Anda di halaman 1dari 20

Nama : Moh.

Ghiyaz Romzi Al Barqi

Nim : 201910110311482

Kelas : I

Matkul : Hukum Acara Pidana

BAB VI PRAPERADILAN

A. Pengertian Praperadilan

Menurut nikolas simanjuntak praperadilan adalah proses acara peradilan untuk memeriksa,
mengadili, mengadili, dan menghukum jika salah dan membebaskan jika tidak salah.

Berdasarkan pengertian-pengertian dan uraian di atas maka pengertian dari Praperadilan adalah
suatu proses yang mendahului sidang dalam pengadilan atau pemeriksaan pendahuluan
sebelum memasuki sidang pengadilan, sedang yang dimaksud dengan pemeriksaan
pendahuluan adalah kegiatan yang dilakukan dalam fase penyidikan atau penuntutan dari suatu
perkara pidana. Ada pun dasar dari berlakunya praperadilan pidana Indonesia diatur dalam Bab
X, Pasal 77 sampai 83 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.

Pasal 77 menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan memutuskan


sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: Pertama, Sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan penghentian penuntutan. Kedua,
Ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penghentian penuntutan.1

Dalam pasal 1 butir 10 KUHAP dinyatakan bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan
negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka
atau keluarga atau pihak lain atas keluarga tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

1
Arhjayati Rahim, Praperadilan Sebagai Control Profesionalisme Kinerja Penyidik, VOL 05, NO 01, 2012, hal
3-4
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan

Salah satu menifestasi perlindungan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam KUHAP
adalah adanya lembaga praperadilan untuk setiap warga negara yang ditangkap, ditahan, dan
dituntut tanpa alasan yang sah berdasarkan ketentuan undang-undang.

Praperadilan diilhami dengan istilah rechter commissaris dari negara belanda yang berfungsi
sebagai pengawas ataupun melakukan tindakan sebagai eksekutif. Rechter commisaris
berfungsi mengawasi upaya paksa yang dilakukan dalam melakukan tindakan untuk
memanggil dan mengadakan penahanan sesuai atau belum dengan perundang-undangan yang
berlaku atau menyimpang dari perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu kembaga rechter
commisaris muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim yang mempunyai kewenangan untuk
menangani upaya paksa (dwang middelen), penahanan, penyitaan penggeledahan badan, dan
pemeriksaan surat-surat.

Praperadilan berwenang memeriksa dan memutuskan hal-hal berikut:

1. Memeriksa dan memutuskan sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan;
2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
3. Memeriksa tuntutan ganti kerugian;
4. Memeriksa permintaan rehabilitasi;
5. Melaksanakan praperadilan terhadap tindakan penyitaan.

Menurut wahyu effendi, tujuan praperadilan adalah sebagai berikut.

1. Penegakan hukum lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan hukum. Dengan kata
lain, setiap tindakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
2. Timbulnya ganti kerugian dan rehabilitasi sebagai upaya utuk melindungi warga negara
yang diduga melakukan kejahatan tanpa didukung dengan bukti-bukti yang
meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan dari penegak hukum yang tidak
mengindahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia sehingga berbuat sewenang-wenang.
3. Dalam menentukan ganti kerugian, hakim harus cermat memperhitungkan dan
mempertimbangkan dengan seksama kemampuan finansial pemerintah dalam
memengaruhi dan melaksanakan keputusan hakim mengenai ganti kerugian tersebut.
4. Dengan adanya rehabilitasi, dapat memulihkan hak setiap orang sesuai dengan keadaan
semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
5. Kejujuran yang telah dijiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi
oleh aparat penegak hukum.2

Pihak yang Berwenang Mengajukan Praperadilan Berdasarkan ketentuan Pasal 79 dan


Pasal 80 KUHAP, pihak yang diberi wewenang untuk mengajukan praperadilan, yaitu:

1. tersangka, keluarganya atau ahli waris atau kuasa hukum- penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan nya;

2.penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan;

3. penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan;

4. tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti kerugian (Yahya
Harahap, 2012: 8).

Keluarga atau kuasanya berhak mengajukan praperadilan untuk dilakukan pemeriksaan tentang
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan yang dilakukan
penyelidik atau penyidik.

Berdasarkan Pasal 80 KUHAP, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentinagn dapat
melakukan permohonan praperadilan sehubungan dengan sah atau tidaknya penghentian
penyidikan apabila instansi penyidik menghentikan penyidikan.

Menurut ketentuan Pasal 81 KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan
mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan atas alasan sahnya penghentian
penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan. Adapun pihak yang berhak mengajukan
upaya gugatan praperadilan untuk sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan adalah:

1. penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan;

2. penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan.

Yang dimaksud pihak ketiga yang berkepentingan adalah saksi korban tindak pidana atau,
pelapor atau; dan organisasi non pemerintah (ornop/Ism).

2
Ridwan eko prasetyo, S.H.I., M.H., HUKUM ACARA PIDANA PUSTAKA SETIA, Bandung desember
2015, hal 77-78
Pengajuan Cara Pemeriksaan Praperadilan Proses melakukan pengajuan terhadap praperadilan
dimulai dari:

1. permohonan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri

2. permohonan diregister dalam perkara praperadilan;

3. ketua pengadilan negeri segera menunjuk hakim dan panitera;

4. pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal (Yahya Harahap, 2012: 12).

Semua pengajuan permohonan praperadilan harus ditujukan kepada ketua pengadilan negeri
wilayah hukum tempat proses penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan yang
dilakukan dalam wilayah hukum yang bersangkutan. Ketua pengadilan atau panitera
pengadilan menerima permohonan pengajuan praperadilan untuk diregister. Setelah pengajuan
praperadilan diregister, selanjutnya penunjukan hakim atau panitera yang memeriksa
permohonan praperadilan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat 1 huruf a. Setelah itu,
pemeriksaan permohonan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal sehingga dalam proses
sidang praperadilan semua permohonan praperadilan yang diajukan diperiksa dan diputus oleh
hakim tunggal sesuai dengan Pasal 78 ayat 2. Bentuk dan Isi Putusan Praperadilan

Isi dari putusan hakim praperadilan memuat beberapa putusan, di antaranya:

1. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka
penyidik atau Jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera
membebaskan tersangka;

2. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak
sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

3. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka
dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan,
sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan
tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;

4. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat
pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera
dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita (Rusli Muhammad, 2014: 102).
Gugurnya Pemeriksaan Praperadilan Pemeriksaan praperadilan dapat dikatakan gugur apabila
praperadilan dihentikan sebelum putusan dijatuhkan atau pemeriksaan dihentikan tanpa adanya
putusan. Hal ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP.

Berdasarkan penjelasan tersebut, gugurnya praperadilan terjadi karena dua hal, yaitu sebagai
berikut:

1. apabila perkara tersebut telah diperiksa oleh pengadilan negeri lain;

2. pada saat perkaranya diperiksa pengadilan negeri, pemeriksaan praperadilan belum selesai
(Lihat KUHAP Pasal 82 ayat 1 tersebut).

Dalam Pasal 82 ayat (1) sub d KUHAP menyebutkan bahwa yang dapat menggugurkan
permohonan praperadilan kurang mencerminkan rasa keadilan dan sangat merugikan tersangka
yang mengajukan permohonan pemeriksaan praperadilan, penyidik yang melakukan
penangkapan atau penahanan tidak dapat memeriksa sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan menurut hukum, yakni dengan sengaja menggugurkan praperadilan sehingga
kesalahan terhadap pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan dapat ditutupi.

Pengguguran permintaan permohonan yang ditentukan dalam Pasal 82 ayat 1 tidak mengurangi
hak tersangka karena semua permintaan tersebut dapat ditampung kembali oleh pengadilan
negeri dalam pemeriksaan pokok tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penggeledahan, atau penyitaan dapat langsung diperiksa oleh pengadilan negeri dalam sidang.

B. Syarat Syarat Praperadilan

Permohonan praperadilan menurut pasal 79 KUHP, yang berhak memohonkan permintaan


praperadilan, tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan kepada pengadilan
negeri, adalah:

a. Tersangka;
b. Keluarga dari tersangka, atau
c. kuasanya

yang dimaksud dengan kuasanya, adalah orang yang medapatkan kuasa dari tersangka atau
keluarganya untuk mengajukan permintaan praperadilan itu. Permohonan permintaan
praperadilan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Sedangkan yang berhak mengajukan permintaan praperadilan tentang sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, menurut pasal 80 KUHAP adalah:
a. penyidik;
b. penuntut umum;
c. pihak ketiga yang berkepentingan.

Permintaan itu disampaikan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya,
maka pada hari itu juga panitera atau pejabat yang ditunjuk untuk menyampaikan permintaan
itu kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri yang segera harus
menunjuk hakim tunggal dan paniteranya yang akan memeriksa perkara tersebut (Pasal 78 ayat
(2)) KUHAP. prosedur pemeriksaan pada praperadilan akan diuraikan sebagai berikut:3

1. Tersangka yang merasakan hak atau kepentingannya dilanggar pada pemeriksaan


pendahuluan perkara pidana, misalnya dalam hal penagkapan atau penahanan, dapat
mengajukan gugatan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam
hal ini status tersangka berubah sebagai pemohon dan pejabat yang melakukan
penahanan atau penangkapan (polisi dan penuntut umum) disebut sebagai termohon.
2. Dalam rangka menjamin objektivitas putusan, di persidangan hakim mendengarkan
semua kerterangan baik dari pihak pemohon maupun pihak termohon tanpa
membedakan keduanya, dijelaskan Dalam sidang praperadilan ini, maka pemohon
diberi beban pembuktian lebih dahulu untuk membuktikan adanya peristiwa tersebut
dan selanjutnya pihak termohon diberi kesempatan pula untuk menyerahkan bukti-
bukti guna memperkuat sangkalannya atau bantahannya.
3. Pemeriksaan perkara praperadilan dilakukan secara cepat selambat-lambatnya dalam
tempo tujuh hari, hakim praperadilan sudah harus menjatuhkan putusannya. Peradilan
yang cepat (Contante justitie), merupakan salah satu asas Hukum Acara Pidana. Hal ini
dimaksud untuk menghindari penumpukan perkara, efisiensi waktu dan sebagainya.

Setelah mendengar dan memperhatikan keterangan-keterangan dan alat-alat bukti yang


ditunjukkan oleh pemohon dan termohon di muka persidangan, maka hakim praperadilan
menyusun pertimbangan dalam rangka mengambil keputusan. Adanya kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi dalam putusan praperadilan adalah sebagai berikut:

1. Penangkapan yang dilakukan oleh penyidik adalah sah.


2. Penangkapan yang dilakukan oleh penyidik adalah tidak sah, serta ganti kerugian
terhadap pemohon bila diajukan dalam surat permohonan dan dikabulkan.

3
DARWAN PRINST, S.H., HUKUM ACARA PIDANA DALAM PRAKTIK, DJAMBATAN, 2002, hal 198-
99
3. Penahanan atau penahanan lanjutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut adalah
sah.
4. penahanan atau penahanan lanjutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum
adalah tidak sah serta ganti kerugian terhadap pemohon bila diajukan pada surat
permohonan bila dikabulkan.
5. Penghentian penyidikan atau penuntut adalah sah.
6. Penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakuakan oleh penyidik atau penuntut
umum adalah tidak sah serta ganti kerugian terhadap pemohon bila diajukan dan
dikabulkan oleh hakim
7. Gugurnya Pemeriksaan Praperadilan Pemeriksaan praperadilan dapat dikatakan gugur
apabila praperadilan dihentikan sebelum putusan dijatuhkan atau pemeriksaan
dihentikan tanpa adanya putusan. Hal ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d
KUHAP.
8. Berdasarkan penjelasan tersebut, gugurnya praperadilan terjadi karena dua hal, yaitu
sebagai berikut:
1. apabila perkara tersebut telah diperiksa oleh pengadilan negeri lain;
2. pada saat perkaranya diperiksa pengadilan negeri, pemeriksaan praperadilan belum
selesai (Lihat KUHAP Pasal 82 ayat 1 tersebut).
9. Pengguguran permintaan permohonan yang ditentukan dalam Pasal 82 ayat 1 tidak
mengurangi hak tersangka karena semua permintaan tersebut dapat ditampung kembali
oleh pengadilan negeri dalam pemeriksaan pokok tentang sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan dapat langsung diperiksa oleh
pengadilan negeri dalam sidang.

BAB VII PRAPENUNTUTAN

A. Prapenuntutan

Prapenuntutan adalah tahap awal yang dilakukan setelah selesainya penyelidikan dan
penyidikan. Proses selanjutnya yang harus dilakukan adalah tahap penuntutan.

Berdasarkan Pasal 14 ayat (b), prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik sebagai bentuk
pengembalian berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik karena oleh penuntut
umum belum dianggap sempurna dan harus dilengkapi serta disempurnakan.
Prapenuntutan dilakukan sebelum perkara diajukan ke pengadilan agar tindakan penuntutan di
depan sidang pengadilan telah siap. Hal ini akan menentukan keberhasilan penuntutan,
terutama untuk menemukan kebenaran materil yang akan dijadikan dasar penuntutan pada
tahap berikutnya.

menerima berkas perkara dari penyidik untuk melimpahi perkara pidana ke pengadilan negeri,
sebagai wewenang ya diberikan oleh undang-undang yang terdapat dalam Pasal KUHAP,
dengan permintaan agar perkaranya diperiksa atau diadili.

Pasal 110 ayat (2) KUHAP jo Pasal 138 ayat (1). (2) KUHAP yang menyebutkan sebagai
berikut:

a. Penuntut umum setelah menerima pelimpahan berkas perkan wajib memberitahukan


lengkap tidaknya berkas perkara tersebut kepada penyidik. Bila hasil penelitian
terhadap berkas perkara hasil penyidikan, belum lengkap maka penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk paling lama 14 hari
terhitung berkas perkara diterima Penuntut Umum. Penyidik yang tidak
rnelaksanakan petunjuk untuk melengkapi berkas perkara maka proses kelengkapan
berkas perkara tersebut menjadi bolak-balik;

b. Dalam sebuah pelaksanaan prapenuntutan, proses prapenuntutan selain dapat memacu


terhindarinya rekayasa penyidikan juga dapat mempercepat penyelesaian penyidikan
juga menghindari terjadinya arus bolak-balik perkara. Proses prapenuntutan selain
dapat menghilangkan kewenangan penyidikan oleh penuntut umum dalam perkara
tindak pidana umum juga dalam melakukan pemeriksaan tambahan bilamana
penyidik Polri menyatakan telah melaksanakan petunjuk penuntut umum secara
optimal namun penuntut umum tidak dapat melakukan penyidikan tambahan secara
menyeluruh artinya penuntut umum hanya dapat melakukan pemeriksaan tambahan
terhadap saksi-saksi tanpa dapat melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.

Menurut Pasal 14 huruf b KUHAP, tujuan dari prapenuntutan adalah sebagai berikut:

a. untuk mengetahui berita acara pemeriksaan yang diajukan atau dikirim oleh penyidik
sudah lengkap atau belum;

b. persyaratan atau belum untuk dilimpahkan ke pengadilan;


c. untuk mengetahui berkas perkara yang telah memenuhi Untuk menentukan sikap
penuntut umum apakah akan segera menyusun surat dakwaan sebagai kelengkapan
berkas untuk dilimpahkan ke pengadilan (Rusli Muhammad, 2007: 73).

Dalam Surat Edaran Jaksa Agung No. 013/J.A/8/1982 tentang faktor yang harus
diperhatikan pada tahap prapenuntutan adalah sebagai berikut:

a. Hubungan dan kerja sama antara penyidik dan penuntut umum, baik sebelum
maupun sesudah adanya pemberitahuan kepada penuntut umum tentang adanya
penyidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP harus dibina
agar tercapai ketuntasan pengarahan jaksa calon penuntut umum;

b. Jaksa peneliti atau calon penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan untuk
mempelajari dan menelitinya secara seksama sesuai dengan ketentuan Pasal 138
KUHAP untuk memastikan apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum

c. Jika penyidikan dianggap belum lengkap menurut Pasal 110 ayat (2) dan ayat (3),
segera dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukannya kepada penyidik,
selanjutnya dalam waktu 14 hari mengembalikan berkas perkara kepada penyidik
disertai petunjuk yang terperinci, jelas, dan lengkap mengenai hal-hal yang harus
dipenuhi oleh penyidik untuk melengkapi hasil penyidikannya;

d. Tahap prapenuntutan dibatasi tenggang waktu yang telah ditentukan menurut


undang-undang;

e. Pengembalian berkas perkara dari pihak Jaksa peneli atau calon penuntut umum
kepada pihak penyidik berlangsung bulak-balik harus dicegah dan dihindari

f. Selain kelalaian atau ketidakcermatan dan keceroboh tindakan Jaksa peneliti atau
calon penuntut umu mengakibatkan pengajuan praperadilan, tuntutan ganti rugi
dan rehabilitasi serta tertutupnya upaya hukum bandin dan kasasi dalam hal
putusan bebas atau lepas dari sepal tuntutan hukum.4

B. Penuntutan

Penuntutan adalah pelimpahan perkara pidana ke pengadilan Tahap penuntutan


merupakan rangkaian penyelesaian perkara pidana sebelum hakim memeriksanya di sidang
pengadilan Menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP jo Pasal 1 butir 3 UU No 16 Tahun 2004,

4
Ibid hal 69
pengertian penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Anang Priyanto, 2012: 43).

Menurut Moeljatno (1981: 32), tindakan penuntutan umum adalah sebagai berikut :

1. Jika Jaksa sudah mengirimkan daftar perkara kepada hakim yang disertai dengan surat
tuntutan untuk mengadili perkara tersebut.

2. Jika terdakwa sudah ditahan dan mengenai tempo penahanan dimintakan


perpanjangan kepada hakim, kalau sudah lima puluh hari waktu tahanan masih juga
dimintakan perpanjangan juga secara moril maka dianggap sudah cukup untuk
menuntut.

3. Jika Jaksa memberitahukan kepada hakim bahwa ada perkara yang akan diajukan
kepadanya

Pihak yang dapat menentukan dilakukan atau tidak upaya penuntutan adalah penuntut
umum. Penuntut umum akan menentukan penuntutan bergantung pada hasil penyidikan.

Dalam P'asal 140 ayat (2) tata cara penghentian penuntutan adalah sebagai berikut:

a. Penghentian penuntutan dituangkan oleh penuntut umum dalam satu "surat ketetapan"
yang disebut SP3,

b. Isi surat penetapan penghentian penuntutan diberitahukan kepada tersangka;

c. Dalam hal penuntut umum melakukan penghentian penuntutan, sedang tersangka


berada dalam tahanan, penuntut umum "wajib" segera membebaskan dari
penahanan;

d. Turunan surat penetapan penghentian penuntutan "wajib" disampaikan kepada


tersangka atau keluarganya, pejabat rumah tahanan Negara, penyidik dan kepada
hakim. Meskipun sudah dilakukan penghentian penuntutan, karena penghentian
penuntutan tidak dengan sendirinya menurut hukum melenyapkan hak dan
wewenang penuntut umum untuk melakukan penuntutan kembali terhadap perkara
tersebut.

Permintaan pemeriksaan penghentian penuntutan tercantum dalam Pasal 80 KUHAP


memberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan atas penghentian penuntutan atas suatu
perkara. Secara teknis yuridis terhadap penghentian penuntutan perkara yang dilakukan oleh
penuntut umum dapat diajukan permintaan pemeriksaan oleh pihak yang berkepentingan, yaitu
penyidik dan pihak ketiga yang berkepentingan atau korban tindak pidana yang bersangkutan.

Dalam penuntutan suatu perkara dapat dilakukan dengan rbagai cara bergantung pada
berat ringannya perkara yang adi. Ada beberapa macam bentuk penuntutan, di antaranya
sebagai berikut:

1. penuntutan dengan cara biasa;

2. penuntutan dengan cara singkat;

3. penuntutan dengan cara cepat;

4. dalam Pasal 141 KUHAP diatur penuntutan dengan penggabungan perkara.

Penuntutan dengan cara biasa dilakukan jika ancaman perkar pidananya di atas satu
tahun. Cirinya adalah disertai den surat dakwaan yang disusun secara cermat dan lengkap oleh
jaksa penuntut umum dan penuntut umum yang menyerahkan sendiri berkas perkara serta
kehadirannya juga diharuskan d sidang pengadilan.

Penuntutan dengan cara singkat dapat dilakukan jika perkaranya diancam dengan pidana
yang lebih ringan, yakri tidak lebih dari satu tahun penjara. Penuntut umum langsung
menghantarkan berkas perkara ke pengadilan, kemudian didaftarkan dalam buku register oleh
penitera pengadilan.

Penuntutan dengan cara cepat terjadi jika perkara yang ringan atau perkara lalu lintas
yang ancaman pidananya fidak lebih dari tiga bulan.

Penuntutan dengan cara penggabungan perkara dilakukan berdasarkan Pasal 141


KUHAP vang menentukan bahwa penunta umum dapat melakukan penuntutan penggabungan
perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan jika pada waktu yang sama atau hampir
bersamaan ia menerima beberapa berkas.5

BAB VIII SURAT DAKWAAN

A. Surat Dakwaan

5
Ibid hal 72
Surat Dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan
yang dihubungkan dengan uraian kaidah rumusan pasal tindak pidana yang dilanggar dan
didakwakan kepada terdakwa. Selanjutnya. surat dakwaan itu menjadi dasar pemeriksaan bagi
hakim dalam sidang pengadilan (Nikolas Simanjuntak, 2012: 177).

Surat dakwaan merupakan akta yang dijadikan pedoman oleh hakim untuk melakukan
pemeriksaan dan memberikan putusan terhadap pasal-pasal yang didakwakan dalam surat
dakwaan. Secara umum, surat dakwaan berlaku sejak berlaku UU pokok kekuasaan kejaksaan,
yaitu UU No. 15/1961. Pasal 12 UU tersebut menentukan bahwa jaksa yang membuat surat
dakwaan (menurut ketentuan itu diberi nama "surat tuduhan") bukan dilakukan oleh ketua
pengadilan negeri.

Setiap penuntut umum yang melimpahkan perkara ke pengadilan harus disertai dengan
surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim di pengadilan. Dalam
KUHAP disebutkan ciri dan isi dari surat dakwaan, misalnya dalam Pasal 143 ayat (2), bahwa
surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani berisi:

1. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka;

2. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang di dakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (Rusli Muhammad, 2007:
83).6

B. Hal-hal yang diuraikan dalam dakwaan


Surat dakwan sebagai dasar pemeriksaan di depan sidang pengadilan mempunyai fungsi
sebagai berikut:
1. Jaksa Penuntut Umum dalam upaya menyajikan dan mengungkapkan pembuktiaan
serta menyusun surat tuntutan (requisitoir) nya, demikian pula dalam melakukan upaya
hukum harus selalu didasarkan pada Surat Dakwaan.
2. Terdakwa/penasihat hukum dalam eksepsi dan pembelaan (pleidooi)nya tidak boleh
menyimpang dan harus selalu berdasarkan pada Surat Dakwaan

6
Ibid hal 74
3. Pengadilan/Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan disidang pengadilan dalam
upaya membuktikan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan putusanya harus dilakukan
berdasarkan Surat Dakwaan7

Dengan demikian hal-hal yang diuraikan dalam surat dakwaan dalam KUHAP Pasal 143
hanya disebutkan hal-hal yang harus dimuat dalam surat dakwaan ialah uraian secara cermat,
jelas dan lengkap mengenai delik yang didakwakan dengan membuat waktu dan tempat delik
itu dilakukan. Bagaimana cara menguraikan secara cermat dan jelas hal itu tidak ditentukan
oleh KUHAP. masalah ini masih tetap sama dengan kebiasaan yang berlaku sampai sekarang
yang telah diterima oleh yurisprudensi dan diktrin. Dalam peraturan lama yaitu HIR pun
demikian, cara penguraian diserahkan kepada yurisprudensi dan diktrin itu, menurut Jonkers
yang harus dimuat ialah selain dari

perbuatan yang sungguh dilakukan yang bertentangan dengan hukumpidana juga harus
memuat unsure-unsur kejahatan yang bersangkutan.89
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP dinyatakan bahwa surat
dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 143 ayat (2)
huruf b KUHAP (syarat materiil) adalah batal demi hukum (van rechtswege nietig/null and
viod).

C. Syarat – syarat surat dakwaan

Dalam Pasal 143 ayat (2) dapat diketahui bahwa isi surat dakwaan dapat digolongkan
menjadi dua bagian. Pertama, berkaitan dengan identitas terdakwa. Kedua, berkaitan dengan
uraian mengenai tindak pidana. Adapun syarat surat dakwaan harus memenuhi dua syarat, yaitu
syarat formal dan syarat materiil (Rusli Muhammad, 2007: 83).

Syarat formal dengan mencantumkan tanggal, nama Jengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka yang
ditandatangani oleh jaksa atau penuntut umum yang bersangkutan Adapun syarat materiil
adalah uraian secara cermat. jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan

7
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonsia, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan
Putusan Peradilan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2012. hal. 65
8
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal 169
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (Nikolas Simanjuntak,
2012: 179).

Moeljatno (1981: 42) menyarankan dalam membuat surat dakwaan berisi dua hal
sebagaimana yang berlaku di negara-negara Anglo Saxon, yaitu:

1. Particulare of offence, yaitu lukisan atau uraian tentang perbuatan terdakwa dengan
kata-kata yang mudah dimengerti;

2. Statement of offence, yaitu pernyataan tentang aturan-aturan atau pasal-pasal yang


dilansgar terdakwa.

Pihak yang berwenang menyatakan bahwa surat dakwaan batal atau tidak adalah hakim
yang memimpin persidangan. Untuk menjaga cara penilaian hakim yang lebih objektif, hakim
lebih baik memeriksa lebih dahulu perkaranya secara keseluruhan. Berdasarkan pemeriksaan
hakim akan lebih objektif menilai dakwaan itu terang atau tidak, berpatokan pada penilaian
surat dakwaan yang merugikan hak terdakwa melakukan dan mempersiapkan pembelaan.

Ada juga surat dakwaan yang tidak memuat uraian tentang fakta tidak mengakibatkan
batalnya surat dakwaan. Hal tersebut bercantum dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 23
Agustus 1969 No. 36 K/Kr/1968. Walaupun demikian, sebaiknya surat dakwaan sedapat
mungkin memuat fakta dan keadaan yang lengkap dalam surat dakwaan.

Pencantuman syarat material, berisi uraian tentang tindak pidana yang didakwakan
secara cermat, jelas dan lengkap. Dalam buku pedoman Pembuatan Surat Dakwaan Kejaksaan
Agung R.I 1985: 14-16 dirumuskan pengertian cermat, jelas dan lengkap sebagai berikut :10
a. Yang dimaksud dengan cermat adalah: Ketelitian jaksa penuntut umum dalam
mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan pada undang-undang yang berlakubagi
terdakwa, serta tidak terdapat kekurangan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan
batalnya surat dakwaan atau tidak dapat dibuktikan.
b. Yang dimaksud dengan jelas adalah: Jaksa penuntut umum harus mampu
merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus mempadukan degan uraian
perbuatan material (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan.
c. Yang dimaksud dengan lengkap adalah: uraian surat dakwaan harus mencakup
semuaunsur-unsur yang ditentukan undag- undang secara lengkap. Jangan sampai ada
unsur delik yang tidak dirumuskan atau tidak diuraikan perbuatan materialnya secara

10
Ibid.
tegas dalam dakwaan, sehingga berakibat perbuatan itu bukanmerupakan tindak pidana
menurut undang-undang.
Penyebutan waktu dan tempat (tempos delicti dan locus delicti) dilakukannya
tindak pidana merupakan hal yang penting karena berkaitan erat dengan :
1. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengenai Asas legalitas, yaitu apakah apakah pada
waktu perbuatan dilakukan terdakwa telah ada peraturan yang mengatur dan
mengancam pidana perbuatan terdakwa.
2. Pada waktu pelaku melakukan tindak pidana apakah sudah dewasa atau belum.
3. Ketentuan kadaluwarsa (veryaring) yang dimaksud dalam Pasal 82 KUHP.
4. Apakah pelaku tindak pidana tersebut termasuk residivis.
5. Untuk menentukan keadaan-keadaan yang bersifat memberatkan pidana atau secara
tegas diisyaratkan oleh undang-undang.
6. Menentukan kompetensi relatif pengadilan, yang berhak mengadili perkara.
7. Keberlakuan hukum pidana Indonesia terhadap terdakwa sebagaimana diatur dalam
Pasal 2-8 KUHP.
8. Berkorelatif dengan adanya elemen tindak pidana yang limitatif disebutkan dalam
undang-undang seperti elemen tindak pidana yang dilakukan di muka umum.

D. Perubahan surat dakwaan

A. Mengubah Surat Dakwaan Mengubah surat dakwaan diatur dalam Pasal 144 KUHAP yang
berbunyi:

(1). Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari
sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutannya.

(2). Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat lambatnya 7
(tujuh) hari sebelum sidang dimulai.

(3). Dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan, ia menyampaikan turunannya
kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.11

11
Hadari Djenawi Tahir, Pokok-pokok Pikiran dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Alumni,
Bandung, 1981, hal. 112.
Dari ketentuan di atas dapatlah disimpulkan:

1. perubahan surat dakwaan dilakukan oleh Penuntut Umum;

2. waktu perubahan tersebut adalah 7 (tujuh) hari sebelum sidang;

3. perubahan surat dakwaan hanya satu kali saja;

4. turunan perubahan surat dakwaan haruslah diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum
atau penyidik. Rupanya yang diatur dalam KUHAP adalah prosedur perubahan surat dakwaan,
sedangkan materi surat dakwaan tidak diatur apa yang diperbolehkan atau apa yang tidak boleh
diubah.12

Menurut Pasal 282 HIR, dahulu ditentukan batas-batas perubahan yang dapat dilakukan dalam
ayat (2) yakni: Jika di luar hal yang tersebut pada ayat di atas ini, Ketua menimbang bahwa
tuduhan patut diubah, maka ia berkuasa untuk mengubah tuduhan itu, meskipun karena
perubahan itu perbuatan yang disalahkan tiada patut dipidana menjadi perbuatan yang patut
dipidana, akan tetapi jika perubahan itu menjadi tuduhan, tiada lagi mengandung perbuatan itu
juga menurut Pasal 76 KUHP, tidaklah boleh dilakukan.13

Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 15 K/Kr/1969 tanggal 13 Pebruari 1971


menyatakan dengan tegas bahwa perubahan tuduhan yang dimaksud oleh Pasal 282 HIR adalah
perubahan yang tidak mengakibatkan timbulnya perbuatan pidana lain. Sesudah Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1961 diundangkan yang boleh mengadakan perubahan adalah
Penuntut Umum karena dalam undang-undang tersebut hanya Penuntut Umum yang berhak
membuat surat dakwaan Pasal 12 ayat (1), dan dalam hal surat dakwaan kurang memenuhi
syarat, Penuntut Umum wajib memperhatikan saran saran yang diberikan oleh Hakim sebelum
pemeriksaan dimulai Pasal 12 ayat (2).

Demikian pada kenyataan di sana-sini kita masih sering menemui penyelundupan hukum
frauslegis oleh sementara pengadilan dengan mengubah akta tuduhan tanpa sepengetahuan
terdakwa maupun Penuntut Umum yang justru merupakan perumus dan yang bertanggung
jawab atas isi akta tuduhan tersebut. Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan pada
setiap saat sebelum Penuntut Umum tersebut mengajukan tuntutan pidana. Sedangkan ketua
majelis berwenang untuk membuat perubahan surat dakwaan untuk disesuaikan dengan

12
8 Ibid, hal 113.
13
9 Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan Dalam Teori dan Praktek Untuk
Praktisi, Dosen dan Mahasiswa, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 172.
keadaan-keadaan yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan. Hal tersebut tentu saja
sangat merugikan bagi seorang terdakwa dalam melakukan pembelaannya. Setiap saat seorang
terdakwa dapat didakwa melakukan suatu perbuatan yang sebelumnya tidak didakwakan oleh
Penuntut Umum. Sehingga seolah-olah terdakwa yang diajukan ke muka pengadilan haruslah
dipidana.14

Masalah perubahan, kembali kepada surat dakwaan menurut KUHAP, KUHAP hanya
mengatur prosedur perubahan surat dakwaan saja tanpa mempersoalkan materi surat dakwaan
yakni apa yang boleh diubah atau apa yang tidak boleh dirubah, sehingga dapat diambil
kesimpulan perubahan dan atau penyempurnaan terhadap surat dakwaan boleh dilakukan tanpa
suatu pembatasan, bahkan sampai untuk tidak melanjutkan penuntutan, asal saja tenggang
waktu dan prosedur yang ditentukan oleh Pasal 144 KUHAP dipenuhi.

Pada ketentuan ayat (1) disebutkan dengan tegas Penuntut Umum dapat mengubah surat
dakwaan. Jadi hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor 15
Tahun 1961 (LNRI 1961-254; TLNRI 2298) tentang Undang-undang Pokok Kejaksaan di
mana disebutkan, dalam hal surat tuduhan kurang memenuhi syarat-syarat, Jaksa wajib
memperhatikan saran-saran yang diberikan oleh hakim sebelum pemeriksaan di persidangan
pengadilan dimulai, kemudian berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 (LNRI1991-
59; TLNRI 3451) tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang mengacu KUHAP maka
ketentuan Pasal 12 ayat (2) tidak dipergunakan lagi. Eksistensi bahwa hanya Penuntut Umum
saja yang berwenang mengubah surat dakwaan adalah mutlak dan hakim tidak diperkenankan
mengubah surat dakwaan ditegaskan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 589 K/Pid/1984
tanggal 17 Oktober 1984.15

Sedangkan mengenai tenggang waktu untuk mengubah surat dakwaan dalam ketentuan ayat
(1) dan ayat (2) kalau diperhatikan secara seksama sepertinya ada kontradiktif ketentuan
terhadap dua waktu yang berlainan, yaitu:

1. Dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan, sebelum Pengadilan Negeri
menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak
melanjutkan penuntutan Pasal 144 ayat (1) KUHAP.

14
P.A.F. Lamintang, KUHAP dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi Menurut Yurisprudensi
dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal. 332-333.
15
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 589 K/Pid/1984, tanggal 17 Oktober 1984.
2. Dalam hal Penuntut Umum tersebut mengubah surat dakwaan dapat dilakukan hanya satu
kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai Pasal 144 ayat (2) KUHAP. Kalau
diperbandingkan ketentuan ayat (1) dan (2) tersebut di atas maka dapatlah ditarik suatu kaidah
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 144 ayat (1) KUHAP apabila sebelum Pengadilan Negeri
menetapkan hari sidang Penuntut Umum berwenang mengubah surat dakwaan dan tidak
melanjutkan penuntutan (penghentian penuntutan), sedangkan ketentuan Pasal 144 ayat (2)
KUHAP menentukan bahwa perubahan surat dakwaan hanya dapat dilakukan satu kali saja
dan dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.

E. Bentuk bentuk surat dakwaan

Sama halnya dengan cara merumuskan tindak pidana dalam surat dakwaan, pemilihan bentuk
surat dakwaan juga harus dilakukan secara cermat. Bentuk- bentuk surat dakwaan terdiri dari:16

1. Dakwaan Tunggal

Bentuk dakwaan hanya satu dan tindak pidana yang didakwakan juga hanya satu/tunggal.
Dakwaan ini dipergunakan apabila hasil penelitian terhadap materi perkara hanya satu tindak
pidana yang dapat didakwakan.

Contoh: Didakwa Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

2. Dakwaan Alternatif

Bentuk dakwaan tersusun dari beberapa tindak pidana yang didakwakan, yang mana berciri
sama atau setara, baik sifat perbuatan maupun ancaman pidananya dan antara tindak pidana
yang satu dengan tindak pidana yang lain bersifat saling mengecualikan. Apabila salah satu
dakwaan telah terbukti maka dakwaan yang lain tidak perlu dibuktikan lagi.

Contoh:

Dakwaan I Penipuan (Pasal 378 KUHP) atau Dakwaan II Penggelapan (Pasal 372 KUHP)

3. Dakwaan Subsider

Bentuk dakwaan subsider digunakan apabila akibat yang ditimbulkansuatu tindak pidana
menyentuh/menyinggung beberapa ketentuan pidana. Dimana tindak pidana yang diancam
dengan pidana pokok terberat diletakkan pada lapisan atas dan tindak pidana yang diancam
dengan pidana paling ringan ditempatkan di bawahnya. Meskipun dalam dakwaan terdapat

16
Harun M. Husein, Op. Cit, Hal. 67
beberapa tindak pidana, namun yang dibuktikan hanya salah satu dari tindak pidana yang
didakwakan dan dilakukan secara berurut dimulai dari dakwaan dengan ancaman pidana
terberat sampai kepada dakwaan yang dipandang terbukti.

Contoh:

Primair: Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana). Subsider: Pasal 338 KUHP (pembunuhan
biasa).

Lebih Subsider: Pasal 355 KUHP (penganiayaan berat mengakibatkan mati).

Lebih Subsider Lagi: Pasal 353 KUHP (penganiayaan berencana yang mengakibatkan mati).

Lebih-lebih Subsider: Pasal 351 ayat (3) KUHP (penganiayaan biasa yang mengakibatkan
mati).

4. Dakwaan Kumulatif

Bentuk dakwaan kumulatif menggambarkan bahwa dalam dakwaan itu terdapat beberapa
tindak pidana yang didakwakan dan kesemuanya harus dibuktikan. Bentuk dakwaan ini
digunakan berkaitan dengan samenloop/concursus atau deeelneming, yaitu seseorang yang
melakukan beberapa tindak pidana atau beberapa orang yang melakukan satu tindak pidana.

Contoh:

Dakwaan I: Pencurian (Pasal 362 KUHP) Dan

Dakwaan II: Pembunuhan dengan direncanakan (Pasal 340 KUHP)

5. Dakwaan Gabungan/Kombinasi

Bentuk dakwaan ini disebut dakwaan gabungan/kombinasi karena dalam dakwaan ini terdapat
beberapa dakwaan yang merupakan gabungan dari dakwaan yang bersifat alternatif maupun
dakwaan yang bersifat subsider. Dakwaan ini digunakan dalah hal terjadinya kumulasi
daripada tindak pidana yang didakwakan. Pembuktian dakwaan kombinasi dilakukan terhadap
setiap lapisan dakwan, apabila lapisannya bersifat subsidairitas pembuktiannya harus
dilakukan secara berurutan mulai lapisan teratas sampai lapisan yang dainggap terbukti. Akan
tetapi, bila lapisannya terdiri dari sifat alternatif, pembuktiannya dapat langsung dilakukan
terhadap dakwaan yang paling dianggap terbukti.

Contoh:
Kesatu: Primer Pasal 340 KUHP

Subsider Pasal 355 KUHP Lebih subsider Pasal 353 KUHP

Kedua: Primer Pasal 363 KUHP

atau

Subsider Pasal 362 KUHP Ketiga : Pasal 285 KUHP

Anda mungkin juga menyukai