Anda di halaman 1dari 24

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS AKHIR PRAKTIK HUKUM ACARA PIDANA


KELAS REGULER (A)

EKSAMINASI PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS DUGAAN TINDAK PIDANA


KORUPSI DALAM PENGADAAN LAHAN DAN PEMBANGUNAN KAWASAN
INDUSTRI ROKOK DI KABUPATEN MAGETAN NO. 01/PRA/2012/PN. MGT

Disusun oleh :
Ratu Salza Handayani
1706048154

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


DEPOK
MEI 2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
BAB I Pendahuluan 3
BAB II Alasan Permohonan dan Teori Hukum Acara Pidana 7
A. Kasus Posisi 7
B. Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Hukum Acara Pidana dan Tindak
Pidana Korupsi 10
C. Pelaksanaan Upaya Paksa 15
D. Hubungan Alasan Permohonan dengan Teori Hukum Acara Pidana 17
BAB III Analisis dan Pembahasan Putusan No. 01/PRA/2012/PN. MGT 19
BAB IV Kesimpulan 22
DAFTAR PUSTAKA 24

2
BAB I
PENDAHULUAN

Praperadilan sebagaimana yang berlaku dalam sistem peradilan pidana dewasa ini
dapat dikatakan sebagai bentuk jelmaan dari Habeas Corpus di sistem peradilan Anglo Saxon
sebagai prototype atau tempat untuk mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”)
dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana. Habeas Corpus merupakan suatu jaminan
serta pengamanan atas kemerdekaan pribadi melalui prosedur yang sederhana, langsung, dan
terbuka yang dapat digunakan oleh siapapun juga. 1 Lembaga Praperadilan di Indonesia lahir
bersamaan dengan berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”) yang merupakan bentuk reformasi bidang hukum acara pidana di
Indonesia. Praperadilan itu sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai dengan
Pasal 83, Pasal 95 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (3), dan Pasal 124 KUHAP. Praperadilan,
dikatakan sebagai bentuk jaminan atas Hak Asasi Manusia sebab dalam lingkup peradilan,
dikatakan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP merupakan wewenang pengadilan negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP tentang sah atau tidaknya
suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan
permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Dapat dilihat dari rumusan
praperadilan di dalam KUHAP tersebut, praperadilan berfungsi untuk menjamin kepentingan
tersangka atau pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara pidana atas tindakan penegak
hukum, maupun sebagai bentuk check and balances antara aparat penegak hukum itu sendiri
terhadap hak asasi seseorang.
Selain di Indonesia, lembaga praperadilan dikenal dan dilaksanakan pula di Eropa
dengan beberapa fungsi yang sedikit berbeda dari yang berlaku di Indonesia. Konsep Habeas
Corpus Act sebenarnya tidak secara penuh diadopsi oleh lembaga Praperadilan dalam KUHAP
karena praperadilan dalam KUHAP lebih mengarah pada model pengawasan administratif. 2
Misalnya penuntut umum di Belanda yang dapat meminta pendapat hakim mengenai suatu

1
Aristo M. A. Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia,
cet. 1 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017), hlm. 143.
2
D.Y. Witanto, Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori dan Praktik, cet. 1 (Depok: Imaji Cipta Karya,
2019), hlm. 2.

3
kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi ataukah tidak.
Meskipun ada kemiripannya dengan hakim komisaris itu, namun wewenang praperadilan
terbatas.3 Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan melakukan
pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan tidak melakukan
pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat
pemeriksaan pendahuluan 4 sebagaimana praperadilan di Eropa. Hal tersebut sangat
disayangkan, sebab beberapa hal penting tersebut merupakan hal yang penting terkait salah
satu asas dasar Hak Asasi Manusia pula. Salah satu dari perlindungan atau jaminan hak asasi
manusia terletak pada realisasi penyelenggaraan Praperadilan, ganti rugi dan rehabilitasi yang
diatur dalam Pasal 30, 68, 77-96, dan 97 KUHAP. Ketiga upaya hukum itu merupakan
penyelenggaraan kepentingan yang menjurus kepada sifat arbiter dan administratif, dengan
keputusan berupa suatu penetapan. 5
Praperadilan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia
merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat penal dengan menggunakan hukum
pidana sebagai sarana utama hukum pidana materiil maupun hukum pidana formal.
Praperadilan sebagai bagian dari penegakkan hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Barda Nawawi Arief bahwa masalah penegakkan hukum, baik secara in abstracto maupun
secara in concreto merupakan masalah aktual yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari
masyakarat.6 Ruang lingkup yang diatur KUHAP, dilihat dari sistem hukum Eropa Kontinental
sesungguhnya lembaga praperadilan menyerupai fungsi examinating judge (Rechter
Commissaries) yakni mengawasi apakah sah atau tidaknya suatu upaya paksa. Tetapi
kewenangan Rechter Commissaries lebih luas lagi karena dimungkinkan juga sebagain
investigating judge seperti memanggil saksi-saksi dan ahli dalam melakukan penahanan dan
mendatangi rumah saksi dan tersangka untuk pengecekan suatu kebenaran. 7
Walaupun lembaga praperadilan ini praktiknya terbatas pada fungsi pengawasan
administratif prosedural, secara keseluruhan praperadilan dapat diakui merupakan suatu
lembaga yang cukup diandalkan untuk mencapai keadilan prosedural terhadap upaya paksa
yang dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum sebagai aparat penegak hukum.

3
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, cet. 11 (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 187.
4
Ibid., hlm. 189.
5
AL. Wisnubroto dan G. Widiatarna, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2005), hlm. 28
6
Barda Nawai Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 18.
7
Luhut M. P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Djembatan, 2008), hlm. 39.

4
Menyepakati Andi Hamzah, lembaga praperadilan merupakan tempat untuk mengadukan
pelanggaran hak asasi manusia.
Lembaga praperadilan terbentuk sebagai lembaga kontrol horizontal terhadap
kewenangan penyidik dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa dalam menjalankan
kewenangan pemeriksaan berupa tindakan penangkapan, penahanan dan penyitaan serta
wewenang lainnya yang diberikan oleh KUHAP. Pengawasan horizontal dimaksudkan agar
dalam menjalankan wewenang penyidik dan penuntut umum tetap memperhatikan sikap
kehati-hatian yang tinggi sebab pelaksanaan kewenangan mereka sebagai aparat penegak
hukum tersebut beririsan dengan hak dan kebebasan seseorang.8
Proses pemeriksaan praperadilan sebagai salah satu prosedur dalam peradilan pidana
juga tunduk pada asas-asas yang berlaku dalam hukum acara pidana pada umumnya, asas-asas
tersebut adalah9:
1. Pemeriksaan cepat
2. Mencari kebenaran formil
3. Imparsialitas
4. Audi et alteram partem
5. Hakim bersifat aktif secara terbatas
6. Persidangan terbuka untuk umum
Adapun di dalam praperadilan terdapat dua pihak, yaitu pihak yang mengajukan
permohonan pemeriksaan praperadilan, disebut juga pemohon atau para pemohon. Pemohon
atau para pemohon dapat bertindak sendiri atau diwakilkan kuasanya. Pihak lainnya adalah
pihak yang dimintakan pemeriksaan praperadilan terhadapnya, disebut termohon. 10 Selain
daripada pihak ini, KUHAP menentukan dalam Pasal 78 ayat (2) bahwa sidang praperadilan
dipimpin oleh seorang hakim tunggal. KUHAP juga menjelaskan bahwa dalam
pemeriksaannya, hakim harus mendengarkan keterangan baik dari tersangka sebagai pemohon
atau pejabat yang berwenang sebagai termohon. Oleh karena sidang praperadilan dilakukan
secara cepat, yang mana selambat-lambatnya tujuh hari, hakim sudah harus menjatuhkan
putusannya.
Acara praperadilan dilaksanakan berdasarkan prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal
82 ayat (1) KUHAP, sebagai berikut:

8 HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 251.
9
D. Y. Witanto, Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori dan Praktik, hlm. 8.
10
Aristo M. A. Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia,
hlm. 151.

5
1. Hakim harus menetapkan hari sidang dalam waktu 3 (tiga) hari setelah diterimanya
permintaan praperadilan
2. Dalam melakukan pemeriksaan, hakim haurs mendengar keterangan dari pihak baik
dari pemohon, termohon, maupun dari pejabat yang berwenang
3. Persidangan dilaksanakan secara cepat, dan paling lambat 7 (tujuh) hari hakim harus
sudah menjatuhkan putusan
4. Jika selesai dalam jangka waktu tersebut pemeriksaan belum selesai, maka permintaan
praperadilan menjadi gugur, apabila perkara tersebut sudah diperiksa di pengadilan
5. Terhadap putusan praperadilan yang dilakukan pada tingkat penyidikan, tidak menutup
kemungkinan pengajuan permintan pemeriksaan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh
penuntut umum
6. Dalam menjatuhkan putusannya, maka hakim harus mencantumkan secara tegas yang
membuat dasar putusan dan alasan/pertimbangan putusan, serta konsekuensi dari
disahkan atau tidak disahkannya alasan praperadilan (ayat 3).
Maksud dan tujuan yang hendak dicapai dan ditegakkan dalam lembaga praperadilan
selain untuk tegaknya hukum, juga menjamin HAM dari tersangka dalam tingkat pemeriksaan
penyidikan, penuntutan, serta penetapan status tersangka. Hal tersebut demikian, sebab dalam
upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan
kemerdakaan dan HAM tersangka, maka tindakan tersebut harus dilakukan
pertanggungjawaban menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process
of law).11
Seiring dengan perkembangan zaman, kewenangan praperadilan telah mengalami
perluasan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU/XII/2014 yang diputus
tanggal 28 April 2015 dengan menambah kewenangan praperadilan tentang: 12
1. Memeriksa sah tidaknya penetapan status tersangka
2. Memeriksa sah tidaknya penyitaan
3. Memeriksa sah tidaknya penggeledahan
Dalam pelaksanaan lembaga praperadilan sebagaimana yang sudah dijelaskan tersebut,
perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, terhadap semua
putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi, dengan

11
Karnasudirdja, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Pidana, (Jakarta: Mahkamah
Agung, 2002), hlm. 97.
12
Tristam P. Moeliono dan Widati Wulandari, “Asas Legalitas Dalam Hukum Acara Pidana Kritikan
Terhadap Putusan MK tentang Praperadilan”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 22 No. 4 (Oktober 2015), hlm.
596.

6
pengecualian tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak sahnya penghentian penuntuan.
Namun demikian, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 65/PUU-IX/2011 menyatakan
bahwa Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, putusan praperadilan apapun tidak dapat
dimintakan banding ke tingkat peradilan manapun.

BAB II
ALASAN PERMOHONAN DAN TEORI HUKUM ACARA PIDANA

1. Kasus Posisi
Bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan Pra Peradilan dengan surat
permohonannya tertanggal 12 November 2012 dan terdaftar di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Magetan dengan Nomor: 01/Pra/2012/PN. Mgt. yang pada intinya
mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

• Bahwa PARA PEMOHON adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Pemerintah
Kabupaten Magetan dimana PEMOHON I menjabat sebagai Asisten I Bidang
Pemerintahan, PEMOHON II menjabat sebagai Kepala Bagian Administrasi
Pemerintahan Umum, PEMOHON III menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Ekonomi
Keuangan dan Pembangunan; PEMOHON IV menjabat sebagai Kepala Seksi
Industri Pangan dan Logam DISPERINDAG;
• Bahwa dalam Tahun Anggaran 2010 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Magetan membutuhkan tanah
untuk Kawasan Industri Rokok (KIR), PEMOHON III sebagai Kepala Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Magetan mengirim Nota Dinas kepada
Sekretaris Daerah Kabupaten Magetan selaku Ketua Tim-9 Panitia Pengadaan
Tanah (P2T) Nomor : 530/1402/403.109/2010 tanggal 15 Oktober 2010 memohon
bantuan agar pengadaan tanah untuk KIR pelaksanaan pengadaannya difasilitasi
oleh Tim-9 Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Kabupaten Magetan, selain itu
PEMOHON III menerbitkan Surat Keputusan Kepala Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Magetan yang mengangkat 
PEMOHON IV sebagai
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK); 

• Bahwa selanjutnya Sekretaris Daerah Kabupaten Magetan membentuk Tim-9

7
Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Kabupaten Magetan yang keanggotaannya bersifat
ex-efficio dimana kedudukan PEMOHON I sebagai 
Wakil Ketua P2T,
sedangkan PEMOHON II sebagai anggota P2T; 

• Bahwa berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan tanah untuk KIR, Kepolisian
Resort Magetan sejak bulan Juli 2012 telah melakukan penyidikan dengan
menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tanggal 4 Juli 2012
dengan Tersangka WIJI SUHARTO dan 
YUDIANTO kepada Kejaksaan Negeri
Magetan (TERMOHON); 

• Bahwa penyidikan yang dilakukan Kepolisian Resort Magetan masih dalam tahap
penelitian oleh TERMOHON;
• Bahwa ketika penyidikan di Kepolisian Resort Magetan tersebut diatas sedang
berjalan, TERMOHON menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan 
 entang dugaan
adanya tindak pidana korupsi dalam pengadaan lahan dan pembangunan KIR di
Kelurahan Bendo Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan;
• Bahwa pada tahapan penyelidikan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga tindak pidana, TERMOHON sebagai penyelidik telah
meminta keterangan terhadap PARA PEMOHON dan pemberi keterangan lainnya,
karena sifatnya permintaan keterangan maka terhadapnya belum dilakukan
pemeriksaan PRO JUSTITIA;

• Bahwa selain itu TERMOHON menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan
menetapkan PARA PEMOHON sebagai Tersangka, 

• Bahwa berdasarkan dari ketentuan diatas, karena penyidik Kepolisian Resort
Magetan telah melakukan penyidikan terlebih dahulu dengan diterbitkannya Surat
Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) No.: SPDP/118/VII/12/Reskrim tanggal
4 Juli 2012 dengan Tersangka WIJI SUHARTO dan YUDIANTO, maka fungsi
TERMOHON adalah sebagai Penuntut Umum yang melakukan penelitian berkas
perkara sesuai pasal 110 dan pasal 138 KUHAP, bukan sebagai penyelidik maupun
penyidik; 

• Bahwa dengan demikian, obyek penyidikan Kepolisian Resort Magetan dan
penyidikan TERMOHON adalah SAMA;
• Bahwa TERMOHON menerbitkan Surat Panggilan Permintaan Keterangan
terhadap PARA PEMOHON;

8
Dalam pembahasan kali ini, kasus yang akan diteliti adalah objek praperadilan dalam
Putusan No. 01/PRA/2012/PN. Mgt yang pada pokoknya mengenai perkara Dugaan
Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Lahan dan Pembangunan Kawasan Industri Rokok
(“KIR”). Dalam putusan tersebut, terdapat beberapa Pemohon yang dijadikan tersangka
dalam kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pengadaan Lahan dan KIR
tersebut yaitu Drs. H. Soewadji, MM. sebagai Pemohon I, Eko Muryanto, S.IP, M.Si.
sebagai Pemohon II, Drs. Venly Tomi Nicolas, S.H., MM. sebagai Pemohon III, dan
Awang Arifaini Rudin A.S, ST. sebagai Pemohon IV. Para Pemohon tersebut dalam
praperadilan melawan Kepala Kejaksaan Negeri Magetan sebagai Termohon terkait
dengan beberapa prosedur peradilan pidana yang dinilai tidak sesuai pada ketentuan
KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Terdapat beberapa poin yang
menjadi alasan Para Pemohon mengajukan praperadilan, yaitu:
1. Tindakan Termohon melakukan penyidikan adalah tidak sah menurut hukum
karena obyek penyidikan Kepolisian Resort Magetan dan Termohon adalah sama,
yaitu mengenai dugaan adanya tindak pidana korupsi dalam pengadaan lahan dan
pembangunan KIR di Kelurahan Bendo, Kecamatan Magetan. Hal tersebut
melanggar ketentuan Pasal 8 Kesepakatan Bersama Kejaksaan RI, Kepolisian RI,
dan Komisi Pemberantasan Korupsi No. KEP-049/A/JA/03/2012, Nomor:
B/23/III/2012 dan Nomor: SPJ-39/01/032012
2. Perbuatan Termohon yang menetapkan Para Pemohon sebagai tersangka
melanggar Pasal 1 butir 2 dan butir 14 KUHAP, penjelasan Pasal 17 KUHAP serta
Keputusan Bersama MAHKEJAPOL yang terdiri dari Mahkamah Agung No:
08/KMA/1984, Menteri Kehakiman No: M.02-KP.10.06/1984, Kejaksaan Agung
No: KEP-076/JA/1984 dan Kapolri No: Pol.KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan
Koordinasi dan Penanganan Pidana dan Peraturan Kapolri No. Pol:
Skep/1205/IX/2000
3. Penahanan Para Pemohon dilaksanakan sebelum dilakukan serangkaian tindakan
penyidik pada tingkat penyidikan sebagai upaya untuk mendapatkan bukti yang
cukup, sehingga penahanan terhadap Para Pemohon tidak didasarkan pada bukti
yang cukup.
Untuk dapat membahas keterkaitan proses praperadilan dalam Putusan No.
01/PRA/2012/PN. Mgt tersebut, terlebih dahulu perlu diuraikan mengenai teori
tahapan-tahapan dalam penyelidikan maupun penyidikan menurut KUHAP dan/atau
peraturan perundang-undangan yang berkaitan lainnya. Selain itu, diperlukan pula

9
pemahaman mengenai ruang lingkup kewenangan Kejaksaan sebagai Penuntut Umum
agar mengetahui sampai batas mana Kejaksaan dapat melaksanakan kewenangannya
dalam suatu perkara pidana menurut KUHAP dan peraturan perundang-undangan
lainnya.

2. Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Hukum Acara Pidana dan Tindak Pidana
Korupsi
Menurut Pasal 1 angka 4 KUHAP jo Pasal 1 angka 8 Undang-Undang RI No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang dimaksud dengan penyelidik adalah
“Pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penyelidikan”. Sedangkan, dalam KUHAP sendiri penyelidik
adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Penyelidikan didefinisikan
dalam KUHAP sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atu tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Dari penjelasan yang diberikan oleh KUHAP dan UU Kepolisian Negara RI tersebut
dapat dipahami terdapat dua unsur penting dalam tahapan penyelidikan. Pertama,
penyelidikan bertujuan untuk mencari dan menemukan peristiwa. Kedua, penyelidikan
berguna untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu peristiwa ditindaklanjuti ke tahap
penyidikan.13 Fungsi penyelidikan tersebut secara jelas menekankan bahwa dalam
terjadinya suatu peristiwa, penyelidikan bermaksud untuk menekankan bahwa
peristiwa tersebut terang merupakan suatu peristiwa pidana yang unsur-unsurnya benar-
benar terpenuhi. Oleh karena fungsinya baru menerangkan suatu peristiwa pidana,
dalam tahap ini pencarian faktanya belum pemeriksaan terhadap fakta pro Justitia,
bukti-bukti yang didapat masih berupa bukti permulaan untuk melanjutkan ke tahap
selanjutnya yaitu penyidikan.
Berdasarkan KUHAP dan uraian sebelumnya, dapat dipahami bahwa
Penyelidik merupakan Pejabat Polri. Sebagaimana pengertian penyelidikan yang diatur
dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP, maka pada hakikatnya merupakan tindakan untuk: 14
a. Mencari dan menemukan

13
Aristo M. A. Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia,
hlm. 39.
14
Didik Endro Purwolekso, Hukum Acara Pidana (Surabaya: Airlangga University Press (AUP), 2015),
hlm. 56.

10
b. Peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
c. Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
Suatu fungsi penyelidikan akan berakhir bila telah ditemukan bukti permulaan
yang cukup. Dengan telah ditemukannya bukti permulaan yang cukup berarti suatu
peristiwa yang baru berupa dugaan menampakan bentuknya secara lebih jelas sebagai
suatu tindak pidana.15 Penjelasan dari bukti permulaan yang cukup memiliki beberapa
perdebatan sebab tidak diatur secara tegas dalam KUHAP. Masalah bukti permulaan
yang cukup masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum, sebagai
berikut16:
a. Menurut Kapolri dalam Surat Keputusan No. Pol. SKEEP/04/I/1982 tanggal 18
Februari 1982 telah menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup adalah
Laporan Polisi, Berita Acara pemeriksaan di TKP, Laporan Hasil Penyelidikan,
Keterangan saksi/saksi ahli, dan barang bukti.
b. Menurut P.A.F. Lamintang, bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal
17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat
bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin
bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan
penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana
setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.17
c. Menurut Rapat Kerja MAKEHJAPOL I (Mahkamah Agung-Kehakiman-
Kejaksaan-POLRI) tanggal 21 Maret 1984, bukti permulaan yang cukup
seyogyanya minimal laporan polisi dan satu alat bukti lainnya.

Selanjutnya, apabila peristiwa tersebut dinilai terang merupakan peristiwa


pidana, langkah berikutnya adalah melanjutkan penyidikan. Laporan hasil penyelidikan
yang dilakukan oleh penyelidik adalah dasar untuk dilakukannya proses penyidikan.
Dalam proses penyidikan ini, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh penyidik,
yaitu18:

15
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Rangkang Education, 2013), hlm.
136.
16
Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan Kerjasama Yayasan LBH,
1989), hl. 42-43.
17
P.A.F. Lamintang, KUHAP dengan Pembahasan Secara Yuridis menurut Yurisprudensi dan Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984), hlm. 117.
18
H. Sugianto, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek Peradilan di Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish,
2018), hlm. 15.

11
a. Pemanggilan tersangka dan saksi
b. Penangkapan (bila perlu)
c. Penahanan (bila perlu)
d. Penggeladahan
e. Penyitaan barang
Kelima hal tersebut dikenal dengan upaya paksa, yang kesemuanya dapat
dilakukan berdasarkan surat perintah dan harus dibuatkan berita acara atas tindakan-
tindakan tersebut. Berbeda dengan fungsi penyelidikan yang fungsinya membuat terang
suatu perisitwa pidana, maka dalam fungsi penyidikan ini sudah jelas tindak pidananya,
barang buktinya dan guna menemukan tersangkanya. (Lihat bunyi Pasal 1 angka 2
KUHAP).
Berdasarkan Pasal 6 KUHAP disebutkan bahwa Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh
undang-undang.
Dengan mengacu pada Penjelasan 6 KUHAP, yang dimaksud dengan “pejabat
pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang
diberi wewenang untuk melakukan penyidikan”, ialah yang ditunjuk oleh perundang-
undangan administrasi yang bersanksi pidana yaitu: 19
1. Pejabat Bea Cukai
2. Imigrasi
3. Tera
4. Perikanan
5. Lalu-lintas dan Angkutan Jalan
6. Kejaksaan yang berwenang menyidik pelanggaran berat Hak Asasi Manusia,
korupsi dan lain-lain
7. Perwira Angkatan Laut yang berwenang menyidik pelanggaran di Zona
Ekonomi Eksklusif
Dalam penegakan hukun terhadap Tindak Pidana Korupsi, penyelidikan dan
penyidikan selain memfungsikan Polri sesuai ketentuan KUHAP, khusus Kejaksaan
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka memang mempunyai fungsi
penyelidikan. Misalnya dapat melakukan penyadapan terhadap mereka yang disangka

19
Didik Endro Purwolekso, Hukum Acara Pidana, hlm. 59-60.

12
melakukan tindak pidana korupsi. 20 Tindak Pidana Korupsi juga bisa langsung
dilaporkan ke Kejaksaan, sehingga dalam hal ini jaksa lah yang kemudian yang
menjalankan fungsi penyelidikan. 21 Fungsi inilah yang dimaksud dengan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang juga merupakan pihak yang berwenang dalam
melakukan penyidikan yang diatur pula dalam KUHAP. Terhadap dimulainya proses
penyidikan, seorang penyidik harus memberitahukan telah dimulainya penyidikan
kepada Kejaksaan Negeri melalui Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP).
Dalam tahap penyidikan ini, penyidikan dilakukan penyidik bertujuan untuk
mengumpulkan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan
tersangka dari tindak pidana tersebut. Adapun tindakan-tindakan yang dapat dilakukan
oleh penyidik demi mencapai tujuan tersebut telah ditnetukan dalam Pasal 7 KUHAP,
yang secara garis besar adalah:22
1. Melakukan pemeriksaan
Dimulai dengan pemanggilan terhadap saksi dan/atau tersangka dengan
menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas. Hal ini juga dirumuskan dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf c KUHAP.
2. Melakukan upaya paksa
Upaya paksa menurut rumusan Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP berupa
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
3. Menetapkan tersangka
Penetapan tersangka dalam KUHAP berkaitan dengan diperlukannya bukti
permulaan. KUHAP sendiri tidak merumuskan definisi dari apa yang dimaksud
dengan bukti permulaan itu sendiri. Namun penjelasan mengenai bukti
permulaan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 21 Peraturan Kapolri No. 14
Tahun 2014 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkap No. 14
tahun 2012) yaitu berupa laporan polisi dan satu alat bukti yang sah. Namun
demikian, penjelasan mengenai bukti permulaan di dalam Perkap No. 14 tahun
2014 tersebut dianggap tidak tepat dalam mendefinisikan butki permulaan
tersebut karena pada dasarnya laporan polisi tidak dapat dikategorikan sebagai

20
Didik Endro Purwolekso, Hukum Acara Pidana, hlm. 60.
21
H. Sugianto, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek Peradilan di Indonesia, hlm. 20.
22
Aristo M. A. Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia,
hlm. 55.

13
bukti, dan tambahan satu bukti, tidaklah sesuai dengan prinsip minimum
pembuktian di Indonesia. 23 Akhirnya, perdebatan mengenai arti bukti
permulaan ini terjawab dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 21/PUU/XII/2014 yang menyatakan bahwa frasa “bukti permulaan” ini
harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal
184 KUHAP. Pada Pasal 184 KUHAP tersebut, alat bukti yang sah adalah
meliputi; (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk, (e)
keterangan terdakwa. Pengujian terhadap keabsahan alat bukti sangat
berpengaruh dalam penetapan tersangka.
4. Membuat berita acara atas semua tindakan penyidikan
5. Melakukan gelar perkara untuk tindakan-tindakan tertentu
Mekanisme gelar perkara dikenal dalam Perkap No. 14 tahun 2012 sebagai
bagian dari manajemen penyidikan Polri yang merupakan bagian dari metode
pengawasan dan pengendalian kegiatan penyelidikan dan penyidikan.
6. Menyerahkan berkas perkara, tersangka dan barang bukti kepada penuntut
umum
Setelah penyidik menganggap penyelidikan telah selesai dilakukan, hasil
penyidikan dikumpulkan dalam bentuk berkas yang kemudian diserahkan
penyidik kepada penuntut umum. Kemudian berkas tersebut akan
ditindaklanjuti dan diteliti oleh Penuntut Umum.
7. Menghentikan penyidikan

Oleh karena Putusan No. 01/PRA/2012/PN. Mgt memperkarakan Tindak


Pidana Korupsi, perlu dipahami pelaksanaan kewenangan Kepolisian dalam penyidikan
tindak pidana korupsi berdasarkan KUHAP dan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-
Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Dalam kepolisian
sendiri diatur secara khusus dalam Keputusan Kepala Kepolisian No. 14 Tahun 2002
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mengatur penyelidikan dan
penyidikan. Tujuan penyidikan tindak pidana korupsi oleh Kepolisian adalah untuk
mencari dan mengumpulkan bukti-butki, misalnya berupa hasil rekaman pembicaraan
dan berupa dokumen yang dapat mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi yang
disangkakan.

23
Ibid., hlm. 58.

14
Dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi, Kepolisian diwajibkan untuk
mengirimkan SPDP kepada Kejaksaan dan KPK untuk menghindari benturan
penyidikan dengan Kejaksaan maupun dengan KPK. Namun dalam praktiknya, masih
saja timbul tumpang tindih dalam penyidikan tindak pidana korupsi. SPDP merupakan
hal yang wajib untuk dikirimkan Kepolisian kepada Kejaksaan maupun KPK agar tidak
terjadi benturan ataupun duplikasi dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi
dan agar lembaga penegak hukum lain yang berkepentingan selain kepolisian
mengetahui bahwa suatu perkara sudah dilakukan penyidikan oleh kepolisian. Untuk
mengantisipasi benturan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi
antar lembaga penegak hukum, maka diperlukan kebijakan formulasi yang mengatur
kewenangan kepolisian yaitu dengan melakukan koordinasi antara lembaga-lembaga
penegak hukum yang berwenang.
Dalam hal penyidik tindak pidana korupsi yang dilakukan atau dilaksanakan
oleh Kepolisian dan Kejaksaan, perlu dilakukan koordinasi rutin dan insidental agar
dalam melakukan penyidikan tidak terjadi benturan antara Kepolisian dan Kejaksaan
dengan melihat dari Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlik) dan Surat Perintah
Penyidikan (Sprindik) yang lebih dahulu dalam melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi tersebut. Apabila Kepolisian telah mengeluarkan atau menerbitkan Sprindik
atau Sprinlik, maka kejaksaan tidak akan mengganggu kasus yang ditangani Kepolisian
tersebut. Selain itu, kewenangan menyidik Kejaksaan juga dituangkan dalam Pasal 30
ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan bahwa tugas
dan kewenangan jaksa adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang. Dari rumusan tersebut lahirlah celah Kejaksaan untuk ikut
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.

3. Pelaksanaan Upaya Paksa


Upaya paksa merupakan tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi
kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang dipersangkakan kepada seorang tersangka
atau mereka yang dibenarkan untuk diperlakukan dengan upaya paksa menurut undang-
undang. Upaya paksa ini merupakan tindakan yang merampas kemerdekaan dan
kebebasan seseorang. KUHAP tidak mengenal istilah upaya paksa tetapi upaya ini
diidentikkan dengan kewenangan untuk melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan badan, pemasukkan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat
sebagaimana diatur dalam BAB V KUHAP. Oleh karena alasan permohonan dalam

15
Putusan No. 01/PRA/2012/PN. Mgt salah satunya hanya mengenai upaya paksa
penahanan, maka pembahasan teori upaya paksa ini akan difokuskan hanya mengenai
penahanan saja.
Penahanan menurut Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka
atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur oleh KUHAP. Berdasarkan
ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa yang berhak melakukan penahanan adalah
penyidik, penuntut umum, dan hakim. Menurut Pasal 20 KUHAP, yang berwenang
untuk melakukan penahanan demi kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik
pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Untuk kepentingan
penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
yang cukup, dalam hal ini adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau
mengulangi tindak pidana.24 Pendapat yang sama juga diberikan oleh M. Yahya
Harahap yang membagi landasan penahanan menjadi 2 (dua), yaitu landasan unsur
yuridis, landasan unsur keperluan dan landasan unsur syarat.25 Landasan unsur yuridis
yaitu dasar hukum atau dasar obyektif sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (4) huruf
a dan b KUHAP, landasan keperluan menitikberatkan kepada keperluan penahanan itu
sendiri ditinjau dari subyektifitas tersangka dan penegak hukum yaitu keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri. Disamping itu,
alasan penahanan harus pula memenuhi syarat obyektif dan syarat subyektifnya, yaitu
bahwa tindakan yang dipersangkakan diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih, atau tindak pidana yang ditunjuk dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP.26 Dan
syarat subyektif yang diatur dalam Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
Adapun tempat pelaksanaan penahanan dibedakan ke dalam beberapa jenis,
yaitu:

24
Badriyah Khaleed, Panduan Hukum Acara Pidana, cet. 1 (Yogyakarta: Penerbit Medpress Digital,
2014), hlm. 14.
25
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 105.
26
Prima Harly Angkow, “Pelaksanaan Upaya Paksa Penahanan Dalam Pemeriksaan Tersangka Menurut
KUHAP”, Lex et Societatis Vol. I No. 3 (Juli 2013), hlm. 54.

16
a. Penahanan rumah tahanan negara, yaitu tersangka/terdakwa ditahan dan
ditempatkan di rumah tahanan
b. Penahanan rumah
c. Penahanan kota

4. Hubungan Alasan Permohonan dengan Teori Hukum Acara Pidana


Berdasarkan penjelasan teori-teori dalam hukum acara pidana yang berkaitan
dengan alasan permohonan praperadilan Para Pemohon dalam Putusan No.
01/PRA/2012/PN. Mgt tersebut, terdapat kesesuaian antara alasan permohonan tersebut
dengan teori-teori hukum acara pidana seperti yang sudah dijelaskan. Berikut ini akan
diuraikan hubungan alasan permohonan dengan teori-teori tersebut.
Pertama, wewenang Kejaksaan sebagai penuntut umum adalah melakukan
penuntutan sebagaimana amanat dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan. Dalam melakukan tugasnya, ia berkoordinasi dengan penyidik dalam tahap
penyelidikan dan penyidikan yaitu menerima berkas hasil perkara penyidikan penyidik
untuk meneliti berkas perkara tersebut apakah sudah memadai untuk dilakukan
penuntutan. Koordinasi ini adalah bentuk antisipasi terhadap duplikasi penyidikan
diantara Kepolisian dan Kejaksaan, bahwa dengan begitu, Kejaksaan dianggap
mengetahui adanya penyidikan yang lebih dulu sudah dilakukan oleh Kepolisian.
Terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana
khusus sebagaimana Penjelasan Pasasl 30 UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan,
Kejaksaan memang diberikan hak khusus untuk melakukan penyidikan. Namun,
kewenangan tersebut juga bukan tanpa batasan. Terhadap tindak pidana korupsi,
Kepolisian masih memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan, dan terhadap
pemisahan wewenang Kejaksaan dan Kepolisian tersebut, instansi yang berwenang
melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi juga sudah memberikan
penegasan dalam Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan RI, Kepolisian RI, dan KPK
Nomor KEP-049/A/J.A/03/2012, Nomor: B/23/III/2012 dan Nomor: SPJ-
39/01/032012. Oleh karena itu, sebagaimana diterangkan dalam duduk perkara, proses
penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi pengadaan lahan dan pembangunan
KIR masih dalam tahap penelitian oleh Termohon yang artinya Termohon mengetahui
adanya proses penyidikan yang lebih dulu dilakukan oleh Kepolisian Resort Magetan.
Dengan begitu, sudah seharusnya Kejaksaan Negeri Magetan mengetahui adanya
penyidikan terlebih dahulu yang sudah berjalan dan sepatutnya tidak melakukan

17
penyidikan terhadap objek atau perkara yang sama. Sehingga, walaupun secara teori
Kejaksaan mempunyai wewenang dalam melakukan penyidikan dalam tindak pidana
korupsi, tetap saja perbuatan Termohon tersebut dapat dinilai menyalahi Pasal 8
Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan RI, Kepolisian RI, dan KPK Nomor KEP-
049/A/J.A/03/2012, Nomor: B/23/III/2012 dan Nomor: SPJ-39/01/032012.
Kedua, mengenai perbuatan Termohon yang menetapkan Para Pemohon
sebagai Tersangka dalam tahap penyelidikan. Penetapan tersangka yang dilakukan oleh
termohon dalam kasus ini dilakukan sebelum memasuki lingkup proses penyidikan.
Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, sesuai dengan Pasal 1 angka 5
KUHAP, tahap penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa diduga sebagai suatu tindak pidana. Dalam tahap ini,
pemeriksaan yang dilakukan bukanlah pemeriksaan yang Pro Justitia. Oleh karena itu
dalam tahap penyelidikan, penyelidik tetap harus menghormati asas praduga tak
bersalah, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Dari
rumusan penyelidikan dalam KUHAP, penetapan tersangka bukanlah bagian dari
proses penyelidikan. Lebih jauh, perlu dilihat pula siapa yang dimaksud dengan
tersangka. Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 14 KUHAP, tersangka adalah seorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana. Untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka,
haruslah didapati bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat
bukti, dan ditentukan melalui gelar perkara. Sehingga, harus ada proses terlebih dahulu
dalam menetapkan seseorang untuk menjadi tersangka seperti serangkaian tindakan
penyidik berupa pengumpulan bukti-bukti secara Pro Justitia. Sedangkan, penetapan
tersangka yang dilakukan oleh Termohon hanya berdasarkan hasil penyelidikan dalam
bentuk permintaan keterangan dan buka pemeriksaan Pro Justitia sehingga belum bukti
permulaan yang cukup untuk penetapan tersangka belum terpenuhi. Dengan demikian,
secara teoritis penetapan tersangka oleh Termohon terhadap Para Pemohon tidak sesuai
dengan ketentuan Hukum Acara Pidana.
Ketiga, mengenai dilakukannya penahanan oleh Termohon terhadap Para
Pemohon. Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, penahanan dilakukan terhadap seorang
tersangka dan terdakwa berdasarkan bukti yang cukup. Seperti pembahasan pada
paragraf sebelumnya, bukti yang cukup adalah paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti
yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Sedangkan dalam Putusan No.
01/PRA/2012/PN. Mgt ini, bukti permulaan yang cukup bahkan belum terpenuhi sejak

18
tahap penetapan tersangka oleh Termohon. Sehingga seharusnya Termohon tidak dapat
melakukan penahanan terhadap Para Pemohon.

BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN PUTUSAN NO. 1/PRA/2012/PN. MGT

Hakim tunggal di persidangan praperadilan Putusan No. 01/PRA/2012/PN. Mgt ini


pada akhirnya mengabulkan permohonan praperadilan Para Pemohon untuk seluruhnya.
Dalam pertimbangannya, hakim tunggal menjelaskan beberapa poin, yaitu:
1. Bahwa tindakan Termohon melakukan penyidikan dan penahanan terhadap para
Pemohon dinyatakan telah melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP jo.
Pasal 8 Kesepakatan Bersama RI, Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan
Korupsi Nomor KEP-049/A/J.A/03/2012, Nomor: B/23/III/2012 dan Nomor: SPJ-
39/01/032012 tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sehingga penyidikan dan penahanan atas atas nama para Pemohon adalah tidak
sah.
Dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan terdapat pengaturan mengenai
kewenangan jaksa dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dituangkan dalam
Pasal 30 ayat (1) huruf (d) yang berbunyi: “salah satu tugas dan kewenangan
Kejaksaan di bidang pidana adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang-undang.”
Penjelasan dalam pasal ini menyatakan bahwa tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang itu contohnya adalah Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 jo. Undang-
Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan pasal tersebut dan penjelasannya, terlihat jelas bahwa Kejaksaan memiliki
hak privilege untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam penindakan terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia, penyidikan dilakukan
oleh tiga instansi yang berbeda, yaitu Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK. Dari
ketiga institusi tersebut, hanya KPK yang subjek tindak pidananya berbeda dengan
instansi lainnya. Subjek penyidikan yang menjadi kewenangan KPK tersebut diatur
dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berbeda

19
dengan KPK yang secara tegas memiliki batasan penyidikan tindak pidana korupsi yang
menjadi wewenangnya, Kepolisian dan Kejaksaan tidak memiliki pemisahan yang
tegas mengenai tindak pidana korupsi mana yang merupakan bagian kewenangan
kepolisian dan bagian kewenangan kejaksaan. Hal ini berdampak pada pelaksanaan
penegakan hukum diantara kedua instansi tersebut yaitu terjadinya tumpang tindih,
overlapping kewenangan, dan tanggung jawab antara Kepolisian dan Kejaksaan bahkan
terdapat kesan koordinasi fungsional dalam sistem peradilan pidana terpadu tidak
berjalan sebagaimana yang diharapkan. Untuk mengakomodir kemungkinan
perbenturan penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana korupsi tersebut,
Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi
Pemberantasan Korupsi telah membuat Kesepakatan Bersama diantara ketiga lembaga
tersebut Nomor KEP-049/A/J.A/03/2012, Nomor: B/23/III/2012 dan Nomor: SPJ-
39/01/032012. Oleh karena Kesepakatan Bersama 3 (tiga) instansi tersebut telah
mengikat diantara para instansi itu, maka tindakan Termohon melakukan penyidikan
dan penahanan terhadap objek penyidikan yang telah terlebih dahulu yang mana masih
berjalan diperiksa oleh Kepolisian Resort Magetan sejak bulan Juli 2012 dan masih
dalam tahap penelitian oleh Termohon telah menyalahi Pasal 8 Kesepakatan Bersama
Nomor KEP-049/A/J.A/03/2012, Nomor: B/23/III/2012 dan Nomor: SPJ-
39/01/032012 yang berbunyi, “Dalam hal PARA PIHAK melakukan penyelidikan pada
sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi
yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang
lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan PARA
PIHAK”. Oleh karena itu, penyelidikan yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak
sah karena Termohon melakukan penyidikan terhadap sasaran yang sama dengan
Kepolisian Resort Magetan yaitu dugaan adanya tindak pidana korupsi pelaksanaan
pengadaan tanah untuk Kawasan Industri Rokok (KIR) di Kelurahan Bendo Kecamatan
Bendo Kabupaten Magetan.

2. Bahwa penetapan para Pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan
karenanya batal demi hukum.
Berdasarkan pertimbangan hakim tunggal tersebut, perlu dipahami kembali mengenai
pengertian dan makna dari penyelidikan dan penyidikan. Ruang lingkup penyelidikan
adalah serangakaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana guna untuk menentukan dapat atau

20
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Pasal 1 angka 5
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Sedangkan penyidikan diatur dalam Pasal 1 butir
2 KUHAP. Selanjutnya, dalam Pasal 66 ayat (1) dan (2) Peraturan Kapolri No. 12
Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di
Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 12/2009) disebutkan
bahwa:
1) Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada
seseorang yang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti
permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti
2) Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling
sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
melalui gelar perkara.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pertimbangan hakim tunggal di poin sebelumnya,
oleh karena Kepolisian Resort Magetan telah memeriksa dan mengeluarkan SPDP
terlebih dahulu terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi pelaksanaan pengadaan
tanah untuk KIR dalam perkara a quo, dan telah melimpahkan berkas penyidikan
kepada Termohon, maka fungsi Termohon dalam perkara a quo haruslah sebagai
Penuntut Umum yang fungsinya meneliti perkas perkara sesuai Pasal 110 dan Pasal 138
KUHAP dan bukan sebagai penyidik. Berdasarkan fungsi Termohon tersebut, ia tidak
berwenang untuk menetapkan Para Pemohon sebagai tersangka. Oleh karena itu,
tindakan penetapan tersangka ini menyalahi Pasal 8 ayat (1) Kesepakatan Bersama
Nomor KEP-049/A/J.A/03/2012, Nomor: B/23/III/2012 dan Nomor: SPJ-
39/01/032012 karena mencampuri atau mengintervensi pemeriksaan yang menjadi
kewenangan Kepolisian Resort Magetan selaku penyidik yang mana tidak sesuai
dengan fungsi Termohon. Oleh karena itu, penetapan tersangka terhadap para Pemohon
ini juga dapat dikatakan tidak sah dan batal demi hukum.

3. Bahwa surat perintah penahanan dan surat perintah perpanjangan terhadap


para Pemohon yang juga merupakan suatu rangkaian tindakan Termohon dalam
rangka melakukan penyidikan terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi
pelaksanaan pengadaan tanah untuk KIR di Kelurahan Bendo Kecamatan Bendo
Kabupaten Magetan tidak sah dan batal demi hukum.
Hal ini mengacu pada teori upaya paksa penahanan yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya, penahanan adalah salah satu bagian dari upaya paksa merupakan

21
rangkaian dari proses yang dilakukan dalam tahap penyidikan dan penuntutan dilihat
dari pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam tahap tertentu. Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik
berwenang melakukan penahanan. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum
berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. Untuk kepentingan
pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan
penahanan.27 Dari penjelasan tersebut dapat dipengerti bahwa tiap pejabat penegak
hukum tersebut melakukan penahanan terhadap keperluannya masing-masing. Dalam
hal ini, Termohon yang sedari awal memeriksa perkara dugaan tindak pidana korupsi
pelaksanaan pengadaan lahan dan pembangunan KIR ini dengan fungsinya sebagai
penyidik, yang mana seharusnya Termohon berfungsi sebagai Penuntut Umum. Oleh
karena fungsi asal dan seharusnya dari Termohon sebagai Penuntut Umum tersebut,
maka Termohon tidak dapat melakukan perintah penahanan sebab perkara yang
diperiksanya belum memasuk tahapan pemeriksaan Penuntut Umum, yaitu Penuntutan.
Penahanan yang dilakukan oleh Termohon pada kasus ini nyatanya masih dilakukan
dalam tahapan penyelidikan, sehingga penahanan yang dilakukan oleh Termohon ini
tidak sah menurut ketentuan KUHAP.

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan berbagai teori dalam hukum acara pidana dan kasus dugaan tindak pidana
korupsi dalam Putusan No. 01/PRA/2012/PN. Mgt yang telah diuraikan dan dijelaskan di atas,
dapat disimpulkan bahwa Penulis menyetujui pertimbangan hakim tunggal dan penjatuhan
putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. Sebab,
dalam kasus Putusan No. 01/PRA/2012/PN. Mgt ini tindakan penyelidikan, penyidikan
maupun penahanan yang dilakukan oleh Termohon yaitu Kejaksaan Negeri Magetan telah
menyebabkan duplikasi atau penyelidikan yang berbenturan dengan Kepolisian Resort
Magetan yang telah terlebih dahulu melakukan penyidikan terhadap kasus dugaan tindak
pidana korupsi pelaksanaan pengadaan lahan dan pembangunan Kawasan Industri Rokok
(KIR) di Kelurahan Bendo, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Atas perbuatan Termohon
tersebut, Termohon telah melanggar beberapa ketentuan-ketentuan tahapan hukum acara

27
Badriyah Khaleed, Panduan Hukum Acara Pidana, hlm. 15

22
pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(“KUHAP”) dan Kesepakatan Bersama antar instansi yang berwenang dalam menindaklanjuti
tindak pidana korupsi yaitu Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Kesepakatan Bersama diantara ketiga
lembaga tersebut Nomor KEP-049/A/J.A/03/2012, Nomor: B/23/III/2012 dan Nomor: SPJ-
39/01/032012 yang mengakibatkan setiap perbuatan Termohon tidak sah dan batal demi
hukum. Terhadap pelanggaran yang dilakukan Termohon atas perbuatannya tersebut, terdapat
lembaga yang berfungsi untuk menjamin kepentingan tersangka atau pihak yang
berkepentingan dalam suatu perkara pidana atas tindakan penegak hukum, maupun sebagai
bentuk check and balances antara aparat penegak hukum itu sendiri terhadap hak asasi
seseorang yaitu lembaga praperadilan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 10
KUHAP.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Pangaribuan, Luhut M. P. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Djembatan, 2008.
Pangaribuan, Aristo, Arsa Mufti dan Ichsan Zikry. Pengantar Hukum Acara Pidana di
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017.
Witanto, D.Y. Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori dan Praktik. Cet. 1. Depok: Imaji
Cipta Karya, 2019.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Cet. 11. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Wisnubroto, AL dan G. Widiatarna. Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2005.
Arief, Barda Nawai. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Kuffal, HMA. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. Malang: UMM Press, 2008.
Karnasudirdja. Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Pidana. Jakarta: Mahkamah
Agung, 2002.
Purwolekso, Didik Endro Purwolekso. Hukum Acara Pidana. Surabaya: Airlangga University
Press (AUP), 2015.

23
Sofyan, Andi Sofyan. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Yogyakarta: Rangkang
Education, 2013.
Prints, Darwan. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan Kerjasama
Yayasan LBH, 1989.
Lamintang, P.A.F. KUHAP dengan Pembahasan Secara Yuridis menurut Yurisprudensi dan
Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana. Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984.
Sugianto, H. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek Peradilan di Indonesia. Yogyakarta:
Deepublish, 2018.
Khaleed, Badriya. Panduan Hukum Acara Pidana. Cet. 1. Yogyakarta: Penerbit Medpress
Digital, 2014.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Jurnal
Moeliono, Tristam P. dan Widati Wulandari. “Asas Legalitas Dalam Hukum Acara Pidana
Kritikan Terhadap Putusan MK tentang Praperadilan”, Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, Vol. 22 No. 4 (Oktober 2015), hlm. 596.
Angkow, Prima Harlow. “Pelaksanaan Upaya Paksa Penahanan Dalam Pemeriksaan
Tersangka Menurut KUHAP” Lex et Societatis Vol. I No. 3 (Juli 2013). Hlm. 54.

24

Anda mungkin juga menyukai