Anda di halaman 1dari 10

PENUNTUTAN

Anggota :

1. Hana Fatia Juvidia


2. Mega Nola Febriyanti
3. Muhammad Reza F.S.
4. Syifa Nur Aulia R.
5. Vicky Adam
Pengertian Penuntutan

Pengertian penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 nomor 3


Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (“UU Kejaksaan”) adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Penuntutan Dalam Kamus Hukum
Istilah deponering (berasal dari bahasa Belanda: deponeren) yang menurut definisi dalam bahasa aslinya di
Negeri Belanda, deponeren artinya menyerahkan, melaporkan, dan mendaftarkan. Ini bisa ditemukan dalam hukum
dagang khususnya pengiriman suatu merek kepada biro perindustrian (di Indonesia ke Ditjen Kekayaan Intelektual)
untuk menjamin hak pemakaian merek, administrasi maupun perpajakan. Pada merek yang sudah didaftarkan itu
biasanya tertulis gedeponeerd (terdaftar); atau (ii) menyisihkan, meniadakan, mengesampingkan tuntutan perkara
pidana oleh penuntut umum; dan (iii) memberikan keterangan saksi dalam suatu perkara.
Guru Besar Hukum Acara Pidana, yang juga Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP, Prof. Andi Hamzah
berpendapat istilah yang benar adalah Seponering. Istilah ini berasal dari kata kerja seponeren, dengan kata dasar
sepot. Pandangan Andi Hamzah itu juga dia sampaikan secara terbuka di depan peserta Seminar Pengkajian Hukum
Nasional 2010 yang dilaksanakan Komisi Hukum Nasional. Dua pakar hukum pidana, Prof. Mardjono Reksodiputro
dan Prof. J.E. Sahetapy berada di acara tersebut ketika Prof. Andi Hamzah menyampaikan pandangannya. Ketika
melakukan studi banding ke Belanda untuk kebutuhan penyusunan RUU KUHAP, Andi Hamzah membuktikan istilah
yang dipakai adalah seponeren. Ia menduga kesalahan itu terjadi karena kebiasaan.
Asas Penuntutan

Dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal dua asas penuntutan yaitu :
• Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan kepada penuntut umum
untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar
peraturan hukum pidana. Asas ini merupakan penjelmaan dari asas
equality before the law.
• Asas Oportunitas, yaitu asas yang memberikan wewenang pada penuntut
umum untuk tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang
melanggar peraturan hukum pidana dengan jalan mengesampingkan
perkara yang sudah terang pembuktiannya untuk kepentingan umum.
Pihak Yang Terlibat

Dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun


1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), jaksa
yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim disebut penuntut umum.
Sedangkan, orang yang mengajukan tuntutan disebut
penuntut.
Menentukan Tuntutan
Tuntutan – atau tepatnya dalam bahasa hukum: surat tuntutan – dapat dijelaskan sebagai kesimpulan jaksa
atas pemeriksaan perkara yang dibuat berdasarkan proses pembuktian di persidangan. Dalam menyusun tuntutan
dengan baik, jaksa tidak akan lepas dari surat dakwaan yang sudah dibacakan pada hari pertama sidang. Surat
dakwaan mengandung informasi mengenai identitas terdakwa, kronologis duduk perkara, dan pasal yang
didakwakan.
Jaksa memiliki pedoman dalam menentukan besarnya tuntutan pemidanaan.
Sebelumnya, jaksa terikat dengan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) tentang
pedoman penuntutan. SEJA tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Pedoman
No 3 Tahun 2019 tentang Penuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum. Menurut
pedoman penuntutan itu, jaksa dapat mempertimbangkan beberapa faktor dalam
menentukan berat ringannya sanksi pidana yang akan dituntut.
Faktor-faktor ini antara lain :
• kondisi terdakwa (seperti motif/tujuan berbuat, pendidikan, jabatan/profesi)
• perbuatan terdakwa (cara berbuat, peran terdakwa)
• akibat yang ditimbulkan atas perbuatan terdakwa (penderitaan/kerugian)
• faktor-faktor lain (seperti rasa keadilan).

Di kalangan ahli hukum ada perdebatan terkait faktor yang memberatkan dan
meringankan ini, yaitu perdebatan terkait pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana. Menurut pemisahan ini, tindak pidana adalah perbuatan yang menyebabkan timbulnya
sanksi pidana. Dengan demikian, hanya sifat-sifat dari perbuatan itu saja yang menentukan
suatu tindak pidana. Sedangkan pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan sifat-sifat orang
yang melakukan tindak pidana. Dua hal ini seharusnya dipisahkan. Pencampuradukan antara
perbuatan pidana dan sifat-sifat pelaku tindak pidana untuk menentukan faktor memberatkan
dan meringankan menimbulkan ketidakpastian dalam penuntutan perkara pidana.
Ketidakpastian ini bertambah karena penentuan faktor memberatkan atau meringankan tidak
sepenuhnya di tangan seorang jaksa.
Sebelum mengajukan tuntutan, jaksa harus mendapat persetujuan dari atasannya lewat mekanisme pelaporan Rencana
Tuntutan (Rentut). Sehingga atasan jaksa tersebutlah yang memegang kendali. Padahal yang mengetahui secara langsung
bagaimana terdakwa menjalani pemeriksaan perkara adalah jaksa.Tentu tidak adil jika orang yang tidak mengetahui secara
langsung kondisi dan keadaan si terdakwa menentukan hal-hal yang menjadi peringan dan pemberat tuntutan pidana
terhadapnya.
Dalam penuntutan, sering terjadi disparitas (perbedaan) tuntutan. Dalam dua sidang
terhadap tindak pidana serupa, tuntutan yang diajukan bisa berbeda. Ini bisa terjadi akibat jaksa
merumuskan faktor memberatkan/meringankan secara berbeda atau keliru. Contoh kasus yang
serupa dengan penganiayaan terhadap Novel Baswedan adalah penyiraman air keras yang menimpa
seorang pemuda di Palembang, Sumatra Selatan, pada 2019. Akibat dari serangan itu, korban
mengalami cacat permanen pada matanya. Jaksa kemudian menuntut hukuman 10 tahun penjara
untuk pelaku; kasus serupa, tapi tuntutan jauh berbeda.
Garis Besar Dalam Penuntutan
Pada pokoknya sebelum melimpahkan berkas perkara ke dalam sidang
pengadilan, secara garis besar penuntut umum dan penuntutan harus mempelajari
dan meneliti berkas perkara yang diajukan oleh penyidik mengenai bukti yang
diajukan cukup bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana, dan dalam waktu
tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah
lengkap atau belum. Apabila dalam hasil penyidikan ternyata belum
lengkap,penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
pentunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi.
Setelah penyidik menerima berkas perkara yang belum lengkap, penyidik
harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara kepada penuntut umum dalam
waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas.24 Setelah penuntut umum
menerima kembali hasil penyelidikan yang telah lengkap dari penyidik, penuntut
umum melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
THANKS!

Anda mungkin juga menyukai