BAB I
Tidak dapat disangkal bahwa tugas darpada seorang hakim adalah berbeda, berlainan dari pada
tugas dan kewenangan dari pembentuk undang-undang. Dapat dikatakan bahwa baik hakim
maupun pembentuk undang-undang menentukan atau menetapkan hokum yang dapat diartikan
dalam arti yang berbeda pula. Pembentuk undang-undang membentuk hokum secara in abstracto
yaitu merumuskan peraturan hukum secara umu yang berlaku bagi semua orang yang tunduk
pada ketentuan undang-undang. Lain halnya kedudukan hakim, ia sebaliknya yaitu menetapkan
hukum secara in concreto dimana hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang
nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus.
Terkait hal ini, dalam pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah menggariskan tentang tugas hakim
sebagai berikut :
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan
dengan dalih, bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya.
Menurut pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 digariskan lebih lanjut tentang
kewajiban hakim, sebagai berikut :
Hakim sebagi penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Lebih lanjut dapat dikatakan disini, bahwa bagi hakim pidana berlaku pula asas “nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege ponali”, sebagaimana dapat ditarik dari isi ketentuan
pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menandung arti bahwa perbuatan apa
dan yang bagaimanakah yang dilarang diperbuat orang serta yang diancam dengan pidana barang
siapa yang melanggar larangan tersebut, diletkan sepenuhnya dalam kekuasaan pada (badan)
pementuk undang-undang pidana.
Akan tetapi dilain pihak, untuk menilai sereta selanjutnya menentukan apakah sesuatu kata
dalam perumusan ketntuan undang-undang pidana adalah jelas ataupun tidak hal itu harus
ditetapkan oleh hakim (pidana) sesuai tugas serta kewenangannya menetapkan hukum pidana
secara in concreto seperti apa yang telah digariskan dalam pasal 14 (1) tersebut diatas. Oleh
karena itu, kiranya tidak ada seorangpun yang menolak hak hakim pidana untuk menafsirkan
undang-undang pidana didalam rangka menjalankan tugas serta kewenangannya menerapkan
hukum pidana secara in concreto itu.
1. Merupakan suatu pertanggungan jawab dari hakim mengenai alasa-alasan yang menjadi
dasar putusannya itu terhadap masyarakat dan negara dalam kedudukannya sebagai alat
perlengkapan negara, yang dibuatnya dengan jalan menyusun pertimbangan putusan
tersebut.
2. Pertimbangan-pertimbangan itu harus merupakan keseluruhan yang lengkap, tersusun
secara sistematis dan satu sama lainnya mempunyai hubungan yang logis tidak ada
pertentangan (tegenstrijdigheid) satu sama lain (innerlijke tegenstrijdigheid),
pertentangan-pertentangan mana juga tidak boleh terdapat antara pertimbangan-
pertimbangan putusan dan dictum putusan.
3. Hakim harus menilai kekuatan pembuktian tiap alat bukti dan memberi kesimpulannya
mengenai soal terbukti atau tidaknya tuduhan terhadap si terdakwa.
4. Hakim dalam mempertimbangkan perkara adalah tidak bebas, melainkan terikat pada
hukum, undang-undang dan rasa keadilan, sehingga dengan demikian segala kesan bahwa
hakim bertindak sewenang-wenag sekaligus dapat dilenyapkan.
5. Hubungan antara dictum (amar) putusan dan pertimbangan adalah bahwa setiap bagian
dari dictum putusan harus didukung oleh pertimbangan tertentu.
Dengan demikian telah diketahui bahwa hakim dilarang secara tegas untuk menolak mengadili
suatu perkara (pidana) yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Sedangkan dilain
pihak haikm diwajibkan pula untuk menggali, mengikutidan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup didalam masyarakat.
Surat dakwaan menurut hukum acara pidana, sepertipun yang termuat dalam KUHAP jo
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 mempunyai peranan yang sangat penting, karena surat
dakwaan yang dibuat oleh Jaksa dalam kedudukannya sebagai Penuntut Umum menjadi dasar
pemeriksaan disidang pengadilan. Kemudian surat dakwaan itu menjadi pula dasar dari putusan
hakim (Majelis Hakim). Betapa pentingnya surat dakwaan itu dapat terlihat dari bunyi pasal 197
KUHP, dalam hal putusan pemidanaan, haruslah didasarkan kepada dakwaan sebagaimana
terdapat dalam surat dakwaan. Sebagai konsekuensi logis dari sifat dan hakikat surat dakwaan
digariskan dalam KUHAP seperti dikemukakan diatas, musayawarah-terakhir untuk mengambil
keputusan Majelis Hakim wajib mendasarkannya kepada isi surat dakwaan (pasal 182 ayat 4
KUHAP).
Dari hal tersebut diatas jelas kiranya bahwa betapa pentingnya peranan yang dijalankan oleh
surat dakwaan dalam proses pemeriksaan perkara pidan. Surat dakwaan dengan demikian
merupakan dasar hukum acar pidana, sehingga seorang terdakwa yang diajukan ke depan
persidangan atas dakwaan melakukan suatu kejahatan, akan diperiksa, diadili dan diputus atas
dasar surat dakwaan yang telah disusun secara terperinci dan jelas oleh Jaksa selaku Penuntut
Umum dan bukan oleh hakim seperti halnya diatur dalam HIR sebelum berlakunya Undang-
undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI.
Dalam pada itu, seperti halnya ditegaskan dalam Bab “memutuskan” dari Undang-undang No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP telah mencabut “Het Herziene Inlandsch Reglement” Stbl Tahun
1941 No. 44 jo Undang-undang No. 1 Tahun 1951 L.N 1951 Nomor 9 “sepanjang hal itu
mengenai hukum acara pidana”, sehingga atas dasar itu dalam tingkat banding, Pengadilan
Tinggi tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengubah atau merubah surat dakwaan, seperti
ditentukan dalam pasal 14 dari Undang-undang Darurat diaksud tersebut tadi. Dalam kaitan ini
MA dalam putusannya No. 589K/ Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984 menggariskan “Pengadilan
Tinggi tidak berhak merubah dakwaan”.
Karena pentingnya surat dakwaan ini didalam pemeriksaan perkara sehingga walaupun terdakwa
memang benar telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam dakwaan
Jaksa, akan tetapi apabila ternyata perbuatan-perbuatan yang didakwaan dalam surat dakwaan
Jaksa adalah tidak sesuai atau tidak selaras dengan teks aslinya dari rumusan delik yang
didakwakan telah dilanggar oleh terdakwa maka dakwaan itu harus dinyatakan “tidak dapat
diterima dan terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan”.
Dalam rangka pembahasan tentang surat dakwaan ini, perlu dikatahui bahwa menurut
pengetahuan dan juga yurisprudensi, surat dakwaan itu dapat disusun dan dirumuskan dala
beberapa bentuk, yakni :
1. Dakwaan Tunggal.
Hal ini disusun dalam bentuk paling sederhana dalam hal seseorang atau lebih terdakwa disangka
telah melakukan satu perbuatan atau satu tindak pidana saja. Misalnya melakukan tindak pidana
“pencurian” jo pelanggaran, pasal 362 KUHAP.
2. Dakwaan Alternatief.
Memang benar dalam dakwaan itu sendiri tercantum beberapa perbuatan tetapi yang harus dapat
dibuktikan adalah hanya satu perbuatan saja, dipilih diantara yang didakwakan itu satu
(perbuatan). Sehubungan dengan hal tersebut, dakwaan ini disebut pula “dakwaan pilihan”.
Dakwaan dengan cara ini dibuat dalam hal, Penuntut Umum ragu-ragu menerapkan pasal
manakah dari perbuatan yang dilakukan terdakwa itu paling tepat sehingga dapat dibuktikan
dalam persidangan nanti.
Dalam dakwaan alternatief ini masing-masing dakwaan akan saling mengecualikan satu sama
lain. Hakim akan memilih salah satu perbuatan yang didakwakan terbukti menurut keyakinannya
tanpa memeriksa dan memutus dakwaan lainnya.
3. Dakwaan Subsidair.
Seperti halnya apa yang dikemukakan diatas, dalam hal dapat diadakan pilihan diantara beberapa
perbuatan yang ddakwakan disebut pula pendakwaan secara alternatief atau subsidair. Didalam
praktek menurut Van Bemmelen kedua istilah ini seringkali dipergunakan secara campur aduk,
akan tetapi pada hakekatnya diantara kedua bentuk itu terlihat ada perbedaannya yaitu
pendakwaan secara alternatief dianggap sebagai pernyataan yang lebih luas dan mencakup pula
pendakwaan secara subsidair dalam arti sempit.
Dalam hal pendakwaan secara alternatief hakim harus melakukan pilihan, untuk selanjtnya ia
mempunyai kebebasan untuk menyatakan perbuatan sebagaimana dirumuskan kedua dinyatakan
sebagai terbukti tanpa terlebih dahulu adanya kewajiban untuk menyatakan perbuatan yang
pertama-tama didakwakan.
Lain halnya dalam hal pendakwaan subsidair dalam arti yang sesungguhnya, disini adanya
maksud atau tujuan dari perumusan dakwaan bahwa hakim pertama-tama harus memeriksa
perbuatan yang erdahulu dicantumkan dalam surat dakwaan, dakwaan primair itulah yang harus
diperiksa dan dalam hal dakwaan primair ini tidak dapat dibuktikan barulah diperiksa dakwaan
dibawahnya ataupun yang disebut “pendakwaan subsidair”.
4. Dakwaan Kumulatief.
Tidak ada satu ketentuanpun dalam KUHAP yang melarang diadakan pendakwaan lebih dari
satu perbuatan, sehubungan dengan hal itu ada kemungkinan beberapa perbuatan tidak ada
sangkut pautnya satu sama lain telah dilakukan seseorang pada saat-saat yang berlainan pula.
Umpamanya saja, seseorang telah melakukan pencurian pada bulan Juli dan berbuat penipuan
pada bulan Agustus dalam tahun yang sama, dalam hal yang demikian ini telah terjadi
“meerdaadsesamenloop” atau “perbarengan perbuatan”. Beberapa perbuatan diminta supaya
diadili secara sekaligus. Pada terdakawa dalam pendakwaan didakwakan beberapa (cumulatief)
perbuatan.
Pembuatan surat dakwaan diatas harus memenuhi dua syarat yang pokok yaitu :
Surat dakwaan mutlak harus berisi syarat-syarat formal ini, meskipun demikian, jika tidak
dipenuhi syarat-syarat formal ini, tidak diancam pembatalan.
Syarat-syarat formal dibuat dalam surat dakwaan adalah guna dapat meneliti “identitas”, apakah
benar terdakwa inilah yang harus dihadapkan ke sidang pengadilan ataukah orang lain. Yang
terpenting adalah bahwa surat dakwaan itu harus disampaikan kepada :
– Penyidik.
Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan bahwa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang
diberi tanggal dan ditandatangani, berisikan nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama serta pekerjaan tersangka.
Menurut ketentuan perundang-undangan, tidak dipenuhinya syarat materiil ini dalam dakwaan,
membawa akibat batalnya dakwaan.
Adapun syarat materiil ini adalah berupa “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan”.
Pentingnya penyebutan waktu dan tempat dlam surat dakwaan adalah untuk menentukan
pengadilan yang manakah yang berwenang mengadili dan juga untuk membuktikan ketika
terdapat alibi (berada ditempat lain) dari terdakwa saat dalam proses persidangan.
UMUM
1. I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
14. I.4. Pengertian “pegawai negeri “
15. I.4. Istilah “kekuasaan negara”.
16. I.4. Istilah “Inlands gebruiksrecht”.
17. I.4. Istilah “vervoermiddel” dalam pasal 9 R.O.
18. I.5. Berlakunya undang-undang.
19. I.5. Berlakunya undang-undang.
20. I.5. Hutang-piutang dan hukum pidana.
21. I.5. Perkara pidana dan sengketa perdata.
22. I.5.Amnesti dan abolisi
TENTANG PIDANA
23. II.1. Jenis pidana.
34. II.3. Hukuman bersyarat.
35. II.3. Pengurangan dengan masa tahanan
HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN, MERINGANKAN, MEMBERATKAN PIDANA
36. III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
50. IV.1.2. Kealpaan - Kesengajaan.
51. IV.2. Kesengajaan.
53. IV.3. Melawan hukum.
57. IV.4. Kesalahan.
PERCOBAAN, PENYERTAAN, CONCURSUS
58. V.1. Percobaan.
59. V.2 Penyertaan.
64. V.4. Gabungan tindak-tindak pidana.
65. V.4. Gabungan pelanggaran dan kejahatan.
66. V.4. Perbuatan lanjutan.
67. V.4. Perbuatan Ianjutan.
68. V.4. Omissie-delict.
69. V.4. Delik aduan.
70. V.4. Tempo mengajukan delik aduan.
HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT
DAN MENJALANKAN PIDANA
71. VI.1. Gugurnya hak untuk menuntut hukuman.
72. VI.1. Hapusnya kewenangan penuntutan pidana.
TINDAK PIDANA TERHADAP NEGARA
75. VII.5. Tindak pidana terhadap Kepala Negara.
TINDAK PIDANA YANG MEMBAHAYAKAN KETERTIBAN UMUM
76. VIII.3. Tindakan-tindakan yang membahayakan jiwa orang.
77. VIII .9. Penghinaan terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.
78. VIII.9. Penghinaan terhadap suatu golongan penduduk.
79. VIII.9. Pawai tanpa izin.
TINDAK PIDANA TERHADAP ALAT NEGARA/PENGUASA
80. IX.1. Penyuapan.
82. IX.5. Penghasutan.
83. IX.5. Pernyataan perasaan-perasaan yang memenuhi, membenci, atau menghina
Pemerintah.
85. IX.5. Penghinaan terhadap penguasa.
88. IX.5. Penghinaan kepada badan kekuasaan negara.
TINDAK PIDANA PEMALSUAN
89. X.1. Sumpah palsu.
90. X.4. Surat palsu.
92. X.4. Pemalsuan surat.
TINDAK PIDANA TERHADAP KESUSILAAN
101. XI.1. Perzinahan.
102. XI.3. Pornografi.
104. XI. Perjudian.
105. XI.10. Penganiayaan hewan.
106. XI.11. Perkawinan terlarang.
TINDAK PIDANA TERHADAP KEHORMATAN
108. XII.1. Penghinaan.
113. XII.1. Pengaduan palsu.
114. XII.3. Fitnah.
TINDAK PIDANA TERHADAP KEMERDEKAAN
115. XIII.4. Tindak pidana pemaksaan.
TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG
116. XIV.4. Menyebabkan mati/luka karena kelalaian.
119. XIV.5. Penganiayaan.
TINDAK PIDANA TERHADAP KEKAYAAN
120. XV.1. Pencurian.
121. XV2. Penggelapan.
137. XV.3. Penipuan.
141. XV.3. Penipuan - “Stellionaat”.
142. XV.3. Penipuan - “Stellionaat”.
143. XV.3. Penipuan.
144. XV.4. Penadahan.
149. XV.5. Pemerasan.
152. XV.6. Perusakan barang.
TINDAK PIDANA PENERBITAAN
153. XVI.1. Tindak pidana penerbitan.
TINDAK PIDANA JABATAN
154. XVII. Tindak pidana jabatan.
TINDAK PIDANA SUBVERSI
163. XIX. Tindak pidana subversi.
TINDAK PIDANA KORUPSI.
166. XX. Tindak pidana korupsi.
TINDAK PIDANA EKONOMI
173. XXI. Tindak pidana ekonomi.
TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM
193. XXII. Tindak pidana pemilihan umum.
TINDAK PIDANA LALU LINTAS
194. XXIII. Tindak pidana Ialu lintas.
TINDAK PIDANA IMIGRASI
195. XXIX. Tindak pidana imigrasi.
TINDAK PIDANA LAIN-LAIN
196. XXX. Tindak pidana perburuhan.
199. XXX. Pemakaian tanah perkebunan tanpa izin.
200. XXX. Mempunyai senjata api tanpa izin.
203. XXX. Menghambat program Pemerintah di bidang sandang pangan.
204. XXX. Tindak pidana perumahan.
206. XXX. Tindak pidana adat yang sesuai dengan ps. 436 K.U.H.P.
207. XXX. Tindak pidana bantuan hukum.
HUKUM PIDANA
208. 1.4. Istilah belum dewasa.
209. 1.4. Istilah senjata tajam.
210. II.3. Pidana tambahan.
211. IV.3. Melawan hukum.
213. IV.3. Pengaduan.
215. V.4. Perencanaan.
216. VIII.2. Pengrusakan.
217. VIII.9. Penghinaan terhadap Pemerintah atau terhadap suatu golongan penduduk
Indonesia.
218. VIII.9. Tanpa izin menjalankan pekerjaan yang harus dengan izin.
219. XI.6. Perjudian.
220. XII.1. Penghinaan/pencemaran.
221. XII.1. Penghinaan.
222. XII.1. Pencemaran.
223. XII.3. Fitnah.
224. XII.4. Membuka rahasia.
225. XIII.5. Melarikan wanita.
226. XV.1. Pencurian.
227. XV.3. Penipuan.
228. XXVII. Tindak pidana narkotik.
229. XXX. Tindak pidana adat.
231. XXX. Penggunaan perumahan tanpa hak
UMUM
1. I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Ketentuan pasal 1 ayat 2 K.U.H.P. berlaku juga dalam perkara yang sedang dalam
tingkat banding.
Dicabutnya Undang-undang Pengendalian Harga tahun 1948 dengan diganti dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 9 tahun 1962, bukanlah merupakan perubahan
perundang-undangan, karena prinsip bahwa harga-harga dan jasa dari barang-barang harus
diawasi tetap dipertahankan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-5-1970 No. 27 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Kwee Tjin Hok.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. Indroharto S.H.; 3. Busthanul
Arifin S.H.
2. I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Penggantian Undang-undang Deviezen tahun 1940 dengan Undang-undang tahun
1964 No. 32 tidak merupakan perubahan perundang-undangan dalam arti pasal 1 ayat
2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-3-1969 No. 136 K/Kr/1966.
Dalam Perkara : Jang Thung Ming alias Joung Tjoeng Jong.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H.; 2. M. Abdurrachman S.H.; 3.
Busthanul Arifin SH.; 4. Indroharto S.H.
3. I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Karena Undang-undang No. 17/1964 (tentang cheque kosong) telah dicabut dengan Undang-
undang No. 12/1971 dan terhadap terdakwa-terdakwa diperlakukan pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.,
terdakwa-terdakwa dilepaskan dari Segala tuntutan hukum.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 27-5-1972 No. 72 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : 1. Mohamad Tohan Iljas; 2. Wilson Hutauruk.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Sardjono S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. Z. Asikin
Kusumah Atmadja S.H.
4. I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Perubahan yang terjadi karena peraturan “Dekon” tidak merupakan perubahan dalam
perundang-undangan dalam arti pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-10-1963 No. 118 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Tjhia Kia Hin.
5. I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Perubahan nilai Rp. 25,- termaksud dalam pasal 364, 373, 379 dan 407 K.U.H.P.
menjadi Rp. 250,- berdasarkan P.P.P.U. No. 16 tahun 1960 merupakan suatu
perubahan dalam perundang-undangan dalam arti pasal 1 ayat 2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-2-1962 No. 93 K/Kr/1961.
Dalam Perkara : Hadisoemarta alias Sukadi.
6. I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Karena pada waktu perkara terdakwa diadili oleh Pengadilan Tinggi Ekonomi di
Semarang Undang-Undang Beras 1948 telah dicabut dengan Perpu No. 8 tahun 1962,
perbuatan terdakwa yang dilakukannya dalam tahun 1960-1961, berdasarkan pasal 1
ayat 2 K.U.H.P. tidak lagi merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-4-1963 No. 37 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Haji Mohamad Has.
7. I.2. Perubahan dalam perundang-undangan.
Karena berdasarkan keputusan Menteri Perdagangan tanggal 14 Maret 1963 semua
peraturan tentang kewajiban mengadakan catatan yang ditetapkan dalam atau
berdasarkan pasal 9 Prijsbeheersching verordening 1948 dicabut, maka perbuatan
terdakwa yang dilakukan dalam tahun 1959, pada waktu perkaranya diadili oleh
Pengadilan Tinggi Ekonomi Semarang pada bulan April 1963 berdasarkan pasal 1 ayat
2 K.U.H.P. tidak lagi merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 2-6-1946 No. 13 K/Kr/1946.
Dalam Perkara : Lie Tjan Tie.
TENTANG PIDANA
23. II.1. Jenis pidana.
Menambah jenis hukuman yang ditetapkan dalam pasal 10 K.U.H.P. tidak dibenarkan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-3-1970 No. 59 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : N. Berman Bangun.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Prof. Sardjono S.H., 3. Indroharto S.H.
24. II.1. Jenis pidana.
Pengadilan Negri sebagai Hakim Pidana tidak berwenang rnenjatuhkan putusan yang
lain dari pada yang ditentukan dalam pasal 10 K.U.H.P. sepertinya putusan yang
tersebut dalam dictum ke 3 yaitu :
“Menghukum lagi Tertuduh untuk rneninggalkan tanah/sawah terperkara naina
Djum/sawah Laukeibo guna pakai oleh saksi Pengadu”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 26-9-1970 No. 74 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Bangsa Ginting.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R Subekti S.H., 2. Indroharto S.H., 3. Z. Asikin Kusumah
Atmadja S.H.
25. II.1. Jenis pidana.
Dalam menjatuhkan hukuman bersyarat, Hakim dapat menetapkan sebagai syarat bahwa
terdakwa harus mengganti kerugian yang disebabkan karena tindak pidana yang telah
dilakukannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-5-1963.
Dalam Perkara : Ie Dwan Tjio.
26. II.1. Jenis pidana.
dalam perkara pidana Pengadilan tidak dapat menjatuhkan hukuman yang isinya : - Menghukum
terdakwa untuk meninggalkan tanah terperkara.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-5-1972 No. 11 K/Kr/1971.
Dalam Perkara : Suwe Karo2; Djedamin Karo2;
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Sardjono S.H., 2. lndroharto S.H., 3. Sri Widoyati Wiratmo
Sukito S.H.
27. II.1. Jenis pidana.
Hukuman tambahan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri: “Menghukum atas
tertuduh-tertuduh untuk meninggalkan hutan yang digarap guna dihijaukan kembali”
dan “Menghukum lagi atas tertuduh-tertuduh untuk membayar kerugian Negara masing-
masing besarnya 1/29 x Rp. 1.485.700,-” harus dibatalkan karena bertentangan dengan
pasal 10 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-8-1974 No. 61 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Terima Pinem dkk (29 orang).
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H., 2. Hendrotomo S.H., 3. Busthanul
Arifin S.H.
28. II.1. Jenis pidana.
Hakim Pidana tidak berwemang menetapkan ganti rugi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 6-6-1970 No. 54 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Selamet Sembiring.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. Subekti S.H., 2. D.H.Lumbanradja S.H., 3. Z. Asikin
Kusumah Atmadja S.H.
29. II.1. Jenis pidana.
Hukuman percobaan hanya dapat diberikan dalam hal dijatuhkan hukuman penjara
tidak lebih dari satu tahun.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 17-10-1970 No. 52 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Djai bin Murta.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Sri Widoyati Wiratmo Sukito S.H., 3.
Busthanul Arifin S.H.
30. II.1. Jenis pidana.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi : - bahwa Pengadilan dengan ponis
pidana menentukan siapa yang berhak atas tanah tersebut, sedang hal ini adalah
wewenang Hakim Perdata; bahwa disini Hakirn Pidana telah keliru menafsirkan
hukuman tambahan yang dimaksudkan oleh pasal 14 K.U.H.P.
Tidak dapat diterima, karena ketentuan yang dimaksudkan itu adalah bukan hukuman
tambahan, tetapi hukuman bersyarat dengan syarat khusus Sesuai dengan pasal 14 c.
K.U.H.P.
(Penuntut kasasi oleh Pengadilan Negeri dijatuhi hukuman bersyarat dengan syarat khusus : -
tertuduh harus mengembalikan tanah tersebut kepada saksi);
Putusan Mahkamah Agung tgl. 25-2-1975 No. 66 K/Kr/1974.
Dalam Perkara : Ludin Gultom; Rudolf Sianturi.
dengan Susunan Majelis : 1. Hendrotomo S.H., 2. Purwosumu S.H., 3. Busthanul Arifin
S.H.
31. II.1. Jenis pidana.
Bahwa dalam Pen. Pres. No. 5 tahun 1959 tidak disebutkan hukuman denda, tidaklah
berarti bahwa penambahan hukuman badan dengan hukuman denda tidak
diperkenankan lagi, karena Pen. Pres. tersebut hanya bermaksud mempertinggi
ancaman hukuman badan bagi semua tindak pidana ekonomi yang menghalangi
program Pemerintah.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12-6-1964 No. 193 K/Kr/1964.
Dalam Perkara :1. Gouw Wie Goan, II. Jo Kiem Seng.
32. II.1. Jenis pidana.
Dalam pasal 6 b Undang-undang Darurat No. 7/1955 dicantumkan dengan tegas bahwa
hukuman dapat berupa hukuman penjara dan hukuman denda atau salah satu dari dua
macam hukuman tersebut. (i.c. PengadilanTinggi menjatuhkan hukuman penjara).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-8-1971 No. 111 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Bachsan Kaharudin Lubis.
dengan Susunan Majelis :1. Prof. R. Subekti Si!., 2. Sri Widoyati Wiratino Sukito S.H., 3.
Busthanul Arifin S.H.
33. II.1. Jenis pidana.
Mobil yang dibeli oleh pemohon kasasi dengan sejumlah uang yang diterimanya sebagai hasil
dari tindak pidana yang dipersalahkan padanya, dapat dikatakan diperoleh, meskipun secara
tidak langsung, dari kejahatan sebagai ditentukan dalam pasal 39 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-11-1962 No. 125 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Mr. Lim Wam Too.
34. II.3. Hukuman bersyarat.
Adalah tidak tepat bila lamanya terdakwa berada dalam tahanan turut diperhitungkan dalam
hukuman bersyarat.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-12-1970 No. 148 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : Soejatmo Winoto Bagoes Doekoeh.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. D.H. Lumbanradja S.H., 3. Indroharto
S.H.
35. II.3. Pengurangan dengan masa tahanan
Pasal 32 dan 33 K.U.H.P. tidak mewajibkan, tetapi hanya mewenangkan Pengadilan yang
menjatuhkan hukuman penjara kepada Terdakwa yang ditahan sementara untuk mengurangkan
waktu tahanan sementara itu dari hukuman.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13-12-1960 No. 48 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Tambatua Simbolon.
HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN,
MERINGANKAN, MEMBERATKAN
PIDANA
36. III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Kekhilafan terdakwa mengenai sifat melawan hukum dari pada perbuatannya tidaklah
menghilangkan pertanggungan jawab kepidanaannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-3-1958 No. 263 K/Kr/1957.
Dalam Perkara : Kristian alias Ompu Sitorpa Marga Siagian.
37. III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Perbuatan penuntut kasasi menembak mati si korban tidak dapat dianggap sebagai
dilakukan demi pembelaan termaksud dalam pasal 49 K.U.H.P. karena menurut
Mahkamah Agung tidak ada keseimbangan antara serangan yang dilakukan oleh si
korban dengan perbuatan penuntut kasasi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-2-1959 No. 193 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Haji Hasjim bin Haji Derahman.
38. III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi : - bahwa pelanggaran itu (mengangkut
penumpang lebih dari maximum) dikarenakan terpaksa dan terdorong oleh rasa pribadinya ya’ni
ia setelah mengangkut penumpang maximum yang terdiri dan orang-orang biasa Ia
membolehkan seorang anggota tentara naik, tentara mana toch tentara negerinya yang ia kenal
bertugas di daerah itu dan tentara itu juga tidak dipungut bayaran.
Tidak dapat dibenarkan karena keberatan tersebut bukanlah dorongan yang bersandar pada “rasa
pribadi penuntut kasasi” dan merupakan “paksaan” termaksud dalam pasal 48 K.U.H.P. sehingga
perbuatan penuntut kasasi tetap merupakan tindak pidana.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 30-5-1961 No. 121 K/Kr/1960.
Dalam Perkara : Sae’oen bin Hoesen.
39. III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Suatu perintah dari Ketua Pengadilan Negeri kepada Panitera mengenai hal yang
terletak diluar lingkungan pekerjaannya sebagai panitera, bukanlah perintah yang
dimaksudkan dalam pasal 51 K.U.H.P. dan bagaimanapun juga penuntut kasasi
sebagai Panitera adalah satu-satunya yang bertanggung jawab atas penggunaan uang
kas Pengadilan Negeri tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7-7-1964 No. 166 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Boerhanoedin gelar Manah Soetan.
40. III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Perintah dari pimpinan R.M.S. kepada terdakwa tidak merupakan suatu perintah
jabatan yang dimaksudkan oleh pasal 51 K.U.H.P. karena perintah menurut pasal ini
harus diberikan oleh pembesar yang berwenang untuk itu.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9-2-1960 No. 181 K/Kr/1959.
Dalam Perkara : Marikin (Marthen) Lukulima.
41. III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : - bahwa penuntut kasasi tidak merasa bersalah karena
sebagai anggota Hansip ía hanya rnelakukan perintah dari Pamong Desa;
Tidak dapat dibenarkan karena perbuatan penganiayaan tidak tercakup dalam “perintah atasan”.
Dan keberatan yang diajukan penuntut kasasi: - bahwa sebagai Kamituwo ia berwenang
memerintahkan untuk menjaga keamanan desa;
Tidak dapat diterima karena wewenang dan tanggung jawab Kamituwo tidaklah meliputi
kewenangan melakukan perbuatan-perbuatan penganiayaan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 27-1-1971 No. 63 K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Moeslani dkk.
dengan susunan rnaielis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Busthanul Arifin S.H., 3. Sri Widoyati
Wiratmo Sukito S.H.
42. III.1. Hal-hal yang menghapuskan pidana.
Dalam “noodtoestand” harus dilihat adanya :
1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum.
2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban.
3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum.
PERCOBAAN, PENYERTAAN,
CONCURSUS
58. V.1. Percobaan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Bahwa ternyata merica putih, merica hitam,. karet sheet dan kopi Arabica tersebut masih ada
dalam gudang P.T. Megah di Jalan Sekip no.9 A Medan; diantaranya telah dimasukkan kedalam
goni bercampur dengan kopi Robusta;
Bahwa dengan demikian, walaupun tertuduh-tertuduh telah membuat surat instruksi
kepada P.T. Lampong Veem untuk rnengangkut kopi Robusta sesuai dengan izin
ekspor code B.no. 12147, perbuatan tertuduh-tertuduh baru berupa suatu perbuatan
pendahuluan (voorbereidingshandeling) dari percobaan mengekspor keluar Indonesia.
(Menurut Jaksa Agung, dengan sudah adanya “shipping instruction”, meskipun belum
ada penyerahan dokumen-dokurnen kepada pabean, perbuatan tertuduh-tertuduh
sudah merupakan permulaan pelaksanaan (“begin van uitvoering”).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 31-1-1968 No. 14 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Merhat Tarigan, 2. Lie Wie Giok, 3. Kho A Tjong dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
59. V.2 Penyertaan.
Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : - bahwa dalam perkara ini pelaku utamanya
tidak diadili;
Tidak dapat diterima, karena untuk memeriksa perkara terdakwa Pengadilan tidak perlu
rnenunggu diajukannya terlebih dahulu pelaku utama dalam perkara itu.
(i.c. Terdakwa dipersalahkan atas kejahatan “Sebagai Pegawai Negeri turut serta membujuk
orang lain melakukan penggelapan dalam jabatan”)
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-11-1969 No. 7 K/Kr/1969.
Dalam Perkara : 1. Robinson Pinem, 2. Dj. Damanik, 3. Pangulu Siahaan.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H., 2. Prof. SardjonoS.H., 3. Z.A. Kusumah
Atmadja S.H.
60. V.2. Penyertaan.
Perbuatan terdakwa II mengancam dengan pistol tidak memenuhi semua unsur dalam pasal 339
K.U.H.P. terdakwa I lah yang memukul si korban dengan sepotong besi yang mengakibatkan
rneninggalnya si korban.
Karena itu untuk terdakwa II kwalifikasi yang tepat adalah turut melakukan tindak
pidana (medeplegen) sedangkan pembuat materiilnya ialah terdakwa I.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 26-6-1971 No. 15/K/Kr/1970.
Dalam Perkara : Uding alias Saeful Bachri bin Haji Nuria.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Sardjono S.H., 2. Indroharto S.H., 3. Asikin Kusumah
Atmadja S.H.
61. V.2. Penyertaan.
Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi : - bahwa kesalahan penuntut kasasi tidak terbukti
karena kawan pelaku pencuri telah meninggal dunia sehingga penuntut kasasi tidak dapat
dinyatakan sebagai “medepleger” dari orang mati;
Tidak dapat dibenarkan, karena soal apakah terdakwa bersama orang lain melakukan tindak
pidana yang dituduhkan, harus disandarkan pada saat tindak pidana itu dilakukan dan apakah hal
termaksud di sidang dapat dibuktikan; bahwa kawan pesertanya kemudian meninggal dunia tidak
mempengaruhi hal tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12-5-1959 No. 52 K/Kr/l959.
Dalam Perkara : Setoe alias Sosetoe.
62. V.2. Penyertaan.
Menyuruh melakukan (doen plegen)” suatu tindak pidana, menurut ilmu hukum pidana
syaratnya adalah, bahwa orang yang disuruh itu menurut hukum pidana tidak dapat
dipertanggung jawabkan terhadap perbuatannya sehingga oleh karenanya tidak dapat
dihukum.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 1-12-1956 No. 137 K/Kr/1956.
Dalam Perkara : Djohan marga Ginting Munthe; Anwar.
63. V.2 Penyertaan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung :
Untuk tertuduh IV sebutan “memalsukan surat” lebih tepat diganti dengan istilah “memancing
pembuatan surat palsu” karena karya tertuduh IV dalam perkara ini ialah memberi keterangan-
keterangan atau bahan kepada tertuduh-tertuduh lainnya untuk membuat surat palsu tersebut.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-9-1968 No. 114 K/Kr/1967.
Dalam Perkara : 1. Sinaga Siregar, 2. Partoanan Harahap, 3. Sjafwi Datuk Penghulu
Hakim, 4. Go Jouw Chong.
dengan Susunan Majelis : 1. M. Abdurrachman S.H.; 2. Sardjono S.H., 3. Busthanul
Arifin S.H.
64. V.4. Gabungan tindak-tindak pidana.
Dalam hal gabungan tindak pidana mengenai beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh seorang
terdakwa dan diadili sekaligus, menurut pasal 70 K.U.H.P. untuk tiap pelanggaran harus diberi
hukuman tersendiri.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11-1-1960 No. 26 K/Kr/1958.
Dalam Perkara : Achmad Tohir.
65. V.4. Gabungan pelanggaran dan kejahatan.
Dalam hal ada gabungan pelanggaran dan kejahatan maka untuk tiap pelanggaran
dijatuhkan hukuman dengan tidak dikurangi.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 29-5-1962 No. 178 K/Kr/1962.
Dalam Perkara : Liem Swan Than.
66. V.4. Perbuatan lanjutan.
Penghinaan-penghinaan ringan yang dilakukan terhadap 5 orang pada hari-hari yang
berlainan tidak mungkin berdasar satu keputusan kehendak (wilsbesluit), maka tidak
dapat dipandang sebagai satu perbuatan dan tidak dapat atas kesemua perkaranya
diberikan satu putusan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 5-3-1963 No. 162 K/Kr/1962.
Dalam Perkara : Ny. Etty Achmad Sanubari.
67. V.4. Perbuatan Ianjutan.
Soal perbuatan lanjutan(”voortgezette handeling”) hanya mengenai soal penjatuhan
hukuman (straftoemeting) dan tidak mengenai pembebasan dari tuntutan;
Maka keberatan yang diajukan penuntut kasasi, bahwa perbuatan yang dituduhkan kepadanya
Dalam Perkara ini (perkara tanah G.G. di desa Sedati) merupakan suatu perbuatan lanjutan
(“voortgezette handeling”) dengan perbuatannya dalam perkara tanah G.G. di desa Tambak
Cemadi, sedang untuk itu ia telah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Sidoardjo tanggal 6
Maret 1962, tidak dapat dibenarkan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 28-4-1964 No. 156 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : M. Supardiman.
68. V.4. Omissie-delict.
Perbuatan yang dituduhkan pada penuntut kasasi, ialah tidak melaporkan pendirian perusahaan
kepada Jawatan Perburuhan, merupakan suatu omissie-delict yang berlaku terus menerus dan
dapat dituntut setiap waktu, sedang daluwarsa hanya bisa terjadi setelah ia berhenti sebagai
Notaris.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 24-8-1965 No. 173 K/Kr/1963.
Dalam Perkara : Anwar Mahajudin.
69. V.4. Delik aduan.
Keberatan yang diajukan pemohon kasasi bahwa perkara ini termasuk “delik aduan
yang absolut” maka harus ada pengaduan dari yang terhina dan dalam surat
pengaduan harus ada kata-kata permintaan agar peristiwa itu dituntut.
Tidak dapat diterima, karena klachtdelict tidak terikat pada bentuk yang tertentu (vormvrij).
Putusan Mahkamah Agung tgl. 3-2-1972 No. 76 K/Kr/1969.
Dalam Perkara :1. Baharmin Harefa, 2. Muhamad Nasir Hidayat Harefa.,
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Soebekti S.H., 2. Sri Widojati Soekito S.H., 3. Z.A. Kusumah
Atmadja S.H.
70. V.4. Tempo mengajukan delik aduan.
Dalam delik aduan, tempo yang dimaksud dalam pasal 74 ayat 1 K.U.H.P. dihitung
sejak yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan, bukan sejak ía
mengetahui benar /tidaknya perbuatan yang dilakukan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 15-2-1969 No. 57 K/Kr/1968.
Dalam Perkara : Kang Lip Tang.
dengan Susunan Majelis : 1. M. Abdurrachman S.H., 2. Prof. R.Sardjono S.H., 3. Z. Asikin
Kusumah Atmadja S.H.
TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM
193. XXII. Tindak pidana pemilihan umum.
Kwalifikasi tindak pidana yang dipersalahkan kepada pemohon kasasi, seorang W.N.I. bekas
anggota organisasi terlarang yang menanda tangani kartu pemilih Model A.1, tepatnya adalah:
“Sebagai W.N.I. bekas anggota organisasi terlarang rnencoba diberi hak untuk memilih dan
dipilih”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 8-1-1975 No. 64 K/Kr/1972.
Dalam Perkara: Mohd. Arief.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji S.H.; 2. RI. Asikin Kusumah
Atrnadja S.H., 3. Busthanul Arifin S.H.
HUKUM PIDANA
208. 1.4. Istilah belum dewasa.
Belum dewasa dalam pasal 332 K.U.H.P. haruslah diartikan belum berumur 21 tahun.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22 Juni 1976 No. 120 K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Lutfi Adi bin Mas Hadi.
dengan Susunan Majelis: 1. Hendrotomo SH. 2. Purwosunu SH. 3. Busthanul
Arifin SH.
209. 1.4. Istilah senjata tajam.
Buat seorang petani arit, cangkul dan parang adalah alat pekerjaan seharihari, yang
tidak dapat dianggap termasuk senjata tajam yang dimaksudkan oleh pasal 2
(1)Undang-undang Darurat No. 12 tahun 1951.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12-8-1976 No. 103 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Karnodji alias Pak Roesli.
dengan Susunan Majelis: 1. Purwosunu SH. 2. Palti Radja Siregar SH. 3.
Busthanul Arifin Sh.
210. II.3. Pidana tambahan.
Mahkamah Militer Tinggi tidak salah menerapkan hukum dengan menghukum tertuduh
dengan pidana tambahan berupa: penghentian tidak dengan hormat dari ALRI dan
pencabutan hak untuk memasuki ABRI selama 3 (tiga) tahun.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7 Mei 1979 No. 230 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Simuh.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3.
Purwosunu SH.
211. IV.3. Melawan hukum.
1. Azas “materiele wederrechtelijkheid” merupakan suatu “buitenwettelijke
uitsluitingsgrond”, suatu buitenwettelijke rechtsvaardigingsgrond” dan sebagai suatu
alasan yang buitenwettelijk sifatnya merupakan suatu “fait d’excuse” yang tidak tertulis,
seperti dirumuskan oleh doktrin dan yurisprudensi.
Sesuai dengan tujuan dan azas “materiele wederrechtelijkheid” suatu perbuatan yang
merupakan perbuatan pidana, tidak dapat dipidana apabila perbuatan tersebut adalah
sosial adequat.
2. Hasil seminar Hukum Nasional bukanlah sumber atau dasar hukum, terlepas dari
persoalan apakah bunyi resolusi Seminar Hukum Nasional tersebut mengandung azas
materiele wederrechtelijkheid atau tidak.
3. Azas materiele wederrechtelijkheid diakui oleh yurisprudensi dan perundang-undangan
tertentu (Undang-undang No. 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi).
4. Dalam hubungannya dengan azas materiele wederrechtelijkheid maka putusan P.T.
harus diperbaiki karena perbuatan tertuduh dinyatakan “bukan merupakan kejahatan
maupun pelanggaran”, sedangkan sebetulnya perbuatan tersebut adalah merupakan
kejahatan (memenuhi unsur-unsur formil), akan tetapi tertuduh tidak dapat dipidana.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 16-12-1976 No.81 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Ir. Moch. Otjo Danaatmadja, Bin Danaatmadja.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2.Z. Asikin Kusumah Atmadja
SH. 3.Purwosunu SH.
212. IV.3. Melawan hukum.
Perbuatan tertuntut kasasi membongkar bangunan/rumah yang disewanya tanpa izin
dari pemiiknya, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena tertuntut kasasi
sebagai warga kota telah memenuhi instruksi Wali Kota Surabaya dengan membangun
kembali rumah tersebut, walaupun di dalam perintah ini tidak terdapat hubungan
jenjang jabatan antara atasan dengan bawahan sebagaimana dimaksud dalam pasal
51 K.U.H.P. melainkan terdapat hubungan hukum publik antara tertuntut kasasi dengan
Wali Kota.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1977 No. 95 K/Kr/1973.
Dalam Perkara : Ny. Toea Wang Ting alias Tutik Lawati.
dengan Susunan Majelis:
1. Prof. Oemar Seno Adji SH.
2. 2. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
3. 3. Indroharto SH.
213. IV.3. Pengaduan.
Karena perkara ini bukan mengenai detik aduan, terdakwa tetap dapat dituntut
sekalipun saksi yang mengadukannya telah mencabut pengaduannya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 29 Januari 1979 No. 140 K/Kr/1978.
Dalam Perkara: Sukiya Santrapradja.
dengan Susunan Majelis:
1. Busthanul Arifin SH.
2. 2. Purwosunu SH.
3. 3. Kabul Arifin SH.
214. IV.3. Pengaduan.
Surat saksi yang ditujukan kepada Polisi, yang pada pokok suratnya menyebutkan
“sanggahan dan tuntutan”, merupakan suatu pengaduan dalam arti pasal 319 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 11 April 1978 No. 35 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Tgk. Syahbuddin bin Hamzah dkk.
dengan Susunan Majelis: 1. Buthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
215. V.4. Perencanaan.
Pengadilan Tinggi telah salah menafsirkan pasal 340 K.U.H.P. karena untuk menerima
adanya unsur “perencanaan” tidak tergantung pada ukuran waktu tertentu.
Putusan Mahkamah Agung tgl.21 Agustus 1978 No. 9K/Kr/1978.
Dalam Perkara: Nyata bin Asnata.
dengan Susunan Majelis: 1. Buthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
216. VIII.2. Pengrusakan.
Menyebabkan rusaknya sebuah mobil taxi tidak termasuk dalam perumusan pasal 409
K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12 April 1978 No. 191 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: S. Abidin Situmorang.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
217. VIII.9. Penghinaan terhadap Pemerintah atau terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.
Perbuatan “mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan” dalam
pasal 154 dan 156 K.U.H.P. diartikan oleh Mahkamah Agung sebagai pengeluaran
pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan dalam bentuk penghinaan
sebagaimana dimaksudkan dalam Titel XVI Buku Kedua K.U.H.P.
Pengertian tersebut sebagai pengeluaran pernyataan dalam bentuk penghinaan tidak
lagi memperkenankan suatu penafsiran secara luas dan tidak lagi menyinggung secara
jauh kebebasan materiil untuk menyatakan pendapat.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 14-7-1976 No. 71 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Saidun Usman.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Hendrotomo SH. 3.
Busthanul Arifin SH.
218. VIII.9. Tanpa izin menjalankan pekerjaan yang harus dengan izin.
Menjalankan pekerjaan sebagai advokat bukanlah pekerjaan yang menurut peraturan umum
harus mempunyai izin.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 12-2-1 979 No. 187 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Raden Djoko Soeroso.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
219. XI.6. Perjudian.
Tertuduh yang telah menjual nomor buntutan, oleh Pengadilan Tinggi telah dengan
tepat dipersalahkan atas kejahatan termaksud dalam pasal 303 ke-2 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9 Februari 1977 No. 26 K/Kr/1976.
Dalam Perkara : Eddy Boedijono
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
220. XII.1. Penghinaan/pencemaran.
1. Putusan Pengadilan haruslah didasarkan pada tuduhan, yang dalam perkara ini
berdasarkan pasal 315 K.U.H.P. walaupun kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan
lebih banyak ditujukan pada pasal 310 K.U.H.P.
2. Berdasarkan tuduhan antara lain “bahwa P.T. Tjahaja Negeri telah ditutup terdakwa,
dan apabila mau menyaksikan kematian P.T. Tjahaja Negeri tersebut supaya datang
dan bila ada barang-barang yang dipinjamkan oleh P.T. Tjahaja Bank Gemary dan
barang-barang yang tanggungan P.T. Tjahaja Negeri agar segera diangkut demi
keamanan barang-barang tersebut “terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak
pidana pasal 315 K.U.H.P. meskipun kata-kata tersebut lebih banyak tertuju terhadap
pasal 310 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 16-12-1976 No. 68 K/Kr/1973.
Dalam Perkara: Koesmin Faqih BA.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Purwosunu SH. 3.
Busthanul Arifin SH.
221. XII.1. Penghinaan.
Tindak pidana yang terbukti dilakukan tertuduh (pasal 134 K.U.H.P.) merupakan
“penghinaan formil”. Dengan dikeluarkannya ucapan tersebut sudah terjadi tindak
pidana “penghinaan”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9 April 1979 No. 26 K/Kr/1978.
Dalam Perkara: Tan Ging Ing al. Soegijarto al Djiung.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
222. XII.1. Pencemaran.
Menista dengan surat lebih merupakan penghinaan materiil dari pada penghinaan
formil.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 28 April 1979 No. 74 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Hoesin Joesoef.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Palti Radja Siregar SH 3.
Busthanul Arifin SH.
223. XII.3. Fitnah.
Memasukkan pengaduan palsu kepada Kepala Desa merupakan tindak pidana
termaksud dalam pasal 317 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 15 Oktober 1979 No. 12 K/Kr/1979.
Dalam Perkara: Soeroto bin Sahuri.
dengan Susunan Majelis: 1.Busthanul Arifin SH. 2.Purwosunu SH. 3.Kabul Arifin SH.
224. XII.4. Membuka rahasia.
Pasal 323 K.U.H.P. itu dapat berlaku bagi mereka yang bekerja dalam suatu
perusahaan tidak berdasar atas suatu persetujuan ataupun bahwa pasal tersebut
meliputi kewajiban untuk menyimpan rahasia yang tidak dipandang sebagai
pelaksanaan dan persetujuan yang bersangkutan.
Penguruslah yang dapat menentukan hal-hal khusus manakah yang tidak diberitahukan
dan dipandang sebagai rahasia yang harus disimpan.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1977 No. 87K/Kr/1974.
Dalam Perkara: Irawan Saputra alias Tan Hok Kim dk.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
225. XIII.5. Melarikan wanita.
Kawin tidaknya tertuduh tidak membebaskan ia dari pasal 332 (1) K.U.H.P. yang
dituduhkan kepadanya.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 23-4-1979 No. 33 K/Kr/1978
Dalam Perkara: Djoni Sumardjono
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
226. XV.1. Pencurian.
Pengadilan Tinggi telah keliru menerapkan pasal 362 KUHP dengan
mempertimbangkan bahwa “timbul keragu-raguan siapa pemiliknya dengan tidak di-
putus soal perdatanya”, karena pasal 362 K.U.H.P. mencantumkan juga unsur “atau
sebagian termasuk kepunyaan orang lain”, sedang dalam perkara ini barangbarang
yang bersangkutan terbukti adalah warisan bersama dari pada terdakwa dan saksi
Salahuddin.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 30-10-1975 No.71 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Umareng Dg. Silasa dk.
dengan Susunan Majelis: 1. Palti Radja Siregar SH. 2. Hendrotomo SH. 3. Busthanul
Arifin SH.
227. XV.3. Penipuan.
Memakai merek yang telah terdaftar tidaklah merupakan suatu perbuatan menipu
sebagai termaksud dalam pasal 382 bis K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 21 Agustus 1978 No. 9 K/Kr/1975.
Dalam Perkara: Paulus Surjatika alias Tie Kam Poo.
dengan Susunan Majelis: 1. Prof. Oemar Seno Adji SH. 2. Busthanul Arifin SH 3.
Purwosunu SH.
228. XXVII. Tindak pidana narkotik.
Memiiki obat bius berupa morphine bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
Ordonansi Obat Bius sebanyak tidak lebih dari 10 gram, merupakan pelanggaran.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 7 Juli 1976 No.45 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Goei Khang Kee.
dengan Susunan Majelis: 1. Purwosunu SH. 2. Busthanul Arifin SH. 3. Kabul Arifin SH.
229. XXX. Tindak pidana adat.
Tertuduh yang telah mengawini anak tirinya oleh Pengadilan Tinggi telah dengan tepat
dinyatakan bersalah melakukan kejahatan “Gamia gamana”.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 5 Januari 1977 No. 11 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Njoman Gatera alias Pan Maku.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Kabul Arifin SH. 3. Purwosunu SH.
230. XXX. Tindak pidana adat.
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus perbuatan yang menurut
hukum adat dianggap sebagai perbuatan pidana yang mempunyai bandingannya dalam
K.U.H.P.
Delik adat zina merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara
pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan
seperti disyaratkan oleh pasal 281 K.U.H.P. ataupun terlepas dari persyaratan apakah
salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 K.U.H.P.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1977 No.93 K/Kr/1976.
Dalam Perkara: Zainabbun binti Muhammad dkk.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH. 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.
231. XXX. Penggunaan perumahan tanpa hak
Dengan keluarnya putusan Kepala Kantor Urusan Perumahan Surabaya yang telah
dikuatkan oleh Gubernur (yang mengakhiri lain penempatan gedung/persil oleh
tertuduh), dasar hak tertuduh untuk menempati gedung/persil tersebut tidak ada lagi,
sehingga tertuduh harus dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran termaksud dalam
pasal 20, 1 sub a P.P. No. 49/1963.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 13 Agustus 1975 No. 165 K/Kr/1977.
Dalam Perkara: Soeseno Tedjo alias The Chung Sen.
dengan Susunan Majelis: 1. Busthanul Arifin SH 2. Purwosunu SH. 3. Kabul Arifin SH.