Anda di halaman 1dari 80

ANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH ANTARA

PT WIJAYALAND DENGAN WALJINAH DAN SLAMET PADA


PERUMAHAN BANANA VILLAGE SEMARANG
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 575/Pdt.G/2018/PN.SMG)

PENULISAN HUKUM
(SKRIPSI)

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Gelar Sarjana Hukum

Oleh:
AYUNINGTIA MAYANGSARI
010117264

Bagian Hukum Keperdataan

Di Bawah Bimbingan :

Dinalara D. ButarButar, S.H., M.H.


Isep H. Insani, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2021
PERNYATAAN ORISINALITAS

Penulis dengan ini menyatakan bahwa penulisan hukum (skripsi):

“ANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH ANTARA


PT WIJAYALAND DENGAN WALJINAH DAN SLAMET PADA
PERUMAHAN BANANA VILLAGE SEMARANG(STUDI KASUS PUTUSAN
NOMOR 575/Pdt.G/2018/PN.SMG)”.

Adalah karya orisinil saya disetiap serta seluruh sumber acuan telah sesuai dengan
kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Bogor, 20 Desember 2021


Yang menyatakan

Ayuningtia Mayangsari
010117264
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Pakuan, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ayuningtia Mayangsari
NPM : 010117264
Fakultas : Hukum
Program Studi : Ilmu Hukum
Bagian : Hukum Keperdataan
Jenis karya : Penulisan Hukum (Skripsi)

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Pakuan Hak Bebas Royalti dan Non ekslusif (Non-exclusive Royalti free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“ANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH ANTARA


PT WIJAYALAND DENGAN WALJINAH DAN SLAMET PADA
PERUMAHAN BANANA VILLAGE SEMARANG(STUDI KASUS PUTUSAN
NOMOR 575/Pdt.G/2018/PN.SMG)”.

Beserta perangkat yang ada (apabila diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non
ekslusif ini, Universitas Pakuan berhak menyimpan, mengalih media/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan
tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Bogor, 20 Desember 2021


Yang Menyatakan

(Ayuningtias Mayangsari)
LEMBAR PENGESAHAN

Penulisan Hukum ini Telah Disetujui dan Disahkan Dihadapan


Panitia Penguji Sidang Penulisan Hukum (Skripsi)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN
Hari : Senin
Tanggal : 20 Desember 2021

Dekan Kepala
Fakultas Hukum Bagian Hukum Keperdataan
Universitas Pakuan,

(Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H.) (I Wayan Suparta, S.H., M.H.)

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

(Dinalara D. Butarbutar, S.H., M.H.) (Isep H. Insani, S.H., M.H.)


LEMBAR PENGESAHAN
MAJELIS PENGUJI SIDANG PENULISAN HUKUM

Penulisan Hukum ini telah Diuji dan Disahkan Oleh


Majelis Dewan Penguji Sidang Penulisan Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN

Hari : Senin
Tanggal : 20 Desember 2021

Mengetahui,

Penguji I Penguji II

(Farahdinny Siswajanthy, S.H., M.H.) (Dinalara D. Butarbutar, S.H.,M.H.)

Penguji III

(Hari Nur Arif, S.H., M.H.)


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT,atas berkat rahmat dan

karunia-Nya,penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.Tujuan dari penulisan

hukum ini adalah untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan.Dalam penulisan hukum ini,penulis

mengambil judul ”ANALISIS PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA BELI

RUMAH ANTARA PT WIJAYALAND DENGAN WALJINAH DAN SLAMET

PADA PERUMAHAN BANANA VILLAGE SEMARANG(STUDI KASUS

PUTUSAN NOMOR 575/Pdt.G/2018/PN.SMG)”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh dari

sempurna,akan tetapi penulis telah berusaha dengan segala upaya,daya dan

pengetahuan yang penulis miliki.Dengan adanya arahan,bantuan,petunjuk serta

bimbingan dari berbagai pihak,akhirnya penulis mampu mengatasi segala rintangan

dan kesulitan yang terjadi.Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

rasa hormat,terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Dr. Yenti Garnasih,S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Pakuan;

2. Ibu Yennie K. Milono, S.H., M.H selaku Plt Wakil Dekan Bidang Akademik dan

Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Pakuan;

3. Bapak Eka Ardianto Iskandar, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Sumber

Daya Manusia dan Keuangan Fakultas Hukum Universitas Pakuan;

i
4. Ibu Farahdinny Siswajanthy, S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Pakuan;

5. Bapak I Wayan Suparta, S.H., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum Keperdataan

Fakultas Hukum Universitas Pakuan;

6. Ibu Dinalara Dermawati Butar Butar, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing

Utama sekaligus Wali Dosen yang selalu rendah hati dan totalitas dalam

membantu,mengarahkan,membimbing penulis selama penulisan proposal hingga

penulisan hukum(skripsi)ini,sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan

hukum (skripsi) ini;

7. Bapak Isep H Insan, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang

selalu rendah hati dan totalitas dalam membantu,mengarahkan,membimbing

penulis selama penulisan proposal hingga penulisan hukum (skripsi) ini,sehingga

penulis mampu menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini;

8. Bapak Dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan yang telah senantiasa

mengajar dan mendidik penulis hingga sampai berada di titik ini;

9. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Pakuan;

10. Skripsi ini adalah persembahan kecil saya untuk kedua orangtua saya.Bapak

Purwanto dan Ibu Biana Marliantini Terima kasih banyak atas semua cinta yang

tulus yang telah kalian berikan kepada saya,yang selalu mendo’akan saya dan

selalu memberikan dukungan materil.agar cepat selesai dalam mengerjakan

penulisan hukum(skripsi)ini;

ii
11. Seluruh keluargaku tersayang adik penulis Adelia Rara Agustin, kakek penulis

Alm Bapak Tjatim Soenarji, Nenek penulis Masrobah dan Pakde Anton Ambarwo

serta keluarga besar terima kasih atas do’a dan dukungannya

12. Untuk sahabatku Pipit Maulani, S,H., Tia Amelia, S.H., Shelina Viscalia, S.H.,

Nadilla Khoerunissa, S.H., Nethanya Tabitha Grace Theresa, S.H., Vinna Ernita

Boru Purba, S.H., Ferry Purnama dan Alifia Sekar Himawati dan sahabat lainnya

yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih banyak selalu

memberikan penulis semangat dalam menyelesaikan penulisan hukum (skripsi)

ini;

13. Untuk seluruh teman-teman kelas GH angkatan 2017 juga kawan-kawan angkatan

2017 serta teman-teman PLKH angkatan 53 Fakultas Hukum Universitas Pakuan;

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu

dalam penyelesaian penulisan hukum (skripsi) ini.

Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah

membantu dan semoga Allah SWT melimpahkan karunianya.penulis mohon maaf atas

segala kesalahan yang pernah dilakukan.Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

untuk mendorong penelitian-penelitian selanjutnya.

Bogor, 20 Desember 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

PRAKATA ……………………………………………………………... i
DAFTAR ISI ………………………………………………………...… iv
ABSTRAK ……………………………………………………………... vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………… 1

B. Identifikasi Masalah …………………………………… 6

C. Maksud dan Tujuan Penelitian ………………………… 6

D. Kerangka Pemikiran …………………………………… 7

E. Metode Penelitian ……………………………………… 12

F. Sistematika Penulisan ………………………………….. 14

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN

WANPRESTASI

A. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian ………………….. 16

1. Pengertian Perjanjian ………………………………… 16

2. Syarat Sah Perjanjian ………………………………… 19

3. Unsur-unsur Perjanjian ………………………………. 21

4. Asas-asas dalam Perjanjian ………………………….. 22

B. Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi ……………….. 28

1. Pengertian Wanprestasi ………………………………. 28

2. Bentuk-bentuk Wanprestasi ………………………….. 29

iv
BAB III PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH ANTARA PT WIJAYALAND

DENGAN WALJINAH DAN SLAMET PADA PERUMAHAN

BANANA VILLAGE SEMARANG

A. Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa Beli Rumah Pada Perumahan

Banana Village Semarang …………………………..…… 35

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa Beli

Rumah Pada Perumahan Banana Village Semarang .……. 37

C. Kasus Posisi Putusan Nomor 575/Pdt.G/2018/PN.SMG. ... 39

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Rumah Antara PT

Wijayaland dengan Waljinah dan Slamet Pada Perumahan Banana

Village Semarang ………………………………...……… 49

B. Analisis Putusan Majelis Hakim Dalam Penerapan Itikad Baik Pada

Putusan Nomor 575/Pdt.G/2018/PN.SMG. …………….... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……………………………………………… 63

B. Saran …………………………………………………….. 64

DAFTAR PUSTAKA
BIODATA
LAMPIRAN

v
ABSTRAK

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan sesama dan


dalam menjalankan kehidupannya tidak lepas dari kegiatan ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang didasarkan pada perikatan yang dibuat.
Namun dalam melaksanakan perikatan, tidak jarang salah satu pihak melakukan
wanprestasi. Contohnya kasus wanprestasi sewa beli adalah Perjanjian Sewa Beli
Rumah dengan Putusan Nomor 575/Pdt.G/2018/PN.SMG. Sepasang suami isteri
bernama Waljinah dan Slamet sebagai pihak penyewa dan pembeli telah
mengadakan perjanjian sewa beli kepada Kurniawan, yaitu pimpinan dari pihak
PT Wijayaland. Dalam perjanjian ini dituliskan bahwa setelah pembayaran uang
muka lunas, maka pihak perusahaan properti tersebut akan membangun rumah
yang menjadi obyek perjanjian. Namun setelah pembayaran dilunasi, dalam
waktu belum sampai sebulan rumah tersebut tidak segera dibangun dan tanpa
somasi sepasang suami isteri akhirnya menggugat wanprestasi perusahaan
tersebut. Padahal dalam perjanjiannya tidak tercantum kapan tepatnya waktu
untuk melaksanakan pembangunan, sehingga tidak ada patokan kapan akan
terjadinya wanprestasi oleh pihak properti. Pihak PT Wijayaland dalam dalilnya
menggunakan klausul “segera” dalam perjanjiannya sehingga tidak ada patokan
tanggal untuk membangun. Hasil penelitian adalah Majelis Hakim telah tepat
dalam menjatuhkan putusan bahwa PT Wijayaland telah wanprestasi meskipun
hal tersebut menyimpang dari kontrak yang dibuat dan tidak dinyatakan secara
tegas dalam kontrak. Majelis Hakim memutus menggunakan pertimbangan asas
itikad baik, sehingga teori hukum progresif sebagai dasar bahwa hakim dalam
memutus perkara tidak hanya sebagai corong undang-undang saja (dalam hal ini
perjanjian yang dibuat yang berlaku sebagai undang-undang bagi pihak
pembuatnya), tetapi dapat mempertimbangkan itikad baik dari para pihak.
Menurut Subekti ketentuan tentang itikad baik mengandung makna bahwa
hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian agar
jangan sampai melanggar kepatutan dan keadilan, maka hakim dapat mencegah
pelaksanaan perjanjian yang terlalu menyinggung rasa keadilan masyarakat,
dengan cara mengurangi atau menambah kewajiban-kewajiban dalam
perjanjian. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, jenis penelitian yuridis
normatif, pengumpulan datanya dilakukan dengan metode library research yang
didukung oleh data empiris, dan data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah
dengan metode kualitatif.

Kata kunci: Itikad baik, Sewa Beli, Wanprestasi.

vi
ABSTRACT

Humans are social beings who need each other and in living their lives cannot be
separated from economic activities to meet their needs based on the engagement they
make. However, in carrying out the engagement, it is not uncommon for one of the
parties to default. An example of a lease-purchase default is the House Purchase
Agreement with Decision Number 575/Pdt.G/2018/PN.SMG. A husband and wife
couple named Waljinah and Slamet as tenants and buyers have entered into a lease
and purchase agreement with Kurniawan, the leader of PT Wijayaland. In this
agreement it is written that after the down payment is paid off, the property company
will build a house which is the object of the agreement. However, after the payment
was paid, in less than a month the house was not immediately built and without the
husband and wife finally suing the company for default. Even though the agreement
does not state when is the right time to carry out development, so there is no
benchmark for when a default will occur by the property. PT Wijayaland in its
argument uses the "immediate" clause in its agreement so that there is no
benchmark date for building. The result of the research is that the Panel of Judges
has been right in ruling that PT Wijayaland has defaulted even though it deviates
from the contract made and is not stated explicitly in the contract. The Panel of
Judges decided to use the consideration of the principle of good faith, so that
progressive legal theory is the basis that judges in deciding cases are not only
mouthpieces of the law (in this case the agreement made which applies as law for the
party making it), but can consider the intention both from the parties. According to
Subekti, the provision on good faith means that judges are given the power to
supervise the implementation of an agreement so as not to violate propriety and
justice, so judges can prevent the implementation of agreements that are too fair to
the sense of community justice, by reducing or adding to the obligations in the
agreement. This research is descriptive analytical, the type of research is normative
juridical, the data collection is carried out by library research methods supported by
empirical data, and the data obtained from research results are processed by
qualitative methods.

Keywords: Good faith, Rent Buy, Default.

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan sesama dan

dalam menjalankan kehidupannya tidak lepas dari kegiatan ekonomi untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya kegiatan untuk memenuhi kebutuhan

hidup inilah yang membuat manusia harus berinteraksi dengan manusia lain.

Pertemuan hak dan kewajiban manusia yang satu dengan hak dan kewajiban

manusia lainnya ini yang menjadikan hukum perdata ada. Seperti yang

dikatakan Cicero dalam adagiumnya Ubi Societas Ibi Ius, yaitu dimana ada

manusia, di situ ada hukum.1 Hukum perdata ada sebab selalu ada kemungkinan

manusia lainnya melanggar hak dan kewajiban manusia dalam berkehidupan,

sehingga kehadirannya untuk menjamin kepastian hukum di ranah privat.

Dalam menjalankan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu

ekonomi berdasarkan asas kekeluargaan atau asas demokrasi ekonomi, banyak

masyarakat yang menjalankan usahanya dengan metode pembayaran yang

memudahkan masyarakat bagi yang kekurangan dana. Segala sesuatu kegiatan

masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ini tidak lepas dari perikatan. Dalam

pengetahuan hukum perdata, perikatan diartikan sebagai hubungan hukum yang

terjadi di antara dua orang atau lebih yang terletak dalam lapangan harta

1
Subandi Al Marsudi, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Universitas Pakuan, 2003),
hlm. 55.

1
kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib

memenuhi prestasi itu. Hukum perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata,

yang pengaturannya menganut sistem terbuka. Artinya setiap orang bebas

melakukan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum diatur dalam

undang-undang. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk: 2

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Salah satu wujud dari perikatan adalah perjanjian sewa beli. Sewa beli

adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan

cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan

pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat

dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari

penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli

kepada penjual. Suharnoko menjelaskan sewa beli adalah:3

“Suatu perjanjian campuran dimana terkandung unsur perjanjian


jual beli dan perjanjian sewa menyewa. Dalam perjanjian sewa beli
selama harga belum dibayar lunas, maka hak milik atas barang

2
Yulia, Hukum Perdata, (Lhokseumawe: Biena Edukasi, 2015), hlm. 90.
3
Letezia Tobing, “Perbedaan Leasing dan Sewa Beli”, tersedia di https://www.hukumonline
.com/, diakses 22 April 2021.

2
tetap berada pada si penjual sewa, meskipun barang sudah berada
di tangan pembeli sewa. Hak milik baru beralih dari penjual sewa
kepada pembeli sewa setelah pembeli sewa membayar angsuran
terakhir untuk melunasi harga barang”.

Perjanjian sewa beli ini termasuk perjanjian tidak bernama yang biasa

disebut innominat atau perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata.

Menurut ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata, setiap perjanjian nominat maupun

perjanjian innominat tunduk pada ketentuan umum hukum perjanjian. Dengan

demikian perjanjian sewa beli sebagai suatu perjanjian innominat juga tunduk

kepada ketentuan umum tentang perjanjian, seperti misalnya syarat sahnya

perjanjian dan tentang wanprestasi. Dalam menjalankan perjanjian, selalu ada

peluang bahwa salah satu pihak akan melanggar perjanjian yang telah

disepakati. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan

kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara

kreditur dan debitur. Ada 4 (empat) akibat wanprestasi, yaitu: 4

1. Perikatan tetap ada;

2. Debitur harus membayar ganti rugi kepada debitur, ditegaskan dalam Pasal

1243 KUHPerdata, bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena

tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun

dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau sesuatu yang

4
Yulia, Op. Cit., hlm. 93.

3
harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya

dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang ditentukan;

3. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur jika halangan itu timbul setelah

wanprestasi;

4. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan

diri dari kewajibannya, ditegaskan dalam Pasal 1266 KUHPerdata, bahwa

syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal

balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, dalam hal

demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetap pembatalan harus

dimintakan pada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meski

syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam

persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka

hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa

memberkasuatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka

waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan.5

Salah satu contoh kasus wanprestasi sewa beli adalah Perjanjian Sewa

Beli Rumah dengan Putusan Nomor 575/Pdt.G/2018/PN.SMG. Sepasang suami

isteri bernama Waljinah dan Slamet sebagai pihak penyewa dan pembeli telah

mengadakan perjanjian sewa beli kepada Kurniawan, yaitu pimpinan dari pihak

PT Wijayaland. Dalam perjanjian ini dituliskan bahwa setelah pembayaran uang

5
Ibid.

4
muka lunas, maka pihak perusahaan properti tersebut akan membangun rumah

yang menjadi obyek perjanjian. Namun setelah pembayaran dilunasi, dalam

waktu belum sampai sebulan rumah tersebut tidak segera dibangun dan tanpa

somasi sepasang suami isteri akhirnya menggugat wanprestasi perusahaan

tersebut. Padahal dalam perjanjiannya tidak tercantum kapan tepatnya waktu

untuk melaksanakan pembangunan, sehingga tidak ada patokan kapan akan

terjadinya wanprestasi oleh pihak properti. Pihak PT Wijayaland dalam dalilnya

menggunakan klausul “segera” dalam perjanjiannya sehingga tidak ada patokan

tanggal untuk membangun. Majelis hakim memutus bahwa PT Wijayaland telah

wanprestasi meskipun hal tersebut menyimpang dari kontrak yang dibuat dan

tidak dinyatakan secara tegas dalam kontrak, Majelis Hakim memutus

menggunakan pertimbangan asas itikad baik.

Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai putusan hakim

tersebut dalam pertimbangannya menjatuhkan putusan wanprestasi dan penulis

akan menuangkannya dalam skripsi dengan judul “ANALISIS

PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH ANTARA PT

WIJAYALAND DENGAN WALJINAH DAN SLAMET PADA

PERUMAHAN BANANA VILLAGE SEMARANG (STUDI KASUS

PUTUSAN NOMOR 575/Pdt.G/2018/PN.SMG)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat diidentifikasikan

permasalahan sebagai berikut:

5
1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian sewa beli rumah antara PT Wijayaland

dengan Waljinah dan Slamet pada perumahan Banana Village Semarang?

2. Bagaimana putusan Majelis Hakim dalam penerapan itikad baik pada

Putusan Nomor 575/Pdt.G/2018/PN.SMG?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

1. Maksud Penelitian

a. Untuk mengetahui tentang pelaksanaan perjanjian sewa beli rumah

antara PT Wijayaland dengan Waljinah dan Slamet pada perumahan

Banana Village Semarang.

b. Untuk mengetahui fakta-fakta yang terjadi pada putusan Majelis Hakim

dalam penerapan itikad baik pada Putusan Nomor

575/Pdt.G/2018/PN.SMG..

2. Tujuan Penelitian

a. Secara teoritis memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu

hukum khususnya mengenai pelaksanaan perjanjian sewa beli rumah

antara PT Wijayaland dengan Waljinah dan Slamet pada perumahan

Banana Village Semarang.

b. Secara praktis dapat memberikan sumber informasi aktual bagi

mahasiswa, praktisi hukum dan masyarakat, khususnya fakta-fakta yang

terjadi pada putusan Majelis Hakim dalam penerapan itikad baik pada

Putusan Nomor 575/Pdt.G/2018/PN.SMG.

D. Kerangka Pemikiran

6
1. Kerangka Teoritis

Berdasarkan hukum perikatan, penelitian ini membedah rumusan

masalah dengan beberapa teori yaitu teori hukum progresif, asas kebebasan

berkontrak dan asas itikad baik. Teori hukum progesif adalah gagasan dari

Satjipto Rahardjo. Menurut Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada

filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut,

maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas

melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan

merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum,

ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan

manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi hukum yang

pro keadilan dan hukum pro rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para

pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan.

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum

progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada

kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu

yang cepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan

dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada,

tanpa harus menunggu perubahan peraturan. Peraturan yang buruk, tidak

harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk

menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka

dapat melakukan interpretasi secara baru setiapkali terhadap suatu peraturan.

7
Bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya

sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu

hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau

rechtsdogmatiek yang cenderung menepis dunia di luar dirinya, seperti

manusia, masyarakat, kesejahteraannya.6 Hubungan permasalahan dalam

penelitian hukum ini dengan teori hukum progresif adalah teori dalam

perjanjian sewa beli rumah PT Wijayaland dengan Waljinah dan Slamet

tidak tercantum kapan tepatnya waktu untuk melaksanakan pembangunan,

sehingga tidak ada patokan kapan akan terjadinya wanprestasi oleh pihak

properti. Pihak PT Wijayaland dalam dalilnya menggunakan klausul

“segera” dalam perjanjiannya sehingga tidak ada patokan tanggal untuk

membangun. Kemudian Majelis hakim memutus bahwa PT Wijayaland

telah wanprestasi meskipun hal tersebut menyimpang dari kontrak yang

dibuat dan tidak dinyatakan secara tegas dalam kontrak, Majelis Hakim

memutus menggunakan pertimbangan asas itikad baik, sehingga teori

hukum progresif sebagai dasar bahwa hakim dalam memutus perkara tidak

hanya sebagai corong undang-undang saja (dalam hal ini perjanjian yang

dibuat yang berlaku sebagai undang-undang bagi pihak pembuat nya, tetapi

dapat mempertimbangkan itikad baik yang dapat dilihat dari kewajiban-

kewajiban apa saja yang sudah dilakukan oleh debitur dan kegagalan apa

6
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm. 190-192.

8
yang tidak dipenuhi dengan melihat kondisi kemampuan debitur serta

pembuatan klausul perjanjian yang dapat mencerminkan keseimbangan

kedudukan antara debitur dan kreditur sehingga dapat dinilai mengenai

itikad baiknya. Meminjam istilah Nonet-Selznick, hukum progresif memiliki

sifat responsif. Nonet dan Selznick lewat hukum responsif, menempatkan

hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan

aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini

mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial

demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Sehingga lewat teori

hukum progresif, hakim bukanlah sebagai corong undang-undang. Ketika

dalam kenyataan terdapat peraturan yang bertentangan, isi peraturan tidak

jelas atau kabur, atau berbagai permasalahan mengenai aturan yang

menimbulkan ketidakpastian hukum maka hal tersebut bukan menjadi

halangan bagi penegak hukum untuk memberikan keadilan dalam suatu

perkara.7

Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

Pasa1 1338 mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai. Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh sebab itu: 8

7
Ibid., hlm. 184.
8
Roswita Sitompul, Hukum Perdata Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa, 2006), hlm. 83.

9
a. Perjanjian itu tidak dapat ditarik (dibatalkan) oleh sepihak saja tetapi

harus dengan persetujuan kedua belah pihak dengan alasan yang

diperbolehkan oleh undang-undang.

b. Perjanjian itu adalah merupakan undang-undang bagi kedua belah pihak

yang mempunyai kekuatan memaksa dan mengikat dan kepastian hu

kum. Jelaslah siapa yang melanggar suatu perjanjian serupa halnya

dengan melanggar undang-undang, ia dapat dituntut dan diberikan

sanksi.

Asas itikad baik terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat (3)

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam pengertian itikad

baik adalah bukan hanya pada saat pembuatan perjanjian saja tetapi juga

pada pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam pengertian itikad baik

tersimpul pula aspek kepantasan dan kepatutan.9 Pada perjanjian sewa beli

rumah pada Perumahan Banana Village, asas itikad baik juga sebagai

penentu seseorang telah melakukan wanprestasi atau tidaknya yaitu dilihat

dari kewajiban-kewajiban apa saja yang sudah dilakukan oleh debitur dan

kegagalan apa yang tidak dipenuhi dengan melihat kondisi kemampuan

debitur serta pembuatan klausul perjanjian yang dapat mencerminkan

keseimbangan kedudukan antara debitur dan kreditur.

2. Kerangka Konseptual

9
Badan Diklat Kejaksaan RI, Hukum Perdata Materiil, (Jakarta: KAJARI, 2019), hlm. 71.

10
Kerangka konseptual dalam penulisan hukum ini dapat dijelaskan,

sebagai berikut:

a. Analisis yuridis adalah :10

“Penyelidikan dan penguraian suatu masalah untuk keadaan


yang sebenar-benarnya atau proses pemecahan masalah yang
dimulai dugaan akan kebenarannya yang mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat teoritis serta menganalisis
putusan pengadilan.”

b. Keabsahan adalah :11

“Hubungan antara norma hukum seharusnya dengan realita

fisik.”

c. Perjanjian adalah :12

“Suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

d. Wanprestasi adalah :13

“Tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban

sebagaimana yang di tentukan dalam perjanjian yang dibuat

antara kreditur dan debitur.”

e. Itikad baik adalah :14

10
H.M. Subarna, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung: Pustaka Grafika, 2012), hlm. 23.
11
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, (Bandung: Nusamedia,
2007), hlm. 233.
12
Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1313.
13
Yulia, Op. Cit., hlm. 93.
14
Ibid.

11
“Kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan

hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang

pada waktu diadakan perbuatan hukum.”

f. Sewa beli adalah :15

“Suatu perjanjian campuran dimana terkandung unsur

perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa.”

g. KPR adalah:16

“Kredit jangka panjang yang disalurkan oleh perbankan

kepada debiturnya untuk membangun atau memiliki rumah

baru atau bekas diatas sebuah lahan dengan jaminan

sertifikat kepemilikan atas rumah dan lahan itu sendiri”

E. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian, agar memperoleh hasil yang maksimal

maka diperlukan metode penelitiaan yang tepat. Dalam penelitian ini penulis

menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

15
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 65.
16
Undang-Undang No.10 Tentang Perbankan Tahun 1998

12
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif

yaitu penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder belaka.17

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif

analisis yaitu penulisan yang berdasarkan fakta-fakta yang diteliti secara jelas,

sistematis yang kemudian di dukung dan dikolerasikan untuk dianalisis

dengan fakta-fakta berdasarkan dari teori-teori hukum, pendapat para ahli, dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, berkaitan dengan penulisan

hukum ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan hukum ini menggunakan

penelitian kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan data dengan

cara mencari, mempelajari dan memahami buku-buku yang berhubungan

dengan materi penulisan hukum yang dilakukan oleh penulis, surat kabar,

jurnal, artikel hukum baik dari internet maupun majalah-majalah dan lain

sebagainya, dan produk hukum yang berupa peraturan perundang-undangan.

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang diperoleh dalam rangka penyusunan penulisan hukum ini

diolah secara kualitatif, yaitu dengan menggunakan kata-kata dan kalimat-

17
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.

13
kalimat dengan maksud agar tersusun suatu materi pembahasan yang

sistematis dan mudah dipahami serta dapat dipertanggungjawabkan.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai-berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran untuk mengetahui tentang apa yang

diuraikan secara singkat yang mencakup secara keseluruhan dan

berhubungan antara satu sama lainnya, yang terbagi dalam 6 (enam)

pokok yaitu latar belakang, identifikasi masalah, maksud dan tujuan

penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN

WANPRESTASI

Dalam bab ini akan diuraikan tinjauan secara umum mengenai

pengertian perjanjian, syarat sah perjanjian, unsur-unsur perjanjian,

asas-asas dalam perjanjian, pengertian wanprestasi dan bentuk-

bentuk wanprestasi.

BAB III PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH ANTARA PT

WIJAYALAND DENGAN WALJINAH DAN SLAMET PADA

PERUMAHAN BANANA VILLAGE SEMARANG.

Dalam bab ini diuraikan mengenai objek penelitian yaitu para pihak

dalam perjanjian sewa beli rumah pada perumahan Banana Village

14
Semarang, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa beli

rumah pada perumahan Banana Village Semarang dan kasus posisi

Putusan Nomor 575/Pdt.G/2018/PN.SMG.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Di dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai analisis

pelaksanaan perjanjian sewa beli rumah antara PT Wijayaland

dengan Waljinah dan Slamet pada perumahan Banana Village

semarang dan analisis Putusan Majelis Hakim dalam penerapan

itikad baik pada Putusan Nomor 575/Pdt.G/2018/PN.SMG.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan

dari analisis pelaksanaan perjanjian sewa beli rumah antara PT

Wijayaland dengan Waljinah dan Slamet pada perumahan

Banana Village semarang dan analisis Putusan Majelis Hakim

dalam penerapan itikad baik pada Putusan Nomor

575/Pdt.G/2018/PN.SMG. dan saran.

15
BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN WANPRESTASI

A. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau overeenkomst merupakan suatu peristiwa dimana

seseorang berjanji kepada orang lain atau dapat dikatakan peristiwa dimana dua

orang atau lebih saling mengikrarkan diri untuk berbuat sesuatu. Menurut

Subekti, suatu perjanjian adalah:18

“Suatu peristiwa manakala seseorang berjanji kepada orang lain

atau ketika dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal.”

Sedangkan menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu

perbuatan ketika satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

lain atau lebih. Berbeda dengan perikatan yang merupakan suatu hubungan

hukum, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itulah

yang menimbulkan adanya hubungan hukum perikatan sehingga dapat

dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan. Dengan demikian,

hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian

menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan sumber lahirnya perikatan

disamping sumber-sumber yang lain. Perjanjian dapat pula disebut sebagai

18
Nur Syarifah dan Reghi Perdana, Hukum Perjanjian, (Jakarta: UT, 2015), hlm. 5.

16
persetujuan karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Menurut

bentuknya, janji dapat berbentuk lisan maupun berbentuk tulisan. Perjanjian

dalam bentuk tertulis disebut kontrak. Jadi kontrak mempunyai cakupan yang

lebih sempit lagi daripada perjanjian. Secara gramatikal, istilah kontrak berasal

dari bahasa Inggris, contract. Istilah kontrak lebih sering digunakan dalam

praktik bisnis dan selalu dituangkan dalam bentuk tulisan. Kontrak merupakan

bagian dari perjanjian dan perjanjian merupakan bagian dari perikatan, atau

dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa:19

a. Semua kontrak pasti merupakan perjanjian, tetapi tidak semua perjanjian

merupakan kontrak. Hal ini bisa dipahami sebab perjanjian ada yang lisan

dan ada yang berbentuk tulisan;

b. Semua perjanjian pasti merupakan perikatan, tetapi tidak semua perikatan

merupakan perjanjian. Hal ini bisa dipahami sebab sumber-sumber lahirnya

perikatan tidak hanya perjanjian saja, tetapi bisa juga undang-undang,

putusan pengadilan dan hukum adat.

Contoh perjanjian dalam kehidupan sehari-hari yaitu karena

membutuhkan uang untuk membayar kuliah, Dian bermaksud menjual

handphone yang dibeli dua bulan yang lalu. Handphone tersebut ditawarkan

kepada Andi seharga Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah). Andi setuju untuk

membeli handphone tersebut. Andi menyerahkan uang Rp 500.000 (lima ratus

19
Ibid.

17
ribu rupiah) untuk Dian, dan Dian menyerahkan handphone untuk Andi. Dalam

hal ini, telah terjadi perjanjian jual-beli antara Dian dan Andi. Para pihak yang

melakukan transaksi ada dua yaitu pihak kesatu (penjual/Dian) dan pihak

kedua (pembeli/Andi) Hak Dian atas prestasi berupa uang Rp 500.000 (lima

ratus ribu rupiah) dan kewajiban Andi memberikan prestasi berupa uang Rp

500.000 (lima ratus ribu rupiah). Hak Andi atas prestasi berupa handphone dan

kewajiban Dian atas prestasi berupa handphone.20

Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata dirumuskan bahwa

perjanjian adalah suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari isi

ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, dapat ditarik unsur-unsur dari perjanjian

yaitu unsur perbuatan dan unsur satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian dalam arti sempit hanya mencakup

perjanjian yang ditujukan kepada hubungan hukum dalam lapangan hukum

harta kekayaan saja sebagaimana yang diatur dalam Buku III KUHPerdata.

Hukum perjanjian dibicarakan sebagai bagian dari hukum perikatan sedangkan

hukum perikatan merupakan bagian dari hukum harta kekayaan, maka

hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perjanjian adalah hubungan dalam

lapangan hukum harta kekayaan, dan dapat disimpulkan bahwa perjanjian

menimbulkan perikatan. Adapun perjanjian dalam arti luas mencakup semua

20
Ibid., hlm. 6.

18
perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang dikehendaki

para pihak. Jadi perjanjian dalam arti luas tidak hanya diatur dalam lapangan

hukum harta kekayaan saja, tetapi juga mencakup Buku I KUHPerdata seperti

perjanjian kawin.21

2. Syarat Sah Perjanjian

Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak,

perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal

1320 KUHPerdata yaitu:22

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya:

1) Adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok

persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam

persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut;

2) Adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut

ancaman sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1324 KUHPerdata;

3) Adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga

adanya tipu muslihat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1328

KUHPerdata. Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar sepakat

berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

21
Zakiyah, Hukum Perjanjian Teori dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Lentera Kreasindo,
2015), hlm. 4.
22
Arrisman, Hukum Perikatan Perdata dan Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Tampuniak Mustika Edukarya, 2020), hlm. 134-135.

19
b. Cakap untuk membuat perikatan.

Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini

adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak di bawah pengawasan karena

perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-

undang dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 KUHPerdata

menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan adalah orang-

orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan dan

orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-

undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun

berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah

Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak

lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan

perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian

yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah dapat dibatalkan.

c. Suatu hal tertentu.

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak,

maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUHPerdata

menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat

menjadi obyek perjanjian.

d. Suatu sebab atau causa yang halal.

20
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.

Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali

ditentukan lain oleh undang-undang.

Syarat a dan b menyangkut subyek, sedangkan syarat a dan b mengenai obyek.

Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk

membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat

dibatalkan. Sementara apabila syarat c dan d mengenai obyek tidak terpenuhi,

maka perjanjian batal demi hukum.23

3. Unsur-unsur Perjanjian

Untuk dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian haruslah memenuhi

unsur-unsur perjanjian, yaitu:24

a. Unsur Essentialia, yaitu bagian-bagian dari perjanjian yang tanpa itu

perjanjian tidak mungkin ada. Misalnya, harga adalah unsur essentialia

bagi perjanjian jual beli. Contohna perjanjian pembayaran motor bekas

dengan harga yang disepakati sebesar Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).

b. Unsur Naturalia, yaitu bagian-bagian yang oleh undang-undang ditentukan

sebagai peraturan-peraturan yang bersifat mengatur. Misalnya,

penanggungan (vrijwaring).

23
Ibid., hlm. 136.
24
Nanda Amalia, Hukum Perikatan, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2013), hlm. 21.

21
c. Unsur Accidentalia, yaitu bagian-bagian yang oleh para pihak ditambahkan

dalam perjanjian, dimana undang-undang tidak mengaturnya. Misalnya,

jual beli rumah beserta alat-alat rumah tangga.

4. Asas-asas Dalam Perjanjian

Asas hukum adalah suatu pikiran yang bersifat umum dan abstrak yang

melatarbelakangi hukum positif. Dengan demikian asas hukum tersebut tidak

tertuang dalam hukum yang konkrit. Pengertian tersebut dapat ditarik dari

pendapat Sudikno Mertokusumo, yang memberi penjelasan bahwa asas hukum

atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan

pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari

peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim

yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-

sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.25 Asas hukum merupakan

jantungnya peraturan hukum karena asas hukum merupakan landasan yang

paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum dan sebagai alasan bagi

lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.

Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya melahirkan suatu peraturan

25
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty 2003),
hlm. 33.

22
hukum, melainkan akan tetap saja ada dan melahirkan peraturan-peraturan

selanjutnya.26

Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian

adalah:27

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting

dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini didasarkan pada Pasal

1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas

kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan

orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku

III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur, sehingga

para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali

terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa. Menurut asas ini,

hukum perjanjian memberikan kebebasan pada setiap orang untuk

membuat perjanjian apapun, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan

undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas ini diberikan oleh

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya.

26
Erna Amalia, Hukum Perikatan, (Jakarta: FH UTJ, 2019), hlm. 142-147.
27
Ibid.

23
b. Asas konsensualisme

Konsensualisme berasal dari bahasa latin consensus yang berarti sepakat.

Jadi asas konsensualisme berarti bahwa suatu perjanjian pada dasarnya

telah dilahirkan sejak tercapainya kesepakatan. Asas ini dapat disimpulkan

dari Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan untuk syarat sahnya suatu

perjanjian memerlukan sepakat mereka yang mengikatkan diri.

c. Asas pacta sunt servanda.

Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian, yang

berarti pada pihak yang membuat perjanjian itu terikat pada kesepakatan

dalam perjanjian yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain, perjanjian

yang diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi

para pihak yang membuatnya. Asas pacta sunt servanda ini terdapat dalam

ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan

semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik

kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang

oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Dari perkataan “berlaku

sebagai undang-undang dan tak dapat ditarik kembali” berarti bahwa

perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan perjanjian

tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lawannya.

Jadi para pihak harus mentaati apa yang telah mereka sepakati bersama.

24
d. Asas itikad baik

Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goedetrow. Asas ini

berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik

ini, terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan

persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini

berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun

bagi kreditur. Itikad baik berarti bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian

harus berlaku yang satu terhadap yang lain seperti patut saja antara orang-

orang sopan, tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan, tanpa

mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja,

tetapi juga dengan melihat kepentingan pihak lain. Hogeraad dalam

putusannya tanggal 9 Februari 1923 merumuskan perjanjian harus

dilaksanakan dengan redelijkheid en billijkheid yang diterjemahkan

menjadi kewajaran dan keadilan. Redelijkheid diartikan dengan dapat

dimengerti dengan intelek, dengan akal sehat, dengan budi (reasonable),

sedangkan billijkheid berarti dapat dirasakan dengan sopan, sebagai patut

dan adil. Jadi redelijkheid en billijkheid meliputi semua yang dapat

ditangkap baik dengan intelek maupun dengan perasaan. Pengertian itikad

baik mengandung dua dimensi, yaitu itikad baik dalam dimensi subyektif

yang mengarah kepada kejujuran, sedangkan itikad baik dalam dimensi

obyektif diartikan sebagai kerasionalan, kepatutan dan keadilan. itikad baik

dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata didasarkan kepada

25
kerasionalan, kepatutan dan keadilan. Bekerjanya asas itikad baik ini tidak

saja setelah perjanjian dibuat (pelaksanaan perjanjian), tetapi juga bekerja

sewaktu para pihak akan memasuki perjanjian. Menurut Subekti ketentuan

tentang itikad baik mengandung makna bahwa hakim diberikan kekuasaan

untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian agar jangan sampai

melanggar kepatutan dan keadilan, maka hakim dapat mencegah

pelaksanaan perjanjian yang terlalu menyinggung rasa keadilan

masyarakat, dengan cara mengurangi atau menambah kewajiban-

kewajiban dalam perjanjian.28 Bilamana dua pihak sedang berunding untuk

membuat perjanjian, maka timbul antara mereka, menurut Hoge Raad,

suatu hubungan-hukum khusus, yang disebut prakontraktuil dan yang

dikuasai oleh itikad baik. Ajaran ini dikemukakan dalam Putusan HR 15

Nopember 1957 NJ 1958 No.67 dan kemudian dijelaskan dalam beberapa

putusan lain. Dari putusan-putusan itu ternyata bahwa menurut Hoge Raad

para pihak yang berunding masing-masing mempunyai kewajiban-

kewajiban yang berdasar atas itikad baik, yaitu kewajiban untuk memeriksa

(onderzoekplicht) dan kewajiban untuk memberitahukan

(mededelingsplicht). Misalnya bila ada perundingan-perundingan tentang

jual beli rumah, maka orang yang mau membeli berkewajiban memeriksa

apakah ada rencana-rencana resmi mengenai rumah itu, umpamanya

28
Ibid.

26
rencana untuk mencabut hak milik. Sanksi atas kewajiban itu ialah bahwa,

kalau dia tidak memeriksa hal itu dan kemudian hak milik memang dicabut,

dia tidak boleh menuntut pembatalan karena kesesatan. Pada lain pihak si

penjual berkewajiban untuk memberitahukan semua yang dia ketahui dan

yang bisa penting bagi pembeli, dan kalau dia menyatakan dengan tegas

bahwa tidak ada rencana-rencana resmi, si pembeli boleh mempercayai

pernyataan itu dan tidak usah memeriksa lagi. Hakim harus

mempertimbangkan kewajiban-kewajiban itu satu sama lain dengan ukuran

itikad baik. Akibat lain daripada adanya hubungan-hukum prekontraktuil

ialah bahwa kadang-kadang perundingan-perundingan tidak boleh

dibatalkan (diputuskan) begitu saja.

e. Asas keseimbangan

Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan

seimbang yang sebagai akibat darinya harus memunculkan pengalihan

kekayaan secara sah. Tidak terpenuhinya keseimbangan, dalam konteks

asas keseimbangan, bukan semata menegaskan fakta dan keadaan,

melainkan lebih dari itu berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal suatu

perjanjian. Sutan Remy Sjahdeni menganalisis keseimbangan berkontrak

pada hubungan antara bank-nasabah, menyimpulkan bahwa keseimbangan

para pihak hanya akan terwujud apabila berada pada posisi yang sama kuat.

Oleh karena itu hubungan kontraktual para pihak semata-mata pada

27
mekanisme kebebasan berkontrak, seringkali menghasilkan ketidakadilan

apabila salah satu pihak berada dalam posisi yang lemah.

B. Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi

1. Pengertian Wanprestasi

Prestasi adalah suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap

perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana mestinya

yang telah ditetapkan dalam perjanjian, maka ia dikatakan wanprestasi.

Kreditur dapat memilih alternatif tuntutan kepada debitur sebagaimana diatur

dalam Pasal 1267 KUHPerdata yaitu pemenuhan perjanjian, pemenuhan

perjanjian disertai ganti rugi, ganti rugi, pembatalan perjanjian dan/atau

pembatalan perjanjian disertai ganti rugi. Apabila kreditur hanya menuntut

ganti rugi, maka ia dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta

pemenuhan dan pembatalan perjanjian. Sedangkan kalau kreditur hanya

menuntut pemenuhan perjanjian, maka tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai

sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan perjanjian memang sudah dari semula

menjadi kesanggupan debitur untuk melaksanakannya.29

Ketentuan mengenai ganti rugi diatur dalam Pasal 1243 sampai dengan

Pasal 1253 KUHPerdata. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa

ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak

memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian

29
Zakiyah, Hukum Perjanjian Teori dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Lentera Kreasindo,
2015), hlm. 98.

28
berupa biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran/perongkosan

yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur rugi adalah segala kerugian

karena musnahnya/rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian

debitur, sedangkan bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau

sudah diperhitungkan. Walaupun kreditur dapat menuntut ganti rugi kepada

debitur, namun kerugian yang dapat dituntut jumlahnya dibatasi oleh Pasal

1247, Pasal 1248 dan Pasal 1250 KUHPerdata.30

2. Bentuk-bentuk Wanprestasi

Wanprestasi dapat terjadi karena kesengajaan, kelalaian ataupun tanpa

kesalahan (kesangajaan dan/kelalaian). Konsekuensi yuridis dari wanprestasi

adalah timbulnya hak dari pihak yang dirugikan dalam kontrak tersebut untuk

menuntut ganti rugi dari pihak yang melakukan wanprestasi. Bentuk-bentuk

ataupun model wanprestasi adalah:31

a. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi;

b. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi;

c. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Pada beberapa kondisi tertentu, seseorang yang telah tidak melaksanakan

prestasinya sesuai dengan ketentuan yang dinyatakan dalam kontrak, maka

pada umumnya (dengan beberapa perkecualian) tidak dengan sendirinya dia

30
Ibid.
31
Nanda Amalia, Op. Cit., hlm. 7.

29
dianggap telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak telah ditentukan lain

dalam kontrak atau undang-undang, maka wanprestasinya resmi terjadi setelah

debitur dinyatakan lalai oleh kreditur, yaitu dikeluarkannya “akta lalai” oleh

pihak kreditur. Hal ini diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata bahwa si berutang

adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis

itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini

menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya

waktu yang telah ditentukan. Akta lalai dalam praktek dikenal juga dengan

istilah somasi (somatie: Belanda, Sommation/Notice of Default: Inggris). Akta

lalai ini sendiri dikenal dan diberlakukan oleh negara-negara dengan Civil Law

System seperti Perancis, Jerman, Belanda dan Indonesia. Sedangkan Negara-

negara dengan Common Law System tidak memberlakukan stelsel akta lalai ini.

Pengecualian terhadap akta lalai adalah dalam hal:32

a. Jika di dalam kontrak ditentukan termin waktu;

b. Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi;

c. Debitur keliru memenuhi prestasi;

d. Ditentukan dalam undang-undang bahwa wanprestasi terjadi demi hukum.

Dalam hal wanprestasi yang terjadi adalah berupa tidak sempurna

memenuhi prestasi, maka dalam ilmu hukum kontrak dikenal suatu doktrin

yang disebut Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial (Substantial

32
Ibid., hlm. 8.

30
Performance) yang mengajarkan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi berupa

tidak sempurna memenuhi prestasi, namun pihak tersebut telah melaksanakan

prestasinya secara substantial, maka pihak lain tersebut harus juga

melaksanakan prestasinya secara sempurna (Substantial Performance).

Dengan kata lain, jika salah satu pihak telah melaksanakan Substantial

Performance, maka pihak lain harus memenuhi prestasinya sendiri

sebagaimana yang telah disepakati atau ditetapkan dalam kontrak, dan tidak

dibenarkan kepadanya untuk melaksanakan doktrin exceptio non adimpleti

contractus, yaitu doktrin yang mengajarkan apabila salah satu pihak tidak

melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat juga tidak melaksanakan

prestasinya. Contoh: seorang pemborong (aanemeer) mengikatkan dirinya

kepada pihak yang memborongkan (bouwheer) untuk mendirikan bangunan.

Setelah dinyatakan selesai pekerjaannya ternyata dia belum memasangkan

kunci-kunci bagi bangunan tersebut, maka dapat dikatakan dia telah

melaksanakan kontrak tersebut secara substansial.33

Di dalam perjanjian ada suatu keadaan dinamakan force majeur. Force

majeure merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk

melaksanakan prestasinya karena keadaan yang tidak terduga pada saat

dibuatnya kontrak. Keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak

33
Ibid.

31
dalam keadaan beritikad buruk. Peristiwa tersebut terjadinya juga tidak telah

diasumsikan terlebih dahulu kemungkinannya (seandainya telah diasumsikan

kemungkinannya, maka para pihak harusnya telah menegoisiasikannya di

dalam kontrak). Contoh peristiwa yang menyebabkan force majeure adalah

terjadinya air bah, banjir badang, meletusnya gunung merapi, gempa bumi,

mogok massal serta munculnya peraturan baru yang melarang pelaksanaan

prestasi dari kontrak tersebut. Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata

mengatur masalah force majeure dalam hubungannya dengan penggantian

biaya rugi dan bunga saja, namun demikian ketentuan ini juga dapat

dipergunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majeure secara

umum. Berdasarkan pasal tersebut di atas, force majeure dapat terjadi

disebabkan:

a. Karena sebab-sebab yang tidak terduga;

b. Karena keadaan memaksa;

c. Karena perbuatan tersebut dilarang.

Apabila force majeure terjadi terhadap suatu kontrak, sehingga salah satu

atau kedua belah pihak terhalang untuk melaksanakan prestasinya, maka para

pihak dibebaskan untuk melaksanakan prestasi dan tidak ada satu pihakpun

yang dapat meminta ganti rugi karena tidak dilaksanakannya kontrak

bersangkutan. Force majeure menurut Munir Fuady dapat dibedakan atas:34

34
Ibid.

32
a. Force majeure yang objektif, terjadi terhadap benda yang menjadi objek

dari kontrak tersebut, misal benda tersebut terbakar atau terbawa banjir

badang.

b. Force majeure yang subjektif, terjadi terhadap subjek dari perikatan itu.

Misalnya jika si debitur cacat seumur hidup, atau sakit berat sehingga

tidak mungkin lagi memenuhi prestasi.

c. Force majeure yang absolute, yaitu keadaan dimana prestasi oleh debitur

tidak mungkin sama sekali dapat dipenuhi untuk dilaksanakan

bagaimanapun keadaannya. Kondisi ini disebut juga dengan istilah

impossibility. Misalnya, jika barang yang menjadi objek dalam perikatan

tersebut tidak dapat lagi ditemui di pasaran dikarenakan sudah tidak

diproduksi lagi.

d. Force majeure yang relatif, merupakan kondisi dimana pemenuhan

prestasi secara normal tidak lagi dapat dilaksanakan, walaupun secara

tidak normal pada dasarnya masih bisa dilaksanakan. Contoh force

majeure bentuk ini adalah terhadap kontrak ekspor impor dimana tiba-

tiba pemerintah mengeluarkan larangan terhadapnya. Secara normal,

kontrak ini tidak dapat dilaksanakan, namun dengan cara tidak normal

seperti penyelundupan (illegal), kontrak masih dapat dilaksanakan.

e. Force majeure yang permanent, dalam hal ini prestasi sama sekali tidak

mungkin dapat dilaksanakan, sampai kapan pun walau bagaimanapun.

Misal, kontrak pembuatan lukisan, tetapi si pelukis menderita sakit stroke

33
(misalnya) yang tidak dapat sembuh lagi sehingga dia tidak mungkin lagi

melukis sampai kapanpun.

f. Force majeure yang temporer adalah suatu force majeure dimana prestasi

tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, tetapi nanti nya masih

mungkin dilakukan. Misal, perjanjian pengadaan suatu produk tertentu,

namun dikarenakan berhentinya operasional pabrik yang disebabkan oleh

mogok buruh, maka force majeure terjadi. Setelah keadaan reda, dan

buruh kembali bekerja dan pabrik beroperasi kembali maka prestasi dapat

dilanjutkan kembali.35

35
Ibid., hlm. 9-10.

34
BAB III
PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH ANTARA
PT WIJAYALAND DENGAN WALJINAH DAN SLAMET
PADA PERUMAHAN BANANA VILLAGE SEMARANG

A. Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa Beli Rumah Pada Perumahan

Banana Village Semarang

Pihak-pihak yang dimaksud dalam hal ini adalah siapa saja yang terlibat

dalam suatu perjanjian. Pihak-pihak yang dimaksud adalah para pihak yang

mengadakan perjanjian itu sendiri, para ahli waris dan mereka yang mendapatkan

hak-hak dari padanya, dan pihak-pihak ketiga. Hal itu diatur di berbagai pasal

dalam KUHPerdata. Menurut Pasal 1315 KUHPerdata mengatakan bahwa pada

umumnya tiada seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta

ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. Asas ini dinamakan

asas kepribadian dalam perjanjian. Maksud mengikatkan diri di sini, ditujukan

untuk memikul kewajiban atau menyanggupi untuk melakukan sesuatu.

Sedangkan minta ditetapkan suatu janji, ditujukan pada memperoleh hak atas

sesuatu atau dapat menuntut. Memanglah sudah semestinya suatu perjanjian hanya

mengikat orang-orang yang mengadakan perjanjian itu sendiri, bukan mengikat

orang lain. Dengan perkataan lain, sudah selayaknya perjanjian hanya meletakkan

35
hak dan kewajiban antara pihak yang membuatnya, sedangkan orang lain adalah

pihak ketiga yang tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian itu.36

Pengecualian terhadap asas bahwa seseorang tidak dapat mengikatkan diri

dan minta ditetapkan suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri adalah janji untuk

pihak ketiga, yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa

lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna

kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh

seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada

seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Dalam perjanjian itu ia

memperjanjikan hak-hak bagi seorang lain. Misalnya A mengadakan perjanjian

dengan B. Dalam perjanjian itu A minta diperjanjikan hak-hak bagi C. Dalam

hubungan ini A disebut stipulator, dan B dinamakan promisor. Selain itu ketentuan

pasal tersebut juga memberi syarat antara stipulator dan promisor bahwa mereka

tidak boleh menarik kembali apabila pihak ketiga telah menyatakan kehendak

untuk mempergunakannya.37

Dalam hal ini, pihak-pihak dalam perjanjian sewa beli rumah pada

perumahan Banana Village Semarang adalah:

1. Waljinah, pekerjaan Mengurus Rumah Tangga, beralamat di Jl. Batursari2

RT. 002 / RW. 005, Kelurahan Sawah Besar, Kecamatan Gayamsari, Kota

36
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perdata Mengenai Perikatan, (Jakarta: FH Utama, 2014), hlm.
76.
37
Ibid., hlm. 77.

36
Semarang, sekarang beralamat dan berdomisili di Jl. Durian Dalam Rt. 02,

Rw. 1, Kelurahan Srondo Wetan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang.

2. Slamet, pekerjaan swasta, beralamat di Jl. Batursari 2 RT. 002 / RW. 005,

Kelurahan Sawah Besar, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, sekarang

beralamat dan berdomisili di Jl. Durian Dalam Rt. 02, Rw. 1, Kelurahan

Srondo Wetan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang.

3. Kurniawan, pekerjaan Pimpinan Wijayaland Indonesia, alamat di Jalan

Perintis Kemerdekaan No. 207 Semarang.

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa Beli Rumah Pada

Perumahan Banana Village Semarang

Hak dan kewajiban identik dengan prestasi. Kreditour berhak atas sesuatu

yang wajib diberikan oleh debitour disebut “prestasi”. Sesuatu itu terdiri atas

memberikan, melakukan atau tidak melakukan. Hal ini diatur dalam Pasal 1234

KUHPerdata adalah tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk

berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal

1234 tersebut di atas, maka prestasi itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.38 Hak dari

kreditur, dalam hal ini adalah Kurniawan, yaitu:

1. Menerima pembayaran uang tanda jadi atau biaya pemesanan;

38
Zakiyah, Hukum Perjanjian Teori dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Lentera Kreasindo,
2017), hlm. 50.

37
2. Menerima pembayaran uang muka sewa beli rumah sebesar Rp 40.000.000

(empat puluh juta rupiah);

3. Menerima pembayaran cakar ayam dan kloset;

4. Menerima pembayaran angsuran hingga jangka waktu 10 (sepuluh) tahun

dengan biaya angsuran sebesar Rp 1.625.000 (satu juta enam ratus dua puluh

lima ribu rupiah);

5. Menerima pembayaran margin setiap bulannya sebesar Rp 700.000 (tujuh ratus

ribu rupiah);

6. Menerima pembayaran fee marketing.

Sedangkan yang menjadi kewajiban kreditur, dalam hal ini adalah

Kurniawan, yaitu:

1. Membangun rumah type 36/LT59

2. Memasang cakar ayam,

3. Memasang kloset tepat segera setelah pembayaran uang muka telah selesai

sejumlah yang disepakati.

4. Memastikan bangunan selesai tepat pada waktu yang dijanjikan. Namun dalam

perjanjian ini tidak disebutkan waktu selesai pembangunan yang disepakati.

Hak dari debitur, dalam hal ini adalah Waljinah dan Slamet, yaitu:

1. Menempati rumah type 36 / LT. 59 yang berlokasi di Perum Banana Hill Blok

B No. 9, Banyumanik, Kota Semarang

38
2. Memiliki rumah dengan Sertifikat Hak Milik, type 36 / LT. 59 yang berlokasi

di Perum Banana Hill Blok B No. 9, Banyumanik, Kota Semarang pada saat

angsuran terakhir telah dibayar lunas.

Kewajiban dari debitur, dalam hal ini adalah Waljinah dan Slamet, yaitu:

1. Melakukan pembayaran uang tanda jadi atau biaya pemesanan;

2. Melakukan pembayaran uang muka sewa beli rumah sebesar Rp 40.000.000

(empat puluh juta rupiah);

3. Melakukan pembayaran cakar ayam dan kloset;

4. Melakukan pembayaran angsuran hingga jangka waktu 10 (sepuluh) tahun

dengan biaya angsuran sebesar Rp 1.625.000 (satu juta enam ratus dua puluh

lima ribu rupiah);

5. Melakukan pembayaran margin setiap bulannya sebesar Rp 700.000 (tujuh

ratus ribu rupiah);

6. Melakukan pembayaran fee marketing.

C. Kasus Posisi Putusan Nomor 575/Pdt.G/2018/PN.SMG

Adapun kasus posisi dari Putusan Nomor 575/Pdt.G/2018/PN.SMG adalah:

1. Para Pihak adalah penggugat yang bernama Waljinah sebagai Penggugat I dan

Penggugat II yang bernama Slamet dan Kurniawan, Pimpinan Wijayaland

Indonesia, sebagai Tergugat.

2. Posita gugatan adalah bahwa Penggugat I dan Penggugat II adalah suami isteri,

dimana Penggugat I dan Penggugat II adalah konsumen dari Tergugat yang

berkehendak untuk membeli rumah type 36 / LT. 59 yang berlokasi di Perum

39
Banana Hill Blok B No. 9, Banyumanik, Kota Semarang. Sistem pembelian

yang diterapkan oleh Tergugat adalah Sewa Beli KPR in House Perumahan

Banana Village, dimana kesepakatan sewa beli dengan dengan harga sewa

sebesar Rp. 700.000,- / bulan (tujuh ratus ribu perbulan) dan harga beli sebesar

Rp. 235.000.000,- (dua ratus tiga puluh lima juta rupiah). Penggugat I dan

Penggugat II telah membayar uang tanda serta membayar cakar ayam dan

closet. Para Penggugat telah melakukan angsuran kepada Tergugat, berupa

marjin sewa perbulan dan Angsuran Pokok perbulan sebanyak 10 (sepuluh)

kali angsuran. Bahwa meskipun Penggugat I dan Penggugat II telah

melaksanakan kewajibannya kepada Tergugat, akan tetapi sampai gugatan ini

didaftarkan di Pengadilan Negeri Semarang, Tergugat tidak juga membangun

rumah yang akan ditempati oleh Penggugat I dan Penggugat II sesuai dengan

perjanjian. Penggugat mendasarkan gugatannya dalam Pasal 8 penghunian dan

pemeliharaan rumah, terdapat klausula pada ayat (1) yaitu, “Pihak Kedua

diijinkan untuk segera menempati apabila rumah sudah siap huni dan wajib

memelihara rumah sepanjang dan selama pihak kedua memenuhi dengan baik

semua kewajiban-kewajiban berdasarkan akad dan didasarkan perjanjian sewa

beli KPR In House perumahan Banana Village tanggal 12 September 2018,

yang mana kesepakatan ini merupakan landasan hukum “hubungan hukum”

(rechtsbetrekking/ rechtsverhoulding), bagi para pihak yang terlibat dalam

kesepakatan berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata. Oleh karena itu, setiap

pihak yang terlibat di dalam kesepakatan itu, menjadikan kesepakatan itu:

40
a. Sebagai undang-undang bagi mereka sesuai dengan asas pacta sunt

servanda yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

b. Oleh karena para pihak yang terlibat atas kesepakatan itu harus

melaksanakannya dengan itikad baik (te goeder trouw, good faith)

berdasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.

Tergugat juga telah menolak pembayaran angsuran Penggugat I dan

Penggugat II di bulan Desember pada tanggal 29 Desember 2018 dikarenakan

adanya sikap arogan dari Penggugat II yang justru dengan angkuh mengatakan

akan memperkarakan Tergugat, dan ternyata Para Penggugat sudah

mendaftarkan Gugatan pada tanggal 20 Desember 2018, sehingga dapat

menurut Penggugat bahwa pembayaran angsuran yang terkesan dipaksakan

pada tanggal 29 Desember 2018 itu (9 hari setelah gugatan didaftarkan) hanya

ingin menghindar dari keadaan wanprestasi. Penolakan pembayaran tersebut

adalah bukti dari Tergugat telah melakukan wanprestasi karena menolak

pembayaran angsuran dari Penggugat I dan Penggugat II. Berdasarkan

Perjanjian Sewa Beli KPR In House Perumahan Banana Village tanggal 12

September 2018, Pasal 5 angsuran ayat (1), yang mengatur bahwa Pihak

Kedua wajib melakukan pembayaran angsuran setiap bulan sebesar

sebagaimana pada Pasal 1 huruf (i) sampai dengan seluruh kekurangan

pembayaran pihak kedua lunas, karena seharusnya berdasarkan perjanjian

tersebut Tergugat harus menerima angsuran ke 10 dari Penggugat I dan

Penggugat II.

41
3. Petitum:

a. Mengabulkan gugatan Penggugat I dan Penggugat II untuk seluruhnya;

b. Menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi terhadap Penggugat I

dan Penggugat II;

c. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan juru sita

Pengadilan Negeri Semarang ;

d. Menyatakan sewa beli antara Penggugat I dan Penggugat II dan Tergugat

dengan obyek sebidang tanah milik Tergugat yang terletak di Perum

Banana Hill Blok B No. 9, Banyumanik adalah sah demi hukum ;

e. Menyatakan kerugian Penggugat I dan Penggugat II akibat dari wanprestasi

yang telah dilakukan oleh Tergugat adalah sebagai berikut:

Pembayaran dari Penggugat I dan Penggugat II yang terjadi pada tahun

2017 berupa uang tanda jadi + uang muka / DP sebesar Rp. 40.000.000,-

(empat puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang diberikan kepada

Tergugat, terperinci adalah sebagai berikut :

Pembayaran uang tanda jadi : Rp. 5.000.000,-

Pembayaran DP I: Rp. 15.000.000,-

Pembayaran DP II: Rp. 10.000.000,-

Pembayaran DP III: Rp. 10.000.000,-

Penambahan Pembayaran DP IV / cakar ayam dan closet sebesar : Rp.

7.500.000,- ;

Seluruhnya sebesar Rp. 47.500.000,-

42
Penggugat I dan Penggugat II telah kehilangan kesempatan untuk

mendapatkan keuntungan (Lost Oppurtinity Income) selama setahun,

berupa keuntungan yang sepatutnya diraih oleh Penggugat I dan

Penggugat II apabila uang Penggugat I dan Penggugat II tidak digunakan

sebagai pembayaran kepada Tergugat, dengan asumsi apabila tagihan

pokok tersebut disimpan dalam bentuk deposito dengan bunga sebesar 3

% (tiga persen) perbulan dari jumlah pembayaran yang telah dilakukan

oleh Para Penggugat kepada Tergugat yaitu jumlah dari :

Pembayaran uang tanda jadi : Rp. 5.000.000,-

Pembayaran DP I: Rp. 15.000.000,-

Pembayaran DP II: Rp. 10.000.000,-

Pembayaran DP III: Rp. 10.000.000,-

Penambahan Pembayaran DP IV / cakar ayam dan closet sebesar : Rp.

7.500.000,-

Seluruhnya sebesar Rp. 47.500.000,- terhitung sejak bulan Desember

2017 s/d Desember 2018 (12 bulan) : Rp. 47.000.000,- x 3 % = Rp.

1.410.000,-x 12 bulan = Rp. 16.920.000,- (enam belas juta Sembilan ratus

dua puluh ribu rupiah);

Tergugat harus membayar bunga bank (moratoire interessen) kepada

Penggugat I dan Penggugat II sebesar 6 % (enam persen ) per tahun dan

setiap bulannya menjadi 0,005 dari total sebesar 47.000.000,- sehingga

untuk bulan Desember 2017 s/d Desember 2018 (12 bulan), dengan

43
perhitungan 0,005 x 12 = 0,06 x 47.000.000,- = Rp. 2.820.000,- (dua juta

delapan ratus dua puluh ribu rupiah) ;

Pelunasan cakar ayam dan closet perum Banana Hill Blok B No.9,

Banyumanik, Kota Semarang sebesar Rp. 3.500.000,- (tiga juta lima ratus

ribu rupiah) ;

Pembayaran angsuran kepada Tergugat, berupa marjin sewa per bulan dan

angsuran pokok per bulan sebesar Rp. 23.000.000,- (dua puluh tiga juta

rupiah) terperinci adalah sebagai berikut :

Angsuran ke 1: Rp. 2.500.000,-

Angsuran ke 2: Rp. 3.000.000,-

Angsuran ke 3: Rp. 2.500.000,-

Angsuran ke 4: Rp. 2.500.000,-

Angsuran ke 5: Rp. 2.500.000,-

Angsuran ke 6: Rp. 2.500.000,-

Angsuran ke 7 dan 8: Rp. 5.000.000,-

Angsuran ke 9: Rp. 2.500.000,-

Penggugat I dan Penggugat II telah kehilangan kesempatan untuk

mendapatkan keuntungan (Lost Oppurtinity Income) selama sebulan,

berupa keuntungan yang sepatutnya diraih oleh Penggugat I dan

Penggugat II apabila uang Penggugat I dan Penggugat II tidak digunakan

sebagai pembayaran kepada Tergugat, dengan asumsi apabila tagihan

pokok tersebut disimpan dalam bentuk deposito dengan bunga sebesar 3

44
% (tiga persen) perbulan dari jumlah pembayaran yang telah dibayarkan

oleh Penggugat I dan Penggugat II kepada Tergugat yaitu jumlah dari :

pelunasan cakar ayam dan closet perum Banana Hill Blok B No. 9,

Banyumanik, Kota Semarang sebesar Rp. 3.500.000,- (tiga juta lima ratus

ribu rupiah) ; Pembayaran angsuran kepada Tergugat, berupa marjin sewa

per bulan dan angsuran Pokok per bulan dari bulan februari 2018 s/d

November 2018 sebesar Rp. 23.000.000,- (dua puluh tiga juta rupiah)

Seluruhnya sebesar Rp. 26.500.000,- terhitung sejak bulan November

2018 s/d Desember 2018 (1 bulan) : Rp. 26.500.000,- x 3 % = Rp.

795.000,-x 1 bulan = Rp. 795.000,- (tujuh ratus sembilan puluh lima ribu

rupiah) ;

Penggugat I dan Penggugat II terpaksa kontrak rumah karena tidak

dibangunnya rumah yang akan disewa dan dibeli oleh Penggugat I dan

Penggugat II, dan telah dibayar pertahun sebesar Rp. 12.500.000,- (dua

belas juta lima ratus ribu rupiah) ;

Biaya hukum untuk advokat dan biaya pembayaran gugatan sebesar Rp.

50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) ;

Kerugian immaterial : Penggugat I dan Penggugat II merasa malu, resah

dan telah kehilangan harga dirinya dan tidak jadi memperoleh rumah yang

telah disewabelinya, sehingga menyebabkan kerugian im materiil yang

apabila dinilai dengan uang adalah sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu

milyar rupiah). Sehingga total kerugian Penggugat I dan Penggugat II

45
seluruhnya berjumlah: Rp. 47.500.000,- + Rp. Rp. 16.920.000,- + Rp.

2.820.000,- + Rp. 3.500.000,- + Rp. 23.000.000,- + Rp. 12.500.000,-

+ Rp. 50.000.000,- + Rp. 1.000.000.000,- = Rp. 1.156.240.000,- (satu

milyar seratus lima puluh enam juta dua ratus empat puluh ribu rupiah);

f. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Para Penggugat secara

tunai dan seketika;

g. Menghukum Tergugat untuk melaksanakan Perjanjian Sewa Beli KPR In

House Perumahan Banana Village tanggal 12 September 2018, dengan

membangun sebuah rumah type 36/54 di atas sebidang tanah yang terletak

di Perum Banana Hill Blok B No. 9, Banyumanik, Kota Semarang, untuk

disewa dan dibeli oleh Para Penggugat dengan meneruskan pembayaran

angsuran;

h. Memerintahkan kepada jurusita Pengadilan Negeri Semarang untuk

meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap obyek sengketa

dan asset-asset milik Tergugat oleh jurusita Pengadilan Negeri Semarang,

berupa sebidang tanah yang terletak di Perum Banana Hill Blok B No. 9,

Banyumanik, Kota Semarang ;

1) Sebelah Utara: kebun/tanah kosong

2) Sebelah Selatan: Jalan Perumahan Banana Hill

3) Sebelah Timur: Perum Banana Hill Blok B No. 10, Banyumanik, Kota

Semarang

46
4) Sebelah Barat: Perum Banana Hill Blok B No. 8, Banyumanik, Kota

Semarang

5) Asset milik Tergugat berupa sebidang tanah dan bangunan di atasnya

yang terletak di Gang arwana Jl. Tirto Agung Barat V No. 7, Kota

Semarang;

g. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar

Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan apabila

Tergugat sengaja tidak melaksanakan pu tusan ini terhitung sejak putusan

ini berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) ;

h. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu

meskipun ada upaya hukum banding, verzet dan kasasi (Uitvoorbaar Bij

Vooraad) ;

i. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam

perkara ini;

Atau dalam peradilan yang baik mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex

Aequo Et Bono);

4. Putusan:

a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

b. Menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi terhadap Penggugat I

dan Penggugat II;

47
c. Menyatakan sewa beli antara Penggugat I dan Penggugat II dan Tergugat

dengan obyek sebidang tanah milik Tergugat yang terletak di Perum

Banana Hill Blok B No.9 Banyumanik adalah sah demi hukum;

d. Menghukum Tergugat untuk melaksanakan Perjanjian Sewa Beli KPR

Inhouse Perumahan Banana Village tanggal 12 September 2018, dengan

melanjutkan dan menyelesaikan pembangunan sebuah rumah type 36/54 di

atas sebidang tanah yang terletak di Perum Banana Hill Blok B No. 9,

Banyumanik, Kota Semarang, untuk disewa dan dibeli oleh Para Penggugat

dengan meneruskan pembayaran angsuran ;

e. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar

Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan

apabila Tergugat sengaja tidak melaksanakan putusan ini terhitung sejak

putusan ini berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) ;

f. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul akibat perkara

ini sebesar Rp.941.000,- (sembilan ratus empat puluh satu ribu rupiah) ;

g. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selebihnya;

48
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Rumah Antara PT Wijayaland

dengan Waljinah dan Slamet Pada Perumahan Banana Village Semarang

Analisis pelaksanaan perjanjian sewa beli rumah antara PT Wijayaland

dengan Waljinah dan Slamet pada perumahan Banana Village Semarang adalah

meninjau apakah perjanjian yang dibuat oleh pihak PT Wijayaland dengan

Waljinah dan Slamet dalam hal pelaksanaannya apakah sudah sesuai dengan

hukum perdata yang berlaku, apakah kedua belah pihak telah melaksanakan

sebagaimana perjanjian yang mereka sepakati dan apakah ada wanprestasi yang

ditimbulkan dari kedua belah pihak.

Pada tanggal 29 Januari 2018 telah ditandatangani perjanjian sewa beli KPR

In House Perumahan Banana Village oleh salah satu pimpinan PT Wijayaland

dengan Waljinah dan Slamet. Kemudian pihak Waljinah dan Slamet meminta

dibuatkan perjanjian baru pada 12 September 2018 dikarenakan adanya

kesepakatan pindah kapling dari kapling Blok B Nomor 13 sebagaimana tertuang

dalam perjanjian sewa beli KPR In House Perumahan Banana Village tanggal 29

Januari 2018, pindah ke kapling Blok B Nomor 9. Surat Perjanjian Sewa Beli KPR

In House Perumahan Banana Village tanggal 12 September 2018 telah didaftarkan

pada Notaris Bayu Yhuwana,S.H.,M.Kn. Dengan adanya surat perjanjian sewa beli

ini, terbukti bahwa telah terjadi kesepakatan sewa beli antara Para Penggugat

49
dengan Tergugat. Sebelum meninjau pelaksanaan, maka perlu dianalisis apakah

perjanjian telah memenuhi syarat-syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320

KUHPerdata, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan

dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:39

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Dalam hal ini PT Wijayaland dengan Waljinah dan Slamet telah sepakat tanpa

ada penipuan, kekhilafan, paksaan dan penyalahgunaan keadaan, sehingga

unsur sepakat ini para pihak telah memenuhinya.

2. Cakap untuk membuat perikatan.

Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini

adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak di bawah pengawasan karena

perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang

dilarang membuat suatu perjanjian. Dalam hal ini mengapa yang digugat

adalah Kurniawan sebagai pimpinan PT Wijayaland? Hal tersebut dikarenakan

bahwa status Wijayaland Indonesia baru berubah menjadi badan hukum dan

bernama PT. Wijayaland Sukses Makmur pada tanggal 18 Desember 2018

pada saat didaftarkan di kantor Notaris Mohammad Turman, S.H. dengan

Nomor 24 tanggal 18 Desember 2018 sedangkan Surat Perjanjian Sewa Beli

KPR In house Perumahan Banana Village ditandatangani tanggal 12

September 2018 terjadi sebelum PT. Wijayaland Sukses Makmur berstatus

39
Arrisman, Hukum Perikatan Perdata dan Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Tampuniak Mustika Edukarya, 2020), hlm. 134-135.

50
badan hukum, maka yang berlaku sebagai subjek dalam perjanjian tersebut

adalah atas nama perorangan yaitu Kurniawan. Dalam hal ini Kurniawan,

Waljinah dan Slamet adalah orang dewasa yang berusia di atas 21 tahun dan

tidak di bawah pengampuan. Syarat kecakapan ini telah dipenuhi oleh para

pihak.

3. Suatu hal tertentu.

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka

perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUHPerdata menentukan hanya

barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek

perjanjian. Yang menjadi obyek perjanjian adalah sepakat untuk mengadakan

perjanjian sewa beli sebuah rumah type 36/54 di atas sebidang tanah yang

terletak di Perumahan Banana Hill Blok B No. 9, Banyumanik, Kota

Semarang. Syarat suatu hal tertentu ini telah dipenuhi oleh para pihak.

4. Suatu sebab atau causa yang halal.

Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.

Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan

lain oleh undang-undang. Sewa beli rumah merupakan causa yang halal sebab

tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan

ketertiban umum. Hal ini diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata.

Surat perjanjian sewa beli KPR In House Perumahan Banana Village telah

memenuhi syarat-syarat sah perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata,

dan tidak terbukti adanya penyesatan maupun penipuan maka perjanjian tersebut

51
sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan di dalam perjanjian

tersebut hanya dijelaskan bahwa apabila uang muka telah dilunasi dan Para

Penggugat lancar melakukan pembayaran angsuran maka rumah akan segera

dibangun. Berdasarkan fakta di atas terkait dengan perjanjian yang telah dilakukan

oleh Para Penggugat dengan Tergugat untuk melakukan sewa beli KPR In House

Perumahan Banana Village dinyatakan sah, maka dalam perjanjian tersebut sudah

dengan secara mutatis dan mutandis dinyatakan adanya memuat hak dan kewajiban

para pihak dalam perjanjian tersebut. Ketentuan-ketentuan pokok akad sewa beli

adalah sebagai berikut:

1. Harga jual beli rumah sejumlah Rp. 235.000.000 (dua ratus tiga puluh lima

juta rupiah);

2. Uang tanda jadi sejumlah Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah);

3. Uang muka sejumlah Rp. 40.000.000 (empat puluh juta rupiah);

4. Jangka waktu pembayaran selama 120 (seratus dua puluh) bulan atau 10

(sepuluh) tahun;

5. Tanggal jatuh tempo yaitu setiap tanggal 29 tiap bulan sampai jangka waktu

pembayaran berakhir;

6. Angsuran pokok per bulan sejumah Rp. 1.625.000 (satu juta enam ratus dua

puluh lima ribu rupiah) per bulan;

7. Marjin sewa sejumlah Rp. 700.000 (tujuh ratus ribu rupiah);

8. Total angsuran per bulan meliputi angsuran pokok dan marjin sewa sejumlah

Rp. 2.325.000 (dua juta tiga ratus dua puluh lima ribu rupiah);

52
9. Fee marketing sejumlah Rp. 705.000 (tujuh ratus lima ribu rupiah);

Dalam hal pelaksanaan perjanjian, kewajiban yang sudah dilaksanakan oleh pihak

Slamet dengan Waljinah sebagai Penggugat adalah:

1. Melakukan pembayaran uang tanda jadi atau biaya pemesanan sebesar Rp

5.000.000 (lima juta rupiah) pada 18 Mei 2017;

2. Melakukan pembayaran uang muka sewa beli rumah sebesar Rp 35.000.000

(tiga puluh lima juta rupiah) dengan perincian pembayaran uang muka

pertama Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah) pada tanggal 28 Mei 2017,

pembayaran uang muka kedua Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) pada

tanggal 8 Agustus 2017, pembayaran uang muka ketiga Rp 10.000.000

(sepuluh juta rupiah) pada tanggal 19 September 2017 dibuktikan dengan

kwitansi pembayaran;

3. Melakukan pembayaran cakar ayam dan kloset sebesar Rp 11.000.000

(sebelas juta rupiah) yang dibayarkan 2 (dua) waktu yaitu sebesar Rp

7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) pada 27 Desember 2017 dan

sebesar Rp 3.500.000 (tiga juta lima ratus ribu rupiah) pada 13 Februari 2018;

4. Melakukan pembayaran angsuran dengan biaya angsuran sebesar Rp

1.625.000 (satu juta enam ratus dua puluh lima ribu rupiah) dan pembayaran

margin sewa setiap bulannya sebesar Rp 700.000 (tujuh ratus ribu rupiah) dari

bulan Februari 2018 hingga dengan November 2018 dibuktikan dengan

berupa buku angsuran rumah pada Perumahan Banana Village atas nama

Penggugat, membuktikan bahwa Penggugat telah melakukan pembayaran

53
angsuran sebanyak 9 (sembilan) kali dan Tergugat telah menerima uang

angsuran tersebut dengan total sejumlah Rp 23.000.000,00 (dua puluh tiga juta

rupiah);

5. Melakukan pembayaran fee marketing sebesar Rp 705.000 (tujuh ratus lima

ribu rupiah).

Kewajiban dan hak Kurniawan selaku pemimpin PT Wijayaland sebagai

Tergugat selaku pihak pertama dalam perjanjian ini adalah membangun unit

rumah yang telah diperjanjikan setelah pihak pertama menerima haknya berupa

pembayaran uang muka dan cakar ayam/closet sejumlah Rp 47.500.000 (empat

puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan pembayaran angsuran ke-1 s/d ke-9

sejumlah Rp 23.000.000 (dua puluh tiga juta rupiah) dari pihak kedua dalam hal

ini Waljinah dan Slamet sebagai Para Penggugat walaupun tidak diperjanjikan

secara tertulis atau tegas di dalam perjanjian mengenai batas waktu pembangunan

unit rumah tersebut. Sedangkan kewajiban Waljinah dan Slamet sebagai Para

Penggugat selaku pihak kedua sesuai dengan klausul Pasal 5 point 1 adalah

melakukan pembayaran sejumlah uang tersebut di atas sampai dengan seluruh

kekurangan pembayaran Para Penggugat telah lunas kemudian Para Penggugat

mendapatkan haknya berupa pembangunan unit rumah yang nantinya akan dapat

dihuni sebagaimana yang diperjanjikan. Berdasarkan fakta, pihak Waljinah dan

Slamet telah melakukan kewajibannya dengan membayar seluruh persyaratan

pembayaran, maka sudah seharusnya secara mutatis mutandis apabila Kurniawan

telah menerima haknya berupa sejumlah pembayaran dari Waljinah dan Slamet,

54
maka pihak Kurniawan juga memiliki kewajiban dengan sudah harus mulai

melakukan pembangunan terhadap unit rumah sesuai dengan perjanjian sewa beli

KPR In House Perumahan Banana Village namun pada kenyataanya hingga

gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Semarang, pihak Kurniawan belum

membangun unit rumah yang diperjanjikan.

B. Analisis Putusan Majelis Hakim Dalam Penerapan Itikad Baik Pada Putusan

Nomor 575/Pdt.G/2018/PN.SMG.

Itikad baik di dalam ilmu pengetahuan hukum perdata mengacu kepada tiga

bentuk perilaku para pihak dalam kontrak. Pertama, para pihak harus memegang

teguh janji atau perkataannya. Kedua, para pihak tidak boleh mengambil

keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga,

para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan

jujur walaupun kewajiban itu tidak secara tegas diperjanjikan.40 Majelis hakim

dalam pertimbangannya menjatuhkan putusan wanprestasi kepada Kurniawan

sebagai Tergugat dengan dasar bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di

persidangan, Tergugat yang tidak melakukan kewajibannya yaitu membangun

rumah dari Para Penggugat padahal Tergugat telah menerima sebagian haknya

yaitu pembayaran uang muka dan cakar ayam/closet sejumlah Rp 47.500.000

(empat puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan pembayaran angsuran ke-1 s/d

ke-9 sejumlah Rp 23.000.000 (dua puluh tiga juta rupiah) dari Para Penggugat,

40
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat,
Teori, Dokmatik dan Praktek Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 130.

55
menunjukan tidak adanya itikad baik dari Tergugat untuk menjalankan

prestasinya. Majelis sependapat dengan Subekti yang menjelaskan bahwa itikad

baik menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan satu dari beberapa sendi

yang terpenting dari hukum kontrak, yang memberikan kekuasaan kepada Hakim

untuk mengawasi pelaksanaan suatu kontrak, agar tidak melanggar kepatutan dan

keadilan. Ini berarti bahwa Hakim berwenang untuk menyimpang dari kontrak jika

pelaksanaan kontrak yang melanggar perasaan keadilan (recht gevoel) satu di

antara dua pihak.

Dalam perjanjian sewa beli rumah KPR In House Perumahan Banana

Village, Kurniawan sebagai Tergugat hanya menyebutkan kata “segera” dibangun

apabila telah lunas pembayaran uang muka. Meskipun dalam perjanjian tidak

tertulis dengan konkrit waktu pelaksanaan pembangunan, penulis sependapat

dengan majelis hakim bahwa Kurniawan sebagai Tergugat telah menunjukkan

ketiadaan itikad baik dalam menjalankan perjanjian. Asas itikad baik dalam bahasa

hukumnya disebut de goedetrow. Asas ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu

perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini, terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3)

KUHPerdata yang menentukan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan

dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku

bagi debitur maupun bagi kreditur. Itikad baik berarti bahwa kedua belah pihak

dalam perjanjian harus berlaku yang satu terhadap yang lain seperti patut saja

antara orang-orang sopan, tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan,

tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi

56
juga dengan melihat kepentingan pihak lain. Hogeraad dalam putusannya tanggal

9 Februari 1923 merumuskan perjanjian harus dilaksanakan dengan redelijkheid

en billijkheid yang diterjemahkan menjadi kewajaran dan keadilan. Redelijkheid

diartikan dengan dapat dimengerti dengan intelek, dengan akal sehat, dengan budi

(reasonable), sedangkan billijkheid berarti dapat dirasakan dengan sopan, sebagai

patut dan adil. Jadi redelijkheid en billijkheid meliputi semua yang dapat ditangkap

baik dengan intelek maupun dengan perasaan. Pengertian itikad baik mengandung

dua dimensi, yaitu itikad baik dalam dimensi subyektif yang mengarah kepada

kejujuran, sedangkan itikad baik dalam dimensi obyektif diartikan sebagai

kerasionalan, kepatutan dan keadilan. itikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat

(3) KUHPerdata didasarkan kepada kerasionalan, kepatutan dan keadilan.

Bekerjanya asas itikad baik ini tidak saja setelah perjanjian dibuat (pelaksanaan

perjanjian), tetapi juga bekerja sewaktu para pihak akan memasuki perjanjian.

Dalam hal ini terjadi posisi yang tidak seimbang dalam pembuatan perjanjian,

ibarat Kurniawan sebagai pihak pelaku usaha, Waljinah dengan Slamet sebagai

konsumen terakhir, seharusnya apabila ada itikad baik dari pihak Kurniawan pada

saat perjanjian tidak akan memberikan klausul perjanjian yang multitafsir dan

mengandung ketidakpastian bagi konsumen yaitu dengan kata “segera” mengingat

sebagaimana pejelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen bahwa kedudukan pelaku usaha dan konsumen sering

tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi

objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku

57
usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar

yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen

adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama

disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.

Menurut Subekti ketentuan tentang itikad baik mengandung makna bahwa

hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian agar

jangan sampai melanggar kepatutan dan keadilan, maka hakim dapat mencegah

pelaksanaan perjanjian yang terlalu menyinggung rasa keadilan masyarakat,

dengan cara mengurangi atau menambah kewajiban-kewajiban dalam perjanjian.41

Bilamana dua pihak sedang berunding untuk membuat perjanjian, maka timbul

antara mereka, menurut Hoge Raad, suatu hubungan-hukum khusus, yang disebut

prakontraktuil dan yang dikuasai oleh itikad baik. Ajaran ini dikemukakan dalam

Putusan HR 15 Nopember 1957 NJ 1958 No.67 dan kemudian dijelaskan dalam

beberapa putusan lain. Dari putusan-putusan itu ternyata bahwa menurut Hoge

Raad para pihak yang berunding masing-masing mempunyai kewajiban-kewajiban

yang berdasar atas itikad baik, yaitu kewajiban untuk memeriksa (onderzoekplicht)

dan kewajiban untuk memberitahukan (mededelingsplicht). Misalnya bila ada

perundingan-perundingan tentang jual beli rumah, maka orang yang mau membeli

berkewajiban memeriksa apakah ada rencana-rencana resmi mengenai rumah itu,

umpamanya rencana untuk mencabut hak milik. Sanksi atas kewajiban itu ialah

41
Erna Amalia, Hukum Perikatan, (Jakarta: FH UTJ, 2019), hlm. 142-147.

58
bahwa, kalau dia tidak memeriksa hal itu dan kemudian hak milik memang dicabut,

dia tidak boleh menuntut pembatalan karena kesesatan. Pada lain pihak si penjual

berkewajiban untuk memberitahukan semua yang dia ketahui dan yang bisa

penting bagi pembeli, dan kalau dia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada

rencana-rencana resmi, si pembeli boleh mempercayai pernyataan itu dan tidak

usah memeriksa lagi. Hakim harus mempertimbangkan kewajiban-kewajiban itu

satu sama lain dengan ukuran itikad baik. Akibat lain daripada adanya hubungan-

hukum prekontraktuil ialah bahwa kadang-kadang perundingan-perundingan tidak

boleh dibatalkan (diputuskan) begitu saja.42

Pertimbangan Majelis Hakim tersebut merupakan contoh dari implementasi

dari hukum progresif, bahwa hakim tidak condong kepada undang-undang saja,

dalam hal ini perjanjian merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang

menyepakatinya sebagaimana asas pacta sunt servada. Teori hukum progesif

adalah gagasan dari Satjipto Rahardjo. Menurut Rahardjo, pemikiran hukum perlu

kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi

tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum

bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan

merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum, ditentukan

oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini

menyebabkan hukum progresif menganut ideologi hukum yang pro keadilan dan

42
Ibid.

59
hukum pro rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat

tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Dalam logika itulah revitalisasi

hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi

berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi

hukum dalam ruang dan waktu yang cepat. Para pelaku hukum progresif dapat

melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap

peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan. Peraturan yang

buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk

menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat

melakukan interpretasi secara baru setiapkali terhadap suatu peraturan. Bagi

konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri,

melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu hukum

progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek

yang cenderung menepis dunia di luar dirinya, seperti manusia, masyarakat,

kesejahteraannya.43 Perjanjian sewa beli rumah PT Wijayaland dengan Waljinah

dan Slamet tidak tercantum kapan tepatnya waktu untuk melaksanakan

pembangunan, sehingga tidak ada patokan kapan akan terjadinya wanprestasi oleh

pihak properti. Pihak PT Wijayaland dalam dalilnya menggunakan klausul

“segera” dalam perjanjiannya sehingga tidak ada patokan tanggal untuk

membangun. Kemudian Majelis hakim memutus bahwa PT Wijayaland telah

43
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm. 190-192.

60
wanprestasi meskipun hal tersebut menyimpang dari kontrak yang dibuat dan tidak

dinyatakan secara tegas dalam kontrak. Majelis Hakim memutus menggunakan

pertimbangan asas itikad baik, sehingga teori hukum progresif sebagai dasar

bahwa hakim dalam memutus perkara tidak hanya sebagai corong undang-undang

saja (dalam hal ini perjanjian yang dibuat yang berlaku sebagai undang-undang

bagi pihak pembuatnya), tetapi dapat mempertimbangkan itikad baik yang dapat

dilihat dari kewajiban-kewajiban apa saja yang sudah dilakukan oleh pihak

Waljinah dan Slamet dan kegagalan apa yang tidak dipenuhi oleh pihak Kurniawan

dengan melihat kondisi kemampuannya, yaitu dalam hal ini pihak Kurniawan tidak

segera membangun rumah sedangkan pihak Kurniawan tidak memiliki keadaan

diluar pribadi atau kejadian yang diluar kuasanya yang menyebabkan

ketidakmampuan untuk melaksanakan kewajibannya, seperti bencana alam atau

keadaan lain yang termasuk sebagai kategori overmacht atau force majeur

sehingga dalam hal ini apabila Kurniawan berada dalam keadaan mampu untuk

melaksanakan perjanjian dan tidak dalam keadaan force majeur dan setelah

Waljinah dan Slamet telah melaksanakan semua kewajibannya tetapi Kurniawan

tidak melaksanakan kewajibannya maka menjadi pertimbangan untuk menilai

ketiadaan itikad baik dari Kurniawan dalam melaksanakan perjanjian. serta

pembuatan klausul perjanjian yang dapat mencerminkan keseimbangan kedudukan

antara debitur dan kreditur sehingga dapat dinilai mengenai itikad baiknya.

Selain itu, berdasarkan perjanjian yang ditulis dengan kata “segera”, yang

artinya tidak ada hari, tanggal, dan waktu mengenai pelaksanaan pembangunan,

61
maka hal tersebut memang tidak dapat dikatakan wanprestasi tetapi klausul

tersebut tidak mencapai rasa keadilan di kedua belah pihak mengingat tidak ada

kepastian hukum untuk Waljinah dan Slamet mendapatkan haknya dan

mencerminkan ketidakseimbangan kedudukan para pihak. Sehingga lewat teori

hukum progresif, ketika dalam kenyataan terdapat peraturan yang bertentangan, isi

peraturan tidak jelas atau kabur, atau berbagai permasalahan mengenai aturan yang

menimbulkan ketidakpastian hukum maka hal tersebut bukan menjadi halangan

bagi penegak hukum dalam hal ini Majelis Hakim yang memutus perkara, untuk

memberikan keadilan.44

44
Ibid., hlm. 184.

62
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya,

maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan perjanjian sewa beli rumah antara PT Wijayaland dengan

Waljinah dan Slamet pada perumahan Banana Village Semarang, berdasarkan

analisis penulis hasilnya adalah bahwa pihak Waljinah dan Slamet telah

melakukan kewajibannya dengan membayar seluruh persyaratan pembayaran,

maka sudah seharusnya secara mutatis mutandis apabila Kurniawan telah

menerima haknya berupa sejumlah pembayaran dari Waljinah dan Slamet,

maka pihak Kurniawan juga memiliki kewajiban dengan sudah harus mulai

melakukan pembangunan terhadap unit rumah sesuai dengan perjanjian sewa

beli KPR In House Perumahan Banana Village namun pada kenyataanya

hingga gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Semarang, pihak Kurniawan

belum membangun unit rumah yang diperjanjikan. Berdasarkan asas itikad

baik, bahwa pihak PT Wijayaland tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana

diperjanjikan atau disebut telah melakukan wanprestasi.

2. Putusan Majelis Hakim dalam penerapan itikad baik pada Putusan Nomor

575/Pdt.G/2018/PN.SMG, bahwa Majelis Hakim telah menjadikan

pertimbangan asas itikad baik dalam menjatuhkan putusan meskipun terdapat

63
klausul yang tidak mencantumkan kapan dinyatakan wanprestasi oleh pihak

PT Wijayaland. Majelis hakim dalam pertimbangannya menjatuhkan putusan

wanprestasi kepada Kurniawan sebagai Tergugat dengan dasar bahwa

berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, Tergugat yang tidak

melakukan kewajibannya yaitu membangun rumah dari Para Penggugat

padahal Tergugat telah menerima sebagian haknya yaitu pembayaran uang

muka dan cakar ayam/closet sejumlah Rp 47.500.000 (empat puluh tujuh juta

lima ratus ribu rupiah) dan pembayaran angsuran ke-1 s/d ke-9 sejumlah Rp

23.000.000 (dua puluh tiga juta rupiah) dari Para Penggugat, menunjukan tidak

adanya itikad baik dari Tergugat untuk menjalankan prestasinya. Majelis

sependapat dengan Subekti yang menjelaskan bahwa itikad baik menurut Pasal

1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan satu dari beberapa sendi yang terpenting

dari hukum kontrak, yang memberikan kekuasaan kepada Hakim untuk

mengawasi pelaksanaan suatu kontrak, agar tidak melanggar kepatutan dan

keadilan. Ini berarti bahwa Hakim berwenang untuk menyimpang dari kontrak

jika pelaksanaan kontrak yang melanggar perasaan keadilan (recht gevoel) satu

di antara dua pihak. lewat teori hukum progresif, ketika dalam kenyataan

terdapat peraturan yang bertentangan, isi peraturan tidak jelas atau kabur, atau

berbagai permasalahan mengenai aturan yang menimbulkan ketidakpastian

hukum maka hal tersebut bukan menjadi halangan bagi penegak hukum dalam

hal ini Majelis Hakim yang memutus perkara, untuk memberikan keadilan.

B. Saran

64
Berdasarkan penelitian, berikut adalah saran yang diberikan penulis:

1. Disarankan kepada para pihak dalam membuat perjanjian untuk tidak membuat

klausul yang multi tafsir atau kabur normanya sehingga tidak menimbulkan

permasalahan hukum di kemudian hari.

2. Disarankan kepada Pemerintah melalui program mahasiswa untuk

memberikan penyuluhan hukum mengenai pentingnya asas itikad baik dalam

pembuatan perjanjian

65
DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Staatblad. No. 1847-23.

________. Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.

B. Buku

Al Marsudi, Subandi. Pengantar Ilmu Hukum. Bogor: Universitas Pakuan,


2003.

Amalia, Erna. Hukum Perikatan. Jakarta: FH UTJ, 2019.

Amalia, Nanda. Hukum Perikatan. Lhokseumawe: Unimal Press, 2013.

Arrisman. Hukum Perikatan Perdata dan Hukum Perikatan Islam Di


Indonesia. Jakarta: Tampuniak Mustika Edukarya, 2020.

Badan Diklat Kejaksaan RI. Hukum Perdata Materiil. Jakarta: KAJARI, 2019.

Wiryawan, I Wayan. Hukum Perikatan. Denpasar: FH Udayana, 2016.

Nasution, B. Johan. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju,


2008.

Setiawan, I Ketut Oka. Hukum Perdata Mengenai Perikatan. Jakarta: FH


Utama, 2014.

Sitompul, Roswita. Hukum Perdata Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa, 2006.

Syarifah, Nur dan Reghi Perdana. Hukum Perjanjian. Jakarta: UT, 2015.

Yulia. Hukum Perdata. Lhokseumawe: Biena Edukasi, 2015.

Zakiyah. Hukum Perjanjian Teori dan Perkembangannya. Yogyakarta: Lentera


Kreasindo, 2015.

C. Lain-lain

66
Hukum Online. “Perbedaan Leasing dan Sewa Beli”. Tersedia di
https://www.hukum online.com/. Diakses 22 April 2021.

BIODATA PENULIS

Yang bertanda tangan dibawah ini:


1. Identitas diri
Nama : Ayuningtia Mayangsari
NPM : 010117264
Tempat, Tanggal Lahir : Baturaja, 31 Mei 1999
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Kawin
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Asrama Pusdik Intel TNI AD RT 001/ RW 004
Kelurahan/Desa Kotabatu, Kecamatan
Ciomas Ciapus Jawa Barat, Kode Pos 16610
Nomor Hp : 088213954311
Nama Ayah : Purwanto
Pekerjaan : TNI AD
Nama Ibu : Biana Marliantini
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

III. Riwayat Pendidikan


1. Sekolah Dasar : SD Negeri Sirnagalih 04,Lulus Tahun 2011
2. SMP : SMP Negeri 1 Tamansari,Lulus Tahun 2014
3. SMA : SMA Negeri 1 Tamansari,Lulus Tahun 2017

67
4. Perguruan Tinggi : Universitas Pakuan, Tahun 2017-Sekarang.

LAMPIRAN

68

Anda mungkin juga menyukai