Penyidikan
A. Pendahuluan
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan.1
1
KUHAP Pasal 1 angka 1
2
KUHAP Pasal 1 angka 2
1
Tujuan dibuatnya sebuah aturan adalah agar pihak kepolisian dapat
melaksanakan tugas dan kewajiban dengan baik dan benar. Namun tidak
jarang seorang polisi juga melakukan tindakan-tindakan penyimpangan,
terutama ketika proses penyidikan kepada tersangka.
Mereka yang dinyatakan sebagai tersangka pelaku tindak kejahatan
juga dapat menjadi korban pelanggaran HAM. Hal itu terjadi jika mereka
mengalami penyiksaan selama dalam proses penyidikan ataupun dalam
pembuatan Berita Acara Penyidikan.
B. Pembahasan
1. Kekerasan dalam penyidikan
Secara normatif penyidik memiliki tugas dan wewenang untuk
mencari dan mengumpulkan bukti, dimana bukti itu digunakan untuk
mencari terrsangkanya, namun memang benar dikatakan apabila penyidik
memiliki kewenangan diskresi. Perlu diketahui bersama bahwa di sisi lain
tersangka juga memiliki hak yang dilindungi oleh undang-undang
diantaranya hak untuk tidak dipaksa, tidak ditekan dan tidak disiksa dalam
memberikan keterangan.
Salah satu hak tersangka yang sering dipermasalahkan adalah hak
untuk memilih menjawab atau tidak menjawab pertanyaan yang diajukan
penyidik, penuntut umum dan hakim. Yang banyak dipermasalahkan di
2
tingkat penyidikan adalah apakah tersangka berhak untuk menjawab
pertanyaan penyidik. Di Inggris berlaku hak untuk tidak menjawab,
bahkan sangat ketat. Pemeriksa harus mulai dengan mengatakan kepada
the suspect bahwa ia mempunyai hak untuk diam, tidak menjawab
pertanyaan.3
Penyidik seringkali berlaku semena-mena ketika proses penyidikan
terhadap tersangka. Penyidik kerap bertindak kekerasan agar tersangka
mengakui perbuatan yang diduga atas perbuatannya atau bahkan bukan
perbuatannya jika itu adalah salah tangkap. Padahal hal itu jelas-jelas
dilarang dalam undang-undang yakni dalam Pasal 53 poin h Peraturan
Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri. KUHAP juga mengatur mengenai
perlindungan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan perkara pidana.
Hak-hak tersebut diatur dalam Bab VI (Pasal 50 sampai dengan Pasal 68)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
3
Dinda Dinanti, Yuliana Yuli W, “Perlindungan Hukum atas Hak-Hak Tersangka pada
Proses Penyidikan Perkara Pidana dalam Prespektif Hak Asasi Manusia”, Magister
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
3
penyiksaan dilakukan terhadap mereka mulai dari pukulan, tendangan
sampai setrum listrik. Dan sudah bisa diduga, polisi menyangkal semua
pengakuan mereka.4
4
Hukum Online, “Kekerasan Dalam Penyidikan”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2037/kekerasan-dalam-penyidikan, diakses
pada tanggal 30 mei 2020
5
Aghnia Adzkia, “Polisi Dituntut Tuntaskan Kasus Penyiksaan Saat Penyidikan”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150111153244-12-23842/polisi-dituntut-
tuntaskan-kasus-penyiksaan-saat-penyidikan?, diakses pada tanggal 30 mei 2020
6
Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2014 Tentang Tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan
Tindak Pidana
4
Pada Pasal 7 African Charter on Human and People’s Rights,
Pasal 8 American Convention on Human Rights dan Pasal 6 European
Charter on Human Rights dimana Instrumen Internasional yang tersebut
diatas menjamin prinsip fair trial yang terjamin dalam sistem peradilan
sejak proses investigasi sampai dengan putusan akhir. Fair trial tercakup
didalamnya:
e. Hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan hak untuk bebas dari
penyiksaan;
5
l. Hak untuk tidak dipaksa mengatakan yang akan menjerat dirinya atau
hak untuk diam;
u. Hak untuk diam atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya;
v. Hak untuk menjaga berkas pemeriksaan (tetap rahasia) atau The Duty to
Keep Records of Interrogation;
7
Dinda Dinanti, Yuliana Yuli W, “Perlindungan Hukum atas Hak-Hak Tersangka pada
Proses Penyidikan Perkara Pidana dalam Prespektif Hak Asasi Manusia”, Magister
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
6
melakukan kekerasan dalam proses penyidikan. Karena jika seorang
penyidik melakukan tindak penyimpangan kekerasan ketika penyidikan,
otomatis seorang penegak hukum telah melanggar hukum yang telah
ditetapkan. Seorang penegak hukum seharusnya menegakkan Pasal-pasal
dalam PUU yang berlaku, bukan malah melanggarnya. Dan atas
pelanggaran tersebut seorang penyidik harus dibebankan sanksi yang
pantas.
8
Agus Raharjo, “Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka dalam Penyidikan dari
Kekerasan Penyidik di Kepolisian Resort Banyumas”, Mimbar Hukum, Volume 23,
Nomor 1, Tahun 2011, h. 94
7
e. melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa
untuk mendapatkan pengakuan;
f. melakukan penyidikan yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan
pihak lain;
g. menghambat kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait
lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya
dan/atau melaksanakan kewajibannya;
h. merekayasa status barang bukti sebagai barang temuan atau barang
tak bertuan;
i. menghambat dan menunda-nunda waktu penyerahan barang bukti
yang disita kepada pihak yang berhak sebagai akibat dihentikannya
penyidikan tindak pidana;
j. melakukan penghentian atau membuka kembali penyidikan tindak
pidana yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
k. melakukan hubungan atau pertemuan secara langsung atau tidak
langsung di luar kepentingan dinas dengan pihak-pihak terkait
dengan perkara yang sedang ditangani;
l. melakukan pemeriksaan di luar kantor penyidik kecuali ditentukan
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
m. menangani perkara yang berpotensi menimbulkan konflik
kepentingan.9
8
proses penyidikan seorang penyidik harus memperhatikan beberapa hal
salah satunya yaitu Asas Praduga tak Bersalah.
10
Intan Wulandari Jaseh, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Tersangka
Pidana yang Menjadi Korban Kekerasan Penyidik Pada Proses Penyidikan Kajian UU
No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”, Lex Crimen, Volume VII, Nomor 3,
Tahun 2018, h. 73
9
sistem penjatuhan sanksi, pelanggaran hukum bagi anggota Polri
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, antara lain:
1. Pelanggaran peraturan disiplun, yakni ucapan, tulisan atau perbuatan
anggota Polri yang melanggar peraturan disiplin
2. Pelanggaran kode etik profesi, adalah setiap perbuatan yang
dilakukan oleh anggota Polri yang bertentangan dengan Kode Etik
Profesi Polri
3. Pelanggaran pidana, adalah suatu tindakan atau perbuatan yang
bertentangan dengan unsur-unsur yang dirumuskan dalam KUHP
maupun peraturan perundang-undangan lain yang memiliki sanksi
pidana.11
Pelanggaran disiplin di atur dalam Peraturan Pemerintah No. 2
Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri. Di dalam
penjatuhan hukuman disiplin dilakukan oleh atasan yang berwenang
menghukum (Ankum) melalui siding disiplin yang sanksinya sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 yakni
berupa :
a. Teguran tertulis
b. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun
c. Penundaan gaji berkala
d. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun
e. Mutasi yang bersifat demosi
f. Pembebasan dari jabatan
g. Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu)
hari.12
Terdapat dua istilah yang memiliki perbedaan mendasar dalam
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003, yakni penjatuhan hukuman
displin dan penjatuhan tindakan displin. Kalau penjatuhan Hukuman
Disiplin diputus melalui siding displin dan merupakan kewenangan
11
Ibid.
12
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri
10
Ankum dan atau Atasan Ankum yang dalam lingkunag Polri secara
berjenjang meliputi :
a. Ankum berwenang penuh
b. Ankum berwenang terbatasan
c. Ankum berwenang sangat terbatas
13
Intan Wulandari Jaseh, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Tersangka
Pidana yang Menjadi Korban Kekerasan Penyidik Pada Proses Penyidikan Kajian UU
No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”, Lex Crimen, Volume VII, Nomor 3,
Tahun 2018, h.73
14
Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri
11
Profesi Polri.
Sanksi pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri dibedakan
menjadi dua yakni sanksi moral dan sanksi administrasi berupa
rekomdasi, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 Perkap No. 14 Tahun
2011 berupa :
a. Perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai perbuatan tercela
b. Kewajiban pelanggaran untuk memeinta maaf secara lisan
dihadapan sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan
Polri dan pihak yang dirugikan
c. Kewajiban pelanggaran untuk mengikuti pembinaan mental
kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi,
sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan
d. Dipindah tugaskan ke jabatan berbedan yang bersifat demosi
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun
e. Dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat demosi sekursng-
kurangnya 1 (satu) tahun
f. Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat demosi
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun
g. PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat) sebagai anggota
Polri.15
Perbuatan pidana yang dilakukan oleh anggota Polri penjatuhan
sanksi melalui Peradilan Umum. Hal ini dilaksanakn setelah pisahnya TNI
dan Polri secara kelembagaan berdasarkan Ketetapan MPR No.
VI/MPR/2000 dan Ketatapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang peran
TNI dan Polri dan keluarnya Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Polri.16
15
Ibid.
16
Intan Wulandari Jaseh, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Tersangka
Pidana yang Menjadi Korban Kekerasan Penyidik Pada Proses Penyidikan Kajian UU
No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”, Lex Crimen, Volume VII, Nomor 3,
Tahun 2018, h.74
12
Proses penjatuhan sanksi pidana, bagi anggota Polri yang diduga
melakukan perbuatan pidana berlaku undang-undang No. 8 Tahun 1981
KUHAP, dimana penyidikannya dilakukan oleh anggota Polri terhadap
Pelanggaran Pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan memungkinkan
diperiksa oleh PPNS dalam pelanggran tindak pidana tertentu/khusus.
Kemudian proses persidangan dilaksanakan di Pengadilan Umum.
Landasan Yuridis berlakunya Peradilan Umum bagi anggota Polri
dirumuskan dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-undang No. 2 Tahun 2002
tentang Polri, yang menyebutkan, bahwa anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan umum. Pengaturan
teknis berlakunya Peradilan Umum bagi anggota Polri tersebut diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis
Institutionsl Peradilan Umum Bagi Anggota Polri.17
17
Ibid.
13
C. Penutup
1. Kesimpulan
Kekerasan penyidik terhadap tersangka ketika proses penyidikan
tidak boleh dilakukan jika hanya atas dasar agar tersangka mengakui
tuduhan yang diberikan kepadanya hal itu sudah jelas diatur dalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Karena tersangka juga
memiliki hak-hak yang juga harus dilindungi dan ditegakkan. Polisi atau
penyidik dapat melakukan kekerasan (wewenang diskresi) jika memang
benar-benar harus dilakukan dan diperlukan, namun tetap harus
memperhatikan beberapa hal.
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia memang belum ada
yang benar-benar fokus mengatur tentang sanksi bagi penyidik yang telah
melakukan kesalahan atau penyimpangan ketika melakukan proses
penyidikan. Namun, karena penyidik adalah anggota polisi, maka sanksi
yang di dapat juga mengadopsi dari beberapa peraturan perundang-
undangan tentang kepolisan.
2. Saran
Seharusnya ketika proses penyidikan berlangsung juga ada
pengawasan. Jika memang tidak bisa melakukan pengawasan secara
langsung dari pihak kepolisian maka bisa melalui CCTV. Tujuan dari
pengawasan ini adalah agar pihak penyidik juga tidak berlaku semena-
semena ketika proses penyidikan dan mengurangi kasus kekerasan ketika
penyidikan. Maka seharusnya di Indonesia menerapkan ketika proses
penyidikan dibawah pengawasan CCTV atau bisa pengawasan secara
langsung oleh pihak yang berwenang.
14
Daftar Pustaka
Jurnal:
Peraturan Perundang-undangan:
15
Artikel di Internet:
Aghnia Adzkia, “Polisi Dituntut Tuntaskan Kasus Penyiksaan Saat Penyidikan”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150111153244-12-23842/polisi-
dituntut-tuntaskan-kasus-penyiksaan-saat-penyidikan?, diakses pada tanggal 30
mei 2020
16