PROPOSAL SKRIPSI
Oleh :
NPM : 1302015081
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA
2021
1
KEWENANGAN PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN PENINJAUAN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
NPM : 1302015081
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA
2021
2
MOTTO
3
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Mengakui dan menerangkan bahwa skripsi dengan judul “Kewenangan Penuntut Umum
merupakan plagiasi ataupun duplikasi dari karya tulis orang lain. Sumber-sumber yang
digunakan, baik dirujuk maupun dikutip, dalam skripsi ini telah dicantumkan dengan
Apabila dikemudian hari, skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupu plagiasi, saya
bersedia untuk menerima konsekuensi pembatalan kelulusan saya sebagai Sarjana Hukum
dari Fakultas Hukum Universitas YARSI.
Demikian surat pernyataan ini saya buat sebenar-benarnya dan tanda tangani
sebagaimana mestinya.
4
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI
Kewenangan Penuntut Umum dalam Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) terhadap
Perkara Pidana (Studi Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016)
Oleh :
Afik Vergiayawa Dodia Hi Dahlan
NPM : 1302015081
Telah diperiksa dan dinyatakan siap untuk diuji dan dipertahankan di depan Tim Penguji
Skripsi
Jakarta 2021
5
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh :
Afik Vergiyawa dodian hi dahlan
Npm : 1302015081
Telah berhasil dipertahankan di depan Tim Penguji dalam Sidang Skripsi yang
dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 25 Juni tahun 2021 dan telah diterima sebagai salah
satu syarat yang diperlukan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum
Universitas YARSI
Mengetahui,
Fakultas Hukum
Universitas YARSI
6
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Sebagai insan akademik Universitas YARSI. Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Afik Vergiyawa Dodian Hi Dahlan
NPM : 1302015081
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Judul Skripsi : Kewenangan Penuntut Umum dalam Pengajuan Peninjauan
Kembali (PK) terhadap Perkara Pidana(Studi Putusan MK
Nomor 33/PUU-XIV/2016)Menyatakan menyetujui untuk
memberikan izin publikasi atas skripsi ini untuk kepentingan
akademis kepada Universitas YARSI. Persetujuan ini
mencakup piranti-piranti yang dibuat sehubungan dengan
dokumentasi skripsi ini (apabila ada).
Dengan persetujuan yang saya buat ini, Universitas YARSI berhak melakukan tindakan
penyimpanan, pengelolaan (dalam bentuk pangkalan data), perawatan, dan publikasi
skripsi saya ini sepanjang tetap mencatumkan nama saya sebagai penulisnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : Juni
Yang menyatakan,
7
KATA PENGANTAR
vii
Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat,
hidayah dan inayah-Nya serta dengan izin-Nya lah skripsi ini dapat disusun dan
diselesaikan. Shalawat dan salam buat junjungan alam nabi Muhammad saw yang telah
memberikan penerangan dari yang gelap menjadi bercahaya dan seorang tokoh
revolusioner yang patut di teladani manusia.Penulisan skripsi merupakan salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Strata Satu (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas YARSI
Jakarta. Adapun judul skripsi ini Kewenangan Penuntut Umum dalam Pengajuan
Peninjauan Kembali (PK) terhadap Perkara Pidana (Studi Putusan MK Nomor
33/PUU-XIV/2016)
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini menyita banyak waktu, tenaga
dan pikiran, tetapi Alhamdulillah dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dengan
demikian dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis menghaturkan rasa hormat
dan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Ely Alawiyah Jufri, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas YARSI
2. Ibu Dr. Liza Evita Jakbar, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Fakultas
Hukum Universitas YARSI.
3. Bapak Kharis Umardani,S.H., M.H., selaku Sekretaris Program Studi Fakultas
Hukum Universitas YARSI dan Pembimbing Akademik Penulis. Terimakasi
atas segala ilmu, dukungan, motivasi dan semangat yang Bapak berikan kepada
Penulis. Semoga Allah membalas segala kebaikan yang telah Bapak berikan
kepada Penulis.
4. Ibu Nelly Ulfah Anisa Riza, S.H., M.H., selaku Koordinator Bidang Penelitian
8
Fakultas Hukum Universitas YARSI.
5. Ibu Lusy selaku Pembimbing Ilmu Penulis. Terimakasi atas segala ilmu,
dukungan, motivasi yang Ibu berikan kepada Penulis sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Semoga Allah SWT senantiasa
melimpahkan rizki, kesehatan, dan Rahmat-Nya untuk bapak.
6. Bapak Amir Mahmud, Lc., LL.M., selaku Pembimbing Agama Penulis.
Terimakasi atas segala ilmu dan kesabaran yang diberikan kepada Penulis
sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Semoga Allah
SWT senantiasa melimpahkan rizki, kesehatan, dan Rahmat-Nya untuk Bapak.
7. Kepada kedua orang tua Penulis. Terimaksi atas seluruh kasih sayang, doa, dan
dukungan yang diberikana kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaiaka
n skripsi dan pendidikan sampai perguruan tinggi
Kepada sahabat-sahabat Penulis, Meldi Harisman,Terimakasih atas kerjasamannya dalam
menyelesaikan skripsi.Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih jauh
dari kata sempurna. Karena itulah kepada berbagai pihak diharapkan kritik
yangmembangun demi penyempurnaan skripsi ini
9
ABSTRAK
10
DAFTAR ISI
Halaman Sampul.............................................................................................................i
Halaman Judul................................................................................................................ii
Motto...............................................................................................................................iii
Halaman Pernyataan Orisinalitas Skripsi........................................................................iv
Halaman Persetujuan Skripsi..........................................................................................v
Halaman Pengasahan Tim Penguji Skripsi.....................................................................vi
Halaman Pernyataan Persetujuan Pemberian Izin
Publikasi Skripsi Untuk Kepentingan Akademis............................................................vii
Kata Pengantar
Abstrak
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................2
C. Tujuan dan Manfaat...................................................................................................3
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................................4
E. Kerangka konseptual
F. Metode Penelitian.......................................................................................................6
G. Sistematika.................................................................................................................7
11
Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 terkait kewenangan
Penuntut Umum dalam pengajuan Peninjauan Kembali.........................................18
A. Petimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016
BAB V PENUTUP.........................................................................................................24
A. Kesimpulan..............................................................................................................25
B. Saran........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................27
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Ide
negara hukum sendiri selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’,
juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan
‘cratos’. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Jadi yang
atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum
atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.Dalam paham negara hukum yang
demikian, harus diadakan jaminan bahwa hukum dibangun dan ditegakkan menurut
pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat.Oleh sebab itu, prinsip negara hukum
pancasila. Dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 berbunyi Negara Indonesia adalah Negara
hukum sehingga penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak
pancasila sebagai landasan filosofis yang sampai saat ini terus diupayakan untuk
1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014),
hal. 70.
13
diwujudkan, untuk itu dalam mewujudkan tujuan penegakan hukum tentunya
Maka salah satu bentuk penegakan hukum tersebut, pemerintah membentuk perangkat
penegak hukum dengan salah satu upaya tersebut telah dibentuknya lembaga
undang-undang ini mengatur tentang tata cara pelaksanaan hukum pidana formil
sehingga tidak terjadi tindakan sewenang-wenang dari negara terhadap warga negara,
fungsi sebagai institusi tertinggi terhadap penuntutan di bidang hukum yang berperan
utama dalam mewujudkan keadilan dan penegakan supremasi hukum bagi seluruh
Negara dibidang prapenuntutan dan penuntutan, serta sebagai institusi yang memiliki
wewenang dalam penegakan hukum dan keadilan, peran kejaksaan sebagai garda
terdepan penegakan hukum demikian penting dan strategis. 3Sebagai institusi peradilan
kewenangan jaksa langsung dirasakan oleh masyarakat, oleh karena itu sebagai salah
2
Rifdah Juniarti Hasmi, “Kewenangan Jaksa mengajukan Peninjaun Kembali terhadap Putusan
yang telah memperoleh Kekuatan Hukum Tetap dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal JOM Fakultas
Hukum, Edisi No. 1, Vol. III, (2016), hal. 2.
3
Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 127.
14
satu ujung tombak, dalam penegakan hukum, peran jaksa diharapkan menjujung tinggi
nilai-nilai keadilan.
Kebijakan hukum pidana saat ini (ius constitutum) mengatur para pihak yang dapat
kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana ialah terpidana atau ahli warisnya
sebagaimana diatur dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Pasal 263 ayat (1)
hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana
Mahkamah Agung”. Upaya hukum luar biasa bertujuan menemukan keadilan dan
untuk pengajuan upaya hukum luar biasa, seperti PK, karena sangat dimungkinkan
adanya novum yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum
ditemukan.4
ke pengadilan dapat diputus oleh hakim yang profesional dan memiliki integritas
moral tinggi sehingga dapat melahirkan putusan yang tidak saja mengandung aspek
kepastian hukum (keadilan prosedural), tetapi juga berdimensikan legal justice, moral
justice, dan social justice mengingat keadilan itulah menjadi tujuan utama yang
4
Mahkamah Konstitusi, “Meniti Keadilan dalam Pengajuan PK Lebih dari Satu Kali”, Jurnal
Konstitusi, Edisi No. 86 April, (2014), hal. 6
5
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan
Berkeadilan, (Yogyakarta:UII Press, 2009),hal. 6.
15
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 263 ayat (1)
disebutkan bahwa untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan, dibuka
kemungkinan upaya hukum bagi terpidana, yaitu perkara yang sudah diputus oleh
pengadilan dan putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap yaitu melalui
perumusan Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah
yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali (PK) hanyalah terpidana atau ahli
warisnya.6
dalam hukum positif di Indonesia mulai dikenal sejak Negara Indonesia merdeka,
yaitu dalam undang-undang, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) serta Surat Edaran
dengan prinsip kepastian hukum mengingat tanpa kepastian hukum akan menimbulkan
Peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan pengadilan yang
merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diterima
mengingat di dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP menentukan yang berhak mengajukan
peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya. Namun berbeda halnya apabila
16
terhadap perkara pidana dilakukan oleh penuntut umum, hal ini menjadi perbedaan
menguatkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP merupakan norma yang sudah jelas dan
limitatif mengatur para pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali, yaitu
terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana korupsi yang sebelumnya telah
hakim bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi bukan merupakan tindak
sebelumnya. Sehingga saat putusan ini telah berkekuatan hukum tetap jaksa tetap
putusan yang sebelumnya telah berkekuatan hukum tetap yang menjadikan terdakwa
bebas kini kembali didakwa dan dijatuhi hukuman 2 tahun penjara oleh MA.
itujuga tercermin dari dua hal lain. Pertama, perkara-perkara yang menjadiwewenang
17
Mahkamah Konstitusi adalah perkara-perkara konstitusional, yaitu perkara
Fungsi MK sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of the human
undang dapat dilihat sebagai upaya melindungi HAM yang dijamin UUD 1945 agar
Pasal 263 ayat (1) dimaknai berbeda dari apa yang telah ditetapkan dalam Pasal
tersebut maka hal tersebut adalah melanggar UUD 1945 serta tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Hal ini menjadikan peninjauan kembali yang dilakukan
petunjuk dan pedoman dalam hal pengajuan peninjauan kembali terhadap perkara
pidana oleh penuntut umum, di karenakan putusan MK merupakan putusan final dan
binding.
7
Janedjri M. Gaffar, Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia
terkait Penyelenggaraan Pemilu”, Jurnal Konstitusi, Edisi No. 1, Vol. 10, (2013), hal. 14.
18
Berdasarkan uaraian diatas, penulis tertarik untuk menganalisis mengenai
Putusan MK ini memberikan kekuatan hukum Pada 263 ayat (1) bahwa pasal tersebut
tidak bisa di artikan atau diinterpretasikan dengan arti lain selain dengan apa yang
B. Rumusan Masalah
Peninjauan Kembali
Dengan menelaah judul penulisan hukum diatas, maka dapat kiranya diketahui apa
yang menjadi tujuan yang hendak dicapai. Tujuan dari penelitian ini adalah :
19
1. Untuk mengetahui perkembangan kewenangan penuntut umum dalam mengajukan
Peninjauan Kembali.
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan
2. Manfaat Praktis
C. Kerangka Konseptual
1. Perkembangan
2. Kewenangan
20
Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasan yang
berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif dari
3. Penuntut Umum
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini9
4. Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum dalam acara pidana dengan tujuan
5. Putusan
pendapat atau kesimpulan hukum dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara.
6. Mahkamah konstitusi
8
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi & Implikasinya Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, cet. 1. (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 210.
9
Pasal 6 Ayat 1 berbunyi: Jaksa adalah pejabat yan diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, LN
Tahun 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209, Pasal 1 angka 6 huruf (a).
10
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8
Tahun 1981, LN Tahun 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209, Pasal 1 angka 6 huruf (b).
11
Adi Harsanto. dkk, “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca Putusan
Mahkamah Konstitus”, e Jurnal Katalogis, Edisi No. 3, Vol. 5, (2017), hal. 5.
21
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan penulisan ini
adalah penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian yang biasa disebut dengan
2. Jenis data
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.14 Sumber data diperoleh
dari :
22
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan
Dalam hal ini, yang digunakan oleh penulis adalah berupa kamus dan
Pada peneltian ini, alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
Perkara Pidana
4. Analisis data
Dalam penyajian analisis data penulis akan menggunakan data kualitatif yaitu
informasi yang berbentuk kata-kata dengan kalimat yang jelas dan mudah
dengan cara melakukan analisis terhadap kasus yang berkaitan dengan masalah
E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ed. Revisi, cet. 12, (Jakarta: PrenadaMedia Group,
2016), hal. 181.
23
Dalam bab ini penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan,
sistematika penulisan.
Dalam bab III ini penulis akan menjelaskan tentang uraian jawaban
BAB V PENUTUP
24
dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya, penulis akan memberikan
telah ditemukan.
25
BAB II
TINAJUAN PUSTAKA
bahwa:16
a) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
b) Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewewnang oleh Undang-Undang ini
Berdasarkan bunyi Pasal tersebut, seorang Jaksa belum tentu sebagai Penuntut Umum,
sedangkan seorang Penuntut Umum pastilah seorang Jaksa. Jaksa melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, misalnya dalam hal
daritahanan.17
Di Indonesia dikenal 2 (dua) asas penuntutan yaitu asas Legalitas dan asas
Opportunitas, dalam asas Opportunitas yang dapat melaksanakan asas tersebut Jaksa
16
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 1 angka 6.
17
Didik Endro Purwoleksono, Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Airlangga University Press, 2015),
hal. 91.
26
Agung dan tidak kepada setiap Jaksa selaku Penuntut Umum dikarenakan kedudukan
Jaksa Agung merupakan Penuntut Umum tertinggi. 18 Pengertian dari kedua asas tersebut
sebagai berikut:
setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana dimana tindakan tersebut disengaja
maupun tidak tetap harus menjalankan hukuman. Asas ini adalah suatu perwujudan
b. Asas Opportunitas, yaitu Jaksa selaku Penuntut Umum tidak diwajibkan melakukan
Umum sebagai penuntut memiliki kewajiban untuk menuntut pelaku tindak pidana dengan
hukum yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan asas yang kedua
yaitu Penuntut Umum tiak akan menuntut seseorang walaupun seseorang tersebut telah
melakukan tindak pidana yang dapat diproses secara hukum dengan mempertimbangkan
kepentingan umum.
Penuntut Umum yang bila ditafsirkan secara etimologis berasal dari kata”prosecution”
yang berasal dari bahasa latin, prosecutes, yang terdiri dari kata “pro” (sebelum) dan
18
Indonesia, Undang-Undang Kejaksaaan Republik Indonesia, UU Nomor 16 Tahun 2004, Pasal
35 huruf c.
19
Hadari Djenawi Tahir, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 37.
27
“sequi” (mengikuti). Mengacu pada kata “Penuntut Umum” secara etimologis dan
dikaitkan dengan peran Kejaksaan dalam suatu system peradilan pidan, maka Kejaksaan
yaitu pengendali proses perkara dari tahapan awal Penyidikan sampai dengan pelaksanaan
adalah untuk pembaharuan Kejaksaan, agar kedudukan dan perannya sebagai lembaga
dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan lainnya dalam
Berbicara kekuasaan kehakiman maka kita juga menyinggung seluruh elemen yang
ada di dalamnya. Salah satunya adalah Jaksa, seperti yang terdapat dalam Undang-Undang
20
Farid Achmad, “Urgensi Penguatan Peran Penuntut Umum Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, vol.7, No. 1, Januari-Juni 2019, hal. 2
21
Ardilafiza, “Independensi Kejaksaan Sebagai Pelaksana Kekuasaan Penuntutan Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, vol.3, No. 2, November 2010, hal. 75-103.
28
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menyataan bahwa Kejaksaan Republik
Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
merdeka tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004 bahwa “Kejaksaan
Sebagai alat kekuasaan dari pemerintah, Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat
pekerjaan).
Dalam rangka memantapkan kedudukan dan peranan Kejaksaan sesuai dengan system
22
Indonesia, Op.cit., lihat pada pertimbangan huruf b.
23
Indonesia, ibid., Pasal 2 ayat (2).
29
mengembangkan profesionalisme Jaksa, maka Jaksa ditetapkan sebagai pejabat
fungsional.24
wakil Negara, dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah serta demi keadilan dan
kepengtingan masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu pelaksanaan penuntutan harus
berdasarkan hukum dan senantiasa mengindahkan rasa keadlian yang hidup dalam
pidana.
Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertugas memimpin dan melakukan
30
tugas dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung, dan
mendeponir perkara pidana berdasarkan kepentingan umum. Dan wewenang ini hanya
dimiliki oleh Jaksa Agung untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.Asas Dominus
litis yang menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang bethak melakukan penuntutan
selain Jaksa Penuntut Umum yang bersifat absolute dan memonopoli penuntutan dan
penyelesaian perkara pidan, Hakim sekalipun tidak bisa meminta supaya perkara pidana
yang diajukan kepadanya, hakim dalam penyelasian perkara hanya bersifat pasif dan
Indonesia, terkait dengan tugas dan wewenang Kejaksaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
adalah:
31
2. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang
a. Melakukan penuntutan;
Undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakanakan pemeriksaan
3. Di bidang perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau
Pemerintah.
kegiatan:
32
a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam
f. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wikayah Negara
1. Menerima dan memriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu;
memerhatika ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberi petunjuk
pengadilan;
33
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkann yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
7. Melakukan penuntutan;
dimaksud adalah anatara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan
memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara Penyidik, Penuntut
pertama upaya hukum biasa yaitu Banding hingga Kasasi sebagaimana diatur dalam Bab
XVII Pasal 233 KUHAP sampai dengan Pasal 258 KUHAP. Kedua, Upaya hukum luar
biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK) yang diatur dalam Pasal 263 KUHAP samapi dengan
hukum pasti yang bebrisikan pemidanaan, dimana tidak dapat diterapkan terhadap
oleh Andi Hamzah dan Irdan Dahlan bahwa Peninjauan Kembali (PK) yaitu hak terpidana
untuk meminta memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai
34
Uapaya hukum Peninjauan Kembali pada prinsipnya merupakan upaya hukum luar
biasa (extraordinary remedy) terhadap putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewisjde). Uapaya hukum Peninjauan Kembali bertujuan untuk
memberikan keadilan hukum, dan bisa diajukan oleh pihak yang berperkara baik untuk
perkara pidana maupun perkara perdata. Peninjauan Kembali merupakan hak terpidana
Alasan Peninjauan Kembali dikategorikan sebagai upaya hukum luar biasa karena
(mengungkap) suatu keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan suatu putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, harus
Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik
kembali atau menolak putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.29
Berbeda dengan uapaya hukum biasa, maka permohonan untuk upaya hukum luar
28
Shanti dwi Kartika, “Peninjauan Kembali Lebih Dari Satu Kali, Antara Keadilan dan Kepastian
Hukum”, Buletin Info Hukum Singkat Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekrteariat
Jenderal DPR RI, vol. 6, No. 6, Maret 2014, hal. 3.
29
Tim Pengkkaji Pusat Litbang, Problematika Penerimaan Peninjauan Kembali dan Grasi dalam
Penegakan Hukum, (Jakarta: Puslitbang Kejagung RI, 2006), hal. 8. Dalam Ristu Darmawan, Upaya Hukum
Luar Biasa Peninjaua Kembali Terhadap Putusan Bebas Dalam Putusan Pidana, Naskah Tesis Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), hal. 22.
30
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali, Edisi ke 2, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000), hal.
586.
35
a. Dapat diajukan dan ditujukan terhadap putusan Pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap;
b. Dapat ditujukan dan diajukan dalam keadaan tertentu, tidak dapat diajukan untuk
semua putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Harus ada dan
c. Dapat diajukan kepada Mahkamah Agung, dan diperiksa serta diputus oleh
Sedangkan syarat materiil untuk dapat mengajukan Penuinjaun Kembali diatur dalam
Pasal 263 ayat (2) KHAP, yaitu permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu siding masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putussn bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukumatau tuntutan
Penuntut Umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
b. Apabila dalam berbagai putusan terdapat peprnayaan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan
telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau
36
2) Apabila suatu permintaan Peninjauan Kembali sudah diterima oleh Mahkamah
Agung dan sementara itu Pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau
3) Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali
saja.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga Negara yang
tambahan Memutus perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota selama
37
Tegaknya Konstitusi Melalui Peradilan Modern dan Terpercaya”. Sedangkan Misi yang
38
BAB III
Kembali
dibentuk dengan tujuan memberikan kepastian bagi seluruh dan bagi setiap pengemban
hak dan kewajiban. Serta untuk tercapainya ketertiban di dalam suatu negara yang
berlandaskan pada prinsip kepastian hukum. Kepastian hukum yang tidak dapat
dipisahkan dari norma hukum yang tertulis dan dijadikan sebagai pedoman bagi setiap
orang. Kepastian hukum pula memberikan kejelasan bahwa hal-hal apa saja yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan menurut hukum dalam setiap peraturan
perundang-undangan.31
Sebagaimana diketahui bersama fungsi hukum acara pidana adalah untuk mencari
dari suatu perkara tindak pidana sehingga penerapan hukum pidana dapat dengan tepat dan
jujur kepada seorang atau kelompok yang melakukan perbuatan pidana itu, 32 lebih tegas
31
Adi Harsanto, dkk, “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Kartalogis, Vol. 5 No. 3, 2017, hal. 1.
32
Daliyo, Pengantar hukum Indonesia, Jakarta: Prehallindo, 2001, hal. 221.
39
lagi Van Bemellen menyatakan fungsi hukum acara pidana adalah untuk mencari
kebenaran, pemberian kepastian oleh hakim, dan pelaksanaan putusan.33 Secara garis besar
pemberian kepastian hukum menjadi tumpuan utama dalam pelaksanaan hukum acara
pidana itu sendiri, sehingga keputusan hakim yang akan diambil merupakan keputusan
yang tepat yang kemudian akan dilakukan pelaksanaan (eksekusi) oleh jaksa sehingga
masyarakat.
Upaya hukum menurut hukum acara pidana dibedakan secara tegas dalam Bab
XVII Pasal 233 KUHAP sampai dengan Pasal 258 KUHAP yang mengatur tentang upaya
hukum biasa dan Bab XVIII Pasal 259 KUHAP sampai dengan Pasal 269 KUHAP
mengatur tentang upaya hukum luar biasa. Peninjauan kembali dalam KUHAP merupakah
salah satu upaya hukum luar biasa yang diatur dalam Pasal 263 KUHAP sampai dengan
Pasal 269 KUHAP sedangkan upaya hukum luar biasa yang lain adalah kasasi demi
kepentingan hukum yang diatur dalam Pasal 259 KUHAP sampai dengan Pasal 262
KUHAP.34 Di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengatur “Terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Artinya putusan pengadilan yang bukan
putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum dapat diajukan permohonan PK oleh
terpidana atau ahliwarisnya, sedang putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum tidak
33
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal 8-9
34
Sri Ayu Astuti dan Yenny Nuraeni, “Kewenangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam
Melakukan Upaya Hukum Luar Biasa (Peninjauan Kembali) Ditinjau dari Hukum Pidana (Studi Kasus
Djoko Chandra), Pakuan Justice Journal Of Law (PAJOUL), Vol. 2 No. 2, 2020, hal. 61.
40
dengan tegas ditentukan atau tidak diatur, dengan kata lain tidak ada larangan untuk
(mengungkap) suatu keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, harus
Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik
kembali atau menolak putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.35
Berbeda dengan upaya hukum biasa, maka permohonan terhadap upaya hukum
luar biasa memiliki syarat tertentu, yaitu: 1. Dapat diajukan dan ditujukan terhadap
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; 2. Dapat ditujukan dan diajukan
dalam keadaan tertentu, tidak dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap. Harus ada dan terdapat keadaan–keadaan tertentu sebagai
syarat; dan 3. Dapat diajukan kepada Mahkamah Agung, dan diperiksa serta diputus oleh
dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu, Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas
dasar: a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum
35
Adi Harsanto, dkk, “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca…,Op. cit.,
hal. 4-5
36
Ibid.
41
tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan; b. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan
telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; dan c. Apabila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata.37
fungsi sebagai institusi tertinggi terhadap penuntutan di bidang hukum yang berperan
utama dalam mewujudkan keadilan dan penegakan supremasi hukum bagi seluruh bangsa
dinegeri ini. Sebagai institusi pemerintahan yang melakakan kewenangan Negara dibidang
prapenuntutan dan penuntutan, serta sebagai institusi yang memiliki wewenang dalam
penegakan hukum dan keadilan, peran kejaksaan sebagai gardu terdepan penegakan
hukum demikian penting dan strategis.38 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan (UU Kejaksaan), menurut ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kejaksaan,
undang-undang.39
Peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum bukan saja atas dasar Pasal 263 ayat
(1), (2) dan (3) KUHAP dan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan malasah PK saja akan tetapi berlandaskan “asas legalitas” dan “asas
keseimbangan” serta nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
37
Ibid.
38
Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia (Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum),
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007, hal. 127.
39
Indonesia, uu kejaksaan pasal 2 ayat 1
42
Dimana kepastian hukum selalu berbenturan dengan keadilan oleh karena tujuan Jaksa
Penuntut Umum (JPU) untuk mewujudkan keadilan sesuai dengan tujuan dan cita Negara
dan kepastian hukum bisa sejalan antara satu sama lain, bukan yang sebaliknya yang
saling bertentangan, walaupun antara keadilan dan kepastian hukum tidak sejalan akan
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) berarti diterimanya Peninjauan Kembali yang
diajukan Jaksa Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung merupakan suatu peradilan
sesat.40
Peradilan sesat berasal dari frasa Rechterlijke Dwaling (belanda) yang dalam
bahasa Indonesia dapat diartikan dengan “kesesatan hakim”. Penggunaan kata “hakim”
sebagai pengganti kata rechterlijke dapat dimengerti sepenuhnuya karena peradilan identik
dengan hakim. Hakim sebagai pengendali proses peradilan, sehingga jika proses peradilan
yang dikendalikan oleh hakim yang memeriksa perkara dilakukan dengan salah jalan alias
sesat dan menghasilkan putusan yang merugikan orang yang akan diadili atau
menghasilkan putusan sesat maka dapat pula disebut “kesesatan hakim”. Menurut Adami
Chazawi, kesesatan peradilan tidak semata-mata karena tersesat fakta (feitelijke dwaling),
namun dapat juga kareana sesat dibidang hukum (dwaling omtrent het recht). 41 Jaksa
Penuntut Umum tidak berhak mengajukan Peninjauan Kembali karena itu merupakan hak
40
M. Jordan Pradana, “Tinjauan Yuridis Peninjauan Kembali yang Diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum Terhadap Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum”, PAMPAS: Journal Of Criminal, Vol. 1 No.
2, 2020, hal. 144.
41
Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta:
Sinar Grafika, 2011, hal. 131.
43
terpidana atau ahli warisnya, namun Jaksa selalu menang dalam mengajukan peninjauan
terpidana yang telah dilanggar oleh Hakim. Hal-hal tersebut juga termuat dalam
pertimbangan lahirnya PERMA No. 1 Tahun 1969 tentang Peninjauan Kembali yang
dipertegas oleh PERMA No. 1 Tahun 1980 yang bersifat sementara. Menurut Andi
Hamzah, dalam Pasal 263 ayat (3) KUHAP menjelaskan terhadap suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan PK
apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan
tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Dalam hal ini tujuan PK tersebut adalah untuk
tidak dapat menerima upaya peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa penuntut umum
dengan mendasarkan pada nilai kepastian hukum, namun dalam putusannya yang lain
menyatakan dapat menerima peninjauan kembali dari jaksa penuntut umum dengan
42
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal.
306.
43
Budi Suhariyanto, “Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum (Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 PK/Pid/2009), Jurnal Yudisial, Vol. 8
No. 2, 2015, hal. 191.
44
Meskipun KUHAP telah berlaku lebih dari 30 tahun, namun berlakunya Pasal 263
KUHAP mengatur tentang upaya hukum luar biasa yang dinamakan peninjauan kembali,
banyak terjadi dari berbagai sudut pandang ahli hukum. Dalam kenyataannya banyak
pakar, praktisi, dan pengamat hukum yang berpendapat bahwa yang dapat mengajukan PK
adalah terpidana dan ahli warisnya, sedangkan Jaksa Penuntut Umum yang mewakili
masyarakat, korban kejahatan, dan mewakili negara tidak berhak mengajukan PK. Secara
hukum formil jaksa penuntut umum tidak boleh mengajukan PK, akan tetapi atas dasar
keadilan dan keseimbangan jaksa penuntut umum seharusnya memiliki hak yang sama
beberapa Putusan
Pada tanggal 25 Oktober 1996 lahir putusan bersejarah dengan nomor perkara
No.55 PK/Pid/1996 yang mana peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum diterima
oleh Mahkamah agung. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan mengajukan
umum dalam proses penyelesaian perkara pidana dengan terdakwa Muchtar Pakpahan.
kekhilafan dari Majelis Hakim dalam menetapkan putusan, maka demi keadilan tentunya
tidak salah apabila putusan tersebut diajukan permohonan untuk ditinjau kembali.
44
Yading Ariyanto, “Hak Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali Dalam Perspektif
Keadilan Hukum Di Indonesia”, Artikel Program Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, 2013, hal. 8
45
Indonesia, dengan demikian Jaksa PenuntutUmum berkewajiban menegakkan keadilan
Secara positivis, Pasal 263 KUHAP hanya menyebutkan dua pihak saja yang dapat
Selain dari keduanya tidak berwenang mengajukan PK, termasuk JPU. Jika terdapat
pengajuan PK dari JPU maka harus dinyatakan tidak dapat diterima. Hal inilah yang
dijadikan acuan dasar oleh Mahkamah Agung melalui salah satu putusannya Nomor 84
PK/Pid/2006 untuk memutuskan tidak dapat menerima PK yang diajukan oleh JPU.46
KUHAP telah menentukan secara limitatif tentang pihakpihak yang dapat mengajukan
permohonan PK kepada Mahkamah Agung. Pihak yang disebutkan dalam pasal tersebut
adalah terpidana atau ahli warisnya, sementara JPU tidak disebutkan. Dapat dimaknai
bahwa kepentingan dasar yang dilindungi adalah kepentingan hukum dari terpidana atau
ahli warisnya, sehingga apabila JPU mengajukan PK baik atas dasar kepentingan
hukumnya yang mewakili negara atau kepentingan umum atau juga korban terhadap
putusan yang berkekuatan hukum tetap yang membebaskan dan lepas dari segala tuntutan
hukum, maka ditinjau dari perspektif legal formal dinilai telah menyimpangi atau
melanggar.47
Disebutkan pula dalam pertimbangan hukum putusan di atas bahwa langkah JPU
mengajukan PK merupakan suatu kesalahan penerapan hukum. Dalam konteks ini telah
45
Sri Ayu Astuti dan Yenny Nuraeni, “Kewenangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam
Melakukan Upaya Hukum Luar Biasa (Peninjauan Kembali) Ditinjau dari Hukum Pidana…, Op.cit., hal. 65.
46
Budi Suhariyanto, “Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum…, Op.cit., hal. 196.
47
Putusan MK No. 84/Pid/2006
46
jelas terjadi pelanggaran terhadap norma hukum acara pidana yang notabene tidak dapat
ditafsirkan dan disimpangi selain daripada yang terumuskan dalam KUHAP. Ditegaskan
pula bahwa pelanggaran terhadap hukum acara pidana akan berakibat pada tercerabutnya
kepastian hukum. Selanjutnya ketika kepentingan hukum dalam hukum acara pidana
terlanggar maka keadilan pun akan tercerabut juga secara formal (keadilan formal).48
Kemudian terdapat kasus yang serupa dalam putusan Mahkamah agung Pada
kembali oleh JPU dalam perkara Pollycarpus Budihari Priyanto. Dalam tuntutan JPU,
menggunakan surat palsu sebagaimana terdapat dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP dan Pasal 263 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan
pidana penjara selama seumur hidup. Dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat menentukan Pollycarpus terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
pemalsuan surat” dengan hukuman 14 (empat belas) tahun penjara. Dalam Banding
Pengadilan Tinggi Jakarta yang amar putusannya menerima permintaan banding dari Jaksa
Penuntut Umum dan Pollycarpus, menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam Kasasi, Mahkamah Agung dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi
dari Jaksa Penuntut Umum dan mengabulkan permohonan kasasi dari Pollycarpus.
Menyatakan Pollycarpus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana dalam dakwaan kesatu dan membebaskan dari dakwaan ke satu.Menyatakan
Pollycarpus terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah meakukan tindak pidana
48
Ibid.
47
“menggunakan surat palsu” dan Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun.49
Peninjauan Kembali dan di terima oleh Mahkamah Agung, pada tanggal 8 Juni 2009
Putusan Mahkamah Agung No.7 PK/Pid/2009 dengan terpidana Syahril Sabirin selaku
Gubernur Bank Indonesia. Dalam tuntutannya JPU menyatakan bawha Syahril terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan
secara bersama dan berlanjut sebagaimana diatur dalam dan diancam dengan pidana dalam
Pasal 1 ayat (1) sub a jo. Pasal 28 Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 jo. Pasal 64 KUHP jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dalam dakwaan primair.50
Dalam prakteknya peninjauan kembali seringkali dilakukan oleh jaksa bukan oleh
terdakwa atau ahli warisnya, praktik hukum ini merupakan gejala kekeliruan peradilan
(rechtelijke dwaling) yang dalam implementasinya merupakan suatu cara yang melanggar
atau menerobos aturan-aturan hukum itu sendiri dalam hal ini adalah aturan dalam hukum
acara pidana. Tindakan hukum ini merupakan kesewenang-wenangan hukum dengan cara
melakukan penafsiran hukum terhadap ketentuan pasal 263 KUHAP, sehingga ketika
pasal ini dilakukan penafsiran maka analogi hukumnya adalah hak terpidana dan ahli
warisnya sebagai korban ketidakadilan dari pelaksanaan hukum pidana itu sendiri
dirampas oleh negara, sehingga dalam proses acara pemeriksaan Peninjauan Kembali
nantinya negara akan berhadapan dengan negara yang diwakili oleh jaksa. Jelaslah apa
yang dilakukan oleh Jaksa berkaitan dengan pengajuan Peninjauan kembali merupakan
pelanggaran terhadap ajaran legisme hukum, Jhon Austin dalam pemikirannya tentang
49
Putusan Mahkamah Agung Nomor 109/PK/Pid/2007.
50
Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Juni 2009 No.7 PK/Pid/2009
48
teori perintah (Command Theory) menyatakan dengan tegas bahwa perintah undang-
Secara konstitusional Mahkamah Agung menjadi the top leader atau the top law
enforcement officer dari keseluruhan proses dan manajemen sistem peradilan pidana.
bersifat fragmentaris atau instasi sentris. Dalam hal ini PK oleh JPU adalah berdasarkan
dari putusan Mahkamah Agung, sehingga dapat tidaknya PK yang diajukan oleh JPU
tafsirkan lain sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memperjelas isi dari
peraturan perundang-undangan yang masih belum jelas. Seperti pasal 263 KUHAP, belum
adanya kejelasan bahwa dapatkah Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali
Indonesia sendiri berkiblat hukum pada hukum eropa kontinental (civil law) sehingga
kedudukan Jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali. Seorang sarjana hukum pidana
Jerman (1175-1833) Anselm von Feuerbach merumuskan asas legalitas secara mantap
dalam Bahasa latin52 yaitu: Nulla poena sine lege “tidak ada pidana tanpa ketentuan
undang-undang”. Hal ini seperti menyamakannya dengan pendapat sendiri bahwa “tidak
51
Yayang Susila Sakti, “Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum: Antara Kepastian dan
Keadilan”, Jurnal Arena Hukum, Vol. 7 No. 1, 2014, hal. 83.
52
0 Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Cetakan
Pertama,Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 27.
49
dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa tanpa adanya ketentuan
Jaksa Penuntut Umum merupakan salah satu penegak hukum yang harus diberikan hak
yang sama dalam mengajukan peninjauan kembali guna memberantas tidak pidana di
yang strategis.53
putusan terkait penerapan pasal 263 KUHAP yaitu pasal terkait Pengajuan Peninjauan
Konstitusi memberikan amar putusan yaitu tetap mempertahankan marwah pasal 263
KUHAP bahwa yang berhak mengajukan peninjauan kembali adalah keluarga maupun
ahli waris terdakwa yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, dikarenakan banyaknya
50
mengakibatkan dasar hukum mengajukan yaitu pasal 263 KUHAP menjadi rancu dan
Akibat multitafsirnya Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut, sehingga timbullah
permohonan uji materi (judisial riview) di Mahkamah Konstitusi yaitu terhadap Pasal 263
ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 281 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Di sinilah urgensi
kajian hokum tentang analisis yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-
Sedikitnya ada dua hal yang menjadi bagian dari pertimbangan hukum. Ada bagian
yang disebut sebagai ratio decidendi yang merupakan bagian pertimbangan sebagai dasar
atau alasan yang menentukan diambilnya putusan yang dirumuskan dalam amar, bagian
pertimbangan ini tidak dapat dipisahkan dari amar putusan dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara hukum yang dapat dirumuskan sebagai kaidah hukum. Di pihak
lain ada bagian pertimbangan yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan masalah
hukum yang dihadapi dan karena itu juga, tidak berkaitan dengan amar putusan. Hal
demikian sering dilakukan karena digunakan sebagai ilustrasi atau analogi dalam
menyusun argumen pertimbangan hukum. Bagian ini disebut sebagai obiter dictum yang
55
Abdul Malik dan Ahmad Zaini, Ánalisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-
XIV/2016 tentang Larangan Jaksa Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali”, Al Qisthas;Jurnal
Hukum dan Politik, Vol. 9 No. 1, 2018, hal. 22.
56
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Sinar
Gratifika, 2015, hal. 211.
51
Berdasarkan uraian-uraian permohonan di atas maka Majelis Hakim berpendapat
sebagai berikut:
maupun kekeliruan dalam hal hukumnya sendiri (dwaling omtrent het recht).
masyarakat pencari keadilan dan negara. Sepanjang masih dalam ruang lingkup
upaya hukum biasa, terhadap kesalahan demikian, baik terpidana maupun Jaksa
Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi.
Namun terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, hanya
ada dua upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan yaitu, Kasasi demi
kepentingan hukum oleh Jaksa Penuntut Umum atau Peninjauan Kembali yang
merupakan hak terpidana maupun ahli warisnya. Jika putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap itu adalah putusan yang oleh terpidana atau ahli warisnya
dirasa merugikan terpidana karena terpidana ataupun ahli warisnya merasa bahwa
negara telah salah mempidana seseorang yang sesungguhnya tidak bersalah atau
hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana ataupun ahli warisnya, dengan
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981. Dengan demikian sistem hukum pidana yang dibangun oleh Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 telah memberikan kesempatan yang sama baik kepada
52
terpidana maupun kepada Jaksa Penuntut Umum yang mewakili kepentingan negara
untuk melakukan upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap.
Terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum hukum ataupun
putusan pemidanaan yang dinilai oleh Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan
banding atau kasasi, sedangkan terhadap putusan pemidanaan yang dinilai terpidana
atau ahli warisnya tidak memberikan rasa keadilan kepada pihaknya, maka dapat
diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
Dari rumusan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi, ada empat landasan pokok yang tidak
boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas tersurat dalam Pasal
dimaksud, yaitu:
2. Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari
3. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli
warisnya;
53
2) Menimbang bahwa dalam praktiknya Mahkamah Agung ternyata menerima
tersebut, telah silang pendapat, baik dikalangan akademik maupun praktisi hukum
terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, demi kepastian hukum, Mahkamah
54
Dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan dalam putusan Mahakamah
permohonan Peninjauan Kembali adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan
telah mengajukan kasasi dan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi
kepentingan hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan kembali hak
Peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum diterima, maka
sesungguhnya telah terjadi dua pelanggaran prinsip dari Peninjauan Kembali itu
Dikatakan ada pelanggaran terhadap subjek dan objek Peninjauan Kembali menurut
UndangUndang adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara itu, dikatakan ada
pelanggaran terhadap objek karena terhadap putusan bebas atau lepas dari segala
memandang penting untuk menegaskan kembali bahwa norma Pasal 263 ayat (1)
UU Nomor 8/1981 adalah norma yang konstitusinal sepanjang tidak dimaknai lain
selain bahwa peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli
warisnya, dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala
55
hukum yang adil norma Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8/1981 menjadi
57
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016.
56
sebagai hukum acara. Di dalam KUHAP lebih banyak diatur mengenai tersangka daripada
dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Dengan adanya Putusan MK No. 33/ PUU-
XIV/2016 mempertegas bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak bisa lagi mewakili korban
konstitusional pemohon dan suami pemohon serta keluarga pemohon yang dikebiri oleh
berlakunya Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang dijadikan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai
Penuntut Umum tidak lagi diperbolehkan untuk mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali, namun karena memiliki alasan demi kepentingan negara, Jaksa Penuntut Umum
tetap mengajukan peninjauan kembali dan Mahkamah Agung menerima berkas memori
Meski demikian Jaksa Penuntut Umum tidak serta merta menjadi “kambing hitam”
dalam permohonan ini, melainkan hal ini terjadi akibat multi tafsirnya ketentuan Pasal 263
ayat (1) KUHAP tersebut yang menimbulkan kedidakpastian hukum. Sehingga Mahkamah
Konstitusi dianggap perlu untuk memberikan tafsir konstitusional terhadap pasal terkait
agar tidak ada lagi warga negara yang terkebiri hak konstitusionalnya atas berlakunya
pasal tersebut. Karena jika ditinjau dari asas kebermanfaatan suatu undang-undang baik
secara filosofis, yuridis, dan sosiologis memang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
58
Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam
Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Bandung:Refika Aditama, 2007, hal.89-91.
57
telah memberikan kesempatan yang sama baik kepada terpidana maupun kepada Jaksa
Penuntut Umum yang mewakili kepentingan negara untuk melakukan upaya hukum luar
hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali ditujukan untuk kepentingan terpidana guna
melakukan upaya hukum luar biasa, bukun untuk kepentingan negara maupun kepentingan
dari korban. Pranata dari Peninjauan kembali diadopsi semata-mata untuk kepentingan
darpipada terpidana atau ahli warisnya itu sendiri dan hal tersebut ialah esensi dari
bahwa upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan oleh pihak terpidana atau ahli
warisnya harus dipandang sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia bagi warga
negara, dikarenakan dalam hali ini seorang terpidana diharuskan untuk berhadapan dengan
Lembaga peninjauan kembali ini ada sebagai bentuk perlindungan hak asasi
manusia. Terdapat 2 (dua) pelanggara prinsip daripada Peninjauan Kembali yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum. Menurut Mahkamah Konstitusi, terdapat 2 (dua) pelanggaran
prinsip yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek dari peninjauan kembali. Dikatakan
ada pelanggaran terhadap subjek karena subjek Peninjauan Kembali menurut Undang-
Undang adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara itu, dikatakan ada pelanggaran
terhadap objek karena terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak
untuk mengajukan peninjauan kembali itu adalah hak daripada terpidana atau ahli
58
warisnya, bukan hak dari Jaksa/Penuntut Umum. Jika Jaksa/Penuntut Umum dimana
sebelumnya telah melakukan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan
hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan hak untuk mengajukan upaya
hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali tentu akan menimbulkan kektidakpastian
peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum telah melanggar hak asasi daripada
terpidana. Jaksa dan Terpidana secara filosofis masing-masing telah diberikan kesempatan
yang sama terkait upaya hukum yaitu banding dan kasasi. Untuk Jaksa terdapat upaya
hukum luar biasa yang dapat ditempuh yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum sedangkan
untuk terpidana juga diberikan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali. Dengan
kata lain, upaya hukum luar biasa peninjauan kembali ditujukan untuk kepentingan
terpidana guna melindungi hak-haknya yang telah dirampas oleh negara. Juga dalam Pasal
263 Ayat (1) secara tegas telah menyebutkan bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya
yang dapat mengajukan peninjauan kembali sehingga selain daripada apa yang disebutkan
oleh pasal tersebut haruslah dimakani sebagai batasan bagi penegak hukum dalam
power). Dikarenakan hal tersebut Mahkamah perlu menegaskan bahwa demi kepastian
hukum yang adil norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP menjadi inkonstitusional jika
dimaknai lain.59
59
Akhmed Hasseni Rafsanjani, Ánalisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-
XIV/2016 Terhadap Kewenangan Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana”,
Dinamika, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol. 26 No. 5, 2020, hal. 647-648.
59
Bangsa Indonesia yang menganut sistem hukum civil law. Dalam civil law system,
dengan sistem civil law lebih sempit, hal ini dikarenakan bagi para hakim terikat dengan
doktrin trias politika dimana hakim hanya menerapkan hukum, tidak boleh membuat
hukum. Doktrin stare decisis dalam praktik juga ditemukan dalam civil law system,
putusan tersebut menjadi premis mayor terhadap perkara dipengadilan, metode ini sering
normativ tertentu memang dapat atau tidak dapat dipakai memecahkan suatau masalah
hukum secara in concreto.61 Hukum Pidana Indonesia tidak menganut sistem precedent,
suatu sistem yang menganggap para hakim bawahan terikat kepada putusan- putusan
hakim terdahulu atau kepada putusan hakim yang lebih tinggi, dalam perkara yang sama,
60
Amizulian Rifa’i, Suparman Marzuki, dan Adrey Sujatmoko, Wajah Hakim dalam Putusan Studi
Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), hal. 54.
61
Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, diterjemahkan oleh Noor Cholis,
Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012, hal. 25-26
62
Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana,
Bandung: PT. Alumni, 2005, hal. 332.
60
61
BAB IV
Tindak pidana sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang
serta bersifat melawan hukum dan mengandung unsur kesalahan yang dilakukan oleh
sistem hukum, yaitu sistem hukum Civil Law, Common Law, Hukum Adat maupun
Hukum Islam. Meskipun warga Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, namun
pengaruh Hukum Islam tidaklah menonjol didalam sistem hukum yang ada di Indonesia
baik dari segi substansi, struktur, maupun budaya hukum itu sendiri. Bahkan Abdul Jamil
pernah memberikan komentar bahwa meskipun umat Islam mayoritas di Negeri ini, akan
tetapi ruang bagi penegakan Hukum Islam hanya tersedia di Pengadilan agama.64
manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam dimaksud, secara materil
kewajiban asasi syariat menempatkan Allah SWT sebagai pemegang segala hak Setiap
orang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah SWT tersebut.
Perintah Allah SWT yang dimaksud, harus ditunaikan baik untuk kemaslahatan manusia
63
https:/hokumonline.com
64
Lysa,angrayni,hukum pidana dalam perspektif islam dan perbandingannya dengan hukum pidana
di indonesia, hukum islam, vol. xv no. 1 juni 2015.hal 47
62
pribadi maupun orang lain. Berbeda dengan hukum pidana positif yang nyata-nyata buatan
manusia. Karena produk hukum tersebut merupakan olahan pikiran dari manusia, pastilah
merupakan syariat Allah SWT yang mengatur ketentuan hukum mengenai tindak pidana
atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat
dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci
Jika berbicara mengenai hukum pidana Islam atau yang dinamakan dengan Fikih
Jinayah, maka akan dihadapkan kepada hal-hal mempelajari ilmu tentang hokum syara
yang berkaitan dengan perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah),
yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Jadi, secara garis besar dapat diketahui bahwa
objek pembahasan atau cakupan dari hukum pidana Islam adalah jarimah atau tindak
pidana serta uqubah atau hukumannya.Cakupan hukum pidana Islam pada dasarnya
hampir sama dengan yang diatur di dalam Hukum Pidana positif, karena selain mencakup
masalah tindak pidana dan hukumannya juga disertai dengan pengaturan masalah
percobaan, penyertaan, maupun gabungan tindak pidana. Berikut ini dijelaskan hal-hal
yang berupa tindak pidana (jarimah) dan hukuman (uqubah) dalam Hukum Pidana Islam67
Dalam hukum Pidana Islam, istilah tindak pidana dikenal dengan jarimah dan
jinayah
65
Ibid 48
66
Lihat dalam Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan, 1992), halaman 86., sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Cet.
1., Sinar Grafika, Jakarta, 2007, halaman 1.
67
Ibid 47
63
1. Jarimah Atau Tindak Pidana
syara (hukum Islam) yang diancam hukuman had (khusus) atau takzir pelanggaran
perbuatan yang dilarang ataupun tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan.
Melakukan perbuatan yang dilarang misalnya seorang memukul orang lain dengan
benda tajam yang mengakibatkan korbannya luka atau tewas. Adapun contoh jarimah
berupa tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan ialah seseorang tidak
memberi makan anaknya yang masih kecil atau seorang suami yang tidak memberikan
Dalam bahasa Indonesia, kata jarimah berarti perbuatan pidana atau tindak pidana.
Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah jarimah ialah kata jinayah.
Hanya, dikalangan fukaha (ahli fikh, red) istilah jarimah pada umumnya digunakan
mengenai jiwa atau lainnya sedangkan. jinayah pada umumnya digunakan untuk
menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti
Jarimah, memiliki unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum jarimah adalah
unsur-unsur yang terdapat pada setiap jenis jarimah, sedangkan unsur khusus adalah
68
Ibid 49
69
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Ed.2., Cet.3., PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, halaman 12.
64
unsur-unsur yang hanya terdapat pada jenis jarimah tertentu yang tidak terdapat pada
1. Unsur formal (al-Rukn al syar iy) adalah adanya ketentuan nash yang melarang
2. Unsur materil (al-Rukn al-Madi) adalah adanya tingkah laku atau perbuatan
Walaupun secara umum jarimah terbagi kedalam tiga unsur di atas, akan tetapi
secara khusus setiap jarimah memiliki unsur-unsur tersendiri, dan inilah yang dinamakan
ْيث بَ ْه ٍز عَنْ َأبِي ِه عَن َ س َر ُجاًل فِي تُ ْه َم ٍة ثُ َّم َخلَّى َع ْنهُ قَا َل َوفِي ا ْلبَاب عَنْ َأبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل َأبُو ِعي
ُ سى َح ِد َ َسلَّ َم َحب
َ َعلَ ْي ِه َو
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Sa'id Al Kindi, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Al Mubrarak dari Ma'mar dari Bahz bin Hakim dari ayahnya
70
Ibid 50
71
Lidwa Pustaka, Kitab Hadis 9 Imam, Sunan Tirmidzi, Kitab Diyat, Bab menahan diri untuk tidak
menuduh, no. Hadist 1337.
65
dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menahan
seseorang karena suatu tuduhan lalu melepasnya. Ia mengatakan; Dalam hal ini
ada hadits serupa dari Abu Hurairah. Abu Isa berkata; Hadits Bahz dari ayahnya
dari kakeknya adalah hadits hasan, Isma'il bin Ibrahim telah meriwayatkan
hadits ini dari Bahz bin Hakim dengan redaksi yang lebih lengkap dan lebih
Hadis ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. 73Apabila tidak
barang bukti yang sudah ada, atau mengulangi perbuatan melanggar tindak pidananya.74
َال َح َّدثَنِي َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن بْنُ َجابِ ٍر ع َْن َأبِي ِه ع َْن َأبِي بُرْ َدة
َ َالرَّحْ َم ِن بْنُ َجابِ ٍر فَ َح َّدثَهُ فََأ ْقبَ َل َعلَ ْينَا ُسلَ ْي َمانُ فَق
ِ هَّللا75
72
Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001), 202
73
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,253.
74
Nurul Irfan dkk, Fiqh Jinayah,... 141.
75
Lidwa Pustaka, Kitab Hadis 9 Imam, Shohih Muslim, Kitab Hudud, Bab Kadar Cambukan
Ta’zi>r, no.Hadist 3222.
66
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Isa telah menceritakan kepada kami
Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku 'Amru dari Bukair bin Al Asyaj dia
berkata, "Ketika kami berada di sisi Sulaiman bin Yasar, tiba-tiba Abdurrahman
kepadaku Abdurrahman bin Jabir dari ayahnya dari Abu Burdah Al Anshari,
"Seseorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang
Hadis kedua ini menjelaskan tentang batas hukuman ta’zir yang tidak boleh lebih dari
hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari jarimah hud}ud}, hal ini agar dapat
membedakan mana yang termasuk jarimah hud}ud} dan mana yang termasuk jarimah
ta’zir. karena orang yang melakukan peerbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syariat
yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu dicambuk
100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah termasuk
melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hud} (Hukum Allah). Adapun yang
lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.78
Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewewnang oleh Undang-Undang ini untuk
67
tersebut, seorang Jaksa belum tentu sebagai Penuntut Umum, sedangkan seorang Penuntut
memperoleh kekuatan hukum yang tetap, misalnya dalam hal putusan pemidanaan kepada
permusuhan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak dari orang durjana dan
dan wilayah al-Mazhalim pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Hal itu terjadi, karena pada masa tersebut betul-betul penegakan hukum dan
keadilan dapat ditegakkan tanpa ada tebang pilih antara satu dengan lainnya, sesuai
adil, karena jika ada keluarga penguasa tersangkut hukum, maka sulit tersentuh
terhadap masyarakatnya. Oleh karena itu, jika wilayah al-Hisbah dan wilayah al-
68
Mazhalim79mayoritas ulama berpendapat al-qadha hukumanya fardu kifayah
khalifah mengangkat para qadhi di seluru daerah sebagai bahagian dari pemerintah
jama’dari al-Madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di
ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini dibentuk oleh
pengadilan (al-hisbah).
syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau
pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan oleh hakim
َس اَنْ ت َْح ُك ُم ْوا بِا ْل َع ْد ِل ۗ اِنَّ هّٰللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ٖه ۗ اِنَّ هّٰللا َ َكان ٓ ِ اِنَّ هّٰللا يَْأم ُر ُكم اَنْ تَُؤ دُّوا ااْل َمٰ ٰن
ِ ت اِ ٰلى اَ ْهلِ َه ۙا َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَيْنَ النَّا ْ ُ َ
ِ َس ِم ْي ًع ۢا ب
ص ْي ًرا َ
79
Lomba,Sultan, kekuasaan kehakiman dalam islam dan aplikasinya di Indonesia, volume. 13
nomor 2, desember 2013,hal 437
69
Artinya: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
Melihat.”
An-Nahl Ayat 90
َسا ِن َواِ ْيت َۤاِئ ِذى ا ْلقُ ْر ٰبى َويَ ْن ٰهى َع ِن ا ْلفَ ْحش َۤا ِء َوا ْل ُم ْن َك ِر َوا ْلبَ ْغ ِي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُر ْون هّٰللا
َ اِنَّ َ يَْأ ُم ُر ِبا ْل َع ْد ِل َوااْل ِ ْح
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji,
ُ شنَ ٰانُ قَ ْو ٍم ع َٰلٓى اَاَّل تَ ْع ِدلُ ْوا ۗاِ ْع ِدلُ ْو ۗا ه َُو اَ ْق َر
ب لِلتَّ ْق ٰو ۖى َ س ِۖط َواَل يَ ْج ِر َمنَّ ُك ْم ُ ِ ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ُك ْونُ ْوا قَ َّوا ِميْنَ هّٰلِل
ْ ِش َهد َۤا َء ِبا ْلق
adillah.Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
70
ْش ْيـًٔا ۗ َواِن ُ َّض َع ْن ُه ْم فَلَنْ ي
َ ض ُّر ْو َك ْ ض َع ْن ُه ْم َۚواِنْ تُ ْع ِر ْ َت فَاِنْ َج ۤا ُء ْو َك ف
ْ اح ُك ْم بَ ْينَ ُه ْم اَ ْو اَ ْع ِر ُّ ب اَ ٰ ّكلُ ْونَ لِل
ِ ۗ س ْح ِ س ٰ ّم ُع ْونَ لِ ْل َك ِذ
َ
هّٰللا
ِ س ِۗط اِنَّ َ يُ ِح ُّب ا ْل ُم ْق
َس ِطيْن ْ ََح َك ْمتَ ف
ْ ِاح ُك ْم بَ ْينَ ُه ْم بِا ْلق
Artinya: “Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan)
yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk
meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari
mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan
adil.”
Fungsi dan tugas Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan dan
bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
Islam karena kejaksaan berpegang pada Undang Undang yang berlaku di Republik
Indonesia,oleh karena itu tidak ada dalih yang mengatur tentang tugas dan fungsinya.
Pandang Islam
Dalam hukum Indonesia kan juga di kenal dengan asas keadilan dan asas
kepastian hukum, sedangkan asas keadilan dalam hukum Islam adalah asas yang
paling pertama dan paling pentingn karena mengcakup semua dalam bidang
hukum Islam. Upaya hukum PK pada prinsipnya merupakan upaya hukum luar
71
hukum tetap (inkracht van gewisjde).Upaya hukum PK bertujuan untuk
memberikan keadilan hukum, dan bisa diajukan oleh pihak yang berperkara baik
tetap.81
Berbeda dengan upaya hukum biasa, maka permohonan terhadap upaya hukum luar
1. Dapat diajukan dan ditujukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.
2. Dapat ditujukan dan diajukan dalam keadaan tertentu, tidak dapat diajukan
terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatanhukum tetap. Harus ada
72
3. Dapat diajukan kepada Mahkamah Agung, dan diperiksa serta diputus oleh
kejaksaan untuk mengajuhkan peninjauan kembali merupakan suatu hal yang dibenarkan
sebagai upaya untuk menegakkan hokum dan keadilan dalam lingkungan peradilan. Ijtihad
merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi
hukum-hukum Islam (Fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam
tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran Islam tidak akan mampu
Kata Ijtihad secara etimologi adalah merupakan bentuk mashdar dari konjugasi
menghasilkan satu kepastian hukum, dan hanya bisa dilakukan oleh seorang yang sudah
berkapasitas mujtahid.
Sebagai konsekuensi logis atas konsepsi ijtihad ini, terdapat dua kemungkinan yang
akan timbul kemudian. Pertama, jika ijtihad tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki
Allah, ijtihad yang benar (shawab), maka pelaku ijtihad akan memperoleh dua pahala,
yakni pahala ijtihad dan pahala menggapai kebenaran. Kedua, jika ijtihad itu ternyata tidak
sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah, ijtihad yang salah (khatha’), maka hanya
mendapat satu pahala, yakni pahala ijtihad saja. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi
73
Artinya: “Barang siapa melakukan ijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala. Dan jika
keputusannya tetap dan diterima oleh semua sahabat. Umar terkadang memutuskan
terkadang memutuskan perkara kolektif tanpa partisipasi orang lain, Umar pun
menegaskan “semuanya atas dasar keputusan kami. Perkara kolektif adalah ketika seluruh
warisan habis, sedangkan ada saudara laki-laki dari ayah yang sangat membutuhkan.
Mereka sulit mendapat warisan karena tidak mendapat bagian darinya. Dalam hali ini
mereka masuk dalam saudara seibu dalam bagian 1/3 warisan dengan mempertimbangkan
jumlah anak.
seluruh warisan habisdan saudara seayah tidak mendapatkan apa-apa. Dia protes kepada
Umar, “pikir ayah kami seorang hammar, bukankah ibu mengumpulkan kami.” Karena
perkara itu, dinamakan hammariyah. Dalam riwayat lain, “pikir ayah kami hajar fil yammi
bukankah ibu mengumpulkan kami” karena itu dinamakan perkara hajariyah atau perkara
yammiyah dinisbatkan kepada laut yammi. Umar berkata, “semua atas dasar ketetapan
74
kami,” Umar mulai menghukumi dengan memberi bagian kepada saudara seayah dalam
Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang baru,
sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu, namun
untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hukum hasil
1. Nilai ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari hasil
ijtihad pertama.
2. Apabila suatu ketetapan hukum hasil ijihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang
lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Dan tidak adanya
keadaan. Hukum kadang memutuskan perkara berbeda dengan perkara sebelumnya dalam
ijtihad dan ideologinya. Pembatalan keputusan sebelumnya boleh bagi seorang hakim jika
hal itu tidak dilakukan berdampak pada kesukaran parah. Kesulitan dalam bertransaksi dan
menyelidiki kebenaran, meminta tolong para pakar pada masanya, menjaga kondisi,
penampilan, keadaan, kebiasaan, dan lain-lain seperti klue-klue dan bukti-bukti yang
75
hakim yang bertentangan dengan nash, ijma’, qiyas jali, atau kaidah-kaidah umum dan
Kaidah ini merupakan kaidah (fikih) yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam
atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang
pada maslahat.Ijtihad yang dimaksud dalam kaidah ini sebenarnya berlaku dalam skala
yang sangat luas,baik bagi mujtahid maupun setiap muslim yang belum mencapai kapsitas
mujtahid. Artinya, ijtihad dalam kaidah ini tidak hanya berlaku dalam pengertian secara
terminologis yang hanya membatasi ladang ijtihad bagi para mujtahid. Ijtihad disini lebih
mengarah pada makna ijithad secara leksikal (lughawi), yaitu usaha maksimal seseorang
dalam menentukan status hukum bagi beragam masalah yang dihadapi, dimana setiap
orang mujtahid atau bukan bisa bisa melakukannya. Karena itu, para ulama dalam literatur
1. Ijtihad seorang mujtahid dalam ranah masalah ijtihadiyyah untuk mencapai titik
zhan (dugaan kuat) tentang status hukumnya. Dalam arti, tatkala seorang mujtahid
mencetuskan sebuah produk hukum dalam masalah yang tidak ada nash qath’i
yang memberikan justifikasi hukum, dan juga tidak berseberangan dengan al-
Qur’an, Hadits, dan Ijma’, maka hukum yang dicetuskan dianggap legal, mengikat,
dan tidak dapat dianulir oleh hasil ijtihad baru,baik dari dirinya sendiri maupun
76
2. Ijtihad seorang qadli yang masih taqlid (belum brpredikat mujtahid mutlaq) pada
pertama, hukum yang dicetuskan seorang qadli sama sekalitidak dapat dieliminir.
djelaskan satu kali dan sudah sesuai dengan koridor syar’i tidak dapat digagalkan
dan diulangi.
merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi
hukum-hukum yudisial Islam (fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum
Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran Islam tidak akan
ijtihad adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat
pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan
atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat.
ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) bertentangan dengan Pasal 28 28 D ayat
(1) dan 28 I ayat (1) Pasal 263 ayat (1) : terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
77
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
Suami pemohon sampai saat permohonan ini diajukan belum dapat kembali
keIndonesia dikarenakan peninjauan kembali terhadap putusan lepas dari segala tuntutan
hukum yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Sebelumnya Pada Putusan PN Nomor
perbuatan yang didakwaan terhadap terdakwa (suami pemohon dalam Putusan MK Nomor
Suami terdakwa dijerat kasus korupsi namun menurut putusan perkara pidana tersebut
bukanlah korupsi yang merugikan keuangan Negara melainkan kasus korupsi perdata.
berikut:
disebabkan oleh kekeliruan dalam hal fakta hukumnya (feitelijke dwaling) maupun
kekeliruan dalam hal hukumnya sendiri (dwaling omtrent het recht). Kesalahan dalam
penjatuhan putusan ini dapat merugikan terpidana maupun masyarakat pencari keadilan
dan negara. Sepanjang masih dalam ruang lingkup upaya hukum biasa, terhadap kesalahan
demikian, baik terpidana maupun Jaksa/Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum
78
biasa yaitu banding dan kasasi. Namun terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan
hukum tetap,hanya ada dua upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan yaitu, Kasasi
demi kepentingan hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum atau Peninjauan Kembali yang
Jika putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu adalah putusan yang oleh
terpidana atau ahli warisnya dirasa merugikan terpidana karena terpidana ataupun ahli
warisnya merasa bahwa negara telah salah mempidana seseorang yang sesungguhnya
tidak bersalah atau memberatkan terpidana, maka lembaga Peninjauan Kembali bisa
menjadi upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana ataupun ahli warisnya
[vide Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981], dengan memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal
memberikan kesempatan yang sama baik kepada terpidana maupun kepada Jaksa/Penuntut
Umum yang mewakili kepentingan negara untuk melakukan upaya hukum luar biasa
terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum ataupun putusan pemidanaan yang dinilai oleh Jaksa/Penuntut
Umum tidak memberikan rasa keadilan pada masyarakat, maka Jaksa/Penuntut Umum
dapat mengajukan banding atau kasasi, sedangkan terhadap putusan pemidanaan yang
dinilai oleh terpidana atau ahli warisnya tidak memberikan rasa keadilan kepada pihaknya,
sebagaimana diuraikan.
Pendapat saya bahwa peninjauan kemabli hanya bisa di ajukan oleh.terpidana atau
ahli warisnya ,apabila jaksa penuntut umum bisa mengajukan peninjauan kembali maka
79
akan bertentangan dengan hokum positif yang berlaku di Indonesia,jika pasal 263 ayat 1di
maknai berbeda maka rusaklah tatanan hokum di Indonesia karna, akan saling tumba tindi
antara satu hokum dengan hokum lainnya.oleh karna itu hakim mahkamah agung harus
menolak pengajuan kembali yang di lakukan oleh jaksa penuntut umum,dengan alasan
ynag dapat mengajuhkan peninjauan kembali hanyalah terpidana atau ahli warisnya,sesuai
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kembali
pidana dapat dengan tepat dan jujur kepada seorang atau kelompok yang melakukan
perbuatan pidana itu. Peninjauan kembali dalam KUHAP merupakah salah satu upaya
hukum luar biasa yang diatur dalam Pasal 263 KUHAP sampai dengan Pasal 269
KUHAP. Dalam Pasal 263 KUHAP sudah sangat jelas diterangkan bahwajaksa
oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan, praktik hukum ini merupakan gejala
suatu cara yang melanggar atau menerobos aturan-aturan hukum itu sendiri dalam hal
ini adalah aturan dalam hukum acara pidana yakni Pasal 263 KUHAP. Hal ini
tentunya berlawanan dengan asas hukum pidana Nulla poena sine lege “tidak ada
pidana tanpa ketentuan undang-undang” dan juga fakta bahwa di Indonesia tidak
81
2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 terkait
merupakan pembaharuan hukum dan tentunya tidak menjamin hak korban kejahatan
dalam mengajukan Peninjauan Kembali yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum.
terakhir untuk perkara pelaksanaan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum,
Pengajuan Peninjauan Kembali oleh jaksa, bahwa hak untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak Jaksa
hukum tertinggi untuk pasal 263 KUHAP. Dan mempertegas bahwa jaksa penuntut
majelis hakim atas putusan peninjauan kembali yang `menyatakan bahwa ketentuan
dalam pasal 263 ayat 1 Undang Undang Nomor 8 tahun 1981 jaksa penuntut umum
Jakarta selatan yang merupakan putusan bebas dari segala tuntutan,penafsiran pasal
263 oleh jaksa penunutut umum untuk mengajukan peninjauan.di anggap tidak dapat
82
batalkan dengan ijtihad berikutnya,dan masing masing ijtihad dapat berjalan sesuai
B. Saran
dalam perkara pidana,penegak hukum seharusnya patuh pada pasal 263 yang
memperkuat keberadaan pasal 263 KUHAP sehingga suda selayaknya pasal 263
3. Tidak ada lagi penafsiran yang berbeda oleh ahli terhadap permasalahan tersebut
dan tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum dapat
harus di revisi atau membuat peraturan yang menyatakan bahwa Pasal 263 ayat 1
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan peraturan yang
kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah
DAFTAR PUSTAKA
83
Asshiddiqie, Jimly.Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.Jakarta: Sinar
Ilmu, 2007)
Ash-Shiddieqy,Hasbi,Muhammad,Teuku,”Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX,
1987), 241-242.
Chazawi, Adami,” Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Cetakan Kedua,
Grafika. 2014.
Hamzah, And,” Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal 8-9
Husin, Budi Rizki dan Husin, Kadri,” Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Cetakan
84
Pertama,Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 27.
2014.
Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana,
Kartika, Dwi, Shanti “Peninjauan Kembali Lebih Dari Satu Kali, Antara Keadilan Dan
Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Vol. VI, vol. 6, No. 6,
Lidwa Pustaka, Kitab Hadis 9 Imam, Shohih Muslim, Kitab Hudud, Bab Kadar Cambukan
Ta’zi>r,no.Hadist 3222.
85
Pradana, M. Jordan “Tinjauan Yuridis Peninjauan Kembali yang Diajukan oleh Jaksa
Pustaka, Lidwa, Kitab Hadis 9 Imam, Sunan Tirmidzi, Kitab Diyat, Bab menahan diri
untuk tidak
Putusan Studi Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) hal. 5
4.
Sudarsono, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan Peradilan Tata Usaha Negara, cet.
86
Sutarto,Suryono, Sari Hukum Acara Pidana I, (Semarang: Yayasan Cendekia Purna
Sasongko, Hari, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, (Surabaya: Dharma
Soeparman, Parman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum dalam Perkara Pidana
Suhariyanto, Budi “Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan
Tim Pengkkaji Pusat Litbang, Problematika Penerimaan Peninjauan Kembali dan Grasi
dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Puslitbang Kejagung RI, 2006), hal. 8. Dalam
Undang undang
Indonesia. Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
87
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 1 angka 6.
Pasal 35 huruf c.
JURNAL
Achmad,Farid “Urgensi Penguatan Peran Penuntut Umum Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, vol.7, No. 1, Januari-Juni 2019,
hal.2
Indonesia”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, vol.7, No. 1, Januari-Juni 2019, hal. 2
Harsanto,Adi dkk. “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca
Harsanto, Adi dkk, “Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Pasca
(2017).
88
Rafsanjani, Hasseni, Akhmed,” Ánalisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
dalam Perkara Pidana”, Dinamika, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol. 26 No. 5,
Putusan yang telah memperoleh Kekuatan Hukum Tetap dalam Sistem Peradilan
Sakti, Yayang Susila. “Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum: Antara Kepastian
Suhariyanto, Budi “Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali yang diajukan
Zaini, Ahmad dan Malik, Abdul,” Ánalisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
hal. 22..
PUTUSAN
89
90