Anda di halaman 1dari 68

SKRIPSI

GUGURNYA PERMOHONAN PRAPERADILAN KUASA


HUKUM TERSANGKA DI PENGADILAN BERDASARKAN
KUHAP

Rencana penelitian untuk penulisan skripsi (Strata 1)

Diajukan Oleh

RESKY ARYA KAMANDANU


NIM.1810211610019

PROGRAM SARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN
TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA
BANJARMASIN, MEI, 2022
GUGURNYA PERMOHONAN PRAPERADILAN KUASA HUKUM
TERSANGKA DI PENGADILAN BERDASARKAN KUHAP

SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
FakultasHukumUniversitas
LambungMangkurat

Oleh :

RESKY ARYA KAMANDANU


NIM.1810211610019

PROGRAM SARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN
RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA
BANJARMASIN, MEI, 2022
i
i
i
PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan


di depan sidang panitia penguji

Pada hari Selasa tanggal 07 Juni 2022


dengan susunan Panitia Penguji

SUSUNAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI


Ketua/Anggota : Dr. H. M. Erham Amin, S.H., M.H.
Sekretaris/Anggota : Dr. Suprapto, S.H., M.H.

Anggota : 1. Dr. Anang Shopan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.


: 2. Indah Ramadhany, S.H., M.H.
: 3. Dr. Noor Hafidah, S.H., M.Hum.

Ditetapkan dengan keputusan


Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
Nomor : 61/UN8.1.11.1/SP/2022
Tanggal : 02 Juni 2022

i
GUGURNYA PERMOHONAN PRAPERADILAN KUASA HUKUM
TERSANGKA DI PENGADILAN BERDASARKAN KUHAP

RESKY ARYA KAMANDANU

ABSTRAK

Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan
tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan,
mencegah terjadinya kekacauan. Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa
adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Indonesia adalah negara hukum yang
membentuk banyak peraturan-peraturan perundang-undangan. Diantaranya yaitu
adalahperaturan perundangundangan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, disingkat KUH Acara Pidana atau KUHAP) adalah undang-undang
Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan formal dari hukum pidana.
Pengaturan perlindungan hak asasi dalam wilayah/konteks penegakan hukum
ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 “setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakukan yang sama di hadapan hukum Hasil penelitian ini adalah :
Pertama, kalau diperhatikan ketentuan Pasal 83 ayat (2) KUHAP dan petujuk
atau pedoman dalam tata cara pemeriksaan yang terdapat pada angka 12 Lampiran
Keputusan Menteri Kehakiman tersebut, maka akan terlihat bahwa prosedur dan
tata cara pemeriksaan tingkat banding terhadap putusan praperadilan mengenai
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, telah diatur tersendiri dan
agak menyimpang dari prosedur dan proses biasa pemeriksaan banding. Seolah-
olah terhadap putusan ini tidak berlaku prosedur dan proses pemeriksaan tingkat
banding. Oleh sebab itu, menurutnya akan lebih tepat jika terhadap putusan
praperadilan ini tidak dimasukkan dalam kategori upaya banding. Akan tetapi
oleh karena Pasal 83 mengelompokkan kepada upaya banding, terpaksa Menteri
Kehakiman mengatur tata caranya dengan memberikan pedoman sebagaimana
yang dimaksud pasal angka 12 Lampiran tersebut. Kedua, Adapun faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi Hakim dalam menjatuhkan keputusan antara lain
faktor internal dan faktor eksternal diri hakim itu sendiri, yaitu menyangkut pada
faktor pendidikan / SDM,

sistem rekrutmen, kesejahterahan hakim. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari


faktor perundang-undangan , adanya intervensi terhadap proses peradilan baik itu
dari lembaga negara yang lain maupun dari kalangan hakim / lingkungan sendiri ,
hubungan hakim dengan penegak hukum lain, adanya tekanan, faktor sosial dan
politik.

i
Kata Kunci : Gugur, Permohonan Praperadilan, Kuasa Hukum,

Tersangka , Pengadilan , KUHAP

ii
RINGKASAN

GUGURNYA PERMOHONAN PRAPERADILAN KUASA HUKUM


TERSANGKA DI PENGADILAN BERDASARKAN KUHAP

(Resky Arya Kamandanu, 2022 : 62 Halaman)

Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan
tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan,
mencegah terjadinya kekacauan. Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa
adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Indonesia adalah negara hukum yang
membentuk banyak peraturan-peraturan perundang-undangan. Diantaranya yaitu
adalahperaturan perundangundangan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, disingkat KUH Acara Pidana atau KUHAP) adalah undang-undang
Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan formal dari hukum pidana.
Pengaturan perlindungan hak asasi dalam wilayah/konteks penegakan hukum
ditegaskan dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 “setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakukan yang sama di hadapan hukum”. Dalam gugurnya suatu
praperadilan untuk menegakkan keadilan, sebuah kepastian hukum serta
perlindungan hak-hak tersangka, pembuatan undang-undang membentuklah suatu
lembaga hukum yang memiliki nama Lembaga Praperadilan.Sudah jelas disini
bahwa praperadilan adalah merupakan sebuah jaminan untuk setiap orang yang
menjadi korban suatu kelalaian ataupun kesengajaan dari tindakkan penegak
hukum.

Untuk menghindari perbedaan tafsiran dan implementasi, maka demi suatu


kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan dinyatakan gugur pada saat
telah menggelar sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama
terdakwa/termohon praperadilan. Namun harus dipikir bagaimanakah hak
tersangka untuk mendapatkan keadilan. Sehubung dengan demikian, penulis
dalam hal ini menulis tentang “Gugurnya Permohonan Praperadilan Kuasa
Hukum Tersangka di Pengadilan Berdasarkan KUHAP”

Sifat penelitian dalam penulisan skripsi di sini adalah sifat penelitian deskriptif,
yaitu menggambarkan jawaban atas permasalahan melalui hasil dari penelitian
penulis. Tipe penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah Gugurnya Permohonan
Praperadilan Kuasa Hukum Tersangka Di Pengadilan Berdasarkan KUHAP

iii
Hasil penelitian ini adalah: 1. kalau diperhatikan ketentuan Pasal 83 ayat (2)
KUHAP dan petujuk atau pedoman dalam tata cara pemeriksaan yang terdapat
pada angka 12 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut, maka akan
terlihat bahwa prosedur dan tata cara pemeriksaan tingkat banding terhadap
putusan praperadilan mengenai penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan, telah diatur tersendiri dan agak menyimpang dari prosedur dan proses
biasa pemeriksaan banding. Seolah-olah terhadap putusan ini tidak berlaku
prosedur dan proses pemeriksaan tingkat banding. Oleh sebab itu, menurutnya
akan lebih tepat jika terhadap putusan praperadilan ini tidak dimasukkan dalam
kategori upaya banding. Akan tetapi oleh karena Pasal 83 mengelompokkan
kepada upaya banding, terpaksa Menteri Kehakiman mengatur tata caranya
dengan memberikan pedoman sebagaimana yang dimaksud pasal angka 12
Lampiran tersebut. 2. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Hakim
dalam menjatuhkan keputusan antara lain faktor internal dan faktor eksternal diri
hakim itu sendiri, yaitu menyangkut pada faktor pendidikan / SDM, sistem
rekrutmen, kesejahterahan hakim. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari faktor
perundang-undangan , adanya intervensi terhadap proses peradilan baik itu dari
lembaga negara yang lain maupun dari kalangan hakim / lingkungan sendiri ,
hubungan hakim dengan penegak hukum lain, adanya tekanan, faktor sosial dan
politik.

iv
UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmanirrahim, dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat


Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul “GUGURNYA PERMOHONAN PRAPERADILAN
KUASA HUKUM TERSANGKA DI PENGADILAN BERDASARKAN
KUHAP”

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis mendapat banyak bantuan serta


dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih atas segala bantuan, dukungan dan
bimbingannya kepada :
1. Ibu dan Ayah, yang selalu memberikan dukungan penuh kepada penulis
dalam segala minat dan keinginan penulis selama masih berada dalam
koridor yang bagus dan sesuai. Selalu memberikan doa dan kasih sayang
yang tulus sejak penulis masih berada dalam kandungan hingga saat ini.
2. Bapak Prof. Dr. Abdul Halim Barkatullah S.Ag., S.H., M.Hum. selaku
Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin;
3. Bapak Dr. H. Rachmadi Usman, S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi
Program Sarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin;
4. Bapak Dr. Anang Sophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn. selaku Dosen
Pembimbing Utama yang telah memberikan ilmu, bimbingan, saran dan
masukan dalam penulisan skripsi ini serta dosen yang sangat di hormati;
5. Ibu Indah Ramadhany SH. MH selaku Dosen Pembimbing Kedua yang
telah memberikan ilmu, bimbingan, saran dan masukan dalam penulisan
skripsi ini serta dosen yang sangat di hormati;

vi
6. Semua Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin yang telah memberikan pengajaran dan bimbingan kepada
penulis dalam masa perkuliahan;
7. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin pada bagian Umum, Akademik, Perpustakaan dan bagian
Kemahasiswaan.
8. Sahabat terdekat penulis, Diza Afira Hutasuhut yang selalu mendukung
saya dan selalu mengingatkan kepada Tuhan selama mengerjakan skripsi.
9. Teman terdekat penulis di Balikpapan, BULE JUS SQUAD yang selalu
membantu, menghibur dan mendorong hati saya untuk cepat
menyelesaikan skripsi.
10. Dan semua pihak yang sangat berpengaruh dalam proses penyelesaian
skripsi yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
11. Teman-teman angkatan 2018 Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat, terkhususnya untuk teman-teman Program Khusus Hukum
Acara 2018.

Atas segala kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis semoga
mendapat ganjaran dari Allah SWT. Aamiin Ya Robbal ‘Alamin.
Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama
dalam rangka penegakan hukum agar sesuai dengan nilai-nilai dasar hukum dalam
kehidupan bermasyarakat.

Banjarmasin, 23 Mei 2022


Penulis

RESKY ARYA KAMANDANU


NIM.1810211610

vi
DAFTAR ISI

ABSTRAK................................................................................................................... i
RINGKASAN .............................................................................................................. iii
UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 4
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian .................................................................. 4
D. Metode Penelitian ............................................................................................ 5
1. Jenis Penelitian ............................................................................................. 5
2. Tipe Penelitian .............................................................................................. 5
3. Pendekatan Penelitian ................................................................................... 6
4. Sifat Penelitian .............................................................................................. 6
5. Jenis Bahan Hukum ...................................................................................... 6
6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................................. 7
7. Pengolahan dan Analis Bahan Hukum.......................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 10


A. Pengertian Praperadilan ................................................................................. 10
B Tujuan Praperadilan ........................................................................................ 11
C. Proses Pemeriksaan Praperadilan .................................................................. 15
D. Bentuk Putusan Praperadilan......................................................................... 20
E. Gugurnya Permohonan Praperadilan ............................................................ 25

BAB III PEMBAHASAN............................................................................................ 30

A. Pengaturan Tentang Sah Atau Tidaknya Gugurnya Permohonan


Praperadilan berdasarkan KUHAP ............................................................... 30
B. Faktor Tentang Gugurnya Permohonan Praperadilan Berdasarkan
KUHAP ............................................................................................................ 43

BAB IV PENUTUP ..................................................................................................... 48

vii
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 48
B. Saran ................................................................................................................ 49

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat

dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban,

keadilan, mencegah terjadinya kekacauan. Hukum memiliki tugas untuk

menjamin bahwa adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Indonesia adalah

negara hukum yang membentuk banyak peraturan-peraturan perundang-

undangan. Diantaranya yaitu adalahperaturan perundangundangan Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (dikenal sebagai

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, disingkat KUH Acara Pidana atau

KUHAP) adalah undang-undang Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan

formal dari hukum pidana. Pengaturan perlindungan hak asasi dalam

wilayah/konteks penegakan hukum ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1)

Undang-undang Dasar 1945 “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di

hadapan hukum”. 1
Dalam gugurnya suatu praperadilan untuk menegakkan

keadilan, sebuah kepastian hukum serta perlindungan hak-hak tersangka,

pembuatan undang-undang membentuklah suatu lembaga hukum yang

memiliki nama Lembaga Praperadilan.

1
Djami, 2012:2, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE,Volume17Nomor3, September 2017
hlm 413–425

iii
2

Tujuan dibentuknya suatu lembaga praperadilan ini adalah dengan tujuan

untuk mewujudkan perlindungan suatu hak dan harkat martabat tersangka,

yang dimana apabila tersangka mendapat perilakuan yang tidak sah atau suatu

tindakan tanpa alasan yang tertera dalam undang-undang untuk mengontrol

upaya paksa yang dilakukan pada tahap Penyidikan ataupun Penuntutan.

Lembaga Praperadilan juga memiliki fungsi sebagai sarana pengawasan secara

horizontal yang dimana dimaksudkan bahwa lembaga praperadilan melakukan

pengawasan terhadap lembaga penyidik dan penuntut umum yang sifatnya

sama dalam pelaksanaan penegakan hukum. 2

Hal ini sesuai dengan fungsi suatu praperadilan yang dimana bertitik tolak

pada wewenang dan tujuannya yaitu melakukan pengawasan terhadap sebuah

tindakkan atau upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dalam tahapan

pemeriksaan.

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan

memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-undang terhadap Pasal 1

butir 10 KUHAP, yaitu berisikan :

1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan.

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan.

3. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya

tidak di ajukan ke pengadilan. (Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77

KUHAP).

4. Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 Ayat 1

2
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang: UMM, hlm. 251-253.
3

huruf b KUHAP).

Sudah jelas disini bahwa praperadilan adalah merupakan sebuah jaminan

untuk setiap orang yang menjadi korban suatu kelalaian ataupun kesengajaan

dari tindakkan penegak hukum.

Misalkan penegak hukum selama menjalankan kewenangannya dalam

penahanan dan penangkapan tersebut melanggar ketentuan yang dimana

berlaku, maka tersangka berhak mengajukan praperadilan. Oleh karena itu,

apapun yang diputus oleh praperadilan adalah sebuah khas, spesifik dan

mempunyai sebuah karakter tersendiri. Yang dapat mengajukan Praperadilan

adalah :

1. Tersangka, yaitu apakah tindakan penahanan terhadap dirinya

bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, ataukah

penahanan tersebut yang dikenakan sudah melewati batas

waktu yang telah ditentukan menurut Pasal 24 KUHAP.

2. Penyidik untuk memeriksa sah tidaknya penghentian

penuntutan.

3. Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk

memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga

adalah yang berkepentingan misalnya saksi korban.

Untuk menghindari perbedaan tafsiran dan implementasi, maka demi suatu

kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan dinyatakan gugur pada

saat telah menggelar sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama

terdakwa/termohon praperadilan. Namun harus dipikir bagaimanakah hak


4

tersangka untuk mendapatkan keadilan. Sehubung dengan demikian, penulis

dalam hal ini menulis tentang “Gugurnya Permohonan Praperadilan Kuasa

Hukum Tersangka di Pengadilan Berdasarkan KUHAP”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah ada dan tertulis, maka dapat di

ambil suatu rumusan masalah yang perlu di teliti dan di analisa lebih lanjut

yaitu :

1. Bagaimana Pengaturan Tentang Sah Atau Tidaknya Gugurnya

Permohonan Praperadilan Berdasarkan KUHAP ?

2. Apa saja Faktor Tentang Gugurnya Permohonan Praperadilan

Berdasarkan KUHAP ?

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Dari identifikasi rumusan masalah diatas, tujuan penelitian yang hendak

dicapai oleh Penulis diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengatahui dan memahami Tentang Pengaturan sah atau tidaknya

Gugurnya Permohonan Praperadilan Berdasarkan KUHAP

2. Untuk mengetahui Faktor-faktor Penyebab Gugurnya Permohonan

Praperadilan Berdasarkan KUHAP

Adapun tujuan penelitian ini diharapkan akan memberikan kegunaan dan

manfaat yaitu :

1. Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi perkembangan ilmu

hukum pada umumnya dan putusan Lembaga Praperadilan yang

berkaitan dengan gugurnya gugatan praperadilan oleh Hakim


5

Tunggal terhadap tersangka.

2. Sebagai pengetahuan untuk mengetahui serta memahami proses

Praperadilan yang baik dan benar sesuai peraturan hukum yang

berlaku.

D. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa istilah “legal research

atau bahasa Belanda rechtsonderzoek selalu normatif”.3 Penelitian hukum

(legal research) adalah menemukan kebenaran koherensi, yaituadakah

aturan hukum yang sesuai norma hukum dan adakah norma yangberupa

perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, sertaapakah

tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum bukanhanya sesuai

aturan hukum atau prinsip hukum”.4

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah perbedaan

penafsiran dan implementasi oleh para hakim praperadilan. Perbedaan

penafsiran ini bukan semata-mata implementasi norma, melainkan akibat

ketidakjelasan rumusan norma itu sendiri terutama frasa mengenai

kekaburan norma. Kekaburan norma hukum yang dimaksud adalah

keadaan dimana norma sudah ada tetapi tidak memliki arti yang jelas atau

norma tersebut menimbulkan lebih dari satu makna yang membuat norma

3
Peter Mahmud Marzuki. 2017. Penelitian Hukum. Cet. 13. Jakarta : Kencana Prenada
Media Grup, hlm. 83
4
Ibid, hlm. 47
6

tersebut mempunyai makna yang berbeda/multitafsir. Maka dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum.

3. Pendekatan Penelitian

Peter Mahmud Marzuki membagi beberapa pendekatan yang

digunakan di dalam penelitian hukum adalah “pendekatan

perundangundangan (statute approach), pendekatan kasus (case

approach),pendekatan historis (historical approach), pendekatan

komparatif(comparative approach). pendekatan konseptual (conceptual

approach)”.5

Dari tipologi pendekatan yang dikemukakan oleh Peter

MahmudMarzuki, Penulis dalam hal ini menggunakan pendekatan

perundangundangan (statute approach).

4. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan skripsi di sini adalah sifat

penelitian deskriptif Analisis, yaitu menggambarkan jawaban atas

permasalahan melalui hasil dari penelitian penulis.

5. Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan hukum ini ialah

data hukum sekunder yang terbagi menjadi bahan hukum primer, bahan

hukum Tersier, . Sebagaimana mengutip pendapat dari Peter Mahmud

Marzuki, “bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,

catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan

dan putusan-putusan hakim. Adapun bahan-bahan sekunder berupa semua

5
Ibid, hlm. 133
7

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain

sebagai berikut :

1. Undang- Undang Dasar Tahun 1945

2. Kitab Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana

3. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan

4. Putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015

Sedangkan bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku literatur

ilmu hukum, jurnal hukum, makalah-makalah, majalah,artikel hukum,

bahan hukum yang diperoleh melalui internet, Doktrin Hukum, Pendapat

Ahli Hukum, dan Pandangandari berbagai aspek yang berkaitan dengan

penelitian ini.

6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam mengumpulkan bahan hukum, Penulis menggunakan

beberapa tekhnik sebagai berikut:

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan

nonhukumyang relevan guna menunjang pembahasan dalam

penelitian ini.

b. Teknik studi kepustakaan atau studi dokumen dengan

menginventaris,meneliti, menganalisa, dan mengidentifikasi

bahan-bahan hukum danbahan-bahan nonhukum yang relevan

dengan penelitian ini.


8

7. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Pengolahan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan nonhukum

dilakukan setelah semua bahan-bahan hukum dan bahan-bahannonhukum

yang tekumpul diklasifikasi berdasarkan rumusan masalahsesuai dengan

yang akan dibahas dalam penelitian ini. Bahan-bahanhukum dan bahan-

bahan nonhukum yang telah diklasifikasi kemudian dianalisis

menggunakan penalaran hukum deduksi yakni mengolah bahanbahan

hukum dan bahan-bahan nonhukum yang bersifat umum dan bersifat

khusus untuk selanjutnya dapat ditarik sebuah kesimpulan (conclusion).

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memberikan kemudahan dalam proses pembahasan secara

menyeluruh mengenai materi dan isi dalam penelitian ini, maka

Penulismenggunakan sistematika penulisan hukum yang terdiri dari bab yang

tiap tiap bab terdapat sub-sub bagian. Sistematika penulisan hukum tersebut

dapat digambarkan sebagai berikut:

Bab I adalah bab Pendahuluan, dalam bab ini akan diuraikan

mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, metode penelitian meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, jenis

bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum,pengolahan dan analisis

bahan hukum, serta sistematika penulisan.

Bab II adalah bab Tinjauan Pustaka, dalam bab ini berisi tentang

kerangka pemikiran mengenai Tinjauan Tentang Pengertian

Praperadilan,Tujuan Praperadilan,Proses Pemeriksaan Praperadilan,Bentuk

Putusan Praperadilan,Gugurnya Permohonan Praperadilan


9

Bab III adalah bab Pembahasan, dalam bab ini Penulis akan

membahas dan menguraikan Pengaturan Tentang Sah Atau Tidaknya

Gugurnya Permohonan Praperadilan dan Apa saja Faktor Tentang Gugurnya

Permohonan Praperadilan

Bab IV adalah bab Penutup, dalam bab ini berisi Simpulan dan Saran

mengenai pembahasan permasalahan yang diangkat

.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Praperadilan

Pengertian praperadilan di dalam KUHAP mempunyai arti yang berbeda,

Menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP, Praperadilan adalah wewenang pengadilan

negeri untuk memeriksan dan memutus menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini tentang :

1) Sah tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas

kuasa tersangka;

2) Sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penututan atas permintaan tersangka/ penyidik/ penuntut

umum demi tegaknya hukum dan keadilan;.

3) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka

atau kelurganya atau pihak atas kuasanya, yang perkaranya

tidak diajukan ke pengadilan.

Dari penjelasan diatas, hanyalah untuk menguji dan menilai tentang

kebenaran dan keasilian tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik dan

penuntut umum dalam hal menyangkut ketepatan penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan dan penuntut serta berupa ganti kerugian dan

rehabilitasi.

Praperadilan berdasarkan penjelasan di atas, hanyalah menguji dan menilai

tentang kebenaran dan ketepatan tindakan upaya paksa yang dilakukan

10
penyidik dan penuntut umum dalam hal menyangkut ketepatan penangkapan,

penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan serta ganti kerugian dan

rehabilitasi. Praperadilan merupakan bagian dari pengadilan negeri yang

melakukan fungsi pengawasan terutama dalam hal dilakukan upaya paksa

terhadap tersangka oleh penyidik atau penuntut umum, yang maksudnya dari

pengawasan ini adalah pengawasan bagaimana seorang aparat penegak hukum

melaksanakan wewenang yang ada padanya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang ada, sehingga aparat penegak hukum tidak

sewenag-wenang dalam melaksanakan tugasnya.

Sementara itu, bagi tersangka, atau keluarganya sebagai akibat dari

tindakan menyimpang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya, ia berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi.

Dari itulah sehingga praperadilan merupakan bagian dari pengadilan negeri

yang diadakan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi

tersangka atau terdakwa dalam peradilan pidana sehingga diperluakan suatu

pengawasan yang dilaksanakan oleh hakim. Praperadilan adalah wewenang

dari pengadilan negeri seperti kewenagan lainya dalam memeriksa dan

memutuskan perkara pidana dan perdata, persoalan praperadilan telah menjadi

tugas-tugas dan wewenang pengadilan negri yang tidak boleh ditangani

pengadilan dalam lingkungan peradilan lain. 6

B. Tujuan Praperadilan

KUHAP yang mengakomodasi kepentingan hak dan asasi/ privasi setiap

orang, berarti dalam tindakan atau upaya paksa terhadap seseorang tidak

6
Kaligis, Otto Cornelis, dkk, 1997, Praperadilan Dalam Kenyataan, Djambatan,hlm 11-
13
dibenarkan karena merupakan perlakuan sewenang-wenang. Menurut Yahya

Harahap mengemukakan bahwa setiap upaya paksa berupa penangkapan,

penahanan, penyitaan, pada hakikatnya merupakan perlakukan yang bersifat:

1) Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan

pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.

2) Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-undang,

setiap tindakan paksa yang dengan sendirinya merupakan perampasan

kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi

tersangka

Karena tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik merupakan

pengurangan, pengekangan dan pembatasan hak asasi tersangka. Maka

tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab berdasarkan prosedur

hukum yang benar. Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan

hukum dan Undang-undang merupakan pemerkosaan terhadap hak asasi

tersangka.

Tujuan dari praperadilan dapat diketahui dari penjelasan Pasal 80 KUHAP

yang menegaskan “bahwa tujuan dari pada praperadilan adalah untuk

menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan

horizontal.” Esensi dari praperadilan, untuk mengawasi tindakan upaya paksa

yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya

tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-

undang, benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum, bukan merupakan

tindakan yang bertentangan dengan hukum. Tujuan dari praperadilan adalah

meletakkan hak dan kewajiban yang sama antara yang memeriksa dan yang

diperiksa.
Menempatkan tersangka bukan sebagai objek yang diperiksa, penerapan

asas aqusatoir dalam hukum acara pidana, menjamin perlindungan hukum dan

kepentingan asasi. Hukum memberi sarana dan ruang untuk menuntut hak-hak

yang dikebiri melalui praperadilan “lembaga peradilan sebagai pengawasan

horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka

selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atas penuntutan, agar benar-

benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan Undang-

undang.”

Undang-undang telah memberi otoritas (kewenangan) kepada pejabat

penyidik untuk melakukan tugas dan wewenangnya. Jika dalam pelaksanan

tugas dan kewenangan itu melakukan tindakan yang bertentangan dengan

hukum, maka lembaga praperadilan yang akan menilai dari pada tindakan

pejabat tersebut apakah di luar atau bertentangan dengan ketentuan hukum

yang telah diberikan kepadanya. 7

Kasus lain yang termasuk dalam ruang lingkup kewenangan praperadilan

ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya pengehentian penyidikan yang

dilakukan Pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya penghentian

penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Baik penyidikan maupun

penuntut umum berwenang menghentikan pemeriksaan penyidikan atau

penuntutan dengan alasan hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak

cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan.

Atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan

atau pelanggaran tindak pidana. Sebab itu, tidak mungkin untuk meneruskan

7
M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
penyidikan dan penuntutan edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta hal 12-14
perkaranya ke sidang pengadilan. Mungkin juga penghentian penyidikan atau

penuntutan dilakukan penyidik atau penunutut umum atas alasan nebis in idem,

karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak

pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh

kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan penyidik atau penuntut

umum, didebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat

unsur kadaluarsa untuk penuntut. Oleh karena itu apabila dalam pemeriksaan

penyidikan atau penuntutan dijumpai unsur kadaluarsa dalam perkara yang

sedang diperiksa, wajar penyidikan atau penuntutan dihentikan.

Apabila penyidikan atau penuntutan dihentikan, perkara yang

bersangkutan tidak diteruskan ke sidang pengadilan. Namun ada kenungkinan

alasan penghentian ditafsirkan secar tidak tepat atau sama sekali tidak

beralasan. Atau penghentian itu dihentikan untuk kepentingan pribadi pejabat

yang bersangkutan. Oleh karena itu, mesti ada lembaga yang berwenang

memeriksa dan menilai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

penuntutan, supaya tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum dan

kepentingan hukum maupun untuk mengawasi tindakan penyalah gunaan

wewenang ( abuse of authority ).

Untuk itu terhadap penghentian penyidikan, undang-undang memberi hak

kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk

mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan tentang sah atau tidaknya

penghentian penyidikan tersebut. Demikian pula sebaliknya penyidik atau

pihak ketiga yang 16 berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau

tidaknya penghentian penuntutan kepada praperadilan.


Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 tentang Hukum Acara

Pidana yang populer disebut dengan KUHAP, merupakan angin segar yang

memberikan harapan terwujudnya kepastian hukum dan tertib hukum

berdasarkan kebenaran dan keadilan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan

bahwa dalam perumusan Pasal-Pasal KUHAP mengatur tentang pemberian

perlindungan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia ( hak asasi

manusia ). Dalam KUHAP juga diatur mengenai tata cara yang wajib

dilaksanakan dan dipatuhi oleh aparat penegak hukum dalam upaya

menegakkan hukum dan keadilan, tetapi juga sekaligus diatur pula mengenai

prosedur dan persyaratan yang harus ditaati oleh aparat penegak hukum dalam

upaya melanggar dan sekaligus melindungi hak asasi manusia. Apabila ditelaah

secara teliti isi ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, maka

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terdiri dari komponen kepolisian,

kejaksaan, pengadilan negeri dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat

penegak hukum. Keempat aparat ini memiliki hubungan sangat erat satu sama

lain dan saling menentukan.

C. Proses Pemeriksaan Praperadilan

Berdasarkan Pasal 78 ayat (2) KUHAP, maka setelah surat permohonan

pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan telah

dicatat dalam Buku Register Perkara Praperadilan di Kepaniteraan Pengadilan

Negeri, pada hari itu juga panitera atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan

permintaan itu kepada Ketua Pengadilan Negeri yang harus segera menunjuk

Hakim tunggal dengan dibantu oleh seorang panitera yang akan memimpin dan

memeriksa perkaranya dalam sidang praperadilan. Selanjutnya, mengenai


ketentuan tata cara pemeriksaan sidang praperadilan telah diatur secara tegas

dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP.Adapun bunyi pasalnya adalah sebagai

berikut :

1) Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang

ditunjuk menetapkan hari sidang;

2) Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya

penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian

penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau

rehabilitasi, akibat tidah sahnya penangkapan atau penahanan, akibat

sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang

disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar

keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat

yang berwenang;

3) Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambatlambatnya

tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;

4) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,

sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan

belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;

5) Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup

kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada

tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan

permintaan baru.

Tatacara atau proses pemeriksaan sidang praperadilan di atur dalm

KUHAP bab X, bagian kesatu, mulai dari pasal 79 sampai dengan pasal 83.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, telah di atur tatacara pengajuan


dan proses pemeriksaan di sidang praperadilan. Tatacara pengajuan dan proses

pemeriksaan dijelaskan dalam uraian berikut:

1. Yang berhak mengajukan permohonan

a. Tersangka, keluarganya atau kuasanya

Tersangka, keluarganya atau kuasanya berhak mengajukan

permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan,

penahanan, penyitaan, dan atau 23 penggeledahan.

b. Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan

Menurut Pasal 80 KUHAP, penuntut umum atau pihak ketiga

yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan

tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Pasal tersebut

memberikan hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang

berkepentingan mengajukan permintaan pemeriksaan kepada

praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan.

c. Tersangka, ahliwarisnya atau kuasanya

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 95 ayat (2) KUHAP.

Menurut ketentuan yang dijelaskan dalam Pasal tersebut,

tersangka, ahli warisnya, atau openasehat hukumnya dapat

mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan atas

alasan :

a) Penangkapan atau penahanan yang tidak sah


b) Penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah
c) Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang
pengadilan.
d. Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan memnuntut ganti

rugi

Menurut ketentuan Pasal 81, tersangka atau pihak ketiga yang

berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada

praperadilan atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau

sahnya penghentian penuntutan. Kalau praperadilan memutuskan

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan sah, putusan

yang mengesahkan penghentian itu memberikan alasan kepada

tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk

mengajukan permintaan ganti kerugian kepada praperadilan.

Sebaliknya, kalau praperadilan menyatakan penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah sehingga

penyidikan atau penuntutan dilanjutkan, dengan sendirinya

menutup pintu bagi tersangka atau pihak ketiga yang

berkepentingan untuk menuntut ganti kerugian

2. Pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan

Praperadilan adalah satu kesatuan dan merupakan bagian yang tak

tepisahkan dari Pengadilan Negeri sehingga semua kwgiatan dan tata

laksana Praperadilan tidak terlepas dari struktur dan administrasi

yustisial Pengadilan Negeri. Sehubungan dengan itu, pengajuan

permintaan pemeriksaan praperadilan dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Permohonan ditunjukan kepada ketua pengadilan negeri

Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa

oleh Praperadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi

Negeri yang meliputi wilayah hukum tempat dimana


penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan itu

dilakukan. atau diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri

tempat dimana penyidik atau penuntut umum melakukan

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

berkedudukan.

2) Permohonan di register dalam perkara praperadilan

Setelah panitera menerima permohonan, diregister kedalam

perkara praperadilan. Segala permohonan yang ditujukan ke

praperadilan dipisahkan registrasinya dari perkara pidana biasa.

Administrasi yustisial praperadilan dibuat tersendiri terpisah

administrasi perkara biasa.

3) Ketua pengadilan negeri segera menunjuk hakim dan panitera

Penunjukan sesegera mungkin hakim nyang akan

memeriksa permohonan, merujuk pada ketentuan Pasal 82 ayat

(1) huruf a, yang menegaskan bahwa dalam waktu 3 hari

setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan

hari sidang. Agar yang dituntut dalam pasal tersebut dapat

dilaksanankan dengan cepat setelah pencatatan dalam register,

panitera memintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk

segera menunjuk dan menetapkan hakim dan panitera yang

akan bertindak memeriksa permohonan. Atau kalau Ketua

Pengadilan telah menetapkan satuan tugas yang khusus secara

permanen, segera melimpahkan permintaan itu kepada pejabat

satuan tugas tersebut

4) Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal.


Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang praperadilan

adalah hakim tunggal. Semua permohonan yang diajukan

kepada Praperadilan diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 78 ayat (2) KUHAP yang

berbunyi “praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang

ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu seorang

panitera” 8

D. Bentuk Putusan Praperadilan

Pemeriksaan sidang Praperadilan dilakukan dengan acara cepat. Mulai dari

penunjukan hakim, penetapan hari sidang, pemanggilan para pihak, dan

pemeriksaan sidang Praperadilan dilakukan dengan cepat, guna dapat

menjatuhkan putusan selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari.

Praperadilan bukan merupakan badan tersendiri, melainkan hanya

merupakan suatu wewenang dari pengadilan saja. Hal ini berdasarkan Pasal 1

butir 10 dan Pasal 77 serta Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP Adapun wewenang

yang diberikan oleh undang-undang kepada Pengadilan Negeri tersebut adalah

untuk memeriksa dan memutus mengenai :

1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan,

atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyampingan perkara

untuk kepentingan umum oleh jaksa agung) Pasal 77

2) Berwenang memeriksa tuntutan ganti kerugian dan atau rehabilitasi

bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat

penyidikan atau penuntutan Pasal 77

8
Ibid, hal. 8-12
3) Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian Pasal 82

ayat (1) dan (3)

4) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atau atas

penangkapan atau penahanan serta serta tindakan lain tanpa alasan

yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai

orang atau karena kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan yang

perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri.Pasal 95 ayat (2)

5) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau

penahanan tanpa alasan berdasarkan Undang-undang atau kekeliruan

mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak

diajukan ke Pengadialn Negeri.Pasal 97 ayat

Bentuk putusan Praperadilan cukup sederhana tanpa mengurangi isi

pertimbangan yang jelas berdasar hukum dan undangundang. Jangan sampai

sifat kesederhanaan bentuk putusan menghilangkan penyusunan pertimbangan

yang jelas dan memadai. Sifat kesederhanaan bentuk putusan Praperadilan

tidak boleh mengurangi dasar alasan pertimbangan yang utuh dan menyeluruh.

Untuk menjelaskan bentuk putusan Praperadilan, ada beberapa hal yang perlu

dibicarakan, terutama yang berkenan dengan masalah bentuk putusan maupun

isi putusan:

1. Surat Putusan Disatukan Dengan Berita Acara

Pembuatan putusan peradilan yang dirangkaikan menjadi satu

dengan berita acara pemeriksaan sidang di tarik dari dua sumber:

a. Ketentuan Pasal 82 ayat (2) huruf c menjelaskan tentang proses

pemeriksaan sidanmg praperadilan dengan acara cepat. Bentuk

putusan yang sesuai dengan proses pemeriksaan cepat, tiada


lain daripada putusan yang dirangkai menjadi satu dengan

berita acara. Apalagi dalam acara cepat, sudah cukuip

memenuhi kebutuhan apabila bentuk dan pembuatan

putusannya dirangkaikan dengan berita acara.

b. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 83 ayat (3) huruf a dan pasal

96 ayat (1) KUHAP Menurut ketentuan yang dimaksud bentuk

putusan Praperadilan, berupa “penetapan”. Selain itu, ketentuan

Pasal 96 ayat (1) menjelaskan tentang bentuk putusan

praperadilan yang berupa penetapan. Bentuk putusan penetapan

pada lazimnya merupakan rangkaian berita acara dengan isi

putusan itu sendiri. Atas alasan yang dikemukakan tersebut,

cukup menjadi dasar bentuk dan pembuatan putusan

praperadilan merupakan penetapan yang memuat rangkaian

kesatuan antara berita acara dan isi putusan. Jadi putusan tidak

dibuat secara khusus melainkan dicatat dalam berita acara

sebagaimana bentuk dan pembuatan putusan dalam proses

acara singkat.

2. Isi Putusan Praperadilan

Penggarisan isi putusan atau penetapan Praperadilan, pada garis

besarnya diatur dalam Pasal 82 ayat (2) dam ayat (3) KUHAP. Oleh

karena itu, disamping penetapan Praperadilan memuat alasan dasar

pertimbangan hukum, juga harus memuat amar. Amar yang harus

dicantumkan dalam penetapan disesuaikan dengan alasan permintaan


pemeriksaaan. Aalasan permintaan yang menjadi dasar isi amar

penetapan. Amar yang tidak sejalan dengan alasan permintaan, keluar

dari jalur yang ditentukan undang-undang. Sehingga amar penetepan

Praperadilan bisa berupa pernyataan yang berisi:

a. Sah Tidaknya Penangkapan Atau Penahanan. Jika dasar alasan

permintaan yang diajukan pemohon berupa permintaan

pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan, maka penetapannya pun harus

memuat pernyataan tentang sah atau tidaknya penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan tersebut.

b. Sah Atau Tidaknya Penghentian Penyidikan Atau Penuntutan.

Disini pun demikan halnya, jika alasan permintaan

pemeriksaan mengenai tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi,

maka isi penetapan harus memuat dikabulkan atau ditolaknya

permintaan ganti keugian atau rehabilitasi.

c. Diterima atau ditolaknya Permintaan Ganti Kerugian atau

Rehabilitasi Disini pun demikan halnya, jika alasan permintaan

pemeriksaan mengenai tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi,

maka isi penetapan harus memuat dikabulkan atau ditolaknya

permintaan ganti keugian atau rehabilitasi

d. Perintah Pembebasan Dari Tahanan Jika tersangka atau

keluarganya mengajukan permintaan pemeriksaan yang

berhubungan dengan sah atau tidaknya penahanan yang

dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum dan praperadilan

berpendapat bahwa penahanan tidak sah maka putusan


penetapan praperadilan harus memuat pernyataan penahanan

tidak sah dan perintah pembebasan tersangka dari tahanan.

e. Perintah Melanjutkan Penyidikan Atau Penuntutan Penetapan

putusan praperadilan yang menyatakan menghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, dalam jiwa

pernyataan yang demikian sudah terkandung perintah yang

mewajibkan penuntutan dilanjutkan.

f. Besarnya Ganti Kerugian Apabila alasan pemeriksaan ganti

kerugian berupa permintaan ganti kerugian baik oleh karena

tidak sahnya penangkapan atau penahanan, maka putusan

praperadilan mencantumkan dengan jelas jumlah ganti

kerugian yang dikabulkan

g. Berisi pernyataan Pemulihan Nama Baik Tersangka Jika alasan

permintaan pemeriksaan berhubungan dengan rehabilitasi maka

putusan penetapan praperadilan harus memuat pernyataan

pemulihan nama baik pemohon jika permohonan dikabulkan.

h. Memerintahkan Segera Mengembalikan Sitaan Ketentuan ini

diatur dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d. apabila alasan

permintaan pemeriksaan praperadilan menyangkut sah atau

tidaknya tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik

disebabkan dalam penyitaan ada termasuk benda yang tidak

tergolong alat pembuktian dikarenakan alasdan yang sama

sekali tidak tersangkut dengan tindak pidana yang sedang

diperiksa. Maka dalam hal ini, putusan praperadilan harus


memuat perintah agar benda tersebut segera dikembalikan

kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu disita.

E. Gugurnya Permohonan Praperadilan

Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3258) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai

“permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan

telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama

terdakwa/pemohon praperadilan”. Melalui putusan ini pengertian “perkara

sudah mulai diperiksa” dalam perkara praperadilan adalah pada saat pokok

perkara disidangkan.

Putusan MK ini akan menyelesaian perbedaan tasir para hakim pada saat

menggugurkan permohonan praperadilan karena sebelumnya ada sebagian

putusan praperadilan yang menggugurkan permohonan setelah berkas dikirim

sebagaimana Putusan Nomor 02/Pid.Pra/2015/PN.Tdn. Adapun alasanya frasa

“sudah mulai diperiksa” tidak diatur secara gramatikal (menurut tata bahasa)

oleh KUHAP sehingga kualifikasi “sudah mulai diperiksa” ditafsirkan secara

sistematis terhadap ketentuan Bab XVI “Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan”

Bagian Ketiga “Acara Pemeriksaan Biasa” pada Pasal 152 KUHAP yang

mengatur “Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara

dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan

menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang
ditunjuk itu menetapkan hari sidang”. Proses penunjukan hakim dan proses

penetapan hari sidang dilakukan oleh hakim melalui proses pemeriksaan berkas

perkara terlebih dahulu.

MK menyatakan penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan

(SPDP) tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga

terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu paling lambat 7 (tujuh) hari

dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal

tersebut. Adapun alasan MK didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap

terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat

mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat

hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat

dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang

diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya. Putusan ini

memberikan ruang bagi tersangka melakukan praperadilan apabila pada saat

berstatus sebagai terlapor belum menerima SPDP atau lewatnya waktu 7

(tujuh) hari penyerahan SPDP kepada terlapor saat itu.

Acuannya adalah adanya prinsip due process of law yang harus dipenuhi.

Due Process of law : The conduct of legal proceedings according to established

rules and principles for the protection and enforcement of privat right,

including notice and the right to a fair hearing beforing a tribunal with the

power to decide the case (Black’s law dictionary). Pemberitahuan dimulainya

suatu proses hukum merupakan hak konstitusional yang dijamin

pelaksanaannya oleh aparatur hukum sehingga SPDP sebagai bagian dari

prosedur hukum perlu dipastikan pelaksanaannya. Penolakan terhadap alasan

praperadilan karena telat mengirim SPDP sesuai dengan Putusan MK dapat


diketahui melalui Putusan 71/Pid.Pra/2017/PN JKT.SEL dengan alasan

“apabila tidak didalilkan ke dalam permohonan berarti pemohon menganggap

tentang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan bukan perkara yang

substansial sehingga alasan tersebut ditolak”. Putusan ini merujuk pada

formulasi permohonan praperadilan yang tidak memuat keberatan atas

keterlambatan penyerahan SPDP .

Perdebatan mengenai gugurnya praperadilan ketika perkara pokok telah

dilimpahkan ke pengadilan mengemuka dalam sidang praperadilan Guru besar

emeritus Universitas Padjajaran Komariah Emong Sapardjaja dan Mahmud

Mulyadi memiliki pandangan berlainan dalam memaknai frasa 'mulai

diperiksa' pada Pasal 82 ayat 1 huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) terkait gugurnya praperadilan. Komariah yang merupakan

mantan hakim agung itu menjelaskan, frasa dimaksud berarti ketika surat

dakwaan dibacakan. Menurut Komariah, praperadilan tidak akan gugur apabila

sidang dimulai atau dibuka oleh hakim. Dengan kata lain, ketika surat dakwaan

dibacakan barulah praperadilan itu bisa dinyatakan gugur.

Mahkamah berpendapat Pasal 82 ayat (1) huruf d UU No. 8 Tahun 1981 telah

nyata-nyata multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum,”

sebutnya.

Guna menghindari perbedaan penafsiran dan implementasi itu, Mahkamah

berpendapat demi kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan

dinyatakan gugur pada saat telah digelar sidang pertama terhadap perkara

pokok atas nama terdakwa/pemohon praperadilan. Bagi Mahkamah, penegasan

ini sebenarnya sesuai hakikat praperadilan dan sesuai pula dengan semangat

yang terkandung dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP.


Atas dasar itu, Mahkamah berpendapat norma Pasal 82 ayat (1) huruf d

KUHAP yang berbunyi, “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh

pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada

praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur” adalah

bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “perkara sudah mulai

diperiksa” tidak diartikan telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok

perkara yang dimohonkan praperadilan dimaksud.

Demi terciptanya kepastian hukum, Mahkamah perlu memberikan

penafsiran yang menegaskan mengenai batas waktu yang dimaksud pada

norma a quo, yaitu permintaan praperadilan dinyatakan gugur ketika telah

dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan

praperadilan. dengan putusan ini, pelaksanaan aturan mengugurkan

permohonan praperadilan bisa seragam diantara para penegak hukum. Sebab,

selama ini terdakwa sering kehilangan haknya untuk mengajukan praperadilan

lantaran adanya hak tersangka/terdakwa agar perkaranya segera dimajukan ke

pengadilan dalam Pasal 52 ayat (2), (3) KUHAP.

Berkaitan dengan masalah banding atas putusan praperadilan terhadap

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, maka penyidik atau

penuntut umum harus mengajukan permohonan banding kepada ke Pengadilan

Tinggi dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan praperadilan. Selanjutnya

Pengadilan Negeri dalam tenggang waktu 3 (tiga) hari setelah menerima

permohonan banding sudah harus mengirimkan berkas ke Pengadilan Tinggi.

Pengadilan Tinggi dalam tenggang waktu 3 (tiga) hari setelah menerima berkas

perkara sidang harus sudah menetapkan hari sidang dan dalam tenggang waktu

7 (tujuh) hari terhitung dari mulai tanggal sidang yang ditetapkan harus sudah
memberikan putusan. Putusan praperadilan tidak boleh dimintakan kasasi,

meskipun dalam Pasal 88 KUHAP telah dinyatakan bahwa semua perkara

dapat dimintakan kasasi. Adapun alasannya karena adanya keharusan untuk

menyelesaikan perkara praperadilan secara cepat. Permohonan praperadilan

yang dimintakan ke Pengadilan Negeri kadang dinyatakan gugur oleh

hakim.Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d yang

menyatakan bahwa :“Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh

Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada

praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.”


BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengaturan Tentang Sah Atau Tidaknya Gugurnya Permohonan

Praperadilan berdasarkan KUHAP

Berdasarkan pasal 77 KUHAP ruang lingkup lembaga praperadilan ialah

memeriksa serta memutus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam

KUHAP, dan juga yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:

21/PUU/XII/2014 tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka,

penggeledahan dan penyitaan.

1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan.

Pasal 1 butir 20 KUHAP menegaskan tentang pengertian penangkapan

yang berbunyi penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa

pengekangan sementara kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat

cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan yang diatur

dalam undangundang

Dalam persidangan praperadilan praktiknya hampir sama dengan

peradilan biasa yang memeriksa terkait dengan surat penyurat. Jadi apabila

yang menjadi permohonan pemohon ialah keabsahan surat penangkapan,

maka yang harus dibuktikan ialah prosedur surat penangkapanya 9.

Dalam melakukan penangkapan, penyidik harus membawa surat

perintah penangkapan dan juga surat tugas, pihak yang mempunyai

9
Maskur Hidayat, “Pembaruan Hukum terhadap lembaga praperadilan melalui putusan
pengadilan”jurnal yuridika,Fakultas hukum Universitas Airlangga, Vol.30, Nomor 30 September
2015,hlm.510

30
31

kewenangan dala m penangkapan ialah penyidik, penyidik pembantu,

dan penyelidik atas perintah dari penyidik. Penangkapan yang dilakukan

oleh penyidik terhadap seorang juga harus memenuhi syarat formil dam

materil, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 17 dan 19 ayat (2) KUHAP,

berdasarkan kedua Pasal tersebut ada 3 syarat dalam melakukan

penangkapan, yaitu:

a. Terdapat dugaan keras bahwa seseorang tersebut

melakukan tindak pidana

b. Ada bukti permulaan yang cukup

c. Tindak pidana yang dilakukan merupakan kejahatan.

penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempar

tertentu oleh penyidk, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapanya,

dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undangundang ini. Dalam

hal penahanan, pemohon praperadilan harus membuktikan bahwa

penahanan tersebut bertentangan dengan10:

a. Bertentangan dengan Pasal 20 KUHP

b. Alasan penahanan bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1)

KUHAP jo. Pasal 21 ayat (4) KUHAP.

c. Tidak memberikan surat perintah penahanan kepada tersangka

dan keluarganya dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 21

ayat (2) KUHAP jo. Pasal 21 ayat (3) KUHAP.

Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan bahawa putusan pengadilan adalah

pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang

10
Supriyadi W Eddyono dkk, 2014, Praperadilan di Indonesia : teori, sejarah dan
praktiknya, Institute For Criminal Justice Reform., Jakarta selatan.hlm.59.
32

dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dan segala tuntutan hukum dalam

hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini apabila terdakwa

atau penuntut umum tidak menerima putusan pengadilan maka mereka dapat

melakukan upaya hukum. pengertian upaya hukum menurut Pasal 1 angka 12

adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan

penngadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak

terpidanan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini Dengan kata lain, upaya

hukum adalah hak yang diberikan hukum pada para pihak dalam suatu perkara

untuk dapat tidak setuju dengan suatu putusan pengadilan Dengan adanya

upaya hukum ini maka ada jaminan bagi terdakwa maupun masyarakat bahwa

peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin

seragam11.

Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang diajukan dan ditujukan

terhadap putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Menurut Bab XVII

KUHAP, upaya hukum biasa dapat berupa banding dan kasasi. Banding adalah

suatu alat hukum yang merupakan hak terdakwa dan hak Jaksa Penuntut

Umum untuk memohon, supaya putusan Pengadilan Negeri diperiksa kembali

oleh Pengadilan Tinggi. 12

Pasal 67 KUHAP mengatur mengenai putusan yang dapat dimintakan

banding, dimana pasal tersebut menyatakan bahwa: “Terdakwa atau penuntut

umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat

11
Lilik MMulyadi,2002 Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan), Bandung ,Citra Aditya Bakti Hlm 223
12
Neloe, Nurdin Halid Dan Fadhillah Budiono)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Tahun 2009, hal.26
33

pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang

menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan

pengadilan dalam acara cepat”, namun dalam perkembangannya, terhadap

putusan bebas pun kini dapat dilakukan banding. Secara casuistis terhadap

putusan bebas masih dimintakan banding oleh Jaksa Penuntut Umum dengan

alasan bahwa putusan bebas (vrijspraak) yang dijatuhkan pengadilan negeri

bukanlah merupakan bebas murni. 13

Permohonan banding atas putusan bebas baru dapat diterima oleh

Pengadilan Tinggi jika Penuntut Umum dalam memori bandingnya dapat

membuktikan bahwa putusan yang dijatuhkan pengadilan negeri sebenarnya

adalah suatu pembebasan terselubung. KUHAP tidak merinci alasan yang

dapat dipergunakan terdakwa atau penuntut umum untuk mengajukan

permintaan banding.

Menurut M. Yahya Harahap, tujuan dari pemeriksaan banding adalah

untuk memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama, untuk mencegah

kewenangan dan penyalahgunaan jabatan, serta untuk pengawasan terciptanya

keseragaman penerapan hukum.106 Lembaga banding janganlah diartikan

bahwa hakim tingkat banding tersebut lebih pintar atau ahli dari hakim tingkat

pertama, tetapi dimaksudkan apabila terjadi kesalahan atau kekhilafan dari

hakim tingkat pertama dapat diperbaiki oleh hakim tingkat banding.14

Pernyataan banding dari terpidana atau penuntut umum pada umumnya

dilakukan oleh terpidana atau penuntut umum apabila dirasakan putusan yang

dijatuhkan oleh pengadilan negeri terlalu berat ataupun ringan, sehingga tidak

13
A. Hamzah dan Irdan Dahlan, 1987 Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Jakarta:
Bina Aksara, , hlm.59
14
Ibid., hal.51
34

mencerminkan rasa keadilan, atau diperkirakan adanya kekhilafan hakim

dalam menjatuhkan pidana. 15 Permintaan banding yang diajukan terhadap

putusan pengadilan tingkat pertama, dapat menimbulkan beberapa akibat

hukum sebagai berikut:

a. Putusan menjadi mentah kembali

Yang dimaksud dengan putusan menjadi mentah kembali adalah

seolaholah putusan itu tidak mempunyai arti apa-apa lagi. Formal

putusan itu tetap ada, tetapi nilai putusan itu lenyap dengan adanya

permintaan banding.

b. Segala sesuatu beralih menjadi tanggungjawab yuridis pengadilan

tingkat banding

Peralihan tanggungjawab yuridis terhitung sejak tanggal permintaan

banding diajukan, sepanjang permintaan banding tidak dicabut

kembali. Peralihan itu baik mengenai barang bukti maupun

penahanan. Pengadilan Negeri sebagai tingkat pertama sudah tidak

memiliki wewenang apa-apa lagi.

c. Putusan yang dibanding tidak punya daya eksekusi

Akibat lain yang ditimbulkan dari permintaan banding adalah

menyebabkan hilangnya daya eksekuis putusan dari Pengadilan

Negeri. Putusan tersebut belum mempunyai kekuatan mengikat baik

bagi terdakwa maupun penuntut umum.

Permintaan banding disampaikan oleh terdakwa atau kuasanya atau oleh

penuntut umum kepada panitera pengadilan negeri yang telah memutus

15
Ibid., hal.50
35

perkaranya (Pasal 233 KUHAP). Tenggang waktu untuk mengajukan banding

menurut Pasal 233 ayat (2) KUHAP adalah tujuh (7) hari, dihitung sesudah

putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang

tidak hadir. Pasal 234 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa jika tenggang

waktu tujuh hari sebagaimana dalam Pasal 233 ayat (2) KUHAP telah lewat

dan tidak ada diajukan permintaan banding baik oleh penuntut umum maupun

terdakwa, maka mereka dianggap menerima putusan. Pasal 235 KUHAP

menyatakan bahwa permintaan banding juga dapat dicabut sewaktu-waktu, jika

perkara belum diputus oleh pengadilan tinggi. Permintaan banding yang telah

dicabut tidak diperbolehkan untuk diajukan banding lagi.

Pemeriksaan dalam tingkat banding memiliki perbedaan dengan

pemeriksaan dalam sidang di Pengadilan Negeri. Prinsip pemeriksaan perkara

di sidang Pengadilan Negeri adalah semua pihak yang terlibat dalam

pemeriksaan baik terdakwa, saksi, ahli, penuntut umum, dan penasihat hukum

datang menghadap dan menghadiri pemeriksaan sidang sedangkan tata cara

pemeriksaan tingkat banding tidak langsung berhadapan muka, tetapi berdasar

berkas perkara. Tanpa mengurangi prinsip pemeriksaan tingkat banding yang

berdasar berkas perkara maka jika dianggap perlu Pengadilan Tinggi dapat

mendengar langsung keterangan terdakwa atau penuntut umum.

Pengadilan Tinggi dalam memutuskan harus mempertimbangkan semua

hal dalam Pasal 240 KUHAP, yang berbunyi:

a. Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat

pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau

kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, maka pengadilan tinggi


36

dengan suatu keputusan dapat memerintahkan pengadilan negeri untuk

memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya sendiri.

b. Jika perlu pengadilan tinggi dengan keputusan dapat membatalkan

penetapan dari pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan tinggi

dijatuhkan.

Setelah mempertimbangkan pasal tersebut, maka pengadilan dapat

mengambil keputusan berupa: menguatkan putusan pengadilan negeri;

mengubah putusan pengadilan negeri atau membatalkan putusan pengadilan

negeri dan mengadakan putusan sendiri.

Upaya hukum bagi putusan praperadilan diatur dalam Pasal 83 KUHAP.

Dimana Pasal 83 KUHAP berbunyi sebagai berikut:

1. terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.

2. Dikecualikan dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang

menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan

yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi

dalam daerah hukum yang bersangkutan.

Dari pasal diatas terlihat bahwa terhadap putusan praperadilan tidak ada

upaya hukum yang dapat dilakukan. Pada ayat (2) nya disebutkan, kecuali

terhadap putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian

penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke

pengadilan tinggi.

Terhadap pasal ini, sebenarnya para ahli hukum pun memiliki pendapat

yang berbeda. Terdapat ahli hukum yang menyatakan bahwa terhadap


37

praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau

penuntutan dapat dimintakan banding dan ada ahli hukum yang menyatakan

bahwa permintaan putusan akhir ke pengadilan tinggi terhadap putusan

praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau

penuntutan tersebut tidak benar jika dikategorikan sebagai upaya hukum

banding.

Menurut M. Yahya Harahap, tidak tepat apabila permintaan putusan akhir

ini disebut dengan banding. Berikut adalah pendapatnya secara lengkap

“Putusan Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan ini merupakan putusan akhir,

bukan putusan tingkat terakhir. Hal yang perlu diingat. Sifat putusan akhir,

berarti putusan yang diambil sudah “final”. Terhadapnya tidak lagi dapat

diajukan permintaan pemeriksaan kasasi. Lain halnya jika putusan itu masih

bertaraf putusan tingkat terakhir, terhadapnya masih dapat diajukan permintaan

kasasi. Atas kenyataan ini, kurang tepat mengatakan upaya hukum yang

diajukan terhadap putusan praperadilan yang berisi penetapan tidak sahnya

penghentian penyidikan atau penuntutan sebagai upaya banding. Sebab jika

upaya hukum itu sebagai upaya hukum banding, sifat putusan Pengadilan

tinggi bukan putusan akhir, tetapi seharusnya putusan tingkat terakhir,

sehingga tidak tertutup kemungkinan untuk mengajukan permintaan kasasi.”

Dalam hal ini, penulis sependapat dengan M.Yahya Harahap, dimana

permintaan putusan akhir atas putusan praperadilan yang menetapkan tidak

sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan ke pengadilan tinggi tersebut

bukanlah dikategorikan sebagai upaya hukum banding. Alasan tidak

diperbolehkannya putusan praperadilan dibanding atau dikasasi adalah adanya


38

keharusan penyelesaian secara cepat dari perkara-perkara praperadilan.

Sehingga apabila diperbolehkan untuk dilakukan upaya hukum, maka

penyelesaiannya tentu akan menjadi lama. 16 Selain itu, jika ditinjau dari

kewenangannya, Praperadilan bertujuan memberikan pengawasan horizontal

atas tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penyidik dan penuntut umum

sehingga pada hakikatnya apa yang diperiksa dan diputuskan oleh Praperadilan

adalah di luar ruang lingkup perkara pidana. Praperadilan tidak berwenang

memeriksa perkara pidana.

kalau diperhatikan ketentuan Pasal 83 ayat (2) KUHAP dan petujuk atau

pedoman dalam tata cara pemeriksaan yang terdapat pada angka 12 Lampiran

Keputusan Menteri Kehakiman tersebut, maka akan terlihat bahwa prosedur

dan tata cara pemeriksaan tingkat banding terhadap putusan praperadilan

mengenai penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, telah diatur

tersendiri dan agak menyimpang dari prosedur dan proses biasa pemeriksaan

banding. Seolah-olah terhadap putusan ini tidak berlaku prosedur dan proses

pemeriksaan tingkat banding. Oleh sebab itu, menurutnya akan lebih tepat jika

terhadap putusan praperadilan ini tidak dimasukkan dalam kategori upaya

banding. Akan tetapi oleh karena Pasal 83 mengelompokkan kepada upaya

banding, terpaksa Menteri Kehakiman mengatur tata caranya dengan

memberikan pedoman sebagaimana yang dimaksud pasal angka 12 Lampiran

tersebut.

Tatacara atau proses pemeriksaan sidang praperadilan di atur dalm

KUHAP bab X, bagian kesatu, mulai dari pasal 79 sampai dengan pasal 83.

16
Harahap , Opcit., hal.24
39

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, telah di atur tatacara pengajuan

dan proses pemeriksaan di sidang praperadilan. Tatacara pengajuan dan proses

pemeriksaan dijelaskan dalam uraian berikut:

3. Yang berhak mengajukan permohonan

e. Tersangka, keluarganya atau kuasanya

Tersangka, keluarganya atau kuasanya berhak mengajukan

permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan,

penahanan, penyitaan, dan atau 23 penggeledahan.

f. Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan

Menurut Pasal 80 KUHAP, penuntut umum atau pihak ketiga

yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan

tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Pasal tersebut

memberikan hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang

berkepentingan mengajukan permintaan pemeriksaan kepada

praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan.

g. Tersangka, ahliwarisnya atau kuasanya

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 95 ayat (2) KUHAP.

Menurut ketentuan yang dijelaskan dalam Pasal tersebut,

tersangka, ahli warisnya, atau openasehat hukumnya dapat

mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan atas

alasan :

d) Penangkapan atau penahanan yang tidak sah


e) Penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah
f) Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang
pengadilan.
40

h. Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan memnuntut ganti

rugi

Menurut ketentuan Pasal 81, tersangka atau pihak ketiga yang

berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada

praperadilan atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau

sahnya penghentian penuntutan. Kalau praperadilan memutuskan

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan sah, putusan

yang mengesahkan penghentian itu memberikan alasan kepada

tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk

mengajukan permintaan ganti kerugian kepada praperadilan.

Sebaliknya, kalau praperadilan menyatakan penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah sehingga

penyidikan atau penuntutan dilanjutkan, dengan sendirinya

menutup pintu bagi tersangka atau pihak ketiga yang

berkepentingan untuk menuntut ganti kerugian

4. Pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan

Praperadilan adalah satu kesatuan dan merupakan bagian yang tak

tepisahkan dari Pengadilan Negeri sehingga semua kwgiatan dan tata

laksana Praperadilan tidak terlepas dari struktur dan administrasi

yustisial Pengadilan Negeri. Sehubungan dengan itu, pengajuan

permintaan pemeriksaan praperadilan dapat diuraikan sebagai berikut:

5) Permohonan ditunjukan kepada ketua pengadilan negeri

Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa

oleh Praperadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi


41

Negeri yang meliputi wilayah hukum tempat dimana

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan itu

dilakukan. atau diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri

tempat dimana penyidik atau penuntut umum melakukan

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

berkedudukan.

6) Permohonan di register dalam perkara praperadilan

Setelah panitera menerima permohonan, diregister kedalam

perkara praperadilan. Segala permohonan yang ditujukan ke

praperadilan dipisahkan registrasinya dari perkara pidana biasa.

Administrasi yustisial praperadilan dibuat tersendiri terpisah

administrasi perkara biasa.

7) Ketua pengadilan negeri segera menunjuk hakim dan panitera

Penunjukan sesegera mungkin hakim nyang akan

memeriksa permohonan, merujuk pada ketentuan Pasal 82 ayat

(1) huruf a, yang menegaskan bahwa dalam waktu 3 hari

setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan

hari sidang. Agar yang dituntut dalam pasal tersebut dapat

dilaksanankan dengan cepat setelah pencatatan dalam register,

panitera memintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk

segera menunjuk dan menetapkan hakim dan panitera yang

akan bertindak memeriksa permohonan. Atau kalau Ketua

Pengadilan telah menetapkan satuan tugas yang khusus secara


42

permanen, segera melimpahkan permintaan itu kepada pejabat

satuan tugas tersebut

8) Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal.

Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang praperadilan

adalah hakim tunggal. Semua permohonan yang diajukan

kepada Praperadilan diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 78 ayat (2) KUHAP yang

berbunyi “praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang

ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu seorang

panitera” 17

Sedangkan dalam angka 23 Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Nomor: M.-14-PW.07.03 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan

KUHAP, disebutkan bahwa putusan praperadilan tidak dapat dimintakan

kasasi. Hal ini dikarenakan adanya keharusan penyelesaian secara cepat dari

perkaraperkara praperadilan, sehingga apabila masih dimungkinkan kasasi

maka penyelesaian secara cepat ini tidak akan dipenuhi. Selain itu, wewenang

pengadilan negeri yang dilakukan dalam praperadilan dimaksudkan sebagai

wewenang pengawasan horizontal dari pengadilan negeri.

Pada prakteknya, mengenai dibolehkan atau tidaknya upaya hukum

terhadap putusan praperadilan, hakim baik itu antara Hakim di Pengadilan

Tinggi maupun antara Hakim Agung di Mahkamah Agung ternyata memiliki

pandangan yang berbeda. Perbedaan pandangan ini mengakibatkan adanya

17
Ibid, hal. 8-12
43

perbedaan putusan dalam memutus permohonan. Ada hakim yang menerima

diajukannya upaya hukum bagi putusan praperadilan dan ada juga yang

menolak untuk menerima upaya hukum bagi putusan praperadilan.

B. Faktor Tentang Gugurnya Permohonan Praperadilan Berdasarkan

KUHAP

Pasal 77 KUHAP mengatur mengenai ruang lingkup praperadilan. Isi dari

pasal tersebut yaitu Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan

memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini

tentang:

1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan;

2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara

pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Namun mengenai apakah penyitaan dan penggeledahan masuk kedalam

yurisdiksi praperadilan juga sebenarnya masih banyak perbedaan pendapat.

Alasan yang menyatakan menolak memasukkan penyitaan dan penggeledahan

dalam yurisdiksi praperadilan adalah dikarenakan penyitaan dan

penggeledahan terkandung intervensi pengadilan, berupa dalam proses biasa,

harus terlebih dahulu mendapatkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri

(KPN), dan dalam keadaan mendesak, boleh lebih dahulu bertindak, tetapi

harus meminta persetujuan KPN. Adanya intervensi KPN dalam

penggeledahan dan penyitaan tersebut dianggap tidak rasional dan bahkan

kontroversial untuk menguji dan mengawasi tindakan itu di forum

praperadilan.
44

Tidak rasional paraperadilan menilai tepat tidaknya penggeledahan atau

penyitaan yang telah diizinkan oleh pengadilan (dalam hal ini KPN) Mengenai

pokok pemeriksaan dalam praperadilan sebenarnya masih terdapat perbedaan

pendapat apakah hakim hanya memeriksa syarat formil saja atau juga

memeriksa syarat materil. Menurut Suwidya, hakim pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, hakim dalam memeriksa praperadilan itu hanya memeriksa

syarat formilnya saja seperti surat sudah diberikan atau belum sedangkan

Loebby Loqman menyatakan bahwa dalam memeriksa praperadilan sebaiknya

harus dilihat juga syarat materil, contohnya dalam memeriksa sah atau tidaknya

penangkapan, hakim juga harus memeriksa bukti permulaan yang cukup

meskipun harus diperhatikan bahwa bukti permulaan yang cukup bukanlah

berarti bahwa memang nyata-nyata tersangka telah melakukan suatu tindak

pidana. Adanya perbedaan pendapat ini dikarenakan peraturan perundang-

undangan di Indonesia tidak mengatur mengenai apa saja yang harus diperiksa

dalam praperadilan sehingga bisa saja hakim menerapkan dengan cara yang

berbedabeda.

Mengenai ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

mengenai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) terdapat

Pasal-pasal yang mengatur tentang Praperadilan, antara lain Pasal 77 s/d Pasal

97 KUHAP. Adapun yang menjadi permasalahan adalah ketentuan-ketentuan

dalam Pasal 82 KUHAP yang menyangkut acara pemeriksaan praperadilan

antara lain : dalam waktu tiga hari diterimanya permintaan, maka hakim yang

ditunjuk menetapkan hari sidang ( ayat 1 huruf a ), pemeriksaan tersebut

dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah
45

menjatuhkan putusannya ( huruf c ) dan dalam hal suatu perkara sudah mulai

diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai

permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut

gugur ( huruf d ).

Apabila dilihat secara teliti maka khususnya ketentuan mengenai terdapat

ketentuan yang sangat krusial yaitu ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d yaitu

mengatur tentang gugurnya permintaan / permohonan gugatan praperadilan

apabila perkara pokok sudah mulai diperiksa di pengadilan negeri. Padahal

waktu pemeriksaan untuk permohonan praperadilan hanya dibatasi selama 7

hari pemeriksaan, hakim sudah menjatuhkan keputusannya ( Pasal 82 ayat (1)

huruf c ). Hal inilah yang selalu menjadi “ dilema “ dalam upaya penegakan

keadilan bagi pencari keadilan, karena disatu sisi UU memberikan kesempatan

/ peluang untuk mengadakan koreksi / pengawasan / kontrol terhadap aparat,

tetapi disisi lain tidak adanya ketentuan yang mengatur lebih jelas / tegas

mengenai boleh / tidaknya pemeriksaan praperadilan tersebut “ ditunda “,

dengan mengingat terbatasnya waktu yang hanya 7 ( tujuh ) hari tersebut. Oleh

karena tidak adanya ketentuan mengenai keefektifan waktu 7 ( tujuh ) hari

permohonan praperadilan harus sudah diputus, maka pada pelaksanaannya

sering terjadi pemeriksaan “ ditunda ” dengan berbagai alasan. Disamping itu

ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d selalu menjadi batu sandungan upaya

pemeriksaan praperadilan, karena dengan dalih ketentuan ini maka kebanyakan

permohonan praperadilan selalu gagal / ditolak / gugur demi hukum.

Ketidakjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “ sudah dimulai “

pemeriksaan dalam ketentuan ini, sering menjadi perdebatan yaitu diantara


46

mulai ditetapkan / diumumkan pemeriksaan perkara atau sudah dimulainya

pemeriksaan mengenai “ substansi “ perkara pokoknya. Demikian juga

ketentuan dalam Pasal 83 yang menyatakan putusan praperadilan tidak dapat

dimintakan banding ( ayat 1 ), kecuali putusan tidak sahnya penghentian

penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan

tinggi ( ayat (2) ). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi upaya hukum

apabila permohonn praperadilan ditolak / tidak dikabulkan oleh hakim

pengadilan negeri. Dalam prakteknya berhasil atau tidaknya permohonan

praperadilan yang diajukan oleh masyarakat / pencari keadilan sepenuhnya

tergantung pada itikad baik / moral para penegak hukum terutama Hakim di

Pengadilan Negeri. Hal ini mengingat bahwa dengan sempitnya / terbatasnya

waktu pemeriksaan, maka seharusnya secara moral tidak ada lagi upaya

“penundaan“ sidang pengadilan dengan berbagai alasan antara lain padatnya

jadwal sidang, berhalangan / sakit, atau alasan yang lain. Penundaan sidang

pemeriksaan sangat mempengaruhi kecepatan / keefektifan penyelesaian /

keputusan hakim dalam memutuskan perkara praperadilan tersebut. Disamping

itu penundaan terkesan memberikan kesempatan bagi Termohon ( aparat

penegak hukum ) untuk secepatnya menyelesaikan persyaratan perkara

pokoknya agar dapat segera disidangkan.

Hal ini akhirnya dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pencari

keadilan terhadap efektifitas lembaga prapradilan bagi tegaknya keadilan.

Memang dalam permohonan pemeriksaan prapradilan, sering juga digunakan

oleh Pemohon ( masyarakat ), yaitu untuk menunda pelaksanaan pemeriksaan

perkara pokok yang memang dirasakan kebenarannya atau sebagai test case /
47

secara psikologis mengenai keseriusan aparat penegk hukum dalam mengusut

kasus, dengan dalih mempersoalkan kewenangan aparat penegak hukum dalam

proses penyidikan maupun penuntutan. Hal ini terlihat dalam substansi / materi

permohonan yang terkesan mengada-ada, memasukkan materi / substansi

perkara pokok, bukan lagi masalah kewenangan aparat penegak hukum. Atau

adanya kemungkinan lain yaitu belum pahamnya mereka mengenai fungsi dan

persyaratan pengajuan permohonan praperadilan. Di sisi yang lain upaya

praperadilan yang hanya memutuskan tidak sahnya penangkapan, tidaklah

menjadi halangan bagi aparat penegak hukum untuk dapat segera melakukan

penangkapan kembali disertai prosedur yang sah.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Hakim dalam

menjatuhkan keputusan antara lain faktor internal dan faktor eksternal diri

hakim itu sendiri, yaitu menyangkut pada faktor pendidikan / SDM, sistem

rekrutmen, kesejahterahan hakim. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari faktor

perundang-undangan , adanya intervensi terhadap proses peradilan baik itu dari

lembaga negara yang lain maupun dari kalangan hakim / lingkungan sendiri ,

hubungan hakim dengan penegak hukum lain, adanya tekanan, faktor sosial

dan politik.
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Adanya ketentuan perundangan-undangan dalam UU Nomor 8 Tahun

1981 ( KUHAP ) dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c dan d yang

menyatakan bahwa pemeriksaan permohonan gugatan praperadilan

tersebut dinyatakan gugur apabila perkara pokoknya sudah mulai

diperiksa di pengadilan negeri. Hal inilah dalam praktek yang sering

penafsiran yang berbeda-beda, yang pada akhirnya sangat merugikan

kepentingan pencari keadilan / masyarakat. Hal ini disebabkan tidak

adanya aturan yang memberikan sanksi apabila waktu yang demikian

singkat tersebut tidak dapat dipenuhi. Sering kali lembaga praperadilan

digunakan dengan sengaja untuk mengulur-ulur waktu pemeriksaan

perkara pokok, hanya test case / secara psikologis terhadap keseriusan

aparat penegak hukum. Atau bahkan menjadikan praperadilan untuk

sekedar upaya negoisasi perkara terhadap aparat penegak hukum. Atau

adanya kemungkinan tidak paham / mengertinya masyarakat pencari

keadilan terhadap fungsi lembaga praperadilan tersebut.

2. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan

keputusan antara lain faktor internal yaitu faktor yang mempengaruhi

kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang

48
49

datangnya dari dalam diri hakim itu sendiri, dan berkaitan denan

sumber daya manusia ( SDM ) hakim itu sendiri, antara lain mulai dari

rekrutmen / seleksi untuk diangkat jadi hakim, pendidikan hakim,

kesejahterahan. Sedangkan faktor eksternal, yaitu faktor-faktor yang

mempengaruhi putusan hakim yang berasal dari luar diri hakim, antara

lain peraturan perundang-undangan, adanya intervensi terhadap proses

peradilan, hubungan hakim dengan penegak hukum lain, adanya

tekanan, kesadaran hukum dan faktor sosial dan politik.

B. SARAN

1. Diperlukan penyempurnaan ketentuan Pasal 82 ayat (1) hurud c dan d

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, yaitu memberikan batasanbatasan

yang tegas baik mengenai “ tidak “ boleh ditundanya pemeriksaan

permohonan praperadilan dalam sidang pengadilan, waktu dimulainya

pemeriksaan perkara pokok disebutkan dimulainya pada acara pemeriksaan

mengenai substansi perkara pokoknya, karena justru dalam substansi

perkara pokok inilah kewenangan aparat penegak hukum mulai

dipertanyakan.

2. Perlu dibentuk adanya lembaga pengawasan baik internal maupun

eksternal, independent yang bertugas mengawasi jalannya pemeriksaan

praperadilan di pengadilan negeri.


DAFTAR PUSTAKA

Afiah, Ratna Nurul, 1986, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Jakarta, CV.

Akademika Presindo.

Antonius Sudirman, 2007, hati Nurani Hakim dan Putusannya : Suatu

Pendekatan Dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku ( Behavioral Jurisprudence)

Kasus Hukum Bismar Siregar, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta.

Charles Himawan, 2003, Hukum Sebagai Panglima, Jakarta, Penerbit Buku

Kompas. Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1982, Pedoman

Pelaksanaan KUHAP, Jakarta,

Depkeh. Engelbrecht, 1989, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan RI,

Jakarta, PT. Internusa.

Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang,

PT. Suryandaru Utama. Hamid,

H.Hamrat dan Harun M. Husein, 1992, Pembahasan Permasalahan KUHAP

Bidang Penyidikan, Jakarta, Sinar Grafika.

Hamzah A, 1984, Perbandingan KUHAP-HIR Dan Komentar, Jakarta,

Ghalia Indonesia. Harahap,

M. Yahya, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I

dan II, Jakarta, Pustaka Kartini.


Husein, Harun M, 1990, Surat Dakwaan, Tehnik Penyusunan dan

Permasalahannya, Jakarta, Rineka Cipta.

Andi Hamzah,2006, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Sinar

Grafika, Jakarta

Bambang Sunggono,2012, metodologi penelitian hukum, rajagrafindo

persada, jakarta.

Hari Sasangka, 2007, penyidikan, penahanan, penuntutan dan praperadilan,

cv mandar maju,Bandung.

Kaligis, Otto Cornelis, dkk, 1997, Praperadilan Dalam Kenyataan,

Djambatan,

M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Ronny Hanitijo, 1990, Metode Penelitian Hukum Dan Yurimeri, Ghalia

Indonesia, Jakarta.

Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali

Pers, Jakarta, 2001

Undang-undang

Undang- Undang Dasar Tahun 1945

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ). Peraturan Pemerintah

Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana.


Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 Tentang

Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan

Putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : RESKY ARYA KAMANDANU


NIM : 1810211610019
TEMPAT TANGGAL LAHIR : BALIKPAPAN/ 14 JUNI 1999
JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI
AGAMA : ISLAM
PEKERJAAN : MAHASISWA
ALAMAT : JL. PATTIMURA RT.42 NO.58 KEL.
BATU AMPAR KEC. BALIKPAPAN
UTARA KOTA BALIKPAPAN
KOTA/KAB. : BALIKPAPAN
PROVINSI : KALIMANTAN TIMUR
E-MAIL : reskyarya71@gmail.com
NOMOR TELP./HP. : 08388815124
JUDUL SKRIPSI : GUGURNYA PERMOHONAN
PRAPERADILAN KUASA HUKUM
TERSANGKA DI PENGADILAN
BERDASARKAN KUHAP

PEMBIMBING KETUA : ANANG SOPHAN T, S.H., M.H., MKN.


PEMBIMBING : INDAH RAMADHANY, S.H., M.H

ASAL SEKOLAH SD/TAHUN : SD NEGERI 020 BALIKPAPAN/


MASUK 2005 DAN LULUS 2011
ASAL SEKOLAH SMP/TAHUN : SMP NEGERI 11 BALIKPAPAN/
MASUK 2011 DAN LULUS 2014
ASAL SEKOLAH SMA/TAHUN : SMA NEGERI 2 BALIKPAPAN/
MASUK 2014 DAN LULUS 2017
NAMA ORANG TUA :
AYAH : SAMSUL ARIFIN
PEKERJAAN : PURNAWIRAWAN TNI AD
IBU : SYAMSIAH
PEKERJAAN : IBU RUMAH TANGGA
ALAMAT : JL. PATTIMURA RT.042 NO.58 KEL.
BATU AMPAR KEC. BALIKPAPAN
UTARA KOTA BALIKPAPAN

Banjarmasin, 22 Mei 2022


Yang Membuat,

Resky Arya Kamandanu

Anda mungkin juga menyukai