Anda di halaman 1dari 17

MODUL HUKUM PIDANA

(LAW 202)

MODUL 11
PENYERTAAN (DEELNEMING)

DISUSUN OLEH
ENDIK WAHYUDI, SH,MH

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
0 / 17
PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA (DEELNEMING AAN
STRAFBARE FEITEN)

A. Kemampuan Akhir Yang Diharapkan

Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu :


a. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan apa itu penyertaan
b. Mahasiswa mampu menjelaskan teori penyertaan
c. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme penjatuhan pidana bagi pelaku
penyertaan;

B. Uraian dan Contoh

Kata "penyertaan" dalam judul bab ini yang juga menjadi judul dari titel V
Buku I KUHP (Deelneming aan Strafbare Feiten) berarti turut sertanya seorang
atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana.
Rumusan ini terlihat pada pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang berbunyi:
“Pasal 55 (1)Sebagai pelaku suatu tindak pidana akan dihukum: ke-1: mereka
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu; ke-2:
mereka yang dengan pemberian, kesanggupan, penyalahgunaaan kekuasaan atau
martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan memberikan
kesempatan, sarana, atau keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu.
(2)Tentang orang-orang tersebut belakangan (sub ke-2) hanya perbuatanperbuatan
yang oleh mereka dengan sengaja dilakukan, serta akibatakibatnya dapat
diperhatikan. - Pasal 56 Sebagai pembantu melakukan kejahatan akan dihukum:
ke-1 : mereka yang dengan sengaja membantu pada waktu kejahatan itu
dilakukan. ke-2: mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana yaitu
yang melakukan perbuatan (plegen, dader), yang menyuruh melakukan perbuatan
(doen plegen, middelijke dader), yang turut melakukan perbuatan (medeplegen,
mededader), yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker),

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
1 / 17
yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige). Sifat dari
Penyertaan itu :1
1) Sebagai dasar memperluas dapat dipidanannya orang (Simons, van
Hattum, Hazewinkel Suringa) - Persoalan pertanggungjawaban pidana
- Delik yang tidak sempurna
2) Sebagai dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan (Pompe,
Mulyatno, Roeslan Saleh) - Bentuk khusus tindak pidana - Suatu delik
yang bentuknya istimewa,
Implementasi hukum pidana berkaitan dengan pertanggunggjawaban pelaku
berarti mengenakan sifat tercela dari perbuatan pidana pada orang itu sesuai
dengan peran dan kapasitas pelaku atau kontribusinya dalam mewujudkan
peristiwa pidana, sehingga patut dijatuhkan nestapa kepadanya. Jadi, tolok ukur
atau penentuan mengenai cakupan pertanggungjawaban pidana sangat tergantung
terhadap rumusan dan ruang lingkup perbuatan pidana yang ditentukan
sebelumnya serta konsep Ajaran Penyertaan di dalam hukum pidana positif.
Konsekuensinya akan mengacu kepada cara atau metode yang digunakan dalam
menentukan rumusan objektif suatu perbuatan pidana dan Ajaran Penyertaan
Pidana, sehingga cakupan dan perubahan-perubahannya akan berpengaruh kepada
lingkup pertanggungjawaban pidana bagi pembuatnya.
Ajaran Penyertaan Sebagai Perluasan Delik dan Perluasan
Pertanggungjawaban.
Sebagian besar sarjana hukum di Belanda dan di Indonesia berpandangan
bahwa ajaran tentang penyertaan sebagai strafausdehnungsgrund, yaitu dasar
memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam terwujudnya delik,
sebagaimana halnya dengan ajaran tentang Percobaan dan Pembantuan Pidana.
Oleh sebab itu, ketentuan normatif mengenai penyertaan diatur dalam Pasal 55
sampai dengan Pasal 60 KUH Pidana. Namun demikian D. Hazewinkel Suringa7 '
berpendapat bahwa penyertaan pidana sebagai dasar untuk memperluas
pertanggungjawaban pidana (tatbestands) selain pelaku yang mewujudkan seluruh

1
Aknes Susanty Sambulele, TANGGUNG JAWAB PELAKU PENYERTAAN
DALAM TINDAK PIDANA (PASAL 55 DAN 56 KUHP), Lex Crimen Vol.
II/No. 7/November/2013

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
2 / 17
isi delik, orang-orang turut serta mewujudkannya, yang tanpa ketentuan tentang
penyertaan tidak dapat dipidana, oleh karena mereka tidak mewujudkan delik,
misalnya seseorang pejabat atau pegawai negeri yang memerintahkan anggota
masyarakat yang dilayaninya untuk mendebet sejumlah uang ke rekening
pribadinya, agar mendapat previllege dalam pelayanan publik.
Perbedaan pendapat ini, sebenarnya tidak perlu diperuncing secara
mendalam mengingat eksistensi penyertaan pidana adalah untuk mencapai tujuan
hukum pidana secara praktis yakni demi kepastian hukum dan keadilan mengurai
secara benar. Seseorang melakukan tindak pidana sebagaimana Pompe
merumuskan "Strafbaar feit" adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran
ketertiban umum), terhadap pelaku mempunyai kesalahan untuk mana
pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan
menjamin kesejahteraan umum, sehingga orang tersebut harus dimintakan
pertanggungjawaban pidana. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
"Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi
apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).8 Pidana
adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan dan sebagainya).9
Selanjutnya pertangungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban dan pidana
merupakan ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, dalam moral, agama dan hukum. Tiga hal ini berkaitan dengan yang
lain, dan berakar pada suatu keadaan yang sama, yaitu adanya suatu pelanggaran
terhadap suatu pelanggaran dan suatu sistem aturan-aturan.
Tanggungjawab Pelaku Penyertaan Dalam Tindak Pidana
Memperhatikan perumusan delik yang terdapat di dalam KUH Pidana pada
umumnya dirumuskan secara tunggal, yakni orang peroranglah yang
dipertanggungjawabkan atas delik yang dilakukannya (melanggar setiap rumusan
delik). Hal demikian dapat diketahui dengan diilustrasikan bunyi "barangsiapa ...."
yang menunjukkan bahwa hanya seorang saja yang dapat mempertanggung
jawabkan atas terlanggarnya perumusan delik itu. Jadi jelas bahwa setiap orang
bertanggungjawab atas perbuatan melanggar hukum pidana secara sendiri-sendiri.
Persoalannya bagaimana apabila suatu delik dilanggar secara bersama-sama,
misalnya perbuatan korupsi yang dilakukan A Kepala Bagian Anggaran dengan B

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
3 / 17
Bendaharawan Khusus yang dibantu oleh C Staf Bagian Keuangan dan ternyata
dilakukan atas perintah D Kepala Biro Keuangan dengan cara membujuk
masingmasing pelaku untuk diusulkan naik pangkat. C berperan tidak
memasukkan data penerimaan negara bukan pajak dalam neraca atau laporan
keuangan, sedangkan B berperan menggelapkan uang PNBP dan memberikannya
kepada D Kepala Biro Keuangan, A sendiri sebagai atasan dari B dan C bertindak
sebagai pihak yang meneruskan perintah D dan menyetujui perbuatan pidana
tersebut. Ilustrasi tersebut melukiskan bahwa penggelapan uang negara berupa
penerimaan negara bukan pajak oleh D adalah perbuatan korupsi merupakan satu
delik (vide Pasal 2 dan 3 UU No. 20 Tahun 2001) tetapi terangkai merupakan
peristiwa pidana yang tidak sempurna terjadi, apabila tidak ada andil A, B, dan C,
walaupun setiap orang secara riil melakukan perbuatan yang berbeda-beda. Inilah
yang dalam ajaran hukum pidana (doktrin) disebut deelneming atau participation.
Jadi pengertian penyertaan adalah segala bentuk turut campur tangannya
orang bersama-sama dengan orang lain dalam melakukan perbuatan-perbuatan
yang berakibat timbulnya delik atau ketidakmauan mengakhiri perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang pidana.
Ketentuan tentang penyertaan dirumuskan berdasarkan Pasal 55 KUHP
mengambil over dari Pasal 47 Wetboek van Strafrecht yang dirumuskan sebagai
berikut: Dipidana sebagai pembuat sesuatu perbuatan pidana: (1) mereka yang
melakukan, yang menyuruhlakukan dan turut serta melakukan perbuatan; (2)
mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.2
Dengan demikian menurut ketentuan tersebut bahwa ada 4 (empat) bentuk
penyertaan perbuatan pidana yaitu menurut Pasa155 ayat (1) antara lain pelaku
pelaksana (plegen); pembuat pelaku atau penyuruh (doen plegen); pelaku peserta
(medeplegen); dan penganjur atau pembujuk atau perencana (uitlokken).
Tanggungjawab pidana dari keempat peran dengan bentuk penyertaan tersebut

2
Moeljatno Kitab Undang-Undang Hukum Pidana cet. ke-21 Jakarta: Bumi
Aksara, 2001. hlm. 25.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
4 / 17
sama dengan pembuat sendiri. Jadi dari uraian tersebut maka bentuk penyertaan
pidana dalam KUH Pidana Indonesia adalah peserta pembuat pidana disebut
mededader, sedangkan pemberi bantuan pidana disebut medeplichtig bukan
merupakan penyertaan. Jadi tidak tepat kalau menggunakan istilah
medeplichtigheid berarti "sifat" bukan kata benda abstrak, padahal semua itu
mengacu kepada pelaku jadi kata benda.
Antara KUH Pidana Indonesia dengan Code of Penal Perancis terdapat
kesamaan, yakni KUHP Perancis sama-sama tidak memasukkan pembantuan
perbuatan pidana sebagai bentuk penyertaan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 KUHP Indonesia, sedangkan KUHP Amerika sebaliknya memperluas
maksud Pasal 56 KUHP Indonesia yang hanya “sebelum” dan “ketika” perbuatan
pidana terjadi, sedangkan KUHP Amerika menetapkan perbuatan pembantuan
"sesudah" tindak pidana selesai sebagai penyertaan pidana. Dari kenyataan ini
bahwa ajaran penyertaan perbuatan pidana dapat "menyempit" seperti Perancis
dan dapat pula "meluas" seperti di Amerika.
Persoalannya apakah konsepsi ajaran penyertaan pidana yang dirumuskan di
dalam Pasal 55 KUH Pidana sudah memadai dalam pemberantasan kejahatan
khususnya tindak pidana korupsi dengan peran dan struktur pelaku yang
kompleks.
Bentuk-bentuk penyertaan yang dimaksudkan di dalam Pasal 55 KUHP
Indonesia sebagai berikut:
a. Pelaku pelaksana disebut plegen
Istilah plegen berasal dari zij die het geit plegen yakni mereka yang
melakukan perbuatan pidana. Dalam memori penjelasan KUHP
(memorie van toelichting) tidak dijumpai keterangan sedikitpun, padahal
plegen diketahui bagian atau termasuk juga dader.
b. Pelaku sebagai penyuruh disebut doen plegen
Pelaku sebagai penyuruh perbuatan pidana adalah bentuk kedua dari
penyertaan yang terdapat di dalam Pasal 55 KUH Pidana. Dalam pasaJ
tersebut tidak diterangkan apa yang dimaksud dengan penyuruh itu,
tetapi dalam memorie van toelicting (memori penjelasan) KUH Pidana
Belanda dijelaskan sebagai berikut:

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
5 / 17
"Penyuruh perbuatan pidana (doen plegen) adalah juga dia yang melakukan
perbuatan pidana tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan
orang lain, sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa
kesengajaan, kealpaan atau tanggungjawab karena keadaan yang tahu,
disesatkan atau tunduk pada kekerasan:
Jadi orang yang digunakan sebagai "alat" dalam tangan pelaku (doen
plegen) tadi itu, harus memenuhi persyaratan tertentu, yakni orang tanpa
"kesengajaan, kealpaan atau tanggungjawab. Ketiadaan tanggungjawab
pidana sebenarnya terdapat 3 (tiga) kemungkinan, yakni, pertama,
karena dalam keadaan tidak tahu; kedua karena keadaan disesatkan; dan
ketiga karena keadaan tunduk pada kekerasan.
c. Pelaku Peserta disebut medeplegen
Bentuk ketiga dari penyertaan perbuatan pidana (deelneming) adalah
medeplegen yakni bentuk perbuatan pidana yang berada di antara pelaku
pelaksana (plegen) dengan pembantuan (medeplichtig). Pelaku peserta
adalah orang yang turut serta melakukan sebagian dari unsurunsur delik.
Jadi bedanya antara pelaku peserta dengan pelaku pembantu perbuatan
pidana adalah:
"Pelaku pelaksanan (plegen) sebagai pembuat pidana tunggal yaitu
melaksanakan semua unsur-unsur delik, sedangkan pelaku peserta hanya
melaksanakan sebagian saja dari unsur-unsur delik dan bersama dengan
temannya menyelesaikan delik itu:"
Jadi apabila tindak pidana pemilu dengan cara money politic untuk
memenangkan salah satu calon walikota di mana tim sukses menyuap
pejabat Komisi Pemilihan Umum yang berwenang memproses surat
suara, maka si penyuap tadi tidak harus orang yang memenuhi
kualifikasi sebagai calon walikota, karena penyuap sebagai pelaku
peserta tidak perlu memenuhi unsur kualitas itu.
Menurut Pompe sebagaimana dikutipkan oleh Barda Nawawi Arief
sebagai penganut pandangan luas menegaskan bahwa untuk dapat

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
6 / 17
dikatakan turut serta melakukan tindak pidana (medepleger) ada tiga
kemungkinan yaitu:3
1) Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan
tindak pidana dan saling bekerjasama. Misalnya A dan B
bekerjasama melakukan pencurian dua karung beras disebuah
gudang. A dan B masuk ke dalam gudang beras dan masing-masing
mengambil dan mengangkut satu karung beras. Perbuatan A dan B
masing-masing memenuhi unsur tindak pidana pencurian.
2) Salah seorang memenuhi semua unsur tindak pidana, sedang yang
lain tidak. Mislanya dua orang pencopet di keramian pasar yakni A
dan B saling bekerja sama, A yang menabrak orang yang menjadi
sasaran, sedangkan B yang mengambil dompet orang tersebut.
3) Tidak seorangpun memenuhi unsur tindak pidana seluruhnya, tetapi
mereka bersama-sama mewujudkan tindak pidana itu. Misalnya,
pencurian berat dengan jalan merusak (Pasal 363 ayat (1) ke 5
KUHP) dimana dalam mewujudkan delik tersebut A mencongkel dan
merusak kunci dan grendel jendela rumah, sedang B yang masuk
rumah mengambil barang-barang yang kemudian diterima A di depan
jendela.
Sekilas pada uraian Pompe di atas menurut penulis tidak
menitikberatkan pada unsur perbuatan tetapi pada sifat adanya
kerjasama yang diinsafi dan dengan adanya tujuan bersama yang
ingin dicapai. Selain doktrin dalam salah satu Arrest Hoge Raad
kasus kebakaran Wormerveer (HR 29-10-1943) menyi-mak
pertimbangan hukumnya jelas menganut pandangan luas (pandang
sub-jektif) tentang medeleger. Dalam kasus tersebut A dan B
bersepakat untuk bersama-sama membakar sebuah gudang milik C.
Pada malam yang telah direncanakan mereka menuju ke sana,
kemudia A naik tangga (yang dipegang oleh B) untuk membakar
rumput kering di loteng yang semula tidak berhasil karena rumput

3
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Badan Penyedia Bahan Kuliah Fakultas
Hukum Undip, Semarang, 1993, hlm. 33

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
7 / 17
terlalu basah. Atas permintaan A, B kemudian mengambil rumput
kering dari lantai kemudian diberikan kepada A, tetapi tetap juga
tidak dapat terbakar. Namun setelah beberapa kali mencoba
menyulutkan api pada rumput akhirnya A berhasil membakar rumput
kering dan api menjalar dan meluas membakar seluruh gudang. B
dalam sidang mengajukan pembelaan bahwa ia bukanlah pelaku turut
serta dengan dalih bahwa ia bukanlah orang yang membakar gudang
dan perbuatannya hanya memegang tangga yang dinaiki oleh A.
Perbuatan mana dianggap tidak memenuhi kualifikasi sebagai
pembuat lengkap atau seorang dader, dia beralibi bahwa
perbuatannya hanyalah pembuat pembantu. Hoge Raad berpendapan
lain dalam pertimbangan hukumnya yakni berkaitan dengan
persetujuan untuk bersama-sama membakar, kerjasama antara
keduanya begitu lengkap dan erat sehingga akhirnya A yang
menyulutkan korek api pada rumput. Karena itu perbuatan B, tidak
membawa sifat memberi bantuan melainkan bersama-sama dan
bergabung membuat kebakaran yang lengkap. 4
d. Pembujuk atau penganjur uitlokken
Bentuk keempat dari penyertaan diatur dalam Pasal 55 ayat (1) sub ke-2
dan ayat (2) KUH Pidana, sebagaimana dengan doen plegen bahwa
uitlokken juga merupakan auctor intelectualis, tetapi sebagaimana
penyuruh perbuatan pidana bahwa penganjur atau pembujuk perbuatan
pidana tidak melaksanakan sendiri unsur-unsur delik, melainkan
dilaksanakan oleh arang lain dan perbuatan tersebut dilakukan oleh
orang lain karena atau disebabkan anjuran atau bujukan dari penganjur
tersebut.
Pertanggungjawaban pidana seorang penganjur atau pembujuk menurut
Vos harus memenuhi persyaratan pertama, kesengajaan dan penganjuran
atau pembujukan ditujukan terhadap dilaksanakannya suatu delik; kedua
dengan upaya-upaya yang disebut dalam undangundang dan berusaha

4
D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Konsursium Ilmu Hukum
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 257.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
8 / 17
agar si pelaksana perbuatan pidana melaksanakan delik tersebut; ketiga,
si pelaksana perbuatan pidana tergerak hatinya oleh upaya tersebut;
keempat, dengan dilaksanakannya delik tersebut atau paling tidak
percobaan melakukan delik, si pelaksana perbuatan pidana dapat
dipidana asalkan atau harus sesuai dengan keinginan pengajur atau
pembujuk.
Beberapa pakar hukum pidana merumuskan pengertian uitlokking
sebagai berikut:
1) Van Hammel
Menurut Van Hammel yang dikutip oleh Lamintang bahwa uitlokking
adalah kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat
diipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu
tindak pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh
undang-undang karena telah tergerak, orang tersebut kemudian telah
dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan. 5
2) Satochid Kartanegara
Uitlokking adalah setiap perbuatan yang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan yang terlarang yang senantiasa harus
dipergunakan cara, daya, upaya sebagaimana dalam Pasal 55 ayat (!) ke
2 KUHP.6
3) Barda Nawawi Arief
Uitlokking adalah setiap perbuatan menganjurkan orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
ditentukan oleh undang-undang. 7
e. Pembantuan (Medeplechtige)
KUH Pidana Indonesia seperti Wetboek van Strafreht voor Nederlandcsh
(kecuali sebelum tahun 1886) menganut perluasan pengaturan
penyertaan pidana yang sama, jika dibandingkan dengan Code of Penal
Perancis yang tidak memasukkan pembantuan perbuatan pidana sebagai
bagian dari penyertaan pidana atau sebaliknya KUH Pidana Amerika

5
Lamintang, Op.Cit, hlm. 634.
6
Satochid Kartanegara, Op.Cit, hlm. 522..
7
Satochid Kartanegara, Op.Cit, hlm. 522..

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
9 / 17
Serikat yang terlampau jauh ke muka dengan memasukkan pembantuan
"setelah" delik terjadi sebagai penyertaan pidana.
Pada dasarnya pembantuan adalah bentuk ke-5 dari penyertaan yang
diatur di dalam Pasal 56, 57 dan 60 KUH Pidana. Definisi pemberian
bantuan sebelum dan ketika delik terlaksana pada hakekatnya adalah
perbuatan yang tidak termasuk perbuatan pelaksanaan dari suatu delik,
melainkan merupakan perbuatan "yang mempermudah" terjadinya suatu
delik atau memperlancar terlaksananya suatu delik. Argumentasi bahwa
pembantuan merupakan bentuk kelima dari penyertaan menurut hukum
pidana Indonesia adalah sebagaimana hukum pidana Belanda yang
dikutip dalam KUHP bahwa title v tentang Deelneming aan strafbare
feiten termasuk pula pembantuan di mana khusus bentuk kesatu sampai
kelima diatur dalam Pasal 47 dan pembantuan diatur dalam Pasal 48
Wetboek van Strafrecht atau Pasal 55 dan 56 KUHP.
Arrest HR tanggal 25 Maret 1901, W. 7587, Hoge Raad berpendapat
antara lain: “orang yang mengamati dan turut membuat rencana, namun
tidak mewujudkan tindakan pelaksanaan tetapi merupakan pelaku
bersama.
Dalam kasus lain HR menerima, bahwa mungkin sekali ada turut serta
melakukan tanpa kehadiran salah satu pembuat peserta ditempat
dilakukannya tindak pidana. Ini sering terjadi dalam hal impor narkotika,
misalnya dengan pesawat udara. Seringkali orang-orang yang tinggal
diberbagai tempat bersepakat untuk berperan serta mencapai tujuan
bersama dan hasilnya mereka nikmati bersama pula. Demikian pula
dapat terjadi turut serta mencuri dari peti kemas. Maskipun pembuat
peserta tidak berada ditempat kejahatan, tetapi dia mempunyai peranan
penting dalam organisasi pencurian itu (HR 17 November 1981-
Container Diefstal Arrest).8

8
D. Schaffmeister, op.cit, hlm. 90.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
10 / 17
Perbedaan Uitlokken dengan Doenplegen
Bentuk penyertaan uitlokken ini hampir sama dengan doenplegen yakni dalam
mewujudkan delik ada dua pihak yang terlibat yakni intellectual dader (orang
yang menyuruh, orang yang membujuk) dan materilele dader (orang yang disuruh,
orang yang dibujuk).
Adapun perbedaannya, pada doenplegen (menyuruh melakukan):
a. Orang yang disuruh (manus misnitra) tergolong orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, sehingga pa-danya tidak
dapat dipidana karena ada alasan peniadaan pidana yang melekat pada
unsur pembuat atau unsur perbuatannya dan yang dipidana adalah si
penyuruh (manus domina).
b. Daya upaya atau sarana yang dipergunakan oleh penyuruh untuk
menggerakkan tidak ditentukan secara limitatif dalam undang-undang
artinya dapat berupa apa saja.
Sedangkan pada uitlokken (membujuk untuk melakukan) :
a) Orang yang dibujuk (pelaku materil) dapat dipertanggungjawabkan atau
dapat dipidana karena melakukan suatu tindak pidana. Demi-kian juga
halnya si pembujuk dapat dipidana kerena menggerakkan orang untuk
melakukan tindak pidana;
b) Daya upaya yang digunakan pembujuk ditentukan secara limitatif dalam
undang-undang yakni dengan pemberian, perjanjian, salah memakai
kekuasaan aatau pengaruh, dengan paksaan, ancaman atau tipu muslihat,
atau dengan memberikan kesempatan, ikhtiar atau keterangan.
Syarat-Syarat Uitlokken (Pembujukan)
Berdasarkan uraian sebelumnya tersebut di atas maka syarat unuk adanya
uitlokken (pembujukan) adalah:
a) Ada pelaku materil dan pelaku intelektual
b) Pelaku materil harus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
c) Ada kesengajaan untuk menggerakaan orang lain melakukan tindak pidana
d) Daya upaya untuk menggerakkan adalah seperti yang tersebut dalam
undang-undang secara limitatif

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
11 / 17
e) Keputusan kehendak pelaku materil untuk mewujudkan tindak pidana
timbul karena adanya daya upaya yang datangnya dari pelaku intelektual
(psychische causaliteit)
f) Pelaku materil harus telah melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau
percobaannya..
Perbedaan antara Pembantuan dan Bentuk Penyertaan lainnya.
Dari berbagai bentuk penyertaan mempunyai karakteristik atau ciri terten-tu
yang membedakan antara satu dan yang lainnya. Demikian pula dengan
pembantuan dapat dibedakan dengan bentuk penyertaan lainnya .
a. Perbedaan Pembantuan (Pasal 56 KUHP) dengan Pembuat (Pasal 55 KUHP)
1) Pembantuan hanya ditujukan terhadap kejahatan saja sehingga pem-
bantuan pada pelanggaran tidak dipidana. Sedangkan pada pembuat
(dader) perbuatannya berupa kejahatan atau pelanggaran.
2) Pada pembantuan, kesengajaan pembantu ditujukan untuk membe-
rikan bantuan bukan ditujukan untuk pelaksanaan kejahatan. Sedang-
kan pada pembuat (dader), unsur kesengajaan untuk melakukan tindak
pidana ada pada disetiap peserta, kecuali pada orang yang disuruh
melakukan (karena ada alasan pemaaf sebagai alasan yang
menghapuskan kesalahan).
3) Pembantuan tidak melakukan sebagian atau seluruh unsur objektif dari
kejahatan. Sedangkan pembuat (kecuali yang disuruh) bertang-
gungjawab atau dipandang turut melakukan semua unsur objektif dari
tindak pidana tersebut, walaupun mungkin yang ia lakukan hanya
sebagian (arti sempit turut serta melakukan) atau sama sekali tidak
turut melakukannya (orang yang menyuruh melakukan dan orang yang
membujuk untuk melakuan).
4) Pertanggungjawaban pidana pembantu terkait/ tergantung (accesoir)
kepada pelaksanaan kejahatan oleh pelaku utama sedangkan pada
pembuat bentuk pertanggungjawaban pidananya mandiri (untuk uitlok-
ker ada ketentuan Pasal 163 bis KUHP)
5) Ancaman pidana bagi masing-masing pembuat (kecuali yang disuruh
melakukan) adalah maksimum dari ancaman pidana delik yang ber-

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
12 / 17
sangkutan. Sedangkan ancaman pidana bagi pembantu dikurangi
sepertiga dari maksimum ancaman pidana kejahatan yang bersang-
kutan.
b. Perbedaan Pembantuan dengan Turut Serta Melakukan (Medeplegen)
1) Kesengajaan pembantu hanya ditujukan terhadap perbuatan pembe-
rian bantuan untuk mempermudah dilakukannya kejahatan oleh pem-
buat pelaksana. Sedangkan pada turut serta melakukan kesengajaan
pembuat pelaksana ditujukan terhadap pelaksanaan anasir delik se-
hingga perbuatan seorang medepleger mengarah kepada pelaksa-naan
unsur delik baik sebagain atau seluruhnya.
2) Hubungan pertanggungjawaban antara pembantu dengan pelaku uta-
ma adalah terkait, sedangkan hubungan pertanggungjawaban antara
pembuat pembuat pelaksana pada medeplegen adalah mandiri.
3) Pada pembantuan, pembantu tidak berkepentingan supaya delik ter-
sebut terlaksana, sedangkan pada turut serta melakukan, masing-
masing peserta berkepentingan agar delik tersebut terlaksana.
4) Pada pembantuan melakukan pelanggaran tidak dipidana, sedang-kan
pada turut serta melakukan baik terhadap kejahatan maupun
pelanggaran dapat dipidana.
5) Pada pembantuan maksimum pidannya dikurangi sepertiga, sedang-
kan pada turut serta melakukan diancam pidana maksimum yang sama
diantara para pembuat pelaksana.
Rangkuman
Penyertaan (deelneming) ialah ada dua orang atau lebih yang melakukan
suatu tindak pidana atau dengan kata lain ada dua orang atau lebih mengambil
bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana dan harus dipahami bagaimana
hubungan tiap peserta terhadap delik tersebut.
Ada dua pandangan tentang sifat dapat dipidannya penyertaan yakni a)
Sebagai dasar memperluas dapat dipidannya orang (Strafausdehnung-sgrund)
yakni bahwa penyertaan dipandang sebagai persoalan pertang-gungjawaban
pidana. Penyertaan bukan suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna. Pandangn
ini dianut oleh Simons, Van Hattum, Van Bemmelen, Hazewinkel Suringa; b)

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
13 / 17
Sebagai dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan
(Tatbestandausdehnunggrund) yakni bahwa penyertaan dipa-dang sebagai bentuk
khusus dari tindak pidana ( merupakan suatu delik) hanya bentuknya istimewa.
Pandangan ini dianut oleh Pompe, Moeljatno, Roeslan Saleh.
Bentuk-bentuk penyertaan dalam arti luas menurut KUHP adalah :a).
Pembuat atau dader (Pasal 55 KUHP) yang terdiri atas : orang yang mela-
kukan/pelaku/pleger (Pasal 55 ayat (1)ke 1 KUHP),orang yang menyuruh
melakukan/doenpleger (Pasal 55 ayat (1) ke KUHP),orang yang turut serta
melakukan/medepleger (Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP), penganjur/ pem-
bujuk/pemancing/penggerak/uitlokker (Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP); b).
Pembantu/ medeplichtige (Pasal 56 KUHP) yang terdiri atas: pembantu pada saat
kejahatan dilakukan (Pasal 56 ke-1 KUHP), pembantu sebelum kejahatan
dilakukan (Pasal 56 ke-2 KUHP).
Syarat pembantuan adalah pembantuan harus dilakukan dengan sengaja,
pembantu harus mengetahui jenis kejahatan yang dikehendaki oleh pem-buat
pelaksana dan untuk kejahatan itu ia memberikan bantuan bukan terhadap
kejahatan lain, kesengajaan pembantu ditujukan untuk memudah-kan atau
memperlancarkan pembuat pelaksana melakukan kejahatan artinya kesengajaan
pembantu bukan merupaka unsur delik dan pemabntu tidak malkasanakan anasir
delik.
Menurut Pasal 56 KUHP ada dua bentuk pembantuan yakni: Pembantuan
pada saat kejahatan dilakukan (Pasal 56 ke-1 KUHP) dan Pembantuan sebelum
kejahatan dilakukan dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan (Pasal
56 ke-2 KUHP).
Pertanggungjawaban pidana pembantu terkait/ tergantung (accesoir)
kepada pelaksanaan kejahatan oleh pelaku utama sedangkan pada pembuat ben-
tuk pertanggungjawaban pidananya mandiri (untuk uitlokker ada ketentuan Pasal
163 bis KUHP). Ancaman pidana bagi masing-masing pembuat (ke-cuali yang
disuruh melakukan) adalah maksimum dari ancaman pidana delik yang
bersangkutan. Sedangkan ancaman pidana bagi pembantu diku-rangi sepertiga
dari maksimum ancaman pidana kejahatan yang bersang-kutan.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
14 / 17
C. Latihan

1. Itilah lain dari penyertaan adalah?


a. laiyering
b. Anmaning
c. deelneming
2. salah satu jenis penyertaan adalah?
a. doenpleger
b. deelneming
c. annmaning
3. orang yang turut serta melakukan/medepleger diatur dalam pasal?
a. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP
b. Pasal 55
c. Pasal 55 ayat (2)
4. Pembantu/ medeplichtige diatur dalam pasal?
a. 56 KUHP
b. 55 KUHP
c. 54 KUHP
5. pembantu sebelum kejahatan dilakukan diatur dalam pasal?
Pasal 56 ke-2 KUHP.
a. Pasal 56 ke-2 KUHP
b. Pasal 57 KUHP
c. Pasal 58 KUHP
D. Kunci Jawaban
1. C
2. A
3. A
4. A
5. A

E. Daftar Pustaka

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
15 / 17
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip hukum pidana, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2016,

Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana I, CV. ARMICO, Bandung. 1990.

Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan, dan
Pemberat Pidana, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013,

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,


Yogyakarta. 2016,hlm 295

PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya, Bandung.


2011, hlm 12.

Moeljatno. 1987. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara

Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentarnya (Bogor:


Politea, 1991), h. 31.
1
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung:
Yarma Widya, 2003. hlm. 12-13
1
Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Arumanadi,
Semarang: IKIP Semarang Press, 1993, hlm. 120.

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 162.

Romli Atmasamita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem hukum


Pidana Indonesia (Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1997, hlm. 105.

Mustafa Djuang Harahap, Yuridiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang


Berkaitan dengan hukum Internasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm.
125.

Putusan.Pengadilan.Negeri.Yogyakarta..https://putusan.mahkamahagung.go.id/put
usan/904b295b c3c10d6f891735602399f2b8, Diakses pada tanggal 28 Juni 2019
pukul 18.20 Wib

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
16 / 17

Anda mungkin juga menyukai