Anda di halaman 1dari 15

GUIDANCE PRA PERADILAN

Perkara ……….

A. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN PENETAPAN


TERSANGKA
1. Praperadilan sebagai tempat untuk mengadukan pelanggaran Hak Asasi
Manusia (“HAM”), khususnya hak kemerdekaan, dalam suatu proses
pemeriksaan perkara pidana.
2. Lembaga praperadilan diatur dalam BAB X Bagian Kesatu KUHAP (in casu
Pasal 77 s.d. Pasal 83 KUHAP) dan BAB XII Bagian Kesatu KUHAP (in casu
Pasal 95 s.d. Pasal 97 KUHAP). Lembaga/pranata praperadilan ini pada
hakikatnya merupakan sarana untuk mengawasi secara horizontal
terhadap penggunaan wewenang aparat penegak hukum, yaitu penyelidik,
penyidik dan penuntut umum (dalam hal ini termasuk Termohon).
3. Bahwa dalam hal kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
kepada aparat penegak hukum, jika dilaksanakan secara sewenang-
wenang (in casu Termohon) dengan maksud atau tujuan lain di luar yang
ditentukan secara tegas dalam KUHAP, maka pengujian atas keabsahan
penggunaan wewenang tersebut dilakukan melalui pranata praperadilan.
Hal ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin perlindungan hak asasi
manusia setiap warga negara (in casu Pemohon).
4. Praperadilan yang tercantum dalam Pasal 77 s.d Pasal 83 KUHAP adalah
wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:
4.1 Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
4.2 Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya
hukum dan keadilan; dan

1
4.3 Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
5. Bahwa penetapan seseorang menjadi tersangka merupakan “kunci utama”
dari tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak
hukum (penyelidik, penyidik dan penuntut umum). Tindakan selanjutnya
ini dapat berupa upaya paksa, yaitu pencegahan, penggeledahan,
penyitaan maupun penahanan. Dengan kata lain, adanya “status
tersangka” menjadi dasar/alas hukum bagi aparat penegak
hukum untuk melakukan suatu upaya paksa terhadap seseorang
yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Artinya, seseorang tidak
dapat ditangkap atau ditahan atau dilakukan pencegahan tanpa adanya
keadaan menyangkut status seseorang itu telah ditetapkan sebagai
tersangka.
6. Bahwa karena penetapan tersangka merupakan dasar untuk dapat
dilakukannya upaya paksa terhadap seorang warga negara, maka
pranata/lembaga hukum yang pantas dan berwenang
menguji/menilai keabsahan “penetapan tersangka” adalah
praperadilan. Hal ini nyata-nyata sesuai dengan pertimbangan dan amar
Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang masing-
masing menyatakan sebagai berikut:
- Pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi, halaman 105-
106 Putusan MK No. 21/2014:
“Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari
proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap
hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka
oleh penyidik merupakan obyek yang dapat dimintakan
perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan.
[Penebalan kata/kalimat untuk penegasan].
Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari
tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar
dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka,

2
padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada
pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan
memutusnya.
Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak
kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan
tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap
dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum
yang berlaku secara ideal dan benar.
Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai obyek
pranata praperadilan adalah agar perlakukan terhadap seseorang
dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia
yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di
hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka
menjadi obyek yang diadili oleh pranata peradilan adalah beralasan
menurut hukum;”
- Amar Putusan MK No. 21/2014, angka 1 butir 1.3 dan 1.4:
“1.3. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan
tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
1.4. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;”

3
7. Selain diatur dalam ketentuan Pasal 77 s.d Pasal 83 KUHAP juncto Putusan
MK No. 21/2014, dalam praktek peradilan Hakim telah membuat sejumlah
putusan terkait penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, yaitu:
7.1 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
04/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Sel tanggal 16 Februari 2015, yang amar
putusannya antara lain:
“4. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang
dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah;
5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang
dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan
Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon;”
7.2 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015, yang amar
putusannya antara lain:
“3. Menyatakan menurut hukum tindakan Termohon menetapkan
Pemohon sebagai Tersangka yang melanggar Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHAP berdasarkan
Surat Perintah Penyidikan No. SprinDik-17/01/04/2014 adalah
tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya
Penetapan Tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang
dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan
penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;”
7.3 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
67/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 4 Agustus 2015, yang amar
putusannya antara lain:
“4. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang
dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah;

4
5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang
dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkairan dengan
Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon;”
8. Bahwa faktanya, Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh
Termohon berdasarkan Surat Penetapan Tersangka ………Nomor:…………..,
tanggal …………………… atas Nama Pemohon Juncto Surat Perintah
Penyidikan …………………………………… nomor: ………………. tanggal
……………… atas nama Pemohon Juncto Surat Perintah Penyidikan
……………… Nomor: Juncto Surat Perintah Penahanan Kepala Kejaksaan
Negeri ……………………. Nomor: ………………………. tanggal …………..
sehubungan dengan dugaan tindak pidana korupsi
…………………………….. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tindak
Pidana Korupsi”) Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan pasal
…………………………………………………
Dengan ditetapkannya Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon
tersebut, Pemohon kehilangan kebebasan/hak asasinya. Hal ini
nyata-nyata akibat dari tindakan Termohon yang TELAH
MELANGGAR/TIDAK SESUAI dengan prosedur hukum acara
pidana dalam hal ini KUHAP, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
9. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas (vide angka 1 s.d 8
Permohonan Praperadilan), maka jelas bahwa penetapan tersangka
terhadap Pemohon merupakan obyek praperadilan. Oleh karenanya
adalah sah menurut hukum apabila Pemohon menguji keabsahan
Penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon, melalui
mekanisme praperadilan.

5
B. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA OLEH TERMOHON
BERTENTANGAN DENGAN PASAL 1 ANGKA 2 KUHAP.
10. Bahwa Pemohon diduga melakukan tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diatur dalam Pasal ………………………………….. Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP:
Pasal ………….. UU Tindak Pidana Korupsi:
- Setiap orang yang secara melawan hukum
……………………………… ------ dstnya.
Pasal ………………. Pidana Korupsi:
- Setiap orang ……………, dipidana dengan pidana penjara ------ dstnya.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
- Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut
melakukan perbuatan
11. Bahwa syarat seseorang ditetapkan menjadi Tersangka harus dilakukan
penyidikan terlebih dahulu berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang
menyebutkan:
- Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
12. Bahwa sebagaimana ditentukan oleh KUHAP, setiap proses pidana selalu
didahului dengan adanya laporan atau aduan atau adanya peristiwa
tertangkap tangan. Laporan atau aduan atau peristiwa tertangkap
tangan tersebut menjadi dasar untuk dapat dilakukannya penyelidikan.
Hasil akhir dari sebuah penyelidikan barulah dapat menjadi dasar untuk
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
13. Bahwa Penyelidikan dan penyidikan sebagaimana tersebut di atas diatur
dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP dan Pasal 1 angka 2 KUHAP
yang berbunyi sebagai berikut, kami kutip dengan penambahan huruf
tebal:

6
Pasal 1 angka 5 KUHAP:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Pasal 1 angka 2 KUHAP:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.”
14. Bahwa merujuk pada ketentuan hukum di atas, maka untuk mencapai
proses penentuan Tersangka, pertama-tama haruslah terlebih dahulu
(1) dilakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
(PENYELIDIKAN). Untuk itu, diperlukan keterangan dari pihak-pihak
yang terkait dan bukti-bukti awal yang dapat dijalin sebagai suatu
rangkaian peristiwa sehingga dapat ditentukan ada tidaknya suatu
peristiwa pidana.
15. Bahwa setelah proses penyelidikan tersebut dilalui, maka selanjutnya
(2) dilakukan rangkaian tindakan untuk mencari serta
mengumpulkan bukti agar terang suatu tindak pidana yang
terjadi (PENYIDIKAN). Untuk itu, kembali lagi haruslah dilakukan
tindakan-tindakan untuk meminta keterangan dari pihak-pihak yang
terkait dan pengumpulan bukti-bukti, sehingga peristiwa pidana yang
diduga sebelumnya telah menjadi jelas dan terang, dan oleh karenanya
dapat ditentukan siapa tersangkanya;
16. Rangkaian prosedur tersebut di atas, merupakan cara atau prosedur
hukum yang WAJIB DITEMPUH oleh penyelidik/penyidik (in casu
Termohon) untuk mencapai proses penentuan seseorang ( in casu
Pemohon) sebagai Tersangka. dengan demikian, fase/tahapan
penyidikan yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP telah menyatakan

7
secara tegas dan tidak dapat diragukan lagi bahwa tindakan utama
penyidikan adalah untuk mencari dan menemukan 3 (tiga) hal, yaitu:
1) Bukti;
2) Tindak Pidana; dan
3) Pelakunya (Tersangkanya).
17. Berkenaan dengan penetapan Tersangka yang dilakukan Termohon
terhadap Pemohon dalam proses penyidikan, hal ini diatur dalam Pasal 1
angka 14 KUHAP Juncto Putusan MK No. 21/2014.
Pasal 1 angka 14 KUHAP memberikan definisi bahwa “Tersangka adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Selanjutnya
Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan MK No. 21/2014 menegaskan
bahwa frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan
“bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam (antara lain) Pasal 1
angka 14 KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat
bukti sebagai batasan minimal jumlah alat bukti, yaitu sebagaimana kami
kutip dengan penambahan huruf tebal di bawah ini:
“Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan
“bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka
14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang
cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang
termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana;
Frasa“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti
yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14,
Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara

8
Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”,
“bukti permulaan yang cukup”,dan “bukti yang cukup” adalah
minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;”
18. Bahwa berdasarkan amar Putusan MK No. 21/2014 tersebut di atas,
maka norma Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai sebagai berikut:
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan “minimal dua alat bukti yang
termuat dalam Pasal 184” patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana”.
[penebalan kata dan penambahan garis bawah sengaja dilakukan]
19. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka sepatutnya SESEORANG
BARU DAPAT DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA APABILA
TELAH MELALUI PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
YANG HARUS DISERTAI DENGAN MINIMAL 2 (DUA) ALAT BUKTI
YANG SAH SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 184
KUHAP, dan dalam perkara ini, Penyidik belum bisa menemukan
dua alat bukti yang sah sehubungan dengan Pemohon
ditetapkan sebagai Tersangka.
20. Sehubungan dengan uraian di atas, muncul pertanyaan: Sejak Kapan
Termohon memperoleh/menemukan 2 (dua) alat bukti yang sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP guna menemukan
tersangkanya (in casu Pemohon) ? Kapan Termohon memperoleh
keterangan saksi guna menemukan Tersangkanya (in casu Pemohon) ?
Apakah 2 (dua) alat bukti yang sah itu didapat oleh Termohon setelah
Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah
Penyidikan ?
21. Berdasarkan seluruh uraian di atas, bahwa :
- Surat Penetapan Tersangka ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, nomor:……………,
tanggal …………..adalah TIDAK BERDASARKAN HUKUM, yakni

9
tidak berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP.
Prosedur yang benar adalah 2 (dua) alat bukti yang sah
sebagaimana dimaksud Pasal 184 KUHAP harus didapat setelah
penyidikan (pemeriksaan pro justicia) dilakukan, artinya setelah
dilakukan penyidikan berdasarkan Surat Perintah
Penyidikan…………….. Nomor: PRINT……………….., tanggal
………….. atas nama Pemohon Juncto Surat Perintah Penyidikan
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
Nomor: PRINT…….., tanggal ……….
22. Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 14 KUHAP,
maka jelas bahwa minimal 2 (dua) alat bukti yang sah belum
didapatkan/dikumpulkan oleh Termohon, tetapi berdasarkan Surat
Perintah Penyidikan ………………………………. Nomor: PRINT-………………,
tanggal …………… atas nama Pemohon Juncto Surat Perintah Penyidikan
……………………….Nomor: PRINT………………. tanggal …………, Termohon
tanpa adanya minimal 2 (dua) alat bukti yang sah, serta merta
menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
23. Dengan demikian, penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh
Termohon yang tidak didasarkan minimal 2 (dua) alat bukti yang
termuat dalam Pasal 184 KUHAP Juncto Amar Putusan MK No. 21/2014
merupakan tindakan sewenang–wenang yang melanggar ketentuan
perundang-undangan (in casu KUHAP), merupakan bentuk pelanggaran
hak konstitusional Pemohon selaku Warga Negara Indonesia
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, dan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”.
24. Bahwa dengan demikian berdasarkan seluruh uraian di atas, Menyatakan
Surat Perintah Penyidikan ……………………… Nomor: PRINT-
………………………, tanggal ……………….. atas nama Pemohon Juncto Surat

10
Perintah Penyidikan ……………………….. Nomor: PRINT-………………..,
tanggal …………………., yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka
oleh Termohon terkait dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, dan oleh karenanya
Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon tidak mempunyai kekuatan
mengikat.
25. Bahwa Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terkait peristiwa
pidana sebagaimana dimaksud dalam penetapan Tersangka terhadap diri
Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal
3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum,
dan oleh karenanya Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon tidak
mempunyai kekuatan mengikat.
26. Bahwa Surat Penetapan Tersangka …………….. Nomor: ……………………….,
tanggal …………………..atas Nama Pemohon Juncto Surat Perintah
Penyidikan …………………….. Nomor: PRINT-……………., tanggal
……………… atas nama Pemohon Juncto Surat Perintah Penyidikan
……………………………….. Nomor: PRINT-………………….., tanggal
………………., oleh Penyidik Kejaksaan ……………… tidak pernah
disampaikan/diberitahukan kepada Pemohon (tersangka) dan jelas
tindakan penyidik bertentangan dengan hukum yang berlaku.
27. Bahwa disampaikan kepada Yang Mulia Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara ini bahwa Penyidik ……………………. tidak pernah
memberitahukan/menyampaikan salinan Surat Penetapan Tersangka

11
………… Nomor: …………………………, tanggal ……………….. atas nama
Pemohon Juncto Surat Perintah Penyidikan ……………………….. Nomor:
PRINT-……………………, tanggal ………………………. atas nama Pemohon
Juncto Surat Perintah Penyidikan ………………………………… Nomor:
PRINT-…………………….., tanggal ……………………. kepada Pemohon
dan/atau keluarganya, maka secara hukum seluruh rangkaian penyidikan
oleh Penyidik ……………………. atas dasar Surat Perintah Penyidikan
……………………. Nomor: PRINT-……………………., tanggal …………………….
atas nama Pemohon Juncto Surat Perintah Penyidikan …………………….
Nomor: PRINT-……………………., tanggal …………………….adalah batal
demi hukum.
28. Bahwa sehubungan dengan Surat Penetapan Tersangka …………………….
Nomor: ……………………., tanggal ……………………. atas nama Pemohon
adalah batal demi hukum, maka Surat Perintah Penahanan Kepala
……………………. Nomor: PRINT-……………………., tanggal …………………….
terhadap diri Pemohon dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan
hukum mengikat.
29. Berdasarkan uraian pada angka 01 ….. sampai angka 28 …. kiranya telah
cukup membuktikan bahwa Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka
tanpa didasari adanya bukti permulaan sebagaimana bunyi ketentuan
Pasal 1 angka 14 KUHAP, mengutip pendapat Mantiman
Prodjohamidjojo, SH., dalam bukunya yang berjudul “Sistem Pembuktian
dan alat-alat bukti”, mengatakan sistem hukum acara pidana di
Indonesia menganut sistem pembuktian undang-undang secara negatif
(negatief wettelijke bewijs theorie ) yang artinya hanya alat bukti yang
sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk
pembuktian dan di luar ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan
sebagai alat bukti yang sah, maka menjadi pertanyaan besar bagi
Pemohon terkait alat bukti yang sah yang mana yang digunakan oleh
Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka karena
faktanya tidak ada satupun slat bukti yang membuktikan Pemohon
melakukan tindak pidana yang dituduhkan.

12
30. Terbukti tidak adanya bukti permulaan sebagaimana bunyi ketentuan
Pasal 1 angka 14 KUHAP demi hukum mengakibatkan Surat Penetapan
Tersangka ……………………. Nomor: ……………………. tanggal
……………………. dan Surat Perintah Penyidikan ……………………. Nomor:
PRINT-……………………. tanggal ……………………. Juncto Surat Perintah
Penyidikan ……………………. Nomor: PRINT-……………………. tanggal
……………………. yang diterbitkan oleh Termohon adalah tidak sah karena
penetapan tersangka yang dilakukan oleh Termohon telah melanggar
dan bertentangan Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 1 Angka 14 jo. Pasal 183 jo.
Pasal 184 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-
XII/2014, tertanggal 28 April 2015, serta terlebih lagi hal itu telah
melanggar Hak Asasi Manusia, sehingga penetapan Tersangka yang
diterbitkan oleh Termohon sudah sepatutnya untuk dinyatakan tidak
sah dan/atau cacat hukum dengan segala akibat hukum yang
ditimbulkannya.
31. Tidak terpenuhinya bukti permulaan yang dapat menunjukan fakta
adanya perbuatan Pemohon sebagaimana diduga oleh Termohon
membuktikan penetapan tersangka terhadap Pemohon melanggar
ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP, hal ini mutatis mutandis
menyebabkan penahanan atas Pemohon tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 21 ayat (1) KUHAP karena dilakukan tanpa ada bukti yang cukup,
dengan demikian maka penahanan terhadap Pemohon yang telah
dilakukan oleh Termohon tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum
oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat, untuk itu maka
cukup beralasan bahwa Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penuntutan)
Nomor: PRIN-……………………., tanggal ……………………. terhadap diri
Pemohon dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
32. Bahwa sesuai dengan uraian tersebut diatas dan didukung dengan bukti-
bukti sah menurut hukum bahwa benar Pemohon sama sekali tidak
ikut serta kegiatan ……………………..

13
Berdasarkan alasan-alasan hukum yang Pemohon uraikan tersebut di atas,
Pemohon mohon segera diadakan Sidang Praperadilan terhadap Termohon
sesuai dengan hak-hak Pemohon sebagaimana di atur dalam Pasal 80 Jo.
Pasal 79 Jo. Pasal 78 Jo. Pasal 77 KUHAP, dan selanjutnya mohon kiranya
Yang Terhormat Hakim Praperadilan yang memeriksa dan mengadili perkara
ini berkenan memutuskan:
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Surat Penetapan Tersangka ……………………. Nomor:
……………………. tanggal ……………………. dan Surat Perintah Penyidikan
……………………. Nomor: PRINT-……………………. tanggal …………………….
Juncto Surat Perintah Penyidikan ……………………. Nomor: PRINT-
……………………. tanggal ……………………. adalah tidak sah dan tidak
berdasar hukum, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
3. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan ……………………. Nomor: PRINT-
……………………. tanggal ……………………. atas nama Pemohon Juncto Surat
Perintah Penyidikan ……………………. Nomor: PRINT-…………………….,
tanggal ……………………. terhadap Termohon terkait dugaan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, dan oleh karenanya
Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon tidak mempunyai kekuatan
mengikat.
4. Menyatakan Surat Penetapan Tersangka …………………… Nomor:
……………………. tanggal ……………………. atas Nama Pemohon yang
menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait dugaan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

14
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, dan oleh
karenanya Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon tidak mempunyai
kekuatan mengikat.
5. Menyatakan Surat Perintah Penahanan ……………………. Nomor: PRIN-
……………………., tanggal ……………………. terhadap diri Pemohon
dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum mengikat. terhadap
diri Pemohon beserta seluruh perintah penahanan selanjutnya dinyatakan
tidak sah dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
6. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan
lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka
dan penyidikan, penahanan terhadap diri Pemohon oleh Termohon;
7. Membebankan biaya perkara yang timbul kepada Negara;
Atau apabila Hakim berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).

15

Anda mungkin juga menyukai