itu.

Bukti, bahwa pada dasarnya hukum pidana kita tidak berlaku surut
tersurat di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP kita yang berbunyi : “ Tiada
suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan ketentuan
pidana dalam undang – undanga, yang ada terdahulu daripada
perbuatan itu
8

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

(Sebelum) perbuatan itu . Ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP ini lebih di


kenal sebagai azas “ Nullum Delictum Nulla Poena Sina Praevia Lege
Poenali”, yang pada intinya menegaskan bahwa tidak bisa suatu
ketentuan pidana itu di pakai untuk menghukum tindak pidana yang tlah
terjadi sebelumnya.
Sifat tidak berlaku surutnya hukum pidana kita sebagaimana yang
tercermin dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP kita tersebut tidak berlaku
mutlak. Dikatakan demikian karena dalam penerapan hukum pidana
kita , masih terdapat Restriksi ( pembatasan ) atau pengecualaian
terhadap prinsip tidak berlaku surut tersebut. Buktinya Pasal 1 ayat 2
KUHP yang berbunyi : “ Jika undang –undang di ubah setelah
perbuatan ( Pidana ) dilakukan maka kepada tersangka dikenakan
ketentuan yang menguntungkan baginya.

Dari ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP nyatalah bahwa suatu ketentuan


pidana dapat saja berlaku surut bila ketentuan pidana tersebut ternyata
lebih menguntungkan (lebih ringan ancaman hukumannya daripada
ketentua pidana yang ada sebelumnya)

4. Ajaran Kausalitas (Hubungan kausal sebab akibat)

Ajaran tentang sebab akibat (Hubungan Kausal) dalam Hukum pidana


adlah suatu ajaran mempelajari tentang jalinan antara akibat yang
terkandung dalam suatu peristiwa pidana, untuk mengetahui hal
apakah yang menjadi sebab yang sebenarnya dari timbulnya peristiwa
tersebut sebagai akibat.

Kita perlu mengetahuinya secara pasti hubungan sebab dan akibat


dalam satu peristiwa pidana karena :
a. Undang-undang hanya menyebutkan pembuatan-pembuatan apa
saja yang dilarang serta ancaman hukumannya , tetapi Undang-
undanga tidak mengatur secara tegas perbuatan atau hal apa saja
yang dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan oleh
undang-undang itu sendiri, yang akhirnya terwujud dalam
perbuatan yang di larang tersebut, karena itu sebab akibat yang
latar belakang suatu tindak pidana atau peristiwa tersebut harus
kita cari sendiri dengan ajaran tentang sebab akibat ini.
b. Disamping itu hubungan antara sebab dan akibat yang terkandung
dalam suatu peristiwa pidana harus kita ketahui secara pasti untuk
mencari orang yang dapat di mintai tanggung jawabnya atas
terjadinya peristiwa pidana tersebut, dengan jalan mencari hal atau
perbuatan yang menjadi penimbul akibat yang di larang undang –
undang
9

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

sebelum di ketahui siapa pelakunya.

Ada 2 ( Dua ) medan ajaran terkenal tentang sebab akibat ini, yaitu:

1) Ajaran Von Burri, yang dikenal dengan “ Conditio Sine Quanon


“ sebagai medan ajaran yang memandang bahwa penyebab
suatu tindak pidana atau peristiwa pidana / perbuatan pidana
itu dapat berupa suatu rentetan kejadian
2) Ajaran TRAEGER, sebagai medan ajaran yang memandang
bahwa penyebab suatu tindak pidana atau peristiwa pidana
haruslah hanya satu perbuatan yang menjadi sebab utamanya
saja.

Menurut ajaran Von Burri yang terkenal sebagai “ CONDITIO


SINE QUANON “ , yang terjadi sebelum timbulnya suatu
peristiwa pidana merupakan Conditio Sine Quanon atau syarat
mutlak yang harus ada sebagai penyebab timbulnya peristiwa
pidana tersebut. Karena menurut Von Burri tiap – tiap
perbuatan atau peristiwa dalam rentetan penyebab tersebut
masing – masing merupakan syarat yang sama nilai atau harga
pentingnya sebagai penyebab setiap peristiwa pidana , maka
ajaran Von Burri ini di sebut juga ajaran atau teori Ekuivalensi
atai Teori kesehargaan ( Kesenilaian)

Sedang menurut TRAEGER , bahwa suatu tindak pidana atau


peristiwa pidana tidak di sebabkan oleh rentetan kejadian yang
mendahuluinya seperti ajaran Von Burri melainkan di sebabkan
oleh suatu sebab utama yang pasti ada dan harus di cari dalam
peristiwa pidana tersebut, untuk selanjutnya dapat di ketahui
siapa pelaku sebab tersebut sedangkan untuk mencari sebab
utama itu, dikenal 2 ( Dua ) system atau metode yakni :
a) Sistem atau metode Apriori atau system dugaan awal yang
lebih di kenal dengan istilah “ GENERALISERENDE,
THEORI “ dengan tokohnya yang terkemuka yakni Von
Kries dengan “ Adequate Theori “ nya.
b) Sistem atau metode Posteriori atau system kenyataan yang
lebih di kenal dengan istilah Individualiserende Theori “
yakni dengan tokoh -tokohnya yakni BRICK MAJER DAN

10

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

KOHLER

Rangkuman

1. Tempat dan waktu terjadinya tindak pidana

a. Tempat Delik
1) Teori perbuatan materil atau teori perbuatan badaniah
2) Teori alat yang dipergunakan
3) Teori akibat

b. Waktu delict sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat 1, pasal 1


ayat 2, pasal 78 dan 79 KUHP

2. Dua macam “ melawan hukum “ yaitu :


a. Melawan hukum positif tertulis ( Formele Wederrechtelijkheid ).
b. Melawan hukum materil ( Materiele wederrechelijkhied )

3. Sifat tidak berlaku suatu hukum pidana artinya artinya ialah bahwa
ketentuan hukum pidana itu baru dapat diterapkan setelah saat
berlakunya dan tidak dapat di terapkan terhadap hal-hal atau kejadian-
kejadian yang telah ada sebelumnya saat itu.

4. Ajaran tentang sebab akibat (Hubungan Kausal) dalam Hukum pidana


adlah suatu ajaran mempelajari tentang jalinan antara akibat yang
terkandung dalam suatu peristiwa pidana, untuk mengetahui hal
apakah yang menjadi sebab yang sebenarnya dari timbulnya peristiwa
tersebut sebagai akibat.

11

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Latihan

A. Pilihan Ganda

1. Dalam penyelesaian setiap permasalahan “Locus delicti” dikenal 3


macam teori kecuali ...
a. Teori perbuatan materil
b. Teori alat yang digunakan
c. Teori sebab terjadinya
d. Teori akibat

2. Tempat dimana pembuat melakukan segala sesuatu yang


kemudian dapat mengakibatkan teori perbuatan materil ..
a. Teori alat yang digunakan
b. Teori sebab terjadinya
c. Teori akibat
d. Teori perbuatan materil

3. Delik dilakukan, tempat dimana alat yang dilakukan itu


menyelesaikannya
a. Teori alat yang digunakan
b. Teori sebab terjadinya
c. Teori akibat
d. Teori perbuatan materil

4. Menurut teori ini maka tempat terjadinya akibat yang menjadi locus
delicti
a. Teori perbuatan materil
b. Teori alat yang digunakan
c. Teori sebab terjadinya
d. Teori akibat

B. Uraian Singkat

1. Jelaskan pengertian perihal melawan hukum !


2. Apa yang
12

HUKUM PIDANA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

dimaksud dengan sifat tidak berlaku surut hukum pidana?


3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Tempus delicti
4. Pasal 1 ayat 2 KUHP mengatur tentang apa, jelaskan !

C. Uraian Bebas

1. Bagaimana pendapat anda tentang pasal 1 ayat 2 KUHP apabila


dikaitkan dengan kenyataan dilapangan dimana posisi selalu dalam
menerapkan pasal mencari ancaman hukumannya yang terberat
2. Apa yang anda ketahui tentang ajaran kausalitas

13

HUKUM PIDANA

Anda mungkin juga menyukai