Anda di halaman 1dari 12

HAK ASASI MANUSIA TERSANGKA DAN TERDAKWA

Dosen :
Dr. Joko Widarto SH, MH

Anggota Kelompok:
Nahda Aulia Rachma (20220401144)
Fidrotun Nada Wijiyanti (20220401068)
Jeff Lee (20220401090)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II
A. Hak Atas Praduga Tidak Bersalah
B. Hak Untuk Mengajukan Praperadilan
C. Hak Penolakan Untuk Tidak Disiksa
BAB III
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara mengenai hak asasi manusia bagi tersangka dan terdakwa adalah bagian penting dari
sistem hukum yang berbasis pada prinsip-prinsip keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan
penghormatan martabat manusia. Bagi seseorang yang telah menjadi tersangka atau terdakwa
hak asasinya sebagai manusia dapat tidak dicabut begitu saja, namun ada Batasan terhadap hak
asasi manusia yang mereka punya. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk usaha untuk
mencegah terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para tersangka dan terdakwa,
maka berbagai aturan hukum telah dibentuk untuk meratifikasi instrument internasional HAM
yang berkaitan dengan tersangka/terdakwa. Tujuan dibentuknya aturan-aturan hukum tersebut
tidak lain untuk memberantas segala bentuk praktik penegakan hukum yang selalu memandang
para tersangka/terdakwa sebagai objek pemeriksaan sehingga dapat diperlakukan semena-mena.
Berbagai macam prinsip-prinsip yang dirancang untuk melindungi individu dari penyalahgunaan
kekuasaan oleh aparat penegak hukum dan juga untuk memastikan bahwa proses hukum
berlangsung dengan adil, proporsional, dan menghormati hak asasi manusia setiap individu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip hak atas praduga tak bersalah mempengaruhi proses penyelidikan
dan pengadilan dalam sistem hukum?
2. Apa yang dimaksud dengan Hak Mengajukan Praperadilan
3. Apa yang dimaksud dengan Hak Untuk Tidak Disiksa?
BAB II
PEMBAHASAN

A. HAK ATAS PRADUGA TAK BERSALAH

1. Pengertian Asas Hak Atas Praduga Tak Bersalah


Secara umum, asas praduga tidak bersalah bagi seorang tersangka dapat dipahami dengan cara
memberikan kesempatan kepada tersangka untuk mempertahankan kecurigaannya dan menghindari
tindakan sewenang-wenang. Tersangka bukanlah orang yang bertanggung jawab, tetapi orang yang
dikaitkan dengan kesalahan. Status tersangka menunjukkan bahwa ia tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya, perbuatan tersangka juga telah diatur
tersendiri dengan Undang-Undang, meskipun sebenarnya telah menaikkan statusnya sebagai pelaku
kejahatan. Asas praduga tak bersalah atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan presumption of innocence
merupakan istilah yang tidak asing dalam dunia hukum. Namun, meski cukup sering didengar, faktanya
masih banyak miskonsepsi dalam mengartikannya. Asas praduga tak bersalah bukan serta-merta berarti
menganggap orang “tidak bersalah”.
Dalam sistem Common Law, asas praduga tak bersalah merupakan syarat utama untuk menetapkan
bahwa suatu proses telah dilaksanakan secara jujur, adil, dan tidak memihak. Asas Praduga Tak Bersalah
sebagai asas hukum umum acara, berlaku di setiap proses berperkara di pengadilan, yaitu dengan
adanya kata “di hadapkan di depan pengadilan”, asas praduga tidak bersalah ini dapat di terapkan dalam
semua bentuk peradilan yang ada. Dalam Hukum Acara Pidana, asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence) dapat memberi pengaruh dalam hal pembuktian. Setiap kesalahan harus dibuktikan terlebih
dahulu, oleh karena itu kepada tersangka tidak dapat dipaksakan untuk memberikan keterangannya atau
untuk mengakui kesalahannya.
Disamping itu asas praduga tak bersalah, pada hakikatnya merupakan salah satu cara agar penegak
hukum (penyidik) dapat melaksanakan tugasnya tidak menyimpang dari peraturan hukum yang
berlaku.Tersangka berhak mendapat ganti rugi, pemulihan nama baik, atau rehabilitasi jika asas praduga
tak bersalah dilanggar. Tuntutan ganti rugi hanya dapat dilakukan setelah melalui prosedur praperadilan
untuk mendapatkan putusan hakim. Dalam praktiknya, asas praduga tak bersalah sering diabaikan,
terutama dalam upaya pencegahan kejahatan, sehingga Asas praduga tidak bersalah dianggap sebagai
konsekuensi dari kedudukan hukum seseorang, dimana orang tersebut dianggap tidak bersalah secara
hukum (legal guilt).
Asas praduga Tidak Bersalah juga diatur dalam beberapa Undang-Undang, Contohnya dalam
beberapa pasal berikut.
1. Asas praduga tidak bersalah dinormakan dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia pada pasal 18 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang ditangkap,
ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak
bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan
diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan”.
2. Undang-Undang No.48 Tahun 2009 dalam pasal 8 ayat (1) bahwa “Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyataka kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”.

3. Undang-undang Kekuasan Kehakiman Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”.

2. Penerapan Asas Hak Atas Praduga Tak Bersalah


Pemberlakuan/penerapan asas praduga tak bersalah dalam hukum acara pidana yang berlaku di
Indonesia menganandung 2 (dua) tujuan, disatu sisi untuk memberikan perlindungan dan jaminan
terhadap seseorang yang dituduh telah melakukan suatu tindak pidana, disisi lainya asas praduga tak
bersalah menjadi pedoman bagi penegak hukum (penyidik) dalam melaksanakan tugas pemeriksaan tidak
melakukan tindakan yang sewenang-wenang yang dapat dikatagorikan melanggar hak-hak tersangka.
Dalam proses pengadilan, asas praduga tak bersalah berkaitan dengan kedudukan yang tidak seimbang
antar tersangka/terdakwa dengan aparat hukum sehingga di khawatirkan terjadi Tindakan sewenang-
wenang dari apparat hukum tersebut. Kedudukan tidak seimbang dalam perkara pidana memungkinkan
terjadinya perlakuan sewenang -wenang dari aparat hukum terhadap tersangka atau terdakwa
yang di anggap telah melanggar kepentingan umum dalam proses pemidanaan sebagai orang yang
bertanggung jawab atas terjadinya ketidak seimbangan tatanan dalam masyarakat akibatadanya
pelanggaran hukum.
Penggunaan cara kekerasan dalam proses pemidanaan oleh polisi sebagaimana juga di
kemukakan oleh Rahardjo dalam penelitiannya bahwa polisi masih sering menggunakan kekerasan untuk
mendapatkan pengakuan atas keterangan dari tersangka, membuat asas praduga tak bersalah dalam
perkara pidana sangat di utamakan di banding dengan perkara lainnya. Tersangka atau terdakwa yang
dituduh melakukan tindak pidana tetapi tidak dapat diperlakukan sebagai orang yang bersalah meskipun
telah ditangkap atau ditahan menurut hukum yang berlaku menganut asas praduga tak bersalah.
Akibatnya, hak asasi tersangka/terdakwa harus ditegakkan oleh semua pihak, termasuk aparat penegak
hukum.

3. Penyimpangan dan Cara Mencegah Terjadinya Penyimpangan Asas Hak Atas


Praduga Tak Bersalah
Namun seiring berjalannya waktu Perundang -undangan yang berlaku dapat menjadi faktor
timbulnya penyimpangan implementasi asas praduga tidak bersalah. Hal ini dapat kita ketahui
contohnya dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang -Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyebutkan bahwa “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan”. Tidak di perlukan pemeriksaan dan acara secara berbelit -belit yang menyebabkan proses
sampai bertahun-tahun, atau bahkan harus dilanjutkan oleh para ahli waris pencari keadilan tersebut.
Biaya ringan artinya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terpikul oleh kalangan yang
tidak mampu. Ini semua dengan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan
keadilan. Untuk dapat mewujudkan konsep tersebut, hakim seringkali berusha untuk
memperoleh pengakuan dari terdakwa. Pengakuan bahwa terdakwa memang benar telah melakukan
tindak pidana. Apabila terdakwa telah mengaku, maka proses persidangan akan cepat selesai. Namun
menurut KUHP, bukan pengakuan yang diharapkan dari terdakwa yang dapat di jadikan motif
utama penjatuhan vonis, akan tetapi keterangan mengenai segala sesuatu yang di ketahui di lakukan
oleh terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang telah dituduhkan kepadanya.
Penyimpangan-penyimpangan terjadi secara sistematis baik dari tataran aparat penegak hukum
hingga logika hukum yang menjadi dasar asas praduga tidak bersalah. Asas praduga tidak bersalah
merupakan bagian tak terpisahkan dari prinsip due process of law, prinsip sue process of law
didasari atas konsep hukum tentang keadilan. Secara procedural merupakan suatu proses prosedur
formil yang adil, logis, dan layak, yang harus di jalankan oleh yang berwenang seperti
kewajiban membawa surat perintah yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas,
kesempatan yang layak untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara, atau
menganjurkan penyelesaian perkara dengan jalur alternatif, menghadirkan saksi -saksi yang cukup,
memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus
di lakukan manakala berhadapan dengan hal -hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran
terhadap hak -hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, hal atas kemerdekaan, hak atas
kepemilikan benda, hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak, hak atas privasi, dan hak -
hak fundamental lainnya. Sedangkan secara substantive, due process of law adalah suatu persyaratan
yuridis yang menyatakan bahwa pembentukan suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal
yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil dan tidak manusiawi.
Praduga tersebut selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau
pidana denda. Karena proses pemeriksaan pengadilan yang adil dan imparsial telah di lalui
terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis
hakim atas dasar alat -alat bukti yang disampaikan di persidangan dan keterangan saksi -saksi telah
memunculkan keyakinan hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materil maupun immaterial. Cooter dan
Ulen menegaskan perbedaan konsep asas praduga tak bersalah dengan membandingkan standar
pembuktian dalam sistem hukum Common Law dengan Civil Law. Secara garis besar, Common
Law menganut standar pembuktian yang tinggi, standar yang tinggi yang di maksud adalah untuk
memastikan semua fakta hukum sebelum di vonis agar tidak terjadi kekeliruan vonis, seperti
menuntut dan memvonis bersalah seseorang yang sebenarnya tidak bersalah. Standar tinggi
sistem pembuktian tersebut justru untuk menempatkan keseimbangan bagi kepentingan tersangka
atau terdakwa. Sebaliknya dalam sistem hukum Civil Law berpandangan bahwa seorang
tersangka / terdakwa sudah di nyatakan bersalah kecuali di buktikan sebaliknya. Dasar rasional
dari pandangan tersebut adalah jaksa penuntut umum tidak akan membawa seorang tersangka atau
terdakwa ke hadapan pengadilan kecuali telah yakin akan kesalahan mereka.

B. HAK MENGAJUKAN PRAPERADILAN


1) Pengertian Praperadilan
Praperadilan adalah proses hukum yang memberikan wewenang kepada Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutuskan apakah suatu penangkapan atau penahanan, permintaan ganti rugi atau
rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya, pihak lain, atau kuasanya adalah sah atau tidak.
Selain itu, praperadilan juga melibatkan penilaian sah atau tidaknya penyitaan barang bukti. Praperadilan
pada dasarnya merupakan mekanisme hukum yang memungkinkan Pengadilan Negeri untuk melakukan
fungsi pengawasan, terutama ketika terdapat dugaan bahwa penyidik atau penuntut umum telah
menggunakan upaya paksa terhadap tersangka.Tujuan utama dari praperadilan adalah untuk menegakkan
hukum, keadilan, dan kebenaran dalam sistem peradilan pidana. Proses ini memberikan kesempatan bagi
pihak-pihak yang merasa dirugikan atau meragukan tindakan penegakan hukum yang telah dilakukan
terhadap mereka untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri guna mendapatkan penilaian
independen terhadap sah atau tidaknya tindakan tersebut (Wulandari, 2015).

2) Dasar Hukum Praperadilan


Dasar hukum Praperadilan adalah Pasal 77 sampai dengan Pasal 87 KUHAP, yang memberikan
landasan hukum untuk pengajuan permohonan praperadilan dalam sistem peradilan di Indonesia. Selain
itu, perlu dicatat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 juga memiliki
peran penting dalam mengembangkan kewenangan praperadilan. Putusan tersebut secara signifikan
memperluas cakupan praperadilan dengan memungkinkan pemeriksaan terhadap sah atau tidaknya
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan oleh aparat penegak hokum (Afandi, 2016). Dengan
demikian, praperadilan telah menjadi alat yang lebih kuat untuk melindungi hak individu dan menjaga
proses hukum yang adil di negara ini.

3) Proses Pengajuan Praperadilan


Proses pengajuan Praperadilan dimulai dengan langkah awal mengajukan permohonan ke
Pengadilan Negeri. Dalam tahap ini, pemohon harus memastikan bahwa permohonan yang diajukan
memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Setelah permohonan telah diterima oleh Pengadilan Negeri, proses berlanjut dengan tahap
pemeriksaan. Pengadilan Negeri akan melakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah permohonan
yang diajukan dapat diterima atau tidak (Kurniawan et al., 2023).
Apabila Pengadilan Negeri menilai bahwa permohonan tersebut memenuhi syarat dan dapat
diterima, selanjutnya Pengadilan Negeri akan melanjutkan proses dengan memeriksa validitas dari
penangkapan atau penahanan yang menjadi inti dari permohonan Praperadilan. Selain itu, Pengadilan
Negeri juga akan memeriksa permintaan ganti rugi atau rehabilitasi, serta penyitaan barang bukti yang
mungkin terkait dengan kasus tersebut. Penting untuk dicatat bahwa jika suatu perkara telah dimulai
diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dan proses pemeriksaan terkait permohonan kepada praperadilan belum
selesai, maka permohonan praperadilan tersebut akan gugur (Kurniawan et al., 2023). Hal ini
menunjukkan bahwa proses Praperadilan merupakan sebuah tahapan penting dalam sistem peradilan
pidana yang memungkinkan pihak yang merasa hak-haknya terlanggar untuk menguji legalitas
penangkapan atau penahanan sebelum masuk ke proses persidangan yang lebih lanjut.

4) Manfaat dan Tujuan Praperadilan


Manfaat dan tujuan Praperadilan adalah sebagai berikut (Rusman Sumadi, 2021):
a. Melindungi hak asasi manusia: Praperadilan merupakan wewenang Pengadilan
Negeri untuk melakukan fungsi pengawasan terutama dalam hal dilakukan upaya
paksa terhadap tersangka oleh penyidik atau penuntut umum. Pengawasan tersebut
ditujukan agar aparat penegak hukum tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan
tugasnya
b. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan: Praperadilan dapat mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya
c. Memberikan perlindungan hukum: Praperadilan memberikan perlindungan hukum
bagi seseorang yang merasa hak-haknya telah dilanggar oleh aparat penegak hokum
d. Menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran: Praperadilan bertujuan untuk
menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan.

C. HAK UNTUK TIDAK DI SIKSA

1) Pengertian Hak untuk Tidak Disiksa

Hak untuk Tidak Disiksa adalah salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh undang-undang
di Indonesia. Hak ini memiliki peran penting dalam melindungi individu dari tindakan penyiksaan yang
dapat dilakukan oleh petugas atau anggota Polri. Pelanggaran terhadap hak ini bisa terjadi pada tahap
penyidikan, ketika penyidik melakukan tindakan-tindakan yang melanggar prinsip-prinsip hak asasi
manusia, seperti pemaksaan atau tindakan kekerasan fisik terhadap tersangka. Perlindungan hak untuk
tidak disiksa adalah langkah penting dalam memastikan bahwa proses hukum di Indonesia berlangsung
dengan adil dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia (Darwis, 2020, p. 19).

2) Dasar Hukum Hak untuk Tidak Disiksa

Dasar hukum Hak untuk Tidak Disiksa merujuk pada Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang secara
tegas menyatakan bahwa "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun." Hal ini menegaskan bahwa hak untuk tidak disiksa adalah hak
asasi manusia yang mutlak dan tak terpisahkan, yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara dalam
segala kondisi. (Laia, 2021). Selain itu, Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga
menekankan pentingnya hak ini dengan menggarisbawahi bahwa setiap individu memiliki hak untuk
dilindungi dari tindakan penyiksaan, sehingga memberikan landasan hukum yang kuat untuk melindungi
individu dari perlakuan yang merendahkan martabat dan integritas manusia (Jufri, 2017).

3) Proses Hukum Hak untuk Tidak Disiksa

Proses hukum untuk melindungi Hak untuk Tidak Disiksa dimulai dengan langkah pertama, yaitu
pengajuan laporan atau pengaduan oleh korban atau pihak terkait kepada pihak berwenang yang
berwenang, seperti Polri atau Komnas HAM. Setelah laporan atau pengaduan diterima, pihak berwenang
akan segera memulai proses penyelidikan mendalam terhadap kasus tersebut, dengan tujuan untuk
mengumpulkan bukti dan informasi yang diperlukan. Jika dalam proses penyelidikan ditemukan bukti
yang cukup untuk mendukung tuduhan pelanggaran Hak untuk Tidak Disiksa, maka pelaku atau pelaku-
pelaku tersebut akan diadili dalam sistem peradilan yang berlaku. Dalam pengadilan, mereka akan
diberikan kesempatan untuk membela diri, dan apabila terbukti bersalah, mereka akan dikenakan sanksi
sesuai dengan hukum yang berlaku sebagai upaya untuk menghindari dan menghukum tindakan
penyiksaan serta memastikan perlindungan hak asasi manusia yang lebih luas (Lady et al., 2021).
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Hak Atas Praduga Tidak
Bersalah, Hak Mengajukan Praperadilan dan Hak untuk Tidak Disiksa adalah instrumen penting dalam
menjaga dan melindungi hak asasi manusia di Indonesia. Ketiganya berperan dalam mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum dan memberikan perlindungan hukum bagi
individu. Secara procedural Hak Atas Praduga Tak Bersalah merupakan suatu proses prosedur formil
yang adil, logis, dan layak, yang harus di jalankan oleh yang berwenang seperti kewajiban membawa
surat perintah yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela
diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara, atau menganjurkan penyelesaian perkara dengan
jalur alternatif, menghadirkan saksi -saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan
proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus di lakukan manakala berhadapan dengan hal -
hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak -hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup,
hal atas kemerdekaan, hak atas kepemilikan benda, hak untuk mendapatkan penghidupan yang
layak, hak atas privasi, dan hak -hak fundamental lainnya. Hak Mengajukan Praperadilan memungkinkan
pengawasan terhadap tindakan aparat penegak hukum yang melanggar hak asasi manusia. Pengawasan
tersebut ditujukan agar aparat penegak hukum tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya,
Mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya,
Memberikan perlindungan hukum bagi seseorang yang merasa hak-haknya telah dilanggar oleh aparat
penegak hukum, Praperadilan bertujuan untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui
sarana pengawasan. Sementara Hak untuk Tidak Disiksa melindungi individu dari tindakan penyiksaan.
Dasar Hukum Hak untuk Tidak Disiksa merujuk pada Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang secara tegas
menyatakan bahwa "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun". Dalam proses Hukum Hak untuk Tidak Disiksa merupakan proses
hukum untuk melindungi Hak untuk Tidak Disiksa dimulai dengan mengajukan laporan atau pengaduan
oleh korban atau pihak terkait kepada pihak berwenang yang berwenang, seperti Polri atau Komnas
HAM. Ketiga hak ini memiliki dasar hukum yang kuat dan proses hukum yang memastikan perlindungan
hak-hak individu. Dengan memahami dan menjalankan hak-hak ini dengan baik, diharapkan masyarakat
dan aparat penegak hukum dapat bersama-sama memastikan penghormatan dan perlindungan yang lebih
baik terhadap hak asasi manusia di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Putrajaya, N. S. (2016). Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Proses
Peradilan Pidana. Diponegoro Law Journal, 5(4), 1-13.

Johansyah, J. ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM PROSES PENYIDIKAN.

Ramadhanti, D. (2018). Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah dalam Penyidikan Pelaku Tindak Pidana
Terorisme.

Afandi, F. (2016). PERBANDINGAN PRAKTIK PRAPERADILAN DAN PEMBENTUKAN


HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN DALAM PERADILAN PIDANA INDONESIA.
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 28(1), 93.
https://doi.org/10.22146/jmh.15868

Darwis, N. (2020). PERLINDUNGAN DAN PENGHORMATAN HAK NARAPIDANA DI MASA


PANDEMI COVID 19. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 11(1).
https://doi.org/10.35968/jh.v11i1.649

Jufri, M. (2017). NUANSA MAQHASID AL-SYARIAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 39


TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA. Istinbath : Jurnal Hukum, 14(1), 1.
https://doi.org/10.32332/istinbath.v14i1.735

Kurniawan, E., Shophan, A., & Suprapto. (2023). Jangka Waktu Pengajuan Pra Peradilan terhadap Objek
Penghentian Penyidikan. JIMPS, 8(3). https://doi.org/10.24815/jimps.v8i3.26299

Lady, M. A., Anugrah, R., Monalisa, & Wahyu, A. J. (2021). KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL
HAM DALAM KONSTITUSI DAN KETATANEGARAAN. Siyasah: Jurnal Hukum
Tatanegara, 1(1). https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/siyasah/article/view/3752

Laia, L. D. (2021). PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENERAPAN HUKUMAN MATI PADA


TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA. Jurnal Panah Keadilan, 1(1).

Prasetyo, D., & Herawati, R. (2022). Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Dalam Konteks Penegakan
Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Tersangka di Indonesia. Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia, 4(3), 402–417. https://doi.org/10.14710/jphi.v4i3.402-417

Rusman Sumadi. (2021). Praperadilan Sebagai Sarana Kontrol Dalam Melindungi Hak Asasi Manusia
(HAM) Tersangka. Jurnal Hukum Sasana, 7(1), 149–162.
https://doi.org/10.31599/sasana.v7i1.597
Wulandari, S. (2015). KAJIAN TENTANG PRAPERADILAN DALAM HUKUM PIDANA. Jurnal
Ilmiah Serat Acitya, 4(3). http://dx.doi.org/10.56444/sa.v4i3.160

Anda mungkin juga menyukai