Anda di halaman 1dari 90

KEWENANGAN PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN PENINJAUAN

KEMBALI (PK) TERHADAP PERKARA PIDANA

(Studi Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :

Afik Vergiwaya Dodian Hi Dahlan

NPM : 1302015081

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS YARSI

JAKARTA

2021

1
KEWENANGAN PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN PENINJAUAN

KEMBALI (PK) TERHADAP PERKARA PIDANA

(Studi Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016)

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Afik Vergiwaya Dodian Hi Dahlan

NPM : 1302015081

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS YARSI

JAKARTA

2021

2
MOTTO

‫فَا ِ َّن َم َع ۡالع ُۡس ِر ي ُۡسرًا‬

“Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan”

“ QS. AL-Insyirah ayat 5 “

3
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Afik Vergiyawa Dodian Hi Dahlan
NPM : 1302015081
Program studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Perguruan Tinggi : Universitas YARSI

Mengakui dan menerangkan bahwa skripsi dengan judul “Kewenangan Penuntut Umum

dalam Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) terhadap Perkara Pidana (Studi

Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016)” adalah hasil karya saya sendiri, bukan

merupakan plagiasi ataupun duplikasi dari karya tulis orang lain. Sumber-sumber yang

digunakan, baik dirujuk maupun dikutip, dalam skripsi ini telah dicantumkan dengan

benar dan sebagaimana mestinya.

Apabila dikemudian hari, skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupu plagiasi, saya
bersedia untuk menerima konsekuensi pembatalan kelulusan saya sebagai Sarjana Hukum
dari Fakultas Hukum Universitas YARSI.

Demikian surat pernyataan ini saya buat sebenar-benarnya dan tanda tangani

sebagaimana mestinya.

Jakarta, Januari 2021


Yang membuat pernyataan,

( Afik Vergiyawa Dodian Hi Dahlan )

4
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI
Kewenangan Penuntut Umum dalam Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) terhadap
Perkara Pidana (Studi Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016)

Oleh :
Afik Vergiayawa Dodia Hi Dahlan
NPM : 1302015081

Telah diperiksa dan dinyatakan siap untuk diuji dan dipertahankan di depan Tim Penguji
Skripsi

Jakarta 2021

Pembimbing Ilmu Pembimbing Agama

Lusy Liany, S.H., M.H. Amir Mahmud, Lc., LL.M

5
HALAMAN PENGESAHAN

TIM PENGUJI SKRIPSI

Kewenangan Penuntut Umum dalam Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) terhadap


Perkara Pidana (Studi Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016)

Oleh :
Afik Vergiyawa dodian hi dahlan
Npm : 1302015081

Telah berhasil dipertahankan di depan Tim Penguji dalam Sidang Skripsi yang
dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 25 Juni tahun 2021 dan telah diterima sebagai salah
satu syarat yang diperlukan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum
Universitas YARSI

Tim Penguji Skripsi:

1. Dr. Ridarson Galingging, S.H, LL.M.


Ketua Penguji (………………………)

2. Lusy Liany, S.H., M.H.


Anggota Penguji I (……………………….)

3. Amir Mahmud, Lc., LL.M


Anggota Penguji II (……………………….)

Mengetahui,
Fakultas Hukum
Universitas YARSI

Dr. Ely Alawiyah Jufri, S.H., M.H


Dekan

6
PERNYATAAN PERSETUJUAN

PEMBERIAN IZIN PUBLIKASI SKRIPSI


UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai insan akademik Universitas YARSI. Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Afik Vergiyawa Dodian Hi Dahlan
NPM : 1302015081
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Judul Skripsi : Kewenangan Penuntut Umum dalam Pengajuan Peninjauan
Kembali (PK) terhadap Perkara Pidana(Studi Putusan MK
Nomor 33/PUU-XIV/2016)Menyatakan menyetujui untuk
memberikan izin publikasi atas skripsi ini untuk kepentingan
akademis kepada Universitas YARSI. Persetujuan ini
mencakup piranti-piranti yang dibuat sehubungan dengan
dokumentasi skripsi ini (apabila ada).

Dengan persetujuan yang saya buat ini, Universitas YARSI berhak melakukan tindakan
penyimpanan, pengelolaan (dalam bentuk pangkalan data), perawatan, dan publikasi
skripsi saya ini sepanjang tetap mencatumkan nama saya sebagai penulisnya.

Demikian pernyataan ini saya buat sebenar-benarnya dan ditandatangani sebagaimana


mestinya.

Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : Juni

Yang menyatakan,

Afik Vergiyawa Dodian Hi Dahlan

7
KATA PENGANTAR

vii

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat,
hidayah dan inayah-Nya serta dengan izin-Nya lah skripsi ini dapat disusun dan
diselesaikan. Shalawat dan salam buat junjungan alam nabi Muhammad saw yang telah
memberikan penerangan dari yang gelap menjadi bercahaya dan seorang tokoh
revolusioner yang patut di teladani manusia.Penulisan skripsi merupakan salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Strata Satu (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas YARSI
Jakarta. Adapun judul skripsi ini Kewenangan Penuntut Umum dalam Pengajuan
Peninjauan Kembali (PK) terhadap Perkara Pidana (Studi Putusan MK Nomor
33/PUU-XIV/2016)

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini menyita banyak waktu, tenaga
dan pikiran, tetapi Alhamdulillah dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dengan
demikian dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis menghaturkan rasa hormat
dan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Ely Alawiyah Jufri, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas YARSI
2. Ibu Dr. Liza Evita Jakbar, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Fakultas
Hukum Universitas YARSI.
3. Bapak Kharis Umardani,S.H., M.H., selaku Sekretaris Program Studi Fakultas
Hukum Universitas YARSI dan Pembimbing Akademik Penulis. Terimakasi
atas segala ilmu, dukungan, motivasi dan semangat yang Bapak berikan kepada
Penulis. Semoga Allah membalas segala kebaikan yang telah Bapak berikan
kepada Penulis.
4. Ibu Nelly Ulfah Anisa Riza, S.H., M.H., selaku Koordinator Bidang Penelitian

8
Fakultas Hukum Universitas YARSI.
5. Ibu Lusy selaku Pembimbing Ilmu Penulis. Terimakasi atas segala ilmu,
dukungan, motivasi yang Ibu berikan kepada Penulis sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Semoga Allah SWT senantiasa
melimpahkan rizki, kesehatan, dan Rahmat-Nya untuk bapak.
6. Bapak Amir Mahmud, Lc., LL.M., selaku Pembimbing Agama Penulis.
Terimakasi atas segala ilmu dan kesabaran yang diberikan kepada Penulis
sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Semoga Allah
SWT senantiasa melimpahkan rizki, kesehatan, dan Rahmat-Nya untuk Bapak.
7. Kepada kedua orang tua Penulis. Terimaksi atas seluruh kasih sayang, doa, dan
dukungan yang diberikana kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaiaka
n skripsi dan pendidikan sampai perguruan tinggi
Kepada sahabat-sahabat Penulis, Meldi Harisman,Terimakasih atas kerjasamannya dalam
menyelesaikan skripsi.Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih jauh
dari kata sempurna. Karena itulah kepada berbagai pihak diharapkan kritik
yangmembangun demi penyempurnaan skripsi ini

9
ABSTRAK

Maraknya perdebatan para ahli hukum,tentang mahkmah agung yang menerima


peninjauan kembali yang di ajuhkan oleh jaksa penuntut umum terhadap joko tjandra,
Indonesia sebagai Negara Hukum harus berpedoman kepada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan
pengadilan yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak
dapat diterima.maka dari itu harus di lakukan revisi terhadap pasal yang berkaitan dengan
PK, agar tidak ada lagi penafsiran yang dapat merugikan terdakwa atau ahli warisnya.
mengenai peninjauan kembali oleh JPU sehingga menimbulkan perdebatan antara
pencarian keadilan dan tercapainya kepastian hukum.Dalam Putusan MK Nomor 33/PUU-
XIV/2016 telah menegaskan dengan jelas bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat
dilakukan oleh terpidana dan ahli warisnya.Putusan MK tersebut menguatkan Pasal 263
ayat (1) KUHAP merupakan norma yang sudah jelas dan limitatif mengatur para pihak
yang dapat mengajukan peninjauan kembali, yaitu terpidana atau ahli warisnya

10
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.............................................................................................................i
Halaman Judul................................................................................................................ii
Motto...............................................................................................................................iii
Halaman Pernyataan Orisinalitas Skripsi........................................................................iv
Halaman Persetujuan Skripsi..........................................................................................v
Halaman Pengasahan Tim Penguji Skripsi.....................................................................vi
Halaman Pernyataan Persetujuan Pemberian Izin
Publikasi Skripsi Untuk Kepentingan Akademis............................................................vii
Kata Pengantar
Abstrak
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................2
C. Tujuan dan Manfaat...................................................................................................3
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................................4
E. Kerangka konseptual
F. Metode Penelitian.......................................................................................................6
G. Sistematika.................................................................................................................7

BAB II TINJAUAN PUTAKA.......................................................................................


A. Pengertian Jaksa Penuntut Umum .............................................................................9
B. Kedudukan Tugas Dan Fungsi Jaksa Penuntut Umum..............................................10
C. Kewenangan Kejaksaan/ Penuntut Umum.................................................................11
D. Syarat Peninjauan Kembali........................................................................................12
E. Kedudukan Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi...............................................13

BAB III KEWENANGAN PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN


PENINJAUAN KEMBALI (PK) TERHADAP PERKARA PIDANA(STUDI
PUTUSAN MK NOMOR 33/PUU-XIV/2016)............................................................14
Perkembangan Kewenangan Penuntut Umum Dalam Mengajukan Peninjauan
Kembali...........................................................................................................................15
A. Kewenangan Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali dalam KUHAP
(Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)..........................................................16
B. Kewenangan Penuntut Umum dalam Pengajuan Peninjauan Kembali dalam beberapa
Putusan.......................................................................................................................17

11
Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 terkait kewenangan
Penuntut Umum dalam pengajuan Peninjauan Kembali.........................................18
A. Petimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016

BAB IV Kewenangan Penuntut Umum Dalam Pandangan Islam..................................19


A. Perkara Pidana Menurut Islam...................................................................................20
B. Penuntut Umum Dalam Perkara pidana Dari Sudut Pandangan Islam....................21
C. Penganjuan Peninjauan Kembali (PK) Dari Sudut Pandangan Islam......................22
D. Studi Kasus Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 Dari Sudut Pandangan
Islam.........................................................................................................................23

BAB V PENUTUP.........................................................................................................24
A. Kesimpulan..............................................................................................................25
B. Saran........................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................27

12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Ide

negara hukum sendiri selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’,

juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan

‘cratos’. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Jadi yang

dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma

atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum

atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.Dalam paham negara hukum yang

demikian, harus diadakan jaminan bahwa hukum dibangun dan ditegakkan menurut

prinsip-prinsip demokrasi.Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum

pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat.Oleh sebab itu, prinsip negara hukum

hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau

kedaulatan rakyat (democratische rechtstaat).1

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara Hukum berdasarkan

pancasila. Dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 berbunyi Negara Indonesia adalah Negara

hukum sehingga penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak

dalam mencapai tujuan nasional, yaitu mewujudkan tata kehidupan berbangsa,

bernegara dan bermasyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam

pancasila sebagai landasan filosofis yang sampai saat ini terus diupayakan untuk
1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014),
hal. 70.

13
diwujudkan, untuk itu dalam mewujudkan tujuan penegakan hukum tentunya

diperlukan jaminan kepastian hukum dalam melindungi kepentingan masyarakat.

Maka salah satu bentuk penegakan hukum tersebut, pemerintah membentuk perangkat

penegak hukum dengan salah satu upaya tersebut telah dibentuknya lembaga

kejaksaan Republik Indonesia.

Indonesia sebagai Negara Hukum harus berpedoman kepada Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 dalam membuat peraturan perundang-undangannya.Salah

satu peraturan perundang-undangan tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dimana,

undang-undang ini mengatur tentang tata cara pelaksanaan hukum pidana formil

sehingga tidak terjadi tindakan sewenang-wenang dari negara terhadap warga negara,

sehingga apa yang menjadi tujuan negara hukum dapat tercapai.2

Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki lembaga Kejaksaan yang memiliki

fungsi sebagai institusi tertinggi terhadap penuntutan di bidang hukum yang berperan

utama dalam mewujudkan keadilan dan penegakan supremasi hukum bagi seluruh

bangsa dinegeri ini.Sebagai institusi pemerintahan yang melakukan kewenangan

Negara dibidang prapenuntutan dan penuntutan, serta sebagai institusi yang memiliki

wewenang dalam penegakan hukum dan keadilan, peran kejaksaan sebagai garda

terdepan penegakan hukum demikian penting dan strategis. 3Sebagai institusi peradilan

kewenangan jaksa langsung dirasakan oleh masyarakat, oleh karena itu sebagai salah

2
Rifdah Juniarti Hasmi, “Kewenangan Jaksa mengajukan Peninjaun Kembali terhadap Putusan
yang telah memperoleh Kekuatan Hukum Tetap dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal JOM Fakultas
Hukum, Edisi No. 1, Vol. III, (2016), hal. 2.
3
Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 127.

14
satu ujung tombak, dalam penegakan hukum, peran jaksa diharapkan menjujung tinggi

nilai-nilai keadilan.

Kebijakan hukum pidana saat ini (ius constitutum) mengatur para pihak yang dapat

mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana ialah terpidana atau ahli warisnya

sebagaimana diatur dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Pasal 263 ayat (1)

KUHAP menentukan: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana

atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada

Mahkamah Agung”. Upaya hukum luar biasa bertujuan menemukan keadilan dan

kebenaran materiil.Keadilan tidak dapat dibatasi waktu atau ketentuan formalitas

untuk pengajuan upaya hukum luar biasa, seperti PK, karena sangat dimungkinkan

adanya novum yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum

ditemukan.4

Para pencari keadilan (justiciabelen) sangat mendambakan perkara yang diajukan

ke pengadilan dapat diputus oleh hakim yang profesional dan memiliki integritas

moral tinggi sehingga dapat melahirkan putusan yang tidak saja mengandung aspek

kepastian hukum (keadilan prosedural), tetapi juga berdimensikan legal justice, moral

justice, dan social justice mengingat keadilan itulah menjadi tujuan utama yang

hendak dicapai dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.5

4
Mahkamah Konstitusi, “Meniti Keadilan dalam Pengajuan PK Lebih dari Satu Kali”, Jurnal
Konstitusi, Edisi No. 86 April, (2014), hal. 6
5
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan
Berkeadilan, (Yogyakarta:UII Press, 2009),hal. 6.

15
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 263 ayat (1)

disebutkan bahwa untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan, dibuka

kemungkinan upaya hukum bagi terpidana, yaitu perkara yang sudah diputus oleh

pengadilan dan putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap yaitu melalui

Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung. Dalam praktik hukum

perumusan Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah

menimbulkan polemik dan pendapat yang kontroversial di kalangan praktisi,

akademisi dan pejabat penegak hukum.Sebagian di antara mereka menyatakan bahwa

yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali (PK) hanyalah terpidana atau ahli

warisnya.6

Terminologi PK terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

dalam hukum positif di Indonesia mulai dikenal sejak Negara Indonesia merdeka,

yaitu dalam undang-undang, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) serta Surat Edaran

Mahkamah Agung RI (SEMA). PK sebagai upaya hukum luar biasa berkolerasi

dengan prinsip kepastian hukum mengingat tanpa kepastian hukum akan menimbulkan

ketidakpastian dalam proses penyelesaiannya.

Peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan pengadilan yang

merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diterima

mengingat di dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP menentukan yang berhak mengajukan

peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya. Namun berbeda halnya apabila

pengajuan Peninjaun Kembali tersebut diajukan oleh penuntut umum.Terdapat

beberapa putusan Mahkamah Agung yang mengadili peninjauan kembali (PK)


6
Yayang Susila Sakti, “Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum: Antara Kepastian dan
Keadilan”, Jurnal Arena Hukum, Edisi No. 1, Vol 7, (2014), hal. 69.

16
terhadap perkara pidana dilakukan oleh penuntut umum, hal ini menjadi perbedaan

penafsiran mengenai peninjauan kembali oleh JPU sehingga menimbulkan perdebatan

antara pencarian keadilan dan tercapainya kepastian hukum.Dalam Putusan MK

Nomor 33/PUU-XIV/2016 telah menegaskan dengan jelas bahwa Peninjauan Kembali

hanya dapat dilakukan oleh terpidana dan ahli warisnya.Putusan MK tersebut

menguatkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP merupakan norma yang sudah jelas dan

limitatif mengatur para pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali, yaitu

terpidana atau ahli warisnya.

Dalam putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 penggugat merupakan istri dari

terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana korupsi yang sebelumnya telah

didakwakan kepada terdakwa dalam putusan PN Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel,

putusan tersebut membebaskan terdakwa dari tuntutan jaksa dengan pertimbangan

hakim bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi bukan merupakan tindak

pidana serta Putusan Kasasi MA Nomor 1988K/Pid/2000 menguatkan putusan PN

sebelumnya. Sehingga saat putusan ini telah berkekuatan hukum tetap jaksa tetap

menggugat penggugat ke MA dengan jalur PK, Putusan PK tersebut menjadikan

putusan yang sebelumnya telah berkekuatan hukum tetap yang menjadikan terdakwa

bebas kini kembali didakwa dan dijatuhi hukuman 2 tahun penjara oleh MA.

Mengingat keberadaannya sebagai lembaga yang dibentuk untukmengawal

konstitusi agar dilaksanakan oleh ketentuan di bawahnya, MK (Mahkamah

Konstitusi)adalah lembaga yang menyelenggarakan peradilan konstitusi

sehinggasering disebut sebagai Pengadilan Konstitusi (constitutional court). Hal

itujuga tercermin dari dua hal lain. Pertama, perkara-perkara yang menjadiwewenang

17
Mahkamah Konstitusi adalah perkara-perkara konstitusional, yaitu perkara

yangmenyangkut konsistensi pelaksanaan norma-norma konstitusi.Kedua,sebagai

konsekuensinya, dasar utama yang digunakan oleh MK dalammemeriksa, mengadili,

dan memutus perkara adalah konstitusi itu sendiri.

Fungsi MK sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of the human

rights) merupakan konsekuensi dari keberadaan HAM sebagai materi muatan

konstitusi.Adanya jaminan hak asasi dalam konstitusi menjadikan negara memiliki

kewajiban hukum yang konstitusional untuk melindungi, menghormati, dan

memajukan hak-hak tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-

undang dapat dilihat sebagai upaya melindungi HAM yang dijamin UUD 1945 agar

tidak dilanggar oleh ketentuan undang-undang.7

Dalam Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016, MK menafsirkan bahwa sepanjang

Pasal 263 ayat (1) dimaknai berbeda dari apa yang telah ditetapkan dalam Pasal

tersebut maka hal tersebut adalah melanggar UUD 1945 serta tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat. Hal ini menjadikan peninjauan kembali yang dilakukan

oleh penuntut umum seharusnya diartikan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat, sehingga penuntut umum seharusnya tidak mengajukan peninjauan kembali

terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.Putusan ini memberikan

petunjuk dan pedoman dalam hal pengajuan peninjauan kembali terhadap perkara

pidana oleh penuntut umum, di karenakan putusan MK merupakan putusan final dan

binding.

7
Janedjri M. Gaffar, Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia
terkait Penyelenggaraan Pemilu”, Jurnal Konstitusi, Edisi No. 1, Vol. 10, (2013), hal. 14.

18
Berdasarkan uaraian diatas, penulis tertarik untuk menganalisis mengenai

“Kewenangan Penuntut Umum dalam Pengajuan Tinjauan Kembali (PK)

terhadap Perkara Pidana (Studi Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016)”.

Putusan MK ini memberikan kekuatan hukum Pada 263 ayat (1) bahwa pasal tersebut

tidak bisa di artikan atau diinterpretasikan dengan arti lain selain dengan apa yang

dimaksud dalam pasal tersbut. Namun banyak putusan MA masih belum

mengindahkan ketentuan Pasal tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan kewenangan penuntut umum dalam mengajukan

Peninjauan Kembali

2. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016terkait

kewenangan penuntut umum dalam penagajuan peninjauan kembali

3. Bagaimana pandangan Islam terhadap kewenangan penuntut umum dalam

mengajukan Peninjauan Kembali ?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan menelaah judul penulisan hukum diatas, maka dapat kiranya diketahui apa

yang menjadi tujuan yang hendak dicapai. Tujuan dari penelitian ini adalah :

19
1. Untuk mengetahui perkembangan kewenangan penuntut umum dalam mengajukan

Peninjauan Kembali.

2. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016

terkait kewenangan penuntut umum dalam pengajuan peninjauan kembali

3. Untuk mengetahui pandangan Islam terhadap kewenangan penuntut umum dalam

mengajukan Peninjauan Kembali.

Manfaat yang diperoleh dari penulisan ini adalah :

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan

tambahan ilmu dalam pengembangan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa

fakultas hukum khususnya mengenai dasar hukum kewenangan Penuntut

Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali.

2. Manfaat Praktis

Sebagai sumbangsi pemikiran yang dapat menambah wawasan kita sebagai

mahasiswa fakultas hukum, mengenai kewenangan Penuntut Umum dalam

mengajukan Peninjauan Kembali.

C. Kerangka Konseptual

1. Perkembangan

Perkembangan adalah perubahan kecakapan, kematangan fisik, emosi dan

pikiran menuju dewasa. Pertumbuhan manusia akan berhenti saat dewasa,

namun perkembangan emosi dan pikiran manusia akan terus berkembang.

2. Kewenangan

20
Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasan yang

berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif dari

kekuasaan eksekutif atau administratif.8

3. Penuntut Umum

Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini9

untuk melakukan penuntutandan melaksanakan penetapan hakim.10

4. Peninjauan Kembali

Peninjauan Kembali adalah upaya hukum dalam acara pidana dengan tujuan

mencari kebenaran materiil, dimana hakim sebelum mengambil keputusan

harus betul-betul memperhatikan pembuktian dalam sidang sebelumnya dan

pembuktian yang baru dihadapkan dalam persidangan.11

5. Putusan

Putusan pada dasarnya merupakan proses ilmiah dengan Majelis Hakim

sebagai poros utamanya. Pertimbangan hukum berisi analisis, argumentasi,

pendapat atau kesimpulan hukum dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara.

6. Mahkamah konstitusi

Mahkamah konstitusi adalahmerupakan salah satu lembaga negara pelaku

kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

8
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi & Implikasinya Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, cet. 1. (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 210.
9
Pasal 6 Ayat 1 berbunyi: Jaksa adalah pejabat yan diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, LN
Tahun 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209, Pasal 1 angka 6 huruf (a).
10
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8
Tahun 1981, LN Tahun 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209, Pasal 1 angka 6 huruf (b).
11
Adi Harsanto. dkk, “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca Putusan
Mahkamah Konstitus”, e Jurnal Katalogis, Edisi No. 3, Vol. 5, (2017), hal. 5.

21
D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan penulisan ini

adalah penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian yang biasa disebut dengan

pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)12dan pendekatan secara

putusan (a decisional approach)penelitian terhadap bahan pustaka atau

menggunakan data sekunder yang didalamnya mencakup bahan hukum primer,

sekunder dan tersier.13

2. Jenis data

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian

yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.14 Sumber data diperoleh

dari :

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni :

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KItab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana

3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016

b) Bahan Hukum sekunder

Adapun bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.Publikasi tentang hukum


12
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”,(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hal 136.
13
Soerjono Soekanto “Pengantar Penelitian Hukum” cet 3, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2014),
hal. 42.
14
Ibid, hal 12

22
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan

komentar-komentar atas putusan Pengadilan.15

c) Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadapbahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Dalam hal ini, yang digunakan oleh penulis adalah berupa kamus dan

berbagai sumber dari situs internet.

3. Metode Pengumpulan Data

Pada peneltian ini, alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori dari

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan. Data yang

telah diperoleh kemudian digunakan sebagai alat untuk menganalisa

kewenangan Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali terhadap

Perkara Pidana

4. Analisis data

Dalam penyajian analisis data penulis akan menggunakan data kualitatif yaitu

informasi yang berbentuk kata-kata dengan kalimat yang jelas dan mudah

dimengerti serta dipahami, dan pendekatan penelitian kasus yang dilakukan

dengan cara melakukan analisis terhadap kasus yang berkaitan dengan masalah

yang dihadapi yang telah berkekuatan hukum tetap.

E. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ed. Revisi, cet. 12, (Jakarta: PrenadaMedia Group,
2016), hal. 181.

23
Dalam bab ini penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan,

dalam garis besarnya penulisan hukum dituangkan ke dalam 6

(enam) sub bab yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab II ini penulis akanmemberikan uraian secara garis

besarmengenai pengertian Penuntut Umum, Peninjauan Kembali,

kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi,dasar hukum hak

menguji materil Mahkamah Konstitusi, Putusan Final Mahkamah

Konstitusi sebagai (the Protector of the Human Rights)

dankedudukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB III PEMBAHASAN

Dalam bab III ini penulis akan menjelaskan tentang uraian jawaban

atas rumusan masalah, yaitu Kewenangan Penuntut Umum dalam

mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Perkara Pidana.

BAB IV PEMBAHASAN DALAM PANDANGAN ISLAM

Bab ini akan menjelaskan tentang Kewenangan Penuntut umum

dalam mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Perkara Pidana di

Indonesia dari sudut pandang islam.

BAB V PENUTUP

Dalam bab V ini penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan

yang sekaligus sebagai jawaban permasalahan yang dikemukakan

24
dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya, penulis akan memberikan

saran sebagai jalan keluar terhadap kelemahan-kelemahan yang

telah ditemukan.

25
BAB II

TINAJUAN PUSTAKA

A. Pengertian Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan

bahwa:16

a) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk

bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b) Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewewnang oleh Undang-Undang ini

untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.

Berdasarkan bunyi Pasal tersebut, seorang Jaksa belum tentu sebagai Penuntut Umum,

sedangkan seorang Penuntut Umum pastilah seorang Jaksa. Jaksa melaksanakan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, misalnya dalam hal

putusan pemidanaan kepada terpidana. Sedangkan Penuntut Umum, sebagai aparat

Kejaksaan yang melaksanakan penetapan. Misalnya Penetapan dalam perkara

Praperadilan; Penetapan Pengadilan Negeri yang memerintahkan terdakwa dikeluarkan

daritahanan.17

Di Indonesia dikenal 2 (dua) asas penuntutan yaitu asas Legalitas dan asas

Opportunitas, dalam asas Opportunitas yang dapat melaksanakan asas tersebut Jaksa
16
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 1 angka 6.
17
Didik Endro Purwoleksono, Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Airlangga University Press, 2015),
hal. 91.

26
Agung dan tidak kepada setiap Jaksa selaku Penuntut Umum dikarenakan kedudukan

Jaksa Agung merupakan Penuntut Umum tertinggi. 18 Pengertian dari kedua asas tersebut

sebagai berikut:

a. Asas Legalitas, yaitu Penuntut Umum diwajibkan melakukan penuntutan terhadap

setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana dimana tindakan tersebut disengaja

maupun tidak tetap harus menjalankan hukuman. Asas ini adalah suatu perwujudan

dari asas Equality Before the Law.

b. Asas Opportunitas, yaitu Jaksa selaku Penuntut Umum tidak diwajibkan melakukan

penuntutan terhadap seseorang meskipun seseorang telah melakukan tindak pidana

yang dapat diproses secara hukum.19

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa asas pertama Penuntut

Umum sebagai penuntut memiliki kewajiban untuk menuntut pelaku tindak pidana dengan

hukum yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan asas yang kedua

yaitu Penuntut Umum tiak akan menuntut seseorang walaupun seseorang tersebut telah

melakukan tindak pidana yang dapat diproses secara hukum dengan mempertimbangkan

kepentingan umum.

Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga yang diberi mandat untuk

melaksanakan kekuasaan Negara dalam bidang penuntutan yang dilaksanakan oleh

Penuntut Umum yang bila ditafsirkan secara etimologis berasal dari kata”prosecution”

yang berasal dari bahasa latin, prosecutes, yang terdiri dari kata “pro” (sebelum) dan
18
Indonesia, Undang-Undang Kejaksaaan Republik Indonesia, UU Nomor 16 Tahun 2004, Pasal
35 huruf c.
19
Hadari Djenawi Tahir, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 37.

27
“sequi” (mengikuti). Mengacu pada kata “Penuntut Umum” secara etimologis dan

dikaitkan dengan peran Kejaksaan dalam suatu system peradilan pidan, maka Kejaksaan

seharusnya dipandang sebagai Dominus Litis (procuruer die de procesvoering vatselat)

yaitu pengendali proses perkara dari tahapan awal Penyidikan sampai dengan pelaksanaan

proses eksekusi pelaksanaan suatu putusan.20

Dalam penjelasan umum Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia, antara lain dinyatakan bahwa diberlakukannya Undang-Undang ini

adalah untuk pembaharuan Kejaksaan, agar kedudukan dan perannya sebagai lembaga

pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan Negara di bidang

penuntutan, yang bebas dari pengaruh kekusasaan pihak manapun.

Dalam pengertian lain, Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya, hendaknya merdeka

dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan lainnya dalam

upayanya mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran

dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan, serta wajib

menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat.21

B. Kedudukan Tugas Dan Fungsi Jaksa Penuntut Umum

Berbicara kekuasaan kehakiman maka kita juga menyinggung seluruh elemen yang

ada di dalamnya. Salah satunya adalah Jaksa, seperti yang terdapat dalam Undang-Undang

20
Farid Achmad, “Urgensi Penguatan Peran Penuntut Umum Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, vol.7, No. 1, Januari-Juni 2019, hal. 2
21
Ardilafiza, “Independensi Kejaksaan Sebagai Pelaksana Kekuasaan Penuntutan Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, vol.3, No. 2, November 2010, hal. 75-103.

28
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menyataan bahwa Kejaksaan Republik

Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.22

Pelaksanaan kekuasaan Negara dalam Undang-Undang dapat dilaksanakan secara

merdeka tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004 bahwa “Kejaksaan

adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang

penegakan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan

yang ditetapkan oleh pemerintah”.23

Sebagai alat kekuasaan dari pemerintah, Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat

dipisah-pisahkan sehingga dalam tugas pekerjaan para pejabat kejaksaan diharuskan

mengindahkan hubungan hierarkis (hubungan atasan dan bawahan di lingkungan

pekerjaan).

Kekuasaan Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan

Kejaksaan Negeri, serta di dalam menyelesaikan suatu perkara pidana harus

memperhatikan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan dan kesusilaan.

Dalam rangka memantapkan kedudukan dan peranan Kejaksaan sesuai dengan system

pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, maka ditegaskan bahwa

kedudukan Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan Negara

terutama di bidang penuntutan di lingkungan Peradilan Umum, dan untuk lebi

22
Indonesia, Op.cit., lihat pada pertimbangan huruf b.
23
Indonesia, ibid., Pasal 2 ayat (2).

29
mengembangkan profesionalisme Jaksa, maka Jaksa ditetapkan sebagai pejabat

fungsional.24

Dalam melaksanakan jabatan fungsional di bidang penuntutan, Jaksa bertindak sebagai

wakil Negara, dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah serta demi keadilan dan

kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, juga tetap memperhatikan

kepengtingan masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu pelaksanaan penuntutan harus

berdasarkan hukum dan senantiasa mengindahkan rasa keadlian yang hidup dalam

masyarakat dengan memperhatikan kebijakan pemerintah dalam penanganan perkara

pidana.

Kedudukan Kejaksaan atau Penuntut Umum menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yaitu:

a) Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan

daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia;

b) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah hukumnya

meliputi wilayah Provinsi;

c) Kejaksaan Negeri berkedudukan di Kabupatan/Kota yang daerah hukumnya

meliputi daerah Kabupaten/Kota.

C. Kewenangan Kejaksaan/Penuntut Umum

Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertugas memimpin dan melakukan

pengawasan terhadap para Jaksa dalam melakukan pekerjaannya. Dalam pelaksanaan


24
Sudarsono, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan Peradilan Tata Usaha Negara, cet. Ke-1
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 462.

30
tugas dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung, dan

beberapa orang Jaksa Agung Muda.25

Sebagai Penuntut Umum tertinggi, Jaksa Agung mempunyai wewenang untuk

mendeponir perkara pidana berdasarkan kepentingan umum. Dan wewenang ini hanya

dimiliki oleh Jaksa Agung untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.Asas Dominus

litis yang menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang bethak melakukan penuntutan

selain Jaksa Penuntut Umum yang bersifat absolute dan memonopoli penuntutan dan

penyelesaian perkara pidan, Hakim sekalipun tidak bisa meminta supaya perkara pidana

yang diajukan kepadanya, hakim dalam penyelasian perkara hanya bersifat pasif dan

menunggu tuntutan dari Penuntut Umum.26

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia, terkait dengan tugas dan wewenang Kejaksaan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebutkan dalam Undang-undang ini

adalah:

a. Lembaga Pemerintah Yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan

serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang;

b. Kekuasaan Negara tersebut dilaksanakan secara merdeka;

c. Kejaksaan tersebut adalah satu dan tidak bisa dipisahkan;

d. Pelaksanaan kekuasaan Negara, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung,

Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.


25
Suryono Sutarto, Sari Hukum Acara Pidana I, (Semarang: Yayasan Cendekia Purna Dharma),
hal. 68-70.
26
Hari Sasongko, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, (Surabaya: Dharma Surya
Berlian, 1996) hal. 26.

31
2. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidan bersyarat, putusan

pidan pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-

Undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakanakan pemeriksaan

tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya

dikoordinasikan dengan Penyidik.

3. Di bidang perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat

bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau

Pemerintah.

4. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan

kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. Pengawasan pereedaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agam;

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistic criminal.

5. Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang

32
a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam

ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan ;

b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang;

c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;

d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam

Perkara Pidana, Perdata dan Tata Usaha Negara;

e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam

pemeriksaan kasasi perkara pidana;

f. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wikayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai

dengan peratueran perundang-undangan.

Selaku lembaga yang menjalankan “fungsi” penuntutan, maka berdasarkan ketentuan

Pasal 14 KUHAP Penuntut Umum mempunyai wewenang sebagai berikut:

1. Menerima dan memriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik

pembantu;

2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuranga pada penyidikan dengan

memerhatika ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberi petunjuk

dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

3. Memberikan perpanjangan penahanan, melkaukan penahanan atau penahanan

lanjutan, dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan ke

pengadilan;

4. Membuat surat dakwaan;

5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

33
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu

perkara disidangkann yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun

kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

7. Melakukan penuntutan;

8. Menutup perkara demi kepentinngan hukum;

9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawab sebagai

Penuntut Umum menurut ketentuan Undang-Undang ini. Tindakan lain yang

dimaksud adalah anatara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan

memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara Penyidik, Penuntut

Umum dan Pengadilan;

10. Melaksanakan Penetapan Hakim.

Secara normatif, KUHAP membedakan upaya hukum menjadi 2 (dua) macam,

pertama upaya hukum biasa yaitu Banding hingga Kasasi sebagaimana diatur dalam Bab

XVII Pasal 233 KUHAP sampai dengan Pasal 258 KUHAP. Kedua, Upaya hukum luar

biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK) yang diatur dalam Pasal 263 KUHAP samapi dengan

Pasal 269 KUHAP.Menurut Soenarto Soerodibroto, Herziening adalah Peninjauan

Kembali (PK) terhadap keputusan-keputusan pidana yang telah memperoleh kekuatan

hukum pasti yang bebrisikan pemidanaan, dimana tidak dapat diterapkan terhadap

keputusan dimana tertuduh telah dibebaskan (vrijgerproken). Defiinisi lain dikemukakan

oleh Andi Hamzah dan Irdan Dahlan bahwa Peninjauan Kembali (PK) yaitu hak terpidana

untuk meminta memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai

akibat kekeliruan atau kelalaian Hakim dalam menjatuhkan putusannya.27


27
Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum dalam Perkara Pidana bagi
Korban Kejahatan, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 17.

34
Uapaya hukum Peninjauan Kembali pada prinsipnya merupakan upaya hukum luar

biasa (extraordinary remedy) terhadap putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap (inkracht van gewisjde). Uapaya hukum Peninjauan Kembali bertujuan untuk

memberikan keadilan hukum, dan bisa diajukan oleh pihak yang berperkara baik untuk

perkara pidana maupun perkara perdata. Peninjauan Kembali merupakan hak terpidana

selama menjalani masa pidana di dalam Lembaga Permasyarakatan.28

Alasan Peninjauan Kembali dikategorikan sebagai upaya hukum luar biasa karena

mempunyai keistimewaan, artinya dapat digunakan untuk membuka kembali

(mengungkap) suatu keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sedangkan suatu putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, harus

dilaksanakan untuk menghormati kepastian hukum. Dengan demikian, lembaga

Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik

kembali atau menolak putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.29

D. Syarat Peninjauan Kembali

Berbeda dengan uapaya hukum biasa, maka permohonan untuk upaya hukum luar

biasa memiliki syarat tertentu, yaitu:30

28
Shanti dwi Kartika, “Peninjauan Kembali Lebih Dari Satu Kali, Antara Keadilan dan Kepastian
Hukum”, Buletin Info Hukum Singkat Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekrteariat
Jenderal DPR RI, vol. 6, No. 6, Maret 2014, hal. 3.
29
Tim Pengkkaji Pusat Litbang, Problematika Penerimaan Peninjauan Kembali dan Grasi dalam
Penegakan Hukum, (Jakarta: Puslitbang Kejagung RI, 2006), hal. 8. Dalam Ristu Darmawan, Upaya Hukum
Luar Biasa Peninjaua Kembali Terhadap Putusan Bebas Dalam Putusan Pidana, Naskah Tesis Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), hal. 22.
30
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali, Edisi ke 2, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000), hal.
586.

35
a. Dapat diajukan dan ditujukan terhadap putusan Pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap;

b. Dapat ditujukan dan diajukan dalam keadaan tertentu, tidak dapat diajukan untuk

semua putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Harus ada dan

terdapat keadaan-keadaan tertentu sebagai syarat;

c. Dapat diajukan kepada Mahkamah Agung, dan diperiksa serta diputus oleh

Mahkamah Agung sebagai instansi pertama dan terakhir.

Sedangkan syarat materiil untuk dapat mengajukan Penuinjaun Kembali diatur dalam

Pasal 263 ayat (2) KHAP, yaitu permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar:

a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika

keadaan itu sudah diketahui pada waktu siding masih berlangsung, hasilnya akan

berupa putussn bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukumatau tuntutan

Penuntut Umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan

ketentuan pidan yang lebih ringan;

b. Apabila dalam berbagai putusan terdapat peprnayaan bahwa sesuatu telah terbukti,

akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan

telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau

suatu kekeliruan yang nyata.

Sementara ketentuan yang mengatur tentang permintaan Penunjauan Kembali diatur

dalam Pasal 268 ayat(1), (2) dan (3) KUHAP, yaitu

1) Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun

mengehentikan pelaksanaan dari putusan tersebut;

36
2) Apabila suatu permintaan Peninjauan Kembali sudah diterima oleh Mahkamah

Agung dan sementara itu Pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau

tidaknya Peninjauan Kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya;

3) Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali

saja.

E. Kedudukan Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga Negara yang

melakukan kekusaaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan Pengadilan

guna menegakkan hukum dan keadilan.Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

mempunyai 4 kewenangan dan 1 kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Dasar 1945, yaitu:

1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Memutus pembubaran partai politik, dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

5. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment).

Berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2005, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan

tambahan Memutus perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota selama

belum terbentuk peradilan khusus.Visi dari Mahkamah Konstitusi adalah “Mengawal

37
Tegaknya Konstitusi Melalui Peradilan Modern dan Terpercaya”. Sedangkan Misi yang

dimilkinya adalah “Membangun Sistem Peradilan Konstitusi yang MAmpu Mendukung

Penegakan Konstitusi dan Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Mengenai Hak

Konstitusional Warga Negara”.

38
BAB III

Kewenangan Penuntut Umum dalam Pengajuan Peninjauan Kembali (PK)

terhadap Perkara Pidana

(Studi Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016)

1. Perkembangan Kewenangan Penuntut Umum Dalam Mengajukan Peninjauan

Kembali

A. Kewenangan Penuntut Umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali dalam

KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)

Peraturan perundang-undangan di Indonesia dan di berbagai belahan dunia

dibentuk dengan tujuan memberikan kepastian bagi seluruh dan bagi setiap pengemban

hak dan kewajiban. Serta untuk tercapainya ketertiban di dalam suatu negara yang

berlandaskan pada prinsip kepastian hukum. Kepastian hukum yang tidak dapat

dipisahkan dari norma hukum yang tertulis dan dijadikan sebagai pedoman bagi setiap

orang. Kepastian hukum pula memberikan kejelasan bahwa hal-hal apa saja yang

diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan menurut hukum dalam setiap peraturan

perundang-undangan.31

Sebagaimana diketahui bersama fungsi hukum acara pidana adalah untuk mencari

dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran yang selengkaplengkapnya

dari suatu perkara tindak pidana sehingga penerapan hukum pidana dapat dengan tepat dan

jujur kepada seorang atau kelompok yang melakukan perbuatan pidana itu, 32 lebih tegas
31
Adi Harsanto, dkk, “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Kartalogis, Vol. 5 No. 3, 2017, hal. 1.
32
Daliyo, Pengantar hukum Indonesia, Jakarta: Prehallindo, 2001, hal. 221.

39
lagi Van Bemellen menyatakan fungsi hukum acara pidana adalah untuk mencari

kebenaran, pemberian kepastian oleh hakim, dan pelaksanaan putusan.33 Secara garis besar

pemberian kepastian hukum menjadi tumpuan utama dalam pelaksanaan hukum acara

pidana itu sendiri, sehingga keputusan hakim yang akan diambil merupakan keputusan

yang tepat yang kemudian akan dilakukan pelaksanaan (eksekusi) oleh jaksa sehingga

tercipta suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam

masyarakat.

Upaya hukum menurut hukum acara pidana dibedakan secara tegas dalam Bab

XVII Pasal 233 KUHAP sampai dengan Pasal 258 KUHAP yang mengatur tentang upaya

hukum biasa dan Bab XVIII Pasal 259 KUHAP sampai dengan Pasal 269 KUHAP

mengatur tentang upaya hukum luar biasa. Peninjauan kembali dalam KUHAP merupakah

salah satu upaya hukum luar biasa yang diatur dalam Pasal 263 KUHAP sampai dengan

Pasal 269 KUHAP sedangkan upaya hukum luar biasa yang lain adalah kasasi demi

kepentingan hukum yang diatur dalam Pasal 259 KUHAP sampai dengan Pasal 262

KUHAP.34 Di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengatur “Terhadap putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Artinya putusan pengadilan yang bukan

putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum dapat diajukan permohonan PK oleh

terpidana atau ahliwarisnya, sedang putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum tidak

33
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal 8-9
34
Sri Ayu Astuti dan Yenny Nuraeni, “Kewenangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam
Melakukan Upaya Hukum Luar Biasa (Peninjauan Kembali) Ditinjau dari Hukum Pidana (Studi Kasus
Djoko Chandra), Pakuan Justice Journal Of Law (PAJOUL), Vol. 2 No. 2, 2020, hal. 61.

40
dengan tegas ditentukan atau tidak diatur, dengan kata lain tidak ada larangan untuk

dimintakan PK oleh JPU.

Peninjauan Kembali dikategorikan sebagai upaya hukum luar biasa karena

mempunyai keistimewaan, artinya dapat digunakan untuk membuka kembali

(mengungkap) suatu keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sedangkan suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, harus

dilaksanakan untuk menghormati kepastian hukum. Dengan demikian, lembaga

Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik

kembali atau menolak putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.35

Berbeda dengan upaya hukum biasa, maka permohonan terhadap upaya hukum

luar biasa memiliki syarat tertentu, yaitu: 1. Dapat diajukan dan ditujukan terhadap

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; 2. Dapat ditujukan dan diajukan

dalam keadaan tertentu, tidak dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap. Harus ada dan terdapat keadaan–keadaan tertentu sebagai

syarat; dan 3. Dapat diajukan kepada Mahkamah Agung, dan diperiksa serta diputus oleh

Mahkamah Agung sebagai instansi pertama dan terakhir.36

Sedangkan syarat materiil untuk dapat mengajukan Peninjauan Kembali diatur

dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu, Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas

dasar: a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika

keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa

putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum

35
Adi Harsanto, dkk, “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca…,Op. cit.,
hal. 4-5
36
Ibid.

41
tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih

ringan; b. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah

terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan

telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; dan c. Apabila

putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan

yang nyata.37

Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki lembaga Kejaksaan yang memiliki

fungsi sebagai institusi tertinggi terhadap penuntutan di bidang hukum yang berperan

utama dalam mewujudkan keadilan dan penegakan supremasi hukum bagi seluruh bangsa

dinegeri ini. Sebagai institusi pemerintahan yang melakakan kewenangan Negara dibidang

prapenuntutan dan penuntutan, serta sebagai institusi yang memiliki wewenang dalam

penegakan hukum dan keadilan, peran kejaksaan sebagai gardu terdepan penegakan

hukum demikian penting dan strategis.38 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan (UU Kejaksaan), menurut ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kejaksaan,

disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan

undang-undang.39

Peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum bukan saja atas dasar Pasal 263 ayat

(1), (2) dan (3) KUHAP dan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan malasah PK saja akan tetapi berlandaskan “asas legalitas” dan “asas

keseimbangan” serta nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
37
Ibid.
38
Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia (Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum),
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007, hal. 127.
39
Indonesia, uu kejaksaan pasal 2 ayat 1

42
Dimana kepastian hukum selalu berbenturan dengan keadilan oleh karena tujuan Jaksa

Penuntut Umum (JPU) untuk mewujudkan keadilan sesuai dengan tujuan dan cita Negara

Indonesia karena Indonesia merupakan Negara hukum sehingga keadilan, kemanfaatan

dan kepastian hukum bisa sejalan antara satu sama lain, bukan yang sebaliknya yang

saling bertentangan, walaupun antara keadilan dan kepastian hukum tidak sejalan akan

tetapi yang di utamakan adalah keadilan, karena keadilan merupakan segala-galanya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) berarti diterimanya Peninjauan Kembali yang

diajukan Jaksa Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung merupakan suatu peradilan

sesat.40

Peradilan sesat berasal dari frasa Rechterlijke Dwaling (belanda) yang dalam

bahasa Indonesia dapat diartikan dengan “kesesatan hakim”. Penggunaan kata “hakim”

sebagai pengganti kata rechterlijke dapat dimengerti sepenuhnuya karena peradilan identik

dengan hakim. Hakim sebagai pengendali proses peradilan, sehingga jika proses peradilan

yang dikendalikan oleh hakim yang memeriksa perkara dilakukan dengan salah jalan alias

sesat dan menghasilkan putusan yang merugikan orang yang akan diadili atau

menghasilkan putusan sesat maka dapat pula disebut “kesesatan hakim”. Menurut Adami

Chazawi, kesesatan peradilan tidak semata-mata karena tersesat fakta (feitelijke dwaling),

namun dapat juga kareana sesat dibidang hukum (dwaling omtrent het recht). 41 Jaksa

Penuntut Umum tidak berhak mengajukan Peninjauan Kembali karena itu merupakan hak

40
M. Jordan Pradana, “Tinjauan Yuridis Peninjauan Kembali yang Diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum Terhadap Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum”, PAMPAS: Journal Of Criminal, Vol. 1 No.
2, 2020, hal. 144.
41
Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta:
Sinar Grafika, 2011, hal. 131.

43
terpidana atau ahli warisnya, namun Jaksa selalu menang dalam mengajukan peninjauan

kembali dan itu merupakan suatu kesesatan dalam peradilan Indonesia.

Tumpuan Peninjauan Kembali adalah demi keadilan dan pengembalian hak-hak

terpidana yang telah dilanggar oleh Hakim. Hal-hal tersebut juga termuat dalam

pertimbangan lahirnya PERMA No. 1 Tahun 1969 tentang Peninjauan Kembali yang

dipertegas oleh PERMA No. 1 Tahun 1980 yang bersifat sementara. Menurut Andi

Hamzah, dalam Pasal 263 ayat (3) KUHAP menjelaskan terhadap suatu putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan PK

apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan

tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Dalam hal ini tujuan PK tersebut adalah untuk

merehabilitasi nama terdakwa.42

Namun dalam perkembangannya secara eksplisit Pasal 263 KUHAP tidak

memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan

kembali. Berdasarkan pasal tersebut, Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan

tidak dapat menerima upaya peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa penuntut umum

dengan mendasarkan pada nilai kepastian hukum, namun dalam putusannya yang lain

menyatakan dapat menerima peninjauan kembali dari jaksa penuntut umum dengan

mendasarkan pada nilai keadilan sehingga menyeimbangkan hak terpidana dengan

korban/negara yang diwakili oleh jaksa penuntut umum.43

42
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal.
306.
43
Budi Suhariyanto, “Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum (Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 PK/Pid/2009), Jurnal Yudisial, Vol. 8
No. 2, 2015, hal. 191.

44
Meskipun KUHAP telah berlaku lebih dari 30 tahun, namun berlakunya Pasal 263

KUHAP mengatur tentang upaya hukum luar biasa yang dinamakan peninjauan kembali,

dalam pelaksanaannya masih menimbulkan pendapat kontroversisial.44 . pro dan kontra

banyak terjadi dari berbagai sudut pandang ahli hukum. Dalam kenyataannya banyak

pakar, praktisi, dan pengamat hukum yang berpendapat bahwa yang dapat mengajukan PK

adalah terpidana dan ahli warisnya, sedangkan Jaksa Penuntut Umum yang mewakili

masyarakat, korban kejahatan, dan mewakili negara tidak berhak mengajukan PK. Secara

hukum formil jaksa penuntut umum tidak boleh mengajukan PK, akan tetapi atas dasar

keadilan dan keseimbangan jaksa penuntut umum seharusnya memiliki hak yang sama

seperti terpidana atau ahli warisnya.

B. Kewenangan Penuntut Umum dalam Pengajuan Peninjauan Kembali dalam

beberapa Putusan

Pada tanggal 25 Oktober 1996 lahir putusan bersejarah dengan nomor perkara

No.55 PK/Pid/1996 yang mana peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum diterima

oleh Mahkamah agung. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan mengajukan

permohonan peninjauan kembali dalam kapasitasnya mewakili negara dan kepentingan

umum dalam proses penyelesaian perkara pidana dengan terdakwa Muchtar Pakpahan.

Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan PK berpendapat adanya kekeliruan dan

kekhilafan dari Majelis Hakim dalam menetapkan putusan, maka demi keadilan tentunya

tidak salah apabila putusan tersebut diajukan permohonan untuk ditinjau kembali.

Kejaksaan berpendapat bahwa keadilan itu diperuntukkan bagi seluruh masyarakat

44
Yading Ariyanto, “Hak Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali Dalam Perspektif
Keadilan Hukum Di Indonesia”, Artikel Program Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, 2013, hal. 8

45
Indonesia, dengan demikian Jaksa PenuntutUmum berkewajiban menegakkan keadilan

apabila masyarakat dirugikan sebagai pihak yang mewakili kepentingan Negara.45

Secara positivis, Pasal 263 KUHAP hanya menyebutkan dua pihak saja yang dapat

mengajukan permohonan PK ke Mahkamah Agung yaitu terpidana atau ahli warisnya.

Selain dari keduanya tidak berwenang mengajukan PK, termasuk JPU. Jika terdapat

pengajuan PK dari JPU maka harus dinyatakan tidak dapat diterima. Hal inilah yang

dijadikan acuan dasar oleh Mahkamah Agung melalui salah satu putusannya Nomor 84

PK/Pid/2006 untuk memutuskan tidak dapat menerima PK yang diajukan oleh JPU.46

Majelis hakim PK dalam Putusan Nomor 84 PK/Pid/2006 ini berpendapat bahwa

KUHAP telah menentukan secara limitatif tentang pihakpihak yang dapat mengajukan

permohonan PK kepada Mahkamah Agung. Pihak yang disebutkan dalam pasal tersebut

adalah terpidana atau ahli warisnya, sementara JPU tidak disebutkan. Dapat dimaknai

bahwa kepentingan dasar yang dilindungi adalah kepentingan hukum dari terpidana atau

ahli warisnya, sehingga apabila JPU mengajukan PK baik atas dasar kepentingan

hukumnya yang mewakili negara atau kepentingan umum atau juga korban terhadap

putusan yang berkekuatan hukum tetap yang membebaskan dan lepas dari segala tuntutan

hukum, maka ditinjau dari perspektif legal formal dinilai telah menyimpangi atau

melanggar.47

Disebutkan pula dalam pertimbangan hukum putusan di atas bahwa langkah JPU

mengajukan PK merupakan suatu kesalahan penerapan hukum. Dalam konteks ini telah

45
Sri Ayu Astuti dan Yenny Nuraeni, “Kewenangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam
Melakukan Upaya Hukum Luar Biasa (Peninjauan Kembali) Ditinjau dari Hukum Pidana…, Op.cit., hal. 65.
46
Budi Suhariyanto, “Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum…, Op.cit., hal. 196.
47
Putusan MK No. 84/Pid/2006

46
jelas terjadi pelanggaran terhadap norma hukum acara pidana yang notabene tidak dapat

ditafsirkan dan disimpangi selain daripada yang terumuskan dalam KUHAP. Ditegaskan

pula bahwa pelanggaran terhadap hukum acara pidana akan berakibat pada tercerabutnya

kepastian hukum. Selanjutnya ketika kepentingan hukum dalam hukum acara pidana

terlanggar maka keadilan pun akan tercerabut juga secara formal (keadilan formal).48

Kemudian terdapat kasus yang serupa dalam putusan Mahkamah agung Pada

tanggal 25 Januari 2008 Mahakamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan

kembali oleh JPU dalam perkara Pollycarpus Budihari Priyanto. Dalam tuntutan JPU,

Pollycarpus dituntut telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan

menggunakan surat palsu sebagaimana terdapat dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat

(1) ke-1 KUHP dan Pasal 263 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan

pidana penjara selama seumur hidup. Dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat menentukan Pollycarpus terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

perbuatan pidana “turut melakukan pembunuhan berencana” dan “turut melakukan

pemalsuan surat” dengan hukuman 14 (empat belas) tahun penjara. Dalam Banding

Pengadilan Tinggi Jakarta yang amar putusannya menerima permintaan banding dari Jaksa

Penuntut Umum dan Pollycarpus, menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dalam Kasasi, Mahkamah Agung dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi

dari Jaksa Penuntut Umum dan mengabulkan permohonan kasasi dari Pollycarpus.

Menyatakan Pollycarpus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana dalam dakwaan kesatu dan membebaskan dari dakwaan ke satu.Menyatakan

Pollycarpus terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah meakukan tindak pidana

48
Ibid.

47
“menggunakan surat palsu” dan Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua)

tahun.49

Dalam Putusan Mahkamah Agung lainnya Jaksa Penuntut Umum mengajukan

Peninjauan Kembali dan di terima oleh Mahkamah Agung, pada tanggal 8 Juni 2009

Putusan Mahkamah Agung No.7 PK/Pid/2009 dengan terpidana Syahril Sabirin selaku

Gubernur Bank Indonesia. Dalam tuntutannya JPU menyatakan bawha Syahril terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan

secara bersama dan berlanjut sebagaimana diatur dalam dan diancam dengan pidana dalam

Pasal 1 ayat (1) sub a jo. Pasal 28 Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 jo. Pasal 64 KUHP jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dalam dakwaan primair.50

Dalam prakteknya peninjauan kembali seringkali dilakukan oleh jaksa bukan oleh

terdakwa atau ahli warisnya, praktik hukum ini merupakan gejala kekeliruan peradilan

(rechtelijke dwaling) yang dalam implementasinya merupakan suatu cara yang melanggar

atau menerobos aturan-aturan hukum itu sendiri dalam hal ini adalah aturan dalam hukum

acara pidana. Tindakan hukum ini merupakan kesewenang-wenangan hukum dengan cara

melakukan penafsiran hukum terhadap ketentuan pasal 263 KUHAP, sehingga ketika

pasal ini dilakukan penafsiran maka analogi hukumnya adalah hak terpidana dan ahli

warisnya sebagai korban ketidakadilan dari pelaksanaan hukum pidana itu sendiri

dirampas oleh negara, sehingga dalam proses acara pemeriksaan Peninjauan Kembali

nantinya negara akan berhadapan dengan negara yang diwakili oleh jaksa. Jelaslah apa

yang dilakukan oleh Jaksa berkaitan dengan pengajuan Peninjauan kembali merupakan

pelanggaran terhadap ajaran legisme hukum, Jhon Austin dalam pemikirannya tentang
49
Putusan Mahkamah Agung Nomor 109/PK/Pid/2007.
50
Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Juni 2009 No.7 PK/Pid/2009

48
teori perintah (Command Theory) menyatakan dengan tegas bahwa perintah undang-

undang haruslah dilakukan dan karenanya tidak dapat dilakukan penyimpangan

(deviation) tanpa mengabaikan prinsip-prinsip keadilan.

Secara konstitusional Mahkamah Agung menjadi the top leader atau the top law

enforcement officer dari keseluruhan proses dan manajemen sistem peradilan pidana.

Tanpa adanya pengendali puncak, dikhawatirkan bekerjanya sistem peradilam pidana

bersifat fragmentaris atau instasi sentris. Dalam hal ini PK oleh JPU adalah berdasarkan

dari putusan Mahkamah Agung, sehingga dapat tidaknya PK yang diajukan oleh JPU

tergantung dari keputusan Mahkamah Agung.51 Sehingga hukum positif seringkali di

tafsirkan lain sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memperjelas isi dari

peraturan perundang-undangan yang masih belum jelas. Seperti pasal 263 KUHAP, belum

adanya kejelasan bahwa dapatkah Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali

menjadikan banyaknya putusan MAhkamah Agung yang tidak konsisten menerapkan

norma hukum positif tersebut.

Penemuan hukum oleh hakim tidak cocok diterapkan di Indonesia karena

Indonesia sendiri berkiblat hukum pada hukum eropa kontinental (civil law) sehingga

diperlukan aturan tegas yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan mengenai

kedudukan Jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali. Seorang sarjana hukum pidana

Jerman (1175-1833) Anselm von Feuerbach merumuskan asas legalitas secara mantap

dalam Bahasa latin52 yaitu: Nulla poena sine lege “tidak ada pidana tanpa ketentuan

undang-undang”. Hal ini seperti menyamakannya dengan pendapat sendiri bahwa “tidak
51
Yayang Susila Sakti, “Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum: Antara Kepastian dan
Keadilan”, Jurnal Arena Hukum, Vol. 7 No. 1, 2014, hal. 83.
52
0 Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Cetakan
Pertama,Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 27.

49
dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa tanpa adanya ketentuan

undang-undang yang mengaturnya. Seharusnya Jaksa Penuntut Umum mengajukan

permintaan peninjauan kembali apabila ada undang-undang yang mengaturnya karena

Jaksa Penuntut Umum merupakan salah satu penegak hukum yang harus diberikan hak

yang sama dalam mengajukan peninjauan kembali guna memberantas tidak pidana di

Indonesia. Kebijakan penetapan pidana dalam perundang-undangan juga merupakan tahap

yang strategis.53

2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 terkait kewenangan

Penuntut Umum dalam pengajuan Peninjauan Kembali

A. Petimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum.54 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan

putusan terkait penerapan pasal 263 KUHAP yaitu pasal terkait Pengajuan Peninjauan

Kembali oleh Jaksa, dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 Hakim Mahkamah

Konstitusi memberikan amar putusan yaitu tetap mempertahankan marwah pasal 263

KUHAP bahwa yang berhak mengajukan peninjauan kembali adalah keluarga maupun

ahli waris terdakwa yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, dikarenakan banyaknya

yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonoan PK oleh jaksa


53
Hafrida, “Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jambi Terhadap Pengguna/Pemakai
Narkotika Dalam Perspektif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika,” Vol. 16, 2014. hal. 65.
54
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012, hal. 151-152.

50
mengakibatkan dasar hukum mengajukan yaitu pasal 263 KUHAP menjadi rancu dan

disalah gunakan oleh penegak hukum lainnya.

Akibat multitafsirnya Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut, sehingga timbullah

permohonan uji materi (judisial riview) di Mahkamah Konstitusi yaitu terhadap Pasal 263

ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 281 ayat (2)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Di sinilah urgensi

kajian hokum tentang analisis yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-

XIV/2016 tentang larangan jaksa penuntut umum mengajukan peninjauan kembali.55

Sedikitnya ada dua hal yang menjadi bagian dari pertimbangan hukum. Ada bagian

yang disebut sebagai ratio decidendi yang merupakan bagian pertimbangan sebagai dasar

atau alasan yang menentukan diambilnya putusan yang dirumuskan dalam amar, bagian

pertimbangan ini tidak dapat dipisahkan dari amar putusan dan mempunyai kekuatan

hukum mengikat secara hukum yang dapat dirumuskan sebagai kaidah hukum. Di pihak

lain ada bagian pertimbangan yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan masalah

hukum yang dihadapi dan karena itu juga, tidak berkaitan dengan amar putusan. Hal

demikian sering dilakukan karena digunakan sebagai ilustrasi atau analogi dalam

menyusun argumen pertimbangan hukum. Bagian ini disebut sebagai obiter dictum yang

tidak mempunyai kekuatan mengikat.56

55
Abdul Malik dan Ahmad Zaini, Ánalisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-
XIV/2016 tentang Larangan Jaksa Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali”, Al Qisthas;Jurnal
Hukum dan Politik, Vol. 9 No. 1, 2018, hal. 22.
56
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Sinar
Gratifika, 2015, hal. 211.

51
Berdasarkan uraian-uraian permohonan di atas maka Majelis Hakim berpendapat

sebagai berikut:

1) Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama permohonan

Pemohon dan bukti surat/tulisan Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Bahwa dalam praktik, acapkali terjadi kesalahan dalam penjatuhan putusan

yang disebabkan oleh kekeliruan dalam hal fakta hukumnya (feitelijkedwaling)

maupun kekeliruan dalam hal hukumnya sendiri (dwaling omtrent het recht).

Kesalahan dalam penjatuhan putusan ini dapat merugikan terpidana maupun

masyarakat pencari keadilan dan negara. Sepanjang masih dalam ruang lingkup

upaya hukum biasa, terhadap kesalahan demikian, baik terpidana maupun Jaksa

Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi.

Namun terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, hanya

ada dua upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan yaitu, Kasasi demi

kepentingan hukum oleh Jaksa Penuntut Umum atau Peninjauan Kembali yang

merupakan hak terpidana maupun ahli warisnya. Jika putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap itu adalah putusan yang oleh terpidana atau ahli warisnya

dirasa merugikan terpidana karena terpidana ataupun ahli warisnya merasa bahwa

negara telah salah mempidana seseorang yang sesungguhnya tidak bersalah atau

memberatkan terpidana, maka lembaga Peninjauan Kembali bisa menjadi upaya

hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana ataupun ahli warisnya, dengan

memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981. Dengan demikian sistem hukum pidana yang dibangun oleh Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 telah memberikan kesempatan yang sama baik kepada

52
terpidana maupun kepada Jaksa Penuntut Umum yang mewakili kepentingan negara

untuk melakukan upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap.

Terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum hukum ataupun

putusan pemidanaan yang dinilai oleh Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan

banding atau kasasi, sedangkan terhadap putusan pemidanaan yang dinilai terpidana

atau ahli warisnya tidak memberikan rasa keadilan kepada pihaknya, maka dapat

diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.

Dari rumusan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi, ada empat landasan pokok yang tidak

boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas tersurat dalam Pasal

dimaksud, yaitu:

1. Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak);

2. Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum;

3. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli

warisnya;

4. Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

53
2) Menimbang bahwa dalam praktiknya Mahkamah Agung ternyata menerima

permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum,

terlepas dari dikabulkan atau ditolaknya permohonan dimaksud. Terhadap keadaan

tersebut, telah silang pendapat, baik dikalangan akademik maupun praktisi hukum

tentang apakah Jaksa Penuntut Umum berhak mengajukan Peninjauan Kembali

terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, demi kepastian hukum, Mahkamah

memandang penting untuk mengakhiri silang pendapat tersebut.

3) Menimbang bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


16/PUU-VI/2008, bertanggal 15 Agustus 2008, dalam salah satu pertimbangannya
telah menyatakan sebagai berikut: “...Pertanyaan timbul apakah Jaksa Penuntut
Umum dapat mengajukan PK jika dilihat dari rumusan Pasal 263 ayat (1). Memang
Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan PK, karena falsafah
yang mendasari PK adalah sebagai instrumen bagi perlindungan hak asasi
terdakwa, untuk memperoleh kepastian hukum yang adil dalam proses peradilan
yang dihadapinya. Memang ada kemungkinan kesalahan dalam putusan
pembebasan terdakwa atau ditemukannya bukti-bukti baru yang menunjukan
kesalahan terdakwa, seandainya bukti tersebut diperoleh sebelumnya. Namun,
proses yang panjang yang telah dilalui mulai dari penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan, dan putusan di peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi
dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Jaksa Penuntut Umum
menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membuktikan kesalahan
terdakwa. Oleh karena itu, dipandang adil jikalau pemeriksaan PK tersebut dibatasi
hanya bagi terpidana atau ahli warisnya karena Jaksa Penuntut Umum dengan
segala kewenangannya dalam proses peradilan tingkat pertama, banding, dan
kasasi, dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup...”

54
Dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan dalam putusan Mahakamah

Nomor 16/PUU-VI/2008 di atas telah jelas bahwa hak untuk mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan

hak Jaksa Penuntut Umum melakukan Peninjauan Kembali, padahal sebelumnya

telah mengajukan kasasi dan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi

kepentingan hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan kembali hak

kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali tentu

menimbulkan ketidakpastian hukum dan sekaligus tidak berkeadilan. Ketika

Peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum diterima, maka

sesungguhnya telah terjadi dua pelanggaran prinsip dari Peninjauan Kembali itu

sendiri, yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek Peninjauan Kembali.

Dikatakan ada pelanggaran terhadap subjek dan objek Peninjauan Kembali menurut

UndangUndang adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara itu, dikatakan ada

pelanggaran terhadap objek karena terhadap putusan bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum tidak dapat dijadikan objek Peninjauan Kembali.

4) Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas Mahkamah

memandang penting untuk menegaskan kembali bahwa norma Pasal 263 ayat (1)

UU Nomor 8/1981 adalah norma yang konstitusinal sepanjang tidak dimaknai lain

selain bahwa peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli

warisnya, dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala

tuntutan hukum. Pemaknaan yang berbeda terhadap norma a quo akann

menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikannya

inkonstitusional. Untuk itu Mahkamah perlu menegaskan bahwa demi kepastian

55
hukum yang adil norma Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8/1981 menjadi

inkonstitusional jika dimaknai lain.57

Menurut Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 bagian 3.11, melarang Jaksa

Penuntut Umum melakukan Upaya Peninjauan Kembali:

Upaya Peninjauan Kembali dilandasi filosofi pengembalian hak dan keadilan


seseorang yang meyakini dirinya mendapat perlakuan yang tidak berkeadilan yang
dilakukan oleh negara berdasarkan putusan hakim, oleh karena itu hukum positif
yang berlaku di Indonesia memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya
untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yang dinamakan dengan Peninjauan
Kembali. Dengan kata lain, lembaga Peninjauan Kembali ditujukan untuk
kepentingan terpidana guna melakukan upaya hukum luar biasa, bukan
kepentingan negara maupun kepentingan korban, sebagai upaya hukum luar biasa
yang dilakukan oleh terpidana, maka subjek yang berhak mengajukan Peninjauan
Kembali adalah hanya terpidana ataupun ahli warisnya, sedangkan objek dari
pengajuan Peninjauan Kembali adalah putusan yang menyatakan perbuatan yang
didakwakan dinyatakan terbukti dan dijatuhi pidana, oleh karena itu sebagai
sebuah konsep upaya hukum bagi kepentingan terpidana yang merasa tidak puas
terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidaklah termasuk ke dalam objek
pengajuan Peninjauan Kembali, karena putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum pastilah menguntungkan terpidana; pranata Peninjauan Kembali
diadopsi semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya dan hal
tersebut merupakan esensi dari lembaga Peninjauan Kembali. Apabila esensi ini
ditiadakan maka lembaga Peninjauan Kembali akan kehilangan maknanya atau
menjadi tidak berarti;
Perlindungan hukum kepada setiap warga negara yang menjadi korban selama ini

didasarkan pada KUHP sebagai sumber hukummateriil, denganmenggunakanKUHAP

57
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016.

56
sebagai hukum acara. Di dalam KUHAP lebih banyak diatur mengenai tersangka daripada

mengenai korban. Kedudukan korban dalam KUHAP tampaknya belum optimal

dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Dengan adanya Putusan MK No. 33/ PUU-

XIV/2016 mempertegas bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak bisa lagi mewakili korban

dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.58

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Latar belakang munculnya permohonan

pengujian peraturan oerundang-undangan seringkali terkadi karena disebabkan adanya hak

konstitusional pemohon dan suami pemohon serta keluarga pemohon yang dikebiri oleh

berlakunya Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang dijadikan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai

landasan dalam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

Sebenarnya berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 84 PK/Pid/2006 Jaksa

Penuntut Umum tidak lagi diperbolehkan untuk mengajukan upaya hukum peninjauan

kembali, namun karena memiliki alasan demi kepentingan negara, Jaksa Penuntut Umum

tetap mengajukan peninjauan kembali dan Mahkamah Agung menerima berkas memori

peninjauan kembali tersebut.

Meski demikian Jaksa Penuntut Umum tidak serta merta menjadi “kambing hitam”

dalam permohonan ini, melainkan hal ini terjadi akibat multi tafsirnya ketentuan Pasal 263

ayat (1) KUHAP tersebut yang menimbulkan kedidakpastian hukum. Sehingga Mahkamah

Konstitusi dianggap perlu untuk memberikan tafsir konstitusional terhadap pasal terkait

agar tidak ada lagi warga negara yang terkebiri hak konstitusionalnya atas berlakunya

pasal tersebut. Karena jika ditinjau dari asas kebermanfaatan suatu undang-undang baik

secara filosofis, yuridis, dan sosiologis memang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
58
Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam
Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Bandung:Refika Aditama, 2007, hal.89-91.

57
telah memberikan kesempatan yang sama baik kepada terpidana maupun kepada Jaksa

Penuntut Umum yang mewakili kepentingan negara untuk melakukan upaya hukum luar

biasa terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Menurut Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, memandang bahwa upaya

hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali ditujukan untuk kepentingan terpidana guna

melakukan upaya hukum luar biasa, bukun untuk kepentingan negara maupun kepentingan

dari korban. Pranata dari Peninjauan kembali diadopsi semata-mata untuk kepentingan

darpipada terpidana atau ahli warisnya itu sendiri dan hal tersebut ialah esensi dari

lembaga peninjauan kembali. Dalam putusannya pun Mahkamah Konstitusi menyatakan

bahwa upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan oleh pihak terpidana atau ahli

warisnya harus dipandang sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia bagi warga

negara, dikarenakan dalam hali ini seorang terpidana diharuskan untuk berhadapan dengan

kekuasaan negara yang begitu kuat.

Lembaga peninjauan kembali ini ada sebagai bentuk perlindungan hak asasi

manusia. Terdapat 2 (dua) pelanggara prinsip daripada Peninjauan Kembali yang diajukan

oleh Jaksa Penuntut Umum. Menurut Mahkamah Konstitusi, terdapat 2 (dua) pelanggaran

prinsip yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek dari peninjauan kembali. Dikatakan

ada pelanggaran terhadap subjek karena subjek Peninjauan Kembali menurut Undang-

Undang adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara itu, dikatakan ada pelanggaran

terhadap objek karena terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak

dapat dijadikan objek Peninjauan Kembali. Sehingga Mahkamah Konstitusi mencapai

kesimpulan dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan yaitu telah jelas bahwa hak

untuk mengajukan peninjauan kembali itu adalah hak daripada terpidana atau ahli

58
warisnya, bukan hak dari Jaksa/Penuntut Umum. Jika Jaksa/Penuntut Umum dimana

sebelumnya telah melakukan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan

hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan hak untuk mengajukan upaya

hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali tentu akan menimbulkan kektidakpastian

hukum dan sekaligus tidak berkeadilan.

Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat terkait pengajuan peninjauan kembali

oleh Jaksa Penuntut Umum. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pengajuan

peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum telah melanggar hak asasi daripada

terpidana. Jaksa dan Terpidana secara filosofis masing-masing telah diberikan kesempatan

yang sama terkait upaya hukum yaitu banding dan kasasi. Untuk Jaksa terdapat upaya

hukum luar biasa yang dapat ditempuh yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum sedangkan

untuk terpidana juga diberikan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali. Dengan

kata lain, upaya hukum luar biasa peninjauan kembali ditujukan untuk kepentingan

terpidana guna melindungi hak-haknya yang telah dirampas oleh negara. Juga dalam Pasal

263 Ayat (1) secara tegas telah menyebutkan bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya

yang dapat mengajukan peninjauan kembali sehingga selain daripada apa yang disebutkan

oleh pasal tersebut haruslah dimakani sebagai batasan bagi penegak hukum dalam

menjalakan tugasnya agar tidak terjadi sebuah penyelewengan kekuasaan (abuse of

power). Dikarenakan hal tersebut Mahkamah perlu menegaskan bahwa demi kepastian

hukum yang adil norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP menjadi inkonstitusional jika

dimaknai lain.59

59
Akhmed Hasseni Rafsanjani, Ánalisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-
XIV/2016 Terhadap Kewenangan Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana”,
Dinamika, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol. 26 No. 5, 2020, hal. 647-648.

59
Bangsa Indonesia yang menganut sistem hukum civil law. Dalam civil law system,

yurisprundensi adalah sumber hukum. Kedudukan dan fungsi hakim di negara-negara

dengan sistem civil law lebih sempit, hal ini dikarenakan bagi para hakim terikat dengan

doktrin trias politika dimana hakim hanya menerapkan hukum, tidak boleh membuat

hukum.60 Namun, pada prakteknya berhukum di Indonesia, yurisprudensi menjadi sumber

hukum. Doktrin stare decisis dalam praktik juga ditemukan dalam civil law system,

putusan tersebut menjadi premis mayor terhadap perkara dipengadilan, metode ini sering

disebut clinical research yang bertujuan bukan untuk menemukan hukum

abstracto(apalagi asas dan doktrinnya), melainkan hendak menguji apakah postulat

normativ tertentu memang dapat atau tidak dapat dipakai memecahkan suatau masalah

hukum secara in concreto.61 Hukum Pidana Indonesia tidak menganut sistem precedent,

suatu sistem yang menganggap para hakim bawahan terikat kepada putusan- putusan

hakim terdahulu atau kepada putusan hakim yang lebih tinggi, dalam perkara yang sama,

sebagaimana halnya menurut sistem hukum anglo-saxon.62

60
Amizulian Rifa’i, Suparman Marzuki, dan Adrey Sujatmoko, Wajah Hakim dalam Putusan Studi
Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), hal. 54.
61
Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, diterjemahkan oleh Noor Cholis,
Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012, hal. 25-26
62
Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana,
Bandung: PT. Alumni, 2005, hal. 332.

60
61
BAB IV

KEWENANGAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PERKARA PIDANA

DALAM PANDANGAN ISLAM

A. Perkara Pidana Menurut Islam

Tindak pidana sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang

dilarang (atau melanggar keharusan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang

serta bersifat melawan hukum dan mengandung unsur kesalahan yang dilakukan oleh

seseorang yang mampu bertanggung jawab.63Di dunia, kita mengenal bermacam-macam

sistem hukum, yaitu sistem hukum Civil Law, Common Law, Hukum Adat maupun

Hukum Islam. Meskipun warga Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, namun

pengaruh Hukum Islam tidaklah menonjol didalam sistem hukum yang ada di Indonesia

baik dari segi substansi, struktur, maupun budaya hukum itu sendiri. Bahkan Abdul Jamil

pernah memberikan komentar bahwa meskipun umat Islam mayoritas di Negeri ini, akan

tetapi ruang bagi penegakan Hukum Islam hanya tersedia di Pengadilan agama.64

Hukum pidana Islam pada hakikatnya mengandung kemaslahatan bagi kehidupan

manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam dimaksud, secara materil

mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep

kewajiban asasi syariat menempatkan Allah SWT sebagai pemegang segala hak Setiap

orang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah SWT tersebut.

Perintah Allah SWT yang dimaksud, harus ditunaikan baik untuk kemaslahatan manusia

63
https:/hokumonline.com
64
Lysa,angrayni,hukum pidana dalam perspektif islam dan perbandingannya dengan hukum pidana
di indonesia, hukum islam, vol. xv no. 1 juni 2015.hal 47

62
pribadi maupun orang lain. Berbeda dengan hukum pidana positif yang nyata-nyata buatan

manusia. Karena produk hukum tersebut merupakan olahan pikiran dari manusia, pastilah

mempunyai kekurangan maupun celah-celah sehingga manusia dengan seenaknya dapat

melakukan perbuatan yang melanggar hukum.65Hukum pidana Islam (fiqh jinayah)

merupakan syariat Allah SWT yang mengatur ketentuan hukum mengenai tindak pidana

atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat

dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci

dari AL Qur an Dan Hadis66

Jika berbicara mengenai hukum pidana Islam atau yang dinamakan dengan Fikih

Jinayah, maka akan dihadapkan kepada hal-hal mempelajari ilmu tentang hokum syara

yang berkaitan dengan perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah),

yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Jadi, secara garis besar dapat diketahui bahwa

objek pembahasan atau cakupan dari hukum pidana Islam adalah jarimah atau tindak

pidana serta uqubah atau hukumannya.Cakupan hukum pidana Islam pada dasarnya

hampir sama dengan yang diatur di dalam Hukum Pidana positif, karena selain mencakup

masalah tindak pidana dan hukumannya juga disertai dengan pengaturan masalah

percobaan, penyertaan, maupun gabungan tindak pidana. Berikut ini dijelaskan hal-hal

yang berupa tindak pidana (jarimah) dan hukuman (uqubah) dalam Hukum Pidana Islam67

Dalam hukum Pidana Islam, istilah tindak pidana dikenal dengan jarimah dan

jinayah
65
Ibid 48
66
Lihat dalam Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan, 1992), halaman 86., sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Cet.
1., Sinar Grafika, Jakarta, 2007, halaman 1.
67
Ibid 47

63
1. Jarimah Atau Tindak Pidana

Secara bahasa jarimah mengandung pengertian dosa, durhaka. Larangan larangan

syara (hukum Islam) yang diancam hukuman had (khusus) atau takzir pelanggaran

terhadap ketentuan-ketentuan hukum syariat yang mengakibatkan pelanggarnya

mendapat ancaman hukuman. Larangan-larangan syara bisa berbentuk melakukan

perbuatan yang dilarang ataupun tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan.

Melakukan perbuatan yang dilarang misalnya seorang memukul orang lain dengan

benda tajam yang mengakibatkan korbannya luka atau tewas. Adapun contoh jarimah

berupa tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan ialah seseorang tidak

memberi makan anaknya yang masih kecil atau seorang suami yang tidak memberikan

nafkah yang cukup bagi keluarganya.68

Dalam bahasa Indonesia, kata jarimah berarti perbuatan pidana atau tindak pidana.

Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah jarimah ialah kata jinayah.

Hanya, dikalangan fukaha (ahli fikh, red) istilah jarimah pada umumnya digunakan

untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh baik

mengenai jiwa atau lainnya sedangkan. jinayah pada umumnya digunakan untuk

menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti

membunuh dan melukai anggota badan tertentu.69

Jarimah, memiliki unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum jarimah adalah

unsur-unsur yang terdapat pada setiap jenis jarimah, sedangkan unsur khusus adalah

68
Ibid 49
69
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Ed.2., Cet.3., PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, halaman 12.

64
unsur-unsur yang hanya terdapat pada jenis jarimah tertentu yang tidak terdapat pada

jenis jarimah yang lain.

Unsur umum daripada Jarimah terbagi ke dalam tiga unsur :

1. Unsur formal (al-Rukn al syar iy) adalah adanya ketentuan nash yang melarang

atau memerintahkan suatu perbuatan serta mengancam pelanggarnya.

2. Unsur materil (al-Rukn al-Madi) adalah adanya tingkah laku atau perbuatan

yang berbentuk jarimah yang melanggar ketentuan formal

3. unsur moril (al-Rukn al Adabiy) adalah bila pelakunya seorang mukalaf,yakni

orang yang perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.70

Walaupun secara umum jarimah terbagi kedalam tiga unsur di atas, akan tetapi

secara khusus setiap jarimah memiliki unsur-unsur tersendiri, dan inilah yang dinamakan

dengan unsur khusus jarimah.

Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim.

َ ‫يم عَنْ َأبِي ِه عَنْ َج ِّد ِه َأنَّ النَّبِ َّي‬


ُ ‫صلَّى هَّللا‬ َ َ‫ي َح َّدثَنَا ابْنُ ا ْل ُمب‬
ٍ ‫ار ِك عَنْ َم ْع َم ٍر عَنْ بَ ْه ِز ْب ِن َح ِك‬ َ ُ‫َح َّدثَنَا َعلِ ُّي بْن‬
ُّ ‫س ِعي ٍد ا ْل ِك ْن ِد‬

ْ‫يث بَ ْه ٍز عَنْ َأبِي ِه عَن‬ َ ‫س َر ُجاًل فِي تُ ْه َم ٍة ثُ َّم َخلَّى َع ْنهُ قَا َل َوفِي ا ْلبَاب عَنْ َأبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل َأبُو ِعي‬
ُ ‫سى َح ِد‬ َ َ‫سلَّ َم َحب‬
َ ‫َعلَ ْي ِه َو‬

َ‫يث َأتَ َّم ِمنْ َه َذا َوَأ ْط َول‬


َ ‫يم َه َذا ا ْل َح ِد‬ ْ ‫سنٌ َوقَ ْد َر َوى ِإ‬
ٍ ‫س َم ِعي ُل بْنُ ِإ ْب َرا ِهي َم عَنْ بَ ْه ِز ْب ِن َح ِك‬ ٌ ‫ َج ِّد ِه َح ِد‬71
َ ‫يث َح‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Sa'id Al Kindi, telah menceritakan

kepada kami Ibnu Al Mubrarak dari Ma'mar dari Bahz bin Hakim dari ayahnya

70
Ibid 50
71
Lidwa Pustaka, Kitab Hadis 9 Imam, Sunan Tirmidzi, Kitab Diyat, Bab menahan diri untuk tidak
menuduh, no. Hadist 1337.

65
dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menahan

seseorang karena suatu tuduhan lalu melepasnya. Ia mengatakan; Dalam hal ini

ada hadits serupa dari Abu Hurairah. Abu Isa berkata; Hadits Bahz dari ayahnya

dari kakeknya adalah hadits hasan, Isma'il bin Ibrahim telah meriwayatkan

hadits ini dari Bahz bin Hakim dengan redaksi yang lebih lengkap dan lebih

panjang. (Hadis)diriwayatkanoleh HR,Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, dan

Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim)72

Hadis ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga

melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. 73Apabila tidak

dilakukan penahanan, dikhawatirkan orang tersebut melarikan diri dan menghilangkan

barang bukti yang sudah ada, atau mengulangi perbuatan melanggar tindak pidananya.74

Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah

‫ار ِإ ْذ َجا َءهُ َع ْب ُد‬


ٍ ‫ب َأ ْخبَ َرنِي َع ْمرٌو ع َْن بُ َكي ِْر ْب ِن اَأْل َش ِّج قَا َل بَ ْينَا نَحْ نُ ِع ْن َد ُسلَ ْي َمانَ ْب ِن يَ َس‬
ٍ ‫َح َّدثَنَا َأحْ َم ُد بْنُ ِعي َسى َح َّدثَنَا ابْنُ َو ْه‬

َ‫ال َح َّدثَنِي َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن بْنُ َجابِ ٍر ع َْن َأبِي ِه ع َْن َأبِي بُرْ َدة‬
َ َ‫الرَّحْ َم ِن بْنُ َجابِ ٍر فَ َح َّدثَهُ فََأ ْقبَ َل َعلَ ْينَا ُسلَ ْي َمانُ فَق‬

‫ق َع َش َر ِة َأ ْس َوا ٍط ِإاَّل فِي َح ٍّد ِم ْن ُحدُو ِد‬


َ ْ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل اَل يُجْ لَ ُد َأ َح ٌد فَو‬ َ ‫ي َأنَّهُ َس ِم َع َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِّ ‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫اَأْل ْن‬

ِ ‫هَّللا‬75

72
Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001), 202
73
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,253.
74
Nurul Irfan dkk, Fiqh Jinayah,... 141.
75
Lidwa Pustaka, Kitab Hadis 9 Imam, Shohih Muslim, Kitab Hudud, Bab Kadar Cambukan
Ta’zi>r, no.Hadist 3222.

66
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Isa telah menceritakan kepada kami

Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku 'Amru dari Bukair bin Al Asyaj dia

berkata, "Ketika kami berada di sisi Sulaiman bin Yasar, tiba-tiba Abdurrahman

Jabir datang lalu menceritakan (hadits) kepadanya, kemudian Sulaiman

menghadapkan wajahnya kepada kami sambil berkata; telah menceritakan

kepadaku Abdurrahman bin Jabir dari ayahnya dari Abu Burdah Al Anshari,

bahwa dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Seseorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang

telah jelas ditetapkan oleh Allah." ( HR Al-jama’ah)76

Hadis kedua ini menjelaskan tentang batas hukuman ta’zir yang tidak boleh lebih dari

sepuluh kali cambukan, untuk membedakan dengan jarimah hud{ud}77.Dengan demikian

hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari jarimah hud}ud}, hal ini agar dapat

membedakan mana yang termasuk jarimah hud}ud} dan mana yang termasuk jarimah

ta’zir. karena orang yang melakukan peerbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syariat

yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu dicambuk

100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah termasuk

melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hud} (Hukum Allah). Adapun yang

lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.78

B. Penuntut Umum Dalam Perkara Pidana Dari Sudut Pandang Islam

Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewewnang oleh Undang-Undang ini untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.Berdasarkan bunyi Pasal


76
Hussein Bahreisj, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, (Jakarta: Widjaya 1983), 255.
77
Nurul Irfan dkk, Fiqh Jinayah,141
78
Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), 241-
242.

67
tersebut, seorang Jaksa belum tentu sebagai Penuntut Umum, sedangkan seorang Penuntut

Umum pastilah seorang Jaksa.Jaksa melaksanakan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap, misalnya dalam hal putusan pemidanaan kepada

terpidana. Sedangkan Penuntut Umum, sebagai aparat Kejaksaan yang melaksanakan

penetapan. Misalnya Penetapan dalam perkara Praperadilan; Penetapan Pengadilan Negeri

yang memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari tahanan.

Kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara perbantahan dan

permusuhan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak dari orang durjana dan

mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta wakaf dan persoalan-persoalan

lain yang diperkarakan di pengadilan.Sedangkan tujuan kekuasaan kehakiman adalah

untuk menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan serta tujuan

menguatkan negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala negara.

1. kekuasaan kehakiman dapat menciptakan rasa ketenteraman, kedamaian, dan

keadilan di tengah-tengah masyarakat, terutama pelaksanaan wilayah al-Hisbah

dan wilayah al-Mazhalim pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Azis.

Hal itu terjadi, karena pada masa tersebut betul-betul penegakan hukum dan

keadilan dapat ditegakkan tanpa ada tebang pilih antara satu dengan lainnya, sesuai

ketentuan-ketentuan hukum Islam. Padahal, pada masa pemerintahan khalifah Bani

Umayyah sebelumnya masyarakat sangat merasakan perlakuan hukum yang tidak

adil, karena jika ada keluarga penguasa tersangkut hukum, maka sulit tersentuh

dengannya. Itu sebabnya, penguasa pada waktu itu berbuat sewenang-wenang

terhadap masyarakatnya. Oleh karena itu, jika wilayah al-Hisbah dan wilayah al-

68
Mazhalim79mayoritas ulama berpendapat al-qadha hukumanya fardu kifayah

pelaksanaan tugas al-qadha ini pada dasarnya adalah tanggung jawab

Imam/khalifa. Rasul SAW dan khulafaur Rasyidin sendiri menangani al-qadha

secara langsung.namun,ketika wilayah Negara semakin luas,tentu khalifah tidak

mungkin menanganinya sendiri,di samping juga karena tugas khalifah sangat

kompleks.dalam situasi tersebut,kewajiban itu tidak akan sempurnah kecuali

khalifah mengangkat para qadhi di seluru daerah sebagai bahagian dari pemerintah

(Negara) sedangkanpenuntut umum wilayah Al-Mazhalimkata-al mazhalim adalah

jama’dari al-Madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di

ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini dibentuk oleh

pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap

semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam

penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan

pengadilan (al-hisbah).

Pengadilan ini menyelesaikan perkara sogok-menyogok dan tindakan korupsi.Orang

yang menangani/menyelesaikan perkara ini disebut dengan Wali al-Madzalim.Adapun

syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau

pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan oleh hakim

biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa.

Surah An-Nisa ayat ke-58

َ‫س اَنْ ت َْح ُك ُم ْوا بِا ْل َع ْد ِل ۗ اِنَّ هّٰللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ٖه ۗ اِنَّ هّٰللا َ َكان‬ ٓ ِ ‫اِنَّ هّٰللا يَْأم ُر ُكم اَنْ تَُؤ دُّوا ااْل َمٰ ٰن‬
ِ ‫ت اِ ٰلى اَ ْهلِ َه ۙا َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَيْنَ النَّا‬ ْ ُ َ

ِ َ‫س ِم ْي ًع ۢا ب‬
‫ص ْي ًرا‬ َ
79
Lomba,Sultan, kekuasaan kehakiman dalam islam dan aplikasinya di Indonesia, volume. 13
nomor 2, desember 2013,hal 437

69
Artinya: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia

hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.Sungguh, Allah sebaik-baik yang

memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha

Melihat.”

An-Nahl Ayat 90

َ‫سا ِن َواِ ْيت َۤاِئ ِذى ا ْلقُ ْر ٰبى َويَ ْن ٰهى َع ِن ا ْلفَ ْحش َۤا ِء َوا ْل ُم ْن َك ِر َوا ْلبَ ْغ ِي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُر ْون‬ ‫هّٰللا‬
َ ‫اِنَّ َ يَْأ ُم ُر ِبا ْل َع ْد ِل َوااْل ِ ْح‬

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,

memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji,

kemungkaran, dan permusuhan.Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu

dapat mengambil pelajaran”.

dan Surah Al-Maidah ayat ke-8

ُ ‫شنَ ٰانُ قَ ْو ٍم ع َٰلٓى اَاَّل تَ ْع ِدلُ ْوا ۗاِ ْع ِدلُ ْو ۗا ه َُو اَ ْق َر‬
‫ب لِلتَّ ْق ٰو ۖى‬ َ ‫س ِۖط َواَل يَ ْج ِر َمنَّ ُك ْم‬ ُ ِ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ُك ْونُ ْوا قَ َّوا ِميْنَ هّٰلِل‬
ْ ِ‫ش َهد َۤا َء ِبا ْلق‬

َ‫َواتَّقُوا هّٰللا َ ۗاِنَّ هّٰللا َ َخبِ ْي ۢ ٌر بِ َما تَ ْع َملُ ْون‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan

karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil.Dan janganlah kebencianmu

terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku

adillah.Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada

Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

QS. Al-Ma'idah Ayat 42

70
ْ‫ش ْيـًٔا ۗ َواِن‬ ُ َّ‫ض َع ْن ُه ْم فَلَنْ ي‬
َ ‫ض ُّر ْو َك‬ ْ ‫ض َع ْن ُه ْم َۚواِنْ تُ ْع ِر‬ ْ َ‫ت فَاِنْ َج ۤا ُء ْو َك ف‬
ْ ‫اح ُك ْم بَ ْينَ ُه ْم اَ ْو اَ ْع ِر‬ ُّ ‫ب اَ ٰ ّكلُ ْونَ لِل‬
ِ ۗ ‫س ْح‬ ِ ‫س ٰ ّم ُع ْونَ لِ ْل َك ِذ‬
َ
‫هّٰللا‬
ِ ‫س ِۗط اِنَّ َ يُ ِح ُّب ا ْل ُم ْق‬
َ‫س ِطيْن‬ ْ َ‫َح َك ْمتَ ف‬
ْ ِ‫اح ُك ْم بَ ْينَ ُه ْم بِا ْلق‬

Artinya: “Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan)

yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk

meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari

mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan

membahayakanmu sedikit pun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka),

maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

adil.”

Fungsi dan tugas Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim. Sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 13 KUHAP

bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.Tidak sesuai dengan ajarasan

Islam karena kejaksaan berpegang pada Undang Undang yang berlaku di Republik

Indonesia,oleh karena itu tidak ada dalih yang mengatur tentang tugas dan fungsinya.

a. Pengajuan Tinjauan Kembali (Pk) Terhadap Perkara Pidana Dari Sudut

Pandang Islam

Dalam hukum Indonesia kan juga di kenal dengan asas keadilan dan asas

kepastian hukum, sedangkan asas keadilan dalam hukum Islam adalah asas yang

paling pertama dan paling pentingn karena mengcakup semua dalam bidang

hukum Islam. Upaya hukum PK pada prinsipnya merupakan upaya hukum luar

biasa (extraordinary remedy) terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan

71
hukum tetap (inkracht van gewisjde).Upaya hukum PK bertujuan untuk

memberikan keadilan hukum, dan bisa diajukan oleh pihak yang berperkara baik

untuk perkara pidana maupun perkara perdata. PK merupakan hak terpidana

selama menjalani masa pidana di dalam lembaga pemasyarakatan.80

Alasan PK dikategorikan sebagai upaya hukum luar biasa karena mempunyai

keistimewaan, artinya dapat digunakan untuk membuka kembali (mengungkap)

suatu keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap.Sedangkan suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum

tetap, harus dilaksanakan untuk menghormati kepastian hukum.Dengan demikian,

lembaga PK adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik

kembaliatau menolak putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap.81

Berbeda dengan upaya hukum biasa, maka permohonan terhadap upaya hukum luar

biasa memiliki syarat tertentu, yaitu:

1. Dapat diajukan dan ditujukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap.

2. Dapat ditujukan dan diajukan dalam keadaan tertentu, tidak dapat diajukan

terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatanhukum tetap. Harus ada

dan terdapat keadaan–keadaan tertentu sebagai syarat


80
Shanti Dwi Kartika, “Peninjauan Kembali Lebih Dari Satu Kali, Antara Keadilan Dan Kepastian
Hukum”, Buletin Info Hukum Singkat Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat
Jenderal DPR RI, Vol. VI, No. 06/II/P3DI/Maret/2014, h. 3.
81
Tim Pengkaji Pusat Litbang, Problematika Penerimaan Peninjauan kembali dan Grasi dalam
Penegakan Hukum, Jakarta: Puslitbang Kejagung RI, 2006, h. 8. Dalam Ristu Darmawan, Upaya Hukum
Luar Biasa Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana, Naskah Tesis Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2012, h. 22.

72
3. Dapat diajukan kepada Mahkamah Agung, dan diperiksa serta diputus oleh

Mahkamah Agung sebagai instansi pertama dan terakhir

Menurut pandangan hukum Islam.wewenangan yang di berikan kepada lembaga

kejaksaan untuk mengajuhkan peninjauan kembali merupakan suatu hal yang dibenarkan

sebagai upaya untuk menegakkan hokum dan keadilan dalam lingkungan peradilan. Ijtihad

merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi

hukum-hukum Islam (Fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam

tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran Islam tidak akan mampu

menjawab tantangan zaman dengan berbagai problematikanya. Dengan demikian, ijtihad

adalah sebuah keniscayaan dalam Islam.

Kata Ijtihad secara etimologi adalah merupakan bentuk mashdar dari konjugasi

(tashrif) kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang mengandung pengertian usaha keras dan

pengerahan segala kemampuan untuk mencapai maksud tertentu. Sedangkan secara

terminologi, ijtihad adalah upaya pengerahan segala kemampuan dalam rangka

menghasilkan satu kepastian hukum, dan hanya bisa dilakukan oleh seorang yang sudah

berkapasitas mujtahid.

Sebagai konsekuensi logis atas konsepsi ijtihad ini, terdapat dua kemungkinan yang

akan timbul kemudian. Pertama, jika ijtihad tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki

Allah, ijtihad yang benar (shawab), maka pelaku ijtihad akan memperoleh dua pahala,

yakni pahala ijtihad dan pahala menggapai kebenaran. Kedua, jika ijtihad itu ternyata tidak

sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah, ijtihad yang salah (khatha’), maka hanya

mendapat satu pahala, yakni pahala ijtihad saja. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi

Shalallahu ‘alaihi wassallam:

73
Artinya: “Barang siapa melakukan ijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala. Dan jika

ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.”

Dan kaidah fikih

‫االجتهاد ال ينقض باالجتهاد‬

Artinya:”Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain yang sejenisnya”

Abu Bakar memutuskan beberapa perkara dan Umar menentangnya, tetapi

keputusannya tetap dan diterima oleh semua sahabat. Umar terkadang memutuskan

perkara satu dan lainnya berbeda ketika ada alasanyang melatarbelakanginya.Umar

terkadang memutuskan perkara kolektif tanpa partisipasi orang lain, Umar pun

menegaskan “semuanya atas dasar keputusan kami. Perkara kolektif adalah ketika seluruh

warisan habis, sedangkan ada saudara laki-laki dari ayah yang sangat membutuhkan.

Mereka sulit mendapat warisan karena tidak mendapat bagian darinya. Dalam hali ini

mereka masuk dalam saudara seibu dalam bagian 1/3 warisan dengan mempertimbangkan

jumlah anak.

Diriwayatkan bahwasannya Umar r.a ketika menghukumisaudara seibu dengan 1/3

seluruh warisan habisdan saudara seayah tidak mendapatkan apa-apa. Dia protes kepada

Umar, “pikir ayah kami seorang hammar, bukankah ibu mengumpulkan kami.” Karena

perkara itu, dinamakan hammariyah. Dalam riwayat lain, “pikir ayah kami hajar fil yammi

bukankah ibu mengumpulkan kami” karena itu dinamakan perkara hajariyah atau perkara

yammiyah dinisbatkan kepada laut yammi. Umar berkata, “semua atas dasar ketetapan

74
kami,” Umar mulai menghukumi dengan memberi bagian kepada saudara seayah dalam

bagian saudara seibu.

1. Alasan ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad

Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang baru,

sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu, namun

untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hukum hasil

ijtihad yang baru yang demikian ini adalah karena:

1. Nilai ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari hasil

ijtihad pertama.

2. Apabila suatu ketetapan hukum hasil ijihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang

lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Dan tidak adanya

kepastian hukum ini akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan besar

Karena pembatalan berdampak pada tidak adanya ketetapan hukum berdasarkan

keadaan. Hukum kadang memutuskan perkara berbeda dengan perkara sebelumnya dalam

ijtihad dan ideologinya. Pembatalan keputusan sebelumnya boleh bagi seorang hakim jika

hal itu tidak dilakukan berdampak pada kesukaran parah. Kesulitan dalam bertransaksi dan

kekacauan yang tidak terbendung.

Karena itu hakim harus bersungguh-sungguh dalam mempertimbangkan dan

menyelidiki kebenaran, meminta tolong para pakar pada masanya, menjaga kondisi,

penampilan, keadaan, kebiasaan, dan lain-lain seperti klue-klue dan bukti-bukti yang

menentukan dalam penegakan kebenaran dan pemberantasan kejahatan.Keputusan salah

75
hakim yang bertentangan dengan nash, ijma’, qiyas jali, atau kaidah-kaidah umum dan

keputusan tanpa bukti harus dibatalkan

Kaidah ini merupakan kaidah (fikih) yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam

implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat

atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang

berbunyi tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai

pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung

pada maslahat.Ijtihad yang dimaksud dalam kaidah ini sebenarnya berlaku dalam skala

yang sangat luas,baik bagi mujtahid maupun setiap muslim yang belum mencapai kapsitas

mujtahid. Artinya, ijtihad dalam kaidah ini tidak hanya berlaku dalam pengertian secara

terminologis yang hanya membatasi ladang ijtihad bagi para mujtahid. Ijtihad disini lebih

mengarah pada makna ijithad secara leksikal (lughawi), yaitu usaha maksimal seseorang

dalam menentukan status hukum bagi beragam masalah yang dihadapi, dimana setiap

orang mujtahid atau bukan bisa bisa melakukannya. Karena itu, para ulama dalam literatur

fiqh membagi ijtihad dalam dua kategori:

1. Ijtihad seorang mujtahid dalam ranah masalah ijtihadiyyah untuk mencapai titik

zhan (dugaan kuat) tentang status hukumnya. Dalam arti, tatkala seorang mujtahid

mencetuskan sebuah produk hukum dalam masalah yang tidak ada nash qath’i

yang memberikan justifikasi hukum, dan juga tidak berseberangan dengan al-

Qur’an, Hadits, dan Ijma’, maka hukum yang dicetuskan dianggap legal, mengikat,

dan tidak dapat dianulir oleh hasil ijtihad baru,baik dari dirinya sendiri maupun

dari mujtahid lain.

76
2. Ijtihad seorang qadli yang masih taqlid (belum brpredikat mujtahid mutlaq) pada

hal-hal yang termasuk wilayah ijtihadiyyah, atau dalam pengambilan keputusan

hukum masih mengikuti instruksiatsannya (hakim). Seperti dalam poin yang

pertama, hukum yang dicetuskan seorang qadli sama sekalitidak dapat dieliminir.

Prinsip inilah yang kemudian memunculkan idiom: “Pengakuan yang sudah

djelaskan satu kali dan sudah sesuai dengan koridor syar’i tidak dapat digagalkan

dan diulangi.

Ijtihad adalah mencurahkan pikiran untuk menyelesaikan suatu persoalan. Ijtihad

merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi

hukum-hukum yudisial Islam (fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum

Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran Islam tidak akan

mampu menjawab tantangan zaman dengan beragam problematikanya. Dengan demikian

ijtihad adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat

harus berdasarkan kemaslahatan. Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh

pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan

atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat.

A. Studi Putusan Mk Nomor 33/Puu-Xiv/2016 Dari Sudut Pandang Islam

a. Pemohon Anna Boentaran merupakan WNI Pengujian Undang-Undang Pasal 263

ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) bertentangan dengan Pasal 28 28 D ayat

(1) dan 28 I ayat (1) Pasal 263 ayat (1) : terhadap putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala

77
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Suami pemohon sampai saat permohonan ini diajukan belum dapat kembali

keIndonesia dikarenakan peninjauan kembali terhadap putusan lepas dari segala tuntutan

hukum yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Sebelumnya Pada Putusan PN Nomor

156/Pid.B/2000/Jak.Sel dan PutusanNomor 1688 K/Pid/2000 menyatakan bahwa

perbuatan yang didakwaan terhadap terdakwa (suami pemohon dalam Putusan MK Nomor

33/PUU-XIV/2016) terbukti tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana,

sehingga kasasi yang di lakukan pun ditolak oleh Mahkamah Agung.

Suami terdakwa dijerat kasus korupsi namun menurut putusan perkara pidana tersebut

bukanlah korupsi yang merugikan keuangan Negara melainkan kasus korupsi perdata.

Pemohon Anna Boentaran merupakan WNI di menangkan/di terima oleh mahkamah

konstitusi. Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama

permohonan Pemohon dan bukti surat/tulisan Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai

berikut:

Bahwa dalam praktik, acapkali terjadi kesalahan dalam penjatuhanputusan yang

disebabkan oleh kekeliruan dalam hal fakta hukumnya (feitelijke dwaling) maupun

kekeliruan dalam hal hukumnya sendiri (dwaling omtrent het recht). Kesalahan dalam

penjatuhan putusan ini dapat merugikan terpidana maupun masyarakat pencari keadilan

dan negara. Sepanjang masih dalam ruang lingkup upaya hukum biasa, terhadap kesalahan

demikian, baik terpidana maupun Jaksa/Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum

78
biasa yaitu banding dan kasasi. Namun terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan

hukum tetap,hanya ada dua upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan yaitu, Kasasi

demi kepentingan hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum atau Peninjauan Kembali yang

merupakan hak terpidana maupun ahli warisnya;

Jika putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu adalah putusan yang oleh

terpidana atau ahli warisnya dirasa merugikan terpidana karena terpidana ataupun ahli

warisnya merasa bahwa negara telah salah mempidana seseorang yang sesungguhnya

tidak bersalah atau memberatkan terpidana, maka lembaga Peninjauan Kembali bisa

menjadi upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana ataupun ahli warisnya

[vide Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981], dengan memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal

263 ayat (2) UU 8/1981;

Dengan demikian sistem hukum pidana yang dibangun oleh UU 8/1981telah

memberikan kesempatan yang sama baik kepada terpidana maupun kepada Jaksa/Penuntut

Umum yang mewakili kepentingan negara untuk melakukan upaya hukum luar biasa

terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap putusan bebas atau lepas

dari segala tuntutan hukum ataupun putusan pemidanaan yang dinilai oleh Jaksa/Penuntut

Umum tidak memberikan rasa keadilan pada masyarakat, maka Jaksa/Penuntut Umum

dapat mengajukan banding atau kasasi, sedangkan terhadap putusan pemidanaan yang

dinilai oleh terpidana atau ahli warisnya tidak memberikan rasa keadilan kepada pihaknya,

maka dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali; Dengan pertimbangan

sebagaimana diuraikan.

Pendapat saya bahwa peninjauan kemabli hanya bisa di ajukan oleh.terpidana atau

ahli warisnya ,apabila jaksa penuntut umum bisa mengajukan peninjauan kembali maka

79
akan bertentangan dengan hokum positif yang berlaku di Indonesia,jika pasal 263 ayat 1di

maknai berbeda maka rusaklah tatanan hokum di Indonesia karna, akan saling tumba tindi

antara satu hokum dengan hokum lainnya.oleh karna itu hakim mahkamah agung harus

menolak pengajuan kembali yang di lakukan oleh jaksa penuntut umum,dengan alasan

ynag dapat mengajuhkan peninjauan kembali hanyalah terpidana atau ahli warisnya,sesuai

dengan aturan yang beraku di Indonesia

80
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkembangan Kewenangan Penuntut Umum Dalam Mengajukan Peninjauan

Kembali

Sebagaimana diketahui bersama fungsi hukum acara pidana adalah untuk

mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu perkara tindak pidana sehingga penerapan hukum

pidana dapat dengan tepat dan jujur kepada seorang atau kelompok yang melakukan

perbuatan pidana itu. Peninjauan kembali dalam KUHAP merupakah salah satu upaya

hukum luar biasa yang diatur dalam Pasal 263 KUHAP sampai dengan Pasal 269

KUHAP. Dalam Pasal 263 KUHAP sudah sangat jelas diterangkan bahwajaksa

penuntut umum tidak dapat mengajukan peninjauan kembali. Beberapa putusan

Mahkamah Agung yang meloloskan Pengajuan Peninjauan Kembali yang dilakukan

oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan, praktik hukum ini merupakan gejala

kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling) yang dalam implementasinya merupakan

suatu cara yang melanggar atau menerobos aturan-aturan hukum itu sendiri dalam hal

ini adalah aturan dalam hukum acara pidana yakni Pasal 263 KUHAP. Hal ini

tentunya berlawanan dengan asas hukum pidana Nulla poena sine lege “tidak ada

pidana tanpa ketentuan undang-undang” dan juga fakta bahwa di Indonesia tidak

menganut paham preseden sehingga putusan hakim terdahulu tidak dapat

mempengaruhi putusan hakim yang akan datang.

81
2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 terkait

kewenangan Penuntut Umum dalam pengajuan Peninjauan Kembali

Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 telah mengesampingkan Yurisprudensi yang

merupakan pembaharuan hukum dan tentunya tidak menjamin hak korban kejahatan

dalam mengajukan Peninjauan Kembali yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 menjadi tumpukan hukum

terakhir untuk perkara pelaksanaan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum,

hal ini menggambarkan bahwa system hukum di Indonesia masih berjalan

sebagaimana mestinya. Penulis menyimpulkan bahwa Pertimbangan hakim dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 mengenai kewenangan

Pengajuan Peninjauan Kembali oleh jaksa, bahwa hak untuk mengajukan permohonan

peninjauan kembali adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak Jaksa

Penuntut Umum.Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memberikan kekuatan

hukum tertinggi untuk pasal 263 KUHAP. Dan mempertegas bahwa jaksa penuntut

umum tidak berhak mengajuhkan peninjauan kembali

3. Pandangan hukum Islam terhadap Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 pertimbangan

majelis hakim atas putusan peninjauan kembali yang `menyatakan bahwa ketentuan

dalam pasal 263 ayat 1 Undang Undang Nomor 8 tahun 1981 jaksa penuntut umum

tidak berhak mengajuhkan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan negeri

Jakarta selatan yang merupakan putusan bebas dari segala tuntutan,penafsiran pasal

263 oleh jaksa penunutut umum untuk mengajukan peninjauan.di anggap tidak dapat

membatalkan keputusan yang terdahulu,sebagaimana sebuah ijtihad tidal dapat

82
batalkan dengan ijtihad berikutnya,dan masing masing ijtihad dapat berjalan sesuai

dengan hasil yang di harapkannya.

B. Saran

1. Sesuai UU P3,UU KUHAP merupakan peraturan tertinggi/pedoman beracara

dalam perkara pidana,penegak hukum seharusnya patuh pada pasal 263 yang

menyatakan bahwa wewenang mengajuhkan peninjauan kembali bukan di lakukan

oleh jaksa melainkan wali dari terpiadana

2. Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 33/PUU-XIV2016 merupakan putusan yang

memperkuat keberadaan pasal 263 KUHAP sehingga suda selayaknya pasal 263

tidak salah di pergunakan oleh jaksa

3. Tidak ada lagi penafsiran yang berbeda oleh ahli terhadap permasalahan tersebut

dan tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum dapat

terwujud,.Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah saatnya

harus di revisi atau membuat peraturan yang menyatakan bahwa Pasal 263 ayat 1

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan peraturan yang

isinya menyatakan bahwa pihak-pihak yang berhak mengajukan peninjauan

kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah

terpidana atau ahli warisnya.

DAFTAR PUSTAKA

83
Asshiddiqie, Jimly.Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.Jakarta: Sinar

Ariyanto,Yading“Hak Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali Dalam

Perspektif Keadilan Hukum Di Indonesia”, Artikel Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Brawijaya, 2013, hal. 8

Audah,Abdul,Qadir al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami.muqaranan bil qoununil wad’iy,

Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor : Karisma

Ilmu, 2007)

Ash-Shiddieqy,Hasbi,Muhammad,Teuku,”Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX,

(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 202

Bahreisj, Hussein,” Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, (Jakarta: Widjaya 1983)

Bahreisj, Khallid, Hussein,”Himpunan Hadits Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas,

1987), 241-242.

Chazawi, Adami,” Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Cetakan Kedua,

Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 131.

Daliyo, Pengantar hukum Indonesia, Jakarta: Prehallindo, 2001, hal. 221.

Effendy, Marwan.Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari

Perspektif Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2007.

Grafika. 2014.

Hamzah, And,” Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal 8-9

Harahap,M.Yahya,”Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali, Edisi ke 2, (Jakarta:

Sinar Grafika Offset,2000), hal. 586.

Husin, Budi Rizki dan Husin, Kadri,” Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Cetakan

84
Pertama,Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 27.

Hafrida, “Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jambi Terhadap Pengguna/Pemakai

Narkotika Dalam Perspektif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika,” Vol. 16,

2014.

Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana,

Naskah Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas

Indonesia, 2012, h. 22..

Indonesia, Op.cit., lihat pada pertimbangan huruf b.

Irfan, Nurul,dkk, Fiqh Jinayah, 141.

Kartika, Dwi, Shanti “Peninjauan Kembali Lebih Dari Satu Kali, Antara Keadilan Dan

Kepastian Hukum”, Buletin Info Hukum Singkat Pusat Pengkajian, Pengolahan

Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Vol. VI, vol. 6, No. 6,

Maret 2014, hal. 3

Lidwa Pustaka, Kitab Hadis 9 Imam, Shohih Muslim, Kitab Hudud, Bab Kadar Cambukan

Ta’zi>r,no.Hadist 3222.

Muslich, Wardi, Ahmad,” Hukum Pidana Islam,253.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012,

Moerad,Pontang,”Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara

Pidana,Bandung: PT. Alumni, 2005, hal. 332.

Purwoleksono,Didik Endro,Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Airlangga University

Press,2015), hal. 91.

Peter Mahmud Marzuki.“Penelitian Hukum”.Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.

85
Pradana, M. Jordan “Tinjauan Yuridis Peninjauan Kembali yang Diajukan oleh Jaksa

Penuntut Umum Terhadap Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum”,

PAMPAS: Journal Of Criminal, Vol. 1 No. 2, 2020, hal. 144.

Pompe,Sebastian,”Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, diterjemahkan oleh Noor

Cholis,Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan,

2012, hal. 25-26

Pustaka, Lidwa, Kitab Hadis 9 Imam, Sunan Tirmidzi, Kitab Diyat, Bab menahan diri

untuk tidak

menuduh, no. Hadist 1337.

Purwoleksono,Didik Endro,Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Airlangga University


Press,2015), hal. 91.
Rosyada,Dede,” Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : Lembaga Studi Islam dan

Kemasyarakatan, 1992), halaman 86., sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali,

Hukum Pidana Islam,Cet. 1., Sinar Grafika, Jakarta, 2007, halaman 1.

Sutiyoso, Bambang.Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang


Pasti dan Berkeadilan. Yogyakarta: UII Press. 2009.
Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum. cet 3Jakarta : Universitas
Indonesia. 2014.
Sujatmoko, Adrey dan Marzuki, Suparman, Rifa’i, Amizulian ,”Wajah Hakim dalam

Putusan Studi Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:

Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) hal. 5

4.

Sudarsono, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan Peradilan Tata Usaha Negara, cet.

Ke-1 (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 462.

86
Sutarto,Suryono, Sari Hukum Acara Pidana I, (Semarang: Yayasan Cendekia Purna

Dharma), hal. 68-70.

Sasongko, Hari, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, (Surabaya: Dharma

Surya Berlian, 1996) hal. 26.

Soeparman, Parman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum dalam Perkara Pidana

bagi Korban Kejahatan, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 17

Suhariyanto, Budi “Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan

oleh Jaksa Penuntut Umum (Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 57

PK/Pid/2009), Jurnal Yudisial, Vol. 8 No. 2, 2015, hal. 191.

Siahaan, Maruarar,”Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta:

Sinar Gratifika, 2015, hal. 211.

Thalib, Abdul Rasyid.Wewenang Mahkamah Konstitusi & Implikasinya Dalam


Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.cet. 1.Jakarta: PT Citra Aditya Bakti,
2006.
Tahir, Hadari,Djenawi, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan

dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 37.

Tim Pengkkaji Pusat Litbang, Problematika Penerimaan Peninjauan Kembali dan Grasi

dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Puslitbang Kejagung RI, 2006), hal. 8. Dalam

Ristu Darmawan,Upaya Hukum Luar Biasa Peninjaua Kembali Terhadap Putusan

Bebas Dalam Putusan Pidana, Naskah Tesis Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), hal. 22.

Undang undang
Indonesia. Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

87
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 1 angka 6.

Indonesia, Undang-Undang Kejaksaaan Republik Indonesia, UU Nomor 16 Tahun 2004,

Pasal 35 huruf c.

Indonesia, uu kejaksaan pasal 2 ayat 1

JURNAL
Achmad,Farid “Urgensi Penguatan Peran Penuntut Umum Dalam Sistem Peradilan Pidana

Indonesia”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, vol.7, No. 1, Januari-Juni 2019,

hal.2

Ardilafiza, “Independensi Kejaksaan Sebagai Pelaksana Kekuasaan Penuntutan Dalam

Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, vol.3, No. 2, November

2010, hal. 75-103.

Indonesia”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, vol.7, No. 1, Januari-Juni 2019, hal. 2

Harsanto,Adi dkk. “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca

Putusan Mahkamah Konstitus”.e Jurnal Katalogis, Edisi No. 3, Vol. 5,

Gaffar, Janedjri M. “Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak

Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu”.Jurnal Konstitusi. Edisi No.

1, Vol. 10, (2013)

Harsanto, Adi dkk, “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Kartalogis, Vol. 5 No. 3, 2017, hal. 1.

(2017).

Mahkamah Konstitusi.“Meniti Keadilan dalam Pengajuan PK Lebih dari Satu Kali”.

Jurnal Konstitusi. No. 86 April (2014).

88
Rafsanjani, Hasseni, Akhmed,” Ánalisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

33/PUU-XIV/2016 Terhadap Kewenangan Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali

dalam Perkara Pidana”, Dinamika, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol. 26 No. 5,

2020, hal. 647-648.

Rifdah Juniarti Hasmi. “Kewenangan Jaksa mengajukan Peninjaun Kembali terhadap

Putusan yang telah memperoleh Kekuatan Hukum Tetap dalam Sistem Peradilan

Pidana”.Jurnal JOM Fakultas Hukum.Edisi No. 1, Vol. III, (2016).

Sakti, Yayang Susila. “Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum: Antara Kepastian

dan Keadilan”.Jurnal Arena Hukun.Edisi No. 1, Vol 7, (2014). hal. 83

Suhariyanto, Budi “Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan

oleh Jaksa Penuntut Umum (Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 57

PK/Pid/2009), Jurnal Yudisial, Vol. 8 No. 2, 2015, hal. 191.

Zaini, Ahmad dan Malik, Abdul,” Ánalisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

33/PUU-XIV/2016 tentang Larangan Jaksa Penuntut Umum Mengajukan

Peninjauan Kembali”, AlQisthas;Jurnal Hukum dan Politik, Vol. 9 No. 1, 2018,

hal. 22..

PUTUSAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016.

89
90

Anda mungkin juga menyukai