Anda di halaman 1dari 21

MODUL PRAKTEK HUKUM PIDANA

(KPH 411)

MODUL 3
PRAPERADILAN

DISUSUN OLEH
Endik Wahyudi, SH,MH

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
0 / 21
PRAPERADILAN

A. Kemampuan Akhir Yang Diharapkan

Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu :


1. Mahasiswa mampu menguraikan apa itu praperadilan serta obyek-obyek
yang dapat di mintakan praperadilan.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menerapkan prosedur pengajuan dan
persidangan dalam acara praperadilan.
3. Mahasiswa mampu membuat dokumen gugatan praperadilan.

B. Uraian dan Contoh


1. Pendahuluan
Untuk mengetahui apa itu praperadilan maka kita dapat melihat ketentuan
tersebut dalah pasal 1 butir 10 jo pasal 77 KUHAP, disana di jelaskan bahwa
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi (PP 92 tahun 2015 jo PP 27
Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan KUHAP )
sedangkan setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Putusan MK
Nomor 21/PUU-XII/2014, obyek praperadilan di perluas. Berdasarkan putusan ini,
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan yang sebelumnya tidak
termasuk objek yang dapat dipraperadilankan, semenjak putusan dibacakan, sah
sebagai objek pra peradilan. Putusan ini telah memperluas objek Praperadilan
yang sebelumnya hanya pada penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan.1
Praperadilan secara historis dan filosofis dibentuk guna memberikan
pengawan dan kontrol terhadap kewenangan Upaya Paksa oleh aparat penegak

1
https://icjr.or.id/perluasan-objek-pra-peradilan-kuhap-desak-pemerintah-dan-
dpr-siapkan-hukum-acara/ di akses pada 15 september 2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
1 / 21
hukum. Lebih medasar, Praperadilan dibentuk dengan tujuan melindungi hak asasi
manusia. Namun, seiring perjalanan perkembangan hukum, fungsi Praperadilan
tersebut tidak terwujud. Dengan adanya putusan MK yang memperluas objek
Praperadilan, maka diharapkan perlindungan hak asasi manusia terhadap
tersangka atau pihak lainnya dalam proses penyidikan perkara pidana dapat
semakin terlindungi. Hal mana sebetulnya, policy tersebut sudah termasuk dalam
ketentuan RUU KUHAP yang tengah dibawah oleh DPR. Dengan memunculkan
lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), hampir semua upaya paksa dapat
diperiksa oleh HPP untuk menilai apakah tindakan tersebut sudah dilakukan
dengan akuntabel oleh penyidik. Termasuk didalamnya, ikhwal penetapan
tersangka. Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, namun adanya
kewenangan HPP untuk menilai sah atau tidaknya alat bukti yang disampaikan
oleh penyidik, maka secara tidak langsung sudah meng-cover sah tidaknya
penetapan tersangka. Karena pada dasarnya, penetapan tersangka dilakukan
apabila penyidik sudah menemukan, minimal 2 alat bukti permulaan yang sah. 2

2. Ruang lingkup praperadilan yang di atur dalam KUHAP

Dalam Pasal 77 KUHAP, Ruang Lingkup praperadilan itu diantaranya


adalah Memeriksa & Menguji mengenai:3
1) Sah/tidaknya upaya paksa:
 Penangkapan
 Penahanan
 Penggeledahan?
 Penyitaan?
 Pemeriksaan Surat?

2
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, suear resmi advokat di
pengadilan, praperadilan, eksepsi, pledoi, duplik, memori banding, kaasi dan
peninjauan kembali, papas sinar sinanti, 2017, Jakarta. Hlm 55
3
Endik Wahyudi, Lihat dalam PPT mata perkuliahan Praktek Hukum Pidana

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
2 / 21
Sedangkan kalau kita merujuk pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP : semua
upaya paksa sejatinya dapat dilakukan upaya hukum praperadilan, apabila dalam
pelaksanaanya terdapat kekeliruan dan kesalahan.
Pasal 95 ayat 1 KUHAP:
Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa
alasan yang berdasarkan undang - undang atau kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan.
Selanjutnya Yang berhak mengajukan Pra-Peradilan adalah:
1. Sah/tidaknya upaya paksa:
a. Tersangka atau Penasehat Hukum (PH)
b. Keluarga Tersangka atau Penasehat Hukum
2. Sah/tidaknya Penghentian Penyidikan bisa di ajukan oleh pihak ke-3
yang berkepentingan, dalam hal ini adalah Penuntut Umum.
3. Sah/tidaknya penghentian Penuntutan – dapat di ajukan oleh Pihak k-3
berkepentingan dalam hal ini adalah Penyidik (lihat pasal 80 KUHAP)
Tata Cara/ Prosedur pengajuan permohonan praperadilan:
1. Quasi Pidana = Pemohon/Penggugat dan Termohon/Tergugat. Materi
pidana, Proses sebagaimana hukum acr perdata.
2. Pemeriksaan perkara praperadilan dilakukan oleh Hakim Tunggal (ps. 78
ayat (2) KUHAP )
3. Tiga hari setelah permohonan diterima, hakim menetapkan hari sidang
(Dimulai persidangan) lihat ketentuan pasal 82 KUHAP.
4. Hakim Harus mendengarkan keterangan para pihak (Pemohon, Termohon,
Pejabat yg berwenang, Saksi dan Ahli)
5. Pemeriksaan dilakukan dengan agenda pemeriksaan cepat dan dalam 7
hari harus putus.
6. Apabila Perkara pokok sudah mulai diperiksa, maka pengajuan
permohonan praperadilan menjadi gugur.
Berikut ini kami lampirkan contoh gugatan praperadilan:

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
3 / 21
CONTOH GUGATAN PRAPERADILAN

PERMOHONAN PRAPERADILAN

ATAS NAMA PEMOHON :

……………………………………………………………………

Terhadap

Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Penipuan


dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Metro Jaya
Direktorat Reserse Kriminal Umum.

MELAWAN

DITREKRIMUM POLDA METRO JAYA

Sebagai TERMOHON

Oleh :

Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum

...............................................................................

DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN

Kepada Yth.

KETUA PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN

Jl. Ampera Raya, No. 133,

Jakarta Selatan 12550.

Hal : Permohonan Praperadilan atas Nama ……………………..

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
4 / 21
Dengan Hormat,

Perkenankanlah kami :

IDENTITA PENGACARA DAN ALAMAT KANTORNYA..........

Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal ……………
2016, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas
nama ………………………………………………………………………………
…, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON ——————————————
—————————————-

——————————–M E L A W A N——————————–

DITREKRIMUM POLDA METRO JAYA yang beralamat di Jl. Jenderal


Sudirman 55 Jakarta 12190 selanjutnya disebut sebagai TERMOHON ————
——————————————————————————–

untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai


tersangka dalam dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri
Daerah Metro Jaya Direktorat Reserse Kriminal Umum.

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan,


penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan
melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu
tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10)
praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia,
yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan
berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary
Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap
kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
5 / 21
dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan
perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan
penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai
pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam
pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada
nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan
tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan
agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan
seseorang menjadi tersangka.

b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus


menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas


permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.”

c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan


ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian


penyidikan atau penghentian penuntutan;
2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam


Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau
fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan
pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh
perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang
demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
6 / 21
tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah
kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan
sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan
perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang
mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam
sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di
Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo
disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang
prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan
hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang
baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan
hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum
bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan
juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi
masyarakat yang berkembang dan terkini.

e. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat
dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat
memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat
dalam perkara berikut :

1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No.


01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17
Januari 2012
3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
6. Dan lain sebagainya

f. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal


28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa
dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan
Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
7 / 21
1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
 [dst]
 [dst]
 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan
dan Penyitaan;

g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.


21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan
bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa
semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak
diucapkan.

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON


TERSANGKA

1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-


XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya
menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah
Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti
permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”
dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP
sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang
dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
2. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai
batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan
yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2)
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
8 / 21
Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni
minimal dua alat bukti.
3. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang
cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP
harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184
KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana
yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa
kehadirannya (in absentia),”
4. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan
calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang
agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi
keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan
sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti
permulaan yang cukup itu.
5. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan
Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. Berdasar
pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon,
yakni melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada
Pemohon dengan Nomor SPGL/1727/IX/2015/Ditreskrimum tertanggal 17
September 2015 tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai
calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai
Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon
dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada
Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon
pada pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka yakni pada tanggal 21
September 2015.
6. Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor
21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’,
dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21
ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti
sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon
tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon.
Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku
asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan
MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan
dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Direktorat
Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
7. Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa
pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah,
dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri
Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
9 / 21
2. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON

1. Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa


penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon
berdasarkan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada
Pemohon dengan Nomor SPGL/1727/IX/2015/Ditreskrimum tertanggal 17
September 2015. Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut,
tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal
sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
2. Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan,
menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang
berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam
KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan
“penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan
yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan
merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau
dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman
Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau
metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan
lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan
penyerahan berkas kepada penuntut umum.
3. Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan
tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik,
dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti
yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin
penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan”
sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-
bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
4. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan
dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan
tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan
penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum
melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau
penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti,
sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang
lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.
5. Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan
penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
10 / 21
berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan
Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah
penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan
tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat
dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

3. PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, AKAN TETAPI


TERUS-MENERUS DILAKUKAN PENYIDIKAN

1. Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 27 Agustus


2015, pada tanggal 21 September 2015 Pemohon masih dipanggil untuk
dimintai keterangan untuk yang pertama kalinya melalui surat panggilan
sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor
SPGL/1727/IX/2015/Ditreskrimum tertanggal 17 September 2015.
Kemudian telah terdapat 2 (dua) kali pengembalian berkas perkara dari
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (P-19) berdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan
Tinggi DKI Jakarta No. B5276/0.1.1/Epp.1/08/2016 tertanggal 4 Agustus
2016 dan Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B-
7163/0.1.1/Epp.1/11/2015 tertanggal 26 Nopember 2015, akan tetapi
Pemohon masih dipanggil pada tanggal 13 september 2016 untuk
pemeriksaan dalam rangka penyidikan tindak pidana berdasarkan surat
Panggilan Nomor SPGL/16559/IX/2016/Ditreskrimum tertanggal 8
september 2016 untuk pemeriksaan penyidikan dari Polda Metro Jaya.
2. Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan
Penyidik, dimana berkas perkara telah dinyakan lengkap (P-21), akan
tetapi masih dilakukan pemanggilan untuk dimintai keterangan, dengan
demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari
pengertian “PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses
penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku
tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang
terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan
tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan
baru ditemukan tersangka. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan
dan Penyidikan dalam KUHAP.
3. Bahwa hal tindakan Termohon telah melanggar ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b yang pada intinya menyatakan dalam
hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Sehinga
dengan demikian apabila telah dinyatakan (P-21). Penyidik tidak dapat
lagi melakukan pemeriksaan guna kepentingan penyidikan.
4. Bahwa berdasar pada uraian diatas, dimana penyidik telah
menyatakan (P-21) akan tetapi masih dipanggil untuk dilakukan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
11 / 21
pemeriksaan guna kepentingan penyidikan, maka surat panggilan
tersebut merupakan panggilan yang tidak sah dikarenakan Penyidik
tidak memiliki kompetensi guna melakukan Penyidikan, karena
beban tugas dan tanggung jawab telah berpindah kepada Jaksa
Penuntut Umum. Untuk itu tindakan Penyidik yang demikian
merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian
penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat
hukum.

4. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN


PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

1. Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Penipuan


dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Metro Jaya
Direktorat Reserse Kriminal Umum kepada Pemohon hanya berdasar pada
15 Keterangan Saksi, 1 keterangan ahli hukum, dan 1 dokumen yang telah
disita, hal ini berdasar pada surat panggilan sebagai Tersangka oleh
Termohon kepada Pemohon dengan Nomor
SPGL/1727/IX/2015/Ditreskrimum tertanggal 17 September 2015.
2. Bahwa sebagaimana diketahui melalui pengembalian berkas perkara oleh
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, terdapat 2 (dua) kali pengembalian berkas
perkara dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (P-19) berdasarkan Surat (P-
19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B5276/0.1.1/Epp.1/08/2016
tertanggal 4 Agustus 2016 dan Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta
No. B-7163/0.1.1/Epp.1/11/2015 tertanggal 26 Nopember 2015, dimana
menurut masih terdapat kekurangan salah satunya alat bukti yang harus
dilengkapi baik secara formil maupun materiil.
3. Bahwa melalui surat kejaksaan tinggi tanggal 26 November 2015 telah
diyatakan bahwa dalam waktu 14 (empat belas) hari saudara melengkapi
kelengkapan formil dan materil berkas perkara. kemudian melalui surat
kejaksaan tinggi tanggal 4 agustus 2016 menyatakan masih terdapat
kekurangan untuk dilengkapi. Terhadap 2 (dua) surat Kejaksaan Tinggi
DKI Jakarta tersebut, Termohon tidak dan atau belum pernah melengkapi
yang sedianya wajib dilengkapi oleh Termohon, akan tetapi Termohon
tetap menyatakan diri telah lengkap dengan menyatakan (P-21) melalui
surat Panggilan Nomor SPGL/16559/IX/2016/Ditreskrimum tertanggal 8
september 2016.
4. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor
Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti
Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka
14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
12 / 21
dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai
dengan pasal 184 KUHAP.
5. Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon
ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon
dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan
Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan
Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Metro
Jaya Direktorat Reserse Kriminal Umum kepada Pemohon, mengingat
dalam pemeriksaan oleh Termohon, termohon selalu mendasarkan pada
alat bukti yang sebelumnya telah dinyatakan belum lengkap oleh
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
6. Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak
memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-
XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas
hukum.

5. PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN


HUKUM KEPERDATAAN

1. Bahwa pembelian saham antara Pelapor dengan Pemohon dituangkan


dalam bentuk Perjanjian Master Agrement tanggal 25 Mei 2013, dan atas
kesepakatan tersebut telah dibuat akta kesepakatan dihadapan Notaris
Saharto Suhardjo, SH, yaitu Akta Gadai Saham No. 7 tertanggal 29
Agustus 2013, kemudian dilanjutkan dengan Akta Notaris No. 3 tanggal 5
September 2013. Terhadap akta perjanjian tersebut telah memunculkan
perikatan antar kedua belah pihak yang bersifat pos factum, yaitu fakta
terjadi setelah peristiwa yang dilaporkan oleh pelapor. Untuk itu hubungan
hukum antara kedua belah pihak merupakan hubungan hukum yang
bersifat keperdataan.
2. Bahwa terdapat perbedaan antara Wanprestasi dan Penipuan. Wanprestasi
dapat berupa: (i) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (ii)
melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (iii)
melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (iv) melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pihak yang merasa
dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian,
pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang
melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-
nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya
wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang
hukum perdata. Sedangkan penipuan masuk ke dalam bidang hukum
pidana (delik pidana) (ps. 378 KUHP). Seseorang dikatakan melakukan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
13 / 21
penipuan apabila ia dengan melawan hak bermaksud hendak
menguntungkan diri sendiri atau orang lain. “Melawan hak” di sini bisa
dicontohkan memakai nama palsu, perkataan-perkataan bohong, dll.
3. Bahwa berdasar pada kenyataan yang terjadi pada Pemohon, antara
pemohon dengan pelapor diikat melalui perjanjian yang sama-sama
beritikat baik untuk memenuhi perjanjian, tidak ada maksud melakukan
penipuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, sehinga
dengan demikian tidak tepat apabila Pemohon disangka melakukan dugaan
Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan
Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena hubungan
hukumnya merupakan hubungan hukum keperdataan.
4. Bahwa hal itu juga diperkuat oleh surat kejaksaan tinggi tanggal 26
November 2015 (Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B-
7163/0.1.1/Epp.1/11/2015) telah menyatakan bahwa hubungan hukum
yang dilaporkan oleh pelapor bukanlah termasuk tindak pidana
penipuan melainkan keperdataan dalam hubungannya dengan
masalah Wanprestasi. Hal ini sejalan dengan perkara perdata yang
masih berjalan di Pengadilan yang dimohonkan oleh Pelapor.
5. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan
Pemohon dapat kenakan Pasal-Pasal dalam dugaan Penipuan
dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal
372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti halnya dilakukan
Termohon kepada Pemohon.

6. PENGEMBALIAN BERKAS DARI KEJAKSAAN KE KEPOLISIAN


DALUARSA (TIDAK SAH)

1. Bahwa berdasar pada Pasal 138 ayat (2) KUHAP dinyatakan bahwa
Penyidik wajib melengkapi berkas perkara dalam waktu 14 (empat belas)
hari.
2. Bahwa berdasar surat Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kepada Kepala
Kepolisian Daerah Metro Jaya pengembalian berkas perkara oleh
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, melalui Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi
DKI Jakarta No. B-7163/0.1.1/Epp.1/11/2015 tertanggal 26 Nopember
2015, bahwa Berkas perkara H. Naldy Haroen dikembalikan dikarenakan
secara Formil dan Materiil tidak lengkap, serta diperintahkan dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari untuk dilengkapi. Serta isi dari surat tersebut
pada intinya menyatakan BAHWA HUBUNGAN HUKUM YANG
DILAPORKAN OLEH PELAPOR BUKANLAH TERMASUK
TINDAK PIDANA PENIPUAN MELAINKAN KEPERDATAAN
DALAM HUBUNGANNYA DENGAN MASALAH WANPRESTASI.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
14 / 21
3. Bahwa dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana
diperintahkan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan berdasar pada Pasal
138 ayat (2) KUHAP, Termohon tidak dapat melengkapi kekurangan
berkas perkara dengan sebagaimana mestinya.
4. Bahwa selain itu berdasar pada Surat dari BARESKRIM MABES POLRI
Nomor B/4284/WAS/VI/2016/Bareskrim tertanggal 30 Juni 2016 (copy
terlampir) telah memerintahkan kepada Termohon
untuk “MENGHENTIKAN PENYIDIKAN DENGAN ALASAN
BUKAN MERUPAKAN TINDAK PIDANA”
5. Bahwa berdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No.
B5276/0.1.1/Epp.1/08/2016 tertanggal 4 Agustus 2016 (8 bulan setelah
diperintahkan untuk melengkapi berkas perkara) bahwa Perbaikan Berkas
perkara H. Naldy Haroen diterima pada tanggal 23 Juni 2016 dan masih
terdapat kekurangan baik dari segi Formil dan Materiil, dengan demikian
membuktikan Penyerahan Kekurangan Berkas Perkara H. Naldy Haroen
cacat prosedur, dimana melebihi jangka waktu yang ditentukan yakni
maksimal 14 (empat belas) hari. Apabila merujuk kepada surat Kejaksaan
Tinggi tanggal 26 November 2015 dan surat kejaksaan tinggi tanggal 4
agustus 2016, terdapat tenggang waktu 8 (delapan) bulan guna melengkapi
berkas perkara dari Kepolisian kepada Kejaksaan
6. Bahwa kuat dugaan telah terjadi PENYALAHGUNAAN kewenangan
dikarenakan kuat dugaan Penyidik dalam melengkapi kekurangan berkas
Perkara kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta berdasarkan Surat (P-
19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta B5276/0.1.1/Epp.1/08/2016 tertanggal
4 Agustus 2016 (copy terlampir) CACAT HUKUM, dikarenakan telah
melebihi jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 138 ayat (2) KUHAP (kurang lebih 8 bulan dalam
melengkapi kekurangan berkas Perkara), dan berdasarkan Surat (P-
19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B-7163/0.1.1/Epp.1/11/2015
tertanggal 26 Nopember 2015 (copy terlampir), Kejaksaan Tinggi DKI
Jakarta telah menentukan sikap bahwa “HUBUNGAN HUKUM YANG
DILAPORKAN OLEH PELAPOR BUKANLAH TERMASUK
TINDAK PIDANA PENIPUAN MELAINKAN KEPERDATAAN
DALAM HUBUNGANNYA DENGAN MASALAH
WANPRESTASI”, serta diperkuat melalui Surat dari BARESKRIM
MABES POLRI Nomor B/4284/WAS/VI/2016/Bareskrim tertanggal 30
Juni 2016 (copy terlampir) telah memerintahkan
bahwa “MENGHENTIKAN PENYIDIKAN DENGAN ALASAN
BUKAN MERUPAKAN TINDAK PIDANA”.
7. Berdasar pada analisa diatas, maka jelas penyerahan berkas perkara
dari Termohon kepada Jaksa Penuntut Umum adalah cacat hukum,

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
15 / 21
mengingat telah melewati jangka waktu yang telah ditentukan oleh
KUHAP, untuk itu penetapan tersangka terhadap Pemohon tidak sah.

7. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN


TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN
DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan


Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of
innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas
pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan
itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi
“Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk
terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum,
jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi
Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-
perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum,
hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai
kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat
digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri
hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara
historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum
semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan
kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam
hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari

keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam


melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut
Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa
hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum
menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang
dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu
memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum
berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

3. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang


essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham
‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
16 / 21
larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan
analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu
merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’

4. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara


dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan
Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan
wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah
melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan
perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas
tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi
negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya
atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus
de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai
dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini
mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan
wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari
wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).

5. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang


(hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan
sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu
dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi
:

– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

– dibuat sesuai prosedur; dan

– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa


Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur
menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

6. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo


sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini
dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya
menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
17 / 21
 “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
 Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal
atau dapat dibatalkan

7. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila


dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada
Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan
ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat
menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan
tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak
sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

III. PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili
perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk


seluruhnya;
2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka
dengan dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri
Daerah Metro Jaya Direktorat Reserse Kriminal Umum adalah tidak sah
dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka
a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan
lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka
atas diri Pemohon oleh Termohon;
4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan
terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
5. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya;
6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan
hukum yang berlaku.

PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis


Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa, mengadili dan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
18 / 21
memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip
keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).

Jakarta, 28 September 2016

Hormat kami,

Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum pada kantor hukum

B. Latihan

1. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan


memutus?
a. Perkara koneksitas
b. Sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan
c. Perkara dalam ranah peradilan militer dan umum
2. Berapa lama persidangan praperadilan harus di putus?
b. 7 hari
c. 8 hari
d. 14 hari
3. Dalam hal bagaimana pengajuan praperadilan itu menjadi gugur?
a. Ketika barang bukti tidak kuat
b. Ketika para pihak tidak hadir
c. Ketika pokok perkara sudah mulai di periksa
4. Persidangan perkara praperadilan di periksa oleh hakim?
a. tunggal
b. ganjil
c. majelis hakim
5. apakah penetapan tersangkan menurut KUHAP bisa di uji dalam sidang
praperadilan?
a. bisa

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
19 / 21
b. tidak bisa
c. kadang bisa kadang tidak
C. Kunci Jawaban
1. B
2. A
3. C
4. A
5. B
E. Daftar Pustaka

Mulyatno,Azas-azas Hukum Pidana, Jogyakarta, Bina Pustaka.

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP), buku


informasi, komisi pemberantasan korupsi (KPK)

Lihat dalam pedoman pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman Republik


Indonesia : Jakarta., 1982

Harahap, M. Yahya. (2008). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP


(Penyidikan dan Penuntu tan). Jakarta: Sinar Grafka

https://icjr.or.id/perluasan-objek-pra-peradilan-kuhap-desak-pemerintah-dan-dpr-
siapkan-hukum-acara/ di akses pada 15 september 2020

Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, suear resmi advokat di


pengadilan, praperadilan, eksepsi, pledoi, duplik, memori banding, kaasi dan
peninjauan kembali, papas sinar sinanti, 2017, Jakarta. Hlm 55
1
Endik Wahyudi, Lihat dalam PPT mata perkuliahan Praktek Hukum Pidana

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
20 / 21

Anda mungkin juga menyukai