Anda di halaman 1dari 16

Sanksi Bagi Penyidik yang Melakukan Penyimpangan dalam

Penyidikan

Mellynia Ayu Wandira


931108818
Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
E-mail: mellyniaaw@gmail.com ; Nomor Telepon: 085655888733

A. Pendahuluan
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan.1

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan


menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.2

Aturan melakukan penyelidikan, penyidikan, penangkapan, hingga


penahanan ada dalam KUHAP. Selain itu, Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009
tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam penyelenggaraan tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mengadopsi aturan KUHAP
beserta Konvensi-konvensi Internasional yang sudah diratifikasi Pemerintah
Indonesia.
Dalam aturan tersebut, polisi dilarang melakukan penyiksaan tahanan
atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan. Karena setiap
penyiksaan dan tindakan atau hukuman yang kejam, tak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia merupakan pelanggaran HAM.

1
KUHAP Pasal 1 angka 1
2
KUHAP Pasal 1 angka 2

1
Tujuan dibuatnya sebuah aturan adalah agar pihak kepolisian dapat
melaksanakan tugas dan kewajiban dengan baik dan benar. Namun tidak
jarang seorang polisi juga melakukan tindakan-tindakan penyimpangan,
terutama ketika proses penyidikan kepada tersangka.
Mereka yang dinyatakan sebagai tersangka pelaku tindak kejahatan
juga dapat menjadi korban pelanggaran HAM. Hal itu terjadi jika mereka
mengalami penyiksaan selama dalam proses penyidikan ataupun dalam
pembuatan Berita Acara Penyidikan.

Tindakan kekerasan dalam proses interogasi oleh oknum kepolisian


sudah sering menjadi perbincangan publik. Padahal, jangankan menggunakan
cara kekerasan, memaksa seseorang mengaku telah melakukan tindak pidana
saja kepolisian tidak diperbolehkan.

Dari isu yang dipaparkan diatas dapat diambil rumusan masalah:

1) Bolehkah seorang penyidik melakukan tindak kekerasan terhadap


tersangka ketika proses penyidikan?
2) Apa sanksi bagi penyidik yang telah melakukan penyimpangan tindak
kekerasan dalam penyidikan?

B. Pembahasan
1. Kekerasan dalam penyidikan
Secara normatif penyidik memiliki tugas dan wewenang untuk
mencari dan mengumpulkan bukti, dimana bukti itu digunakan untuk
mencari terrsangkanya, namun memang benar dikatakan apabila penyidik
memiliki kewenangan diskresi. Perlu diketahui bersama bahwa di sisi lain
tersangka juga memiliki hak yang dilindungi oleh undang-undang
diantaranya hak untuk tidak dipaksa, tidak ditekan dan tidak disiksa dalam
memberikan keterangan.
Salah satu hak tersangka yang sering dipermasalahkan adalah hak
untuk memilih menjawab atau tidak menjawab pertanyaan yang diajukan
penyidik, penuntut umum dan hakim. Yang banyak dipermasalahkan di

2
tingkat penyidikan adalah apakah tersangka berhak untuk menjawab
pertanyaan penyidik. Di Inggris berlaku hak untuk tidak menjawab,
bahkan sangat ketat. Pemeriksa harus mulai dengan mengatakan kepada
the suspect bahwa ia mempunyai hak untuk diam, tidak menjawab
pertanyaan.3
Penyidik seringkali berlaku semena-mena ketika proses penyidikan
terhadap tersangka. Penyidik kerap bertindak kekerasan agar tersangka
mengakui perbuatan yang diduga atas perbuatannya atau bahkan bukan
perbuatannya jika itu adalah salah tangkap. Padahal hal itu jelas-jelas
dilarang dalam undang-undang yakni dalam Pasal 53 poin h Peraturan
Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri. KUHAP juga mengatur mengenai
perlindungan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan perkara pidana.
Hak-hak tersebut diatur dalam Bab VI (Pasal 50 sampai dengan Pasal 68)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.

Mungkin kita masih ingat dengan beberapa kasus kekerasan dalam


penyidikan seperti kasus tewasnya Marsinah, Tjetje Tadjudin yang masih
berstatus sebagai saksi/tersangka. Diduga masih banyak kasus kekerasan
dalam penyidikan yang terjadi. Namun karena kurang mendapat sorotan
dari media massa, banyak kasus yang tidak diketahui publik. Kasus itu
hanya terekam dalam memori kelam mereka yang menjadi korban dan
keluarganya.

Pengalaman pahit ini juga dialami oleh sembilan tersangka


peledakan bom di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Mereka menarik
pengakuannya yang telah dituangkan dalam BAP (Berita Acara
Pemeriksaan). Pasalnya, mereka mengaku telah mengalami penyiksaan
oleh polisi selama dalam proses pemeriksaan. Berbagai metode

3
Dinda Dinanti, Yuliana Yuli W, “Perlindungan Hukum atas Hak-Hak Tersangka pada
Proses Penyidikan Perkara Pidana dalam Prespektif Hak Asasi Manusia”, Magister
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

3
penyiksaan dilakukan terhadap mereka mulai dari pukulan, tendangan
sampai setrum listrik. Dan sudah bisa diduga, polisi menyangkal semua
pengakuan mereka.4

Salah satu kasus yang mencuat di penghujung 2014 yakni dialami


oleh Kuswanto (29). Pria asal Kudus, Jawa Tengah tersebut ditangkap
Polrea Kudus pada 21 November 2012 silam dengan sangkaan
perampokan toko es krim. Sebanyak 13 aparat kepolisian menyiksa dirinya
dengan menutup mata, menyiram bensin, dan membakar.5

Padahal dalam Pasal 3 Poin f Perkaba No. 3 Tahun 2014 Tentang


Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana,
dalam melaksanakan proses penyidikan seorang penyidik harus
memperhatikan beberapa hal salah satunya yaitu Asas Praduga tak
Bersalah.6

Asas praduga tak bersalah menyatakan, bahwa tersangka dianggap


tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap. Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam
Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c dan UU Kehakiman dalam
Pasal 8 ayat (1) yaitu:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.”

4
Hukum Online, “Kekerasan Dalam Penyidikan”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2037/kekerasan-dalam-penyidikan, diakses
pada tanggal 30 mei 2020
5
Aghnia Adzkia, “Polisi Dituntut Tuntaskan Kasus Penyiksaan Saat Penyidikan”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150111153244-12-23842/polisi-dituntut-
tuntaskan-kasus-penyiksaan-saat-penyidikan?, diakses pada tanggal 30 mei 2020
6
Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2014 Tentang Tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan
Tindak Pidana

4
Pada Pasal 7 African Charter on Human and People’s Rights,
Pasal 8 American Convention on Human Rights dan Pasal 6 European
Charter on Human Rights dimana Instrumen Internasional yang tersebut
diatas menjamin prinsip fair trial yang terjamin dalam sistem peradilan
sejak proses investigasi sampai dengan putusan akhir. Fair trial tercakup
didalamnya:

a. Hak atas persamaan di depan pengadilan dan akses ke pengadilan;

b. Hak atas peradilan yang terbuka;

c. Hak atas untuk diperiksa oleh independensi, kompetensi dan


imparsialitas pengadilan yang dibentuk berdasarkan hukum;

d. Hak atas praduga tidak bersalah;

e. Hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan hak untuk bebas dari
penyiksaan;

f. Hak untuk tidak menunda persidangan;

g. Hak untuk diberitahukan tuduhan atau dakwaan secara cepat didalam


bahasa yang jelas dan dimengerti oleh terdakwa atau tersangka;

h. Hak untuk mempunyai waktu dan fasilitas layak untuk mempersiapkan


pembelaan dan berkomunikasi dengan pengacara;

i. Hak untuk memperoleh bantuan penerjemah;

j. Hak untuk mendapatkan pendampingan hukum;

k. Hak untuk membela secara mandiri di persidangan atau melalui


pengacara yang dipilihnya sendiri;

5
l. Hak untuk tidak dipaksa mengatakan yang akan menjerat dirinya atau
hak untuk diam;

m. Hak untuk menguji saksi yang memberatkan terdakwa atau tersangka,


hak untuk menghadirkan saksi di depan pesidangan;

n. Hak untuk banding (right to appeal);

o. Hak untuk tidak memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya;

p. Hak atas didengar dengan adil (fair hearing);

q. Hak untuk dihormati kehidupan pribadi, tempat tinggal dan


korespondensi;

r. Hak untuk diperlakukan manusiawi dan bebas dari penyiksaan;

s. Hak atas diberitahu tuduhan dalam bahasa yang dimengerti;

t. Hak atas pendampingan hukum;

u. Hak untuk diam atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya;

v. Hak untuk menjaga berkas pemeriksaan (tetap rahasia) atau The Duty to
Keep Records of Interrogation;

w. Hak untuk mempersiapkan pembelaan dalam waktu dan fasilitas yang


cukup atau layak;

x. Right to equality of arms and adversarial proceedings.7

Dari Pasal-pasal yang telah dijabarkan di atas maka secara tegas


menurut Peraturan Perundang-undangan pihak penyidik dari polri dilarang

7
Dinda Dinanti, Yuliana Yuli W, “Perlindungan Hukum atas Hak-Hak Tersangka pada
Proses Penyidikan Perkara Pidana dalam Prespektif Hak Asasi Manusia”, Magister
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

6
melakukan kekerasan dalam proses penyidikan. Karena jika seorang
penyidik melakukan tindak penyimpangan kekerasan ketika penyidikan,
otomatis seorang penegak hukum telah melanggar hukum yang telah
ditetapkan. Seorang penegak hukum seharusnya menegakkan Pasal-pasal
dalam PUU yang berlaku, bukan malah melanggarnya. Dan atas
pelanggaran tersebut seorang penyidik harus dibebankan sanksi yang
pantas.

2. Sanksi bagi penyidik


Polisi masih menggunakan kekerasan untuk mendapatkan
pengakuan atau keterangan dari tersangka hak-hak tersangka diberikan
setelah didapat pengakuan hal ini bertentangan dengan amanat Undang-
undang di mana hak-hak itu seharusnya diberikan pada awal penyidikan
berlangsung.8
Pasal 14 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia (“Perkapolri Kode Etik”) berbunyi sebagai berikut:
Setiap Anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum
sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang:
a. mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang
terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. menempatkan tersangka di tempat bukan rumah tahanan
negara/Polri dan tidak memberitahukan kepada keluarga atau kuasa
hukum tersangka;
c. merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung
jawabnya dalam rangka penegakan hukum;
d. merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan;

8
Agus Raharjo, “Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka dalam Penyidikan dari
Kekerasan Penyidik di Kepolisian Resort Banyumas”, Mimbar Hukum, Volume 23,
Nomor 1, Tahun 2011, h. 94

7
e. melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa
untuk mendapatkan pengakuan;
f. melakukan penyidikan yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan
pihak lain;
g. menghambat kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait
lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya
dan/atau melaksanakan kewajibannya;
h. merekayasa status barang bukti sebagai barang temuan atau barang
tak bertuan;
i. menghambat dan menunda-nunda waktu penyerahan barang bukti
yang disita kepada pihak yang berhak sebagai akibat dihentikannya
penyidikan tindak pidana;
j. melakukan penghentian atau membuka kembali penyidikan tindak
pidana yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
k. melakukan hubungan atau pertemuan secara langsung atau tidak
langsung di luar kepentingan dinas dengan pihak-pihak terkait
dengan perkara yang sedang ditangani;
l. melakukan pemeriksaan di luar kantor penyidik kecuali ditentukan
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
m. menangani perkara yang berpotensi menimbulkan konflik
kepentingan.9

Berdasarkan penjelasan Pasal di atas sudah jelas menerangkan


bahwa penyidik dilarang melakukan pemeriksaan terhadap seseorang
dengan cara memaksa untuk mendapatkan pengakuan. Tetapi pada
kenyataannya banyak oknum polisi yang melakukan pemaksaan,
penekanan bahkan kekerasan ketika proses penyidikan hanya untuk
mendapat sebuah pengakuan dari tersangka. Padahal dalam melaksanakan
9
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

8
proses penyidikan seorang penyidik harus memperhatikan beberapa hal
salah satunya yaitu Asas Praduga tak Bersalah.

Seharusnya pihak kepolisian harus benar-benar memperhatikan


hal-hal yang memang bertentangan dengan proses penyidikan, dan harus
melakukan proses penyidikan dengan prosedur yang telah ditetapkan,
tanpa tergesa-gesa agar kasus cepat terselesaikan. Kasus cepat
terselesaikan tetapi salah tangkap sama saja bohong, apalagi jika tersangka
tersebut terpaksa untuk mengakui atas hal yang bukan dilakukannya hanya
karena jera selalu ditekan dan diberi perlakuan kasar atau sampai kepada
kekerasan yang tidak manusiawi.

Meskipun memang benar tersagka itu adalah pelakunya, pihak


polisi pun sebenarya tidak berhak untuk melakukan kekerasan, karena itu
melanggar HAM dan Peraturan Perundang-undangan yang lainnya.
kecuali memang benar-benar dibutuhkan polisi memiliki kewenangan
diskresi.

Wewenang Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan


tindak pidana di atur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP. Wewenang kepolisian selaku penyidik dirimuskan dalam Pasal
5. Sedangkan untuk kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri
(diskresi) dapat dilakukan dalam keadaan:
a. Keadaan yang sangat perlu
b. Tidak bertentangan dengan perundang- undangan
c. Tidak bertentangan dengan kode etik profesi kepolisian
Yang juga harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya
dan betul-betul untuk kepentingan umum.10

Punishment adalah merupakan hukuman bagi anggota yang


melakukan pelanggaran hukum. Berdasarkan sifat, bentuk, jenis dan

10
Intan Wulandari Jaseh, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Tersangka
Pidana yang Menjadi Korban Kekerasan Penyidik Pada Proses Penyidikan Kajian UU
No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”, Lex Crimen, Volume VII, Nomor 3,
Tahun 2018, h. 73

9
sistem penjatuhan sanksi, pelanggaran hukum bagi anggota Polri
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, antara lain:
1. Pelanggaran peraturan disiplun, yakni ucapan, tulisan atau perbuatan
anggota Polri yang melanggar peraturan disiplin
2. Pelanggaran kode etik profesi, adalah setiap perbuatan yang
dilakukan oleh anggota Polri yang bertentangan dengan Kode Etik
Profesi Polri
3. Pelanggaran pidana, adalah suatu tindakan atau perbuatan yang
bertentangan dengan unsur-unsur yang dirumuskan dalam KUHP
maupun peraturan perundang-undangan lain yang memiliki sanksi
pidana.11
Pelanggaran disiplin di atur dalam Peraturan Pemerintah No. 2
Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri. Di dalam
penjatuhan hukuman disiplin dilakukan oleh atasan yang berwenang
menghukum (Ankum) melalui siding disiplin yang sanksinya sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 yakni
berupa :

a. Teguran tertulis
b. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun
c. Penundaan gaji berkala
d. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun
e. Mutasi yang bersifat demosi
f. Pembebasan dari jabatan
g. Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu)
hari.12
Terdapat dua istilah yang memiliki perbedaan mendasar dalam
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003, yakni penjatuhan hukuman
displin dan penjatuhan tindakan displin. Kalau penjatuhan Hukuman
Disiplin diputus melalui siding displin dan merupakan kewenangan

11
Ibid.
12
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri

10
Ankum dan atau Atasan Ankum yang dalam lingkunag Polri secara
berjenjang meliputi :
a. Ankum berwenang penuh
b. Ankum berwenang terbatasan
c. Ankum berwenang sangat terbatas

Jika penjatuhan tindakan disiplin dilaksanakan seketika dan


langsung pada saat diketahuinya pelanggaran disiplin yang dilakukan
anggota Polri, dan merupakan kewenangan atasan langsung, atasan tidak
langsung dan anggota Provos Polri sesui dengan lingkup tugas
dankewenangannya. Jenis sanksi hukuman yang dijatuhkan dalam
penjatuhan tindakan disiplin berupa teguran lesan dan/atau tindakan fisik,
dimana tindakan disiplin dimaksud tidak mengahapus kewenagan Ankum
untuk menjatuhkan hukuman disiplin. Beberapa perbuatan anggota Polri
yang mengandung sanksi displin yakni pelanggaran atas kewajiban dan
larangan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin anggota Polri.13
Penjatuhan sanksi Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri di atur
dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2006 tentang yang dicabut dengan
Peraturan Kapolri No. 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Norma etika Polri
dirumuskan dalam Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik
Profesi Polri yang dicabut dengan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011
tentang Kode Etik Profesi Polri. Di dalam Kode Etik Profesi Polri
mengandung empat etika yang14 tercermindalam perilakunya, sehingga
terhindar dari perbutan tercela dan penyalahgunaa wewenang. Keempat
etika yang dimaksud yaitu etika kenegaraan, etika kelembagaan, etika
kemasyarakatan dan etika kepribadian yang disusun ke dalam Kode Etik

13
Intan Wulandari Jaseh, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Tersangka
Pidana yang Menjadi Korban Kekerasan Penyidik Pada Proses Penyidikan Kajian UU
No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”, Lex Crimen, Volume VII, Nomor 3,
Tahun 2018, h.73
14
Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri

11
Profesi Polri.
Sanksi pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri dibedakan
menjadi dua yakni sanksi moral dan sanksi administrasi berupa
rekomdasi, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 Perkap No. 14 Tahun
2011 berupa :
a. Perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai perbuatan tercela
b. Kewajiban pelanggaran untuk memeinta maaf secara lisan
dihadapan sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan
Polri dan pihak yang dirugikan
c. Kewajiban pelanggaran untuk mengikuti pembinaan mental
kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi,
sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan
d. Dipindah tugaskan ke jabatan berbedan yang bersifat demosi
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun
e. Dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat demosi sekursng-
kurangnya 1 (satu) tahun
f. Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat demosi
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun
g. PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat) sebagai anggota
Polri.15
Perbuatan pidana yang dilakukan oleh anggota Polri penjatuhan
sanksi melalui Peradilan Umum. Hal ini dilaksanakn setelah pisahnya TNI
dan Polri secara kelembagaan berdasarkan Ketetapan MPR No.
VI/MPR/2000 dan Ketatapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang peran
TNI dan Polri dan keluarnya Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Polri.16

15
Ibid.
16
Intan Wulandari Jaseh, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Tersangka
Pidana yang Menjadi Korban Kekerasan Penyidik Pada Proses Penyidikan Kajian UU
No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”, Lex Crimen, Volume VII, Nomor 3,
Tahun 2018, h.74

12
Proses penjatuhan sanksi pidana, bagi anggota Polri yang diduga
melakukan perbuatan pidana berlaku undang-undang No. 8 Tahun 1981
KUHAP, dimana penyidikannya dilakukan oleh anggota Polri terhadap
Pelanggaran Pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan memungkinkan
diperiksa oleh PPNS dalam pelanggran tindak pidana tertentu/khusus.
Kemudian proses persidangan dilaksanakan di Pengadilan Umum.
Landasan Yuridis berlakunya Peradilan Umum bagi anggota Polri
dirumuskan dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-undang No. 2 Tahun 2002
tentang Polri, yang menyebutkan, bahwa anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan umum. Pengaturan
teknis berlakunya Peradilan Umum bagi anggota Polri tersebut diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis
Institutionsl Peradilan Umum Bagi Anggota Polri.17

17
Ibid.

13
C. Penutup
1. Kesimpulan
Kekerasan penyidik terhadap tersangka ketika proses penyidikan
tidak boleh dilakukan jika hanya atas dasar agar tersangka mengakui
tuduhan yang diberikan kepadanya hal itu sudah jelas diatur dalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Karena tersangka juga
memiliki hak-hak yang juga harus dilindungi dan ditegakkan. Polisi atau
penyidik dapat melakukan kekerasan (wewenang diskresi) jika memang
benar-benar harus dilakukan dan diperlukan, namun tetap harus
memperhatikan beberapa hal.
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia memang belum ada
yang benar-benar fokus mengatur tentang sanksi bagi penyidik yang telah
melakukan kesalahan atau penyimpangan ketika melakukan proses
penyidikan. Namun, karena penyidik adalah anggota polisi, maka sanksi
yang di dapat juga mengadopsi dari beberapa peraturan perundang-
undangan tentang kepolisan.
2. Saran
Seharusnya ketika proses penyidikan berlangsung juga ada
pengawasan. Jika memang tidak bisa melakukan pengawasan secara
langsung dari pihak kepolisian maka bisa melalui CCTV. Tujuan dari
pengawasan ini adalah agar pihak penyidik juga tidak berlaku semena-
semena ketika proses penyidikan dan mengurangi kasus kekerasan ketika
penyidikan. Maka seharusnya di Indonesia menerapkan ketika proses
penyidikan dibawah pengawasan CCTV atau bisa pengawasan secara
langsung oleh pihak yang berwenang.

14
Daftar Pustaka

Jurnal:

Agus Raharjo, “Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka dalam Penyidikan dari


Kekerasan Penyidik di Kepolisian Resort Banyumas”, Mimbar Hukum,
Volume 23, Nomor 1, Tahun 2011
Intan Wulandari Jaseh, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Tersangka
Pidana yang Menjadi Korban Kekerasan Penyidik Pada Proses Penyidikan
Kajian UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”, Lex Crimen,
Volume VII, Nomor 3, Tahun 2018

Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia Nomor


3 Tahun 2014 Tentang Tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan
Penyidikan Tindak Pidana
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011
tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota
Polri
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Tesis dan Disertasi:

Dinda Dinanti, Yuliana Yuli W, “Perlindungan Hukum atas Hak-Hak Tersangka


pada Proses Penyidikan Perkara Pidana dalam Prespektif Hak Asasi
Manusia”, Magister Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta.

15
Artikel di Internet:
Aghnia Adzkia, “Polisi Dituntut Tuntaskan Kasus Penyiksaan Saat Penyidikan”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150111153244-12-23842/polisi-
dituntut-tuntaskan-kasus-penyiksaan-saat-penyidikan?, diakses pada tanggal 30
mei 2020

Hukum Online, “Kekerasan Dalam Penyidikan”


https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2037/kekerasan-dalam-penyidikan,
diakses pada tanggal 30 mei 2020

16

Anda mungkin juga menyukai