Anda di halaman 1dari 100

ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN

PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP


PERKARA PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER)
SEBAGAI PEMBELAAN DIRI

SKRIPSI

Oleh:
RIANTI WULAN DARI
NPM. 18.81.0336

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
2022
ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN PENGHENTIAN
PENYIDIKAN TERHADAP PERKARA PEMBELAAN
TERPAKSA (NOODWEER) SEBAGAI PEMBELAAN DIRI

SKRIPSI

Disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum


Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan

Oleh:
RIANTI WULAN DARI
NPM. 18.81.0336

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
2022

i
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama: Rianti Wulan Dari

NPM: 18.81.0336

Menyatakan bahwa proposal skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN


PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP PERKARA PEMBELAAN TERPAKSA
(NOODWEER) SEBAGAI PEMBELAAN DIRI” adalah hasil karya saya sendiri, dan semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Apabila
dikemudian hari diketahui adanya plagiasi maka saya siap mempertanggungjawabkan secara
hukum.

Martapura, 20 Februari 2022

Yang Menyatakan,

Rianti Wulan Dari

NPM. 18.81.0336

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Proposal Skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN PENGHENTIAN


PENYIDIKAN TERHADAP PERKARA PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER)
SEBAGAI PEMBELAAN DIRI”, disusun oleh RIANTI WULAN DARI (NPM.
18.81.0336) telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penilai Proposal Skripsi
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan, pada:

Hari :

Tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Dadin Eka Saputra, S.H., M.Hum. Dedi Sugiyanto, S.H., M.H.


NIDN. 1130038302 NIDN.1112069202

Mengetahui
Wakil Dekan 1
Fakultas Hukum Uniska

Dr. Hidayatullah, S.HI., M.H., M.Pd.


NIDN.0025087901

iii
PENGESAHAN

Proposal Skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Kewenangan Pengehentian


Penyidikan Terhadap Perkara Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Sebagai Pembelaan
Diri”, disusun oleh RIANTI WULAN DARI (NPM. 18.81.0336), telah dipertahankan di
hadapan Tim Penilai Proposal Skripsi Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Islam Kalimantan, pada:

Hari : ............. ……………….

Tanggal : …………………………

Penguji Utama

Dadin Eka Saputra, SH., M.Hum


NIP/NIDN. 1130038302

Pembimbing I Pembimbing II

Dedi Sugiyanto, SH., M.H. M. Rosyid Ridho, S.HI., M.H.


NIDN.1112069202 NIP/NIDN/NIK

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum Uniska

Dr. Afif Khalid, S.HI., S.H., M.H.


NIDN. 1117048501

iv
BERITA ACARA

v
ABSTRAK

Rianti Wulan Dari. NPM. 18.81.0336. 2022. Analisis Yuridis Kewenangan Penghentian
Perkara Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Sebagai Pembelaan Diri. Pembimbing I : Dadin
Eka Saputra, S.H., M.Hum. Pembimbing II : Dedi Sugiyanto, S.H., M.H.
Kata Kunci : Pembelaan terpaksa (noodweer), Sp3 (Surat Perintah Penghentian
Penyidik), kewenangan hakim
Pembelaan diri merupakan hak yang menjadi naluri setiap orang untuk
mempertahankan dirinya atau orang lain, harta benda dan kehormatannya dari perbuatan jahat
pihak lain, yang ingin merusak atau merugikan secara melawan hukum. Pembelaan terpaksa
(noodweer) terjadi apabila seseorang tidak melakukan pembelaan diri maka suatu hal yang
buruk akan terjadi atau apabila tidak melakukan pembelaan maka seseorang dalam keadaan
yang membahayakan. Pembelaan tepaksa merupakan alasan pembenar dimana ketentuannya di
atur dalam Pasal 49 KUHP.
Penelitian ini difokuskan dengan 2 rumusan masalah, yaitu Bagaimana analisa yuridis
dalam pembelaan terpaksa (noodweer) dan Bagaimana kewenangan penyidik mengeluarkan
SP3 terhadap kasus pembelaan terpaksa (noodweer) sebagaimana ketentuan pasal 49 KUHP.
Penelitian skripsi ini merupakan metode penelitian hukum normatif yang menggunakan
pendekatan kualitatif. Sumber datanya menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan
tersier. Teknik pengumpulan dan bahan hukum penelitian menggunakan studi dokumen dan
tulisan yang erat kaitannya dengan permasalahan yang diteliti yang akan dijabarkan secara
deskriptif.
Pembelaan terpaksa (noodweer) adalah sebagai suatu pembelaan yang dilakukan di
dalam keadaan darurat, yang terdapat dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. Syarat-syarat noodweer
(pembelaan terpaksa) yaitu, Harus ada serangan dan Terhadap serangan itu perlu dilakukan
pembelaan diri. Tindakan orang yang diserang dibenarkan oleh undang-undang atau sifat
melawan hukumnya ditiadakan. Kejahatan begal dapat dimasukkan kedalam kategori alasan
pembenar karena korban merasa sangat terancam jiwa dan benda kepunyaannya. Hak penyidik
untuk menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) diatur dalam Pasal 109 ayat
2 KUHAP. Pembuktian unsur-unsur pembelaan terpaksa pada Pasal 49 KUHP diserahkan
kepada Hakim bukan Polisi. Hakim yang akan menguji dan memutuskan apakah perbuatan itu
termasuk unsur-unsur Pasal 49 KUHP atau tidak.

vi
ABSTRACT

Rianti Wulan Dari. NPM. 18.81.0336. 2022. Juridical Analysis of the Authority to Terminate
Cases of Forced Defense (Noodweer) as Self-Defense. Supervisor I : Dadin Eka Saputra, S.H.,
M.Hum. Advisor II : Dedi Sugiyanto, S.H., M.H.
Keywords: Noodweer, Sp3, judge's decision
Self-defense is a right that is the instinct of every person to defend himself or another person,
property and honor from the evil actions of other parties, who want to damage or harm against
the law. A forced defense (noodweer) occurs when a person does not defend himself then
something bad will happen or if he does not defend himself then a person is in a dangerous
situation. Forced defense is justification where the provisions are regulated in Article 49 of the
Criminal Code.
This research is focused on 2 problem formulations, namely How is the juridical analysis in
forced defense (noodweer) and How is the authority of investigators to issue SP3 for cases of
forced defense (noodweer) as stipulated in Article 49 of the Criminal Code.
This thesis research is a normative legal research method that uses a qualitative approach. The
data sources use primary, secondary and tertiary legal materials. The technique of collecting
and researching legal materials uses the study of documents and writings that are closely
related to the problems being studied which will be described descriptively.
A forced defense (noodweer) is a defense carried out in an emergency, which is contained in
Article 49 paragraph (1) of the Criminal Code. The conditions of noodweer (forced defense)
are, There must be an attack and against that attack it is necessary to defend oneself. The act
of the person being attacked is justified by law or the unlawful nature is eliminated. The crime
of robbery can be included in the category of justification because the victim feels that his life
and property are very threatened. The investigator's right to issue SP3 (Warrant for
Termination of Investigation) is regulated in Article 109 paragraph 2 of the Criminal
Procedure Code. The proof of the elements of the defense is forced in Article 49 of the Criminal
Code to be submitted to the judge, not the police. The judge will examine and decide whether
the act includes elements of Article 49 of the Criminal Code or not.

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, akhirnya Skripsi ini dapat
diselesaikan yang berjudul “ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN PENGHENTIAN
PERKARA PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER) SEBAGAI PEMBELAAN
DIRI”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak. Untuk itu sudah selayaknya apabila pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada yang
terhormat :
1. Bapak Prof. Abdul Malik, S.Pt, M.Si, Ph.D, selaku Rektor UNISKA Muhammad Arsyad
Al Banjari Banjarmasin.
2. Bapak Dr. Afif Khalid, S.H.I., S.H., M.H., Selaku Dekan Fakultas Hukum UNISKA
Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin.
3. Ibu Muthia Septarina, S.H., M.H., Selaku Ketua Jurusan Fakultas Hukum UNISKA
Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin sekaligus
4. Bapak Dadin Eka Saputra, S.H., M.Hum., Selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
membantu memberikan petunjuk dan pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan
skripsi.
5. Bapak Dedy Sugiyanto, S.H., M.H., Selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
membantu memberikan petunjuk dan pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan
skripsi.
6. Kedua Orang Tua, serta saudara-saudaraku tercinta yang selalu mendorong dan
memberikan do’a restunya dalam pembuatan skripsi ini.
7. Rekan-rekan se-almater, khususnya Habibah, Hikmah, Milan, Salsa, Rina, ka Adis,
Kurniawan, Putri dan teman-teman dikelas Fakultas Hukum UNISKA.
8. Tia Aulia Hesy Noviana, S.H. yang sudah mengantarkan saya konsul ke Banjar dan
Teman-teman saya lainnya yang telah menyemangati menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kasih sayang dan memberkati usaha
kita semua, Amin.

Maratapura, 20 Februari 2022

Peneliti,

Rianti Wulan Dari

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

HALAMAN JUDUL................................................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... iv

BERITA ACARA SIDANG SKRIPSI ..................................................................... v

ABSTRAK ................................................................................................................ vi

ABSTRACT ................................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR .............................................................................................. viii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix


BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian....................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian..................................................................................... 9
E. Metode Penelitian ...................................................................................... 10
1. Jenis Penelitian ................................................................................ 10
2. Pendekatan Penelitian ..................................................................... 10
3. Sumber Data .................................................................................... 11
4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum .................... 11
5. Analisis Bahan Hukum ................................................................... 12

F. Sistematika Penulisan................................................................................ 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 14

A. Landasan Konseptual ................................................................................ 14


a. Pembelaan Darurat/Terpaksa (noodweer)....................................... 16
b. Pertanggungjawaban Pidana ........................................................... 23
c. Unsur-Unsur Tindak Pidana ........................................................... 27
d. Alasan Penghapusan Pidana ........................................................... 29

ix
e. Jenis-Jenis Tindak Pidana ............................................................... 34

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................... 37

A. Analisis Yuridis Dalam Pembelaan Terpaksa (noodweer)........................ 37


B. Kewenangan Penyidik Mengeluarkan SP3 Terhadap Kasus
Pembelaan Terpaksa (noodweer) Dalam Pasal 49 KUHP ........................ 46
a. Kewenangan Kepolisian.................................................................... 51
b. Kewenangan Hakim .......................................................................... 62

BAB IV PENUTUP .................................................................................................. 86

A. Kesimpulan ................................................................................................ 86
B. Saran……………………………………………………………………...87

DAFTAR PUSTAKA

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan melawan hukum

berlaku baik itu pelanggaran atau kejahatan yang dapat dituntut dengan

hukum pidana atau ketentuan peraturan perundang-undangan.1 Untuk

dapat dipidananya si pelaku itu dengan adanya tindak pidana yang

dilakukannya memenuhi unsur-unsur dalam undang-undang. Seseorang

akan dipertanggungjawabkan atas tindakannya itu, apabila tindakannya

melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar dan pemaaf yang dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Untuk menentukan adanya

suatu kesalahan harus memenuhi beberapa unsur yaitu dengan adanya

kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, perbuatan tersebut berupa

kesengajaan, dan tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak

adanya alasan pemaaf.

Perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma itu yang dapat

menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat,

sehingga masyarakat dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran, bahkan

sebagai suatu kejahatan.2 Itulah sebabnya hukum kenapa selalu mengalir,

karena kehidupan manusia memang penuh dengan dinamika dan berubah

dari waktu-kewaktu, dalam melindungi kepentingan serta hak-hak korban

1
Sudarto,. 1990. Hukum Pidana Indonesia, Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas
Hukum UNDIP, hlm. 39.
2
Waluyo, Bambamg. 2011. Victimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kejahatan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 41.

1
2

memang perlu dipikirkan, sebab selama ini belum ada peraturan

yang khusus melindungi korban dari tindak pidana kejahatan.

Dalam asas hukum pidana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa hukum pidana

bersumber pada peraturan tertulis (Undang-Undang) disebut juga sebagai

asas legalitas. Asas legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan

individu dengan memberi batas aktivitas dari apa yang dilarang secara tepat

dan jelas. Asas legalitas bertujuan untuk memberikan sifat perlindungan

pada Undang-Undang pidana yang melindungi rakyatnya terhadap

pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Tujuan hukum

pidana adalah untuk melindungi kepentingan serta hak asasi manusia

masing-masing individu maupun masyarakat. Maka dari itu tujuan hukum

pidana di Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang dapat

membawa kepentingan yang adil bagi seluruh warga Negara Indonesia.3

Pertanggungjawaban pidana tidak hanya menyangkut soal hukum

saja melainkan juga menyangkut soal nilai- nilai moral atau kesusilaan

umum yang dianut oleh masyarakat atau kelompok-kelompok dalam

masyarakat, hal ini dilakukan agar pertanggungjawaban pidana itu

memenuhi suatu keadilan.4 Pembelaan terpaksa ini terjadi apabila seseorang

tidak melakukan pembelaan diri maka suatu hal yang buruk akan terjadi atau

3
Cessio, Rima Nur 2020. “Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Korban Tindak
Pidana Penusukan Dalam Peradilan Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 2, Diponegoro: Fakultas Hukum
Universitas, hlm. 83.
4
Amrani Hanafi, dan Mahrus Ali. 2015. Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:
Rajawali Pers, hlm. 16.
3

apabila tidak melakukan pembelaan maka seseorang dalam keadaan yang

membahayakan.5

Dalam naluri manusia seseorang tentunya akan melakukan berbagai

upaya untuk menyelamatkan dirinya agar dapat terlepas dari bahaya

tersebut. Pada dasarnya pembelaan diri merupakan hak yang menjadi naluri

setiap orang untuk mempertahankan dirinya atau orang lain, harta benda dan

kehormatannya dari perbuatan jahat pihak lain, yang ingin merusak atau

merugikan secara melawan hukum.6 Tindakan yang dilakukan oleh

seseorang saat berusaha menyelamatkan diri dari suatu serangan tindak

pidana ini tidak jarang akan menjadi boomerang bagi mereka dan berbalik

menjadikan mereka pelaku tindak pidana.

Tujuan dalam peradilan pidana itu untuk memutuskan apakah

seseorang bersalah atau tidak melalui proses pemerik saan dipersidangan.

Proses pembuktian memegang peranan penting untuk menentukan nasib

terdakwa, apakah terdakawa bersalah atau tidak. Dengan adanya

pembuktian, majelis hakim meskipun tidak melihat dengan mata kepala

sendiri kejadian yang sebenarnya dapat menggambarkan dalam pikirannya

apa yang sebenarnya terjadi, sehingga dapat memperoleh keyakinan tentang

suatu peristiwa tersebut.

Berkaitan dengan proses pembuktian, untuk membuktikan

5
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris. 1995. Hukum Pidana, Yogyakarta: Cetakan
Pertama, Liberty, hlm. 59.
6
Julaiddin dan Rangga Prayitno. 2020. “Penegakan Hukum Bagi Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan Dalam Pembelaan Terpaksa”, UNES Journal of Swara Justisia, Vol. 4, hlm.45.
4

seseorang melakukan pembelaan terpaksa (noodweer) memang tidak

mudah, oleh karena itu hakim harus memahami suatu perkara untuk

menentukan apakah perbuatan terdakwa sudah memenuhi syarat-syarat

suatu pembelaan terpaksa atau tidak. Dalam buku kesatu bab III KUHP

terdapat alasan peniadaan pidana atau disebut juga dengan penghapusan

pidana. Disana menjelaskan beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar

untuk tidak menjatuhkan pidana kepada pelaku yang melakukan tidak

pidana, alasan ini dinamakan dengan alasan penghapusan pidana yakni

alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang telah melakukan suatu

tindak pidana yang sebenarnya telah memenuhi unsur dalam delik pidana,

tetapi tidak dipidana.

Pembelaan tepaksa adalah salah satu diantara alasan pembenar

dimana ketentuannya di atur dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) KUHP,

dengan demikian maka pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan

terpaksa melampaui batas (noodweer axcess) dapat dijadikan sebagai

pembelaan yang sah dimuka persidangan dan menjadi pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan putusan dipersidangan. Tujuan peradilan pidana adalah

untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak melalui proses

pemeriksaan dipersidangan. Dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan,

pembuktian memegang peranan penting untuk menentukan nasib terdakwa,

apakah terdakawa bersalah atau tidak. Dengan adanya pembuktian, majelis

hakim meskipun tidak melihat dengan mata kepala sendiri kejadian yang

sesungguhnya dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang


5

sebenarnya terjadi, sehingga dapat memperoleh keyakinan tentang suatu

peristiwa tersebut. Berkaitan dengan proses pembuktian, untuk

membuktikan seseorang melakukan pembelaan terpaksa (noodweer)

memang tidak mudah, oleh karena itu hakim harus memahami suatu perkara

untuk menentukan apakah perbuatan terdakwa sudah memenuhi syarat-

syarat suatu pembelaan terpaksa atau tidak.

Hakim dalam memeriksa sebuah perkara pidana harus

mempertimbangkan layak atau tidaknya seseorang dijatuhi pidana yang

didasarkan pada kenyakinan hakim itu sendiri dan ditambah dengan alat-

alat bukti yang sah dan dihadirkan di persidangan. Hakim sepatutnya

memiliki dasar kuat dan tepat dalam memutus perkara pidana yang

diadilinya. Maka dari itu pentingya pertimbangan hakim yang kuat tepat

dalam suatu putusan demi terciptanya kebenaran, keadilan dan kemanfaatan

yang dimana kesemuanya harus mendapat porsi yang seimbang.

Cara untuk menghentikan penyidikan, yang mana hal tersebut bisa

dikategorikan sebagai penyederhanaan dalam proses peradilan. Selain itu,

agar asas tersebut bisa digunakan untuk ranah peradilan, yaitu dengan alasan

penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). SP3 ini diatur

dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang mengatur bahwa:

“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup

bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau

penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu

kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”. Alasan penerbitan


6

SP3 yaitu, Tidak cukup bukti, bukan tindak pidana, dan dihentikan demi

hukum.

Kasus 1: Pada hari Jum’at tanggal 4 Oktober 2013 sekitar pukul

16.30 WIB, saksi korban VERA DAMAYANTI ALBETO datang ke ruang

olahraga Kirana Health Club di Hotel Jogyakarta Plaza Jalan Affandi

Gejayan, Caturtunggal, Depok, Sleman, karena sesuai jadwal antara pukul

17.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB saksi korban akan mengikuti

aerobik dan pada pukul 18.30 WIB sampai dengan pukul 19.30 WIB akan

mengikuti yoga di tempat itu setelah olahraga aerobik selesai, sekitar pukul

18.15 WIB saksi WIKAN dari Managemen Hotel Jogyakarta Plaza datang

ke tempat itu dan menyuruh para member aerobik untuk segera keluar dari

ruangan Kirana Health Club di Hotel Jogyakarta Plaza karena ruangan akan

dipakai oleh ELLY RATNA PRITIWATY (Terdakwa) dan kawan-

kawannya untuk privat aerobik.

Terdakwa ELLY RATNA PRITIWATY bersama teman-temannya

melaksanakan aerobik, datanglah Instruktur Yoga (saksi Dr. IMA

ISWARA) masuk ke ruangan aerobik kemudian diikuti oleh beberapa

member yoga termasuk diantaranya adalah saksi korban, setelah masuk ke

ruangan aerobik, Terdakwa memaki-maki Instruktur Yoga (Dr. IMA

ISWARA) dan para member Yoga yang ikut masuk ke dalam ruangan

aerobik dengan maksud agar keluar ruangan, namun Instruktur Yoga (Dr.

IMA ISWARA) dan para member yoga tidak mau keluar ruangan dan tetap

bertahan di dalam ruangan aerobik. Selanjutnya para member yoga


7

menggelar matras di lantai untuk persiapan yoga, dan saksi korban pada

saat itu membuka sepatu dan menaruh di pinggir ruangan dekat tas yang

kebetulan berdekatan dengan tempat Terdakwa berdiri ketika saksi korban

menaruh sepatu dan tas miliknya sambil melirik ke arah Terdakwa,

kemudian Terdakwa merasa tersinggung lalu mengeluarkan kata-kata “apa

kamu mau lawan saya, jika mau lawan saja General Manager, karena

jadwal aerobik ini atas persetujuan General Manager“, kemudian

Terdakwa merapatkan tubuhnya ke arah tubuh saksi korban sambil

menunjuk-nunjuk muka saksi korban lalu menendang kaki saksi korban

hingga jatuh terlentang di lantai, pada saat saksi korban jatuh terlentang,

Terdakwa masih mencakar kedua tangan saksi korban hingga kedua

tangan saksi korban mengalami luka-luka.

Dilerailah oleh saksi Immanuel Alfridon Ompusunggu dan saksi

korban dibawa ke ruangan konsultasi Dokter Hotel Jogyakarta Plaza lalu

diberi obat oleh Dokter, selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 2013 saksi

korban periksa ke RS. JIH perbuatan tersebut dilakukan oleh Terdakwa

dengan maksud agar saksi korban mau mengikuti permintaan Terdakwa

yaitu agar segera pergi meninggalkan ruangan aerobik Kirana Health Club

Hotel Jogyakarta Plaza.

Putusan Pengadilan Negeri Sleman No. 25/ PID.B/2014/PN.

SLMN., tanggal 30 April 2004 Hakim memutuskan perbuatan yang

didakwakan kepada Terdakwa ELLY RATNA PRITIWATY telah

terbukti perbuatan tersebut merupakan suatu pembelaan terpaksa


8

(Noodweer).7 Sehingga Melepaskan Terdakwa ELLY

RATNAPRITIWATY dari segala tuntutan hukum (Ontslag van alle

rechtvervolging).

Kasus 2: Di Bekasi tepatnya di Jembatan Summarecon seorang

remaja bernama Mohamad Irfan Bahri yang berusia 19 tahun yang berani

melawan begal hingga tewas. Irfan menjelaskan runtutan peristiwa

pembegalan yang dialaminya beserta sepupunya, Ahmad Rafiki. Ia

menceritakan bahwa pembegalan itu awalnya ketika Irfan sedang bertemu

dan berbincang bersama rekan-rekannya di Alun-alun Kota Bekasi. Irfan

dan Rafiki memutuskan untuk melewati Jembatan Layang Summarecon

sebelum mereka pulang. Sesampainya disana mereka melanjutkan ke

bagian atas Jembatan Layang. Di bagian atas jembatan mereka bertemu 2

(dua) begal yaitu AS dan IY sambil menodongkan celurit meminta

handphone mereka. Posisi AS telah turun dari motornya dan Rafiki pada

saat itu merasa ketakutan kemudian menurutinya dengan memberikan

ponselnya kepada AS. Tak berhenti disitu setelah Rafiki menyerahkan

ponselnya, AS kemudian membacok bagian bahu Irfan.

Kemudian AS hendak kembali mencoba membacoknya tetapi Irfan

berhasil menangkisnya, dan Irfan mengambil alih celuritnya dari tangan

AS dan menyerang balik AS, hal tersebut rupanya membuat AS menyerah.

AS yang mengalami luka-luka akibat serangan dari Irfan langsung

7
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/search.html/?q=pembelaan Diakses tanggal 20
Agustus 2022 Pukul 14.00.
9

dilarikan ke RS (Rumah Sakit) oleh kawannya IY yang pada saat itu

mengendarai motor, sayangnya AS tidak terselamatkan. Aksi dari

keberanian Irfan dan Rafiki, mereka berdua diberi-penghargaan oleh

Kombes Indarto yang menjabat sebagai Kapolres Metro Bekasi Kota dan

mengatakan bahwa tindakan Irfan mampu menginspirasi anggotanya

dalam melawan kejahatan.Menurut hukum pidana ada alasan pembenaran

karena membela diri. Pada 31 Mei 2018 dia diberi penghargaan oleh polisi

gara-gara laporan Mahfud MD pada Presiden Jokowi.8

Berdasarkan pada 2 kasus diatas terjadi perbedaan yang simpang

siur, maka perlu dilakukan analisis lebih mendalam pada kasus begal

karena untuk membela diri. Oleh karena itu, maka peneliti tertarik untuk

mengangkat proposal skripsi ini dengan judul: “Analisis Yuridis

Kewenangan Penghentian Penyidikan Terhadap Perkara Pembelaan

Terpaksa (Noodweer) Sebagai Pembelaan Diri ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah dijabarkan,

maka berikut adalah rumusan masalah dari penelitian ini :

1. Bagaimanakah analisa yuridis dalam pembelaan terpaksa

(Noodweer)?

2. Bagaimanakah kewenangan mengeluarkan SP3 terhadap kasus

pembelaan terpaksa (Noodweer) sebagaimana ketentuan Pasal 49

8
Ramadhan, Ardito. Cerita Irfan: Remaja yang Melawan hingga Menewaskan Begal di
Bekasi,https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/31/12183801/cerita-irfan-remaja-yang-
melawan-hingga-menewaskan-begal-di-bekasi?page=all Diakses tanggal 25 Juni 2022 Pukul 13.00.
10

KUHP?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah seperti yang telah dijabarkan maka

peneliti ingin menjabarkan tujuan dari penelitian ini :

1. Untuk mengetahui analisis yuridis dalam pembelaan terpaksa

(Noodweer).

2. Untuk mengetahui kewenangan mengeluarkan SP3 terhadap kasus

pembelaan terpaksa (Noodweer) sebagaimana ketentuan Pasal 49

KUHP.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi

pemikiran secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran

dan pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan

dengan pembelaan terpaksa (Noodweer), serta menambah refrensi

bacaan bagi peneliti berikutnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan

dan literatur terhadap pembelaan terpaksa (Noodweer).

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi informasi

sehingga dapat meminimalisir kejadian seperti ini di masyarakat


11

terutama Kalimantan Selatan.

b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan serta gambaran

agar dapat mendapatkan tujuan yang diinginkan.

D. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa metode

untuk penelitian, diantaranya:

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan diteliti, maka jenis penelitian

yang akan digunakan oleh Peneliti dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji isi

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 49 KUHP.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini

adalah pendekatan kualitatif. Kemudian jenis pendekatan studi kasus

dalam penelitian ini adalah mencari faktor yang melatar belakangi

seorang melakukan tindak pidana tersebut.

3. Sumber Data

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier yang mendukung penelitian ini, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat terdiri


12

dari seperti peraturan perundang-undangan yang menjadi objek

penelitian. Peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan penelitian ini yaitu:

1. Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun

1945.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 KUHP.

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan

ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian. Bahan hukum

ini memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tersier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai

bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari

kamus.

4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan dan pengolahan bahan hukum dalam

penelitian ini dilakukan dengan cara peneltian hukum normatif

menggunakan pengumpulan data dari studi dokumen dan juga data

pustaka. Cara yang digunakan adalah dengan mengumpulkan bahan

hukum, dan tulisan yang erat kaitanya dengan permasalahan yang

diteliti.

5. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif terhadap ketiga bahan hukum yang digunakan


13

meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier. Penelitian ini mengacu pada norma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

D. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan

peneliti ini, maka secara garis besar dapat digambarkan sistematika skripsi

ini sebagai berikut:

Bab I merupakan bab Pendahuluan yang berisikan gambaran

mengenai isi skripsi yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan

Sistematika Penulisan.

Bab II merupakan bab Tinjauan Pustaka yang berisikan tentang

beberapa hal yang menjadi acuan mengenai dasar hukum yang digunakan

dalam penelitian, tinjauan umum tentang pembelaan terpaksa, tinjauan

umum alasan penghapusan pidana, dan tinjauan umum tentang unsur-

unsur pidana.

Bab III merupakan bab Pembahasan yang berisikan penjelasan

tentang Analisis yuridis dalam pembelaan terpaksa (Noodweer) dan

Kewenangan penyidik mengeluarkan SP3 terhadap kasus pembelaan

terpaksa (Noodweer) dalam Pasal 49 KUHP.

Bab IV merupakan bab Penutup yang berisikan terdiri dari

kesimpulan dan saran dari penelitian ini.


BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Landasan Konseptual

Menurut Moeljatno, tindak pidana yaitu perbuatan pidana yang

dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) berupa

tindak pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.9 Istilah

tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit” perbuatan yang

dilarang oleh aturan hukum yang berlaku dengan mana disertai dengan

ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar

larangan tersebut. Tindak pidana biasanya disamakan dengan istilah delik,

yang dari bahasa latin yakni kata delictum.10 Tindak pidana dapat diartikan

sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukannya sesuatu yang

dilarang oleh peraturan dan diancam dengan pidanakarena melawan hukum.

Menurut H. J Van Schravendijk dalam bukunya yang berjudul “Hukum

Pidanadi Indonesia”, menjelaskan bahwa tindak pidana adalah perbuatan

yang boleh dihukum, yaitu kelakuan yang bertentangan dengan keinsafan

hukum asal dilakukan dengan seeorang yang karena itu dapat

dipersalahkan.11 Adapun unsur-unsur yang terkandung di dalam tindak

pidana dalam perbuatan yang memiliki sifat melawan hukum dimana

pelanggar akan diberikan sanksi pidana dan perbuatan melawan hukum

9
Moeljatno. 2018. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ctk. Kesembilan, Rineka Cipta, hlm.
59.
10
Andi Hamzah, (2012), Asas-Asas Hukum Pidana Di Indoneisa Dan Perkembangannya,
Jakarta: PT SOFMEDIA, hlm. 118.
11
J Scharavendijk,Van H. 1996. Hukum Pidana di Indonesia. J.B, Jakarta: Wolters, hlm.
87.

14
15

tersebut berkaitan dengan kesalahan dan atau kelalaian seseorang serta

perbuatan tersebut dilakukan oleh mereka yang cakap hukum.12

Suatu perbuatan melawan hukum yang merugikan masyarakat belum

tentu itu merupakan tindak pidana, bila perbuatan itu dilarang oleh undang-

undang dan pelakunya tidak diancam pidana. Misalnya pelacuran sebagai

perbuatan yang merugikan masyarakat tetapi tidak dijadikan larangan

pidana. Hukum pidana mengatur beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar

bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku

atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu

tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana.

Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan

kepada hakim. Putusan hakim merupakan bagian dari sistem peradilan

pidana yang menarik untuk dicermati, karena putusan hakim akan

menimbulkan perhatian dari masyarakat secara umum dan bagi para pihak

pencari keadilan secara khusus.

Peranan hakim dalam memutus suatu perkara apakah berupa

pemidanaan, pembebasan, atau lepas dari segala tuntutan hukum sangatlah

sentral sehingga pertimbangan hakim selayaknya memperhatikan

kepentingan terdakwa, korban atau keluarga korban serta masyarakat. Jadi,

tindak pidana itu harus dipertanggungjawabkan dihadapan hukum dengan

seadil-adilnya demi kepentingan umum dan menciptakan ketertiban hukum

12
Simons. 1995. Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan
Pidana), Bandung: Amico, hal.113.
16

sehingga berkurangnya tingkat kejahatan atau tingkat pelanggaran norma-

norma hukum yang berlaku.

a. Pembelaan Darurat/Terpaksa (noodweer)

Kata “nood” artinya darurat, sedangkan “weer” artinya

pembelaan, secara garis besar “noodweer” itu dapat diartikan

sebagai suatu pembelaan yang dilakukan di dalam keadaan darurat.

Pasal 49 ayat 1 KUHP berbunyi: “tidak dapat dipidana seseorang

yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela

dirinya sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta

benda sendiri maupun oang lain, karena ada serangan atau ancaman

yang sangat dekat pada saat itu melawan hukum”.13

Pelaku yang melakukan pembelaan diri seharusnya tidak dapat

dijatuhi pidana karena perbuatan pembelaan diri dilakukan secara

terpaksa untuk menghindari dari serangan atau ancaman yang

datang secara tiba-tiba dari oranglain. Unsur-unsur suatu pembelaan

terpaksa (noodweer) adalah:

1. Pembelaan itu bersifat terpaksa.

2. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan

kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.

3. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat

dekat pada saat itu.

13
Moeljatno. 1985. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rancangan Undang-
Undang tentang Asas-Asas dan Dasar-Dasar Pokok Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Cet. Ketiga
Bina Aksara, hlm. 47.
17

4. Serangan itu melawan hukum.

Pembelaan terpaksa (Noodweer) lebih menekankan pada

pembelaan atau pertahanan diri yang dilakukan oleh seseorang

bersamaan ketika ada ancaman yang datang kepadanya. Kata

Sudarto, orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan dari

seorang yang main hakim sendiri, tetapi dalam hal syarat-syarat

seperti tersebut dalam Pasal 49 KUHP, maka perbuatannya

dianggap tidak melawan hukum.14 Hakimlah yang menguji dan

memutuskan apakah suatu perbuatan termasuk lingkup noodweer

dengan ditinjau berdasarkan pada satu-persatu peristiwa. Pada pasal

49 ayat 1 dan ayat 2 KUHP yang isinya seperti berikut:

1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan

pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang

lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri

maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman

serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan

hukum.

2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung

disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena

serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pasal 49 KUHP mengatur mengenai perbuatan pembelaan

14
Sudarto. 1974. Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, Semarang, hlm.
34.
18

darurat atau pembelaan terpaksa (noodweer) untuk diri sendiri

maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda

sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman

serangan yang sangat dekat. Menurut pasal ini, orang yang

melakukan pembelaan darurat tidak dapat dihukum.

Pasal ini mengatur alasan penghapus pidana yaitu alasan

pembenar karena perbuatan pembelaan darurat bukan perbuatan

melawan hukum. Menurut Satochid Kartanegara, menegaskan

bahwa dalam Pasal 49 KUHP terdapat syarat-syarat mengenai

noodweer. Syarat-syarat pokok dari noodweer yaitu, Harus ada

serangan dan Terhadap serangan itu perlu dilakukan pembelaan diri.

Disamping kedua syarat pokok itu, juga harus disebut syarat yang

penting yaitu, Tidak terhadap tiap serangan dapat dilakukan

pembelaan diri, akan tetapi hanya terhadap serangan yang

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut yaitu :

a. Serangan itu harus datang mengancam dengan tiba-tiba.

b. Selanjutnya serangan itu harus bertentangan dengan hukum.

Akan tetapi di samping ketentuan, bahwa serangan itu harus

ada pembelaan diri, maka pembelaan diri harus memenuhi

syarat yang ditentukan.

Selanjutnya pembelaan itu harus merupakan pembelaan

terhadap diri sendiri atau diri orang lain, kehormatan atau benda.

Hanya jika ada serangan yang bertentangan dengan hukum


19

(wederrechtelijk) dan mengancam dengan tiba-tiba terhadap diri

sendiri atau orang lain, kehormatan atau benda dapat dilakukan

pembelaan. Kepentingan hukum yang dibela itu tidak perlu

kepentingan hukumnya sendiri bisa juga kepentingan hukum orang

lain.

Jadi dalam hal ini, pertimbangan yang digunakan harus tetap

mengacu bedasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang

berlaku maka pada saat mengadili pelaku yang melakukan

pembelaan diri harus benar-benar adanya keseimbangan antara

kepentingan yang dibela dengan kepentingan yang dikorbankan.

J.E.Jonkers menerangkan dalam buku pedoman Hukum Pidana

Hindia Belanda untuk memajukan alasan perlawanan terpaksa

diperlukan tiga keadaan sebagai berikut:15

1) Peristiwa yang dilakukan harus terpaksa dikerjakan

untuk membela, maksudnya ialah bahwa harus ada

keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang

dilakukan dan penerangan. Karena sesuatu persoalan

yang tidak berarti, maka orang tidak boleh membunuh

atau melukai lawannya.

2) Pembelaan hanya dapat mengenai kepentingan tertentu

yang disebut dalam undang-undang, yaitu mengenai

15
J.E.Jonkers. 1987. dalam Handbook van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Tim
Penerjemah Bina Aksara berjudul Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Cetakan 1,
Jakarta: PT Bina Aksara, hlm 267-270.
20

dirinya atau orang lain, kehormatan atau harta benda diri

sendir atau kepunyaan orang lain.

3) Harus ada serangan yang melawan hukum yang berlaku

sekejab itu atau yang mengancam denga seketika.

Penyerangan yang dilawan harus memenuhi tiga syarat:

(1) berlaku sekejab itu, (2) dalam susunan perkataan

Belanda tidak ada perkataan “mengancam dengan

seketika”. Perkataan itu ditambahkan untuk Hindia

Belanda karena dikhawatirkan bahwa apabila tidak

begitu, orang yang terancam akan terlambat dalam

menangkis serangan yang direncanakan, terutama

mengingat daerah-daerah dan perlengkapan kepolisian

kurang lengkap.

Yang dimaksud Noodweer Exces atau pembelaan diri yang

melampaui batas juga merupakan alasan tidak dapatnya seseorang

untuk di pidana walau telah melakukan suatu perbuatan yang di

ancam dengan pidana. Noodweer exces yang artinya pembelaan

darurat melampaui batas. Pembelaan terpaksa yang melampaui

batas termasuk ke dalam salah satu alasan pemaaf di dalam hukum

pidana.

Berdasarkan Pasal 49 ayat 2 KUHP pembelaan terpaksa

melampaui batas merupakan suatu bentuk goncangan jiwa yang

hebat (noodweer excess) dimana dipicu oleh serangan yang sifatnya


21

melawan hukum yang menimbulkan reaksi balasan yang berlebihan

dan sifatnya tidak seimbang. Seorang yang melakukan pembelaan

terpaksa melampaui batas dapat bebas dari pidana apabila hakim

menerima bahwa perbuatannya itu langsung disebabkan oleh

kegoncangan jiwa yang hebat sehingga fungsi batinnya menjadi

tidak normal karena serangan atau ancaman serangan yang ia alami

maka hal ini menyebabkan adanya alasan pemaaf.16

Alasan pemaaf dalam sistem peradilan di Indonesia hakim

dapat untuk memberikan putusan bebas kepada pelaku atas tindak

pidana yang telah dilakukannya. Berdasarkan alasan pemaaf

tersebut maka perbuatan tertentu dapat memungkinkan untuk tidak

diberlakukannya ketentuan pemidanaan di dalam KUHP. Noodweer

excess yang terdapat di dalam Pasal 49 ayat 2 KUHP dikaitkan

dengan tindak pidana terhadap tubuh dan nyawa yakni pada tindak

pidana penganiayaan yang dalam hal ini menimbulkan kekaburan

hukum karena tidak adanya penjelasan pasal yang lebih rinci

mengenai frasa goncangan jiwa yang hebat.

Pelampauan batas pembelaan disebabkan karena perasaan

tergocang hebat yang timbul lantaran serangan yang mengakibatkan

perasaan jengkel, marah atau gelap mata. Untuk dapat dikategorikan

melampaui batas pembelaan yang perlu diumpamakan di sini,

16
Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hal.160.
22

seseorang membela dengan menembakkan pistol, sedang

sebenarnya pembelaan itu cukup dengan memukulkan kayu.

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) pada

Pasal 49 ayat 2 KUHP, terdapat penambahan syarat yaitu harus

dibuktikanya bahwa perbuatanya disebabkan oleh guncangan jiwa

yang hebat.

Persamaan pembelaan terpaksa dengan pembelaan yang

melampaui batas antara lain yaitu: Pertama, pada keduanya harus

ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum yang

ditujukan pada tiga kepentingan hukum (tubuh, kehormatan

kesusialaan dan harta benda), sama-sama dilakukan dalam keadaan

yang terpaksa dalam usaha mempertahankan dan melindungi suatu

kepentiangan hukum yang terancam bahaya oleh serangan atau

ancaman yang melawan hukum. Kedua, pada keduanya, pembelaan

ditujukan untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan

hukum diri sendiri atau kepentingan hukum orang lain.

Sedangkan perbedaannya yaitu antara lain: Pertama, perbuatan

yang dilakukan pembelaan terpaksa harus perbuatan yang seimbang

dengan bahaya atau ancaman serangan dan tidak diperbolehkan

melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan. Tetapi

dalam pembelaan terpaksa melampaui batas, pilihan perbuatan tidak

seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan oleh serangan atau


23

ancaman serangan karena adanya keguncangan jiwa yang hebat.17

Misalnya seseorang menyerang lawannya dengan pecahan botol

yang sebenarnya dapat dilawan dengan sebatang kayu (noodweer)

tapi karena kegoncangan jiwa yang hebat dilawan dengan cara

menembaknya (noodweer exces). Kedua, pembelaan terpaksa

hanya dapat dilakukan ketika adanya ancaman atau serangan sedang

berlangsung dan tidak boleh dilakukan setelah serangan berhenti

atau tidak ada lagi. Tapi dalam pembelaan yang melampaui batas,

perbuatan pembelaan masih boleh dilakukan sesudah serangan

terhenti. Ketiga, tidak dipidana dalam pembelaan terpaksa karena

sifat melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan

pembenar.

b. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing dikenal

sebagai suatu kelayakan (toerekenbaarheid), tanggung jawab

pidana (criminal responsibility), dan dapat disebut juga

pertanggungjawaban pidana (criminal liability).

Pertanggungjawaban pidana dapat diartikan sebagai

diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana

dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat

dipidana karena perbuatannya. Dasar adanya perbuatan adalah asas

17
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada Cet. ke-1, hlm, 51.
24

legalitas, sedangkan dasar dapat dipidanya pembuat adalah asas

kesalahan. ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan

dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan

pidana. Jadi, pertanggungjawaban pidana adalah seseorang dapat

dipidana atau tidaknya karena kemampuan dalam

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain itu juga dikenal

dengan Toerekeningsvatbaaheid dan terdakwa akan dibebaskan

dari tanggung jawab jika itu tidak melangggar hukum.18

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas

culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan bahwa asas

kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan

berpasangan dengan asas legalitas pada nilai kepastian.

Pertanggungjawaban pidana bermakna sebagai penentu perilaku

atau tindakan, apakah terdakwa bisa mempertanggungjawabkan

atas terjadinya suatu perbuatan atau tindak pidana yang telah terjadi

atau tidak, dapat diartikan juga apakah terdakwa dipidana atau

sebaliknya akan dibebaskan.19

Apabila terdakwa itu dipidana, maka harus dijelaskan apakah

tindakan yang dilakukan terdakwa bersifat melanggar hukum dan

terdakwa dapat mempertanggung jawabkannya.

18
Atmasasmita, Romi. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia, Dan Penegakan
Hukum, Bandung: Cetakan Pertama, Mandar Maju, hlm. 54.
19
Kanter, E. Y., & Sianturi, S. R., (2002), Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan
penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.
25

Pertanggungjawaban pidana memiliki beberapa teori yang

menjelaskan mengenai:

a. Liability adalah istilah hukum dalam arti luas mengenai

hampir seluruh tanggungjawab atau risiko yang pasti, dan

menyangkut tentang hak dan kewajiban secara aktual

(benar-benar ada) serta potensial (kekuatan) seperti

kerugian, ancaman yang bersifat melanggar hukum,

kejahatan, biaya, dan situasi atau keadaan yang

menimbulkan tugas untuk menjalankan undang-undang.

b. Responsibility adalah suatu perbuatan yang dalam

pelaksanaannya mampu bertanggungjawab terhadap atas

kewajiban, yang meliputi putusan, kemampuan,

keterampilan serta kecakapan, serta mencakup kewajiban

terhadap tanggungjawab atas undang-undang yang

dijalankan atau dilaksanakan.

Pertanggungjawaban pidana merupakan penilaian yang

dilakukan setelah dipenuhinya seluruh unsur tindak pidana atau

terbuktinya tindak pidana. penilian ini dilakukan secara objektif

yang berhubungan dengan pembuat dengan norma hukum yang

dilaggarnya, sehingga berkaitan dengan perbuatan dan nilai-nilai

moral yang telah dilanggarnya.

Secara objektif pembuat dinilai sebagai orang yang dapat

dicela atau tidak dicela. kesalahan ini terjadi pada nilai-nilai


26

moralitas, pembuat yang melanggar nilai-nilai moralitas patut untuk

dicela. Penilaian secara subjektif dilakukan terhadap pembuat

bahwa keadaan-keadaan psychologis tertentu yang telah melanggar

moralitas patut dicela atau tidak dicela.20

Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan

upaya Noodweer exces dan Noodweer untuk usaha perlindungan

diri dari si pembegal secara tidak sengaja membunuh pelaku

pembegalan dapat dibenarkan tindakannya karena dilampauinya

batas dari suatu pembelaan dengan cara melakukan perlindungan

diri yang digunakan saat melaksanakan tindakan pembelaan secara

berlebihan seperti tindakan membunuh pembegal, karena

memukulnya saja dapat membuat si pembegal itu tidak berdaya.

Tindakan pembelaan diri dari si pembegal sesuai dengan Pasal 49

KUHP tidak dapat membuat pelaku pembelaan dapat dihukum

karena merupakan akibat langsung dari gejolak hati atau

kegoncangan jiwa yang hebat yang dapat disebabkan oleh suatu

serangan yang melawan hukum.

Pertanggungjawaban pidana bertujuan untuk mencegah

dilakukannya tidak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan

tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa

20
Rusianto Agus, (2016), Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya Edisi Pertama, Jakarta: Prenadamedia
Group, hlm. 14.
27

damai dalam masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan

mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan

membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pasal 49 KUHP tersebut

perbuatan pidana pelaku mendapat alasan penghapusan pidana

sehingga bebas dari segala tuntutan hukum, sebagaimana sesuai

c. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Seseorang dinyatakan bersalah dalam putusan Hakim

berdasarkan unsur-unsur pasal yang diatur dalam KUHP maupun

diluar KUHP. Menurur Lamintang unsur tindak pidana ada 2

macam yaitu Unsur-Unsur Subjektif dan Unsur-Unsur Objektif.

Pengertian dari Unsur Subjektif itu adalah unsur yang melekat pada

diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan

termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu yang terkandung di

dalam hatinya.21 Sedangkan, Unsur Objektif itu adalah unsur yang

ada hubungannya dengan keadaan, yaitu di dalam keadaan mana

tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.22

Ada Unsur-Unsur Subjektif dari suatu tindak pidana seperti:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan.

b. Pada suatu Percobaan seperti pada pasal 53 ayat 1 KUHP

seperti kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,

pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

21
P.A.F Lamintang & Franciscus Theojunior Lamintang, Op. cit.., hlm. 192.
22
Ibid.
28

c. Merencanakan terlebih dahulu seperti di dalam kejahatan

pada pembunuhan menururt pasal 340 KUHP.

d. Perasaan takut yang terdapat dalam rumusan tindak pidana

menurut pasal 308 KUHP.

Kalo Unsur-Unsur Objektif dari suatu tindak pidana itu seperti:

a. Sifat melanggar hukum.

b. Kualitas dari si pelaku; misalnya “keadaan sebagai seorang

pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal

415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris

dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut

pasal 398 KUHP.

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan

sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai

akibat.23

Dalam hal ini seseorang diperbolehkan untuk membela diri

atau mempertahankan keselamatannya dengan cara apapun bahkan

menyerang balik kepada orang lain yang menyerangnya terlebih

dahulu dan perbuatan si pelaku terbebas dari hukuman karena bukan

termasuk tindak pidana. Menurut S. R. Sianturi, menjelaskan bahwa

unsur-unsur tindak pidana, yaitu:

1. Adanya subjek.

2. Adanya unsur kesalahan.

23
Ibid
29

3. Perbuatan bersifat melawan hukum.

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh

undang-undang/perundangan dan terhadap yang melanggarnya

diancam pidana.

5. Dalam suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu.24

d. Alasan Penghapusan Pidana

Alasan penghapus pidana adalah keadaan-keadaan khusus

yang menyebabkan seorang tedakwa tidak dapat untuk dipidana

sekalipun perbuatannya tersebut telah memenuhi semua rumusan

unsur-unsur delik. Alasan penghapus pidana itu ada alasan

pembenar dan alasan pemaaf yang memiliki arti penting dalam

kaitannya dengan delik penyertaan. Jika dua orang atau lebih

melakukan suatu perbuatan pidana dan salah seorang dilepaskan

dari tanggung jawab pidana karena terdapat alasan pembenar, maka

semua pelaku peserta lainnya juga harus dibebaskan. Sebaliknya,

jika dua orang atau lebih melakukan suatu perbuatan pidana dan

salah seorang dilepaskan dari tanggung jawab pidana karena alasan

pemaaf, maka tidak serta merta pelaku lainnya juga dilepaskan

karena alasan pemaaf.

Artinya, alasan pemaaf ini lebih bersifat individual pada diri

pelaku. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

tidak menjelaskan tentang pengertian dan alasan penghapus pidana

24
Sianturi, S.R. 1966. Loc.cit., hal. 208.
30

secara spesifik. Dasar atau alasan penghapusan pidana secara umum

dibedakan menjadi dua jenis, yaitu alasan pembenar dan alasan

pemaaf.

1. Alasan pembenar adalah keadaan dimana tindak pidana

yang didakwakan sejatinya tidak memenuhi unsur-unsur

melawan hukum. Karena sifat yang melawan hukumnya

dihapuskan, maka perbuatan yang melawan hukum itu

dibenarkan, dengan demikian pelaku tidak di pidana. Seperti

pada Pasal 50 KUHP yang berbunyi “Barang siapa

melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan

undang-undang, tidak dipidana”. Contohnya: ketika ada

seorang anggota kepolisian memanggil seseorang untuk

dimintai keterangan, orang tersebut akhirnya ditahan, itu

dinamakan melanggar hak kebebasan seseorang, tetapi hal

tersebut dibenarkan dalam undang-undang. Alasan

pembenar dapat kita jumpai apabila:

a. Perbuatan yang merupakan pembelaan darurat

(Pasal 49 ayat 1).

b. Perbuatan untuk melaksanakan perintah Undang-

Undang (Pasal 50 KUHP).

c. Perbuatan melaksanakan perintah jabatan dari

penguasa yang sah (Pasal 51 ayat 1 KUHP).25

25
Prasetyo, Teguh. 2010. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 84.
31

Ini bisa menjelaskan mengapa noodweer termasuk

ke kategori alasan pembenar.

2. Alasan pemaaf adalah keadaan dimana tidak adanya unsur

kesalahan didalamnya, sehingga alasan ini menghapuskan

kesalahan pelaku, jadi pelaku tidak mendapat hukuman.

Seperti pada Pasal 44 KUHP yang berbunyi “Tiada dapat

dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang

tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab

kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”

Contohnya: ketika saudara sedang jalan seorang diri,

kemudian di lempar batu oleh B, yang diketahui bahwa B

adalah seseorang dengan gangguan kejiwaan. Perbuatan B

yang melakukan pelemparan batu tersebut adalah suatu

tindakan melawan hukum, tetapi karena dia cacat jiwa, maka

unsur kesalahan didalamnya hilang, sehingga tidak

dipidana. Alasan pemaaf ini juga terdapat dalam KUHP

mulai dari Pasal 48 sampai dengan Pasal 51. Alasan tersebut

dapat kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan

perbuatan dalam keadaan:

a. Tidak dipertanggungjawabkan.

b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas.

c. Daya paksa (overmacht).26

26
Ibid, hlm. 85.
32

Dan ini menjelaskan bahwa noodweer excess termasuk

kedalam alasan pemaaf.

Alasan penghapus penuntutan yaitu permasalahan bukan

ada pada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, tidak ada

pikiran mengenai sifat perbuatan maupun sifat orang yang

melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas

dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya

tidak diadakannya penuntutan. Yang menjadi pertimbangan adalah

kepentingan umum. Seperti yang tertera pada Pasal 53 KUHP

yaitu:

1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu

telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan

tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata

disebabkan karena kehendaknya sendiri.

2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal

percobaan dikurangi sepertiga.

3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling

lama lima belas tahun.

4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan

selesai.” Contohnya seperti ini : jika ada seorang yang

mencoba untuk melakukan suatu tindakan kejahatan, tetapi

pelaku sendiri dengan kesadaran dirinya mengurungkan


33

niat tersebut, karena pada saat akan melakukan perbuatan

tersebut ternyata banyak polisi di tempat kejadian, atau ada

hal lain yang menyebabkan pelaku membatalkan niatnya.27

Dalam KUHP Belanda menjelaskan mengenai alasan

penghapusan pidana yang tidak dapat dipertangggungjawabkan

seseorang atau alasan tidak dapat dipidananya seseoang.28

Alasan-alasan tersebut masuk dalam alasan penghapus dan

alasan pembenar antara lain:

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang

yang terletak pada diri orang itu , ialah pertumbuhan

jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit

(Pasal 44 KUHP).

2. Alasan tidak dipertanggungjawabkan seseorang

terletak diluar orang itu (uitwendig), ialah dalam KUHP

terdapat pada Daya memaksa (overmacht) Pasal 48,

Pembelaan Terpaksa (noodweer) Pasal 49,

Menjalankan Peraturan Undang-Undang (Pasal 50),

dan Melaksankan Perintah Jabatan (Pasal 51).

e. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Adapun jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar

27
Agung, Dewa, Ari Aprillya, d a n Devita Cahyani Anak Agung Sagung Laksmi
Dewi Dkk. 2019. “Analisis Pembuktian Alasan Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas
Dalam Tindak Pidana Yang Menyebabkan Kematia”, Jurnal Analogi Hukum, Vol.1 No.2. CC-BY-
SA 4.0 License, Universitas Warmadewa, Hal. 150.
28
Di Praja, R. Achmad Soema. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana, Bandung: Alumni, hlm.
249.
34

tertentu, antara lain:

a. Menurut Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP)

dibedakan antara lain kejahatan dalam Buku II dan

Pelanggaran dalam Buku III. Kejahatan yaitu perbuatan

yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang

sebagai perbuatan pidana, tetapi sebagai perbuatan

yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan,

Pelanggaran yaitu perbuatan yang sifat hukumnya baru

dapat diketehui setelah adanya undang-undang yang

menyatakan demikian.

b. Cara merumuskannya dibedakan dengan tindak pidana

formil dan tindak pidana materil. Tindak pidana formil

adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan

dalam melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal

352 KUHP yaitu tentang penganiayaan. Tindak Pidana

materil larangannya adalah pada menimbulkan akibat

yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan

akibat yang dilarang itulah yang

dipertangggungjawabkan dan dipidana.

c. Dilihat dari bentuk kesalahan, dibedakan menjadi

tindak pidana sengaja dan tidak pidana tidak sengaja.

Penggolongan jenis delik yang ada dalam KUHP terdiri dari

Kejahatan yang disusun dalam Buku II KUHP, sedangkan


35

Pelanggaran disusun dalam Buku III KUHP. Perbedaan antara

kejahatan dan pelanggaran pada KUHP terdapat kecendurangan

dengan pandangan kuantitatif, beberapa ketentuan KUHP yang

mengandung ukuran secara kuantitatif adalah:

1) Percobaan / pembantuan dalam pelanggaran tindak pidana,

sedangkan kejahatan dapat dipidana.

2) Daluarsa pelanggaran ditentukan lebih pendek dibanding dengan

kejahatan.

3) Kewenangan menuntut pelanggaran menjadi hapus apabila telah

dibayar maksimum denda dan biaya perkara sebagai sistem

penelusan.

4) Dalam hal terjadi perbarengan atas pelanggaran berlaku sistem

pidana kumulasi murni yang tiap-tiap pelanggaran dijatuhi pidana

sendiri- sendiri.

5) Dalam hal perampasan barang karena pelanggaran hanya boleh

dilakukan apabila tidak ditentukan dengan tegas oleh undang-

undang.29

Berdasarkan perbedaan di atas dapat diketahui bahwa pidana

atau ancaman hukuman pada kejahatan lebih berat dibandingkan

dengan pelanggaran, karena dilihat dari sifat atas hakekat perbuatan

yang terjadi dalam masyarakat, dimana kejahatan mempunyai

dampak yang lebih buruk dibandingkan pelanggaran.

29
P.A.F Lamintang & Franciscus Theojunior Lamintang, Op. cit.., hlm. 78.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis Yuridis Dalam Pembelaan Terpaksa (noodweer)

Kejahatan begal dalam kamus besar bahasa Indonesia di artikan

sebagai penyamun/perompak, sedangkan membegal di artikan sebagai

merompak atau merampas di jalan. Kejahatan Begal biasanya dilakukan

dengan cara membuntuti korban dan mencegat korban di jalan dan

merampas harta benda korban di jalan, apabila korban melakukan

perlawanan maka pelaku kejahatan begal tidak segan-segan melakukan

tindakkan kekerasan sehingga membuat korban terluka bahkan mengalami

kematian.

Begal saat ini sudah memberi dampak yang cukup bahaya,

sehingga masyarakat menjadi cemas dan takut, karena tidak jarang para

pelaku nekat melukai korbannya hanya untuk memperoleh keuntungan

semata. Bahkan pelaku begal seringkali menggunakkan senjata tajam

dalam menjalankan aksinya atau meencoba menjatuhkan korban dari

motornya. Seorang tokoh bernama Schaffmeister mengemukakan 3 Asas

yang berlaku dalam pembelaan terpaksa, yaitu :

1) Asas Subsidiaritas, asas ini adalah jika ada hal yang dapat

dilakukan selain melawan hukum, maka hal itu harus dilakukan

terlebih dahulu. Disini, melakukan suatu tindakan membela diri

adalah sebagai langkah yang terakhir untuk dilakukan. Contoh:

37
38

kalau dalam kondisi terdesak tetapi ada pilihan untuk bisa

melarikan diri, maka hal itu harus dilakukan.

2) Asas Proporsionalitas, asas ini mengandung makna bahwa

tindakan yang dilakukan tidak boleh berlebihan, maksudnya harus

ada keseimbangan antara maksud yang ingin disampaikan dengan

tindakan yang dilakukan. Contoh: ketika ada seseorang yang

mencuri sandal, kemudian di hukum dengan pidana mati. Disini

tidak ada keseimbangan yang terjadi. Hal tersebut malah menjadi

berlebihan.

3) Asas culpa in causa, asas ini adalah seseorang harus tetap

mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena apa yang

dilakukannya hasil daripada perbuatannya sendiri. Maka tidak

dapat termasuk kedalam pembelaan terpaksa. Contoh: A dan

teman-temannya melakuakan suatu perbuatan melawan hukum

seperti merampok, tetapi dalam pengaruh Alkohol, hal tersebut

tidak dapat dikategorikan sebagai hilangnya kemampuan untuk

bertanggungjawab, sebab untuk mengkonsumsi alkohol saja sudah

suatu perbuatan yang melanggar hukum, maka A dan teman-

temannya harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya.30

Setiap tindakan korban dapat sangat berpengaruh dalam keadaan

korban yang akan datang, diantaranya korban melepaskan harta bendanya

30
Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi,Jakarta: Rineka Cipta,
hal. 213.
39

demi keselamatan atau korban bisa saja melawan saat terjadi pembegalan

tetapi hal tersebut dapat merugikan kedua belah pihak, yang mana hal

tersebut dapat membuat korban melukai pelaku secara sadar. Dalam

kenyataannya terkadang korban memilih untuk menyerahkan harta

bendanya ketimbang melawan dikarenakan bagi masyarakat awam

pembelaan terpaksa adalah hal yang jarang diketahui. Pembelaan terpaksa

terdapat di dalam Pasal 49 KUHP yang berbunyi:

1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan

terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan

kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada

serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu

yang melawan hukum.

2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung

disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan

atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Apabila seseorang benar-benar melakukan suatu pembelaan terpaksa

(noodweer), maka akan menghapuskan sifat melawan hukumnya,

meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dalam undang-

undang yang didakwakan. Dalam pengertian noodweer pada pasal 49

KUHP tersebut, jika seseorang melakukan perbuatan pembelaan terpaksa

karena nyawa atau kehormatan kesusilaannya atau juga harta benda telah

diserang, kemudian menimbulkan tindakan pidana, maka kesalahan

pelaku yang melakukan pembelaan terpaksa dapat dimaafkan atau


40

perbuatannya dapat dibenarkan sehingga pelaku tidak dipidana. Dalam hal

melakukan pembelaan terpaksa undang-undang menentukan syarat-syarat

untuk noodweer (pembelaan terpaksa), yaitu:

1. Harus ada serangan.

2. Terhadap serangan itu perlu dilakukan pembelaan diri.

Istilah pembelaan terpaksa hendak diterangkan bahwa suatu delik

dapat dilakukan karena pembelaan yang dibenarkan.31 Menurut Memorie

van Toelichting, bahwa untuk dapat disebut noodweer bukan hanya harus

ada suatu serangan yang bersifat melawan hukum, tetapi juga harus ada

bahaya yang yang bersifat seketika bagi tubuh, kehormatan, benda baik

milik sendiri maupun orang lain. Pembentuk undang-undang telah

membatasi penggunaan bahwa noodweer tidak dapat dilakukan pada dua

peristiwa yaitu:

1. Pada peristiwa dimana suatu serangan yang melawan hukum baru

akan terjadi di waktu yang akan datang.

2. Pada peristiwa dimana suatu serangan yang bersifat melawan

hukum itu sudah berakhir.

Apabila nilai dari kepentingan hukum yang dikorbankan itu tidak

boleh melebihi nilai hukum yang dibela, bisa disimpulkan bahwa hanya

karena perasaan takut atau merasa dilanggar haknya oleh orang lain, tidak

menjadikan perbuatan menyerang seseorang itu menjadi sah dimata

31
D. Schaffmeister. Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 55.
41

hukum.32

Dari uraian mengenai pembelaan terpaksa (noodweer) yang dijelaskan

dapat disimpulkan bahwa lebih menekankan pada pembelaan atau

pertahanan diri yang dilakukan oleh seseorang bersamaan ketika ada

ancaman yang datang kepadanya. Keberlakuan pembelaan terpaksa

(noodweer) dalam persidangan diserahkan kepada hakim. Hakimlah yang

menguji dan memutuskan apakah suatu perbuatan termasuk lingkup

dengan ditinjau berdasarkan pada satu persatu peristiwa hukum yang

terjadi. Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 KUHP

sebagai berikut: “Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan

pembelaan terpaksa untuk diri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau

harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau

ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga.” Contoh :

a) Serangan terhadap badan

Seseorang yang ingin balas dendam mendatangi orang lain

dengan memegang tongkat karena berniat ingin memukul, maka

orang yang ingin dipukul tersebut mengambil tongkat dan

memukul si orang yang ingin membalas dendam tersebut.

b) Serangan terhadap barang/harta benda

Terhadap benda yang bergerak dan berwujud dan yang

melekat hak kebendaan.

c) Serangan terhadap kehormatan

32
P.A.F. Lamintang. 2014. Ibid, hlm. 495.
42

Serangan yang berkaitan erat dengan masalah seksual:

seorang laki-laki hidung belang meraba buah dada seorang

perempuan yang duduk disebuah taman, maka dibenarkan jika

serangan berlangsung memukul tangan laki-laki itu. Tetapi sudah

tidak dikatakan suatu pembelaan terpaksa jika laki-laki tersebut

sudah pergi, kemudian perempuan tersebut mengejarnya dan

memukulnya, karena bahaya yang mengancam telah berakhir.33

Contohnya dalam kejadian apabila seseorang diancam dengan

sebuah revolver oleh penyerang yang akan menusuknya dengan pisau,

maka orang itu dapat dibenarkan untuk melakukan suatu perlawanan.

Misalnya dengan memukul tangan si penyerang yang menggenggam

revolver atau pisau itu dengan mempergunakan sepotong kayu atau

sebatang besi agar revolver atau pisaunya itu dapat terlepas dari

tangannya, maka dengan cara itu akan mengakibatkan perlawanan yang

membuat si penyerang menjadi terluka, bahkan orang yang melakukan

perlawanan tersebut dapat dibenarkan untuk membunuh penyerangnya.

Itulah kenapa Van Bemmelen telah berkata bahwa di dalam suatu

noodweer itu “undang-undang telah mengizinkan orang untuk main hakim

sendiri”.34 Tetapi pembelaan yang dimaksud di dalam Pasal 49 ayat (1)

KUHP itu bukan merupakan suatu pembelaan yang dapat dilakukan oleh

mereka yang harus melaksanakan peraturan-peraturan perundangan

33
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Cet. ke1, hlm. 43.
34
P.A.F Lamintang. 2014. Ibid, hlm. 471.
43

ataupun yang harus melaksanakan perintah-perintah jabatan.

Pembentuk undang-undang telah merumuskan ketentuan pidana di

dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP itu dengan demikian rupa, sehingga

seseorang yang melakukan suatu noodweer itu dibatasi, baik mengenai

cara melakukan pembelaan maupun mengenai alat yang boleh

dipergunakan untuk melakukan pembelaan tersebut. Menurut ketentuan

Pasal 49 ayat (1) KUHPidana, menyebutkan unsur- unsur “pembelaan

darurat” yaitu :

1. Adanya suatu serangan.

2. Serangan itu datangnya tiba-tiba atau suatu ancaman yang kelak

akan dilakukan.

3. Serangan itu melawan hukum.

4. Serangan itu diadakan terhadap diri sendiri, orang lain, kehormatan

diri sendiri, kehormatan diri orang lain, harta benda sendiri, dan

harta benda orang lain.

5. Pembelaan itu bersifat darurat (noodzakelijk).

6. Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus

setimpal.35

Dari rumusan atau syarat pembelaan terpaksa, undang-undang

membenarkan tindakan membela diri dalam hal mendadak diserang

35
Dumgair,Wenlly. 2016. “Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Dan Pembelaan Terpaksa
YangMelampaui Batas (Noodweer Axces) Sebagai Alasan Penghapus Pidana”, Jurnal Vol. V,
hal.64.
44

ataupun terancam diserang, akan tetapi undang-undang juga tidak dapat

membenarkan segala bentuk sifat dan cara pembelaan yang dapat

dibenarkan diberi batasan atau dengan kata lain pembelaan yang dapat

dibenarkan seimbang dengan serangan atau ancaman tersebut. Dari kata

“pembelaan terpaksa” dalam kalimat “pembelaan yang melampaui batas”

ini ada bagian yang sama dengan pembelaan terpaksa, persamaanya

ialah:36

1. Kedunya ada serangan atau acaman serangan yang melawan

hukum, yang ditujukan pada tiga kepentingan hukum (tubuh,

kehormatan kesusilaan dan harta benda). Pada keduanya juga,

melakukan perbuatan pembelaan memang dalam keadaan yang

sagat terpaksa (noodzakelijk) dalam usaha untuk mempertahankan

dan melindungi suatu kepentingan hukum yang terancam bahaya

oleh serangan atau ancaman seragan yang bersifat melawan hukum.

2. Keduanya juga ditujukan untuk mepertahankan dan melindungi

kepentingan hukum (rechtbelang) diri sendiri maupun kepentingan

orang lain.

Sedangkan untuk perbedaanya ialah:37

1. Yang dilakukan dari pembelaan terpaksa, dimana pembelan

haruslah seimbang dari bahanya serangan atau ancaman serangan,

perbuatanya haruslah seperlunya saja dalam hal pembelaan terpaksa,

36
Chazawi, Adami op. cit, hal. 51.
37
Ibid.
45

tidak diperkenankan melampaui batas. Tetapi pada pembelaan

terpaksa yang melampaui batas, perbuatan yang dilakukan sudah

melawati batas dari pembelaan, dimana perbuatan itu sudah tidak

seimbang dengan bahaya yang di timbulkan dari bahaya serangan dan

ancama serangan.

2. Dalam permbelaan terpaksa, perbuatan pembelaan dapat dilakukan

bermula ketika adanya serangan atau ancaman serangan saat sedang

berlangsung, dan tidak boleh dilakukan setelah serangan itu terhenti

atau sudah tidak ada lagi. Tetapi pada pembelaan terpaksa

melampaui batas, perbuatan pembelaan masih dapat dilakukan

sesudah serangan terhenti.

3. Tidak dipidananya si pembuat pembelaan terpaksa karena

kehilangan sifat melawan hukumnya dari perbuatannya sehingga

menjadi alasan pembenar. Sedangkan pada pembelaan terpaksa

melampaui batas, perbuatan yang melampaui itu menjadikannya

sebagai alasan pemaaf yang menghilangkan kesalahan dari si

pembuat.

Pada umumnya seseorang yang diserang cenderung akan melakukan

perlawanan untuk perlindungan diri sehingga mengakibatkan luka-luka

sampai hilangnya nyawa seseorang dan juga dalam kejadian noodweer

walaupun tindakannya akan merugikan sipenyerang, akan tetapi dalam hal

ini yang diserang adalah untuk membela diri dari sipenyerang. Oleh karena

itu tindakan orang yang diserang dibenarkan oleh undang-undang atau sifat
46

melawan hukumnya ditiadakan.

Maka dapat disimpulkan bahwa pada kasus kejahatan begal dapat

dimasukkan kedalam kategori alasan pembenar karena korban merasa

sangat terancam jiwa dan benda kepunyaannya. Dikarenakan kejahatan

tersebut sudah jelas sangat melanggar hukum, dan akan mendatangkan

bahaya yang bersifat secara langsung kepada nyawa, tubuh, kehormatan,

hingga benda kepemilikan korban.

B. Kewenangan Mengeluarkan SP3 Terhadap Kasus Pembelaan

Terpaksa (Noodweer) Dalam Pasal 49 KUHP.

Penetapan tersangka oleh penyidik melalui proses penyidikan,

meskipun dalam kasus tertentu yaitu tertangkap tangan maka penetapan

tersangka tidak dilakukan melalui proses penyidikan. Jika mengacu pada

Pasal 1 angka 2 KUHAP maka penyidikan merupakan rangkaian tindakan

penyidik untuk mengumpulkan alat bukti sehingga membuat terang

sebuah tindak pidana serta menemukan tersangkanya. Jadi penetapan

tersangka pasti dilakukan setelah penyidik menemukan alat bukti. Setelah

seseoran ditetapkan sebagai tersangka, ternyata ada hak penyidik untuk

menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Jika mengacu

pada KUHAP, maka tentang SP3 ini hanya diatur dalam 1 pasal dan 1 ayat

yaitu Pasal 109 ayat (2) yang bunyinya:

“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat

cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak

pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik


47

memberitahukan hal itu kepada penuntu umum, tersangka atau

keluarganya”. Maka alasan terbitnya SP3 itu ada tiga yaitu :

1. Tidak cukup bukti.

Tidak cukup bukti, artinya penyidik tidak memiliki 2 alat

bukti yang syah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Hal ini tentu sedikit membingungkan karena ketika proses

penyidikan berlangsung, dan ketika akan menetapkan seseorang

sebagai tersangka, maka penyidik telah memiliki 2 alat bukti yang

syah. Lalu jika alasan tidak cukup bukti yang dijadikan dasar,

maka artinya ada alat bukti yang dianulir oleh penyidik sebagai alat

bukti yang syah, sehingga dalam terbitnya SP3 tersebut dinyatakan

bahwa alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka

dinyatakan tidak syah/tida tepat/tidak akurat/bukan sebagai alat

bukti sehingga diterbitkanlah SP3.

2. Peristiwa tersebut bukan tindak pidana.

Alasan bahwa peristiwa yang dipersangkakan bukan

peristiwa pidana juga menunjukkan ketidak hati-hatian atau

ketidakprofesionalan penyidik dalam menetapkan seseorang

sebagai tersangka. Karena ketika seseorang akan ditetapkan

sebagai tersangka ada rangkaian tindakan penyelidikan

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (5) KUHAP yaitu

perbuatan penyelidik untuk menentukan ada atau tidaknya

perisitwa yang diduga tindak pidana atau bukan tindak pidana.


48

Dengan demikian, penyelidikan ini dimaksudkan

sebagai filter, memastikan perisitiwa hukum tersebut adalah

tindak pidana, dan bukan perbuatan dalam kontek hukum perdata

atau hukum administrasi negara atau peristiwa adat. Dengan

demikian alasan menjadi kurang relevan ketika menyatakan

terbitnya SP3 karena perbuatan yang dilakukan tersangka tidak

masuk dalam kategori hukum pidana atau tindak pidana.

3. Demi hukum.

Alasan demi hukum lebih rasional dibandingkan dengan

dua alasan di atas. Hal ini disebabkan sudah masuk pada alasan

yang lebih substansi juridis formil. Dalam banyak doktrin dan

putusan pengadilan, alasan demi hukm terbitnya SP3 didasarkan

pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu:

(1) nebis in idem.

(2) tersangka meninggal dunia.

(3) daluarsa.

Secara singkat bahwa nebis in idem ini diatur dalam Pasal 76

KUHP yang mengatur tentang orang tidak boleh dituntut dua kali atas

perkara yang sama. Kata “menuntut” memang otoritas jaksa, namun

tentu penyidik juga tidak akan bertindak gegabah dalam menetapkan

seseorang sebagai tersangka karena jaksa sudah dipastikan tidak akan

mau menunt orang tersebut jika ternyata untuk perkara yang sama

pernah dituntut sebelumnya. Karena itu, ketika penyidik menyadari


49

bahwa orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka ternyata adalah

orang yang sama dengan perkara yang sama yang pernah dijatuhi

hukuman, maka diterbitkanlah SP3.

Tersangka meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 77

KUHP. Dalam hal ini cukup jelas jika dijadikan pertimbangan terbitnya

SP3. Karena tidak mungkin menuntut seorang mayat ke pengadilan,

meskipun perbuatan sangat kejam sekalipun.

Alasan ketiga adalah daluarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78

KUHP. Tentang daluarsa ini ada empat kategori yaitu:

a. Sudah lewat satu tahun untuk tindak pidana percetakan.

b. Sudah lewat 6 tahun, untuk tindak pidana yang diancam

dengan pidana denda, kurungan atau penjara tidak lebih

dari 3 tahun.

c. Sesudah 12 tahun, untuk tindak pidana dengan ancaman

pidana lebih dari 3 tahun.

d. Sesudah lewat 18 tahun, untuk tindak pidana dnegan

ancaman pidana mati atau seumur hidup.

Alasan terbitnya SP3 harus menjadi fokus pemohon praperadilan.

Jika alasannya karena tidak cukup bukti maka tentu pemohon mengajukan

klarifikasi atau mempertanyakan kepada penyidik, status alat bukti yang

sebelumnya digunakan dalam menetapan tersangka.

Demikian jelas, kenapa dan mengapa alat bukti dipergunakan

dalam menetapkan tersangka. Prinsip kehati-hatian dalam menilai alat


50

bukti patut dipertanyakan dalam menetapkan tersangka juga dilakukan

gelar perkara sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun

2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, maka Gelar Perkara tersebut juga

patut dipertanyakan. Karena salah satu fungsi gelar perkara adalah untuk

menetapkan status seseorang sebagai tersangka.

Alasan penyidik diterbitkannya SP3 adalah karena perbuatan yang

dilakukan tersangka bukanlah tindak pidana. Hal ini juga perlu

dipertanyakan tentang proses penyelidikan dan penyidikan dan gelar

perkara yang dilakukan penyidik. Karena untuk menyatakan sebuah

perbuatan adalah tindak pidana, maka ada proses panjang termasuk

meminta klarifikasi pelapor dan terlapor.

Jika yang menjadi alasan SP3 adalah demi hukum, maka juga harus

dipertanyakan jenis alasan demi hukum yang dipergunakan oleh penyidik,

apakah karena nebis in idem, daluarsa atau karena tersangka meninggal

dunia sebagaimana diatur dalam pasal 76-78 KUHP.38

a. Kewenangan Kepolisian

Salah satu hal yang dilakukan oleh negara adalah

mengeluarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan di dalam KUHAP itu sendiri

dikatakan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari

dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran

38
https://business-law.binus.ac.id/2021/06/21/terbitnya-sp3-surat-perintah-penghentian-
penyidikan-dan-praperadilan/ Diakses tanggal 08 Juni 2022 Pukul 15.00.
51

materiil, yaitu kebenaran yang selengkap- lengkapnya dari suatu

perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana

secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah

pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran

hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari

pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak

pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat

dipersalahkan. Salah satu proses yang mengawali tindakan hukum

tersebut adalah penyidikan dan dengan dilaksanakannya proses

penyidikan maka sebuah perbuatan atau tindakan itu dapat

dikatakan sebagai sebuah tindak pidana atau tindak kejahatan

ataupun tidak dapat. “Hukum pidana sebagai suatu lapangan

hukum, juga dipelajari oleh ilmu pengetahuan atau dijadikan objek

dari suatu ilmu pengetahuan yaitu disebut ilmu hukum pidana”.

Sesuai dengan UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, menjadikan Polri sebagai alat negara

penegak hukum, penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat

serta sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.

Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian ini sangat

berpengaruh terhadap pelaksanaan hukum pidana dan hukum acara

pidana itu sendiri, hal ini dikarenakan proses penyidikan

merupakan langkah awal dalam proses penegakan hukum yang

dilakukan oleh aktor-aktor penegakan hukum di Indonesia.


52

Sistem peradilan pidana atau criminal justice system

merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh sub sistem

Peradilan sebagai lembaga penegakan hukum dalam melaksanakan

tugas, fungsi dan perannya dalam penegakkan hukum (law

enforcement) yang dapat menjamin rasa keadilan masyarakat,

melindungi kepentingan negara, sehingga tercipta kepastian

hukum dan menghargai hak asasi manusia. Terkait dengan sistem

peradilan pidana diIndonesia, penegakan hukum atau law

enforcement yang dilaksanakan oleh alat negara penegak hukum

dapat diklasifikasikan menjadi empat tahapan, yakni penyidikan,

penuntutan, peradilan dan pelaksanaan putusan. Penyidikan

sebagai tahapan pertama dimulai dari diadakannya penyelidikan,

penindakan, pemeriksaan, sampai dengan penyerahan berkas

perkara dan barang bukti.

Polri sebagai salah satu lembaga penegak hukum selain

hakim dan advokat memegang peranan yang sangat penting dalam

penegakan hukum pidana, untuk menerapkan suatu tindak pidana

sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena pada dasarnya sebelum

suatu perkara pidana dilimpahkan kepada pihak kejaksaan atau

bahkan ke pengadilan, maka pihak kepolisian memiliki

kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan suatu

tindak pidana yang telah diberikan oleh ketentuan KUHAP (UU

Nomor 8 Tahun 1981).


53

Benar atau tidaknya suatu perkara memang hanya hakim

yang berwenang untuk memutus, namun peran Polri di dalam

melakukan kewenangannya sebagai pemeriksa awal dituntut untuk

selalu tetap profesional agar pelimpahan hasil penyidikan ke dalam

tahap pemeriksaan lanjutan oleh pihak kejaksaan maupun

pengadilan akan lurus dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan

oleh Polri.

Menurut pasal 1 butir 1 KUHAP, penyidik adalah pejabat

polisi negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu

yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk

melakukan penyidikan. Sedangkan pada butir 4 pasal tersebut

mengatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara

Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk melakukan penyelidikan.

Jadi, yang dapat menjadi penyelidik adalah Pejabat Polisi

Negara Negara Republik Indonesia, selain Pejabat Polisi Negara

Republik Indonesia tidak bisa menjadi penyelidik. Tugas

penyelidik ialah melakukan penyelidikan yang merupakan

serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan

suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut

cara yang diatur dalam KUHAP (pasal 1 angka 5 KUHAP).

Tujuannya adalah untuk meneliti sejauh mana kebenaran sebuah


54

informasi berupa laporan atau aduan dalam kejadian langsung

yang tertangkap basah oleh aparat agar dapat memperkuat secara

hukum penindakan selanjutnya. Karena aparat tidak dapat

menangkap, menahan, menggeledah, menyita, memeriksa surat,

memanggil dan menyerahkan berkas kepada penuntut umum kalau

bukti permulaan atau bukti yang cukup saja belum dilakukan

diawal. Hal ini dapat menjadi kesalahan dalam menangkap pelaku

jika aparat tidak menguji dahulu informasi yang ada sehingga tidak

merendahkan harkat dan martabat manusia. Fungsi dan wewenang

penyelidik meliputi ketentuan yang diperinci pada Pasal 5

KUHAP.

Dalam buku Yahya Harahap, S.H, beliau membagi dan

menjelaskan fungsi dan wewenang aparat penyelidik dari dua

sudut pandang yang berbeda sesuai dengan bunyi pasal tersebut,

yaitu berdasarkan hukum dan perintah penyidik. Fungsi dan

wewenang berdasarkan hukum sebagaimana pada pasal 5

KUHAP.39 Berdasarkan ketentuan ini yang lahir dari sumber

undang-undang, fungsi dan wewenang aparat penyelidik terbagi

menjadi 4 bagian, yaitu :

1) Menerima Laporan dan Pengaduan Berangkat

Pengaduan atau laporan atas tindak pidana kepada

39
Yahya, Harahap S.H,. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Cetakan kedua, Jakarta: Pustaka Kartini, hal. 210.
55

pihakyang berwenang melakukan penyelidikan, perlu

dijelaskan lebih lanjut berkaitan dengan hal tersebut.

Dalam Pasal 1 angka 24-25 KUHAP dikemukakan tentang

pengertian laporan dan pengaduan. Sepintas lalu tidak

nampak perbedaan antara laporan dan pengaduan tersebut,

namun jelas adanya persamaan dan perbedaan antara

keduanya.

Titik persamaanya ialah bahwa baik laporan

maupun pengaduan keduanya sama-sama berisi

pemberitahuan dari seseorang kepada pejabat yang

berwenang tentang suatu peristiwa yang diduga suatu

tindak pidana yang telah atau sedang dan akan terjadi.

Sedangkan perbedaan antara laporan dan pengaduan

adanya permintaan dan tidak adanya permintaan dari

pelapor tentang suatu tindak pidana. “Proses selanjutnya,

apabila pejabat yang berwenang menerima pemberitahuan

(baik berupa pengaduan ataupun laporan), maka ia wajib

segera melakukan langkah-langkah guna mengetahui

sejauh mana kebenaran atas pemberitahuan tersebut”.

2) Mencari Keterangan dan Barang Bukti

Peristiwa yang diberitahukan kepadanya itu

memang benar-benar telah terjadi, maka penyelidik harus

mengumpulkan segala data dan fakta ayng berhubungan


56

dengan tindak pidana tersebut. Berdasarkan data dan fakta

yang diperolehnya penyelidik dapat menetukan apakah

peristiwa itu benar merupakan tindak pidana dan apakah

terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan

penyidikan. “Hasil yang diperoleh dengan dilaksanakannya

penyelidikan tersebut menjadi bahan yang diperlukan

penyidik atau penyidik pembantu dalam melaksanakan

penyidikan”.

3) Menyuruh Berhenti Orang yang Dicurigai

Kewajiban dan wewenang ketiga yang diberikan

pasal 5 kepada penyelidik, menyuruh berhenti orang yang

dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal

diri. Dari apa yang kita pahami, bahwa untuk melakukan

hal ini aparat tidak perlu untuk meminta surat perintah

khusus atau dengan surat apapun. Karena sebagaimana

dalam pasal 4 mengaskan bahwa polisi Negara RI adalah

penyelidik, maka sudah menjadi wajar dan haknya untuk

polisi bila ada sesuatu yang dicurigai melakukan tindakan

tersebut.

Akan tetapi jika polisi mengalami kesulitan dalam

melakukan tindakan tersebut di atas, maka satu-satunya

jalan yang dapat dibenarkan hukum. “Pejabat penyelidik

harus cepat-cepat mendatangi pejabat penyidik atau lebih


57

efesiennya penyelidik mempersiapkan kian surat perintah

penangkapan atau surat perintah membawa dan

menghadapkan orang yang dicurigai ke muka penyidik”.

4) Tindakan Lain Menurut Hukum

Sulit memahami apa yang dimaksud tindakan lain

menurut hukum ini. Akan tetapi menurut Yahya Harahap,

beliau memberikan contoh sebagai berikut: Seorang yang

dicurigai tidak mau berhenti dan tidak mau menyerahkan

identitas yang diminta atau ditanyakan penyelidik. Dari

point yang sebelumnya telah kita ketahui penyelidik tidak

dapat memaksanya dengan upaya paksa, dan sebagai jalan

keluar, penyelidik harus pergi meminta surat perintah

kepada penyidik untuk dihadapkan padanya.

KUHAP menjelaskan dalam BAB 1 Ketentuan Umum pasal 1 point

2 yang berbunyi: “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Tindakan

yang dilakukan penyelidik dalam hal ini, tepatnya merupakan tindakan

melaksanakan perintah penyidik, yaitu:

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan

dan penyitaan.

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat.


58

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak

pidana untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan penyidikan

merupakan serangkaian tindakan penyidik menurut cara yang diatur dalam

Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang

dengan bukti itu membuat titik terang tindak pidana yang terjadi dan untuk

menemukan tersangkanya.

Pada sistem penegakan hukum di Indonesia, aparat penegak

hukum harus berada pada barisan terdepan, karena memiliki kewajiban

dalam penegakan dan pengawasan agar fungsi hukum itu dapat berjalan

dengan baik. Salah satu elemen yang menjadi tonggak utama demi

terwujudnya keamanan negara adalah Kepolisian. Yang memiliki tugas

dan tanggungjawab secara khusus untuk menjamin penegakan hukum,

perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. Hal ini terdapat dalam

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 1

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang

ini yang dimaksud dengan:40

1. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi

40
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 1Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_2_02.htm Diakses tanggal 20 Juni
2022 Pukul 14.25.
59

dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai

negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-

undang memiliki wewenang umum Kepolisian.

4. Peraturan Kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan

oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka

memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

5. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis

masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses

pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional

yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan

tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang

mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi

dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan

menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-

bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

6. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai

dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib

dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.


60

7. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau

kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam

negeri.

8. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan

penyelidikan.

9. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan

penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

10. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan

penyidikan.

11. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil

tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk

selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan

penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang

menjadi dasar hukumnya masing-masing.

12. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang

tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam

undang-undang.
61

13. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.

14. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya

disebut Kapolri adalah pimpinan Kepolisian Negara Republik

Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi

kepolisian.

Sementara Pasal 2 menjelaskan bahwa fungsi kepolisian adalah salah

satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan

ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,

dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian memiliki peran yang

penting dalam menjalankan tugas, mulai dari pengaturan, penjagaan,

pengawalan, penyelidikan dan penyidikan serta penangkapan.

Kendala atau hambatan pihak kepolisian dalam melakukan

serangkaian tindakan tentang penyelidikan dan penyidikan suatu perkara

pidana adalah kurangnya pemahaman tindak pidana oleh masyarakat,

kurangnya keberanian penyidik dalam melakukan proses penyelidikan

tindak pidana, kesulitan untuk menemukan alat bukti, kurangnya jumlah

penyidik yang mempunyai kejujuran tinggi, kurangnya

kualitas/kemampuan pemahaman penyidik dan kurangnya penguasaan

penyidik dalam penggunaan kemajuan pada informasi teknologi.


62

b. Kewenangan Hakim

Hukum pidana mengatur beberapa alasan yang dapat

dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman

kepada para pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan

karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan

tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan-alasan

penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan

orang yang melakukan perbuatan sebenarnya telah memenuhi

rumusan delik, tetapi tidak dipidana. Berbeda halnya dengan

alasan yang dapat menghapuskan penuntutan, alasan penghapus

pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat

melawan hukumnya dihapus, karena adanya ketentuan undang-

undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang

memaafkan pembuat.

Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang

diajukan ke pengadilan dan kekuasaan kehakiman yang bebas,

tercantum dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan”. Dalam perspektif penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman harus berdasarkan Pancasila, yaitu kekuasaan yang

bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar dan


63

landasan utama eksistensi kewenangan dalam menjalankan

kekuasaan kehakiman yang bebas dari intervensi dalam bentuk

apapun.

Demi terselenggaranya Negara hukum Indonesia,

sebagaimana maksud dari pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang

menyebutkan, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Kedaulatan hukum (rechtssouvereniteit) berprinsip bahwa

hukumlah satu-satunya yang menjadi sumber kedaulatan.41

Dalam putusan bebas atau putusan lepas, pokok

perkaranya sudah diperiksa oleh hakim, maka putusan itu tunduk

pada ketentuan Pasal 76 KUHP. Meskipun KUHP yang sekarang

ini ada mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan tetapi

KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang

alasan penghapus pidana tersebut. Hakim lah yang menempatkan

wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan

apakah terdapat keadaan khusus seperti yang dirumuskan dalam

alasan penghapus pidana. Alasan yang dapat menghapuskan

penuntutan itu ialah alasan penghapus pidana yang diputuskan oleh

hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya

dihapus karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang

membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat. Putusan

41
Prof.Dr. Astawa, I Gde Pantja S.H. M.H. dan Dr. Suprin Na’a, S.H. M.H,. 2012.
Memahami Ilmu Negara & Teori Negara, Bandung: Refika Aditama, hal. 114.
64

Hakim adalah penemuan hukum dalam artian khusus mengandung

pengertian proses dan karya yang dilakukan oleh hakim, yang

menetapkan benar dan tidak benar menurut hukum dalam situasi

konkrit, yang diujikan kepada hati nurani.42

Menurut Lilik Mulyadi, putusan hakim merupakan putusan

yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan

perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan

proses dan prosedur hukum acara pidana pada umumnya berisikan

amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan

hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian

perkaranya.43

Dalam alasan penghapus penuntutan undang-undang

melarang sejak awal Jaksa Penuntut Umum untuk

mengajukan/menuntut tersangka pelaku tindak pidana ke sidang

pengadilan. Dalam hal ini tidak diperlukan pembuktian tentang

kesalahan pelaku atau tentang terjadinya perbuatan pidana tersebut

(Hakim tidak perlu memeriksa tentang pokok perkaranya). Apabila

Penuntut Umum menemukan kasus yang berkaitan dengan

pembelaan terpaksa dan tetap meneruskan ke tahap penuntutan

walaupun tindakan Terdakwa berkaitan dengan pembelaan

42
Respationo, Soerya, dan Guntur Hamzah. 2013. “Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas
Hukum Refleksif Dalam Penegakan Hukum”, Yustisia Vol.2 No.2 Mei-Agustus 2013, hlm. 102.
43
Mulyadi, Lilik. 2010. Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm. 131.
65

terpaksa dimana hal itu tidak dapat dipidana karena pembelaan

terpaksa termasuk ke dalam alasan pembenar dan pemaaf.

Penuntutan mempunyai arti bahwa negara menjamin dan

melindungi setiap warga negaranya dari segi penegakan hukum,

sekalipun korban dalam tindak pidana tersebut merupakan suatu

korban dari adanya tindakan pembelaan terpaksa yang memang

secara yuridis tindakan pembelaan terpaksa tersebut patut

dibenarkan, namun adanya tindakan tersebut telah mengakibatkan

hilangnya korban jiwa sehingga hilangnya korban jiwa harus

diketahui kepastiannya agar korban sendiri merasa terlindungi

dengan adanya penuntutan ini.

Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan berkas

penuntutannya ke pengadilan untuk diperiksa lebih lanjut di muka

persidangan menggunakan surat dakwaan. Hal tersebut dapat

diketahui dari surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum

dalam kasus di atas dengan bentuk dakwaan secara alternatif dan

subsidiaritas. Dakwaan alternatif yakni antara dakwaan yang satu

dengan yang lain saling “mengecualikan”. Dakwaan yang bersifat

alternatif antara isi rumusan dakwaan yang satu dengan yang lain

saling mengecualikan. Surat dakwaan subsidaritas yakni surat

dakwaan yang disusun secara berlapis dimulai dari dakwaan yang

terberat hingga yang teringan dengan susunan “primair”,

“subsider”, sehingga dalam kasus posisi di atas jaksa penuntut


66

umum memberikan pilihan kepada hakim dari dakwaan yang

disusun secara alternatif maupun subsideritas.

Tujuan yang hendak dicapai dalam bentuk surat dakwaan

yang dibuat secara alternatif maupun subsideritas oleh jaksa

penuntut umum dalam kasus di atas adalah untuk menghindari

terdakwa terlepas atau terbebas dari pertanggungjawaban pidana

(crime liability) karena perbuatan terdakwa termasuk ke dalam

jenis tindak pidana yang sangat berat dan berakibat pada kematian

seseorang. Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 angka (11)

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) dirumuskan bahwa yang

dimaksud dengan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim

yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat

berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-

undang tersebut. Dengan kata lain, dapatlah dikatakan bahwa

putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan pidana

untuk tahap pemeriksaan di Pengadilan Negeri.

Secara umum, putusan hakim dapat, mencabut hak

kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan

sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat,

memerintahkan instansi penegakan hukum lain untuk

memasukkan orang ke penjara, sampai dengan memerintahkan


67

penghilangan hidup dari seorang pelaku tindak pidana. Dalam

melaksanakan tugasnya, hakim dituntut untuk dapat bekerja secara

profesional, adil, bersih, arif, dan bijaksana, serta mempunyai rasa

kemanusiaan yang tinggi, dan juga menguasai dengan baik teori-

teori ilmu hukum. Sebab suatu putusan hakim akan

dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha

Esa, dan secara hukum kepada konstitusi, peraturan perundang-

undangan, serta nilai- nilai hak asasi manusia.

Hakim adalah seorang manusia yang tentunya dapat salah

raba dalam menentukan keyakinannya perihal sesuatu dan karena

putusan hakim pidana dapat menusuk kepentingan-kepentingan

terdakwa. Masyarakat menjunjung tinggi jiwa, raga, kemerdekaan,

kehormatan dan kekayaan seorang terdakwa. Ada beberapa aliran

dunia mulai dulu kala sampai dengan sekarang tentnag apa yang

dianggap baik penyusunan suatu peraturan Hukum Pembuktian

dalam Acara Pidana.44 Pembagian Hukum Pembuktian pada Acara

Pidana dalam 3 bagian yaitu45:

1. Penjelasan alat-alat bukti yang dapat dipakai oleh Hakim

untuk mendapat gambaran dari peristiwa pidana yang

sudah lampau itu (opsonming van bawijsmiddelen).

2. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan

44
Prakosos, Djoko. 1998. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dakam Proses Pidana,
Yogyakarta: Liberty, hlm. 39.
45
Ibid
68

(berwijsvoering).

3. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat-alat bukti

itu (berwijskracht de berwijsmiddelen).

Di dalam Hukum Acara Pidana yang berakar kepada sistem

inquisitorial, paling tidakterdapat beberapa teori-teori mengenai

sistem pembuktian, antara lain sebagai berikut:

a. Sistem berdasarkan Keyakinan Hakim Semata

Teori ini didasarkan pada kayakina hakim melulu

yang didasrkan kepada keyakinan hati nurani sendiri

sehingga ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan

perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dengan sistem ini,

pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-

alat bukti dalam undang- undang.46

b. Sistem melulu menurut Undang-Undang

Sistem ini hanya didasarkan kepada undang-

undang yang artinya jika telah terbukti suatu perbuatan

sesuai dangan alat-alat bukti yang sah, maka keyakinan

hakim tidak lagi diperlukan sama sekali. Oleh karena itu

system ini tidak dapat diterapkan di Indonesia.

c. Sistem menurut Undang-Undang sampai suatu batas

Sistem pembuktian ini berdasarkan undang-undang,

46
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta,
2000, hlm. 248.
69

maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara

terdapat bukti yang cukup sesuai dengan undang-undang,

maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum

memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.47

Menurut Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman (UU No 14/1970) untuk mejatuhkan hukuman,

disamping diperlukan alat-alat pembuktian yang sah, harus

juga ada keyakinan dari hakim sendiri mengenai kesalahan

yang telah diperbuat oleh terdakwa. Sistem ini umumnya

disebut dengan system pembuktian menurut undang

undang negatif (negatief wettelijk).48

Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan

suatu perkara itu pertama-tama harus menggunakan hukum tertulis

terlebih dahulu, yaitu peraturan perundang- undangan, tetapi jika

peraturan perundang-undangannya ternyata tidak cukup atau tidak

tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah

hakim akan mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari

sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, doktrin,

traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.

47
Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahaasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Ctk. Kesembilan, Edisi
Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 319.
48
Agung, Nanda 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara
Pidana, Jakarta: Aksara Persada Indonesia, hlm. 47.
70

Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa hakim wajib menggali,

mengikuti dan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup di dalam masyarakat. Hakim dalam mengambil suatu

keputusan dalam sidang pengadilan dapat mempertimbangkan

beberapa aspek:49

a. Kesalahan pelaku tindak pidana.

b. Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana.

c. Cara melakukan tindak pidana.

d. Sikap batin pelaku tindak pidana.

e. Riwayat hidup dan sosial ekonomi.

f. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak

pidana.

g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku.

h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang

dilakukan oleh pelaku.

Berdasarkan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 50

berbunyi:

1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar

putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan

49
Barda Nawawi Arief. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
PenanggulanganKejahatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm. 23.
71

perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber

hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua

serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta

bersidang.

Hakim dalam memutus suatu perkara harus

mempertimbangkan kebenaran yuridis, kebenaran filosofis dan

sosiologis. Kebenaran yuridis artinya landasan hukum yang

dipakai apakah telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.

Kebenaran filosofis artinya hakim harus mempertimbangkan sisi

keadilan apakah hakim telah berbuat dan bertindak yang seadil-

adilnya dalam memutuskan suatu perkara. Kebenaran sosiologis

artinya hakim juga harus mempertimbangkan apakah putusannya

akan berakibat buruk dan berdampak di masyarakat dengan kata

lain bahwa seorang hakim harus membuat keputusan yang adil dan

bijaksana dengan mempertimbangkan dampak hukum dan dampak

yang terjadi dalam masyarakat.

Mengenai penjatuhan putusan apakah seseorang dapat atau

tidak dikenakan suatu sanksi pidana dalam hukum acara akan

dicantumkan dalam suatu putusan, putusan pengadilan akan

dijatuhkan tatkala proses pemeriksaan dalam sidang sudah selesai.

Setelah hakim menjatuhkan putusannya, maka ia wajib

memberitahukan kepada terdakwa tentang segala sesuatu yang


72

menjadi haknya, yaitu:

1) Hak segera menerima atau segera menolak putusan.

2) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima

atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang

ditentukan dalam undang-undang.

3) Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam

tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang

untuk mengajukan grasi dalam hal ia menerima putusan.

4) Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding

dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-

undang ini, dalam hal ia menolak putusan.

5) Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh

undang-undang ini.

Putusan hakim merupakan tindakan akhir setelah melewati

proses persidangan, yang dari hasil tersebut menuntut apakah

seseorang itu di hukum ataudi lepaskan. Didalam Pasal 1 butir 11

KUHAP, yang dimaksud dengan putusan hakim adalah

pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan

terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum.

Pertimbangan hakim atau disebut dengan rasio Decidendi


73

adalah argumen atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai

pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus kasus.

Dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelum

pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim akan menarik fakta-

fakta dalam persidangan yang diperoleh dan merupakan konklusi

komulatif dari keterangan-keterangan saksi, keterangan terdawka,

dan brang bukti.50

Putusan adalah pernyataan yang dituangkan dalam bentuk

tertulis dan diucapkan hakim secara langsung dalam sidang terbuka

untuk umum yang dimana sebagai hasil dari proses pemeriksaan

dalam proses persidangan. Setiap keputsan hakim merupakan salah

satu dari tiga kemungkinan diantaranya yaitu:51

1. Putusan bebas

Putusan bebas (vrijspraak) artinya terdakwa

dinyatakan tidak terbukti secara sah dan menyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang

didakwakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaaannya.

Asas putusan bebas limitatif diatur dalam Pasal 191 Ayat 1

KUHP bahwa:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan

50
Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
PenanggulanganKejahata,. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 77.
51
Hamzah, Andi. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Sinar
Grafika, hlm. 285.
74

di sidang, kesalah terdakwa atas perbuatannya yang telah

didakwakan ke padanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

Dalam penejalasan Pasal 191 Ayat 1 KUHP yang

dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan artinya tidak cukupnya bukti

menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan

menggunakan alat bukti ketentuan hukum acara pidana.

Selanjutnya, dari aspek teoritis bentuk-bentuk putusan bebas

dikenal dengan beberapa bentuk, yaitu:52

a. Pembebasan murni atau “de zuivere vrijpaak”.

b. Pembebasan tidak murni atau “de onzuivere

vrijspaak”.

c. Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan

kegunaan atau “de vrijkspaak op grond

doelmatigheid overwegigen”.

d. Pembebasan yang terselubung atau “de bedekte

vrijkspaak”.

2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum

Secara fundemental terhadap putusan “pelepasan

dari segala tuntutan hukum” atau “onslag van alle

52
Mulyadi, Lilik (2014), Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia Prespektif, Teoritis, Teknik Membuat Dan Permaslahan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
hlm. 178-180.
75

recgtsvervolging” diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat

2 KUHAP yang dirumusakn dengan redaksional bahwa:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dalama perbuatan

yang didakwakan kepadaya terbukti, tetapi perbuatan itu

tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa

diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

Apabila dijabarkan lebih jauh pada ketentuan Pasal

191 Ayat 2 KUHAP terhadap putusan pelepasan dari

segala tuntutan hukum (onslag van alle

recgtsvervolging) terjadi jika :

a. Hasil pemeriksaan di dalam persidangan

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan menurut

hukum, tetapi perbuatan tersebut bukan

merupakan tindak pidana, misal dalam yuridis

perdata, adat atau dagang.

b. Hasil pemeriksaan di dalam persidangan

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan menurut

hukum, tetapi amar/diktum putusan hakim

melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum

karena adanya alasan pemaaf dan alasan

pembenar.
76

c. Tidak terbuktinya kesalahan terdakwa ini adalah

minimum bukti yang ditetapkan oleh undang-

undang tidak terpenuhi. Pasal 183 KUHAP yang

menyatakan bahwa:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seorang kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-

benar terjadi dan bahwalah terdakwalah yang

bersalah melakukannya”.

Sebenarnya kalau perbuatan terdakwa yang

didakwakan kepada terdakwa bukan suatu delik

(tindak pidana), maka dari permulaam seharusya

hakim tidak menerima tuntutan jaksa. Dalam

menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan

hukum maka semua unsur-unsur rumusan delik

yang didakwakan kepada terdakwa sudah

terpenuhi, setelah itu akan diperiksa lebih lanjut

apakah dalam perbuatan terdakwa terdapat alasan

penghapus pidana (alasan pembenar maupun

alasan pemaaf).

3. Putusan pemidanaan

Putusan pemidanaan (veroordeling) merupakan


77

putusan hakim yang berisikan suatu perintah kepada

terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang

telah ia lakukan sesuai dengan amar putusan. Putusan

pemidaan bersifat menghukum terdakwa karena yang

bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan

oleh penuntut umum. Apabila hakim menjatuhkan

putusan pemidanaan, itu artinya hakim yakin

berdasarkan alat-alat bukti yang sah ditambah dengan

keyakinannya yang diperoleh dari alat-alat bukti bahwa

terdakwatelah melakukan perbuatan sebagaimana dalam

surat dakwaaan.

Kapan suatu putusan pemidanaan itu dijatuhkan,

terdapat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yaitu: “jika

pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya,

maka pengadilan menjatuhkan pidana. Menurut Van

Bemmelen yang disebut dengan putusan pemidanaan

adalah “putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika

ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah

melakukan perbuatan yang didakwakannya dan ia

menganggap bahwa perbuatan terdakwa dapat


78

dipidana”.53

Dalam sebuah putusan hakim harus memuat syarat-

syarat yang harus melekat pada suatu putusan. Putusan

hakim menjadi dua jenis yakni putusan pemidanaan dan

putusan yang bukan pemidanaan. Putusan pemidanaan

adalah putusan yang berisikan sanksi pidana terhadap

seorang terdakwa sedangkan putusan yang bukan

pemidanaan merupakan putusan yang berisikan

keterangan bebas dan atau lepas dari segala tuntutan

hukum. Syarat yang dimuat dalam Putusan pemidanaan

merupakan putusan yang berisikan pemidanaan terhadap

terdakwa, Syarat sahnya putusan bukan pemidanaan

diatur dalam Pasal 199 ayat 1 huruf a, b dan c KUHAP.

Oleh sebab itu dibaginya kedua norma antara putusan

pemidaan dengan putusan yang bukan pemidanaan

mempunyai arti yang berbeda dalam syarat sahnya yang

harus dimuat dalam sebuah putusan diantaranya:

Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHAN YANG

MAHA ESA”:

a. Identitas terdakwa.

b. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat

53
Hamzah, Andi. op.cit, hlm. 286.
79

dakwaan.

c. Pertimbangan yang disusun secara ringkas

mengenai fakta dan keadaan berserta alat bukti

yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang

menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

d. Tuntutan pidana penuntut umum, sebagaimana

terdapat dalam surat tuntutan.

e. Pasal peraturan perundang-undangan yang

menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan

peraturan perundang-undangan yang menjadi

dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang

memberatkan dan yang meringankan terdakwa.

f. Hari tanggal diadakan musyawarah majelis

hakim kecuali perkara yangdiperiksa oleh hakim

tunggal.

g. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah

terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak

pidana disertai dengan kualifikasinya, dan

pemidanaanatau tindakan yang dijatuhkan.

h. Ketentuan kepada siapa biaya perkara

dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya

yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.

i. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu


80

atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu

jika terdapat surat otentik dianggap palsu.

j. Perintah supaya terdakwa daitahan atau tetap

dalam tahanan atau dibebaskan.

k. Hari dan tanggal putusan, nama jaksa penuntut

umum, nama hakim yang memutusa dan nama

panitera.

Analisis dalam kasus 1 yang saya ambil merupakan

perbuatan pembelaan diri karena adanya serangan seketika dari

korban yang mengayunkan sepatu ke muka Terdakwa, dengan

merujuk kepada keterangan saksi Wahyu Wikan, Dedi Sudirman,

Immanuel dan Imma Iswara. Ternyata keterangan para saksi

tersebut tidak ada satupun yang melihat adanya serangan

dimaksud, malah justru menerangkan untuk saksi Wahyu Wikan

bahwa Terdakwa berkata tidak jelas tetapi marah, saksi yang

menenangkan Terdakwa, untuk saksi Dedi Sudirman bahwa saksi

melihat ketika saling dorong dan jatuh, tangan Terdakwa

memegang tangan korban, korban dipisahkan oleh Immanuel ke

ruang GYM dan sempat dikejar oleh Terdakwa, saksi melihat ada

goresan kuku tangan kiri korban, untuk saksi Immanuel melihat

keduanya terlentang di lantai dan tangan korban menahan tangan

Terdakwa, saksi baru membawa korban ke ruangan GYM namun

Terdakwa masih mengejar sambil marah – marah, dan memang ada


81

luka di tangan kanan dan kiri korban, begitu pula saksi Imma

Iswara menerangkan bahwa saksi melihat keduanya berjajar di

lantai, korban bersifat pasif sedangkan Terdakwa semangat.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Terdakwa

memang diberi hak ingkar namun keingkaran Terdakwa atas

perbuatannya tersebut justru dijadikan pertimbangan oleh Majelis

Hakim sehingga perbuatan Terdakwa dalam perkara ini dinilai

sebagai perbuatan “pembelaan terpaksa (Noodweer)”.

Pasal 49 ayat (1): “Barangsiapa terpaksa melakukan

perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman

ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun

orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau

harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) KUHP, ada beberapa persyaratan

terhadap perbuatan dalam keadaan terpaksa, yaitu:

1) Dilakukan karena benar-benar ada serangan atau ancaman

serangan.

2) Tidak ada cara lain untuk mengatasi serangan atau ancaman

serangan kecuali melawan dengan perbuatan yang dilarang

oleh hukum pidana.

3) Perbuatan pidana yang dilakukan untuk melawan harus

seimbang dengan bobot serangan atau ancaman serangan.


82

Pada kenyataannya teori dan praktiknya berbeda, karena

menurut Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana

“Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan

terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan

kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada

serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu

yang melawan hukum”. Terdakwa diputus lepas dari segala

tuntutan hukum (Ontslag Van Alle Rechtsvervolging) karena

dakwaan jaksa Penuntut Umum terbukti yakni terdakwa

melakukan perbuatan penganiayaan yang berakibat pada matinya

korban, namun perbuatannya bukan merupakan tindak pidana

karenanya hapus sifat melawan hukum perbuatan tersebut

disebabkan ada alasan pembenar berupa pembelaan terpaksa.

Analisis kasus ke 2 yang saya ambil itu tidak sampai masuk

ke pengadilan karena diberhentikan penyelidikannya oleh Polisi

karena:

Alasan Polisi menilai tindakan Irfan sebuah bela paksa

sehingga dia bebas dari jeratan pidana. Kasusunya itu tidak dapat

dipidanakan karena tidak ada perbuatan melawan hukum.

Perbuatan mereka bedua itu masuk kategori bela paksa, sehingga

perbuatannya dapat dibenarkan oleh hukum. Perlawanan Irfan

yang mengakibatkan dua terduga begal, Aric Saifulloh (17)

meninggal dan IY (17) terluka bacok, adalah sebuah upaya bela diri
83

yang dibenarkan dalam undang-undang. Maka jatuhnya pembelaan

terpaksa dan itu dibenarkan oleh KUHP pasal 49 ayat 1 dan tidak

dapat dipidana. Maka itu Jokowi memberi apresiasi kepada mereka

atas keberaniannya itu pun Irfan diberi penghargaan.

Dari kasus diatas terdapat kejanggalan karena yang

memutuskan sesuatu perkara itu Pembelaan terpaksa (noodweer)

adalah Hakim. Tetapi di kasus tersebut malah Polisi yang

mengehentikannya.

Dengan kasus yang beredar di Indonesia mengenai

pembelaan terpaksa sebagai penghapus pertanggungjawaban

pidana, hal ini menimbulkan problematika bagi para penegak

hukum maupun dari masyarakat sendiri. Oleh sebab itu, terlihat

jelas adanya keseimbangan antara patokan formal dan juga patokan

informil. Sistem peradilan di Indonesia, para penegak hukum

mempunyai kewenangan sendirisendiri untuk menegakan hukum,

baik dari tingkat kepolisan, jaksa, hakim, maupun advokat yang

termasuk dalam bagian dari penegakan hukum.

Proses peradilan yang digunakan oleh para penegak hukum,

untuk menilai seseorang yang melakukan tindak pidana yang

memliki alasan penghapus pertanggungjawaban pidana, maka

Hakimlah yang menentukan. Yang secara otomatis harus melalui

proses persidangan di pengadilan. Ketika melihat kasus seperti ini,

terjadi sebuah kesenjangan antara hukum materil dengan hukum


84

formil yang dilaksanakan. Apabila seseorang melakukan

pembelaan terpaksa, hal itu karena melakukan perintah undang-

undang dan di dalam KUHP sudah jelas bahwa “tidak dipidana

apabila melakukan perbuatan terpaksa”.

KUHAP telah menyebutkan dalam hal penghentian

penyidikan yang dilakukan oleh penyidik atau yang biasa dikenal

dengan SP3, seperti yang ada dalam Pasal 109 ayat (2):

“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak

terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan

merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum,

maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,

tersangka atau keluarganya”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut

terdapat beberapa persyaratan bagi penyidik untuk melakukan

penghentian penyidikan, antara lain:

a. Tidak cukup bukti.

b. Bukan tindak pidana.

c. Dihentikan demi hukum.

Sudah jelas bahwa di dalamnya ada kalimat “bukan tindak

pidana”. Jika dikaitkan dengan Pasal 49 ayat 1 dan 2 KUHP tentang

pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa

melampaui batas (noodweer exces), pembelaannya dapat dikatakan

tidak dipidana.
85

Jadi, apakah penyidik punya kewenangan untuk SP3 dalam

kasus pembelaan terpaksa (noodweer) atau tidak? Jawabannya

Tidak bisa. Karena suatu pembelaan terpaksa tetap bersifat

melawan hukum akan tetapi ada faktor-faktor lain yang akan

dipertimbangkan oleh Hakim apakah perbuatan tersebut benar-

benar pembelaan terpaksa yang pertanggungjawabannya dapat

dihapuskan dengan alasan pemaaf dan pembenar atau bukan,

apakah perbuatan tersebut benar-benar termasuk kedalam Pasal 49

KUHP melalui penafsiran yang dilakukan oleh Hakim.

Melalui hukum acara pidana, maka barang siapa yang

melangsungkan penyimpangan atau pelanggaran hukum,

khususnya dalam hukum pidana, selanjutnya dapat diproses dalam

suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut hukum

acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang

terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang

pengadilan.
BAB IV

PENUTUP

a. Kesimpulan
1. Pembelaan terpaksa (noodweer) adalah sebagai suatu pembelaan

yang dilakukan di dalam keadaan darurat, yang terdapat dalam

Pasal 49 ayat (1) KUHP. Syarat-syarat untuk noodweer (pembelaan

terpaksa) yaitu, Harus ada serangan dan Terhadap serangan itu

perlu dilakukan pembelaan diri. Kejadian noodweer itu walaupun

tindakannya akan merugikan si penyerang, akan tetapi dalam hal

ini yang diserang adalah untuk membela diri dari sipenyerang.

Karena itu tindakan orang yang diserang dibenarkan oleh undang-

undang atau sifat melawan hukumnya ditiadakan. Pada kasus

kejahatan begal dapat dimasukkan kedalam kategori alasan

pembenar karena korban merasa sangat terancam jiwa dan benda

kepunyaannya. Kejahatan tersebut sudah jelas sangat melanggar

hukum, dan akan mendatangkan bahaya yang bersifat secara

langsung kepada nyawa, tubuh, kehormatan, hingga benda

kepemilikan korban.

2. Hak penyidik untuk menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian

Penyidikan) diatur dalam Pasal 109 ayat 2 KUHAP. Pada

pembelaan terpaksa (noodweer) pembuktiannya lebih menekankan

kepada pembelaan diri atau mempertahankan diri dari ancaman

86
87

atau serangan. Pembuktian unsur-unsur pembelaan terpaksa pada

Pasal 49 KUHP diserahkan kepada Hakim bukan Polisi. Hakim

yang akan menguji dan memutuskan apakah perbuatan itu

termasuk unsur-unsur Pasal 49 KUHP atau tidak.

b. Saran

1. Diharapkan bagi ahli hukum atau pemerintah untuk menjelaskan

lebih jelas agar terdapat kejelasan dalam menentukan syarat dan

unsur-unsur bisa dipenuhi secara mudah oleh korban yang

mengalami tekanan dalam situasi tersebut. Dalam pembentukan

hukum yang nantinya juga diharapkan dengan adanya undang-

undang yang tegas terkait dengan hal tersebut maka akan

memperkecil jumlah kejahatan di Indonesia.

2. KUHAP yang akan datang diharapkan memasukkan ketentuan

harusnya ada izin pengadilan atau melalui penetapan pengadilan

terbitnya SP3. Karena dalam kasus pembelaan terpaksa

(noodweer) yang menentukan itu adalah Hakim. Dalam

memutuskan perkara Hakim juga di dasari oleh unsur-unsur

seperti, unsur perbuatan, alat bukti, keterangan saksi, keyakinan

Hakim, agar mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam

keputusannya.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Agung, Nanda. 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara Pidana,
Aksara Persada Indonesia, Jakarta
Amrani, Hanafi dan Mahrus Ali. 2015. Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Rajawali Pers,
Jakarta
Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Cet. ke-1
Hamzah, Andi. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Sinar Grafika,Jakarta
___________. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi. Rineka Cipta. Jakarta
___________. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indoneisa Dan Perkembangannya,
Jakarta: PT SOFMEDIA
___________.2010. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika
Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahaasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Ctk.
Kesembilan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta
J.E.Jonkers. 1987. dalam Handbook van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Tim
Kanter, E. Y., & Sianturi, S. R,. 2002. Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan
penerapannya, Jakarta : Storia Grafika
Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
Moeljatno. 1985. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rancangan Undang-
Undang tentang Asas-Asas dan Dasar-Dasar Pokok Tata Hukum Indonesia, Cet.
Ketiga, Bina Aksara, Jakarta
Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta
Mulyadi. Lilik .2010. Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Mulyadi, Lilik. 2014. Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Prespektif, Teoritis, Teknik Membuat Dan Permaslahan, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung
P.A.F. Lamintang. Franciscus Theojunior Lamintang. 2014. Dasar-Dasar Hukum Pidana di
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika
Penerjemah Bina Aksara berjudul Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Cetakan
89

1, PT Bina Aksara, Jakarta, 1987


Praja, R. Achmad Soema Di. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana, Alumni: Bandung
Prakosos, Djoko. 1998. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dakam Proses Pidana,
Liberty Yogyakarta
Prasetyo, Teguh. 2010. Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers
Romi Atmasasmita. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia, Dan Penegakan
Hukum,Cetakan Pertama, Mandar Maju, Bandung
Rusianto Agus. 2016. Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana Tinjauan Kritis Melalui
Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, Edisi Pertama. Jakarta:
Prenadamedia Group
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris. 1995. Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Liberty,
Yogyakarta
Simons. 1995. Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan
Pidana), Bandung: Amico
Sudarto. 1990. Hukum Pidana Indonesia, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP,
Semarang
______. 1974. Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, Semarang
Syafrinaldi. 2006. “Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Tindak Pembunuhan”, Hukum
Islam, Vol. VI. NO. 4
Van H, J Scharavendijk. 1996. Hukum Pidana di Indonesia, J.B. Wolters, Jakarta
Waluyo, Bambamg. 2011. Victimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
Sinar Grafika, Jakarta
Widodo. 2015. Problem Pembinaan Anak Pelaku Tindak PIdana Dalam Prespektif Hukum
Pidana, Aswaja Presindo, Yogyakarta
Yahya, Harahap S.H,. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Cetakan
kedua, Jakarta, Pustaka Kartini

JURNAL
Agung, Dewa, Ari Aprillya, Dkk. 2019. “Analisis Pembuktian Alasan Pembelaan Terpaksa
Yang Melampaui Batas Dalam Tindak Pidana Yang Menyebabkan Kematian”, Jurnal
Analogi Hukum , Vol.1 No.2. CC-BY-SA 4.0 License, Universitas Warmadewa
Cessio, Rima Nur. 2020. “Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Korban Tindak Pidana
Penusukan Dalam Peradilan Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 2, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro
90

Dumgair, Wenlly. 2016. “Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Dan Pembelaan Terpaksa Yang
Melampaui Batas (Noodweer Axces) Sebagai Alasan Penghapus Pidana”, Jurnal,
Vol. V
Julaiddin dan Rangga Prayitno. 2020. “Penegakan Hukum Bagi Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan Dalam Pembelaan Terpaksa”, UNES Journal of Swara Justisia, Vol. 4
INTERNET
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_2_02.htm
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/31/12183801/cerita-irfan-remaja-yang
melawan-hingga-menewaskan-begal-di-bekasi?page=all
https://business-law.binus.ac.id/2021/06/21/terbitnya-sp3-surat-perintah-penghentian-
penyidikan-dan-praperadilan/

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 1 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai