Anda di halaman 1dari 37

TINJAUAN YURIDIS

MENGENAI PENJATUHAN
PIDANA MATI TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA DALAM
PERSPEKTIF KUHP DAN RUU
KUHP
SKRIPSI

Diajukan sebagai bagian dari syarat-syarat untuk mencapai


Kebulatan studi program strata satu (S-1) pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Al-Azhar

Oleh:

Nama : I KADEK SATRIA DARMA

NIM : 019.04.1181

Program Studi : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2021
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENJATUHAN
PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA DALAM PERSPEKTIF KUHP DAN RUU
KUHP
Yang Dipersiapkan Oleh:

Nama : I KADEK SATRIA DARMA

NIM : 019.04.1181

Program Studi: Ilmu Hukum

Telah diselesaikan di depan Tim Penyelesaian

Pembimbingan Skripsi pada tanggal ......................2021

Skripsi ini telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat

Untuk mencapai studi Program Strata Satu (S-1) pada


Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar

Mataram, ………………… 2021


Universitas Islam Al-Azhar
Fakultas Hukum
Dekan,

ABDUL TAYIB, SH.MH


NIDN. 0831126016

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENJATUHAN


PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA DALAM PERSPEKTIF KUHP DAN RUU
KUHP

Oleh:
Nama : I KADEK SATRIA DARMA

NIM : 019.04.1181

Program Studi : Ilmu Hukum

Mataram, 2021
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Abdul Tayib,SH.MH Khairul Aswadi,SH.MH.


NIDN. 0831126016 NIDN. 0820068703

PENYELESAIAN PEMBIMBINGAN OLEH:

1. Abdul Tayib, SH.MH. (_______________________)


2. Khairul Aswadi,SH.MH. (_______________________)

3. ………………………… (_______________________)
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

ISLAM AL-AZHAR MATARAM..........................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN........................

HALAMAN PENYELESAIAN PEMBIMBINGAN............................................

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN..............................................

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................................

HALAMAN DAFTAR SINGKATAN ....................................................................

ABSTRAK...............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1

A. Alatar Belakang ...........................................................................................1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................5

C. Tinjauan dan Manfaat Penelitian..................................................................5

D. Ruang Lingkup Penelitian ...........................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................6

A. Tunjauan tentang Tindak Pidana .................................................................6

B. Pidana dan Pemidanaan ...............................................................................9

C. Tinjauan tentang Tujuan Pemidanaan.......................................................10

D. Tinjauan Umum tentang Pidana Mati .......................................................15

E. Tinjauan tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana.......19

BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................28

A. Metode Pendekatan ...................................................................................28


B. Sumber Bahan Hukum..............................................................................28

C. Teknik dan Alat pengumpulan Bahan Hukum...........................................29

D. Analisis Bahan Hukum .............................................................................29

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................34

A. Konsep Penjatuhan Pidana Mati pada KUHP dan RUU KUHP...............34

B. Pidana Mati dalam RUU KUHP Sebagai Pidana Bersifat Khusus yang

Berlakukan Secara Alternatif ....................................................................34

BAB V PENUTUP ...............................................................................................35

A. Kesimpulan ................................................................................................35

B. Saran ..........................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................36

LAMPIRAN-LAMPIRAN
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana memiliki tujuan
tersendiri, pemidanaan suatu proses atau menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap
orang yang telah melakukan tidak kejahatan (rechsdelict) maupun pelanggaran
(wetsdelict). Pidana dan pemidanaan ialah suatu perasaan tidak enak (sengsara)
yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang telah melanggar undang-
undang hukum pidana1. Tujuan penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana
merupakan upaya agar tercipta suatu ketertiban, keamanan, keadian, serta
kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana agar dapat menyadari sesalahannya,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana.
Adapun beberapa teori pemidanaan yang digunakan KUHP ialah teori
absolut yang diperkenalkan oleh Kent dan Hegel mengatakan hakikat pidana
adalah pembalasan, sedangkan teori kedua yaitu, teori relatif yang berbeda dengan
teori absolut, teori relative lebih mengedepankan perbaikan dan pencegahan
terhadap masyarakat secara umum dan kepada pelaku kejahatan agar tidak
melakukan kejahatan lagi. Dari kedua teori ini, dapat diasumsikan bahwa pidana
mati mengarah ke teori pemidanaan pembalasan dendam (retributive justice).
Berkaitan dengan hak-hak terpidana, timbul pemikiran-pemikiran baru
mengenai tujuan pemidanaan yang dimana tidak lagi sekedar menekankan pada
aspek pembalasan sebagai bentuk dari perbuatan yang dilakukan, tetapi juga
merupakan suatu usaha rehabilitas dan reintegritas soal bagi pelaku tindak pidana.
Sistem pemidanaan yang sangat menekankan pada unsur pembalasan
secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak
sejalan dengan konsep rehabilitas dan reintegritas sosial. Konsep ini bertujuan
agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk
melakukan tindak pidana dan Kembali menjadi warga masyarakat yang
bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya.

Muladi dan Barda Narwawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan 3, PT
Alumni, Bandung, hal. 2
2

Dalam Kitab Hukum Pidana Indonesia (KUHP) mengenal pidana mati


yang merupakan salah satu jenis sanksi pidana pokok yang paling berat
dibandingkan sanksi-sanki pidana lainnya. Berdasarkan Pasal 10 KUHP di
Indonesia pidana mati masih diterapkan sebagai pidana pokok sehingga secara
yuridis formal penerapan pidana mati masih berlaku di Indonesia. Pengertian dari
pidana mati bisa dilihat dari Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati pada
Pasal 1 angka 3 sebagaiman ditentukan bahwa
“Pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan
oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap”2
Tujuan pidana terpenting adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan
pelanggaran sebagai suatu gejala dalam masyarakat. Dalam sejarah hukum pidana
mengungkapkan bahwa pada masa lampau terdapat sikap dan pendapat seolah-
olah pidana mati merupakan obat paling mujarab untuk kejahatan-kejahat berat
yang tidak dapat ditoleransi. Kejahatan-kejahatan yang berat dalam pidana mati di
dalam sejarah hukum pidana merupakan dua komponen permasalahan yang tidak
dapat dipisahkan.
Kedua komponen permasalahan tersebut nampak dalam KUHP Indonesia
yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati. Dalam sejarah
hukum pidana, hukuman mati menjadi suatu perdebatan, yang dimana memecah
menjadi dua pandangan yang muncul, yaitu pandangan yang pro dan kontra
pidana mati. Pandangan pertama, setuju dengan keberadaan pidana mati karena
dinilai sanksi pidana mati setimpal dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku
dan dapat menimbulkan efek jera bagi masyarakat, sehingga pidana mati masih
relevan untuk dilaksanakan. Pandangan kedua, menolak keberadaan pidana mati
karena beranggapan bahwa sanksi pidana mati sangat tidak manusiawi dan
bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradad
Ada dua tujuan pidana menurut Didik Endro Purwoleksono, seorang pakar
hukum yaitu;

Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana
Mati. Pasal 1
3

a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan


kejahatan, baik yang ditunjukaan untuk orang banyak maupun
orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar
kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi.
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah
menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang
yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Kebijakan pidana mati yang masih berlaku sekarang sedang dikonsepkan


dalam peraturan kedepannya, terlihat bahwa eksekusi pidana mati yang masih
dipertahankan, berkaca dari pidana mati yang tetap dicantumkan dalam RUU
KUHP. Menurut Amnesty Internasional, pada tahun 2017 lalu, yang telah
menghapus hukuman mati dalam hukum atau praktik, ada 142 Negara. Dikatakan
“170 Negara telah menghapus hukuman mati atau memberlakukan moratorium
atas pelaksanaannya.” Monatorium adalah kesepakatan untuk menangguhkan
suatu kebijakan atau pelaksanaan.3 Sejak tahun 1860 di Negara Belanda telah
menghapuskan pidana mati, sedangkan dalam KUHP Indonesia yang merupakan
bawaan dari kolonial Belanda masih mempertahankannya.
Pidana mati sering pula diyakini sebagai prevensi umum bagi masyarakat,
sehingga masih dianggap relevan untuk diterapkan, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan yakni tingkat kejahatan luar biasa yang masih harus diberikan sanksi
yang sepadan contohnya pidana mati.
Terdapat alasan lain dipertahankannya pidana mati di Indoensia adalah
untuk bersifat represif terhadap ketertiban umum yang membahayakan, lalu alasan
selanjutnya adalah luasnya kewilayahan Indonesia dan keberagaman
penduduknya sehingga memiliki kepentingan yang berbeda-beda sehingga rentan
adanya gesekan sedangkan jumlah personil penegak hukumnya yang terbatas
(Tolib : 2010).
Pelaksanaan dalam penerapannya pidana mati diperlukan di Indonesia,
secara selektif dan spesifik, artinya dari selektif adalah dimana pelaku yang
dijatuhkan pidana mati adalah betul-betul meyakinkan bahwa dia adalah

BBC News, 2018, Negara mana yang menerapkan hukuman mati? Bagaimana dengan Indonesia?
https://www.bbc.com/indonesia/dunia45859508.amp#referrer=https://
www.google.com&csi=0 diakses pada tanggal 31 Maret 2021, Pukul 14:30
4

pelakunya (“beyond reasonable doubt”). Spesifik artinya penerapan pidana mati


hanya untuk delik-delik yang berat dan merugikan masyarakat misalnya
terorisme, korupsi, berkaitan dengan hak asasi manusia, narkotika, dsb. Harus ada
alasan kuat, logis dan rasional mengapa seseorang dapat dijatuhkan pidana mati
(Rosa Kumalasari 2013). Karena ada beberapa kasus salah tangkap yang
mengakibatkan seseorang dipidana padahal bukan orang itu pelakunya.
Dalam RUU KUHP konsep pidana mati masih akan tetap dipertahankan,
namun dalam konsepnya menjadi pidana khusus/diancamkan alternative/sarana
paling akhir. Dalam artian RUU KUHP sebisa mungkin “menjauhkan diri” dari
pidana mati. Terlepas dari pro dan kontra pidana mati, para ahli menyatakan
bahwa keberadaan pidana mati masih dipandang perlu dalam sistem hukum
pidana dan pemidanaan di negara ini.
Masih diberlakukannya pidana mati dalam RUU KUHP tahun 2019
kembali menimbulkan pro dan kontra, banyak pertanyaan dan perdebatan yang
terjadi baik dalam kalangan masyarakat maupun ahli hukum apa alasan masih
diberlakukannya pidana mati dalam RUU KUHP. Kelompok yang pro tentu setuju
dengan dipertahankannya pidana mati di RUU KUHP, pidana mati dianggap
adalah bentuk pembalasan yang setimpal atas tindak pidana berat sedangkan
kelompok lain yang bertentangan tidak setuju dan ingin menghapus pidana mati
dalam RUU KUHP dengan alasan tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam
konsep RUU KUHP dimana tujuan pemidanaan tidak boleh menderitakan dan
merendahkan martabat kemanusiaan, selain itu pidana mati dianggap tidak efektif
menekan kejahatan atau menimbulkan efek jera.
Berdasarkan beberapa pandangan dan latar belakang tersebut diatas, maka
dalam penulisan ini dimaksudkan untuk menyajikan analisis perkembangan
pidana mati di Indonesia, melihat dari kajian pidana mati dalam KUHP dan di
RUU KUHP, secara spesifik melihat perbedaan kemungkinan konsep pidana mati
pada saat yang akan datang, maka penyusun tertarik untuk mengangkat judul
“TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENJATUHAN PIDANA MATI
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF KUHP DAN
RUU KUHP”
5

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep penjatuhan pidana mati pada KUHP dan RUU
KUHP ?
2. Mengapa pidana mati dalam RUU KUHP hanya dijadikan pidana yang
bersifat khusus yang diberlakukan secara alternatif ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui konsep penjatuhan pidana mati dalam KUHP
dengan penjatuhan pidana mati dalam RUU KUHP.
b. Untuk mengetahui konsep pidana mati pada RUU KUHP berdasarkan
tujuan pidana dan pemidanaan.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat secara teoritis
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memperluas wawasan dan
pengetahuan yang berkaitan dengan penjatuhan pidana mati terhadap
pelaku tindak pidana berdasarkan KUHP dan RUU KUHP.
b. Manfaat Praktis
1. Sebagai salah satu acuan bagi peneliti lebih lanjut yang mengkaji
masalah penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana
berdasarkan KUHP dan RUU KUHP
2. Sebagai masukan bagi Lembaga penegak hukum untuk melakukan
penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan
KUHP dan RUU KUHP.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian maka ruang
lingkup ini dibatasi pada tujuan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak
pidana dalam konsep pemidanaan dalam KUHP serta penjatuhan pidana mati
dalam konsep pemidanaan pada sudut pandang RUU KUHP terhadap pelaku
tindak pidana.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentanag Tindak Pidana


1. Pengertian Hukum Pidana
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa hukum pidana merupakan
hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada
pelaku4.
Pengertian yang dikemukakan oleh ahli hukum pidana memberikan
gambarang yang dimaksud dengan hukum pidana menurut Moeljatno hukum
pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:5
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi
pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidan aitu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.

Berdasarkan sifat kaidah hukum pidana dapat dinyatakan merupakan


hukum yang bersifat publik, yaitu hubungan hukum yang teratur dan titik
beratnya tidak berada pada kepentingan seseorang individu yang secara
langsung dirugikan, melainkan terserah kepada pemerintah (aparatur penegak
hukum) sebagai waku dan kepentingan umum”. Seperti dikemukakan oleh
beberapa pakar, antara lain:6

Bambang Waluyo, SH, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 6
5
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 1
6
Sangkoeno, 2016, http://www.sangkoeno.com/2016/05/pengertian-ruang-lingkup-
dan-sifat.html diakses pada Jumat 02 April 2021 Pukul 23:11
7

a. Van Apeldooren (Inleiding tot de studie van bet Nederlandserecht),


beranggapan bahwa : “Hukum pidana adalah hukum public, karera ia
memandang dalam suatu tindak pidana, yaitu suatu pelanggaran tata
tertib hukum dan tidak melihat dalam penistiwa tindak pidana itu
suatu pelanggaran kepentingan khusus danipada individual.
Penuntutannnya tidak dapat diserahkan kepada individual yang
dirugikan, akan tetapi harus dijalankan oleh pemerintah (Jaksa
Penuntut Umum).
b. Prof. Van Hamel, memandang hukum pidana sebagai hukum public,
karena yang menjalankan hukum pidana itu sepenuhnya terietak di
tangan pemerintah.
c. Prof. Simons, memandang hukum pidana sebagai hukum public,
karena hukum pidana itu mengatur hubungan antara individu dengan
masyarakat. Hukum Pidana dijalankan untuk kepentingan
masyarakat dan juga dijalankannya, karena kepentingan masyarakat
itu benar-benar memerlukannya.

2. Tindak Pidana
Strafbaarfeit merupakan istilah dalam Bahasa Belanda yang dimaksudkan
untuk perbuatan yang dapat dipidana. Istilah ini berasal dari tiga kata, yakni
straf, baar, dan feit. Straf artinya hukuman atau pidana. Baar artinya dapat
(Bahasa Inggrisnya “able”). Sedangkan feit artinya fakta atau perbuatan. Jadi
strafbaarfeit berarti perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat
dihukum.7
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah strafbaarfeit
yang maknanya disamakan dengan istilah dalam Bahasa Belanda tersebut
dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah
delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang
mempergunakan istilah tindak pidana.
Simons menerangkan, bahwa strafbaarfeit adalah “kelakuan (hendeling)
yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh oaring yang mampu
bertanggung jawab.”8

Prof. Masruchin Ruba’i, S.H.,M.S, dkk, Buku Ajar Hukum Pidana, Media Nusa Creative, Malang,
2015, hal. 78
8
Moeljatno, Asas-Asas hukum Pidana, Bima Aksara, 1987, hal. 61
8

Ahli hukum pidana Moeljatno berpendapat bahwa pengertian tindak


pidana yang menurut istilah beliau yaitu perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.9
Dalam tindak pidana memiliki unsur-unsur di dalamnya yang mana menurt
Prof. Simon adalah sebagai berikut:10
1) Perbuatan manusia (positif / negative; berbuat / tidak berbuat)
2) Diancam pidana
3) Melawan hukum
4) Dilakukan dengan kesalahan
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
Unsur-unsur tersebut diatas dapat dipilih kedalam unsur objektif
dan unsur subjektif
Unsur objektif meliputi:
a. Perbuatan orang
b. Akibat yang keliatan dari perbuatan itu
c. Kemungkinan adanya akibat yang menyertai; (misalnya: unsur
dimuka umum dalam Pasal 281)
Unsur subjektif meliputi
a. Orang yang mampu bertanggung jawab
b. Adanya kesalahan

Dalam KUHP tindak pidana dapat dijabarkan balam beberpa unsur yang
dimana unsur-unsur tersebut menurut Moeljatno dapat dibagi menjadi dua yaitu:11

1) Unsur-unsur formil
a. Perbuatan manusia
b. Perbuatan itu dilarang oleh suatu perbuatan hukum
c. Larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu
d. Larangan itu dilanggar oleh manusia

9
Op.cit, hal. 54
10
Masruchin Ruba’i dkk, Op.cit, hal. 80
11
Moeljatno dalam Setiady, Tolib, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Bandung Alfabeta,
2010, hal. 10
9

2) Unsur-unsur materiil
Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu harus benar-
benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tak patut
dilakukan.

B. Pidana dan Pemidanaan


Berasal kata straf dalam Bahasa Belanda atau pidana yang sering disebut
dengan istilah hukuman. Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit
karena berkaitan dengan hukum pidana. Pidana didefinisikan sebagai suatu
penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh Negara pada seseorang
atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya
yang telah melanggar larangan hukum pidana. Pidana dapat
berbentuk punishment atau treatment.
Menurut Soesilo pidan aitu sendiri sebagai suatu perasaan tidak enak
(sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah
melanggar undang-undang hukum pidana. Sedangkan arti pidana menurut
Soedarto pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
telah melakukan perbuatan yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.12
Dapat diketahui bahwa dalam pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-
ciri sebagai berikut:
a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan atau dikenakan kepada seseorang yang telah
melakukan tindak pidana menurut undang-undang;
c. Pidana yaitu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang;13
Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan
“pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Pemidanan adalah suatu proses
atau menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak

12
Masruchin Ruba’i dkk, Op.cit, hal. 124
13
Muladi dkk, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan 4, PT Alumni, Bandung, hal. 4
yang selanjutnya disebut (Muladi dkk 1)
10

kejahatan (rechsdelict) maupun pelanggaran (wetsdelict). Pidana dan


pemidanaan ialah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh
hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang
hukum pidana.14
Dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat
positif dalam arti harus dijatuhkan dengan undang-undang (asas legalitas
formil). Dengan demikian, KUHP tidak memberikan tempat bagi hukum yang
hidup ditengah-tengah masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-
undangan.15 Disamping itu KUHP menganut pada daadstrafrech yaitu hukum
pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada saat sekarang sudah
banyak ditinggalkan, karena hanya melihat aspek perbuatan (daad) dan
mengesampingkan aspek perbuatan (dader).16
Pemidanaan dapat disimpulkan sebagai tahapan penetapan sanksi dan
tahap pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana dalam hukum pidanan.
Pidana pada umumnya dapat diasumsikan sebagai hukum, sedangkan
pemidanaan adalah sebagai penghukuman. Pemidanaan adalah sebagai bentuk
suatu tindakan yang berupa sanksi diberikan terhadap seorang penjahat, dapat
dibenarkan secara norma sebagai bentuk pembahalan terhadap perbuatan yang
telah dilakukan merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai bentuk
pembalasan. Pidana dijatuhkan dalam tujuannya argar pelaku kejahat tidak
berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan yang sama.

C. Tujuan Pemidanaan
Tujuan pemidanaan di Indonesia belum pernah ada perumusannya dalam
hukum positif sekarang ini, tentang tujuan pemidanaan itu sendiri masih dalam
pengembangan dan tataran teori yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan
kajian, di dalam Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan
pemidanaan yang dapat dilihat pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dalam Bab
II dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.

14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan 3, PT.
Alumni. hal. 6 yang selanjutnya disebut (Muladi dkk 2)
15
Brada Narwawi Arief, Op.cit, hal. 109
16
Op.cit, hal. 110
11

Tujuan pemidanaan dalan RKUHP Pasal 54 yang menyatakan bahwa


pemidanaan bertujuan:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang baik dan berguna
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat
4. Membebaskan rasa bersalah pada pidana

Dapat dicermati bahwa RKUHP menganut teori prevensi dan rehabilitasi


berdasarkan aturan yang dikemukakan diatas. Teori prevensi pada umumnya
mencerminkan akan tijuan pemidanaan yaitu mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum, sedangkan teori rehabilitas
menggabarkan pemidanaan untuk memasyarakatkan terpidana dengan cara
pembinaan.
Dalam perkembangan teori hukum pidana dan pemidanaan, dalam
perkembangannya mengalami perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat yang dimana tujuan pidana yang pada awalnya sebagai
balas dendam mengalami pergeseran sampai pada pembinaan terhadap pelaku
tindak pidana. Dalam perkembangan teori-teori pemidanaan dan tujuan
pemidanaan tersebut dilandasi karena adanya pandangan-pandangan tersendiri
yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu dengan berbagai aliran,
berikut berbagai aliran yang akan dikemukakan secara singkat yaitu:17
a. Aliran Klasik
Aliran Klasik berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free
will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga
dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik
pada prinsipnya hanya menganutsingle track system berupa sanksi tunggal,

17

https://www.lawyersclubs.com/teori-teori-pemidanaan-dan-tujuan-pemidanaan/
diakses pada sabtu 3 April 2021 pukul 22:16
12

yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap
tindak pidana, sebab doktrin dalam aliran ini adalah pidana harus sesuai
dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan
dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk
melakukan penafsiran.
b. Aliran Modern
Aliran Modern atau aliran positif bertitik tolak pada aliran determinisme
yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free
will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi
dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat
dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini
menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif.
Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk
mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem
hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh
undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang
murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja
dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-
fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.
c. Aliran Neo-Klasik
Aliran Neo Klasik beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan olah aliran
klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang
pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada
beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan
maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan
(principle ofextenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah
banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif.
Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan
individual dari pelaku tindak pidana.
Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai tujua pemidanaan,
antara lain:
1. Teori Absolut Teori Pembalasan
13

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah


melakukan kejahatan atau tindak pidana (quaipeccatum est)
Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan.18
Menurut Nigel Walker sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda
Nawawi Arief teori restributive dibagai dalam beberpa golongan yaitu:19
a. Teori retributif yang murni (The Pure Retributivest) yang berpendapat
bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan sipembuat
b. Terori retributive tidak murni (dengan modifikasi), yang dapat pula
dibagi dalam:
c. Teori retributive yang terbatas (the limiting restributivist) yaitu pidana
tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak
boleh melebihi batas yang cocok atau sepadan dengan kesalahan; hanya
saja tidak boleh melebihi batas yang cocok atau sepadan dengan
kesalahan terdakwa.
d. Teori restributif yang distributif (Retribution in distribution) disingkat
dengan teori “distributive” yang berpendapat: pidana janganlah
dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak
harus cocok atau sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “taida
pidana tanpa kesalahan” dihormati, tetapi kemungkinan adanya
pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”
Dalam buku John Kaplan, teori restributive dibedakan menjadi dua teori
yaitu:20
a. Teori pembalasan (the revenge theory)
b. Teori penebusan (the expination theory) Teori Relatif
Menurut teori ini bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari
keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai
sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, J. Andeanes
berpendapat teori ini dapat disebut “teori perlindungan masyarakt”

18

Muladi dkk 1, Op.cit, hal.10


19
Op.cit, hal.12
20
Op.cit, hal.13
14

Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif
(the “reductive” point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori
ini adalah mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana bukanlah sekedar untuk
melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan
suatu tindak pidana, tetapi mempunya tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh
karena itu teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan
karena yang membuar kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan
kejahatan.
Menurut Karl O. Christiansen, ada perbedaan pokok atau karakteristik
antara teori retributive dan teori ultilitarian, yaitu:21
1. Teori Restribution
a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan
b. Penbalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung
saran-saran untuk tujuan lain misalnya masyarakat
c. Kesalaha merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar
e. Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyaraktkan
Kembali si pelanggar
2. Teori Utilitiran
a. Tujuan pidana adalah pencegahan
b. Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat.
c. Hanya pelanggar hukum yang dapat di persalahkan kepada si pelaku
saja yang memenuhi syarat untuk adanya pidana
d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuan sebagai alat pencegahan
kejahatan
e. Pidana melihat kemuka (bersifat prospektif) pidana dapat
mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun
unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
21

Muladi dkk 2, Op.cit, hal. 10-17


15

D. Tujuan Umum Tentang Pidana Mati


1. Sejarah pidana mati
Hukuman mati resmi diakui Bersama dengan adanya hukum tertulis,
yakni sejak adanya undang-undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad
ke-18 SM. Sejak itu ada 25 macam kejahatan yang diancam dengan
hukuman mati. Tetapi sebelum itu, hukuman mati juga sebenarnya sudah
terekam abad ke-14 yang terjadi di athena. Hukuman mati pada saat itu
dilaksanakan untuk semua pelanggaran maupun tindak kejahatan.
Hukuman mati juga berlaku pada masa kekaisaran Romawi yang terjadi
sekitar abad ke-12 yang dimana praktik hukuman mati dilakukan dengan
berbagai cara seperti penyaliban, ditenggelamkanm, dipukul sampai mati.
Perjalanan hukuman ini termasuk sudah mengalami zaman yang
Panjang dan berbeda. Sekitar tahun 1066 Raja William atau biasa disebut
sebagai William sang penakluk (Normandia, Prancis) menghapus istilah
humuman mati (pada masa itu berlaku hukuman gantung) untuk kategori
kejahatan apapun, namun terkecuali untuk para penjahat perang. Namaun
nah itu tidak bertahan lama karena pada abad ke-16 dibawah pemerintahan
Raja Henry VIII, sebanyak 72.000 orang diperkirakan dieksekusi mati
dengan berbagai bentuk kejahatan.
Di Indonesia sendiri, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling
berat dri susunan sanksi pidana dalam sistem pemidanaan di Indonesia.
Pidana mati sudah dikenal oleh hamper semua suku-suku bangsa
Indonesia. Cara pelaksanaan pidana mati yang diterapkan oleh suku-suku
bangsa Indonesia juga bermacam-macam, seperti: ditusuk dengan keris /
pedang, ditenggelamkan, digantung, dirajam, ditombak, dipanah, dijemur
di bawah sinar matahari sampai mati, di tumbuk kepalanya dengan alu dan
lain-lain.22

2. Konsep pidana mati

22

http://indonesiahumanist.blogspot.co.id2015/05/sejarah hukuman -mati.html?m=1 25


syahruddin husein, Digitized by USU Digital Library, 2003
16

Pengertian pidana mati berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian


Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentanng Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati, dalam Pasal 1 angka 3 ditentukan bahwa:23
“Pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan
oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.”
Kata “hukuman mati” menurut Kamus Bahasa Indonesia, berasal dari
kata “hukum” dan “mati”. Hukum adalah peraturan yang dinbuat oleh
suatu kekuasaan atau adat istiadat yang dianggap berlaku bagi banyak
orang dalam masyarakat. Maka hukuman adalah sebuah sanksi yang
diberikan kepada seseorang yang melanggar undang-undang. Sedangkan
kata “mati’ mempunyai arti kehilangan nyawa. Dengan demikian, arti
hukuman mati adalah usaha pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja
oleh pengadilan resmi Negara, atas dasar tindak kejahatan yang telah
dilakukan oleh terpidana.24

Hatawi A.M memandag ancaman pidana mati sebgai Social Defence,


dengan memberikan pengertian pidana mati sebagai berikut :
“Pidana mati adalah suatu perthanan sosial untuk menghindarkan
masyarakat umum dari bencana dan abahaya ataupun ancaman
bahaya besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa
masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan
mengganggu ketertiban masyarakat umum dalam pergaulan hiduo
manusia bermasyarakat dan beragam/bernegara”.
Pidana mati merupakan yang terberat dari jenis-jenis hukuman yang
tercantum dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:
“Pasal 10 Pidana terdiri atas”
a. Pidana Pokok:
1. Pidana Mati
2. Pidana penjara
3. Kurungan
4. Denda
b. Pidana tambahan
23

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati, Pasal 1
24
W.J.S. Poerwodarminta, 1983, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan
Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, hal. 12
17

1. Pencabutan hak-hak tertentu


2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Berdasarkan pasal 10 KUHP, pidana mati di Indonesia masih diterapkan
sebagai pidana pokok, sehingga secara yuridis formal, penerapan pidana mati
masih berlaku di Indonesia, meskipun hanya diancamkan terhadap beberapa
kejahatan yang sangat serius, baik diatur dalam KUHP maupun diatur dalam
peraturan perundang-udangan diluar KUHP.
3. Pengaturan pidana mati
a. Pengaturan pidana mati dalam KUHP
Perbuatan-perbuatan tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain:
1. Pasal 104 tentang marker terhadap presiden dan wakil presiden
2. Pasal 111 ayat (2) tentang membujuk Negara asing untuk
bermusuhan dan berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau
jadi perang
3. Pasal 124 ayat (3), membantu musuh waktu perang
4. Pasal 140 ayat (3), marker terhadap raja atau kepala Negara-
negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut
5. Pasal 340 tentang pembunuhan berencana
6. Pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan yang
mengakibatkan luka berat atau mati
7. Pasal 368 ayat (2) tentang pemerasan dengan kekerasan yang
mengakibatkan luka berat atau mati
8. Pasal 444 tentang pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang
mengakibatkan kematian
b. Pengaturan pidana mati di luar KUHP
1. Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika tentang tindak pidana psikotropika yang dilakukan
secara terorganisai
2. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia tentang kejahatan Genosida
18

yang dilakukan dengan cara membuuh mengakibatkan


penderitaan fisik atau mental berat, menciptakan kondisi
kehidupan yang mengakibatkan kemusnahan, memaksakan
tindakan untukmencegah kelahiran dan memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu.
3. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang korupsi yang
dilakukan dengan keadaan tertentu.
4. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
kegiatan menimbulkan terror yang berakibat korban masal dan
kehancuran onjek-objek vitas.
5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal
119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 144 ayat (2),
memproduksi, mengimpor, mengekspor, menyalurkan,
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar menyerahkan,
penggunaan narkotika terhadap orang lain baik Narkotika
Golongan I dan Narkotika Golongan II dalam bentuk tanaman
yang beratnya melebihi (satu) kilogram atau melebihi (lima)
batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram.
c. Pidana mati dalam Konsep Rancangan KUHP
Dalam konsep Rancangan KUHP tahun 2012 pidana mati
diatur dalam beberapa pasal, seperti: pasal 66, pasal 87, pasal 88,
pasal 89, dan pasal 90.
Terdapat beberapa tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati dalam konsep rancangan KUHP seperti dalam pasal
215, pasal 228, pasal 237, pasal 242, pasal 244, pasal 247, pasal
262 ayat (2), pasal 269 ayat (2), pasal 394 ayat (1) dan ayat (2),
19

pasal 395 ayat (1) dan ayat (2), pasal 369, pasal 397, pasal 398, dan
pasal 399.

E. Perkembangan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(RKUHP)
1. Sejarah perkembangan RKUHP
Dalam upaya kodifikasi KUHP baru untuk menggantikan WvS
(KUHP) sekarang, sudah cukup lama dirancangkan dan diperbincangkan
tepatnya pada diadakannya Seminar Hukum Nasional I pada tahun 1963
yang dimana dalam seminar tersebut membahas tentang rancangan
kodifikasi Rancangan KUHP (RKUHP) sebisa mungkin cepat di
selesaikan. Dalam seminar ini menjadi awal sejarah pembaharuan KUHP
di Indonesia dan setahun kemudian dirumuskan oleh tim pemerintah.
Maka pada tahun 1964 dibicarakan konsep yang pertama , berturut-
turut kemudian ada pula Konsep 1968, Konsep 1971-1972, Konsep
1982/1983, yang kemudian menjadi Konsep 1987-1988. Konsep 1987-
1988 ini mengalami pengkajian terus-menerus sampai menjadi Konsep
1991/1992.25
Namun dalam perkembangannya selama hampir setengah abad
RKUHP juga tidak kunjung rampung dibahan dan disahkan sampai saat
ini. tidak rampungnya penyusunan RKUHP disebabkan karena beberapa
mentri hukum dan HAM (dulu mentri kehakiman) kira-kira sudah ada 13
kali mengalami pergantian bahkan tim penyusun RKUHP sekitar 17
orang telah walfat, ada 7 diantaranya guru besar senior bidang hukum,
dosen, atau pejabat negara.
Dalam sebuah kesempatan Simposium Nasional dan Pelatihan Hukum
Pidana dan Kriminologi di Banjarmasin, Mei 2016 lalu, Barda sempat
bergurau menyebut RKUHP layaknya bayi dalam kandungan seorang
perempuan yang tidak lahir-lahir dan tidak mati-mati. “Janjinya ini sudah
terlalu tua,” ujarnya. Catatan Barda, draft RKUHP, sebagai ide

25

Barda Nawawi Arief, 2008, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP Baru,
Prenadamedia Group, Jakarta, hal. 102
20

dasar/pokok memikirkan para tim penyusun itu, sudah pernah diserahkan


ke DPR pada tahun 2013 dan 2015.
Sejak saat itu, pembahasan draft RKUHP mulai intensif dibahas
antara Panitia Kerja (Panja) DPR dan tim pemerintah. Berbagai masukan
sejumlah elemen masyarakat sudah ditempuh baik melalui media
maupun rapat dengar pendapat umum (RDPU). Janji wakil rakyat pernah
terlontar untuk segera merampungkan pembahasan RKUHP. Panja DPR
yang diketuai Benny K Harman ini pernah mentargetkan pembahasan
RKUHP bakal rampung akhir 2013. Tetapi hingga berakhirnya DPR
periode 2009-2014, pembahasan RKUHP tak selesai.26
Kodifikasi RKUHP berlanjut hingga DPR Periode 2014-2019,
Presiden Jokowi mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) pada 5 Juni
2015 mengenai kesiapan pemerintah dalam pembahasan RKUHP, yang
terdiri dari Buku I dan Buku II dengan jumlah Pasal 786, yang disepakati
pembahasan dirampungkan dalam kurun waktu 2 tahun hingga akhir
2017. Banyak terjadi problematika dalam pembentukan RKUHP yang
dimana diantaranya terjadi target yang di jadwalkan mundur, beberapa
pasal dalam Buku I dan Buku II yang belum disepakati dan pending
pembahasannya dan ada beberapa pasal dalam Buku II belum dibahas
sama sekali. Pembahasan RKUHP berlanjut sampai tahun 2018 yang
dimana RKUHP menjadi salah satu RUU Prolegnas Prioritas 2018 agar
tidak menimbulkan polemik dan menuai gugatan.
2. Beberapa hal baru dalam konsep RKUHP
Sejumlah hal baru yang tidak diatur sebelumnya dalam KUHP
warisan Belanda, kini diatur dalam RKUHP bahkan hal yang baru
tersebut menjadi suatu jaminan bahwa pasal-pasal yang dianggap seram
dan mimpi buruk hanya akan bekerja dalam memenuhi rasa keadilan di
masyarakat. Bebrapa hal baru dalan konsep RKUHP dapat ditemukan
sebagai berikut :
A. Sistematika KUHP baru

26

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a42131b82c60/sekilas-sejarah-dan-
problematika-pembahasan-rkuhp?page=2 diakses pada tanggal 8 April 2021 pukul 10:21
21

1. Usul rancangan KUHP Baru 1991/1992 (untu selanjutnya disebut


“Konsep”) sama seperti konsep-konsep sebelumnya, hanya terdiri
dari dua Buku yaitu Buku I memuat tentang “Ketentuan Umum”
dan Buku II memuat perumusan “Tindak Pidana” dengan tidak
lagi membedakan antara “Kejahatan” dan “Pelanggaran”.
Sistematika demikian bertolak belakang dari resolusi/rekomendasi
bidang hukum pidana pada Seminar Hukum Nasional I yang
diadakan di Jakarta tanggal 11-16 Maret 1963.
2. Dalam seminar “Penelaahan Pembaruan Hukum Nasional” yang
diselenggarakan oleh BPHN pada tanggal 14-16 Juni 1982 telah
disepakati pendapat dari Tim Pengkaji Bidang Hukum Pidana,
bahwa pidana tiga pokok persoalan yang menyangkut: perbuatan
yang dilarang, orang yang melanggar larangan, dan pidana.
Bertolak dari pemikiran demikianlah, maka dalam konsep Buku II
ada bab tersendiri mengenai “Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana” (Bab II) yang dipisahkan mengenai
“Pidana, Tindakan, dan Pemidanaan” (Bab III). Bertolak dari
pembagian sistematik antara “Tindakan Pidana” dan
“Pertanggungjawaban Pidana”, maka di dalam Bab II dipisahkan
pasal-pasal mengenai “tindak pidana” dengan pasal-pasal
“kesalahan”. Demikian pula dipisahkan pasal-pasal mengenai
“alas an pembenar” dengan “alasan pemaaf”27.
Sistematika atau pembagiannya di dalam RKUHP tidak mengikuti
KUHP WvS. Dalam RKUHP hanya terdiri dari dua Buku, yakni buku
I memuat tentang Ketentuan Umum dan Buku II memuat tentang
Tindak Pidana, dengan tidak lagi membedakan dua jenis tindak pidana
antara “Kejahatan dan Pelanggaran”. Penghapusan pembedaan tindak
pidana antara kejahatan dan pelanggaran dijelaskan dalan RKUHP
bahwa pembaruan Hukum Pidana materiil dalam kitab Undang-
Undang Hukum Pidana ini tidak membedakan lagi antara tindak pidan

27

Barda Nawawi Arif, Op.cit, hal. 102


22

(delik) kejahatan dengan tindak pidana (delik) pelanggaran. Untuk


keduanya dipakai istilah tindak pidana.28
B. Masalah pedoman pemidanaan
1. Hal baru yang ada dalam konsep ialah adanya perumusan
mengenai “tujuan dan pedoman pemidanaan” (Pasal 51-57).
Dirumuskannnya tujuan dan pedoman ini bertolak dari pokok-
pokok pemikiran sebagai berikut:
a. Pada hakekatnya undang-undang merupakan suatu sistem
(hukum) yang bertujuan (Anthony Allot, The limits of Law,
1980: 28, menyebutkan dengan istilah “purposive system”).
Dirumuskannya pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-
undang pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk
mencapai tujuan, oleh karena itu perlu dirumuskan tujuan dan
pedoman pemidanaan.
b. Dilihat secara fungsional dan oprasional, pemidanaan
merupakan suatu rangkaian proses dan kebijaksanaan yang
konkretisasinya sengaja direncanakan melalui tahap “formulasi”
oleh pembuat undang-undang, tahap “aplikasi” oleh
badan/apparat yang berwenang dan tahap “eksekusi” oleh
apparat/instasi pelaksana pidana. Agar ada keterjalinan dan
keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem
pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan, dan pedoman
pemidanaan.
c. Sistem pemidanaan yang bertolak dari paham individualisasi
pidana tidak berrti memberi kebebasan sepenuhnya kepada
hakim dan aparat-aparat lainnya tanpa pedoman atau
kendali/control perumusan tujuan dan pemidanaan dimaksudkan
sebagai “fungsi pengendali dan kontrol” dan sekaligus
memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motifasi
pemidanaan yang jelas dan terarah.29
28

Sudaryono Natangsa Surbakti, 2017, Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan
KUHP dan RUU KUHP, University Press, Surakarta, hal. 41
29
23

2. Masalah jenis pidana dan tindakan


a. Jenis pidana pokok menurut konsep tidak berbeda dengan
KUHP yang berlaku saat ini. yang agak menonjol adalah
dimasukkannya “pidana kerja sosial” yang selama ini tidak
dikenal dalam KUHP. Ketentuan mengengai pidana sosial ini,
didalam konsep diatur sebagai berikut:
1) Dalam hal hakim mempertimbangkan untuk
menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari 6 bulan
atau denda tidak melebihi kategori I, maka iya dapat
mengganti pidana penjara atau benda tersebut dengan
pidana kerja sosial yang sifatnya tidak dibayar.
2) Dalam hal pidana kerja sosial dijatuhkan, hakim harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a) Pengakuan terpidana terhadap tindak pidana yang
dilakukan;
b) Usia layak kerja terpidana menurut undang-
undang;
c) Persetujuan terpidana, sesudah hakim menjelaskan
tujuan dan segala hal yang berkaitan dengan pidana
kerja sosial;
d) Riwayat sosial terpidana;
e) Pidana kerja sosial tidak boleh bertentangan dengan
keyakinan agama dan politik terpidana;
f) Pidana kerjasosial tidak boleh dikormesialkan;
g) Perlindungan keselamatan kerja terpidana;
h) Dalam hal pidana kerja sosial dijatuhkan sebagai
pengganti pidana denda, maka sebelumnya harus
ada permohonan terpidana dengan aslasan tidak
mampu membayar denda tersebut.
3) Pidana kerja sosial dikenakan paling lama 240 jam
untuk terpidana yang berumur 18 tahun, dan 120 jam

Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 109


24

untuk terpidana yang berumur dibawah 18 tahun dan


paling pendek 7 jam.
4) Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam
waktu paling lama 12 bulan, dengan memperhatikan
kegiatan-kegiatan terpidana dalam menjalankan mata
pencahariannya dan atau kegiatan apa yang
bermanfaat.
5) Apabila terpidana gagal untuk memenuhi seluruh atau
sebagian kewajibannya dalam menjalankan pidan kerja
sosial tanpa alas an yang wajar, maka hakim dapat
memerintahkan terpidana untuk:
a) Mengulangi seluruhnya atau pidana kerja sosial
tersebut;
b) Menjalani seluruhnya atau Sebagian pidana penjara
yang digantikan oleh pidana kerja sosial terbut;
atau
c) Membayar seluruhnya atau sebagian tindak pidana
denda yang tidak dibayar yang digantikan oleh
pidana kerja sosial tersebut, atau menjalani pidana
penjara sebagai pengganti denda yang tidak
dibayar.
b. Hal menonjol lainnya ialah, digesernya kedudukan pidana mati
dari pidana pokok dan ditempatkan tersendiri sebagai jenis
pidana (pokok) yang bersifat khusus atau eksepsiona.
c. Dalam konsep 1993 ada juga rumusan mengenai “penundaan
pelaksanaan pidana mati” dengan masa percobaan selama 10
tahun. Apabila masa percobaan dapat dilalui dengan baik,
pidana mati dapat dirubah menjadi menjadi pidana penjara
seumur hidup atau paling lama 20 tahun. Disamping itu,
apabila permohonan grasi ditolak dan eksekusi pidana mati itu
tidak dilaksanakan semala 10 tahun bukan karena pidana
25

melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi


pidana penjara seumur hidup.
d. Mengenai pidana tambahan, konsep 1993 tetap
mempertahankan jenis-jenis pidana tambahan seperti yang ada
dalam KUHP sekarang, hanya ditambah dengan dua jenis lagi
yaitu:
1) Pembayaran ganti kerugian; dan
2) Pemenuhan kewajiban adat.
Mengenai posisi penjatuhan pidana tambahan, perumusan
konsep mengalami tambahan:
a) Dalam konsep 1993 s/d konsep 2000/2002
ditentukan:
“pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan jika
tercantum secara tegas dalam perumusan tindak
pidana”
b) Dalam konsep 2004 s/d 2012, ketentuan iru
berubah menjadi:
“Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri
sendiri atau dapat dijatuhkan Bersama-sama dengan
pidana tambahan lain”
e. Mengenai jenis-jenis tindakan untuk orang yang tidak atau
kurang mampu bertanggung jawab, menurut konsep 1993
menyediakan tindakan berupa;
1) Perawatan di rumah sakit jiwa;
2) Penyerahan kepada pemerintah; dan
3) Penyerahan kepada seseorang;
Berbeda dengan KUHP sekarang, konsep menyediakan
juga jenis-jenis tindakan untuk orang normal (orang yang
mampu bertanggung jawab) untuk memberi perlindungan
kepada masyarakat, yaitu tindakan-tindakan berupa:
1) Pencabutan surat izin mengemudi (SIM);
26

2) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;


3) Perbaikan akibat-akibat tindak pidana;
4) Latihan kerja;
5) Rehabilitasi;
6) Pengawasan di dalam suatu Lembaga.30
3. Masalah jumlah dan lamanya pidana
Beberapa hal baru di dalam konsep mengenai jumlah atau
lamanya pidan, adalah sebagai berikut:
a. Konsep mengenal “minimal khusus” untuk pidana penjara dan
pidana denda.
b. Jumlah pidana denda yang diancamkan dalam perumusan delik
menggunakan sistem kategori (ada enam kategori denda)
c. Maksimum pidana untuk delik-delik culpa akan ditetapkan
dengan patokan yang seragam dan sebanding dengan
delikdolusnya masing-masing.
d. Maksimum pidana untuk delik-delik pemufakatan jahai dibuat
seragam, yaitu sepertiga dari maksimum pidana untuk delik
pokok yang bersangkutan. Minimalnya ditetapkan 1 tahun
penjara.
e. Maksimum penjara untuk delik-delik penyiaran sama dengan
maksimum pidana delik pokoknya.
4. Masalah peringanan dan pemberatan pidana
a. Yang dimaksud dengan peringanan dan pemberatan di sini
ialah “peringanan sepertiga” atau “pemberatan sepertiga” dari
pidana yang diancam, baik dari maksimum pidana maupun
dari minimum pidana yang diancamkan. Jadi agak lain dengan
KUHP sekarang.
b. Di samping alasan/faktor memperingan pidana yang ada dalam
KUHP (seperti percobaan dan pembantuan), konsep
menambahkan hal-hal baru sebagai alasan/faktor yang dapat
memperingan pidana ialah:
30

Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 111-115


27

1) Seorang setelah melakukan tindak pidana dengan sukarela


menyerahkan diri kepada yang berwajib;
2) Wanita hamil muda yang melakukan tindak pidana;
3) Setelah melakukan tindak pidana, dengan sukarela
memberi ganti rugi yang layak atau memperbaiki kerugian
akibat perbuatannya;
4) Melakukan tindak pidan karena kegoncangan jiwa yang
sangat hebat sebagai akibat yang sangat berat dari keadaan
pribadi atau keluarganya;
5) Faktor kurang mampuan bertanggung jawab.
Hal-hal yang memperberat pidana di dalam konsep tidak
berbeda dengan KUHP, hanya agak berbeda dalam letak
perumusannya. Misalnya, konsep memasukkan dalam “aturan
umum” hal-hal yang memperberat pidana sebagai berikut:
1) Seseorang yang menyalahginakan keahlian atau profesinya;
2) Melakukan tindak pidana dengan kekuatan Bersama, dengan
kekerasan atau dengan cara-cara yang kejam;
3) Melakukan tindak pidana pada waktu ada huru-hara atau ada
bencana alam;
4) Pengulangan tindak pidana (recidive).31

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

31

Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 116-117


28

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normative, yaitu


penelitian yang mengkaji ketentuan-ketentuan hukum dalam Peraturan
Perundang-undangan dan konsep-konsep hukum.
Sesuai dengan jenis penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan perundang-undangan (Statute approach), pendekatan
konseptual (Conseptual approach) dan pendekatan sejarah (Historical
approach).
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute approach) yaitu dengan
memusatkan perhatian pada produk hukum (perundang-undangan)
yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan, tindak pidana dan
perbandingan pemidanaan dan tindak pidana pada KUHP dan RUU
KUHP.
b. Pendekatan konseptual (Conceptual approach) yaitu mengkaji masalah
pengertian ini dengan menganalisis konsep-konsep hukum yang
berkaitan dengan konsep pemidanaan dan tindak pidana terhadap
pelaku tindak pidana dalam perspektif KUHP dan RUU KUHP.
c. Pendekatan sejarah (Historical approach) yaitu pendekatan yang
menelaah dan memaparkan sejarah dan asal mula perkembangan
sebuah hukum ataupun sebuah perundang-undangan.

B. Sumber Bahan Hukum


1. Sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
bahan kepustakaan, yaitu yang diperoleh dari perundang-undangan dan
literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.
2. Jenis bahan hukum
a. Bahan Hukum Primer antara lain: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(Wetboek van Stafrecht), Rancangan KHUP Tahun 2019.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu diperolah dari buku-buku, literatur, hasil-
hasil penelitian, hasil karya para pakar hukum yang berkaitan dengan
skripsi ini.
29

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan


petunjuk mengenai pengertian terhadap bahan hukum primer dan
sekuunder, seperti kamus-kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.

C. Teknik dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum


Teknik dan alat pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah
studi dokumen yaitu penghimpunan bahan-bahan dari kepustakaan. Seperti
buku, artikel, hasil karya tulis, hasil seminar, dan pasal-pasal dari berbagai
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian.

D. Analisis Bahan Hukum


Berdasarkan bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan,
ditemukannya pertentangan norma, maka metode yang digunakan adalah
dengan mengkaji atau menganalisis asas-asas hukum yang berlaku, dan alat
analisis yang digunakan perbandingan konsep KUHP dengan RUU KUHP.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Bambang Waluyo, SH, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014
Barda Nawawi Arief, 2008, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep
KUHP Baru, Prenadamedia Group, Jakarta
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008
Moeljatno, Asas-Asas hukum Pidana, Bima Aksara, 1987
Moeljatno dalam Setiady, Tolib, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia,
Bandung Alfabeta, 2010
Muladi dan Barda Narwawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Cetakan 3, PT Alumni, Bandung
Muladi dkk, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan 4, PT Alumni,
Bandung,
Prof. Masruchin Ruba’i, S.H.,M.S, dkk, Buku Ajar Hukum Pidana, Media Nusa
Creative, Malang, 2015
Sudaryono Natangsa Surbakti, 2017, Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana
Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP, University Press, Surakarta
W.J.S. Poerwodarminta, 1983, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat
Pembinaan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta

UNDANG-UNDANG
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana

INTERNET
BBC News, 2018, Negara mana yang menerapkan hukuman mati? Bagaimana
denganIndonesia?https://www.bbc.com/indonesia/dunia45859508.amp#refe
rrer=https://www.google.com&csi=0 diakses pada tanggal 31 Maret 2021,
Pukul 14:30
https://www.lawyersclubs.com/teori-teori-pemidanaan-dan-tujuan-pemidanaan/
diakses pada sabtu 3 April 2021 pukul 22:16
http://indonesiahumanist.blogspot.co.id2015/05/sejarah hukuman -mati.html?
m=1 25 syahruddin husein, Digitized by USU Digital Library, 2003
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a42131b82c60/sekilas-sejarah-dan-
problematika-pembahasan-rkuhp?page=2 diakses pada tanggal 8 April
2021 pukul 10:21
Sangkoeno, 2016, http://www.sangkoeno.com/2016/05/pengertian-ruang-lingkup-
dan-sifat.html diakses pada Jumat 02 April 2021 Pukul 23:11

Anda mungkin juga menyukai