Anda di halaman 1dari 29

POINT PENTING DALAM PUTUSAN PRA PERADILAN

NOMOR : 3/Pid.Pra/2020/PN Ptk

CATATAN KECIL INI DIBUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS


EVALUASI KERJA TERSTRUKTUR II
MATA KULIAH : KETERAMPILAN HUKUM
NAMA DOSEN : DADI WALUYO, SH., MH

DISUSUN OLEH :

Nama : Mugi Arsima


NIM : 1702010056
Kelas : 6C (Sore)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SYEKH YUSUF TANGERANG
Jl. Maulana Yusuf No. 10 Babakan - Kota Tangerang (15118)
2020

i
a A. PARA PIHAK
1. Pemohon : Sukimin Tarjono
Umur 70 tahun, pekerjaan Wiraswasta, alamat Jl.
Tanjungpura RT/RW: 02/16, Kel. Benua Melayu Darat Kec.
Pontianak Selatan, Kota Pontianak.

Kuasa Hukum : Marjohan Lubis, S.H. dan Christof H Purba, S.H.


Keduanya advokat pada Kantor LUBIS & PARTNERS LAW
FIRM yang berkedudukan di Pontianak dan beralamat di
Jalan Atot Ahmad Komp. Sejahtera Asri Blok C3, RT.002,
RW.033, Kelurahan Sungai Beliung, Kecamatan Pontianak
Barat, Kota Pontianak.

2. Termohon : Ditrekrimsus Polda Kalbar,


Berkedudukan di Jl. Jenderal Ahmad Yani Kota Pontianak.

B. PRA PERADILAN BERKENAAN TENTANG


Pada perkara Pra Peradilan tersebut Pengadilan Negeri Pontianak memeriksa
mengenai Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka.

C. PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PUTUSAN

Menimbang, bahwa pada pokoknya permohonan praperadilan yang diajukan


oleh Pemohon agar Pengadilan Negeri menyatakan Penetapan Tersangka yang
dilakukan Termohon kepada Pemohon adalah tidak sah dan dibatalkan;
Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana dalam pelaksanaannya menganut asas, antara lain (Yahya Harahap,
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar
Grafika:2002, hal. 35-56) :

1. Legalitas;
Sederhananya setiap pelaksanaan hukum acara pidana harus berdasarkan hukum
atau rule of law;

ii
2. Keseimbangan;
Adanya keserasian antara perlindungan harkat dan martabat manusia dengan
perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat, oleh karenannya
penegakan hukum tidak boleh berorientasi pada kekuasaan semata;

3. Praduga tak bersalah;


Merupakan azas universal dan berlaku di semua negara yang berdasaran hukum,
yaitu “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap”;

4. Ganti rugi dan rehabilitasi;


setiap tindakan kesewenang-wenangan oleh negara melalui aparaturnya
mewajibkan kepada negara untuk mengganti kerugian yang timbul karenanya
kepada setiap orang yang harkat dan martabatnya dilanggar, artinya apabila
ternyata terjadi penangkapan, penahanan, atau penyitaan yang tidak menurut
hukum maka yang dirugikan tersebut bisa menuntut agar dia diberikan ganti
kerugian serta diberikan rehabilitasi oleh negara;

5. Koordinasi;
Undang-Undang ini mewajibkan kepada setiap instansi pelaksana Undang-
undang untuk saling menjaga hubungan fungsional setiap lembaga. Asas ini juga
merupakan bagian dari pengawasan horizontal yang diberikan undang-undang
agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dari masing-masing lembaga;

6. Peradilan sederhana, cepat, biaya ringan;


Proses peradilan dilakukan tidak bertele-tele. Setiap lembaga telah diberikan
tenggang waktu untuk menyelesaikan setiap fungsinya. Demikian juga terhadap
setiap upaya paksa telah diberikan secara terbatas kepada setiap lembaga
sehingga tidak ada kesewenang- wenangan kekuasaan;
Menimbang, bahwa adapun kewenangan sidang praperadilan ini berdasarkan
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kesatu Praperadilan dan Bab
XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana;
Menimbang, bahwa pada Pasal 77 huruf a. mengatur bahwa Pengadilan Negeri

iii
berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini tentang “sah atau tidaknya Penangkapan, Penahanan,
Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan”. Dilanjutkan pada Pasal 78
ayat (1) mengatur bahwa yang berwenang mengadili sebagaimana maksud dalam
pasal 77 tersebut adalah Praperadilan;
Menimbang, bahwa adapun yang dimaksudkan dengan Praperadilan adalah:
kewenangan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan penilaian
atas sah tidaknya setiap upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik maupun penuntut
umum sehingga upaya paksa itu tidak bertentangan dengan hukum. Apa yang diputus
oleh praperadilan adalah yang khas, spesifik, dan mempunyai karakter tersendiri
karena hakim sebagai sarana pengawasan horisontal demi penegakan hukum,
keadilan, dan kebenaran. Hal itu sejalan dengan tujuan Hukum Acara Pidana
sebagaimana ditegaskan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP, bahwa:
Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum
acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku
yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwa itu dapat dipersalahkan” (Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Departemen Kehakiman RI, Cetakan ketiga, 1982:1;
Bahkan menurut Barda Nawawi Arief (Barda Nanawi Arief, Kapita Selekta Hukum
Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Undip Semarang:2007, hal 19-20),
Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakekatnya identik dengan sistem penegakan
hukum pidana. Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan system kekuasaan
menegakkan hukum. Kekuasaan menegakan hukum sebagai kekuasaan kehakiman di
bidang hukum pidana yang diwujudkan dalam empat sub sistem, yaitu:

a. Kekuasaan penyidikan,
b. Kekuasaan penuntutan,
c. Kekuasaan mengadili, dan
d. Kekuasaan pelaksanaan hukum pidana (eksekusi).

iv
Untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, maka kepada Penyidik
maupun Penuntut Umum diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan upaya
paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan lain-lain, yang
pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat:
a. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan pemeriksaan
tindak pidana yang disangkakan,
b. Tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap tindakan
paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan
serta pembatasan haksasi manusia;
Oleh karena tindakan upaya paksa merupakan pengurangan dan pembatasan
kemerdekaaan dan hak asasi tersangka, maka tindakan itu harus dilakukan secara
bertanggung jawab menurut hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of
law). Dapat dikatakan bahwa praperadilan akan berfungsi sebagai pencegahan
terhadap upaya paksa sebelum seseorang diperiksa dan diadili oleh pengadilan;
Menimbang, bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014, obyek Praperadilan bertambah, yaitu: mengenai Penetapan Tersangka,
Penggeledahan dan Penyitaan. Menurut Mahkamah, KUHAP tidak memiliki check
and balance system atas tindakan penetapan Tersangka oleh penyidik karena tidak
adanya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti. “Hukum Acara
Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh karena
tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat
dilakukan pengujian keabsahan perolehannya”, selain itu menurut Mahkamah, Fungsi
pengawasan yang diperankan pranata praperadilan selama ini hanya bersifat post facto
sehingga tidak sampai pada penyidikan dan pengujiannya hanya bersifat formal yang
mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi
pengadilan. Hal itu justru menyebabkan praperadilan terjebak hanya pada hal- hal
yang bersifat formal dan sebatas masalah administrasi sehingga jauh dari hakikat
keberadaan pranata praperadilan, Mahkamah juga berpendapat dalam Putusan Nomor
65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei 2012, yang mengadili dalam kaitannya dengan
Pasal 83 ayat (2) KUHAP, antara lain, mempertimbangkan, “...Salah satu pengaturan
kedudukan yang sama di hadapan hukum yang diatur dalam KUHAP tersebut adalah
adanya sistem praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap
kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam
melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan,

v
a penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, baik yang disertai dengan
permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi atau pun tidak. Adapun maksud dan
tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses praperadilan adalah
tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka dalam
pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian dibuatnya sistem
praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP adalah
untuk kepentingan pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka dalam
pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Kehadiran KUHAP
dimaksudkan untuk mengoreksi pengalaman praktik peradilan masa lalu, di bawah
aturan HIR, yang tidak sejalan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi
manusia. Selain itu, KUHAP memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia
bagi tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses
hukum”; sehingga Mahkamah sesungguhnya sudah menyatakan pendapatnya bahwa
penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari mekanisme kontrol terhadap
kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dan
karenanya termasuk dalam ruang lingkup pra peradilan;
Menimbang, bahwa sekalipun hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah
bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang
terkait erat dengan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia, namun dalam
perjalanannya, lembaga praperadilan tidak mampu menjawab permasalahan yang ada
dalam proses pra-ajudikasi. “Fungsi pengawasan pranata praperadilan hanya bersifat
post facto dan pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur
objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan”. Pengajuan
praperadilan dalam hal penetapan Tersangka dibatasi secara limitatif oleh ketentuan
pasal 1 angka 10 juncto pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal, penetapan Tersangka
adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat
tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi
seseorang. “Mahkamah berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan Tersangka
sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam
proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat,
martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum”;
Menimbang, bahwa selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 Mahkamah menyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan
yang cukup”, dan “bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17,

vi
dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” yang
termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon
tersangkanya. Ketentuan dalam KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan
jumlah dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang
cukup”. Satu-satunya pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam
Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti ... dst”. Oleh
karena itu, pemaknaan “minimal dua alat bukti” dinilai merupakan perwujudan asas
due process of law untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan
pidana. Sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia, masih
terdapat beberapa frasa dalam KUHAP yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi
asas legalitas sebagaimana asas lex certa serta asas lex stricta agar melindungi
seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik. Dengan
demikian, seorang penyidik di dalam menentukan ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan
yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1
angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan
sewenang-wenang”;
Menimbang, bahwa asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan
dikenal dengan adagium dari Von Feuerbach, yaitu: nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali. Secara bebas dapat diartikan “tidak ada tindak pidana (delik),
tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”.
Sehingga secara umum, Von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga
bagian, yaitu:
a. Tidak ada hukuman, kalau tak ada ketentuan Undang-undang (Nulla poena sine
lege);
b. Tidak ada hukuman, kalau tak ada perbuatan pidana (Nulla poena sine crimine);
c. Tidak ada perbuatan pidana, kalau tidak ada hukuman yang berdasarkan
Undang-undang (Nullum crimen sine poena legali);
Hal inilah yang menjadi dasar dari asas ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut
(asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap sebagai kejahatan
apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan, bukan
sesudah delik tersebut dilakukan;
Eddy O.S. Hiariej memberikan makna dalam adagium tersebut, sebagai asas yang
memiliki dua fungsi :

vii
a. Fungsi melindungi yang berarti Undang-Undang pidana melindungi rakyat
terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang;
b. Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan Undang-Undang,
pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan.
Fungsi melindungi lebih pada hukum pidana materil (hukum pidana) yang mengacu
pada frasa pertama (nulla poena sine lege) dan kedua (nulla poena sine crimine),
sementara fungsi instrumentalis lebih pada hukum pidana formil (hukum acara
pidana) yang mengacu pada frasa ketiga (nullum crimen sine poena legali). Untuk
pemecahan kasus-kasus perbuatan pidana, maka yang menjadi pedoman adalah makna
asas legalitas yang dikemukakan oleh Jeschek dan Weigend, yaitu:
1) Terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut (nonretroaktif/nullum
crimen nulla poena sine lege praevia/lex praevia);
2) Ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum
kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege scripta/lex scripta);
3) Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege
certa/lex certa);
4) Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum
crimen poena sine lege stricta/lex stricta);
Berdasarkan keempat makna asas legalitas di atas, dijadikan dasar dalam
menganggap, kemudian membuktikan dengan sejelas-jelasnya, dari setiap orang yang
melakukan perbuatan pidana (delict), sehingga orang itu patut untuk dimintakan
pertanggungjawaban atas perbuatannya itu;
Menimbang, bahwa selanjutnya menurut Hakim praperadilan, Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut sebenarnya mempertegas dan meneguhkan
kewenangan Penyelidik sebagaimana Pasal 5 KUHAP, dimana dalam ayat (1) huruf a
mengatur Penyelidik mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab.
Dari uraian Pasal 5 KUHAP ayat (1) huruf a tersebut, jelas bahwa Penyelidik
mempunyai kewenangan berdasarkan jabatan yang diberikan untuk mengambil
keterangan dari orang-orang yang diduga mengetahui suatu peristiwa pidana termasuk
viii
mengambil keterangan calon Tersangkanya;
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi 65/PUU-
IX/2011, bertanggal 1 Mei 2012 jo Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28
April 2015 dan berbagai pengertian yang diuraikan di atas maka yang menjadi
wewenang dan ruang lingkup dari praperadilan, sebagaimana dikemukakan dalam
Pasal 1 butir 10, kewenangan mana kemudian dijabarkan dengan lebih tegas dalam
Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95, dan Pasal 97, yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan (vide, Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981);
b. Sah tidaknya Penggeledahan dan Penyitaan (vide, Putusan Mahkamah
Konstitusi 65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei 2012 jo Putusan Nomor 21/PUU-
XII/2014 tanggal 28 April 2015);
c. Sah tidaknya Penetapan Tersangka (vide, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015);
d. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (vide, Pasal 82 UU
No. 8 Tahun 1981);
e. Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan. Yang dimaksud dengan "kerugian karena
dikenakan tindakan lain" ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan
rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk
penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang
dijatuhkan (vide, Pasal 95 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981);
f. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan (vide, Pasal 97 UU Nomor 8 Tahun 1981);

Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon


telah mengajukan bukti surat-surat berupa fotokopi masing-masing diberi tanda: P-1
sampai dengan P-16 dan 2 (dua) orang saksi yang nama dan keterangannya seperti
tersebut di atas;

ix
Menimbang, bahwa Termohon menolak dalil-dalil permohonan Pemohon
tersebut dengan alasan bahwa setelah Termohon mengumpulkan alat bukti dalam
proses penyidikan berupa keterangan Saksi (6 orang saksi), alat bukti Surat berupa; 1
(satu) lembar invoice pembelian dan 5 (lima) invoice packing list, dan keterangan
AHLI (Ahli pidana dari Universitas Padjajaran) serta telah melakukan penyitaan
terhadap barang-bukti yang selaras dengan pasal 38, pasal 39 pasal 42, pasal 43 juncto
pasal 75 KUHAP dan sesuai dengan keterangan saksi, maka kemudian atas hasil
penyidikan tersebut dilaksanakan Gelar Perkara pada tanggal 10 Oktober 2019 guna
menentukan dan menetapkan Tersangka, dalam Gelar Perkara tersebut terungkap fakta
hukum hasil penyidikan telah memperolah minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup
sehingga peserta Gelar berpendapat terhadap SUKIMIN TARJONO ditetapkan
sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana penggelapan sebagaimana dimakud
dalam Pasal 374 KUHP dan atau Pasal 372 KUHP;
Menimbang, bahwa untuk mendukung alasan-alasan penolakannya tersebut
Termohon telah mengajukan bukti surat-surat berupa fotokopi bermaterai cukup dan
telah disesuaikan dengan aslinya, yang masing-masing diberi tanda: T-1 sampai
dengan T-76 dan 6 (enam) orang saksi yang nama dan keterangannya seperti tersebut
di atas;
Menimbang, bahwa setelah membaca dan meneliti dengan seksama surat
permohonan Pemohon dan jawaban Termohon serta bukti surat-surat dan saksi-saksi
yang diajukan ke persidangan oleh Pemohon dan Termohon, maka selanjutnya Hakim
akan mempertimbangkan sebagai berikut:
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat T-2 berupa surat dari Kuasa Hukum
Patrick C. Lee tanggal 3 September 2019 yang menyurat kepada Dirreskrimsus Polda
Kalbar mengenai adanya seperangkat alat bowling yang merupakan fasilitas Gajah
Mada Mall telah dijual sepihak oleh Sukimin Tarjono tanpa persetujuan dan
sepengetahuan Patrick C. Lee, sehingga Patrick C. Lee dirugikan;
Menimbang, bahwa atas dasar surat tersebut lalu Penyidik kemudian
memerintahkan dilakukan Penyelidikan pada tanggal 4 September 2019 sebagaimana
bukti surat T-3;
Menimbang, bahwa atas dasar Surat Perintah tersebut, maka Penyelidik
melakukan serangkaian kegiatan mengumpulkan keterangan yang tertuang dalam
Berita Acara Interogasi/Permintaan Keterangan/Interview/ Pengambilan Keterangan
terhadap 7 (tujuh) orang (vide bukti surat T-5 sampai dengan T-11);

x
Menimbang, bahwa pada tanggal 25 September 2019, Penyelidik membuat
Laporan Hasil Penyelidikan (bukti surat T-12) dengan kesimpulan proses
Penyelidikan dapat ditingkatkan ke proses Penyidikan. Sehingga pada tanggal 25
September 2019 dilakukan gelar perkara dengan hasil dapat ditingkatkan ke proses
Penyidikan (bukti surat T-13);
Menimbang, bahwa atas rekomendasi dari Hasil Gelar Perkara maka Kuasa
Hukum Patrick C. Lee membuat Laporan Polisi pada tanggal 30 September
sebagaimana bukti surat T-14, sehingga pada tanggal 30 September 2019 Penyidik
memerintahkan melakukan Penyidikan (bukti surat T-15);
Menimbang, bahwa selanjutnya Termohon melakukan serangkaian kegiatan
penyidikan berupa: melakukan penyitaan surat pada tanggal 1 Oktober 2019 (vide
bukti surat T-23, T-24, dan T-25), melakukan penggeledahan rumah atau tempat
tertutup pada tanggal 2 Oktober 2019 (vide bukti surat T-19 dan T- 20), dan
melakukan penyitaan barang pada tanggal 2 Oktober 2019 (vide bukti surat T-28, T-
29, dan T-30);
Menimbang, bahwa selanjutnya Termohon melakukan pemanggilan kepada 4
(empat) orang untuk diperiksa sebagai saksi yaitu: Amin, Taufiek Achirudin, Tjung
Hamid, dan Djoni Tanjung masing-masing dengan surat panggilan tertanggal 3
Oktober 2019 dan tanggal 4 Oktober 2019. Dan pada tanggal 9 Oktober 2019
Termohon meminta kepada Rektor Universitas Padjajaran untuk dapat menujuk
stafnya guna memberikan keterangan sebagai Ahli Pidana;
Menimbang, bahwa pada tanggal 30 September 2019 Termohon telah
melakukan pemeriksaan sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan terhadap saksi-saksi,
yaitu: H. Daniel Edwar Tangkau, S.H., Nasrun Bin Arahman, Rahmat Diansyah Bin
Jali Abas, Kiki Abdul Rachman Benyamin, Tjong Mei Foeng, Sukianto Efendi, dan
Patrick C.Lee. Selanjutnya pada tanggal 7 Oktober 2019 Termohon telah melakukan
pemeriksaan sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan terhadap saksi-saksi, yaitu:
Taufiek Achirudin Bin Abdul Razak dan Amin. Pada tanggal 8 Oktober 2019
Termohon telah melakukan pemeriksaan sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan
terhadap saksi Tjung Hamid. Dan pada pada tanggal 10 Oktober 2019 Termohon telah
melakukan pemeriksaan sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan terhadap ahli, yaitu:
Tajudin, S.H., M.H.;
Menimbang, bahwa pada tanggal 4 Oktober 2019 dan tanggal 11 Oktober 2019
Penyidik mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Kepala

xi
a Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (bukti surat T-17 dan T-18) dengan Tersangka
bernama Sukimin Tarjono;
Menimbang, bahwa dengan demikian sejak tanggal 11 Oktober 2019,
Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon karena menurut
Termohon telah memperoleh alat bukti yang cukup;
Menimbang, bahwa terhadap penetapan Pemohon sebagai Tersangka, Pemohon
kemudian mendalilkan bahwa Termohon telah melakukan serangkaian kegiatan
penyelidikan dan penyidikan yang tidak berdasarkan hukum sehingga menetapkan
Pemohon sebagai pelaku tindak pidana yang tidak pernah dilakukan oleh Pemohon;
Menimbang, bahwa di persidangan Pemohon selanjutnya mengajukan bukti
surat bertanda P-4 berupa Surat Pernyataan dari Tjung Hamid pada tanggal 18
September 2019, yang isinya pada intinya bahwa dia yang memberikan persetujuan
kepada Djoni Tanjung untuk menjual sebagian peralatan/besi bowling di Gajah Mada
Mall atas perintah dan persetujuan Patrick C.Lee sebagai pemilik pemegang saham
mayoritas PT. Putra Bowling Indonesia, dan hasil penjualan tersebut untuk membayar
hutang kepada Djoni Tanjung. Surat Penyataan itu dikuatkan dengan keterangan Tjung
Hamid di persidangan praperadilan yang pada pokoknya adalah saksi Tjung Hamid
selaku Direktur PT. Putra Daerah Khatulistiwa yang merupakan pengelola Gajadmada
Mall, yang memerintahkan kepada saksi Djoni Tanjung untuk menjual peralatan
permainan bowling yang ada di lantai 4 mall karena untuk membayar hutang sewa dari
Patrick C.Lee kepada PT. Putra Daerah Khatulistiwa maupun kepada saksi Djoni
Tanjung. Saksi Tjung Hamid pun menerangkan bahwa perintah tersebut atas
persetujuan dari Patrick C.Lee karena pada saat saksi Tjung Hamid menghubungi
Patrick C.Lee dan memberitahukan kalau banyak orang yang menagih hutang
sehingga Patrick C.Lee mengatakan kepada saksi Tjung Hamid dari pada menjadi
rongsokan bagaimana caranya supaya peralatan bowling itu bisa menjadi uang untuk
membayar hutang;
Menimbang, di persidangan Pemohon pun mengajukan bukti surat
bertanda P-6 berupa Surat Pernyataan dari Djoni Tanjung pada tanggal 22 September
2019, yang isinya pada intinya bahwa dia yang menjual sebagian alat bowling milik
PT. Putra Bowling Indonesia yang berada di Gajah Mada Mall atas persetujuan Tjung
Hamid dan Amin. Penjualan tersebut untuk membayar hutang kepada Djoni Tanjung.
Penjualan tersebut atas persetujuan dari Kiki Abdul Rahman Benyamin (Direktur
Utama PT. Putra Daerah Khatulistiwa). Sebagian alat bowling Djoni Tanjung

xii
perintahkan untuk dititipkan di Gudang milik Sukimin Tarjono (Pemohon) dan nanti
akan dijual untuk membayar hutang yang belum lunas. Surat Penyataan itu dikuatkan
dengan keterangan Djoni Tanjung di persidangan praperadilan yang pada pokoknya
adalah saksi Djoni Tanjung yang menjual peralatan permainan bowling yang terletak
di Gajah Mada Mall atas perintah Tjung Hamid karena untuk membayar hutang-
hutang dari pemilik PT. Putra Bowling Indonesia kepada saksi Djoni Tanjung.
Perintah dari Tjung Hamid tersebut atas persetujuan dari Kiki Abdul Rahman dan
Patrick C.Lee;
Menimbang, bahwa pada tanggal 3 Januari 2020 saksi Djoni Tanjung telah
mencabut keterangannya sebagai saksi dalam BAP Termohon berkaitan dengan
laporan polisi dari Daniel Tangkau S.H (kuasa hukum Patrick C.Lee);
Menimbang, bahwa selanjutnya Pemohon mengajukan bukti surat bertanda P-5
berupa Surat Pernyataan dari Sudi pada tanggal 26 September 2019, yang isinya
menerangkan pada pokoknya adalah dia yang mewakili pak Ahian dalam penjualan
mesin bowling sebanyak 3 (tiga) container dengan total harga Rp45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah) kepada pak H. Saniman pada tahun 2006;
Menimbang, bahwa terhadap alat bukti Pemohon tersebut telah dibantah oleh
Termohon dengan mengajukan saksi Kiki Abdul Rahman Benyamin yang telah
memberikan keterangan pada pokoknya adalah saksi adalah Direktur Utama PT.
Putra Daerah Khatulistiwa yang didirikan pada tahun 2001 yang membangun dan
mengelola Gajah Mada Mall yang mulai beroperasi pada sekitar tahun 2003 namun
karena tidak mampu membayar hutang kepada pihak Bank BII maka Gajah Mada Mall
yang merupakan asset dari PT. Putra Daerah Khatulistiwa disita oleh Bank BII dan
dilakukan pelelangan sekitar tahun 2007 atau 2008, sehingga saat ini mall tersebut
telah berubah menjadi Hotel Aston. Saksi mengetahui kalau di lantai 4 mall tersebut
ada permainan bowling milik Patrick C.Lee namun permainan itu tidak ada lagi di
mall pada sekitar tahun 2007 dan 2008 karena mall telah disita oleh bank, namun
permainan bowling itu tidak disita karena bukan asset dari PT. Putra Daerah
Khatulistiwa namun milik orang lain. saksi mendengar cerita bahwa permainan
bowling tersebut telah dijual dan menurut asumsi saksi bahwa yang menjual itu adalah
Pemohon dan Tjung Hamid karena mereka yang merupakan pengurus PT. Putra
Daerah Khatulistiwa yang berada di Pontianak sedangkan saksi dan lainnya berada di
Jakarta. Saksi tidak pernah melihat proses jual beli peralatan permainan bowling yang
dilakukan oleh Pemohon dan saksi tidak pernah mendengar Pemohon memerintahkan

xiii
orang lain menjual peralatan bowling tersebut;
Menimbang, bahwa di persidangan Termohon pun telah mengajukan saksi
Nasrun yang telah memberikan keterangan pada pokoknya, adalah: pada sekitar tahun
2008 saksi membongkar peralatan permainan bowling di Gajah Mada Mall selama 4
(empat) hari atas perintah dari Djoni Tanjung, dan peralatan bowling itu saksi bawa ke
gudang milik Pemohon atas perintah Djoni Tanjung. Saksi tahu Pemohon tidak pernah
memerintahkan saksi maupun Djoni Tanjung untuk menjual peralatan bowling yang
berada di Gajah Mada Mall karena saksi hanya menjalankan perintah dari Djoni
Tanjung untuk membongkar dan membawa peralatan itu ke gudang milik Pemohon di
samping Matahari Mall;

Menimbang, bahwa selain itu di persidangan Termohon mengajukan saksi


bernama Rahmat Diansyah yang memberikan keterangan pada pokoknya
adalah: saksi merupakan penjaga gudang milik Pemohon pada tahun 2007 sampai
dengan tahun 2008 dan pada sekitar tahun 2008 saksi dihubungi oleh Pemohon dan
memberitahukan bahwa ada peralatan bowling yang akan diantar oleh orangnya Djoni
Tanjung ke gudang atas perintah Djoni Tanjung, sehingga saksi membuka gudang agar
peralatan bowling itu bisa masuk dan disimpan dalam gudang. Bahwa sekitar 2 (dua)
minggu kemudian datang seseorang bernama Amin yang mengatakan bahwa peralatan
bowling itu telah dibelinya dari Djoni Tanjung, sehingga saksi menghubungi Pemohon
dan menanyakan kenapa peralatan itu dijual, namun Pemohon menjawab itu terserah
Djoni Tanjung. Bahwa atas jawaban tersebut saksi membiarkan orang yang datang itu
membawa peralatan bowling dan tersisa bola-bolanya. Bahwa saksi tidak pernah
mendengar Pemohon memerintahkan Djoni Tanjung atau orang lain untuk menjual
peralatan bowling itu. Saksi hanya tahu peralatan bowling dititipkan ke gudang milik
Pemohon atas perintah dari Djoni Tanjung dan berada di gudang hanya sekitar 2 (dua)
minggu;
Menimbang, bahwa dari rangkaian keterangan saksi-saksi di persidangan
terdapat perbedaan dengan keterangan saksi-saksi di BAP Penyidik, oleh karena
Hakim akan menggunakan keterangan saksi yang diberikan di persidangan karena
keterangan di persidangan di bawah sumpah dan diberikan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum serta telah diberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
menguji keterangan saksi-saksi tersebut dan oleh karena itu keterangan saksi-saksi
sebagaimana BAP Penyidik dikesampingkan dalam perkara aquo;

xiv
a Menimbang, bahwa dengan demikian terang dan jelas dalam persidangan ini
bahwa yang memerintahkan menjual peralatan bowling milik Patrick C.Lee yang
terletak di lantai 4 Gajah Mada Mall adalah saksi Tjung Hamid, dimana saksi Tjung
Hamid menyuruh saksi Djoni Tanjung untuk menjual peralatan bowling setelah
mendapat persetujuan dari Patrick C.Lee sebagai pemilik peralatan bowling maupun
saksi Kiki Abdul Rahman Benyamin selaku Direktur Utama PT. Putra Daerah
Khatulistiwa. Atas perintah dari saksi Tjung Hamid tersebut, maka saksi Djoni
Tanjung memerintahkan saksi Nasrun untuk membongkar peralatan bowling tersebut
dan membawanya kepada seseorang bernama Amin dan sebagian lagi dibawa dan
dititipkan di gudang milik Pemohon yang terletak seberang di Matahari Mall dan
beberapa waktu kemudian diangkut oleh Amin karena telah dijual oleh Djoni Tanjung.
Uang penjualan peralatan bowling itu saksi Djoni Tanjung serahkan kepada saksi
Tjung Hamid kemudian saksi Tjung Hamid menyerahkan ulang kepada saksi Djoni
Tanjung sebagai pembayaran hutang atas persertujuan Patrick C.Lee;
Menimbang, bahwa saksi-saksi di persidangan tidak ada satupun yang
menerangkan mengetahui yang memerintahkan menjual peralatan bowling tersebut
adalah Pemohon, bahkan saksi-saksi tidak mengetahui hubungan Pemohon dengan
peralatan bowling tersebut;
Menimbang, bahwa terhadap keterangan saksi-saksi dalam BAP Termohon
menjadi gugur dengan sendirinya setelah saksi-saksi memberikan keterangan di
persidangan yang menerangkan bahwa bukan Pemohon yang menyuruh menjual
peralatan bowling, melainkan yang menyuruh menjual adalah saksi Tjung Hamid dan
saksi Djoni Tanjung yang menjual karena untuk membayar hutang atas persetujuan
Patrick C.Lee selaku pemilik peralatan bowling dan persetujuan saksi Kiki Abdul
Rahman Benyamin selaku Direktur Utama PT. Putra Daerah Khatulistiwa;

Menimbang bahwa dengan demikian Hakim menilai keterangan saksi-saksi


yang termuat dalam BAP Penyidik yang bertentangan dengan keterangan saksi-
saksi di persidangan praperadilan ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sehingga dikesampingkan dalam pembuktian perkara aquo;

Menimbang, bahwa selanjutnya Hakim akan menilai proses Termohon


mengumpulkan alat bukti sehingga Termohon menetapkan Pemohon sebagai
Tersangka;

xv
Menimbang, bahwa Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, mengatur :
Ayat (1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung-jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan;
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Ketentuan tersebut sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor
21/PUU-XII/2014 yang mengharuskan proses pengumpulan alat bukti oleh Penyelidik
maupun Penyidik harus disertai dengan pemeriksaan Calon Tersangka atau orang yang
diduga sebagai pelaku, tidak terpenuhinya pemeriksaan tersebut berakibat tindakan
Penyelidik maupun Penyidik tidak berdasarkan hukum;
Menimbang, bahwa di persidangan saksi Muhammad Fahmi selaku Penyelidik
menerangkan bahwa pemeriksaan calon tersangka tidak wajib dilakukan oleh
penyelidik, namun berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ternyata Penyelidik diberikan
kewenangan oleh undang-undang untuk mengumpulkan keterangan dan menanyakan
orang yang dicurigai sebagai pelaku. Ini berarti ada kewajiban kepada Penyelidik
untuk mengumpulkan keterangan termasuk di dalamnya keterangan calon tersangka
atau orang yang dicurigai;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat bertanda T-5 sampai dengan T-11
ternyata bahwa Penyelidik telah mengambil keterangan 7 (tujuh) orang namun tanpa
mengambil keterangan dari orang yang dicurigai sebagai pelaku yaitu Pemohon
perkara aquo;

Menimbang, bahwa dengan tindakan Termohon tidak mengambil keterangan

xvi
pendahuluan kepada Pemohon padahal Termohon telah mengambil keterangan orang
lain yang kemudian dijadikan sebagai saksi, adalah tindakan yang tidak transparan dan
tidak melindungi hak asasi manusia sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka
(KUHAP sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia) dan tindakan Termohon itu
adalah tindakan sewenang-wenang karena tidak mencari keterangan secara seimbang,
dan oleh karena mengambil keterangan calon tersangka atau orang yang dicurigai
merupakan kewajiban yang diatur dalam hukum acara pidana, maka tidak
dilakukannya pemeriksaan kepada calon tersangka oleh Penyelidik
mengakibatkan tindakan Penyelidikan tidak berdasarkan hukum dan berakibat
Penyelidikan batal demi hukum;
Menimbang, bahwa pada tanggal 2 Oktober 2019, Penyidik telah melakukan
Penggeledahan Rumah/Tempat Tertutup Lainnya sebagaimana bukti surat bertanda T-
19 dan T-20. Selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 2019 Penyidik mengajukan
permintaan Penetapan Persetujuan Penggeledahan Rumah tempat tinggal/tertutup
lainnya kepada Ketua Pengadilan Negeri Pontianak;

Menimbang, bahwa Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981


tentang Hukum Acara Pidana menentukan Penggeledahan Rumah adalah tindakan
penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk
melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang;
Menimbang, bahwa selanjutnya pada Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menentukan: Dengan surat izin ketua
pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan
penggeledahan yang diperlukan;
Menimbang, bahwa Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana menentukan: Dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33
ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan. Dan Pasal 34 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur: Dalam hal
penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak
diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak
merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali

xvii
benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga
telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya;

Menimbang, bahwa dari uraian ketentuan Pasal 1 angka 17 dan Pasal 33 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, jelas
bahwa Penyidik diberikan hak oleh Undang-Undang untuk melakukan penggeledahan
rumah namun harus menurut cara yang diatur dalam undang- undang yaitu: dengan
izin ketua pengadilan negeri setempat barulah penyidik dapat melakukan
penggeledahan rumah. Ini berarti tindakan awal dari Penyidik sebelum melakukan
penggeledahan rumah adalah dengan mendapatkan izin penggeledahan dari ketua
pengadilan negeri terlebih dahulu barulah dapat melakukan penggeledahan rumah
untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan. Kewajiban adanya izin
penggeledahan dari ketua pengadilan negeri pada saat melakukan penggeledahan
adalah guna menjamin hak asasi seseorang atas rumah kediamannya. Bahkan apabila
membaca ketentuan pada ayat (2) dari Pasal 33 tersebut maka pada saat melakukan
penggeledahan rumah maka Penyidik harus memperlihatkan izin penggeledahan dari
ketua pengadilan negeri;
Menimbang, bahwa pengecualian dari ketentuan itu adalah Penyidik berada
dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, pun setelah dilakukan penggeledahan
yang dalam keadaan mendesak tersebut Penyidik wajib segera melaporkan kepada
ketua pengadilan negeri setempat;
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan "keadaan yang sangat perlu dan
mendesak" ialah bilamana di tempat patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau
mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera
dimusnahkan atau dipindahkan sedangkan surat izin dari ketua pengadilan negeri tidak
mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat (Penjelasan
Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana);

Menimbang, bahwa di persidangan saksi Rakhman Pane dan saksi Aris Pramono
menerangkan bahwa penggeledahan dilakukan di bekas gudang milik dari Pemohon di
samping Matahari Mall Pontianak di Jl. A.R. Hakim Kota Pontianak;

xviii
Menimbang, bahwa setelah hakim menanyakan kepada saksi-saksi mengenai
alasan keadaan sangat perlu dan mendesak sehingga penggeledahan dilakukan tanpa
izin ketua pengadilan negeri, ternyata saksi-saksi tidak dapat menjelaskan di
persidangan mengenai keadaan tersebut sehingga harus segera bertindak dan saksi-
saksi pun tidak dapat menjelaskan di persidangan mengenai keadaan dari Penyidik
pada saat itu sehingga surat izin penggeledahan rumah dari ketua pengadilan negeri
tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat bertanda T-20 ternyata bahwa


penggeledahan rumah dilakukan di bekas gudang milik Pemohon yang beralamat di Jl.
A.R. Hakim, Kec. Pontianak Kota, Kota Pontianak. Ini berarti bukan dilakukan di
tempat yang sangat sulit aksesnya dan membutuhkan waktu yang lama untuk
mendapatkan izin penggeledahan rumah dari Ketua Pengadilan Negeri Pontianak,
sehingga bukan sesuatu yang sangat mendesak dilakukan pada saat itu juga;

Menimbang, bahwa dengan demikian tindakan Termohon yang telah melakukan


penggeledahan rumah dalam perkara aquo tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri
Pontianak adalah tindakan yang tidak berdasarkan hukum;
Menimbang, bahwa di persidangan Termohon mendalilkan terhadap
penggeledahan rumah tanggal 2 Oktober 2019, Termohon telah meminta persetujuan
penggeledahan rumah kepada Ketua Pengadilan Negeri Pontianak;
Menimbang, bahwa setelah Hakim membaca bukti surat bertanda T-21 ternyata
surat tersebut tertanggal 28 Oktober 2019;
Menimbang, bahwa terhadap permohonan persetujuan penggeledahan rumah
tersebut telah diberikan Penetapan Persetujuan Penggeledahan Rumah oleh Ketua
Pengadilan Negeri Pontianak pada tanggal 13 Desember 2019 (vide bukti surat
bertanda T-22);
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan tenggang waktu antara
penggeledahan rumah pada tanggal 2 Oktober 2019 dengan penetapan persetujuan
penggeledahan rumah pada tanggal 13 Desember 2019, maka terlihat bahwa
penggeledahan rumah telah dilakukan 2 (dua) bulan 12 (dua belas) hari atau 72 (tujuh
puluh dua) hari sebelum adanya izin penggeledahan rumah dari ketua pengadilan
negeri, penggeledahan rumah tersebut baru dilaporkan untuk dimintakan persetujuan
kepada Ketua Pengadilan Negeri Pontianak pada tanggal 28 Oktober 2019 atau 26

xix
a (dua puluh enam) hari setelah penggeledahan rumah;
Menimbang, bahwa apabila memperhatikan dasar penggeledahan rumah oleh
Penyidik, yaitu Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana yang mengatur Penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah
dan untuk itu WAJIB SEGERA melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat guna memperoleh persetujuan;

Menimbang, bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 3/PUU-


XI/2013 telah menafsirkan frasa “segera” dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu tidak lebih dari 7 (tujuh) hari;

Menimbang, bahwa sekalipun penafsiran frasa “segera” oleh Mahkamah


Konstitusi ditujukan kepada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, namun Hakim praperadilan berpendapat bahwa pendapat
Mahkamah Konstitusi tentang frasa “segera” tersebut relevan diterapkan dalam Pasal
34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
berkaitan dengan penggeledahan rumah;
Menimbang, bahwa jikalaupun Termohon menolak bahwa frasa “segera”
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu tidak
lebih dari 7 (tujuh) hari sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-
XI/2013, akan tetapi Termohon sebagai lembaga hukum dalam tindakan penegakan
hukumnya harus terukur dan dalam batas yang wajar;
Menimbang, bahwa oleh karena itu Hakim Praperadilan menilai bahwa frasa
WAJIB SEGERA sebagaimana Pasal 34 ayat (2) tersebut harus ditafsirkan segera pada
hari itu juga setelah penggeledahan rumah telah dilakukan, karena tidak terdapat
alasan yang berdasarkan hukum untuk mengalami penundaan karena jarak kantor
Termohon dengan kantor Pengadilan Negeri Pontianak tidak lebih dari 6 (enam)
kilometer dan berada di dalam Kota Pontianak demikian halnya dengan lokasi
penggeledahan rumah dengan kantor Pengadilan Negeri Pontianak hanya sekitar 3
(tiga) kilometer, artinya tidak ada hambatan mengenai transportasi sehingga surat izin
penggeledahan rumah dari ketua pengadilan negeri sangat mungkin diperoleh dengan
cara yang layak dan dalam waktu yang singkat;
Menimbang, bahwa Penetapan Izin Penggeledahan Rumah maupun Penetapan
Persetujuan Penggeledahan Rumah dari Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana

xx
ketentuan Pasal 34 ayat (2) tersebut jangan hanya dipandang sebagai kelengkapan
administrasi atau kelengkapan berkas Penyidikan semata. Penyidik harus memahami
bahwa Penetapan Izin Penggeledahan Rumah maupun Penetapan Persetujuan
Penggeledahan Rumah dari Ketua Pengadilan Negeri tersebut memiliki konsekuensi
yuridis, karena apabila hal tersebut tidak segera dilakukan maka tindakan
Penggeledahan Rumah tersebut menjadi tidak sah dan tidak berdasarkan hukum;

Menimbang, bahwa dengan demikian maka Hakim berpendapat Permintaan


Penetapan Persetujuan Penggeledahan Rumah kepada Ketua Pengadilan Negeri
Pontianak oleh Termohon sebagaimana surat tanggal 28 Oktober 2019 telah melebihi
waktu yang patut dan wajar yang ditentukan menurut hukum dan berakibat tindakan
penggeledahan rumah tersebut tidak berdasar hukum;
Menimbang, bahwa oleh karena Penggeledahan Rumah yang dilakukan oleh
Penyidik adalah tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri Pontianak dan laporan
mengenai adanya penggeledahan rumah tidak segera dilaporkan kepada ketua
pengadilan negeri pada waktu yang patut dan wajar yang ditentukan menurut hukum,
maka Penggeledahan Rumah yang dilakukan Termohon dalam perkara aquo
adalah tidak berdasarkan hukum oleh karenanya batal demi hukum;

Menimbang, bahwa pada tanggal 1 Oktober 2019 Penyidik telah melakukan


penyitaan terhadap beberapa surat milik Pelapor yaitu tanda bukti pembelian maupun
bukti pengiriman barang berupa peralatan bowling (bukti surat T-24 dan T-25).
Tindakan Penyidik berdasarkan Surat Perintah Penyitaan (T-23);
Menimbang, bahwa pada tanggal 2 Oktober 2019 Penyidik pun telah melakukan
penyitaan terhadap barang dalam sebuah gudang kosong milik Pemohon berupa 7
(tujuh) bola bowling dan 6 (enam) pin bowling (bukti surat T- 29 dan T-30). Tindakan
Penyidik berdasarkan Surat Perintah Penyitaan (T-28);
Menimbang, bahwa selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 2019, Termohon
mengajukan permohonan persetujuan penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri
Pontianak;
Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana dalam Pasal 38 ayat (1) mengatur “Penyitaan hanya dapat dilakukan
oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.”;

Menimbang, bahwa selanjutnya pada ayat (2) mengatur dalam keadaan yang

xxi
sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan
ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu
wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya;

Menimbang, bahwa dengan membaca uraian ketentuan dalam Pasal 38 Undang-


Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka segala tindakan
penyitaan oleh Penyidik hanya dapat dilakukan dengan izin dari ketua
pengadilan. Ini berarti tindakan awal dari Penyidik sebelum melakukan penyitaan
adalah dengan mendapatkan izin penyitaan dari ketua pengadilan negeri terlebih
dahulu barulah dapat melakukan penyitaan terhadap sesuatu benda guna kepentingan
pembuktian. Pengecualian dari ketentuan itu adalah Penyidik berada dalam keadaan
yang sangat mendesak, pun setelah dilakukan penyitaan yang dalam keadaan
mendesak tersebut Penyidik wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri;
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi Rakhman Pane dan saksi Aris
Pramono di persidangan bahwa yang disita oleh saksi-saksi selaku Penyidik Pembantu
adalah surat pembelian dan pengiriman perangkat bowling milik dari Patrick C.Lee
dan disita dari Patrick C.Lee;
Menimbang, bahwa setelah hakim menanyakan kepada saksi-saksi alasan
mendesak sehingga surat-surat tersebut disita tanpa izin ketua pengadilan negeri,
ternyata saksi-saksi tidak dapat menjelaskan di persidangan mengenai keadaan
mendesak dari penyidik sehingga harus segera bertindak dan saksi-saksi pun tidak
dapat menjelaskan di persidangan mengenai keadaan dari Penyidik pada saat itu
sehingga tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin penyitaan terlebih dahulu;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat bertanda T-24 ternyata bahwa


penyitaan surat pembelian dan pengiriman perangkat bowling milik dari Patrick C.Lee
dilakukan di Kantor Ditreskrimsus Polda Kalbar. Ini berarti bukan dilakukan di tempat
yang sangat sulit aksesnya dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat mencapai
barang yang hendak disita. Pun ternyata disita dari Patrick C.Lee yang merupakan
pelapor sehingga tentu saja tindakan penyitaan bukan sesuatu yang sangat mendesak
dilakukan pada saat itu juga;

Menimbang, bahwa selanjutnya saksi Rakhman Pane dan saksi Aris Pramono

xxii
menerangkan di persidangan ada benda lain juga yang disita oleh saksi-saksi selaku
Penyidik Pembantu yaitu bola dan pin bowling yang dilakukan di gudang milik
Pemohon;
Menimbang, bahwa terhadap hal itu hakim menanyakan kepada saksi- saksi
alasan mendesak sehingga bola dan pin bowling disita tanpa izin ketua pengadilan
negeri, ternyata saksi-saksi tidak dapat menjelaskan di persidangan mengenai keadaan
mendesak dari penyidik sehingga harus segera bertindak dan saksi-saksi pun tidak
dapat menjelaskan di persidangan mengenai keadaan dari Penyidik pada saat itu
sehingga tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin penyitaan terlebih dahulu;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat bertanda T-29 ternyata bahwa
penyitaan bola dan pin bowling dilakukan di bekas gudang milik Pemohon yang
beralamat di Jl. A.R. Hakim, Kec. Pontianak Kota, Kota Pontianak. Ini berarti bukan
dilakukan di tempat yang sangat sulit aksesnya dan membutuhkan waktu yang lama
untuk dapat mencapai barang yang hendak disita sehingga bukan sesuatu yang sangat
mendesak dilakukan pada saat itu juga;

Menimbang, bahwa dengan demikian tindakan Termohon yang telah melakukan


penyitaan dalam perkara aquo tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri Pontianak
adalah tindakan yang tidak berdasarkan hukum;

Menimbang, bahwa di persidangan Termohon mendalilkan terhadap penyitaan


tanggal 1 Oktober 2019 dan tanggal 2 Oktober 2019, Termohon telah meminta
persetujuan penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri Pontianak;
Menimbang, bahwa setelah Hakim membaca bukti surat masing-masing
bertanda T-26 dan T-31 ternyata kedua surat tersebut tertanggal 28 Oktober 2019;
Menimbang, bahwa terhadap permohonan penyitaan tersebut telah diberikan
Penetapan Persetujuan Penyitaan oleh Ketua Pengadilan Negeri Pontianak masing-
masing pada tanggal 4 November 2019 (vide bukti surat bertanda T-27 dan T-32);
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan tenggang waktu antara penyitaan
pada tanggal 1 Oktober 2019 dan tanggal 2 Oktober 2019 dengan penetapan
persetujuan penyitaan pada tanggal 4 November 2019, maka terlihat bahwa Penyitaan
telah dilakukan 33 (tiga puluh tiga) hari dan 34 (tiga puluh empat) hari sebelum
adanya izin penyitaan dari ketua pengadilan negeri, Penyitaan tersebut baru dilaporkan
untuk dimintakan persetujuan kepada Ketua Pengadilan Negeri Pontianak pada tanggal

xxiii
28 Oktober 2019 atau 26 (dua puluh enam) hari dan 27 (duapuluh tujuh) hari setelah
penyitaan;
Menimbang, bahwa apabila memperhatikan dasar Penyitaan oleh Penyidik, yaitu
Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
yang mengatur Penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan
untuk itu WAJIB SEGERA melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat
guna memperoleh persetujuan;

Menimbang, bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 3/PUU-


XI/2013 telah menafsirkan frasa “segera” dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu tidak lebih dari 7 (tujuh) hari;

Menimbang, bahwa sekalipun penafsiran frasa “segera” oleh Mahkamah


Konstitusi ditujukan kepada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, namun Hakim praperadilan berpendapat bahwa pendapat
Mahkamah Konstitusi tentang frasa “segera” tersebut relevan diterapkan dalam Pasal
38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
berkaitan dengan Penyitaan;
Menimbang, bahwa jikalaupun Termohon menolak bahwa frasa “segera” dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu tidak lebih
dari 7 (tujuh) hari sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-
XI/2013, akan tetapi Termohon sebagai lembaga hukum dalam tindakan penegakan
hukumnya harus terukur dan dalam batas yang wajar;
Menimbang, bahwa oleh karena itu Hakim Praperadilan menilai bahwa frasa
WAJIB SEGERA sebagaimana Pasal 38 ayat (2) tersebut harus ditafsirkan segera pada
hari itu juga setelah Penyitaan telah dilakukan, karena tidak terdapat alasan yang
berdasarkan hukum untuk mengalami penundaan karena jarak kantor Termohon
dengan kantor Pengadilan Negeri Pontianak tidak lebih dari 6 (enam) kilometer dan
berada di dalam Kota Pontianak, artinya tidak ada hambatan mengenai transportasi;
Menimbang, bahwa Izin Penyitaan maupun Penetapan Persetujuan Penyitaan
dari Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (2) tersebut jangan
dipandang sebagai kelengkapan administrasi atau kelengkapan berkas Penyidikan
semata. Penyidik harus memahami bahwa Izin Penyitaan maupun Penetapan
Persetujuan Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri tersebut memiliki konsekuensi

xxiv
yuridis, karena apabila hal tersebut tidak segera dilakukan maka tindakan Penyitaan
tersebut menjadi tidak sah dan tidak berdasarkan hukum;

Menimbang, bahwa justru dengan tidakan yang terukur dan wajar dalam upaya
paksa, maka apa yang diharapkan bahwa tindakan Kepolisian R.I. semakin
professional dan dicintai rakyat akan terwujud;

Menimbang, bahwa dengan demikian maka Hakim berpendapat Surat


Permintaan Penetapan Persetujuan Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri oleh
Termohon sebagaimana surat tanggal 28 Oktober 2019 telah melebihi waktu yang
patut dan wajar yang ditentukan menurut hukum dan berakibat tindakan penyitaan
tersebut tidak berdasar hukum;

Menimbang, bahwa oleh karena penyitaan yang dilakukan oleh Termohon tanpa
izin dari ketua pengadilan negeri dan laporan mengenai adanya penyitaan tidak segera
dilaporkan kepada ketua pengadilan negeri pada waktu yang patut dan wajar yang
ditentukan menurut hukum, maka penyitaan yang dilakukan Termohon dalam
perkara aquo adalah tidak berdasarkan hukum oleh karenanya batal demi
hukum;

Menimbang, bahwa oleh karena tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh


penyelidik, tindakan penggeledahan rumah oleh penyidik, dan tindakan
penyitaan oleh penyidik dalam perkara aquo telah dinyatakan batal demi
hukum, maka dengan sendirinya proses pengumpulan alat bukti yang dilakukan
Termohon dalam perkara ini adalah cacat procedural dan tidak berdasarkan
hukum;

Menimbang, bahwa selain itu terungkap di persidangan dari keterangan


saksi-saksi bahwa tidak ada satupun saksi yang mengetahui dan mendengar
langsung Pemohon menyuruh saksi Djoni Tanjung menjual peralatan bowling
milik Patrick C.Lee dan bahkan di persidangan saksi Tjung Hamid
menerangkan bahwa saksi Tjung Hamid yang menyuruh saksi Djoni Tanjung
menjual peralatan bowling milik Patrick C.Lee dengan sepengetahuan dan atas
persetujuan Patrick C.Lee dan Kiki Abdul Rahman Benyamin keterangan mana
didukung oleh keterangan saksi Djoni Tanjung. Keterangan saksi-saksi tersebut
tidak dapat dipatahkan dengan keterangan saksi yang diajukan oleh Termohon karena

xxv
saksi-saksi dari Termohon pun tidak pernah mendengar langsung Pemohon menyuruh
saksi Djoni Tanjung menjual peralatan bowling milik Patrick C.Lee;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas,
hakim praperadilan menilai dalam perkara yang dimohonkan praperadilan ini
belum terdapat “bukti permulaan” sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1
angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
yang dimaknai “minimal dua alat bukti” sebagaimana dimaksud Pasal 184
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk
menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang melakukan tindak pidana
penggelapan sebagaimana Pasal 374 dan/atau Pasal 372 KUHP dan/atau tindak
pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbanga-pertimbangan hukum di


atas, Hakim Praperadilan menilai pokok persoalan dalam perkara yang dimohonkan
praperadilan aquo telah terjawab;
Menimbang, bahwa adapun mengenai dalil Termohon yang menyatakan bahwa
berdasarkan bukti surat T-71 perkara atas nama Pemohon telah dinyatakan lengkap (P-
21) oleh pihak Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat sehingga menurut Termohon
penetapan pemohon sebagai Tersangka sesuai dan benar menurut hukum, akan
ditimbangan sebagai berikut;

Menimbang, bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun


1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur “dalam hal suatu perkara sudah mulai
diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan
kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”. Selanjutnya
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 102/PUU-XIII/2015 berpendapat
gugurnya perkara praperadilan pada saat perkara pokok terhadap Pemohon telah
disidangkan;

Menimbang, bahwa oleh karena itu alasan Termohon bahwa perkara atas nama
Pemohon telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Penuntut Umum bukanlah alasan
gugurnya pemeriksaan perkara praperadilan dan P.21 terhadap perkara Pemohon yang
dipraperadilankan tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat terhadap pemeriksaan

xxvi
perkara praperadilan aquo, sehingga menurut hakim dalil Termohon tersebut tidak
beralasan hukum dan harus dikesampingkan;
Menimbang, bahwa selanjutnya Hakim akan memeriksa petitum permohonan
pemohon;
Menimbang, bahwa terhadap petitum angka 1 yang menyatakan diterima
permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya, akan terjawab setelah seluruh
petitum permohonan dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa dengan telah terjawabnya pokok persoalan dalam perkara
aquo, maka adalah beralasan hukum untuk menyatakan tindakan Termohon
menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan dugaan tindak pidana penggelapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 dan/atau Pasal 372 KUHP dan/atau tindak
pidana pencucian uang sebagaiman dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor
25 tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas
hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
Menimbang, bahwa dengan demikian petitum permohonan angka 2 adalah
beralasan hukum dan dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa sebagaimana arahan dari Ketua Mahkamah Agung RI


pada saat Pembinaan Teknis dan Administrasi Yudisial di Manado pada tanggal 23
Oktober 2018, yaitu pernyataan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang
dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka
atas diri Pemohon oleh Termohon adalah bertentangan dengan Peraturan Mahkamah
Agung R.I. Nomor 4 Tahun 2006 yang mengatur dikabulkannya permohonan
praperadilan tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan tersangka
lagi. Sehingga menurut Ketua Mahkamah Agung putusan tidak sah penetapan
tersangka hanya berlaku khusus terhadap penetapan yang dipraperadilankan;

Menimbang, bahwa dengan demikian oleh karena yang dipraperadilankan dalam


perkara aquo adalah penetapan tersangka sebagaimana bukti surat bertanda T-18 maka
putusan ini pun berlaku hanya terhadap penetapan tersangka tersebut;
Menimbang, bahwa dengan demikian petitum permohonan pada angka 3 tidak
beralasan dan harus ditolak;

xxvii
Menimbang, bahwa sekalipun telah dinyatakan bahwa penetapan tersangka oleh
Termohon terhadap Pemohon adalah tidak sah, namun oleh karena ruang lingkup
permohonan praperadilan terbatas sebagaimana diatur dalam undang-undang, maka
permohonan pemohon pada angka 4 tentang memerintahkan kepada Termohon untuk
menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon dan 5
tentang memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya tersebut tidak beralasan hukum dan harus ditolak;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan praperadilan yang diajukan oleh


Pemohon dikabulkan maka biaya yang timbul dalam perkara ini haruslah dibebankan
kepada Termohon. Oleh karena itu Petitum permohonan pada angka 6 beralasan
hukum dan dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa oleh karena petitum permohonan pemohon ada yang


dikabulkan dan ada yang ditolak maka petitum pada angka 1 dikabulkan sebagian dan
menolak selain dan selebihnya;

Memperhatikan, Pasal 1 angka 14, Pasal 5, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 38, Pasal
77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 82, dan Pasal 184 jo Pasal 183 Undang- Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lain
yang bersangkutan;

D. AMAR PUTUSAN

MENGADILI :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon Praperadilan untuk sebagian;


2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka
dengan dugaan tindak pidana Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 374 dan/atau Pasal 372 KUHP dan/atau tindak pidana Pencucian
Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 25
tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah tidak sah dan tidak

xxviii
berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan Tersangka
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Membebankan biaya perkara kepada Termohon sejumlah Nihil;

4. Menolak Permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

xxix

Anda mungkin juga menyukai