(LAW 202)
MODUL 8
Tempus Delikti dan Locus Delikti
DISUSUN OLEH
Endik Wahyudi, SH,MH
1. Pendahuluan
Sebagaimana telah dikemukakan Jan Remmelink, masalah waktu dan
tempat tindak pidana atau yang dikenal dengan istilah lain tempus delicti dan
locus delicti adalah persoalan yang nampaknya sederhana, namun kenyataanya
tidak demikian.1 Ketika penuntut umum tidak menyebutkan atau salah
menentukan pempus dan locus delicti akan berakibat fatal pada surat dakwaan,
dalam kontek indonesia, arti penting tempus delicti dan locus delicti tersimpul
dalam pasal 143 KUHP.
Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP menyatakan: Penuntut umum membuat
surat dakwan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: uraian secara
cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Selanjutnya Pasal
143 ayat (3) KUHAP Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
Tempus delicti, yaitu berdasarkan waktu, untuk menentukan apakah suatu
undang-undang dapat diterapkan terhadap suatu tindak pidana. Moeljatno
(1987:78) mengenai penentuan soal waktu (tempus delicti) dalam undang-undang
1
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
2016,hlm 295
2
PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya, Bandung. 2011, hlm 12.
3
Ibid
Teori Bekerjanya Alat Yang Digunakan (de leer van het instrument)
Teori ini dikenal juga dengan nama de leer van het instrument atau Teori
Instrumental. menurut teori ini, yang harus menjadi atau dianggap sebagai locus
delicti adalah tempat dimana alat yang digunakan menimbulkan akibat tindak
pidana. akbiat apa? bisa kematian, penderitaan, kerugian dan akibat-akibat lain.
namun dalam kasus anda tadi akibat yang timbul adalah anda mati karena anda
ditikam.
Contoh: Suatu hari hari Anda mengirip paketan buku kepada musuh anda
yang berda diluar kabupaten Malang, anggap saja musuh anda di
Surabaya. Ketika musuh Anda membuka paketan tersebut DOORRRR
ternyata isinya adalah BOM. musuh anda terluka atau mati. Dimana locus
delictinya? berdasarkan ajaran instrumen maka locus deliktinya di
Surabaya. Karena instrumen yang digunakan dalam tindak pidana tersebut
menyebabkan akibat di Surabaya.
Teori Akibat
Ajaran ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut ajaran ini
bahwa yangdianggap sebagai locus delicti adalah tempat dimana akibat daripada
tindak pidana tersebut timbul.
Menurut Van Hamel , bahwa yang harus diterima sebagai locus delicti, ialah :
1. Tempat seseorang pembuat (dader) telah melakukan perbuatannya
yang dilarang (atau yang dipereintahkan) oleh Undang-Undang Pidana.
2. Tempat alat yang dipergunakan oleh pembuat bekerja.
3. Tempat akibat langsung perbuatannya telah terwujud.
Aliran yang kedua dianut oleh Simon, Van Hammel, Jonker dan Bemelen
yang menyatakan bahwa tempat perbuatan itu boleh dipilih antara tempat di mana
perbuatan dimulai terdakwa sampai dengan perbutan itu selesai dengan timbulnya
akibat. Di samping itu, Moeljatno juga menyatakan bahwa perbuatan terdiri atas
kelakuan dan akibat, sehingga boleh memilih tempat perbutan/kelakuan atau
memilih tempat akibat.6
Asas Teritorial
4
Moeljatno. 1987. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara
5
ibid
6
Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentarnya (Bogor: Politea, 1991), h.
31.
7
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yarma Widya, 2003.
hlm. 12-13
8
Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Arumanadi, Semarang:
IKIP Semarang Press, 1993, hlm. 120.
9
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 162.
10
Romli Atmasamita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem hukum Pidana
Indonesia (Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1997, hlm. 105.
Contoh Kasus dan Analisis Kasus Dalam Penentuan Tempat dan Waktu Kejadian
(Locus dan Tempus Delicti) Berdasarkan Teori Teori Yang Digunakan Oleh
Penyidik.
a. Kasus Posisi
Tindak pidana cyber crime yang pernah terjadi dan di tangani oleh penyidik
Unit cyber crime DITRESKRIMSUS POLDA DIY, dan telah melakukan
proses persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta yang mana telah diputus
serta memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) dengan Putusan Nomor
311/Pid.Sus/2017/PN Yyk dalam perkara terdakwa:13
11
Mustafa Djuang Harahap, Yuridiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang Berkaitan dengan
hukum Internasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 125.
12
Ibid
13
Putusan.Pengadilan.Negeri.Yogyakarta..https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/904b295
b c3c10d6f891735602399f2b8, Diakses pada tanggal 28 Juni 2019 pukul 18.20 Wib
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
b. Kronologi Kasus
Akibat dari para pembeli tiket yang melalui korban MQ banyak yang tidak
dapat diberangkatkan, mereka marah-marah kepada korban MQ dan korban
juga harus mengembalikan uang yang telah diserahkan para pembeli kepada
korban MQ. Dalam hal ini korban MQ juga telah berusaha untuk
mengembalikan sebagian uang tiket para pembeli yang melalui korban dan
akan diganti semuanya. Atas perbuatan tersangka KEH, korban MQ tidak jadi
memperoleh keuntungan atas pembelian tiket karena atas keuntungan yang
korban peroleh dari penjualan tiket kepada konsumen telah digunakan korban
untuk memesan tiket yang ditawarkan oleh tersangka namun belum ada
pembelinya. Korban MQ mengalami kerugian sekitar Rp. 397.530.000,00
(tiga ratus sembilan puluh tujuh juta lima ratus tiga puluh ribu rupiah) dan
atas kerugian yang korban alami tersebut tersangka KEH baru
mengembalikan sekitar Rp 27.200.000,00 dalam bentuk sepeda motor
tersangka yang diserahkan tersangka kepada korban MQ yang korban hargai
Rp 15.000.000,00 dan sisanya ditransfer tersangka kepada korban.
Pada kasus ini setelah mendengar keterangan Saksi-saksi dan Terdakwa serta
memperhatikan barang bukti yang diajukan di persidangan dan mendengar
pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum, maka pasal
yang dilanggar oleh Terdakwa dan sanksi yang diberikan atas perbuatannya
berdasarkan Putusan Nomor 311/Pid.Sus/2017/PN Yyk adalah sebagai
berikut:
Pada kasus tindak pidana cyber crime yakni penyebaran berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik tersebut diatas, yang mana sebagai pelaku tindak pidana
(Terdakwa) adalah KEH dan yang dirugikan atas tindak pidana tersebut
(Pelapor) adalah MQ. Pada kasus ini dalam hal penentuan tempat dan waktu
Pada kasus ini dalam hal penentuan tempat kejadian perkara (locus
delicti) berdasarkan beberapa teori yang ada maka penyidik di Unit Cyber
Crime DITRESKRIMSUS POLDA DIY dalam kasus penyebaran berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
transaksi elektronik ini menggunakan teori “tempat dimana dampak
kejahatan tersebut terjadi (theory of the downloader)” yang mana pada
teori ini penyidik menentukan tempat kejadian perkara (locus delicti)
dengan berdasarkan tempat dimana dampak kejahatan tersebut terjadi atau
tempat dimana korban melakukan downloading (mengunggah) atau
melihat postingan/konten yang merugikan korban atas tindak pidana
cyber crime tersebut.
Pada prakteknya teori ini memang sangat sering digunakan oleh para
penyidik cyber crime dalam menentukan locus delicti yang tentunya
berdasarkan kebutuhan dan untuk mempermudah proses penegakan
hukum, dalam teori ini biasanya berawal dari korban yang melaporkan
kepada kepolisian dengan bukti-bukti elektronik (digital) atau juga sudah
berbentuk hard file dan kepolisian melakukan penyelidikan dan
menentukan tempat kejadian perkaranya sesuai dengan tempat korban/
pelapor yang merasa dirugikan, maka pada prakteknya jika menggunakan
teori ini yang menangani kasus mulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, hingga proses persidangan dilakukan oleh lembaga
kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan yang bertanggung jawab atas
wilayah hukum tersebut yang mana sesuai dengan tempat korban/ pelapor
yang merasa dirugikan terhadap konten atau perbuatan yang dilakukan
oleh pelaku melalui media elektronik yang mana hal tersebut merupakan
tindak pidana cyber crime. Pada kasus ini kita juga bisa melihat dalam hal
alamat pelaku dan korban yakni tidak ditempat atau wilayah hukum yang
sama yang mana pelaku bertempat tinggal di Mataram, NTB dan
Pada kasus ini dalam hal penentuan waktu kejadian perkara (tempus
delicti) berdasarkan beberapa teori yang ada maka penyidik di Unit Cyber
Crime DITRESKRIMSUS POLDA DIY yaitu dalam kasus penyebaran
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam transaksi elektronik ini menggunakan teori “waktu korban
menerima perlakuan yang merugikan melalui media elektronik”, pada
metode/ teori ini dalam menentuankan waktu kejadian perkara (tempus
delicti) yang menjadi penentu waktu kejadian perkara (tempus delicti)
adalah waktu penerimaan (downloading) yang mana ketika Informasi
Elektronik dan/atau dokumen elektronik memasuki sistem informasi
terakhir yang berada di bawah kendali penerima (korban/yang dirugikan),
jadi dalam teori ini yang pertama kali diselidiki oleh penyidik yaitu
mengenai waktu penerimaan (downloading) dari korban tindak pidana
cyber crime tersebut, jadi jika kita lihat pada kasus yang terjadi maka
menenukan waktu kejadian perkara (tempus delicti) berdasarkan teori
“waktu korban menerima perlakuan yang merugikan melalui media
elektronik” yakni ketika MQ menerima dan melihat postingan penyebaran
berita bohong tersebut yang menjadi penentu dalam menentukan waktu
kejadian perkara (tempus delicti).
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip hukum pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2016,
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2013,
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. 2016,hlm
295
PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya, Bandung. 2011, hlm 12.
Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentarnya (Bogor: Politea, 1991), h. 31.
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yarma Widya, 2003.
hlm. 12-13
Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Arumanadi, Semarang: IKIP
Semarang Press, 1993, hlm. 120.
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 162.
Romli Atmasamita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem hukum Pidana
Indonesia (Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1997, hlm. 105.
Mustafa Djuang Harahap, Yuridiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang Berkaitan dengan hukum
Internasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 125.
Putusan.Pengadilan.Negeri.Yogyakarta..https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/904b295b
c3c10d6f891735602399f2b8, Diakses pada tanggal 28 Juni 2019 pukul 18.20 Wib