Anda di halaman 1dari 53

KUMPULAN YURISPRUDENSI KUHP

Yurisprudensi Hukum Pidana


HUKUM PIDANA DALAM YURISPRUDENSI

( R. Ahmad. S. Soema Di Pradja )

BAB I

YURISPRUDENSI, ARTI DAN PERANANNYA BAGI HUKUM PIDANA

Tidak dapat disangkal bahwa tugas darpada seorang hakim adalah berbeda, berlainan dari pada
tugas dan kewenangan dari pembentuk undang-undang. Dapat dikatakan bahwa baik hakim
maupun pembentuk undang-undang menentukan atau menetapkan hokum yang dapat diartikan
dalam arti yang berbeda pula. Pembentuk undang-undang membentuk hokum secara in abstracto
yaitu merumuskan peraturan hukum secara umu yang berlaku bagi semua orang yang tunduk
pada ketentuan undang-undang. Lain halnya kedudukan hakim, ia sebaliknya yaitu menetapkan
hukum secara in concreto dimana hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang
nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus.

Terkait hal ini, dalam pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah menggariskan tentang tugas hakim
sebagai berikut :

Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan
dengan dalih, bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya.

Menurut pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 digariskan lebih lanjut tentang
kewajiban hakim, sebagai berikut :

Hakim sebagi penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat.

Lebih lanjut dapat dikatakan disini, bahwa bagi hakim pidana berlaku pula asas “nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege ponali”, sebagaimana dapat ditarik dari isi ketentuan
pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menandung arti bahwa perbuatan apa
dan yang bagaimanakah yang dilarang diperbuat orang serta yang diancam dengan pidana barang
siapa yang melanggar larangan tersebut, diletkan sepenuhnya dalam kekuasaan pada (badan)
pementuk undang-undang pidana.

Akan tetapi dilain pihak, untuk menilai sereta selanjutnya menentukan apakah sesuatu kata
dalam perumusan ketntuan undang-undang pidana adalah jelas ataupun tidak hal itu harus
ditetapkan oleh hakim (pidana) sesuai tugas serta kewenangannya menetapkan hukum pidana
secara in concreto seperti apa yang telah digariskan dalam pasal 14 (1) tersebut diatas. Oleh
karena itu, kiranya tidak ada seorangpun yang menolak hak hakim pidana untuk menafsirkan
undang-undang pidana didalam rangka menjalankan tugas serta kewenangannya menerapkan
hukum pidana secara in concreto itu.

Didalam putusannya itu. hakim pidana, menurut pendapat R. Sardjono sebagaimana


dikemukakan dalam Raker Hakim dan Panitera dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Jakarta
pada tahun 1972, antara lain :

1. Merupakan suatu pertanggungan jawab dari hakim mengenai alasa-alasan yang menjadi
dasar putusannya itu terhadap masyarakat dan negara dalam kedudukannya sebagai alat
perlengkapan negara, yang dibuatnya dengan jalan menyusun pertimbangan putusan
tersebut.
2. Pertimbangan-pertimbangan itu harus merupakan keseluruhan yang lengkap, tersusun
secara sistematis dan satu sama lainnya mempunyai hubungan yang logis tidak ada
pertentangan (tegenstrijdigheid) satu sama lain (innerlijke tegenstrijdigheid),
pertentangan-pertentangan mana juga tidak boleh terdapat antara pertimbangan-
pertimbangan putusan dan dictum putusan.
3. Hakim harus menilai kekuatan pembuktian tiap alat bukti dan memberi kesimpulannya
mengenai soal terbukti atau tidaknya tuduhan terhadap si terdakwa.
4. Hakim dalam mempertimbangkan perkara adalah tidak bebas, melainkan terikat pada
hukum, undang-undang dan rasa keadilan, sehingga dengan demikian segala kesan bahwa
hakim bertindak sewenang-wenag sekaligus dapat dilenyapkan.
5. Hubungan antara dictum (amar) putusan dan pertimbangan adalah bahwa setiap bagian
dari dictum putusan harus didukung oleh pertimbangan tertentu.

Dengan demikian telah diketahui bahwa hakim dilarang secara tegas untuk menolak mengadili
suatu perkara (pidana) yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Sedangkan dilain
pihak haikm diwajibkan pula untuk menggali, mengikutidan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup didalam masyarakat.

SURAT DAKWAAN, ISI SERTA PERANANNYA MENURUT YURISPRUDENSI


DEWASA INI

Surat dakwaan menurut hukum acara pidana, sepertipun yang termuat dalam KUHAP jo
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 mempunyai peranan yang sangat penting, karena surat
dakwaan yang dibuat oleh Jaksa dalam kedudukannya sebagai Penuntut Umum menjadi dasar
pemeriksaan disidang pengadilan. Kemudian surat dakwaan itu menjadi pula dasar dari putusan
hakim (Majelis Hakim). Betapa pentingnya surat dakwaan itu dapat terlihat dari bunyi pasal 197
KUHP, dalam hal putusan pemidanaan, haruslah didasarkan kepada dakwaan sebagaimana
terdapat dalam surat dakwaan. Sebagai konsekuensi logis dari sifat dan hakikat surat dakwaan
digariskan dalam KUHAP seperti dikemukakan diatas, musayawarah-terakhir untuk mengambil
keputusan Majelis Hakim wajib mendasarkannya kepada isi surat dakwaan (pasal 182 ayat 4
KUHAP).

Dari hal tersebut diatas jelas kiranya bahwa betapa pentingnya peranan yang dijalankan oleh
surat dakwaan dalam proses pemeriksaan perkara pidan. Surat dakwaan dengan demikian
merupakan dasar hukum acar pidana, sehingga seorang terdakwa yang diajukan ke depan
persidangan atas dakwaan melakukan suatu kejahatan, akan diperiksa, diadili dan diputus atas
dasar surat dakwaan yang telah disusun secara terperinci dan jelas oleh Jaksa selaku Penuntut
Umum dan bukan oleh hakim seperti halnya diatur dalam HIR sebelum berlakunya Undang-
undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI.

Dalam pada itu, seperti halnya ditegaskan dalam Bab “memutuskan” dari Undang-undang No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP telah mencabut “Het Herziene Inlandsch Reglement” Stbl Tahun
1941 No. 44 jo Undang-undang No. 1 Tahun 1951 L.N 1951 Nomor 9 “sepanjang hal itu
mengenai hukum acara pidana”, sehingga atas dasar itu dalam tingkat banding, Pengadilan
Tinggi tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengubah atau merubah surat dakwaan, seperti
ditentukan dalam pasal 14 dari Undang-undang Darurat diaksud tersebut tadi. Dalam kaitan ini
MA dalam putusannya No. 589K/ Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984 menggariskan “Pengadilan
Tinggi tidak berhak merubah dakwaan”.

Karena pentingnya surat dakwaan ini didalam pemeriksaan perkara sehingga walaupun terdakwa
memang benar telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam dakwaan
Jaksa, akan tetapi apabila ternyata perbuatan-perbuatan yang didakwaan dalam surat dakwaan
Jaksa adalah tidak sesuai atau tidak selaras dengan teks aslinya dari rumusan delik yang
didakwakan telah dilanggar oleh terdakwa maka dakwaan itu harus dinyatakan “tidak dapat
diterima dan terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan”.

Dalam rangka pembahasan tentang surat dakwaan ini, perlu dikatahui bahwa menurut
pengetahuan dan juga yurisprudensi, surat dakwaan itu dapat disusun dan dirumuskan dala
beberapa bentuk, yakni :

1. Dakwaan Tunggal.

Hal ini disusun dalam bentuk paling sederhana dalam hal seseorang atau lebih terdakwa disangka
telah melakukan satu perbuatan atau satu tindak pidana saja. Misalnya melakukan tindak pidana
“pencurian” jo pelanggaran, pasal 362 KUHAP.

2. Dakwaan Alternatief.

Memang benar dalam dakwaan itu sendiri tercantum beberapa perbuatan tetapi yang harus dapat
dibuktikan adalah hanya satu perbuatan saja, dipilih diantara yang didakwakan itu satu
(perbuatan). Sehubungan dengan hal tersebut, dakwaan ini  disebut pula “dakwaan pilihan”.
Dakwaan dengan cara ini dibuat dalam hal, Penuntut Umum ragu-ragu menerapkan pasal
manakah dari perbuatan yang dilakukan terdakwa itu paling tepat sehingga dapat dibuktikan
dalam persidangan nanti.

Dalam dakwaan alternatief ini masing-masing dakwaan akan saling mengecualikan satu sama
lain. Hakim akan memilih salah satu perbuatan yang didakwakan terbukti menurut keyakinannya
tanpa memeriksa dan memutus dakwaan lainnya.

3. Dakwaan Subsidair.

Seperti halnya apa yang dikemukakan diatas, dalam hal dapat diadakan pilihan diantara beberapa
perbuatan yang ddakwakan disebut pula pendakwaan secara alternatief atau subsidair. Didalam
praktek menurut Van Bemmelen kedua istilah ini seringkali dipergunakan secara campur aduk,
akan tetapi pada hakekatnya diantara kedua bentuk itu terlihat ada perbedaannya yaitu
pendakwaan secara alternatief dianggap sebagai pernyataan yang lebih luas dan mencakup pula
pendakwaan secara subsidair dalam arti sempit.

Dalam hal pendakwaan secara alternatief hakim harus melakukan pilihan, untuk selanjtnya ia
mempunyai kebebasan untuk menyatakan perbuatan sebagaimana dirumuskan kedua dinyatakan
sebagai terbukti tanpa terlebih dahulu adanya kewajiban untuk menyatakan perbuatan yang
pertama-tama didakwakan.

Lain halnya dalam hal pendakwaan subsidair dalam arti yang sesungguhnya, disini adanya
maksud atau tujuan dari perumusan dakwaan bahwa hakim pertama-tama harus memeriksa
perbuatan yang erdahulu dicantumkan dalam surat dakwaan, dakwaan primair itulah yang harus
diperiksa dan dalam hal dakwaan primair ini tidak dapat dibuktikan barulah diperiksa dakwaan
dibawahnya ataupun yang disebut “pendakwaan subsidair”.

4. Dakwaan Kumulatief.

Tidak ada satu ketentuanpun dalam KUHAP yang melarang diadakan pendakwaan lebih dari
satu perbuatan, sehubungan dengan hal itu ada kemungkinan beberapa perbuatan tidak ada
sangkut pautnya satu sama lain telah dilakukan seseorang pada saat-saat yang berlainan pula.
Umpamanya saja, seseorang telah melakukan pencurian pada bulan Juli dan berbuat penipuan
pada bulan Agustus dalam tahun yang sama, dalam hal yang demikian ini telah terjadi
“meerdaadsesamenloop” atau “perbarengan perbuatan”. Beberapa perbuatan diminta supaya
diadili secara sekaligus. Pada terdakawa dalam pendakwaan didakwakan beberapa (cumulatief)
perbuatan.

Pembuatan surat dakwaan diatas harus memenuhi dua syarat yang pokok yaitu :

a)      Syarat Formal

Surat dakwaan mutlak harus berisi syarat-syarat formal ini, meskipun demikian, jika tidak
dipenuhi syarat-syarat formal ini, tidak diancam pembatalan.
Syarat-syarat formal dibuat dalam surat dakwaan adalah guna dapat meneliti “identitas”, apakah
benar terdakwa inilah yang harus dihadapkan ke sidang pengadilan ataukah orang lain. Yang
terpenting adalah bahwa surat dakwaan itu harus disampaikan kepada :

–  Tersangka atau kuasanya (penasehat hukumnya).

–  Penyidik.

Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan bahwa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang
diberi tanggal dan ditandatangani, berisikan nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama serta pekerjaan tersangka.

b)      Syarat Materiil.

Menurut ketentuan perundang-undangan, tidak dipenuhinya syarat materiil ini dalam dakwaan,
membawa akibat batalnya dakwaan.

Adapun syarat materiil ini adalah berupa “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan”.

Pentingnya penyebutan waktu dan tempat dlam surat dakwaan adalah untuk menentukan
pengadilan yang manakah yang berwenang mengadili dan juga untuk membuktikan ketika
terdapat alibi (berada ditempat lain) dari terdakwa saat dalam proses persidangan.

UMUM
1. I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
14. I.4. Pengertian “pegawai negeri “
15. I.4. Istilah “kekuasaan negara”.
16. I.4. Istilah “Inlands gebruiksrecht”.
17. I.4. Istilah “vervoermiddel” dalam pasal 9 R.O.
18. I.5. Berlakunya undang-undang.
19. I.5. Berlakunya undang-undang.
20. I.5. Hutang-piutang dan hukum pidana.
21. I.5. Perkara pidana dan sengketa perdata.
22. I.5.Amnesti dan abolisi
TENTANG PIDANA
23. II.1. Jenis pidana.
34. II.3. Hukuman bersyarat.
35. II.3. Pengurangan dengan masa tahanan
HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN, MERINGANKAN, MEMBERATKAN PIDANA
36. III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
50. IV.1.2. Kealpaan - Kesengajaan.
51. IV.2. Kesengajaan.
53. IV.3. Melawan hukum.
57. IV.4. Kesalahan.
PERCOBAAN, PENYERTAAN, CONCURSUS
58. V.1. Percobaan.
59. V.2 Penyertaan.
64. V.4. Gabungan tindak-tindak pidana.
65. V.4. Gabungan pelanggaran dan kejahatan.
66. V.4. Perbuatan lanjutan.
67. V.4. Perbuatan Ianjutan.
68. V.4. Omissie-delict.
69. V.4. Delik aduan.
70. V.4. Tempo mengajukan delik aduan.
HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT
DAN MENJALANKAN PIDANA
71. VI.1. Gugurnya hak untuk menuntut hukuman.
72. VI.1. Hapusnya kewenangan penuntutan pidana.
TINDAK PIDANA TERHADAP NEGARA
75. VII.5. Tindak pidana terhadap Kepala Negara.
TINDAK PIDANA YANG MEMBAHAYAKAN KETERTIBAN UMUM
76. VIII.3. Tindakan-tindakan yang membahayakan jiwa orang.
77. VIII .9. Penghinaan terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.
78. VIII.9. Penghinaan terhadap suatu golongan penduduk.
79. VIII.9. Pawai tanpa izin.
TINDAK PIDANA TERHADAP ALAT NEGARA/PENGUASA
80. IX.1. Penyuapan.
82. IX.5. Penghasutan.
83. IX.5. Pernyataan perasaan-perasaan yang memenuhi, membenci, atau menghina
Pemerintah.
85. IX.5. Penghinaan terhadap penguasa.
88. IX.5. Penghinaan kepada badan kekuasaan negara.
TINDAK PIDANA PEMALSUAN
89. X.1. Sumpah palsu.
90. X.4. Surat palsu.
92. X.4. Pemalsuan surat.
TINDAK PIDANA TERHADAP KESUSILAAN
101. XI.1. Perzinahan.
102. XI.3. Pornografi.
104. XI. Perjudian.
105. XI.10. Penganiayaan hewan.
106. XI.11. Perkawinan terlarang.
TINDAK PIDANA TERHADAP KEHORMATAN
108. XII.1. Penghinaan.
113. XII.1. Pengaduan palsu.
114. XII.3. Fitnah.
TINDAK PIDANA TERHADAP KEMERDEKAAN
115. XIII.4. Tindak pidana pemaksaan.
TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG
116. XIV.4. Menyebabkan mati/luka karena kelalaian.
119. XIV.5. Penganiayaan.
TINDAK PIDANA TERHADAP KEKAYAAN
120. XV.1. Pencurian.
121. XV2. Penggelapan.
137. XV.3. Penipuan.
141. XV.3. Penipuan - “Stellionaat”.
142. XV.3. Penipuan - “Stellionaat”.
143. XV.3. Penipuan.
144. XV.4. Penadahan.
149. XV.5. Pemerasan.
152. XV.6. Perusakan barang.
TINDAK PIDANA PENERBITAAN
153. XVI.1. Tindak pidana penerbitan.
TINDAK PIDANA JABATAN
154. XVII. Tindak pidana jabatan.
TINDAK PIDANA SUBVERSI
163. XIX. Tindak pidana subversi.
TINDAK PIDANA KORUPSI.
166. XX. Tindak pidana korupsi.
TINDAK PIDANA EKONOMI
173. XXI. Tindak pidana ekonomi.
TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM
193. XXII. Tindak pidana pemilihan umum.
TINDAK PIDANA LALU LINTAS
194. XXIII. Tindak pidana Ialu lintas.
TINDAK PIDANA IMIGRASI
195. XXIX. Tindak pidana imigrasi.
TINDAK PIDANA LAIN-LAIN
196. XXX. Tindak pidana perburuhan.
199. XXX. Pemakaian tanah perkebunan tanpa izin.
200. XXX. Mempunyai senjata api tanpa izin.
203. XXX. Menghambat program Pemerintah di bidang sandang pangan.
204. XXX. Tindak pidana perumahan.
206. XXX. Tindak pidana adat yang sesuai dengan ps. 436 K.U.H.P.
207. XXX. Tindak pidana bantuan hukum.
HUKUM PIDANA
208. 1.4. Istilah belum dewasa.
209. 1.4. Istilah senjata tajam.
210. II.3. Pidana tambahan.
211. IV.3. Melawan hukum.
213. IV.3. Pengaduan.
215. V.4. Perencanaan.
216. VIII.2. Pengrusakan.
217. VIII.9. Penghinaan terhadap Pemerintah atau terhadap suatu golongan penduduk
Indonesia.
218. VIII.9. Tanpa izin menjalankan pekerjaan yang harus dengan izin.
219. XI.6. Perjudian.
220. XII.1. Penghinaan/pencemaran.
221. XII.1. Penghinaan.
222. XII.1. Pencemaran.
223. XII.3. Fitnah.
224. XII.4. Membuka rahasia.
225. XIII.5. Melarikan wanita.
226. XV.1. Pencurian.
227. XV.3. Penipuan.
228. XXVII. Tindak pidana narkotik.
229. XXX. Tindak pidana adat.
231. XXX. Penggunaan perumahan tanpa hak

UMUM
1.             I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Ketentuan pasal 1 ayat 2 K.U.H.P. berlaku juga dalam perkara yang sedang dalam
tingkat banding.
Dicabutnya Undang-undang Pengendalian Harga tahun 1948 dengan diganti dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 9 tahun 1962, bukanlah merupakan perubahan
perundang-undangan, karena prinsip bahwa harga-harga dan jasa dari barang-barang harus
diawasi tetap dipertahankan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-5-1970 No. 27 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Kwee Tjin Hok.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Indroharto S.H.; 3. Busthanul
Arifin S.H.
2.             I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Penggantian Undang-undang Deviezen tahun 1940 dengan Undang-undang tahun
1964 No. 32 tidak merupakan perubahan perundang-undangan dalam arti pasal 1 ayat
2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-3-1969 No. 136 K/Kr/1966.
Dalam Perkara : Jang Thung Ming alias Joung Tjoeng Jong.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. M. Abdurrachman S.H.; 3.
Busthanul Arifin SH.; 4. Indroharto S.H.
3.             I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Karena Undang-undang No. 17/1964 (tentang cheque kosong) telah dicabut dengan Undang-
undang No. 12/1971 dan terhadap terdakwa-terdakwa diperlakukan pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.,
terdakwa-terdakwa dilepaskan dari Segala tuntutan hukum.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 27-5-1972 No. 72 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : 1. Mohamad Tohan Iljas; 2. Wilson Hutauruk.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Sardjono S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Z. Asikin
Kusumah Atmadja S.H.
4.             I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Perubahan yang terjadi karena peraturan “Dekon” tidak merupakan perubahan dalam
perundang-undangan dalam arti pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-10-1963 No. 118 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Tjhia Kia Hin.
5.             I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Perubahan nilai Rp. 25,- termaksud dalam pasal 364, 373, 379 dan 407 K.U.H.P.
menjadi Rp. 250,- berdasarkan P.P.P.U. No. 16 tahun 1960 merupakan suatu
perubahan dalam perundang-undangan dalam arti pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-2-1962 No. 93 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Hadisoemarta alias Sukadi.
6.             I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Karena pada waktu perkara terdakwa diadili oleh Pengadilan Tinggi Ekonomi di
Semarang Undang-Undang Beras 1948 telah dicabut dengan Perpu No. 8 tahun 1962,
perbuatan terdakwa yang dilakukannya dalam tahun 1960-1961, berdasarkan pasal 1
ayat 2 K.U.H.P. tidak lagi merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-4-1963 No. 37 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Haji Mohamad Has.
7.             I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Karena berdasarkan keputusan Menteri Perdagangan tanggal 14 Maret 1963 semua
peraturan tentang kewajiban mengadakan catatan yang ditetapkan dalam atau
berdasarkan pasal 9 Prijsbeheersching verordening 1948 dicabut, maka perbuatan
terdakwa yang dilakukan dalam tahun 1959, pada waktu perkaranya diadili oleh
Pengadilan Tinggi Ekonomi Semarang pada bulan April 1963 berdasarkan pasal 1 ayat
2 K.U.H.P. tidak lagi merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 2-6-1946 No. 13 K/Kr/1946.
Dalam Perkara : Lie Tjan Tie.

8.             I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.


Keberatan yang diajukan penuntut kasasi: “bahwa Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri
telah salah menerapkan hukum dengan mempergunakan Undang-Undang No. 24/PRP/1960,
sedang undang-undang tersebut telah dicabut sejak tanggal 29 Maret 1971 dengan berlakunya
Undang-Undang No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tidak dapat diterima karena dalam pasal 36 Undang-undang No. 3/1971 ditentukan
bahwa yang harus diperlakukan adalah undang-undang yang berlaku pada saat tindak
pidana dilakukan; sedang dalam hal ini tindak pidana dilakukan sebelum berlakunya
Undang-undang No. 3/1971
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1974 No. 54 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Haji Mustafa Umar.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. Purwosunu S.H.;
3. Busthanul Arifin S.H.
9.             I.2. Perubahan dalam perundangan-undangan.
Pada penggantian P.P. No. 20/1962 dengan P.P. No.20/1963 tidak ada perubahan
mengenai norma-normanya, sehingga dalam hal ini pasal 1 ayat 2 K.U.H.P. tidak dapat
diperlakukan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-12-1964 No. 22 K/Sip/1964.
Dalam Perkara : Kiai Haji Achmad Syarbini.
10.        I.2. Perubahan dalam perundang-undangan
Walaupun keadaan bahaya sudah dicabut dan dengan demikian semua peraturan-
peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya juga turut
hapus, namun karena masih ada peraturan-peraturan lain yang memuat larangan
mengenai perhimpunan-perhimpunan tertentu, “grond idee” dari pada Undang-undang
Keadaan Bahaya tidaklah berubah, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa dalam hal ini
telah ada perubahan penundang-undangan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-1-1964 No. 143 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Joesoef bin Boestam.
11.        I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Keberatan dalam memori kasasi : - bahwa dengan dicabutnya Peraturan Faktur
mengenai barang-barang dalam perkara ini, yakni ban2 oto, oleh surat keputusan
Menteri Perdagangan tgl. 12-6-1953 No. 499/M/1963 haruslah diperlakukan pasal 1
ayat 2 K.U.H.P.
Tidak dapat dibenarkan, karena Peraturan Faktur masih berlaku bagi 13 jenis barang,
jadi perlunya faktur masih diakui sehingga tidak terdapat perubahan perundangan-
undangan menurut pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 24-11-1964 No. 144 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Tan Tjoan Kok; Tan Tjoan Eng; Tan Tjoan Hong.
12.        I.2. Perubahan dalam perundangan-undangan.
Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi : - bahwa karena dengan berlakunya
Perpu No. 8 tahun 1962, Rijstordonnantie 1948 tidak berlaku lagi, penuntut kasasi
seharusnya dilepaskan dari tuduhan;
Tidak dapat dibenarkan, karena dalam hal ini tidaklah terjadi perubahan perundang-
undangan dalam arti pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-9-1964 No. K/Kr/1964.
Dalam Perkara : Oei Gwan Tjay.
13.        I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Dengan dikeluarkannya P.P. No. 20/1963 norma-norma yang terkandung dalam
prijsbeheerschingsordonnantie 1948 tidaklah berubah sehingga tidaklah terjadi
perubahan perundang-undangan dalam arti pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-9-1964 No. 114 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : A. Riduan bin Haji Abdullah.
14.        I.4. Pengertian “pegawai negeri “
Pasal 92 K.U.H.P. tidak memberi penafsiran mengenai siapakah yang harus dianggap
sebagai pegawai negeri, tetapi memperluas arti pegawai negeri sedangkan menurut
pendapat Mahkamah Agung yang merupakan pegawai negeri ialah setiap orang yang
diangkat oleh Penguasa yang dibebani dengan jabatan Umum untuk melaksanakan
sebagian dari tugas Negara atau bagian-bagiannya;
i.c. terdakwa diangkat Menteri Keuangan RI. dalam jabatan Direktur Percetakan R.I.
Yogyakarta.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-12-1962 No. 81 K/Kr/1962.
Dalam Perkara : R. Moetomo Notowidigdo.
15.        I.4. Istilah “kekuasaan negara”.
Menurut pasal 1 R.I.B., Kepolisian termasuk kekuasaan negara yang dimaksudkan dalam pasal
207 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-1-1956 No. 37 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Achmad Muhamad bin Yakub.
16.        I.4. Istilah “Inlands gebruiksrecht”.
Hak “grant” Sumatera Timur termasuk “Inlands gebruiksrecht” dalam pasal 385
K.U.H.P..
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-8-1956 No. 58 K/Kr/1953.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. Wirjono Prodjodikoro, 2. Mr. Sutan Kali Malikul Adil, 3. Mr.
R. Soerjotjokro.
17.        I.4. Istilah “vervoermiddel” dalam pasal 9 R.O.
Berdasarkan pasal 9 Rechten Ordonantie Jawatan Bea dan Cukai berwenang untuk
melakukan penyegelan atas kran pipa tersebut, karena pada hakekatnya pipa itu
berfungsi memindahkan minyak dari satu tempat ketempat yang lain sehingga
fungsinya dapat disamakan dengan alat pengangkut (vervoemiddel) seperti yang
dimaksudkan dalam pasal 9 R.O. tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 31-12-1973 No. 35 K/Kr/1972.
Dalam Perkara : H.Y. Kalesaran; Djamalus.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. S.H.
Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
18.        I.5. Berlakunya undang-undang.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut-kasasi bahwa ia tidak tahu akan adanya
undang-undang yang melarang membeli atau memperoleh uang perak, tidak dapat
diterima, karena tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah undang-
undang itu diundangkan dalam Lembaran Negara.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 14-11-1961 No. 77 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : M. Sabirin Biran.
19.        I.5. Berlakunya undang-undang.
Berdasarkan pasal 100 (2) Undang-undang Dasar Sementara R.I. pengundangan terjadi dalam
bentuk menurut undang-undang adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat, maka
berlakunya undang-undang tidak tergantung dari hal apakah isi undang-undang itu sudah atau
belum diketahui oleh yang bersangkutan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-5-1955 No. 77/Kr/1953.
Dalam Perkara : Haji Iljas.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro, 2. Mr. R. Soekardana, 3. R.
Ranoe Atmadja.
20.        I.5. Hutang-piutang dan hukum pidana.
Sengketa tentang hutang-piutang merupakan sengketa perdata.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-3-1970 No. 93 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Abdul Gapoer.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. R. Subekti S.H., 2. lndroharto S.H., 3. Z. Asikin Kusumah
Atmadja S.H.
21.        I.5. Perkara pidana dan sengketa perdata.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Karena perkara ini mengenai perselisihan tentang letaknya bagian masingmasing ahli waris atas
tanah warisan, perkara ini merupakan sengketa perdata yang harus diselesaikan menurut acara
perdata pula; maka perbuatan yang dituduhkan pada tertuduh bukan merupakan kejahatan
ataupun pelanggaran dan karenanya mereka harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum
Putusan Mahkamah Agung tgl. 14-7-1976 No. 110 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Sahat bin Dipokarto.
dengan Susunan Majelis : 1. Palti Radja Siregar S.H., 2. Purwosunu S.H., 3. Bustanul Arifin
S.H.
22.        I.5.Amnesti dan abolisi
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : - bahwa karena penuntut kasasi dalam tahun 1961
telah melaporkan diri kepada Pemerintah sehingga kepadanya harus diterapkan keputusan
Presiden rnengenai amnesti dan abolisi,
Tidak dapat dibenarkan: - karena menurut hasil pemeriksaan dia diperkara dalam tahun 1958 dan
diputus dalam tahun 1959, jadi sebelum adanya keputusan Presiden mengenai amnesti, sehingga
hal tersebut tidak dapat diajukan sebagai alasan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 29-4-1967 No. 122 K/Kr/1966.
Dalam Perkara : Ui Gem alias Ui Kem Siong.
Susunan Majelis :1. Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.

TENTANG PIDANA
23.        II.1. Jenis pidana.
Menambah jenis hukuman yang ditetapkan dalam pasal 10 K.U.H.P. tidak dibenarkan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-3-1970 No. 59 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : N. Berman Bangun.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Prof. Sardjono S.H., 3. Indroharto S.H.
24.        II.1. Jenis pidana.
Pengadilan Negri sebagai Hakim Pidana tidak berwenang rnenjatuhkan putusan yang
lain dari pada yang ditentukan dalam pasal 10 K.U.H.P. sepertinya putusan yang
tersebut dalam dictum ke 3 yaitu :
“Menghukum lagi Tertuduh untuk rneninggalkan tanah/sawah terperkara naina
Djum/sawah Laukeibo guna pakai oleh saksi Pengadu”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 26-9-1970 No. 74 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Bangsa Ginting.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R Subekti S.H., 2. Indroharto S.H., 3. Z. Asikin Kusumah
Atmadja S.H.
25.        II.1. Jenis pidana.
Dalam menjatuhkan hukuman bersyarat, Hakim dapat menetapkan sebagai syarat bahwa
terdakwa harus mengganti kerugian yang disebabkan karena tindak pidana yang telah
dilakukannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-5-1963.
Dalam Perkara : Ie Dwan Tjio.
26.        II.1. Jenis pidana.
dalam perkara pidana Pengadilan tidak dapat menjatuhkan hukuman yang isinya : - Menghukum
terdakwa untuk meninggalkan tanah terperkara.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-5-1972 No. 11 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Suwe Karo2; Djedamin Karo2;
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Sardjono S.H., 2. lndroharto S.H., 3. Sri Widoyati Wiratmo
Sukito S.H.
27.        II.1. Jenis pidana.
Hukuman tambahan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri: “Menghukum atas
tertuduh-tertuduh untuk meninggalkan hutan yang digarap guna dihijaukan kembali”
dan “Menghukum lagi atas tertuduh-tertuduh untuk membayar kerugian Negara masing-
masing besarnya 1/29 x Rp. 1.485.700,-” harus dibatalkan karena bertentangan dengan
pasal 10 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-8-1974 No. 61 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Terima Pinem dkk (29 orang).
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul
Arifin S.H.
28.        II.1. Jenis pidana.
Hakim Pidana tidak berwemang menetapkan ganti rugi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 6-6-1970 No. 54 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Selamet Sembiring.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. Subekti S.H., 2. D.H.Lumbanradja S.H., 3. Z. Asikin
Kusumah Atmadja S.H.
29.        II.1. Jenis pidana.
Hukuman percobaan hanya dapat diberikan dalam hal dijatuhkan hukuman penjara
tidak lebih dari satu tahun.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 17-10-1970 No. 52 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Djai bin Murta.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Sri Widoyati Wiratmo Sukito S.H., 3.
Busthanul Arifin S.H.
30.        II.1. Jenis pidana.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi : - bahwa Pengadilan dengan ponis
pidana menentukan siapa yang berhak atas tanah tersebut, sedang hal ini adalah
wewenang Hakim Perdata; bahwa disini Hakirn Pidana telah keliru menafsirkan
hukuman tambahan yang dimaksudkan oleh pasal 14 K.U.H.P.
Tidak dapat diterima, karena ketentuan yang dimaksudkan itu adalah bukan hukuman
tambahan, tetapi hukuman bersyarat dengan syarat khusus Sesuai dengan pasal 14 c.
K.U.H.P.
(Penuntut kasasi oleh Pengadilan Negeri dijatuhi hukuman bersyarat dengan syarat khusus : -
tertuduh harus mengembalikan tanah tersebut kepada saksi);
Putusan Mahkamah Agung tgl. 25-2-1975 No. 66 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Ludin Gultom; Rudolf Sianturi.
dengan Susunan Majelis : 1. Hendrotomo S.H., 2. Purwosumu S.H., 3. Busthanul Arifin
S.H.
31.        II.1. Jenis pidana.
Bahwa dalam Pen. Pres. No. 5 tahun 1959 tidak disebutkan hukuman denda, tidaklah
berarti bahwa penambahan hukuman badan dengan hukuman denda tidak
diperkenankan lagi, karena Pen. Pres. tersebut hanya bermaksud mempertinggi
ancaman hukuman badan bagi semua tindak pidana ekonomi yang menghalangi
program Pemerintah.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12-6-1964 No. 193 K/Kr/1964.
Dalam Perkara :1. Gouw Wie Goan, II. Jo Kiem Seng.
32.        II.1. Jenis pidana.
Dalam pasal 6 b Undang-undang Darurat No. 7/1955 dicantumkan dengan tegas bahwa
hukuman dapat berupa hukuman penjara dan hukuman denda atau salah satu dari dua
macam hukuman tersebut. (i.c. PengadilanTinggi menjatuhkan hukuman penjara).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-8-1971 No. 111 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Bachsan Kaharudin Lubis.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. R. Subekti Si!., 2. Sri Widoyati Wiratino Sukito S.H., 3.
Busthanul Arifin S.H.
33.        II.1. Jenis pidana.
Mobil yang dibeli oleh pemohon kasasi dengan sejumlah uang yang diterimanya sebagai hasil
dari tindak pidana yang dipersalahkan padanya, dapat dikatakan diperoleh, meskipun secara
tidak langsung, dari kejahatan sebagai ditentukan dalam pasal 39 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-11-1962 No. 125 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Mr. Lim Wam Too.
34.        II.3. Hukuman bersyarat.
Adalah tidak tepat bila lamanya terdakwa berada dalam tahanan turut diperhitungkan dalam
hukuman bersyarat.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-12-1970 No. 148 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Soejatmo Winoto Bagoes Doekoeh.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. Indroharto
S.H.
35.        II.3. Pengurangan dengan masa tahanan
Pasal 32 dan 33 K.U.H.P. tidak mewajibkan, tetapi hanya mewenangkan Pengadilan yang
menjatuhkan hukuman penjara kepada Terdakwa yang ditahan sementara untuk mengurangkan
waktu tahanan sementara itu dari hukuman.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-12-1960 No. 48 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Tambatua Simbolon.

 
HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN,
MERINGANKAN, MEMBERATKAN
PIDANA
36.        III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Kekhilafan terdakwa mengenai sifat melawan hukum dari pada perbuatannya tidaklah
menghilangkan pertanggungan jawab kepidanaannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-3-1958 No. 263 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Kristian alias Ompu Sitorpa Marga Siagian.
37.        III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Perbuatan penuntut kasasi menembak mati si korban tidak dapat dianggap sebagai
dilakukan demi pembelaan termaksud dalam pasal 49 K.U.H.P. karena menurut
Mahkamah Agung tidak ada keseimbangan antara serangan yang dilakukan oleh si
korban dengan perbuatan penuntut kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-2-1959 No. 193 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Haji Hasjim bin Haji Derahman.
38.        III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi : - bahwa pelanggaran itu (mengangkut
penumpang lebih dari maximum) dikarenakan terpaksa dan terdorong oleh rasa pribadinya ya’ni
ia setelah mengangkut penumpang maximum yang terdiri dan orang-orang biasa Ia
membolehkan seorang anggota tentara naik, tentara mana toch tentara negerinya yang ia kenal
bertugas di daerah itu dan tentara itu juga tidak dipungut bayaran.
Tidak dapat dibenarkan karena keberatan tersebut bukanlah dorongan yang bersandar pada “rasa
pribadi penuntut kasasi” dan merupakan “paksaan” termaksud dalam pasal 48 K.U.H.P. sehingga
perbuatan penuntut kasasi tetap merupakan tindak pidana.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 30-5-1961 No. 121 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Sae’oen bin Hoesen.
39.              III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Suatu perintah dari Ketua Pengadilan Negeri kepada Panitera mengenai hal yang
terletak diluar lingkungan pekerjaannya sebagai panitera, bukanlah perintah yang
dimaksudkan dalam pasal 51 K.U.H.P. dan bagaimanapun juga penuntut kasasi
sebagai Panitera adalah satu-satunya yang bertanggung jawab atas penggunaan uang
kas Pengadilan Negeri tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-7-1964 No. 166 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Boerhanoedin gelar Manah Soetan.
40.        III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Perintah dari pimpinan R.M.S. kepada terdakwa tidak merupakan suatu perintah
jabatan yang dimaksudkan oleh pasal 51 K.U.H.P. karena perintah menurut pasal ini
harus diberikan oleh pembesar yang berwenang untuk itu.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-2-1960 No. 181 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Marikin (Marthen) Lukulima.
41.        III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : - bahwa penuntut kasasi tidak merasa bersalah karena
sebagai anggota Hansip ía hanya rnelakukan perintah dari Pamong Desa;
Tidak dapat dibenarkan karena perbuatan penganiayaan tidak tercakup dalam “perintah atasan”.
Dan keberatan yang diajukan penuntut kasasi: - bahwa sebagai Kamituwo ia berwenang
memerintahkan untuk menjaga keamanan desa;
Tidak dapat diterima karena wewenang dan tanggung jawab Kamituwo tidaklah meliputi
kewenangan melakukan perbuatan-perbuatan penganiayaan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 27-1-1971 No. 63 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Moeslani dkk.
dengan susunan rnaielis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Sri Widoyati
Wiratmo Sukito S.H.
42.        III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Dalam “noodtoestand” harus dilihat adanya :
1.             Pertentangan antara dua kepentingan hukum.
2.             Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban.
3.             Pertentangan antara dua kewajiban hukum.

Putusan Mahkamah Agung tgl. 27-7-1969 No. 117 K/Kr/1968.


Dalam Perkara : Soetopo dan Soetedjo.
dengan Susunan Majelis : 1. M. Abdurrachman S.H., 2. Prof. Sardjono S.H., 3. D.H.
Lumbanradja S.H.
43.        III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi :
Bahwa tidak akan terjadi perbuatan pembacokan itu apabila saksi Ru’at tidak
menyediakan diri untuk dicoba (dibacok);
Tidak dapat diterima, karena ikut bersalahnya orang lain dalam suatu tindak pidana tidak
menyebabkan penuntut kasasi bebas dari kesalahan terhadap tindak pidana tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8-1-1975 No. 105 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Hadji Umar Said bin Rodiwongso.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Umar Seno Adji S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3.
Hendrotomo S.H.
44.        III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Pembunuhan yang dilakukan untuk memenuhi hukum adat tidak merupakan hal yang
membebaskan seperti yang dimaksud dalam pasal 50 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 3-11-1971 No. 20 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Masidin bin Sumpai.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. Z. Asiskin
Kusumah Atmadja.
45.        III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Kesanggupan penuntut kasasi untuk membayar kembali uang yang dimaksudkan itu tidak
menghilangkan sifat dapat dihukum perbuatan yang telah dilakukannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-5-1959 No. 47 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : R. Singgih Prawirojudho.
46.        III.1.Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Penyelesaian sengketa rnengenai tanah yang bersangkutan pada tanggal 17 Januari
1957 tidak meniadakan tindak pidana yang dilakukan para tertuduh pada bulan April
1956 dan yang telah diadili pada tanggal 18 Desember 1956.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8-12-1956 No. 178 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Kartodimedjo dkk.
47.        III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Bahwa tentang keadaan darurat (noodtoestand) pada umumnya dapat disimpulkan bahwa ía
adalah keadaan yang merupakan salah satu bentuk dari pada “overmacht” yang umumnya
didapati dalam salah satu bentuk kejadian seperti berikut
1. Dalam hal adanya pertentangan antara dua kepentingan hukum (bij botsing van wee
rechtsbelangen).
2. Dalam hal adanya pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum (bij
botsing van een rechtsbelang en een rechtsplicht).
3. Dalam hal adanya pertentangan antara dua kewajiban hukum (bij botsing van twee
rechtsplichten).
Bahwa dalam perkara ini Pengadilan Tinggi tidak rnelihat adanya cukup alasan untuk
memasukkan perbuatan terdakwa II dalam salah satu bentuk keadaan darurat tersebut, sedangkan
rnengenai terdakwa I dapat disimpulkan bahwa terdapat petunjuk bahwa terdakwa I tidak
semata-rnata bertindak karena “perintah jabatan” yang diberikan oleh terdakwa II kepadanya,
tetapi selain itu telah ada persetujuan antara keduanya untuk melakukan perbuatan tersebut;
Bahwa oleh karena itu putusan Pengadilan Negeri mengenai terdakwa I dan II (yang
telah melepaskan terdakwa I dan II dan segala tuntutan karena adanya “perintah
jabatan” dan “overmacht”) harus dibatalkan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 20-9-1967 No. 30 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Sutomo bin Hadi Kusumo, 2. D. Suseno.
dengan Susunan Majelis : 1. Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
48.        III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi: - bahwa ia menggunakan pistolnya itu karena dalam
kebingungan berhubung kena lemparan batu; lagi pula bila ia dalam keadaan sadar tak mungkin
ia hanya mengenai pinggang korban ……….;
Tidak dapat dibenarkan karena hal itu tidak akan dapat merupakan alasan yang menghilangkan
sifat daripada tindak pidana yang bersangkutan; (penuntut kasasi dipersalahkan atas kejahatan:
“penganiayaan”).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 4-10-1967 No. 77 K/Kr/1965.
Dalam Perkara : Malim Kesuh Karo Karo.
dengan Susunan Majelis :1. Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
49.        III.2. Hal-hal yang meringankan pidana.
Menurut pasal 45 K.U.H.P. Hakim dapat menjatuhkan hukuman kepada anak yang
belum berumur 16 tahun yang melakukan suatu tindak pidana.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 25-2-1958 No. 324 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Kondrat Nadeak.

UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA


50.        IV.1.2. Kealpaan - Kesengajaan.
Pasal 56 K.U.H.P. mensyaratkan bahwa harus ada kesengajaan untuk membantu delik
yang dituduhkan, sedangkan kesimpulan bahwa tertuduh harus menduga atau
mencurigai bahwa barang itu akan dikeluarkan dari daerah pabean Indonesia;
bersangkutan lebih dengan bentuk culpa dari pada dengan bentuk dolus.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 25-1-1975 No. 25 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Drs. Hadisapoetro.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji,S.H., 2. Kabul Arifin S.H., 3. Busthanul
Arifin S.H.
51.        IV.2. Kesengajaan.
Seseorang yang menggunakan senjata tajam terhadap orang lain untuk membuktikan
apakah orang itu benar tidak mempan senjata tajam harus dapat mempertimbangkan
(voorzien) bahwa kemungkinan besar orang itu sebagai manusia biasa benar-benar
akan terluka, sehingga ia harus dianggap mempunyai niat (oogmerk) untuk melukai
orang tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8-1-1975 No. 105 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Hadji Umar Said bin Rudiwongso.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Umar Seno Adji S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3.
Hendrotomo S.H.
52.        IV.2. Kesengajaan.
“Lalai tidak menyelidiki lebih dulu” daftar yang akan ditanda tangani dalam perkara ini
tidak merupakan kesengajaan, sedang kesengajaan itu merupakan unsur utama dari
pidana penggelapan
Putusan Mahkamah Agung tgl. 4-2-1976 No. 58 K/Kr/1974
Dalam Perkara : Suprapto BA.
dengan Susunan Majelis :1. Hendrotomo S.H., 2. Palti Radja Siregar S.H., 3. Busthanul Arifin
S.H.,
53.        IV.3. Melawan hukum.
Dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur “sifat melawan hukum” dari perbuatan yang
dituduhkan walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan.
Walaupun rumusan delik penadahan tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum,
tetapi ini tidak berarti bahwa perbuatan yang dituduhkan telah merupakan delik
penadahan sekalipun sifat melawan hukum tidak ada sama sekali.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 6-6-1970 No. 30 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Mohamad Mursjid bin Dasu dan Mohamad Sjarif bin Haji Kehan.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Prof. Sardjono S.H., 3. Busthanul Arifin
S.H.
54.        IV.3. Melawan hukum
Meskipun yang dituduhkan adalah suatu delik formil, namun Hakim secara rnaterieel harus
memperhatikan juga keadaan dari terdakwa atas dasar mana ía tak dapat dihukum (materieele
wederrechtelijkheid).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 27-5-1972 No. 72 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Mohamad Toha Iljas dan Wilson Hutauruk.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R.Sardjono S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Z. Asikin
Kusumah Atmadja S.H.
55.        IV.3. Melawan hukum.
Pada umumnya suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum selain berdasarkan
suatu ketentuan perundang-undangan juga berdasarkan azas-azas hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum; sepertinya dalam perkara ini faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum
dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8-1-1966 No. 42 K/Kr/1965.
Dalam Perkara : Macroes Effendi.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H., 2. Prof. R. Subekti S.H., 3. Surjadi
S.H.
56.        IV.3. Melawan hukum.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Bahwa mungkin saja Pemerintah dalam rnelakukan kebijaksanaan ekonominya mengambil
keputusan rnenciptakan suatu sistim semacarn deterred payment (khusus) akan tetapi secara
hukum (pidana) yang bertanggung jawab mengenai hal-hal itu adalah tetap pihak yang secara
materiil telah melakukan tindakan-tindakan tersebut, in casu terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl. No. 15 K/Kr/l967.
Dalam Perkara : Teuku Jusuf Muda Dalam.
dengan Susunan Majelis :1. Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
57.        IV.4. Kesalahan.
Keberatan yang diajukan pemohon kasasi: bahwa ketidak hati-hatian saksi I sangat
relevant atas terjadinya kecelakaan ini;
Tidak dapat diterima karena kesalahan pihak lain tidak berarti menghilangkan
kesalahan terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-5-1976 No. 54 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Idris Gelar Sidi Maradjo.
dengan Susunan Majelis : 1. Purwosunu S.H., 2. Kabul Arifin S.H., 3. Hendrotomo S.H.

PERCOBAAN, PENYERTAAN,
CONCURSUS
58.        V.1. Percobaan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Bahwa ternyata merica putih, merica hitam,. karet sheet dan kopi Arabica tersebut masih ada
dalam gudang P.T. Megah di Jalan Sekip no.9 A Medan; diantaranya telah dimasukkan kedalam
goni bercampur dengan kopi Robusta;
Bahwa dengan demikian, walaupun tertuduh-tertuduh telah membuat surat instruksi
kepada P.T. Lampong Veem untuk rnengangkut kopi Robusta sesuai dengan izin
ekspor code B.no. 12147, perbuatan tertuduh-tertuduh baru berupa suatu perbuatan
pendahuluan (voorbereidingshandeling) dari percobaan mengekspor keluar Indonesia.
(Menurut Jaksa Agung, dengan sudah adanya “shipping instruction”, meskipun belum
ada penyerahan dokumen-dokurnen kepada pabean, perbuatan tertuduh-tertuduh
sudah merupakan permulaan pelaksanaan (“begin van uitvoering”).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 31-1-1968 No. 14 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Merhat Tarigan, 2. Lie Wie Giok, 3. Kho A Tjong dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
59.        V.2 Penyertaan.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : - bahwa dalam perkara ini pelaku utamanya
tidak diadili;
Tidak dapat diterima, karena untuk memeriksa perkara terdakwa Pengadilan tidak perlu
rnenunggu diajukannya terlebih dahulu pelaku utama dalam perkara itu.
(i.c. Terdakwa dipersalahkan atas kejahatan “Sebagai Pegawai Negeri turut serta membujuk
orang lain melakukan penggelapan dalam jabatan”)
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-11-1969 No. 7 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : 1. Robinson Pinem, 2. Dj. Damanik, 3. Pangulu Siahaan.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Prof. SardjonoS.H., 3. Z.A. Kusumah
Atmadja S.H.
60.        V.2. Penyertaan.
Perbuatan terdakwa II mengancam dengan pistol tidak memenuhi semua unsur dalam pasal 339
K.U.H.P. terdakwa I lah yang memukul si korban dengan sepotong besi yang mengakibatkan
rneninggalnya si korban.
Karena itu untuk terdakwa II kwalifikasi yang tepat adalah turut melakukan tindak
pidana (medeplegen) sedangkan pembuat materiilnya ialah terdakwa I.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 26-6-1971 No. 15/K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Uding alias Saeful Bachri bin Haji Nuria.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Sardjono S.H., 2. Indroharto S.H., 3. Asikin Kusumah
Atmadja S.H.
61.        V.2. Penyertaan.
Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi : - bahwa kesalahan penuntut kasasi tidak terbukti
karena kawan pelaku pencuri telah meninggal dunia sehingga penuntut kasasi tidak dapat
dinyatakan sebagai “medepleger” dari orang mati;
Tidak dapat dibenarkan, karena soal apakah terdakwa bersama orang lain melakukan tindak
pidana yang dituduhkan, harus disandarkan pada saat tindak pidana itu dilakukan dan apakah hal
termaksud di sidang dapat dibuktikan; bahwa kawan pesertanya kemudian meninggal dunia tidak
mempengaruhi hal tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12-5-1959 No. 52 K/Kr/l959.
Dalam Perkara : Setoe alias Sosetoe.
62.        V.2. Penyertaan.
Menyuruh melakukan (doen plegen)” suatu tindak pidana, menurut ilmu hukum pidana
syaratnya adalah, bahwa orang yang disuruh itu menurut hukum pidana tidak dapat
dipertanggung jawabkan terhadap perbuatannya sehingga oleh karenanya tidak dapat
dihukum.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-12-1956 No. 137 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Djohan marga Ginting Munthe; Anwar.
63.        V.2 Penyertaan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Untuk tertuduh IV sebutan “memalsukan surat” lebih tepat diganti dengan istilah “memancing
pembuatan surat palsu” karena karya tertuduh IV dalam perkara ini ialah memberi keterangan-
keterangan atau bahan kepada tertuduh-tertuduh lainnya untuk membuat surat palsu tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-9-1968 No. 114 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Sinaga Siregar, 2. Partoanan Harahap, 3. Sjafwi Datuk Penghulu
Hakim, 4. Go Jouw Chong.
dengan Susunan Majelis : 1. M. Abdurrachman S.H.; 2. Sardjono S.H., 3. Busthanul
Arifin S.H.
64.        V.4. Gabungan tindak-tindak pidana.
Dalam hal gabungan tindak pidana mengenai beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh seorang
terdakwa dan diadili sekaligus, menurut pasal 70 K.U.H.P. untuk tiap pelanggaran harus diberi
hukuman tersendiri.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-1-1960 No. 26 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Achmad Tohir.
65.        V.4. Gabungan pelanggaran dan kejahatan.
Dalam hal ada gabungan pelanggaran dan kejahatan maka untuk tiap pelanggaran
dijatuhkan hukuman dengan tidak dikurangi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 29-5-1962 No. 178 K/Kr/1962.
Dalam Perkara : Liem Swan Than.
66.        V.4. Perbuatan lanjutan.
Penghinaan-penghinaan ringan yang dilakukan terhadap 5 orang pada hari-hari yang
berlainan tidak mungkin berdasar satu keputusan kehendak (wilsbesluit), maka tidak
dapat dipandang sebagai satu perbuatan dan tidak dapat atas kesemua perkaranya
diberikan satu putusan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 5-3-1963 No. 162 K/Kr/1962.
Dalam Perkara : Ny. Etty Achmad Sanubari.
67.        V.4. Perbuatan Ianjutan.
Soal perbuatan lanjutan(”voortgezette handeling”) hanya mengenai soal penjatuhan
hukuman (straftoemeting) dan tidak mengenai pembebasan dari tuntutan;
Maka keberatan yang diajukan penuntut kasasi, bahwa perbuatan yang dituduhkan kepadanya
Dalam Perkara ini (perkara tanah G.G. di desa Sedati) merupakan suatu perbuatan lanjutan
(“voortgezette handeling”) dengan perbuatannya dalam perkara tanah G.G. di desa Tambak
Cemadi, sedang untuk itu ia telah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Sidoardjo tanggal 6
Maret 1962, tidak dapat dibenarkan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 28-4-1964 No. 156 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : M. Supardiman.
68.        V.4. Omissie-delict.
Perbuatan yang dituduhkan pada penuntut kasasi, ialah tidak melaporkan pendirian perusahaan
kepada Jawatan Perburuhan, merupakan suatu omissie-delict yang berlaku terus menerus dan
dapat dituntut setiap waktu, sedang daluwarsa hanya bisa terjadi setelah ia berhenti sebagai
Notaris.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 24-8-1965 No. 173 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Anwar Mahajudin.
69.        V.4. Delik aduan.
Keberatan yang diajukan pemohon kasasi bahwa perkara ini termasuk “delik aduan
yang absolut” maka harus ada pengaduan dari yang terhina dan dalam surat
pengaduan harus ada kata-kata permintaan agar peristiwa itu dituntut.
Tidak dapat diterima, karena klachtdelict tidak terikat pada bentuk yang tertentu (vormvrij).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 3-2-1972 No. 76 K/Kr/1969.
Dalam Perkara :1. Baharmin Harefa, 2. Muhamad Nasir Hidayat Harefa.,
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Soebekti S.H., 2. Sri Widojati Soekito S.H., 3. Z.A. Kusumah
Atmadja S.H.
70.        V.4. Tempo mengajukan delik aduan.
Dalam delik aduan, tempo yang dimaksud dalam pasal 74 ayat 1 K.U.H.P. dihitung
sejak yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan, bukan sejak ía
mengetahui benar /tidaknya perbuatan yang dilakukan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 15-2-1969 No. 57 K/Kr/1968.
Dalam Perkara : Kang Lip Tang.
dengan Susunan Majelis : 1. M. Abdurrachman S.H., 2. Prof. R.Sardjono S.H., 3. Z. Asikin
Kusumah Atmadja S.H.

HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT


DAN MENJALANKAN PIDANA
71.        VI.1. Gugurnya hak untuk menuntut hukuman.
Karena ternyata tertuduh/penuntut kasasi telah meninggal dunia, oleh Mahkamah Agung
diputuskan Menyatakan gugur hak tuntutan hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang
dituduhkan penuntut kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 30 – 9 -1975 No. 18 K/Kr/1975.
Dalam Perkara :1. Thomas Lamadlauw, II. Bos Katili. III. Junus Hamid. dkk.
Dengan Susunan Majelis : 1. Purwosunu S.H., 2. Kabul Arifin S.H., 3. Palti Radja Siregar
S.H.
72.        VI.1. Hapusnya kewenangan penuntutan pidana.
Menurut pasal 78 ayat 1 sub 2 K.U.H.P., perkara “penghinaan ringan” adalah suatu
kejahatan dan dengan demikian baru kedaluwarsa setelah lewat waktu enam tahun.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-2-1958 No. 269 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Soetomo.
73.        VI.1. Hapusnya kewenangan penuntutan pidana.
Keberatan yang dajukan penuntut kasasi bahwa Pengadilan Tinggi tidak
mempertimbangkan bahwa penuntut kasasi dengan saksi telah mengadakan
perdamaian dengan jalan mengganti kerugian saksi, dan setelah perdamaian saksi
tidak lagi menuntut penuntut kasasi;
Tidak dapat diterima, karena perdamaian tidak dapat menghapuskan penuntutan atas suatu
perkara dan delik ini bukan delik aduan sehingga pengaduan dari saksi tidak diperlukan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 20-9-1972 No. 97 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Riduan Dalimunthe.
Dengan Susunan Majelis :1. Prof. Sardjono S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Sri Widojati
Wiratmo Soekito S.H.
74.        VI.1. Hapusnya kewenangan penuntutan pidana.
Karena hak untuk menuntut hukuman gugur, permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa yang
tertuduhnya meninggal dunia, harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1974 No. 29 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Tengku Muhamad Ali Pijeng.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji A.H., 2. Palti Radja Siregar S.H., 3.
Busthanul Arifin S.H.

TINDAK PIDANA TERHADAP NEGARA


75.        VII.5. Tindak pidana terhadap Kepala Negara.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi: - bahwa fakta “dimuka umum” tidak terdapat dalam
perkara ini.
Tidak dapat dibenarkan : - karena pernyataan seperti halnya Dalam Perkara ini, tidak perlu
dinyatakan dirnuka umum.
(penuntut kasasi telah dipersalahkan atas kejahatan : - “Penghinaan dengan sengaja terhadap
Presiden”).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 28-12-1965 No. 26 K/Kr/1965.
Dalam Perkara : Tupak.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H., 2. Sutan Abdul Hakim S.H., 3. M.
Abdurrachman S.H.
 

TINDAK PIDANA YANG


MEMBAHAYAKAN KETERTIBAN UMUM
76.        VIII.3. Tindakan-tindakan yang membahayakan jiwa orang.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung
“Openlijk” dalam naskah asli pasal 170 Wetboek van Strafrecht lebih tepat diterjemahkan
“secara terang-terangan”, istilah mana mempunyai arti yang berlainan dengan “openbaar” atau
“dimuka umum”.
“Secara terangan-terangan” berarti tidak secara bersembunyi jadi tidak perlu “dimuka umum”,
cukup apabila tidak diperdulikan apa ada kemungkinan orang lain dapat rnelihatnya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 17-3-1976 No. 10 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : 1. Fausi bin Abdullah; 2. Achmad Rozali; 3. Idris bin Ismail; 4. Ansoti bin
Abd. Rachman.
dengan Susunan Majelis 1. Hendrotomo S.H., 2. Purwosunu SH., 3. Palti Radja Siregar S.H.
77.        VIII .9. Penghinaan terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.
Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi; - bahwa ia tidak dapat dipersalahkan
atas pasal 156 K.U.H.P. karena para guru sekolah Pesantren dan para anggauta
pengurus langgar di kampung Kepugeran tidak merupakan “groep van bevolking”.
Tidak dapat dibenarkan karena para guru dan pangurus langgar tersebut adalah penganut Agama
Islam semuanya, yang dapat dikatakan merupakan suatu golongan penduduk berdasar atas
Agama yang dipeluknya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 20-11-1962 No. 86 K/Kr/1962.
Dalam Perkara : Subrata sebenarnya Sastrasubrata bin Sumarta.
78.        VIII.9. Penghinaan terhadap suatu golongan penduduk.
Mengingat Golkar telah diberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu oleh Undang-
undang Pemilihan Umum dan Peraturan-peraturan pelaksanaannya, Golkar bergerak dalam
kehidupan ketata negaraan kita, sehingga dapatlah Golkar disamakan dengan golongan penduduk
dalam arti pasal 156 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 17-10-1973 No. 99 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Subli bin Haji Dardjat.
dengan susunan majeIis: 1. Prof. Subekti S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Indroharto S.H.
79.        VIII.9. Pawai tanpa izin.
Berlakunya pasal 510 K.U.H.P. tidak tergantung pada keadaan Staat van Oorlog en
Beleg:
Untuk mengadakan pawai di jalan umum diperlukan izin dari yang berwajib dan tidak
cukup dengan pemberitahuan saja kepada Polisi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 25-1-1957 No. 73 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Soenarno.
 

TINDAK PIDANA TERHADAP ALAT


NEGARA/PENGUASA
80.        IX.1. Penyuapan.
Tidaklah menjadl persoalan apakah niat penuntut kasasi tercapai atau tidak akan tetapi cukuplah
bahwa penuntut kasasi bermaksud dengan pemberiannya memperoleh pelayanan yang
berlawanan dengan kewajiban saksi Sebagai pegawai negeri.
Lagi pula pemberian itu tidak perlu diadakan diwaktu pegawai yang bersangkutan melakukan
dinasnya, melainkan dapat juga diadakan di rumah sebagai kenalan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 3-8-1963 No. 39 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Ting An Bing.
81.        IX.1. Penyuapan.
Pasal 209 K.U.H.P. tidak mensyaratkan bahwa pemberian itu diterima dan maksud dari pada
pasal 209 K.U.H.P. ialah untuk menetapkan sebagai suatu kejahatan tersendiri suatu percobaan
yang dapat dihukum untuk menyuap.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-6-1956 No. 145 K/Kr/1955.
Dalam Perkara : Tan Su Lam.
82.        IX.5. Penghasutan.
Tulisan-tulisan yang rnenguraikan cara-cara rnemperjuangkan sesuatu melalui
Pengadilan Negeri dengan bantuan advocaat (i.c. supaya rakyat petani dapat kembali
menduduki dan menguasai tanahnya masing-masing), yang merupakan penjelasan dari
pokok-pokok yang diperjuangkan, bukanlah merupakan hasutan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-8-1973 No. 92 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Muslim Siregar.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. Busthanul
Arifin S.H.
83.        IX.5. Pernyataan perasaan-perasaan yang memenuhi, membenci, atau menghina
Pemerintah.
Pasal 18, 19 Undang-undang Dasar Sementara menjamin kebebasan mempunyai dan
rnengeluarkan pendapat, akan tetapi dengan sendirinya asal didalam mengeluarkan pendapat itu
orang tidak melanggar undang-undang; maka pasal 18, 19 Undang-undang Dasar Sementara
berlaku bersama-sama dengan pasal 154 K.U.H.P.; lagi pula berdasarkan pasal 95 Undang-
undang Dasar Sementara, undang-undang tidak boleh diganggu gugat.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-1-1956 No. 52 K/Kr/1955.
84.        IX.5. Pernyataan perasaan-perasaan yang memusuhi, membenci atau menghina
Pemerintah.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi : - bahwa pengecoran uang logam tersebut tidak
membawa cemar Negara R.I. dan tidak bermaksud menyerang nama baik/kehormatan
Pemerintah R.I.; dan oleh karena uang logam tersebut, sudah tidak digunakan lagi sebagai alat
pembayaran;
Dapat diterima, karena Sejajar dengan pendapat Mahkamah Agung dalam perkara No. 27
K/Kr/1956 yang antara lain menyatakan bahwa ucapan seseorang bahwa wang Indonesia bagi
orang tersebut adalah sebagai sampah saja, oleh Mahkamah Agung dipertimbangkan sebagai
tidak mengandung perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pernerintah
Indonesia, maka dalam perkara ini perbuatan mengecor uang logam Republik Indonesia berupa
wang 1/10, ¼ dan ½ rupiah dan dijadikan alat-alat onderdiil mobil, menurut pendapat Mahkamah
Agung juga tidak mengandung perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap
Pemerintah Indonesia. Dengan demikian perbuatan mengecor uang logam dalam perkara ini
bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 17-3-1976 No. 3 K/Kr/1975.
Dalam Perkara : Kho Tjin Lien.
dengan Susunan Majelis 1. Hendrotomo S.H., 2. R. Purwoto S. Ganda Subroto S.H., 3.
Purwosunu S.H.
85.        IX.5. Penghinaan terhadap penguasa.
Hakim dan Jaksa termasuk dalam pengertian kekuasaan yang ada dalam Negara Republik
Indonesia termaksud dalam pasal 207 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-9-1964 No. 10 K/Kr/1964.
Dalam Perkara : Gandut bin Djang Alang.
86.        IX.5. Penghinaan terhadap penguasa.
Menurut pasal 142 U.U.D.S. segala peraturan undang-undang yang sudah ada pada tanggal 17
Agustus 1950 tetap berlaku sebagai peraturan Republik Indonesia selama tidak dicabut oleh
undang-undang atas kuasa Undang-undang Dasar tersebut dan karena sampai sekarang pasal
2G7 K.U.H.P. belum dicabut, maka masih berlakulah pasal itu; karena Undang-undang No. 1
tahun 1946 menurut pasal 17 berlaku untuk Jawa dan Madura, maka pasal 207 K.U.H.P. menurut
pasal 8 No 38 undang-undang tersebut juga telah diubah.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 21-11-1958 No. 160 K/Kr/1958.
87.        IX.5. Penghinaan terhadap penguasa.
Kata-kata terdakwa “kalau demikian halnya, Pemerintah Daerah menyeleweng, Pemerintah
Daerah memberontak dan kejam” oleh Pengadilan Tinggi telah secara tepat dianggap
mempunyai unsur kesengajaan menghina.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-4-1963 No. K/Kr/1963.
Dalam Perkara: MS.Wacbidin Basjarahil alias H.Moechsin Wachidin.
88.        IX.5. Penghinaan kepada badan kekuasaan negara.
Penghinaan secara pribadi kepada pegawai negeri waktu sedang menjalankan jabatan dengan
syah adalah merupakan penghinaan kepada suatu badan kekuasaan negara.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-3-1970 No. 121 K/Kr/1968.
Dalam Perkara : Thomas Abraham Sugeba.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. R.Subekti S.H., 2, D.H.Lumbanradja SH. 3. Z. Asikin
Kusumah Atmadja S.H.

TINDAK PIDANA PEMALSUAN


89.        X.1. Sumpah palsu.
Kewajiban yang dibebankan kepada Hakim oleh pasal 283 H.I.R. tidak merupakan unsur dari
tindak pidana yang dimaksudkan oleh pasal 242 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-7-1962 No. 189 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Kasan Mimbar.
90.        X.4. Surat palsu.
Yang dimaksudkan dengan “menyuruh membuat palsu” dalam pasal 263 K.U.H.P.
ialah menyuruh membuat surat yang isinya bertentangan dengan kebenaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 28-4-1964 No. 134/Kr/1963.
Dalam Perkara : Raden Soedarno;
91.        X.4. Surat palsu.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung;
Sebutan “memalsukan surat” adalah kurang tepat; yang lebih tepat ialah : “membuat surat palsu”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-9-1968 No. 114 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Singa Siregar, 2. Partoanan Harahap, 3. Sjafwi Datuk Penghulu Hakim, 4.
Go Jouw Chong.
dengan Susunan Majelis 1. M. Abdurrachman S.H., 2. Sardjono SH. 3. Busthanul Arifin S.H.
92.        X.4. Pemalsuan surat.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Mengisi blanco kwitansi tidak mempunyai unsur melawan hukum sepanjang pengisiannya tidak
bertentangan dengan maksud dari penandatangan untuk apa kwitansi itu ditanda tanganinya.
i.c. tertuduh dipersalahkan melakukan “pemalsuan surat”, karena ia telah mengisi kwitansi
yang bersangkutan dengan kata-kata “persekot dari harga rumah Jalan Botelempangan No. 14”,
padahal terbukti antara tertuduh dan penanda tangan kwitansi hanya ada perjanjian pinjam
meminjam uang Rp. 100.000,-
Putusan Mahkamah Agung tgl. 5-6-1975 No. 40 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Abdul Hafid Tumpa.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Umar Seno Adji S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul
Arifin S.H.
93.        X.4. Pemalsuan surat.
Karena pasal 263 K.U.H.P. merumuskan “dapat mendatangkan kerugian pada orang lain” maka
kerugian tidak perlu nyata-nyata ada.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 15-5-1975 No. 88 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Soeharto bin H. Noerhadi.
dengan Susunan Majelis : 1. Palti R. Siregar S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
94.        X.4. Pemalsuan surat.
Kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh pemalsuan surat berdasarkan pasal 263 K.U.H.P.
tidak harus berupa kerugian materiil, dapat juga berupa kerugian terhadap kepentingan
masyarakat sepertinya dalam hal penggunaan surat yang dipalsukan itu dapat menyulitkan
pengusutan suatu perkara.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 29-5-1965 No. 10 K/Kr/1965.
Dalam Perkara : Teuku Abdul Said.
95.        X.4. Pemalsuan surat.
Bahwa surat dibuat atas permintaan yang berkepentingan dengan penuh kepercayaan terhadap
pemakainya, tidaklah menghilangkan sifat perbuatan itu scbagai pembuatan surat palsu termasuk
dalam pasal 263 K.U.H.P. atau membebaskan pernbuatnya dari kesalahan atau penghukuman.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 29-5-1965 No. 10 K/Kr/1965.
Dalam Perkara : Teuku Abdul Said.
96.        X.4. Pemalsuan surat.
Menurut pasal 263 K.U.H.P. juga dapat dihukum membuat surat yang diperuntukan bagi
pembuktian suatu hal; seperti Dalam Perkara ini, membuat surat guna pembuktian bahwa
10 orang guru sejak 1 Januari 1953 disamping tugasnya pada pagi hari juga memberi
pelajaran pada waktu petang hari di sekolah rakyat dan masing-masing berhak menerima
honorarium Rp.250,- tiap-tiap bulan; pada hal 10 orang guru tersebut tidak memberikan
pelajaran pada waktu petang hari dan juga tidak pernah mendapat perintah semacam itu
dari terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-5-1958 No. 194 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Soekiran alias Dibjosoemartojo.
97.        X.4. Pemalsuan surat.
Dalam hal pemalsuan surat izin perumahan, yang dapat dirugikan adalah yang mempunyai izin
yang syah dan semua orang yang mungkin dapat rnenempati rumah itu dengan mernpergunakan
prosedur yang normal.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7 - 1 - 1964 No. 129 K/Kr/1963.
Dalam Perkara: Tjhay Touw Siong.
98.        X.4. Pemalsuan surat.
Keberatan yang yang diajukan penuntut kasai : bahwa apa yang dilakukannya tidak merugikan
Negara dan juga tidak menguntungkan dia sendiri.
Tidak dapat diterima karena hal-hal tersebut tidak merupakan unsur dari tindak pidana yang
dipersalahkan kepadanya (pasal 269 ayat 1 K.U.H.P.).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 31 - 3 - 1971 No. 74 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : A. Rachman al Amantjik bin M. idris.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Indroharto S.H.
99.        X.4. Pemalsuan surat.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi bahwa surat resep tidak rnenimbulkan hak
sehingga tidak termasuk dalam pasal 263 K.U.H.P.;
Tidak dapat dibenarkan, karena sebuah resep memanglah menimbulkan hak untuk membeli chat-
chat yang tercantum dalam resep yang bersangkutan, sehingga harus dianggap sebagai suatu
surat bukti dalam arti kata menurut pasal 263 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgi. 6 - 5 - 1967 No. 146 K/Kr/1966.
Dalam Perkara: R. Tumenggung Soehadi Prijonegoro.
dengan Susunan Majelis : 1. Surjadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
100.    X.4. Pemalsuan surat.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi: - bahwa dia tidak termaksud untuk melakukan
kejahatan seperti dimaksud dalam pasal 263 K.U.H.P. karena terjadinya jual beli itu tidak
menguntungkan dirinya sesenpun.
Tidak dapat dibenarkan karena hal itu bukan merupakan syarat “pemalsuan surat” menurut pasal
263 K.U.H.P. melainkan cukuplah, bahwa perbuatan pemalsuan yang bersangkutan dapat
menimbulkan suatu kerugian.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 15 - 11 - 1967 No. 62 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: Bahrunsyah, Muhamad Zein bin Udin.
dengan Susunan Majelis : 1. Surjadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.

TINDAK PIDANA TERHADAP


KESUSILAAN
101.    XI.1. Perzinahan.
Pasal 284 K.U.H.P. merupakan “absoluut klachtdelict” sehingga pengaduan terhadap Ielaki
yang melakukan perzinahan merupakan juga pengaduan terhadap isteri yang berzinah, sedang
Jaksa berwenang untuk atas azas opportuniteit hanya mengadakan penuntutan terhadap salah
seorang dari mereka.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19 - 3 - 1955 No. 52 K/Kr/1953.
Dalam Perkara : Harangan SiIalahi.
dengan Susunan Majelis: 1. Mr. R.S. kartanegara; 2. Mr. R. Soerjotjokro; 3. Mr. Sutan Abdul
Hakim.
102.    XI.3. Pornografi.
Kejahatan yang dimaksudkan oleh pasal 282 K.U.H.P. tidak mengandung unsur “melanggar
kesusilaan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-2 - 1959 No. 203 K/Kr/1958.
Dalam Perkara: Asani bin Haji Sulaiman.
103.    XI.3. Pornografi.
Kwalifiksi tindak pidana yang oleh Pengadilan Tinggi dirumuskan sebagai “Mempertunjukkn
kepada umum gambar/film yang dikenalnya melanggar kesusiIaan” diperbaiki sehingga menjadi:
“Mempertunjukkan secara terang-terangan gambar/film yang dikenalnya melanggar kesusilaan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8 - 1 - 1975 No. 52 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : 1. haji Hamin Drachman; 2. Hans Handoko, alias Tjio; 3. Mansjur.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Busthanul
Arifin S.H.
104.    XI. Perjudian.
Permainan “lotre buntut” harus dipandang sebagai judi yang memenuhi syarat-syarat pasal 303
ayat 3 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8 - 1 - 1975 No. 130 K/Kr/1972.
Dalam Perkara : Eddy.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. R.Z. Asikin Kusumaatmadja S.H.
105.    XI.10. Penganiayaan hewan.
Sepanjang pengetahuan Mahkamah Agung tidak dikenal hukum adat di Tapanuli yang
menentukan bahwa apabila seekor babi dari lain kampung merusak tanaman, babi ini dapat
dibunuh; maka perbuatan terdakwa tetap merupakan pelanggaran pasal 302 K.U.H.P. jo
P.P.P.U. No. 18 tahun 1960.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 27-9-1961 No. 64 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Sappe Taringan.
106.    XI.11. Perkawinan terlarang.
Perbuatan penuntut kasasi, yang dituduh melanggar pasal 279 ayat 1 ke 2 K.U.H.P. tidak
merupakan kejahatan ataupun pelanggaran, karena pada umurnnya menurut hukum adat yang
berlaku diseluruh Indonesia khususnya diluar daerah berlakunya H.O.C.I. tidak ada larangan
bagi laki-laki untuk kawin dengan lebih dari seorang perempuan dan peristiwa yang menjadi
perkara ini terjadi sebelum berlakunya Undang2 No. 1/1974. (Undang2 Pokok Perkawinan).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 6-5-1975 No. 90 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : EIly Gomer Binti.
107.    XI.11. Perkawinan terlarang.
Adalah layak bila para pemohon kasasi percaya saja kepada dan menganggap syah putusan
Pengadilan Agama R.I. di Lubuk Linggau yang berisi penceraian pemohon kasasi I dengan
suaminya Ali Setam bin Pagam; dan seandainya berdirinya Pengadilan Agama itu secara tidak
syah, kekeliruan anggapan para pemohon kasasi ini merupakan suatu kekeliruan yang dapat
dimaafkan (yen. schoonbare dwaling).
Maka pemohon kasasi yang telah melangsungkan perkawinan dengan berpegangan pada putusan
Pengadilan Agama tersebut tidaklah dapat dianggap terbukti telah melakukan perkawinan sedang
diketahui bahwa perkawinannya yang ada menjadi halangan yang syah baginya untuk kawin
lagi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-12-1956 No. 138 K/Kr/1955.
Dalam Perkara : Pr. Masjian binti Alikusum.
dengan Susunan Majelis 1. Mr. R.S. Kartanegara, 2. Mr. R. Soerjotjokro, 3. Mr. Sutan Abdul
Hakim.

TINDAK PIDANA TERHADAP


KEHORMATAN
108.    XII.1. Penghinaan.
Karena tuduhan-tuduhan terhadap Mr. Jusuf Wibisono yang dilontarkan penuntut kasasi dalam
karangannya ada samar tidak tegas dan nyata, tidaklah dapat diterima bahwa penuntut kasasi
telah bertindak demi kepentingan umum.
Lagi pula bagi penuntut kasasi sebagai anggota D.P.R. ada jalan lain untuk bertindak demi
kepentingan umum, ialah dengan membicarakan masalahnya didalam D.P.R.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-11-1957 No. 13 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Maridi Danoekoesoemo.
109.    XII.1. Penghinaan.
Dalam tindak pidana menista dengan surat (smaadschrift) dan pada umumnya dalam tindak
pidana penghinaan yang dimuat dalam Buku II Bab XVI K.U. H.P. tidak perlu adanya animus
injuniandi, yakni niat untuk menghina.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 21-12-1957 No. 37 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Mohamad Sjukur.
110.    XII.1. Penghinaan.
Kata-kata yang diucapkan Seperti yang dituduhkan dan terbukti di persidangan yaitu “Menawi
Pak Carik mempersulit pertanyaan kulo, kulo bade laporan datang atasan”; “Sajatosipun soal
pembentukan Panitya (P.P.P.) punopo boten dimusyawarahkan, lan saking pundi”, adalah tidak
sifat menghina.
Hal ini tunduk pada kasasi, karena kesimpulan apakah suatu rangkaian kalimat (ucapan) bersifat
menghina atau tidak adalah kesimpulan juridis.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-4-1975 No. 32 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Moeslim.
dengan Susunan Majelis : 1. Hendrotomo S.H., 2. Purwosunu S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
111.    XII.1. Penghinaan.
Pembuktian mengenai kebenaran hal yang dituduhkan sebagai yang dimaksudkan dalam pasal
312 K.U.HP. hanya diizinkan dalam hal kepada terdakwa dituduhkan kejahatan-kejahatan
menista atau menista dengan surat, akan tetapi pembuktian kebenaran yang dituduhkan itu sama
sekali tidak diperkenankan pada tuduhan kejahatan “penghinaan bersahaja”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 4-1-1958 No. 21 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : R. Subakti.
112.    XII.1. Penghinaan
Penghinaan atas pejabat yang mendampingi orang yang menjalankan tugasnya secara syah
dipandang ditujukan terhadap seorang pejabat yang dimaksudkan dalam pasal 316 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-10-1974 No. 45 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : I. Frans Suriton, II. Ny. N. Suriton Sampauw.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oeman Seno Adji S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul
Arifin S.H.
113.    XII.1. Pengaduan palsu.
Surat pengaduan ataupun “aangifte” bahwa seorang jaksa telah memaksakan kepada terdakwa
untuk mengambil seorang pengacara tertentu, yang dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi,
merupakan pengaduan atau “aangifte” kepada “overheid” termaksud dalam pasal 317 K.U.H.P.
“Bevoegd” atau tidaknya Pengadilan Tinggi mengurus isi pengaduan atau “aangifte” itu tidak
merupakan unsur dari pasal 317 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-2-1958 No. 32 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Liem Koen Beng.
114.    XII.3. Fitnah.
Perbuatan yang dilakukan oleh pembela untuk mempertahankan kepentingan yang dibelanya,
dianggap dilakukan karena terpaksa (noodzakelijke verdediging) asalkan saja perbuatan-
perbuatan membela itu dilakukan dengan baik dan dengan cara yang tidak berlebihan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 3-1-1973 No. 109 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Yap Thian Hien S.H.
dengan Susunan Majelis : 1.. Prof. R. Subekti S.H., 2. Sri Widoyati Wiratmo Soekito S.H., 3.
Indroharto S.H.
 

TINDAK PIDANA TERHADAP


KEMERDEKAAN
115.    XIII.4. Tindak pidana pemaksaan.
Amar putusan Pengadilan Tinggi tentang kejahatan yang dipersalahkan kepada tertuduh yang
berbunyi : “Dengan melawan hukum mengancam dengan suatu perbuatan lain atau mengancam
dengan perbuatan yang tidak menyenangkan saksi Pr. Nursiyam melakukan perbuatan meminum
brendi dan air daun nenas diremas dengan garam”.
Harus diperbaiki sehingga berbunyi sebagai berikut “Dengan melawan hukum memaksa onang
lain untuk melakukan sesuatu dengan perbuatan yang tak menyenangkan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 4-8-1976 No. 92 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Daslim bin Ahmaddin.
dengan susunan rnajelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul
Arifin S.H.
 

TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA


DAN TUBUH ORANG
116.    XIV.4. Menyebabkan mati/luka karena kelalaian.
Tindak pidana tersebut dalam pasal 360 K.U.H.P. adalah “Karena kealpaannya menyebabkan
orang luka sehingga tidak dapat menjalankan pekerjaannya sementara”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 4-5-1974 No 83 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Ketang bin Rustarn.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul
Arifin S.H.
117.    XIV.4 Menyebabkan luka karena kelalaian.
Antara kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 195 ayat 1 dan pasal 360 K.U.H.P. tidak ada
hubungan sebagai tindak pidana khusus terhadap tindak pidana umum; kedua kejahatan-
kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang berdiri sendiri.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8-5-1962 No. 3 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Legiman.
118.    XIV.4. Menyebabkan mati karena kelalaian.
Pembayaran kerugian oleh penuntut kasasi kepada pihak korban tidak menghapuskan
kesalahannya atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 14-3-1962 No. 175 K/Kr/1961
Dalam Perkara : Ruslan bin Egok.
119.    XIV.5. Penganiayaan.
Kejahatan tersebut dalam pasal 352 K.U.H.P. adalah tindak pidana yang harus dilakukan dengan
sengaja dan untuk menentukan apakah tindak pidana ini dilakukan dengan sengaja atau tidak,
tidak perlu dibuktikan adanya niat buruk pada terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl.. 31-8-1957 No. 163 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Lie Lam Fong.

TINDAK PIDANA TERHADAP


KEKAYAAN
120.    XV.1. Pencurian.
Pemberian bon untuk pertanggungan jawab pengambilan kopi tidak menghilangkan kesalahan
penuntut kasasi tentang pencurian kopi tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-10-1963 No. 64 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Mochamad Anwar Nasution.
121.    XV2. Penggelapan.
Unsur memiliki dalam pasal 372 K.U.H.P. berarti menguasai suatu benda bertentangan
dengan sifat dari hak yang dimiliki atas benda itu.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-8-1959 No. 69 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Soetomo Soemopawiro bin Soemopawiro.
122.    XV.2. Penggelapan.
SoaI apakah perbuatan penuntut kasasi menimbulkan kerugian atau tidak, tidaklah merupakan
unsur dari tindak pidana penggelapan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 3-12-1963 No. 101 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Ir. Mursaid Kromosudarmo.
123.    XV.2. Penggelapan.
Yang diartikan dengan kata memiliki (toeeigenen) sebagai termaksud dalam pasal 374 K.U.H.P.
ialah menguasai barang bertentangan dengan hak yang dipunyai seseorang atas barang tersebut
(toeeigening is een “beschikken” over het goed in strijd met de aard van het recht, dat men over
dat goed uitoefent) maka penggunaan uang oleh seorang pegawai negeri untuk keperluan lain
(meskipun untuk itu dibuatkan bon) dari pada yang telah ditentukan merupakan kejahatan
termaksud dalam pasal 374 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8-5-1957 No. 83 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Maijidin Manorsa Siagian.
124.    XV.2. Penggelapan.
Perkataan “memiliki” dan menggelapkan” dalam pasal 372 dan 415 K.U.H.P. tidak selalu
mengandung sifat bermanfaat bagi diri pribadi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-4-1956 No. 92 K/Kr/1955.
Dalam Perkara : Mas Soepii Adiwidjojo.
125.    XV.2. Penggelapan.
Dengan merubah kata “mengambil” dalam tuduhan menjadi “memiliki”
Pengadilan Tinggi tidak melanggar pasal 282 (2) HJ.R., karena dari penjelasan yang mengikuti
kata tersebut “yakni barang yang dipegang olehnya bukan karena kejahatan” dapat disimpulkan
bahwa masalahnya hanyalah masalah perbedaan penerjemahan kata “zich toeeigenen”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 25-2-1958 No. 308 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Ali bin Said Badjeri.
126.    XV.2. Penggelapan.
Dalam hal seseorang diwajibkan menjual barang kepada pihak-pihak tertentu, ia dapat dianggap
melakukan kejahatan penggelapan apabila ia menjual barang yang bersangkutan kepada orang
lain.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-9-1956 No. 33 K/Kr/1956.
Dalam Perkara: Benyamin Alwien Rozenberg.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. S. Kartanegara, 2. Mr. S. Soerjotjokro, 3. Mr. Sutan Abdul
Hakim.
127.    XV.2. Penggelapan.
Seorang dealer yang bertindak atas nama dan untuk firma tertentu yang tidak menyerahkan
kepada firma tersebut seluruh uang penjualan yang diterimanya dari para pembeli, melainkan
mempergunakannya untuk kepentingan sendiri tanpa izin dari firma melakukan tindakan
pemilikan tanpa hak dan oleh karenanya dipersalahkan melakukan penggelapan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 28-8-1974 No. 50 K/Kr/1973.
Dalam Perkara :1. R. Ibrahim Karnadiputra, II. Usman Pagardjati.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. Santoso Poedjosoebroto S.H., 2. Palti Radja Siregar S.H., 3.
Busthanul Arifin S.H.
128.    XV.2. Penggelapan.
Dengan penerimaan kembali oleh orang yang dirugikan sebagian dari uang yang digelapkan,
sifat kepidanaan dari perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tidak berubah menjadi
keperdataan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8-2-1958 No. 242 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Malbani bin Akwan.
129.    XV.2. Penggelapan.
Pembayaran kembali uang pada tgl. 13 September 1956 tidak meniadakan sifat tindak pidana
dari perbuatan yang menurut surat tuduhan telah dilakukan oleh terdakwa pada waktu antara
September 1956 dan Desember 1956.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-11-1959 No. 183 K/Kr/1959.
Dalam Perkara: R. Sasmito Amidjojo bin R. Sastroamidjojo.
130.    XV.2. Penggelapan.
Terdakwa sebagai penyelenggara arisan dalam perkara ini, karena tidak menyerahkan uang
arisan yang telah terkumpul kepada anggota yang berhak, telah melakukan penggelapan dan
tidak tepat kalau arisan dianggap sebagai hubungan pinjam meminjam tanpa bunga.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1973 No. 106 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Ny. Misnan Darmosoekarto.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. D.H. Lumbanradja S.H.; 3. Indroharto
S.H.
131.    XV.2. Penggelapan.
Karena para terdakwa telah menjual kain blacu itu kepada orang luar daerah Pasuruan, sedang
kain blacu ini mereka peroleh dalam kedudukan sebagai penyalur untuk masyarakat dan jawatan-
jawatan di daerah Pasuruan, mereka telah berbuat menyimpang dari sifat dan tujuan penerimaan
kain blacu tersebut kepada mereka sehingga perbuatan mereka harus dianggap sebagai pemilikan
secara melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 28-8-1965 No. 68 K/Kr/1965.
Dalam Perkara: 1 Pek Tjie Sing; 2. Lauw Kong Kie;
132.    XV.2. Penggelapan.
Walaupun tidak menyebabkan batalnya seluruh putusan, namun karena pasal 372 K.U.H.P. dan
berikutnya tidak menyebut-nyebut “penggelapan yang dilakukan bersama-sama”, maka perlu
kwalifikasi dari amar putusan tersebut diperbaiki sehingga berbunyi:
Menyatakan terdakwa-terdakwa tersebut di atas masing-masing bersalah melakukan kejahatan
“penggelapan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 28-8-1974 No. 50 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: 1. R. Ibrahim Karnadiputra; 2. Usman Pagardjati.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. Santoso Pudjosubroto S.H.; 2. Palti Radja Siregar S.H.; 3.
Busthanul Arifin S.H.
133.    XV.2. Penggelapan.
Pasal 374 K.U.H.P. hanyalah pemberatan dari pasal 372 K.U.H.P. yaitu apabila dilakukan
dalam hubungan jabatan, sehingga kalau pasal 374 K.U.HP. dapat dibuktikan maka pasal 372
K.U.H.P. dengan sendirinya dapat dibuktikan juga.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 25-9-1975 No. 35 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Abdul Roni bin Muhamad.
dengan Susunan Majelis: 1. Hendrotomo S.H.; 2. Purwosunu S.H.; 3. Bustanul Arifin S.H.
134.    XV.2. Penggelapan.
Bahwa kuasa Direksi tidak menganggap perlu untuk mengadukan penuntut kasasi kepada Polisi,
tidaklah menutup wewenang Penuntut Umum untuk menuntut perkara ini di muka Hakim karena
tindak pidana penggelapan bukan suatu delik aduan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 18-10-1967 No. 129 K/Kr/1966.
Dalam Perkara: P.H. Bok, Pontas Siregar, M.P. Lumbantoruan.
dengan Susunan Majelis: 1. Surjadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
135.    XV.2. Penggelapan.
Untuk dapat dianggap melakukan penggelapan dalam kedudukan “penguasaan pribadi”
(persoonlijke dienstbetrekking) tidak harus sipembuat mendapatkan upah, rnelainkan
sebagaimana telah dengan tepat dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi, cukuplah penggelapan
itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan suatu tugas resmi yang diberikan kepadanya, ialah
dalam perkara ini berdasarkan surat keputusan dari Pemerintah/Ketua J.B.P.P. Dati II Sukabumi/
Bupati KHD tk. II Sukabumi tgl. 16 Juli 1963, surat perjanjian antara Bupati kdh. tersebut tgl. 2
September 1963 untuk membeli beras keperluan Pemerintah Daerah Dati II Sukabumi/J.B.P.P.;
Putusan Mahkamah Agung tgl. 16-4-1966 No. 144 K/Kr/1966.
Dalam Perkara: Tengku Mustadjab bin Husain.
dengan Susunan Majelis: 1. Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H.; 2. M. Abdurrachman S.H.; 3.
Surjadi S.H.
136.    XV.2. Penggelapan.
Para penuntut kasasi telah dengan tepat dipersalahkan melanggar pasal 374 K.U.H.P. karena
uang sumbangan Dana Irian Barat (yang telah mereka terima selaku pengurus OPS
Syrup/Saribuah dari para anggauta OPS tersebut untuk disampaikan kepada Panitia Dana
Perjuangan Irian Barat) hanya boleh disimpan dalam Bank yang telah ditunjuk untuk itu yaitu
Bank Nasional Indonesia, sedang mereka menyimpannya di suatu Bank lain yang tidak diberi-
tahukan kepada Panitia Dana Perjuangan Irian Barat dan juga mereka menggunakannya untuk
keperluan lain daripada tujuan yang dimaksudkan oleh Panitia.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 5-4-1969 No. 104 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: 1. Froderik Lamsana Namora; 2. Lim Sek Kang; 3. Tan Khing Ho.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Subekti S.H.; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.; 3.
Bustanul Arifin S.H.
137.    XV.3. Penipuan.
Perbuatan yang merupakan unsur dari pasal 378 K.U.H.P. adalah: - membujuk orang untuk
membuat hutang atau penghapuskan piutang bukannya:
membujuk orang untuk memberi pinjaman.
Maka perbuatan yang dituduhkan kepada penuntut kasasi: - bahwa ia telah membujuk Teh Tjoe
Fat (saksi) untuk memberi pinjaman kepadanya, tidaklah merupakan kejahatan yang
dimaksudkan oleh pasal 378 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-8-1960 No. 66 K/Kr/1960.
Dalam Perkara: Tjan Soan Djien.
138.    XV.3. Penipuan.
Seseorang yang menyerahkan cek, padahal ia rnengetahui bahwa cek itu tidak ada dananya,
perbuatannya merupakan tipu muslihat sebagai termaksud dalam pasal 378 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 15-11-1975.No. 133 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Ferdinan Siagian; Turman Hutagaol.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Purwosunu
S.H.
139.    XV.3. Penipuan.
Yang dilakukan antara tertuduh dan saksi adalah transaksi keperdataan yang tidak ada unsun-
unsur penipuan, karena saksi harus dianggap mengerti benar tentang nilai kwitansi-kwitansi yang
diterimanya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 31-1-1973 No. 104 K/Kr/1971.
Dalam Perkara :Rinie Juniastutik.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. D.H. Lumbanradja
S.H.
140.    XV.3. Penipuan.
Maksud penipuan tidak ada, karena uang yang diminta oleh terdakwa sesuai dengan ucapan
terdakwa diperhitungkan dengan/diambil dari honorarium terdakwa, meskipun uang tersebut
tidak dibelikan ban sepeda motor untuk saksi sebagaimana diutarakan waktu terdakwa minta
uang tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-9-1970 No. 67 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: R. Darmodjo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Indroharto SH.; 3. Sri Widoyati Wiratmo
Soekito S.H.
141.    XV.3. Penipuan - “Stellionaat”.
Meminjam sebidang tanah dari yang berhak guna digarap satu musim, tetapi setelah waktu tiba
untuk rnengembalikannya pada yang berhak, tidak dikembalikannya, malahan dijual musiman
kepada orang lain, dipersalahkan melanggar pasal 385 (4) K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 28-8-1974 No. 104 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Mualib bin Sakawi.
dengan Susunan Majelis: 1. Dr. Santoso Pudjosubroto S.H.; 2. Palti Radja Siregar S.H.; 3.
Busthanul Arifin S.H.
142.    XV.3. Penipuan - “Stellionaat”.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Karena terdakwa telah terbukti: dengan maksud untuk menguntungkan anak kandungnya sendiri
telah menghilangkan hak saksi K.L. atas tanah karcis No. 317 pada pembagian tanah bendar
Simare Mangunsaksak;
terdakwa dipersalahkan melakukan kejahatan: “Dengan maksud hendak rnenguntungkan diri
sendiri ataupun orang lain dengan melawan hukum telah melanggar hak orang Indonesia atas
tanah sedangkan diketahuinya orang lain yang berhak atas tanah itu”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-5-1972 No. 107 K/Kr/1970.
Dalam Perkara: Philemon Lubis.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Indroharto S.H.
143.    XV.3. Penipuan.
Seseorang tidak dapat secara menurut hukum (rechtmatig) memakai nama orang lain.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 15-1-1962 No. 74 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Tan Ling Ting.
144.    XV.4. Penadahan.
Tindak pidana penadahan ex pasal 480 K.U.H.P. pada umumnya bersifat formil, sehingga ada
tidaknya pihak lain yang dirugikan bukanlah unsur yang menentukan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-3-1965 No. 201 K/Kr/1964.
Dalam Perkara: Poernomo.
145.    XV.4. Penadahan.
Tidak ada peraturan yang mengharuskan untuk lebih dahulu rnenuntut dan menghukum orang
yang mencuri sebelum menuntut dan menghukum orang yang menadah.
Dalam perkara ini adanya orang yang kecurian dan adanya barang-barang yang berasal dari
pencurian itu terdapat pada penadahnya, sudahlah cukup untuk menuntut yang bersangkutan
karena penadahan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-7- 1958 No. 79 K/Kr/1958.
Dalam Perkara: Tee Sien Tyai.
146.    XV.4. Penadahan.
Pemeriksaan tindak pidana penadahan tidak perlu menunggu adanya keputusan mengenai tindak
pidana yang menghasilkan barang-barang tadahan yang bersangkutan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 29-11-1972 No. 126 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: R. Hendro.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Subekti S.H.; 2. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.; 3.
Indroharto S.H.
147.    XV.4. Penadalian.
Membeli barang yang berasal dari penadahan tetap dapat dihukum, karena penadahan merupakan
juga suatu kejahatan; asalkan saja pembeli mengetahui atau patut dapat rnenyangka bahwa
barang yang dibelinya itu berasal dari kejahatan: dalam hal ini penadahan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-8-1957 No. 166 K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Achmad bin Marhadan.
148.    XV4. Penadahan.
Tindak pidana “penadahan” dapat berdiri sendiri disamping dan Sejajar dengan tindak pidana
“pencurian”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 21-11-1961 No. 103 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Kardjono.
149.    XV.5. Pemerasan.
Salah satu unsur dari pasal 425 (1) K.U.H.P. ialah “menjalankan perbuatan itu dalam
jabatannya”.
Karena pembuatan daftar penerimaan uang dan pembayaran gaji orang-orang yang dimintai uang
oleh terdakwa itu bukan tugas terdakwa sebagai klerk pada Jawatan Pengajaran Daerah, tetapi
tugas dari Kepala Sekolah Rakyat yang bersangkutan sedang terdakwa hanya dimintai bantuan;
maka permintaan uang termaksud, tidaklah dilakukan terdakwa dalam jabatannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-1-1956 No. 25 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: Tuna Husain.
150.    XV.5. Pemerasan.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Karena tertuduh telah terbukti: mengancam saksi akan membuka rahasia saksi dengan menulis di
surat kabar tentang perbuatan-perbuatan saksi kalau saksi tidak mau memberikan uang Rp.
5.000,- kepada tertuduh, tetapi uang tersebut tidak didapatinya karena saksi mengadakan
perlawanan;
tertuduh dipersalahkan melakukan kejahatan: “Mencoba melakukan pemerasan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 29-3-1972 No. 106 K/Kr/1970.
Dalam Perkara: Mamad Simbolon.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Indroharto SH; 3. Sri Widoyati Wiratmo
Soekito SH.
151.    XV.5. Pemerasan
Kebiasaan memungut uang honorarium tersebut dalam perkara ini sudah merupakan kebiasaan
yang diterima oleh masyarakat.
Tindakan tersebut tidak bertentangan dengan Undang.undang No. 9 tahun 1961.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-7-1973 No. 43 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Drs. I. Gede Sudana.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti Sit; 2. Ny. Sri Widoyati Wiratmo Soekito
SH; 3. Busthanul Arifin S.H.
152.    XV.6. Perusakan barang.
Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi: - bahwa para penuntut kasasi merusak rumah
saksi karena rumah itu didirikan di atas tanah\mereka tanpa izin mereka, sehingga yang mereka
lakukan itu adalah justru mempertahankan hak milik;
tidak dapat dibenarkan, karena dalam hal ini seharusnya para penuntut kasasi mengajukan
persoalannya kepada alat-alat Negara yang berwenang dan tidak merusak sendiri rumah itu,
sehingga perbuatan mereka merupakan kejahatan termaksud dalam pasal 406 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 15-3-1958 No. 24 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Senang marga Karo-Karo, Martin Padang.

TINDAK PIDANA PENERBITAAN


153.    XVI.1. Tindak pidana penerbitan.
Seorang redaktur yang dengan sengaja menyuruh muat dalam surat kabar yang dipimpinnya
sebuah karangan yang mengandung isi yang menista orang lain, merupakan pelaku peserta
(mededader) dari kejahatan menista.
Orang yang dengan sengaja mengirimkan kepada redaktur ini sebuah karangan yang
mengandung isi yang menista orang lain dianggap sebagai pembantu dari kejahatan menista
tersebut; karena ia memberikan bahan-bahan yang merupakan alat untuk melakukan kejahatan
itu.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 16-1-1959 No. 122 K/Kr/1958.
Dalam Perkara: Goei Poo Aan.

TINDAK PIDANA JABATAN


154.    XVII. Tindak pidana jabatan.
Kerugian bagi Negara dan keuntungan bagi diri sendiri tidak merupakan unsur tindak pidana
yang tercantum dalam pasal 416 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 17-1-1962 No. 152 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Hardjoutomo bin Prawirodinoto.
155.    XVII. Tindak pidana jabatan.
Bahwa pemilikan dilakukan dengan sengaja dan bahwa pemilikan itu dengan tidak hak
merupakan unsur-unsur dari pada tindak pidana tersebut dalam pasal 372 K.U.H.P., tetapi
unsur-unsur tersebut tidak termuat dalam pasal 415 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-7-1964 No. 166 K/Kr/1963.
Dalam Perkara: Boerhanoedin gelar Marah Soetan.
156.    XVII. Tindak pidana jabatan.
Undang-undang/Hukum tidak mengenal ketentuan, bahwa apabila seorang Pegawai Negeri
dituduh melakukan kejahatan yang dimaksud oleh pasal 418 K.U.H.P., orang yang memberi
kepada Pegawai itu harus dituntut lebih dahulu atas kejahatan tersebut dalam pasal 209
K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-12-1960 No. 50 K/Kr/1960.
Dalam Perkara: R. Moch. Zainudin Pranotodikusumo.
157.    XVII. Tindak pidana jabatan.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi: bahwa ia menggunakan uang itu atas pemberian
tanggungan rumah dan tanah dan untuk itu ia sudah mendapat izin;
tidak dapat dibenarkan, karena pemberian tanggungan tersebut tidaklah rnerubah status uang itu
sebagai uang Pemerintah yang tidak boleh digunakan untuk tujuan lain dari pada yang telah
ditentukan; sedang izin yang dikemukakan itu ternyata adalah untuk memberi kesempatan
kepadanya mengembalikan uang yang telah dipergunakan; sehingga tidak mernpengaruhi sifat
penggunaan uang tersebut diluar tujuanrya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 30-6-1964 No. 47 K/Kr/l964.
Dalam Perkara: Mangoentenojo alias Markiman.
158.    XVII. Tindak pidana jabatan.
Dipergunakannya sejumlah uang oleh seorang Pegawai Negeri untuk pos lain dari pada yang
ditentukan, merupakan kejahatan penggelapan termaksud dalam pasal 415 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-3-1957 No. 73 K/Kr/1956.
Dalam Perkara: Kyai Haji Abdul Djalil.
dengm Susunan Majelis: 1. Mr. R.S. Kartanegara; 2. Mr. Sutan Abdul Hakim; 3. R. Ranoe
Atmodjo.
159.    XVII. Tindak pidana jabatan.
Walaupun terdakwa berwenang menguasai keuangan untuk pekerjaan sehari-hari dan rutin, akan
tetapi dengan mengizinkan penggunaan uang untuk tujuan lain dari pada yang ditetapkan,
terdakwa telah melampaui batas wewenangnya, tindakan mana merupakan tindak pidana karena
merugikan keuangan Negara.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 3-11-1971 No. 88 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: Ir. Soenarso.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin SH.; 3. Z. Asikin
Kusuma Atmadja S.H.
160.    XVII. Tindak pidana jabatan.
Kebiasaan mengambil uang dari Kas oleh seorang Pegawai Negeri sebagai pinjaman dengan
kasbon sebagai yang telah dilakukan oleh penuntut kasasi tidak menghapuskan kesalahan
penuntut kasasi terhadap tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. (melanggar Adat sesuai
dengan pasal 415 K.U.H.P.).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-4-1961 No. 106 K/Kr/1960.
Dalam Perkara: Muksin Ishak bin Ishak.
161.    XVIl. Tindak pidana jabatan.
Untuk menerapkan pasal 418 K.U.H.P., masalahnya harus ditinjau dari sudut Pegawai yang
menerima hadiah dan dari sudut orang yang memberi hadiah.
Dalam perkara ini, saksi Achmad yang memberi hadiah adalah orang yang sederhana, maka
dapat dimengerti bahwa dalam pandangannya, penuntut kasasi (seorang Komis pada Kantor
Pengadilan Negeri) adalah seorang Pegawai yang berkuasa.
Ditinjau dari sudut pemberi hadiah, penuntut kasasi yang karena mengusahakan agar perkara
perdata saksi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri telah menerima hadiah dari saksi,
telah melanggar pasal 418 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12-9-1961 No. 127 K/Kr/1960.
162.    XVII. Tindak pidana jabatan.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi, bahwa perbuatannya itu (meminta sejumlah uang dari
beberapa penduduk desa) merupakan pelaksanaan dari pada putusan musyawarah penduduk
desa;
tidak dapat dibenarkan, karena putusan musyawarah tsb. yang ternyata tidak memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh pasal 6 I.G.O. adalah tidak syah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 25-12-1957 No. 61 K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Saridjojo alias Taslim.

TINDAK PIDANA SUBVERSI


163.    XIX. Tindak pidana subversi.
Adanya latar belakang politik merupakan unsur yang essensiil bagi tindak pidana subversi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-2-1969 No. 89 K/Kr/1968.
Dalam Perkara: Panto Soegeng.
dengan Susunan Majelis: 1. M. Abdurrachman S.H.; 2. Prof. Sardjono SH.; 3. Z. Asikin
Kusumah Atmadja S.H.

164.    XIX. Tindak pidana subversi.


Latar belakang dari tindak pidana subversi, ialah hubungannya dengan kekuatan-kekuatan
politik, kekuatan-kekuatan asing dll. tidak diperlukan, sebab yang perlu disimpulkan adalah
unsur-unsur delik subversi dari perbuatan-perbuatan nyata para terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 17-7-1971 No. 28 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: Madjaeni al Zamad dkk.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Sardjono S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Indroharto S.H.
165.    XIX. Tindak pidana subversi.
Untuk klasilikasi yang tepat daripada kejahatan termaksud dalam Pen. Pres. No. 11 tahun 1963,
putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi perlu diperbaiki sekedar mengenai
kwalifikasinya sehingga menjadi: “Telah bersalah melakukan tindak pidana subversi”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 17-9-1975 No. 8 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Hasyim La Biru bin La Bole.
dengan Susunan Majelis: 1. Kabul Arifin S.H.; 2. Poerwosunu S.H.; 3. Busthanul Arifin SH.

TINDAK PIDANA KORUPSI.


166.    XX. Tindak pidana korupsi.
Tindak pidana tersebut dalam Undang-Undang Korupsi pasal 1 c jo. pasal 415 K.U.H.P.,
adalah: melakukan tindak pidana korupsi dengan jalan bagai Pegawai Negeri menerima
hadiah/pemberian, sedang ia tahu atau patut dapat menduga bahwa apa yang dihadiahkan itu
berhubungan dengan kekuasaan atau wewenang karena jabatannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1974 No. 77 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: R. Soemarto.Sumarjo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Indroharto
S.H.
167.    XX. Tindak pidana korupsi.
Ancaman hukuman terhadap tindak pidana korupsi adalah hukuman penjara dan/atau denda,
maka Hakim dapat memilih antara kedua jenis hukuman itu dan dapat pula memberi hukuman
secara cumulatief, ialah hukuman penjara dan denda;
Putusan Mahkamah Agung tgl. 16-7-1974 No. 119 K/Kr/1972.
Dalam Perkara: M. Usnawi bin Haji Jahya dkk.
168.    XX. Tindak pidana korupsi.
1. Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi cq. penggelapan walaupun ia tidak melakukannya
sendiri secara langsung melainkan sengaja membiarkan orang lain menggelapkan uang negara
yang ada pada terdakwa karena jabatannya (dalam hal ini orang lain tersebut menggunakan uang
termaksud untuk tujuan-tujuan di luar tujuan penggunaan semula) dan walaupun yang menguasai
uang tersebut adalah bukan terdakwa melainkan Kepala Kantor Pembayaran yang atas perintah
terdakwa Kepala Kantor ini melakukan pembayaran langsung kepada leveransir.
Tidak dapat diterima anggapan terdakwa yang mengatakan bahwa ketidak beresan prosedur
pelaksanaan ada pada Menteri, karena seorang Menteri hanya bertanggung jawab terhadap
politis-beleid, sedangkan technis beleid (pelaksanaan) tetap pada terdakwa.
2. Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi cq. menerima hadiah, walaupun menurut
anggapannya uang yang diterima itu dalam hubungan dengan kematian keluarganya, lagi pula
penerima barang-barang bukan ia terdakwa melainkan isteri dan/atau anak-anak terdakwa.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1974 No. 77 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: R. Soemarto Sumardjo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Indroharto
SH.
169.    XX. Tindak pidana korupsi.
Tindak pidana tersebut dalam Undang-undang Korupsi pasal 1 a adalah : melakukan tindak
pidana korupsi dengan jalan sebagai pegawai negeri dengan sengaja membiarkan uang yang ada
padanya karena jabatannya digelapkan orang lain.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1974 No. 77 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: R. Sumarto Sumarjo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Indroharto
S.H.
170.    XX. Tindak pidana korupsi.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Kwalifikasi yang tercantum dalam amar putusan Pengadilan Negeri: “Karena salah kerakusan,
sebagai pegawai negeri yang pada waktu menjalankan jabatannya, menagih sesuatu pembayaran
seolah-olah harus dibayar baik kepadanya sendiri, maupun kepada pegawai negeri lain, sedang
diketahuinya bahwa wang itu bukan termasuk utang orang, dilakukan beberapa kali berturut-
turut”.
adalah kurang tepat sehingga perlu diperbaiki menjadi sebagai berikut : “Menyatakan
para terdakwa: 1. ……..dan 2. ……….bersalah melakukan kejahatan korupsi dilakukan
beberapa kali”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-5-1969 No. 111 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: 1. Ismail J. Hatibi; 2. Usman Pulukadang.
dengan Susunan Majelis: 1. M. Abdurrachman S.H.; 2. D.H. Lumbanradja S.H.; 3. Sri Widojati
Wiratmo Soekito S.H.
171.    XX. Tindak pidana korupsi.
Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi: - bahwa penuntut kasasi menerima
barang-barang itu dan yang berhak menyimpan secara bon, jadi merupakan hutang
piutang dan hutangnya telah dibayar lunas;
tidak dapat dibenarkan, karena pada koperasi tersebut ada larangan untuk membon
barang-barang koperasi, sedang perlunasan bon-bon itu tidak menghiIangkan sifat
kejahatan dari perbuatan yang telah dilakukan penuntut kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-8-1965 No. 133 K/Kr/1964.
Dalam Perkara: Djojosoewarno alias Suwardi.
172.    XX. Tindak pidana korupsi.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung:
Perjanjian antara P.N.K.A. dan terdakwa tgl. 22 Maret 1969 No. 011/ HK/P/1969 baik karena
namanya: “Perjanjian pelaksanaan proyek pengadaan bantalan kayu jati untuk P.N.K.A.”
inaupun pasal-pasal di dalamnya: - Pasal pertama dan utama: “Pihak pertama memberi tugas dan
pihak kedua dengan penuh rasa tanggung jawab menerima tugas ………..dst.”, adalah suatu
penugasan (lastgeving) dan bukannya suatu persetujuan jual beli.
Karena itu uang yang diterima terdakwa pada tanggal 27 Mei 1969 tidaklah lantas menjadi milik
terdakwa tetapi masihlah milik P.N.K.A. dan penggunaan uang itu oleh terdakwa untuk
keperluan lain daripada yang dimaksud dalam perjanjian di atas adalah perbuatan memiliki
dengan melawan hukum (onrechtmatige toeeigening).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-1-1976 No. 48 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Achmad Soetojo Adnanputra MA.
dengan Susunan Majelis: 1. Purwosunu S.H.; 2. Hendrotomo S.H; 3. Busthanul Arifin S.H.

TINDAK PIDANA EKONOMI


173.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Suatu badan hukum tidak dapat disita.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-3-1969 No. 136 K/Kr/1966.
Dalam Perkara: Jang Tjing Ming alias Joung Tjoeng long.
dengan Susunan Majelis: 1. M. Abdurrachman S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. lndroharto
S.H.
174.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Terhadap tiap tindak ekonomi yang menghalang-halangi program Pemerintah,
sekalipun barang-barang yang bersangkutan bukan barang-barang sandang-pangan,
berlaku Pen. Pres. No. 5 th. 1959 dan Perpu No. 21 th. 1959.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 24-11-1964 No. 144 K/Kr/1963.
Dalam Perkara: Tan Tjoan Kok; Tan Tjoan Eng; Tan Tjoan Hong.
175.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Terhadap putusan Pengadilan atas tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh orang
yang tidak dikenal, berdasarkan pasal 16 ayat 1, 5 dan 6 Undang-undang Tindak
Pidana Ekonomi jo. P.P.P.U. 15/1962, tidak dapat dimintakan kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 25-6-1963 No. 174 K/Kr/l962.
Dalam Perkara: Malaya Indonesia Trading Co. Ltd.
176.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Kewajiban penuntut kasasi menurut pasal 9 Prijsbeheerschings verordening tidak
bersangkut paut dengan hal pajak.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-4-1962 No. 119 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Ong Kiaow Bok.
177.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Andaikata benar penuntut kasasi ketika dilakukan penggeledahan oleh polisi di warungnya ia
sedang bepergian ke luar kota dan yang melayani Warung adalah isterinya, hal ini tidak
membebaskan penuntut kasasi dari tanggung jawabnya mengenai perbuatan yang dituduhkan
kepadanya; karena penuntut kasasilah yang bertindak sebagai pedagang kecil pengusaha warung.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-2-1962 No. 167 K/Kr/196l.
Dalam Perkara: Lie Ping Khian.
178.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Tertuduh tidak dapat dipersalahkan tentang tidak dibuatnya catatan dari harga yang
diperhitungkan untuk barang dagangannya yang berupa 406 outboard motors, karena
ia belum menerima fakturnya dari penjualnya, ialah P.T. Indesti Corporation.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 14-8-1962 No. 33 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Haji Talik.
179.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Dalam pasal 4 a Verordening Gecontroleerde Goederen 1948, istilah “afleveren”
(penyerahan) disebut disamping istilah “verkopen” (menjual), maka teranglah bahwa
istilah “afleveren” tidak usah merupakan pelaksanaan dan pemberian dan pula istilah
“afleveren” tidak dapat diartikan “vervreemden”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 17-12-1956 No. 3 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: I Gusti Made Sempidi.
dengan Susunan Majelis: 1. Mr. R.S. Kartanagara; 2. Mr. Sutan Abdul Hakim; 3. R. Ranoe
Atmodjo.
180.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Kwitansi tidak bisa disamakan dengan faktur. Kwitansi membuktikan pembayaran sejumlah
uang, sedangkan faktur membuktikan pengiriman barang.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 3-7-1962 No. 65 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Tjuen Juen Liong.
181.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Rijst-ordonantie 1948 memang terutama ditujukan terhadap kaum spekulan, akan tetapi lain
dari pada itu ditujukan juga terhadap tiap-tiap orang yang menyimpan beras lebih dari pada yang
diijinkan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-11-1962 No. 47 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Nitisumarta alias Slamet.
182.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi, bahwa untuk kilang padinya itu ia telah minta izin dari
Camat dan Bupati Asahan pada tgl, 13 Maret 1964 dan sekarang. ia telah mempunyai izin yang
syah, tidak dapat diterima karena pada waktu perkaranya diputus oleh Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi ia belum mempunyai izin termaksud.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 2-5-1973 No. 63 K/Kr/1972.
Dalam Perkara: Togap Pandjaitan.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Subekti S.H.; 2. Indroharto SH.; 3. R.Z. Asikin
Kusumahatmadja S.H.
183.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Perpu No. 2/1960 yang mengatur mengenai pergudangan tidak bersangkut paut
dengan Perpu No. 32/1960. Maksud menimbun bukanlah unsur dari pada tindak
pidana pergudangan tersebut dalam Perpu No. 2/1960; sedang mengenai barang-
barangnya, termasuk semua barang-barang perusahaan tanpa membedakan antara
barang-barang yang termasuk free-list dan yang bukan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 20-8-1963 No. 184 K/Kr/1962.
Dalam Perkara: Haji Sabari Razak.
184.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Perbuatan mengeluarkan barang seperti yang dimaksud dalam pasal 26-b Rechten
ordonnantie baru selesai dilakukan bila telah melampaui pos penjagaan terakhir yang
berada di daerah pabean.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-9-1970 No. 86 K/Kr/1969.
Dalam Perkara: Zainal Abidin dkk.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Z. Asikin
Kusumah Atmadja S.H..
185.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi: - bahwa penuntut kasasi sebagai
exportir tidak dapat sendiri mengexport getah, akan tetapi harus bekerja sama dengan
agen kapal;
tidak dapat dibenarkan: - karena expeditir dan agen kapal pada pokoknya hanya
mempunyai tugas pengiriman dan pengangkutan, sedang segala dokumen surat izin
dan sebagainya disediakan oleh dan menjadi tanggung jawab dalam segi hukum dari
penuntut kasasi sebagai exportir.
(penuntut kasasi dipersalahkan atas kejahatan: “Mengeluarkan dari wilayah Indonesia ke luar
negeri getah sehanyak 260 ton tanpa dilindungi oleh surat-surat yang sah.”).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 14-9-1966 No. 125 K/Kr/1965.
Dalam Perkara: Daniel Reinier Masie.
dengan Susunan Majelis: 1. Surjadi SH.; 2. Subekti S.H.; 3. Sutan Abdul Hakim S.H.
186.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang diberikan Mahkamah Agung :
- bahwa party kopi, termasuk lada putih, lada hitam dan getah tersebut, masih ada dalam
gudang 11 di Belawan, atas party mana belum dilakukan pemeriksaan sebagaimana
mestinya oleh Kantor Bea Cukai di Belawan;
- bahwa dengan demikian, walaupun surat pengiriman barang kopi dan dokumen ekspor
telah diserahkan oleh P.T. Lampong Veem kepada Jawatan Pabean, belumlah dapat
dikatakan bahwa party tersebut telah diekspor ke luar daerah pabean Indonesia.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 31-1-1968 No. 14 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: 1. Merhat Tarigan; 2. Lie Wie Giok; 3. Kho A Tjong dkk.
dengan Susunan Majelis: 1. Surjadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
187.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Karena terdakwa tidak berusaha sebagai mestinya untuk menyelidiki apakah diantara bungkusan-
bungkusan dan surat-surat yang dititipkan kepadanya ada yang berisi barang-barang atau alat-
alat pembayaran luar negeri yang membutuhkan izin dari LAAPLN untuk dapat dibawa ke luar
negeri, ia dinyatakan bersalah atas pelanggaran tidak dengan sengaja membawa keluar negeri
alat-alat pcmbayaran tanpa izin LAAPN.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-4-1957 No. 1/1957/M.A. Pid.
Dalam Perkara: Roeslan Abdulgani.
dengan Susunan Majelis: 1. Mr. R.S. Kartanegara; 2. Mr. R. Soekardono; 3. Mr. Sutan Abdul
Hakim.
188.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Undang-undang Pokok Agraria tidak menyebabkan pasal 11 ayat 2 dari Deviezen
Verordening 1940 sekedar mengenai devisa Indonesia, tidak berlaku lagi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-11-1966 No. 78 K/Kr/1965.
Dalam Perkara: 1. Ny. Endoen al. Don; 2. Thung Liong Tioe S.H.; 3. Tan Siang Lian.
dengan Susunan Majelis: 1. Subekti S.H.; 2. Sutan Abdul Hakim S.H.; 3. M.
Abdurrachman S.H.
189.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Kwalifikasi tindak pidana yang oleh Pengadilan Tinggi Ekonomi dirumuskan sebagai:
“Memasukkan barang-barang dengan tidak mengindahkan peraturan-peraturan
Rechten Ordonnantie dan Reglement yang dilekatkan pada ordonnantie itu”;
diperbaiki sehingga menjadi: “Tmdak pidana ekonomi dalam hal ini memasukkan
barang-barang kedalam daerah Pabean Indonesia tanpa dilindungi surat-surat yang
sah”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12-11-1975 No. 89 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: 1. Muji Setiono bin Jotosumarto; 2. Tan Heng Yan; 3. Chaidir bin Saleh.
dengan Susunan Majelis: 1. Hendrotomo S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.; 3. Bustanul Arifin S.H.
190.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Pemasukan barang-barang tersebut kedalam pelabuhan Tanjung Perak dengan
maksud akan dijual kepada pengunjung-pengunjung kantin douane, dapat dinamakan
“invoer in het vrije verkeer” termaksud dalam pasal 1 sub 9a Deviezen Ordonnantie.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-4-1962 No. 119 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Ong Kiauw Bok.
191.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi: bahwa persil-persil yang bersangkutan
adalah milk N.V. Spa Salutis, suatu badan hukum yang berkedudukan di Bandung, jadi
berdasarkan pasal 1 ayat I Deviezen Ordonantie 1940 adalah penduduk deviezen
Indonesia;
tidak dapat diterima, karena Pengadilan Tinggi Ekonomi mempertimbangkan bahwa
sekalipun N.V. tersebut berkedudukan di Indonesia, namun N.V. tersebut masih
dikuasai Ir. Roskott yang tidak berkedudukan di Indonesia dan penuntut kasasi Ny.
Endoen dalam perkara ini hanya bertindak sebagai kedok (“stroo.vrouw”) dari Ir.
Roskott; keberatan ini adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersitat
penghargaan tentang suatu kenyataan hal mana tidak dapat dipertimbangkan datam
pemeriksaan tingkat kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-11-1966 No. 78 K/Kr/1965.
Dalam Perkara: Ny. Endoen al. Don; Thung Liong Tioe S.H.; Tan Siang Lian.
dengan Susunan Majelis: 1. Subekti S.H.; 2. Sutan Abdul Hakim S.H.; 3. M.
Abdurrachman S.H.
192.    XXI. Tindak pidana ekonomi.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Kesalahan tertuduh (menarik cek kosong) ternyata disebabkan oleh hal-hal tehnis di
Bank, maka kesalahannya merupakan kesalahan yang ringan;
OIeh Pengadilan Tinggi keputusan Pengadilan Ekonomi diperbaiki sepanjang mengenai
hukumannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-12-1967 No. 86 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: Beh Kiat Seng.
dengan Susunan Majelis: 1. Surjadi S.H.; 2. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman SH.

 
TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM
193.    XXII. Tindak pidana pemilihan umum.
Kwalifikasi tindak pidana yang dipersalahkan kepada pemohon kasasi, seorang W.N.I. bekas
anggota organisasi terlarang yang menanda tangani kartu pemilih Model A.1, tepatnya adalah:
“Sebagai W.N.I. bekas anggota organisasi terlarang rnencoba diberi hak untuk memilih dan
dipilih”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8-1-1975 No. 64 K/Kr/1972.
Dalam Perkara: Mohd. Arief.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. RI. Asikin Kusumah
Atrnadja S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.

TINDAK PIDANA LALU LINTAS


194.    XXIII. Tindak pidana Ialu lintas.
Pasal 4a Undang-undang Lalu Lintas memang ditujukan terhadap pengemudi
daripada kendaraan dan bukan terhadap pemiliknya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 31-5-1959 No. 216 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Iskandar.

TINDAK PIDANA IMIGRASI


195.    XXIX. Tindak pidana imigrasi.
Pasal 4 P.P. No. 45 tahun 1954 yang mewajibkan setiap orang asing yang berumur 16
tahun keatas rnelaporkan diri kepada Kantor Kepolisian Setempat, ialah bila orang
tersebut akan meninggalkan tempatnya lebih dari 30 hari.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 27-6-1970 No. 80 K/Kr/1968.
Dalam Perkara: Tjin Pai Tje.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito
S.H., 3. D.H. Lumbanradja S.H.

TINDAK PIDANA LAIN-LAIN


196.    XXX. Tindak pidana perburuhan.
Dari Penjelasan Undang-undang No. 23/1953 yang menunjuk pada Penjelasan P.P.
No. 13/1952 nyata bahwa Kantor Notaris merupakan suatu perusahaan sebagai yang
dimaksud oleh pembuat undang-undang.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 24-8-1965 No. 173 K/Kr/1963.
Dalam Perkara: Anwar Mahjudin.
197.    XXX. Tindak pidana perburuhan.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi, bahwa mereka bersama semata-mata hanya melakukan
instruksi dari badan organisasi atasan yang bertanggung jawab dalam aksi pemogokan tersebut;
tidak dapat dibenarkan karena dalam hukum pidana instruksi tersebut tidak
menghilangkan pertanggungan jawab mereka masing-masing atas perbuatan mereka
tidak tunduk pada putusan P.4.P. yang mengikat.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 17-3-1956 No. 91 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: Soetardi al. Hadisoetjito dkk.
198.    XXX. Tindak pidana perburuhan.
Yang dipandang sebagai pemimpin dalam pasal 19 Undang-undang Darurat No. 16 tahun
1951 bukan hanya Dewan Pimpinan Pusat di Jakarta, tetapi juga pemimpin-pemimpin dari
cabang atau ranting di daerah mana diadakan pemogokan yang tidak sah dan yang bertentangan
dengan putusan P.4.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 27-10-1956 No. 75 K/Kr/1955.
Dalam Perkara: Sudan alias Sajuti dkk.
199.    XXX. Pemakaian tanah perkebunan tanpa izin.
Bahwa benar dalam Undang-undang No. 51 th. 1960 ditetapkan bahwa perkara-perkara
pemakaian tanah perkebunan terlebih dulu harus diusahakan penyelesaian dengan musyawarah,
tetapi dalam hal itu haruslah diturut ketentuan-ketentuan yang diterapkan oleh Menteri Agraria;
Pasal 5 undang-undang tersebut tidak memuat ketentuan bahwa terhadap para,
pernakai tanah perkebunan dan hutan sebelum tgl. 12 Juni 1954 tidak diadakan
tuntutan pidana.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-1-1965 No. 67 K/Kr/1964.
Dalam Perkara: Djuki bin Adang dkk.
200.    XXX. Mempunyai senjata api tanpa izin.
Sejak terdakwa membeli pistol dan pelurunya sampai ia memperoleh surat izin, terang ia
mempunyai pistol dan peluru tanpa izin dan surat izin yang diperolehnya kemudian, tidak
menghilangkan kesalahannya atas perbuatannya sebelum ia mendapat izin.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 14-11-1961 No. 94 K/Kr/1961.
Dalam Perkara: Abdul Raid bin Kianggun.
201.    XXX. Menyimpan senjata api tanpa izin yang berwajib
Instansi Pabean tidak berwenang memberi izin penguasaan senjata api.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8-4-1967 No. 15 K/Kr/1967.
Dalam Perkara: Teuku Jusuf Muda Dalam.
dengan Susunan Majelis: 1. Surjadi SH; 2. Prof. R. Subekti S.H.; 3. M. Abdurrachman S.H.
202.    XXX. Mempunyai senjata api tanpa izin.
Kedudukan seseorang (i.c. sebagai ketua Persatuan Bekas Pejuang RI.) tidak merupakan unsur
dari kejahatan mempunyai senjata api tanpa izin.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 14-3-1960 No. 174 K/Kr/1950.
Dalam Perkara: Abdulmuin.
203.    XXX. Menghambat program Pemerintah di bidang sandang pangan.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi: bahwa ia meninggalkan pekerjaannya karena
kesalahan pimpinan pabrik;
tidak dapat dibenarkan, karena andaikata pada pimpinan pabrik terdapat kesalahan, hal itu
bukanlah alasan bagi penuntut kasasi untuk meninggalkan pekerjaannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-6-1964 No. 163 K/Kr/1963.
Dalam Perkara: Karijodiardjo alias Kasmin.
204.    XXX. Tindak pidana perumahan.
Penangguhan executie pengosongan rumah tidak menghilangkan sifat melawan hukum dari pada
perbuatan terdakwa: “menggunakan perumahan tanpa suatu hak atau tanpa surat izin perumahan
yang syah bagi perumahan yang dikuasai Kepala Daerah”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12-7-1969 No. 77 K/Kr/1968.
Dalam Perkara: The Kian Hien.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Indroharto S.H.; 3. Z. Asikin Kusumah
Atmadja S.H.
205.    XXX. Tindak pidana perumahan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Bahwa karena pemilik rumah tersebut belurn mendapat izin dari kepala K.U.P. untuk
memutuskan sewa menyewa, pihak penyewa masih berhak menempati rumah itu;
dengan demikian, karena terdakwa disuruh menunggunya oleh orang tuanya/penyewa,
tidaklah dapat dikatakan bahwa ia menempati rumah tersebut tanpa bak.
Oleh Pengadilan Tinggi diputuskan:. “Menyatakan bahwa tuntutan terhadap terdakwa itu tidak
dapat diterima”.
Oleh Pengadilan Negeri terdakwa dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran
“Menggunakan perumahan tanpa suatu hak”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 30-6-1976 No. 2 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Soewito.
dengan Susunan Majelis: 1. Purwosunu S.H.; 2. Kabul Arifin S.H.;3. Bustanul Arifin S.H.
206.    XXX. Tindak pidana adat yang sesuai dengan ps. 436 K.U.H.P.
Menurut Adat di Lematang Ogan Tengah dan menurut Agama seorang ayah yang beragama
Islam berkuasa untuk mengawinkan anaknya yang beragama Islam pula. Maka sudahlah tepat
penuntut kasasi dipersalahkan melanggar pasal 436 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-11-1958 No. 145 K/Kr/1958.
Dalam Perkara: Tjik Aim bin Kuntjit.
207.    XXX. Tindak pidana bantuan hukum.
Ordonnantie 21 October (S 1927- 496) yang memuat larangan bagi para kuasa dalam
perkara perdata untuk meminta pembayaran bertentangan dengan ketentuan
ordonnantie ini sampai sekarang masih berlaku.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 18-9-1957 No. 46 K/Kr/1957.
Dalam Perkara: Abdulah gelar Sutan Penghulu.

HUKUM PIDANA
208.    1.4. Istilah belum dewasa.
Belum dewasa dalam pasal 332 K.U.H.P. haruslah diartikan belum berumur 21 tahun.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22 Juni 1976 No. 120 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Lutfi Adi bin Mas Hadi.
dengan Susunan Majelis: 1. Hendrotomo SH. 2. Purwosunu SH. 3. Busthanul
Arifin SH.
209.    1.4. Istilah senjata tajam.
Buat seorang petani arit, cangkul dan parang adalah alat pekerjaan seharihari, yang
tidak dapat dianggap termasuk senjata tajam yang dimaksudkan oleh pasal 2
(1)Undang-undang Darurat No. 12 tahun 1951.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12-8-1976 No. 103 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Karnodji alias Pak Roesli.
dengan Susunan Majelis: 1. Purwosunu SH. 2. Palti Radja Siregar SH. 3.
Busthanul Arifin Sh.
210.    II.3. Pidana tambahan.
Mahkamah Militer Tinggi tidak salah menerapkan hukum dengan menghukum tertuduh
dengan pidana tambahan berupa: penghentian tidak dengan hormat dari ALRI dan
pencabutan hak untuk memasuki ABRI selama 3 (tiga) tahun.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7 Mei 1979 No. 230 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Simuh.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3.
Purwosunu SH.
211.    IV.3. Melawan hukum.
1. Azas “materiele wederrechtelijkheid” merupakan suatu “buitenwettelijke
uitsluitingsgrond”, suatu buitenwettelijke rechtsvaardigingsgrond” dan sebagai suatu
alasan yang buitenwettelijk sifatnya merupakan suatu “fait d’excuse” yang tidak tertulis,
seperti dirumuskan oleh doktrin dan yurisprudensi.
Sesuai dengan tujuan dan azas “materiele wederrechtelijkheid” suatu perbuatan yang
merupakan perbuatan pidana, tidak dapat dipidana apabila perbuatan tersebut adalah
sosial adequat.
2. Hasil seminar Hukum Nasional bukanlah sumber atau dasar hukum, terlepas dari
persoalan apakah bunyi resolusi Seminar Hukum Nasional tersebut mengandung azas
materiele wederrechtelijkheid atau tidak.
3. Azas materiele wederrechtelijkheid diakui oleh yurisprudensi dan perundang-undangan
tertentu (Undang-undang No. 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi).
4. Dalam hubungannya dengan azas materiele wederrechtelijkheid maka putusan P.T.
harus diperbaiki karena perbuatan tertuduh dinyatakan “bukan merupakan kejahatan
maupun pelanggaran”, sedangkan sebetulnya perbuatan tersebut adalah merupakan
kejahatan (memenuhi unsur-unsur formil), akan tetapi tertuduh tidak dapat dipidana.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 16-12-1976 No.81 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Ir. Moch. Otjo Danaatmadja, Bin Danaatmadja.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2.Z. Asikin Kusumah Atmadja
SH. 3.Purwosunu SH.
212.    IV.3. Melawan hukum.
Perbuatan tertuntut kasasi membongkar bangunan/rumah yang disewanya tanpa izin
dari pemiiknya, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena tertuntut kasasi
sebagai warga kota telah memenuhi instruksi Wali Kota Surabaya dengan membangun
kembali rumah tersebut, walaupun di dalam perintah ini tidak terdapat hubungan
jenjang jabatan antara atasan dengan bawahan sebagaimana dimaksud dalam pasal
51 K.U.H.P. melainkan terdapat hubungan hukum publik antara tertuntut kasasi dengan
Wali Kota.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1977 No. 95 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Ny. Toea Wang Ting alias Tutik Lawati.
dengan Susunan Majelis:
1.      Prof. Oemar Seno Adji SH.
2.      2. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
3.      3. Indroharto SH.
213.    IV.3. Pengaduan.
Karena perkara ini bukan mengenai detik aduan, terdakwa tetap dapat dituntut
sekalipun saksi yang mengadukannya telah mencabut pengaduannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 29 Januari 1979 No. 140 K/Kr/1978.
Dalam Perkara: Sukiya Santrapradja.
dengan Susunan Majelis:
1.      Busthanul Arifin SH.
2.      2. Purwosunu SH.
3.      3. Kabul Arifin SH.
214.    IV.3. Pengaduan.
Surat saksi yang ditujukan kepada Polisi, yang pada pokok suratnya menyebutkan
“sanggahan dan tuntutan”, merupakan suatu pengaduan dalam arti pasal 319 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11 April 1978 No. 35 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Tgk. Syahbuddin bin Hamzah dkk.
dengan Susunan Majelis: 1. Buthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
215.    V.4. Perencanaan.
Pengadilan Tinggi telah salah menafsirkan pasal 340 K.U.H.P. karena untuk menerima
adanya unsur “perencanaan” tidak tergantung pada ukuran waktu tertentu.
Putusan Mahkamah Agung tgl.21 Agustus 1978 No. 9K/Kr/1978.
Dalam Perkara: Nyata bin Asnata.
dengan Susunan Majelis: 1. Buthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
216.    VIII.2. Pengrusakan.
Menyebabkan rusaknya sebuah mobil taxi tidak termasuk dalam perumusan pasal 409
K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12 April 1978 No. 191 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: S. Abidin Situmorang.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
217.    VIII.9. Penghinaan terhadap Pemerintah atau terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.
Perbuatan “mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan” dalam
pasal 154 dan 156 K.U.H.P. diartikan oleh Mahkamah Agung sebagai pengeluaran
pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan dalam bentuk penghinaan
sebagaimana dimaksudkan dalam Titel XVI Buku Kedua K.U.H.P.
Pengertian tersebut sebagai pengeluaran pernyataan dalam bentuk penghinaan tidak
lagi memperkenankan suatu penafsiran secara luas dan tidak lagi menyinggung secara
jauh kebebasan materiil untuk menyatakan pendapat.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 14-7-1976 No. 71 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Saidun Usman.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Hendrotomo SH. 3.
Busthanul Arifin SH.
218.    VIII.9. Tanpa izin menjalankan pekerjaan yang harus dengan izin.
Menjalankan pekerjaan sebagai advokat bukanlah pekerjaan yang menurut peraturan umum
harus mempunyai izin.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12-2-1 979 No. 187 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Raden Djoko Soeroso.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
219.    XI.6. Perjudian.
Tertuduh yang telah menjual nomor buntutan, oleh Pengadilan Tinggi telah dengan
tepat dipersalahkan atas kejahatan termaksud dalam pasal 303 ke-2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9 Februari 1977 No. 26 K/Kr/1976.
Dalam Perkara : Eddy Boedijono
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
220.    XII.1. Penghinaan/pencemaran.
1. Putusan Pengadilan haruslah didasarkan pada tuduhan, yang dalam perkara ini
berdasarkan pasal 315 K.U.H.P. walaupun kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan
lebih banyak ditujukan pada pasal 310 K.U.H.P.
2. Berdasarkan tuduhan antara lain “bahwa P.T. Tjahaja Negeri telah ditutup terdakwa,
dan apabila mau menyaksikan kematian P.T. Tjahaja Negeri tersebut supaya datang
dan bila ada barang-barang yang dipinjamkan oleh P.T. Tjahaja Bank Gemary dan
barang-barang yang tanggungan P.T. Tjahaja Negeri agar segera diangkut demi
keamanan barang-barang tersebut “terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak
pidana pasal 315 K.U.H.P. meskipun kata-kata tersebut lebih banyak tertuju terhadap
pasal 310 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 16-12-1976 No. 68 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Koesmin Faqih BA.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Purwosunu SH. 3.
Busthanul Arifin SH.
221.    XII.1. Penghinaan.
Tindak pidana yang terbukti dilakukan tertuduh (pasal 134 K.U.H.P.) merupakan
“penghinaan formil”. Dengan dikeluarkannya ucapan tersebut sudah terjadi tindak
pidana “penghinaan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9 April 1979 No. 26 K/Kr/1978.
Dalam Perkara: Tan Ging Ing al. Soegijarto al Djiung.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
222.    XII.1. Pencemaran.
Menista dengan surat lebih merupakan penghinaan materiil dari pada penghinaan
formil.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 28 April 1979 No. 74 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Hoesin Joesoef.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Palti Radja Siregar SH 3.
Busthanul Arifin SH.
223.    XII.3. Fitnah.
Memasukkan pengaduan palsu kepada Kepala Desa merupakan tindak pidana
termaksud dalam pasal 317 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 15 Oktober 1979 No. 12 K/Kr/1979.
Dalam Perkara: Soeroto bin Sahuri.
dengan Susunan Majelis: 1.Busthanul Arifin SH. 2.Purwosunu SH. 3.Kabul Arifin SH.
224.    XII.4. Membuka rahasia.
Pasal 323 K.U.H.P. itu dapat berlaku bagi mereka yang bekerja dalam suatu
perusahaan tidak berdasar atas suatu persetujuan ataupun bahwa pasal tersebut
meliputi kewajiban untuk menyimpan rahasia yang tidak dipandang sebagai
pelaksanaan dan persetujuan yang bersangkutan.
Penguruslah yang dapat menentukan hal-hal khusus manakah yang tidak diberitahukan
dan dipandang sebagai rahasia yang harus disimpan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1977 No. 87K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Irawan Saputra alias Tan Hok Kim dk.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
225.    XIII.5. Melarikan wanita.
Kawin tidaknya tertuduh tidak membebaskan ia dari pasal 332 (1) K.U.H.P. yang
dituduhkan kepadanya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-4-1979 No. 33 K/Kr/1978
Dalam Perkara: Djoni Sumardjono
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
226.    XV.1. Pencurian.
Pengadilan Tinggi telah keliru menerapkan pasal 362 KUHP dengan
mempertimbangkan bahwa “timbul keragu-raguan siapa pemiliknya dengan tidak di-
putus soal perdatanya”, karena pasal 362 K.U.H.P. mencantumkan juga unsur “atau
sebagian termasuk kepunyaan orang lain”, sedang dalam perkara ini barangbarang
yang bersangkutan terbukti adalah warisan bersama dari pada terdakwa dan saksi
Salahuddin.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 30-10-1975 No.71 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Umareng Dg. Silasa dk.
dengan Susunan Majelis: 1. Palti Radja Siregar SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Busthanul
Arifin SH.
227.    XV.3. Penipuan.
Memakai merek yang telah terdaftar tidaklah merupakan suatu perbuatan menipu
sebagai termaksud dalam pasal 382 bis K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 21 Agustus 1978 No. 9 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Paulus Surjatika alias Tie Kam Poo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Busthanul Arifin SH 3.
Purwosunu SH.
228.    XXVII. Tindak pidana narkotik.
Memiiki obat bius berupa morphine bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
Ordonansi Obat Bius sebanyak tidak lebih dari 10 gram, merupakan pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7 Juli 1976 No.45 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Goei Khang Kee.
dengan Susunan Majelis: 1. Purwosunu SH. 2. Busthanul Arifin SH. 3. Kabul Arifin SH.
229.    XXX. Tindak pidana adat.
Tertuduh yang telah mengawini anak tirinya oleh Pengadilan Tinggi telah dengan tepat
dinyatakan bersalah melakukan kejahatan “Gamia gamana”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 5 Januari 1977 No. 11 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Njoman Gatera alias Pan Maku.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
230.    XXX. Tindak pidana adat.
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus perbuatan yang menurut
hukum adat dianggap sebagai perbuatan pidana yang mempunyai bandingannya dalam
K.U.H.P.
Delik adat zina merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara
pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan
seperti disyaratkan oleh pasal 281 K.U.H.P. ataupun terlepas dari persyaratan apakah
salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1977 No.93 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Zainabbun binti Muhammad dkk.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
231.    XXX. Penggunaan perumahan tanpa hak
Dengan keluarnya putusan Kepala Kantor Urusan Perumahan Surabaya yang telah
dikuatkan oleh Gubernur (yang mengakhiri lain penempatan gedung/persil oleh
tertuduh), dasar hak tertuduh untuk menempati gedung/persil tersebut tidak ada lagi,
sehingga tertuduh harus dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran termaksud dalam
pasal 20, 1 sub a P.P. No. 49/1963.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13 Agustus 1975 No. 165 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Soeseno Tedjo alias The Chung Sen.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.

Diposting oleh Aries Surya Buana, SH "AsB" di 17.35


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke Twitter

Anda mungkin juga menyukai