FAKULTAS HUKUM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Menempuh Ujian dan Memenuhi
Oleh :
DWI FITRIANI
B1A016172
BENGKULU
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh :
DWI FITRIANI
B1A016172
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Herawan Sauni, S.H., M.S. Dr. Emelia Kontesa, S.H., M. Hum.
NIP. 196412111988031001 NIP. 196407011989102002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu
ii
Skripsi Ini Dipertahankan Dalam Rangka
Ujian Sarjana Hukum Di Depan Komisi
Penguji Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
Dilaksanakan Pada :
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Nilai :
Tim Penguji
Prof. Dr. Herawan Sauni, S.H., M.S. Dr. Emelia Kontesa, S.H., M. Hum.
NIP. 196412111988031001 NIP. 196407011989102002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu
iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN
SKRIPSI
1. Karya tulis adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik di Universitas
Bengkulu maupun di perguruan tinggi lainnya;
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan hasil penelitian saya sendiri,
yang disusun tanpa bantuan pihak lain kecuali arahan dari tim
pembimbing;
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka;
4. Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan apabila dikemudian hari
dapat dibuktikan adanya kekeliruan dan ketidakbenaran dalam pernyataan
ini, maka saya bersedia untuk menerima sanksi akademik berupa
pencabutan gelar akademik yang diperoleh dari karya tulis ini, serta sanksi
lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Bengkulu.
Bengkulu,.........................
Yang Membuat Pernyataan,
DWI FITRIANI
NPM. B1A016172
iv
KATA PENGANTAR
1. Kedua orang tua yang penulis cintai dan hormati Bapak Antoni Zukian dan
Ibu Lismiatin yang tidak pernah putus do’a, dukungan dan harapan demi
v
kesuksesan Putri satu-satunya serta memberikan seluruh cinta dan kasih
2. Yang terhormat Bapak Dr. Amancik, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
3. Yang terhormat Prof. Dr. Herawan Sauni, S.H., M.S. selaku Pembimbing I
dan Bapak Dr. Edra Satmaidi, S.H., M.H. selaku Penguji II penulisan skripsi
vi
7. Seluruh staf jurusan dan staf akademik Fakultas Hukum Universitas
Gilang Wahyu Listanto serta keluarga besar yang telah banyak memberikan
Dina, Umi Iin, Cikren yang selalu menemani dan memberikan bantuan,
skripsi ini.
10. Seluruh teman-teman angkatan 2016 baik Jurusan Perdata dan Ekonomi,
12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
vii
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekeliruan dalam
Dwi Fitriani
NPM. B1A016172
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................................... ix
ABSTRAK........................................................................................................ xiv
ABSTRACT....................................................................................................... xv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah................................................................ 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................... 11
D. Kerangka Pemikiran............................................................... 12
E. Keaslian Penelitian................................................................. 22
F. Metode Penelitian................................................................... 26
1. Jenis Penelitian................................................................... 26
2. Pendekatan Penelitian........................................................ 27
3. Populasi dan Responden.................................................... 27
4. Data dan Sumber Data....................................................... 29
5. Metode Pengumpulan Data................................................ 29
6. Pengolahan Data................................................................ 30
7. Analisis Data...................................................................... 31
ix
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
x
B. Pelaksanaan Sando Tanah di Desa Peraduan Binjai,
Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang..................
.........................................................................................71
BAB V. PENUTUP
A. KESIMPULAN....................................................................... 101
B. SARAN................................................................................... 102
LAMPIRAN..................................................................................................... 106
xi
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
ABSTRAK
xiv
Kata Kunci : Sando Tanah, Hukum Adat
ABSTRACT
The Implementation of Land Sando According to Rejang Customary Law in the
Village of Peraduan Binjai, Tebat Karai District, Kepahiang District. Sando is
the same as a pawn, a pawn of agricultural land is a process in which
agricultural land is used as collateral for debts by the pawnbroker to the pawn
holder. The main problem in this research is how the implementation of land
sando in Peraduan Binjai Village, Tebat Karai District, Kepahiang District and
what are the reasons for the indigenous people of Peraduan Binjai Village, Tebat
Karai District, Kepahiang District not implementing the return of land sando
based on Article 7 of Law No.56 Prp of 1960. This type of research is empirical
legal research. The problem approach used is the sociological approach. This
study uses primary data sources derived from the results of field research that is
by interviewing the parties involved in the object of research, secondary data
from library research. The results of this study indicate that first, the
implementation of sando (pawning) land in the village of Peraduan Binjai, Tebat
Karai Subdistrict, Kepahiang Regency is not in line with Law Number 56 Prp of
1960. This can be proven from the transaction of agricultural land pawns carried
out by the people of Peraduan Binjai Village is not in accordance with the
provisions contained in article 7 paragraph (1) and paragraph (2) of Law
Number 56 Prp of 1960 concerning the Determination of Agricultural Land Area.
Second, the reason why the indigenous people of the village of Peraduan Binjai,
Tebat Karai Subdistrict, Kepahiang Regency did not carry out the return of the
land sando according to Article 7 of Law No. 56 Prp of 1960 due to several
factors, namely: Law Number 56 Prp of 1960 in the Binjai Village of the
Authorities. The culture of the Peraduan Binjai Village community considers that
the provisions of Law Number 56 Prp of 1960 are not in accordance with the
customs found in their environment. Lack of community understanding in the
Peraduan Binjai Village about the regulations of Law Number 56 Prp of 1960.
Keywords: Land Pawn, Customary Law
xv
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
hidup tanpa campur tangan dan pertolongan orang lain, tolong menolong
ataupun dana. Dalam masyarakat ada banyak macam cara dalam hal
berlainan dengan hak gadai menurut Hukum Perdata Barat yang diatur
sebagai berikut :
1
2
mengenai tanah pertanian, tidak boleh disamakan dengan hak hipotik atau
creduit verband. Dalam hal ini Boedi Harsono, membedakan hak gadai
menurut Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 dengan hak hipotik atau
crediet verband dan hak gadai menurut BW; Berlainan dengan hak hipotik
atau crediet verband, maka hak gadai merupakan hak atas tanah, karena
menerima sejumlah uang dari pihak lain, hak gadai itu bukanlah hak
tanggungan2.
Hak gadai di sini yakni hak gadai tanah (pertanian atau bangunan)
adalah dalam pengertian yang berasal dari hukum adat sebagai adanya
akibat perbuatan hukum yang disebut jual gadai. Jadi seorang yang
diadakan penebusan3.
Tanah adalah salah satu objek yang diatur oleh Hukum Agraria. Tanah
yang diatur oleh hukum agraria itu bukanlah tanah dalam berbagai
aspeknya, akan tetapi tanah dari aspek yuridisnya yaitu yang berkaitan
2
Ibid, hlm. 86
3
Ibid, hlm. 35.
3
langsung dengan hak atas tanah yang merupakan bagian dari permukaan
sektor pertanian5. Dalam sistem hukum adat yang masih berlaku dan
kebutuhan seseorang akan uang yang tidak dapat ditunda, sehingga apabila
Transaksi ini mulai terjadi pada waktu si pemilik tanah sudah menerima uang
4
Arba, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hlm. 7.
5
Herawan Sauni, “Konflik Penguasaan Tanah Perkebunan”, UBELAJ, Vol. 1, No. 1,
Oktober 2016, hlm. 46.
6
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional,
Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 54.
7
Ibid, hlm. 53.
8
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm. 162.
4
memberi kiriman nasi kepada yang menjual gadai: di Batak harus dijalankan
dengan “Masyarakat Hukum Adat “ tidak ada penjelasan baik dalam Pasal
hukum adat sebagai hukum yang hidup pada masyarakat yang masih
mendukungnya12.
hukum yang tidak tertulis yaitu hukum adat. Oleh karena tidak mudah untuk
menghapus adat kebiasaan tersebut dan menjalankan hak gadai atas tanah
maka hak gadai tersebut dalam Pasal 53 dihubungkan dengan Pasal 52 ayat 2;
yang menentukan bahwa sebagai hak yang sifatnya sementara hak itu harus
Hak atas tanah ini sifatnya sementara artinya bahwa hak ini dalam waktu
13
Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 hlm.
115
14
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 87.
6
Undang Pokok Agraria, maka hak gadai tersebut diatur lebih lanjut.
penjelasan apakah yang dimaksud dengan tanah pertanian, sawah dan tanah
Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agararia tanggal 5 Januari 1961
Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun
Sahnan, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press, Malang, 2018, hlm. 83.
15
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2016, hlm 372.
7
berpuluh tahun, bahkan ada pula yang dilanjutkan oleh ahli waris pemberi
gadai dan penerima (pemegang) gadai, karena pemberi gadai tidak mampu
tanah pertanian masih banyak yang tidak sesuai dengan ketentuan Hukum
Nasional yang berlaku. Praktik gadai tanah yang ada cenderung lebih
pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahun umumnya jauh
lebih besar dari pada apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai
masih sering terjadi di Indonesia. Salah satunya yaitu yang terjadi di Desa
Kepahiang.
mengenal sando, sebagai salah satu bentuk tolong menolong apabila ada
sando18.
bangsa Rejang adalah hukum tanah adat dan hukum perjanjian adat
kebiasaan, hukum negara dan hukum agama. Hukum tanah adat dan
orang yang menetap di lokasi penelitian. Hukum tanah adat dan hukum
Rejang19.
18
Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hlm. 184.
19
Andry Harjianto Hartiman, Bunga Rampai Kasus-Kasus Pertanahan di Bengkulu,
Lemlit Unib Press, Bengkulu, 2004, hlm. 143.
9
Pada asasnya sande tersebut adalah perjanjian hutang piutang, baik itu
hutang piutang uang (duit) maupun emas. Sebagai jaminan dari pengembalian
uang atau emas tersebut pihak dibetur menyerahkan jaminan berupa benda-
sawah, tanah pekarangan, kolam (pauk atau tebat), kebun atau tanah belukar
(belukaqh)21.
tidak memiliki batas waktu dan jumlah besaran penebusan sama dengan
tertulis dengan hanya diketahui oleh Kepala Desa atau Perangkat Desa yang
lain saja serta adanya saksi dari kedua belah pihak yang bersangkutan dan
tidak menurut ketentuan yang berlaku, peralihan hak atas tanah yang
demikian tetap dianggap sah bagi para pihak yang mengadakan perjanjian
peralihan hak atas tanah tersebut, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
20
Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hlm. 138.
21
Herawan Sauni, Hukum Agraria (Akses Petani Untuk Menguasai Tanah Pertanian),
Cipta Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 26.
10
sebagai alat pembayarnya melainkan uang tunai. Pada saat ini sando yang
pihak telah mencapai kata sepakat maka akan dibuatkan surat keterangan
gadai atau surat perjanjian gadai yang diketahui oleh Kepala Desa atau
perangkat desa yang lainnya serta adanya saksi dari masing-masing pihak.
Kepahiang”.
B. Identifikasi Masalah
22
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm. 166.
11
permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini yang kemudian
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
12
D. Kerangka Pemikiran
“manggadai” pada orang jawa; disebut “adol sende” pada orang Sunda;
“ngajual akad” gade, pada orang Batak disebut “dondon atau sindor”23.
pembeli sando24.
23
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm. 162.
24
Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hlm. 184.
13
Hal ini dikemukakan oleh Ter Har Bzn sebagai berikut : “Perjanjian
25
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 85.
26
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm.163.
14
(pemegang gadai) dan selama itu pula hasil tanah seluruhnya menjadi
hutang itu27.
gadai tanah menurut hukum adat, hasil yang dipungut dari tanah
27
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 52.
28
Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2013, hlm. 153
29
Sumitro, Konsep Pertanahan Nasional, Alfabeta, Bandung, 2001, hlm. 62, dikutip dari
Laksanto Utomo, Hukum Adat, Rajawali Pers, Depok, 2017, hlm. 31.
15
tanah oleh individu atau badan hukum adalah erat kaitannya dengan
kepentingannya30.
diatur oleh hukum adat. Namun setelah berlakunya UUPA, maka hak
yang menentukan bahwa sebagai hak yang sifatnya sementara hak itu
UUPA31.
Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun
(1) Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang
pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7
tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada
pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai di panen, dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tembusan.
(2) Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini
belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak
untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang
ada selesai di panen, dengan membayar uang tembusan yang
besarnya dihitung menurut rumus :
( 7+½ ) −waktu berlangsung hak gadai
×uang gadai
7
Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah
berlangsung 7 tahun, maka pemegang gadai wajib
mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang
tembusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai dipanen.
(3) Ketentuan dalam ayat (2) Pasal ini berlaku juga terhadap hak
gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini32.
c. Timbulnya Hak Gadai
transaksi ini. Transaksi ini mulai terjadi pada waktu si pemilik tanah
pemegang gadai.
penggadai akan kredit. Oleh karena itu tidak jarang tanah yang subur
pelepas uang33.
Dalam gadai tanah terdapat dua (2) pihak, yaitu pihak pemilik
lain. Pihak lain itu bisa pihak ketiga, tetapi bisa juga pemilik
hubungan gadai;
5) Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas
(mendalami gadai);
akan dihapus35.
5) Tanahnya musnah36.
h. Hukum Adat
35
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm. 165.
36
Sahnan, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press, Malang, 2018, hlm. 102.
20
kebiasaan yang baik disebut orang yang beradat atau tahu di adat.
hukum38.
pokoknya tidak terlepas dari tata susunan hukum keluarga adat serta
ulayat setempat39.
E. Keaslian Penelitian
baik yang dikutip maupun yang di rujuk telah penulis nyatakan dengan benar.
dari internet maupun hasil penelitian lain dalam bentuk jurnal , makalah,
39
Ibid, hlm. 115.
22
Hukum, di Indonesia?
Pasal 7 Undang-
Tahun 1960?
2 Desi Septiana Pelaksanaan Perjanjian 1. Apakah alasan yang
pelaksanaan perjanjian
Kecamatan Seputih
Agung Lampung
Tengah?
3. Bagaimana upaya
penyelesaian terjadinya
wanpestasi pada
pelaksanaan perjanjian
di Desa Simpang
Agung Kecamatan
Seputih Agung
Lampung Tengah?
Perbedaan karya ilmiah penulis dengan karya ilmiah yang tercantum di tabel
beberapa hal yang tidak sejalan dengan gadai tanah pertanian yang
penelitiannya:
25
kesepakatan para pihak pelaku gadai, cakap, ada objek gadai dan
dibentuk dan disetujui para oleh pihak dan gadai tanah pertanian
dapat dilaksanakan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
operatum yaitu hukum sebagai apa yang ada dalam masyarakat (law as
what it is in society)40.
Kabupaten Kepahiang.
2. Pendekatan Penelitian
40
Iskandar, Herawan Sauni, Dkk, Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum
(S1), Bengkulu, 2018, hlm. 40.
27
dalam masyarakat41.
disebut sampel42.
a. Populasi
b. Responden
ditentukan dalam penelitian ini yaitu Kepala Desa dan Ketua Adat
41
Iskandar, Herawan Sauni, Dkk, Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum
(S1), Bengkulu, 2018, hlm. 41.
42
Iskandar, Herawan Sauni, Dkk, Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum
(S1), Bengkulu, 2018, hlm. 42
43
Ibid, hlm. 43
28
Dalam penelitian hukum empiris terdapat dua jenis data yaitu data
referensi seperti buku, jurnal, skripsi dan referensi yang lainnya yang
dengan metode :
44
Ibid, hlm. 44.
29
a. Studi Dokumen
b. Wawacancara
penelitian ini yaitu Kepala Desa dan Ketua Adat serta empat orang
6. Pengolahan Data
7. Analisis Data
data kualitatif, yakni menguraikan dalam bentuk kalimat yang baik dan
KAJIAN PUSTAKA
maupun bagi kebiasaan yang baik (adat islamiah). Setelah istilah adat
yang berasal dari bahasa Arab ini diambil alih oleh bahasa Indonesia dan
yang baik disebut orang yang beradat atau tahu di adat. Sebaliknya
Istilah atau sebutan hukum adat itu sendiri tidak begitu populer di
serta tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri yang mereka taati selaku
hukum.
33
b. Merupakan gabungan dari kata asing adat (Arab) dengan kata recht
aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi oleh
karena itu disebut hukum dan di pihak lain dalam keadaan tidak
47
Andry Harijanto Hartiman, dkk, Bahan Ajar Hukum Adat, (Departemen Pendidikan
Nasional Universitas Bengkulu Fakultas Hukum 2018), hlm.8
34
sama sekali.
berlaku dengan serta merta (spontan) dan tak seorang pun yang berani
membangkang.
yang sudah mulai memiliki kehidupan yang lebih modern dan ada pula
yang masih tetap bertahan pada kesederhanaannya dengan adat yang ada.
49
Suriyaman Mastari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, Kencana,
Jakarta : 2017, hlm. 4-5
50
Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal (Revitalisasi Hukum Adat Indonesia),
Jakarta: Grasindo, 2010, hlm. 13
51
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: 2003, hlm. 105
36
terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik
c. Masyarakat Territorial-Genealogis
saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu tetapi
yang layak menjadi salah satu cara yang bisa ditempuh. Banyaknya
adatnya.
berdasarkan pada hukum adat yang sama atau daerah asal yang
38
sama, melainkan pada rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri dari
tidak terlepas dari tata susunan hukum keluarga adat serta hukum
adalah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan, gens, stam), sebuah
53
Andry Harijanto Hartiman, d kk, Bahan Ajar Hukum Adat, (Departemen Pendidikan
Nasional Universitas Bengkulu Fakultas Hukum 2018), hlm. 114
39
perorangan berkembang pesat, dan jika hak ulayat masih kuat maka
ternak).
ulayat.
pelanggaran.
terjadi di wilayahnya.
setempat.
1) Hak Milik
6) Hak Pakai
Yaitu hak memakai tanah famili atau tanah orang lain dengan
persekutuan54.
6. Transaksi Tanah
54
Ibid, hlm. 114-116
42
a. Jual Lepas
b. Jual Gadai
55
Ibidi, hlm. 116
43
bukanlah tanah itu sendiri, tetapi tanah hanyalah sebagai hal yang
antara para pihak. Obyek transaksi bagi hasil ini adalah tenaga kerja
b. Sewa
sewa di belakang tiap bulan, tiap tahun atau tiap habis panen.
hasil dapat dipadukan dengan jual lepas, jual gadai dan jual tahunan.
perjanjian pinjam uang itu. Selama utang belum lunas, pemilik tanah
berlaku terhadap pihak ketiga dan hanya antara kedua belah pihak saja56.
56
Ibidi, hlm. 117
44
1. Tanah
a. Pengertian Tanah
sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu atas
panjang kali lebar yang diatur oleh hukum tanah. Tanah diberikan
adalah “Both the physical assset and the rights which the owner or
other may enjoy in or over it”. Pengertian tanah dalam konsep ini,
4 ayat (1) UUPA, yaitu Atas dasar hak menguasai dari negara atas
hukum59.
gadai itu termasuk salah satu macam hak atas tanah yang diatur oleh
hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
pembatasan-pembatasan tertentu.
kepentingan masyarakat.
masyarakat.
1) Hak milik
4) Hak pakai
5) Hak sewa
53.
singkat.
60
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm.13-16
50
undangan dan peraturan yang akan diadakan, hal ini antara lain
2. Gadai Tanah
Hukum Adat akan dikenal dengan istilah gadai tanah. Istilah gadai
61
Ibid, hlm.33-35
51
Verpanding]”.
uang (pemegang gadai) dan selama itu pula hasil tanah seluruhnya
perjanjian itu62.
1960 dengan hak hipotik atau crediet verband dan hak gadai
menurut BW.
53
menerima sejumlah uang dari pihak lain, hak gadai itu bukanlah
hak tanggungan.
benar dengan hak gadai sebagai jaminan yang diatur dalam Pasal
melakukan penebusan64.
dalam Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 56 Prp
64
Boedi harsono, hukum Agraria Indonesia, Jilid 1. (Jakarta : Jambatan, 2002), hlm. 394.
Dikutip dari Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm.163.
65
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 87.
55
menyewakan tanahnya.
penggadai akan kredit. Oleh karena itu tidak jarang tanah yang
1) Karena Konversi
gadai yang ada berlaku terus dalam rangka hukum agraria yang
gadai.
maka kiranya hak gadai ini dapat juga dipunyai oleh warga
69
Ibid, hlm. 89-91
70
Pasal 1 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 Tahun 1963 Tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Gadai.
58
yang mampu.
71
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 92
59
menurut ketentuan :
warisnya;
lain. Pihak lain itu bisa pihak ketiga, tetapi bisa juga pemilik
hubungan gadai;
5) Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas
(mendalami gadai);
akan dihapus73.
penebusan.
73
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm. 165.
74
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 95
63
75
Ibid, hlm. 96
76
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian.
64
umumnya.
itu, maka tanah yang sudah digadaikan selama 7 tahun lebih harus
setelah 7 tahun itu berakhir. Waktu 7 tahun itu tetap dihitung sejak
Pengadilan Landreform oleh UU. 7 Tahun 1970 (LN 1970 No. 41)
67
disertai sanksi, bahwa jika tanah tidak ditebus dalam waktu yang
lagi kepada pemberi gadai untuk menebus sawah itu, dan apabila
anatar nilai rupiah, pada waktu gadai diadakan dan pada saat
Pasal 7 ayat (2) UU No. 56 Prp Tahun 1960 dinilai kembali dengan
77
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm.97-102
BAB III
KEPAHIANG
78
Profil Desa Peraduan Binjai, Pemerintah Kabupaten Kepahiang Kecamatan Tebat
Karai Desa Peraduan Binjai
70
Tabel 1
.
1. Tingkat Pendidikan
a. Sekolah dasar 419 Jiwa
b. Sekolah Menengah Pertama 226 Jiwa
c. Sekolah Menengah Atas 348 Jiwa
d. Perguruan Tinggi Diploma 10 Jiwa
S1 : 30 Jiwa
2. Kesehatan
a. Sakit Ringan 97 Jiwa
b. Sakit Sedang 84 Jiwa
c. Sakit berat 20 Jiwa
sumber : Profil Desa Peraduan Binjai
lahan perkebunan seluas kurang lebih 800 ha, lahan pertanian seluas
71
ikan, serta peternakan yang terdiri dari peternakan ayam, itik, ikan,
Tabel 2
gadai dengan sebutan sando. Jual sando menurut Hukum Adat Rejang
tersebut, guna mendapatkan kembali hak miliknya atas barang itu, dengan
pembeli sando79.
79
Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hlm. 184.
72
Hak gadai atas tanah pertanian dan juga tanah bangunan semula diatur
oleh hukum adat. Namun setelah berlakunya UUPA, maka hak gadai disebut
bahwa sebagai hak yang sifatnya sementara hak itu harus diatur untuk
Agraria dan diberikan sifat yang sementara, yang diusahakan akan dihapus
eksploitasi, karena hasil yang diterima penerima gadai dari tanah yang
bersangkutan pada umumnya jauh lebih besar dari pada apa yang merupakan
bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah.
80
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 87.
73
mengecap hasil dari tanah sawah itu sehingga telah memperoleh kembali
dalam transaksi gadai tanah pertanian, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah
uang gadai. Hal ini dilakukan dalam rangka penertiban dan melindungi
1960 diatur tentang soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang
berlaku juga terhadap gadai tanaman keras, baik yang digadaikan berikut atau
ditegaskan bahwa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada
mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib
tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang gadai. Atas dasar ketentuan ini, jika hak gadai tanah
pertanian yang sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, maka tanah harus
81
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2017, hlm. 139
82
Muji Rahardjo dan Sigit Sapto Nugroho, “Gadai Tanah Menurut Hukum Adat”, Sosial,
Vol. 13, No. 2, September 2012, hlm. 94
74
dikembalikan kepada pemilik tanah tanpa uang tebusan dalam waktu sebulan
setelah tanaman yang ada dipanen. Hal ini di asumsikan bahwa pemegang
gadai yang menggarap tanah pertanian selama 7 tahun atau lebih, maka
hasilnya akan melebihi uang gadai yang ia berikan kepada pemilik tanah
pertanian.
apabila pemberi gadai belum dapat melakukan penebusan maka tanah masih
sanksi-sanksi pidana seperlunya sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf b dan
83
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
75
Dalam Pasal 7 ayat (2) ditegaskan bahwa mengenai hak gadai tanah
pertanian yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7
tahun, maka pemilik tanah berhak untuk memintanya kembali setiap waktu
setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tembusan
yang besarnya dihitung menurut rumus :
oleh masyarakat Desa Peraduan Binjai belum sesuai dengan ketentuan yang
Penatapan Luas Tanah Pertanian, baik sistem gadai yang pernah dilakukan
saat dahulu dimana gadai tanah menggunakan emas dan sistem gadai yang
dilakukan saat sekarang yaitu pembayaran bukan lagi dengan emas melainkan
uang tunai, hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya batasan waktu
tahun atau bahkan lebih serta penebusan uang gadai masih berdasarkan adat
tanahnya sesuai dengan jumlah emas atau uang yang dipinjam walaupun dari
hasil keuntungan yang diperoleh pemegang gadai selama beberapa tahun dari
76
tanah tersebut jauh lebih besar dari utang pokok pemilik tanah dan walaupun
gadai tidak berlangsung lebih dari 7 tahun pihak penggadai tetap harus
Binjai adalah:
desa dan saksi dari masing-masing pihak, apabila pihak pemilik tanah
hak atas tanah gadai tersebut dan jika dalam jangka waktu yang telah
adalah tanah pertanian yang telah digadaikan itu tidak akan dikembalikan
sebelum adanya penebusan yang senilai dengan emas yang dipinjam pemilik
84
Wawancara dengan Ibu Katija Haryanti, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemberi
Gadai, Bengkulu, 13 Mei 2020.
77
tanah walaupun itu sebelum atau setelah 7 tahun bahkan lebih. Menurutnya
tanah pertanian akan tetap diambil hasil panennya selama penerima gadai
Begitu pula dengan gadai tanah yang masih dilakukaan saat ini,
gadai juga akan dikembalikannya. Jika pemilik tanah tidak menebus tanahnya
maka tanah tesebut akan tetap ada dalam penguasaan pemegang gadai86.
85
Wawancara dengan Bapak Amal, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemegang Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
86
Wawancara dengan Bapak Sahdan, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemberi Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
87
Segel adalah surat perjanjian yang merupakan sebutan bagi masyarakat Desa Peraduan
Binjai .
88
Wawancara dengan Bapak Bustari, Ketua Adat Desa Peraduan Binjai, Kepahiang, 13
Mei 2020.
78
Sando itu sama dengan gadai, gadai yang dilakukan di Desa Peraduan
Binjai untuk saat ini yaitu penyerahan sebidang tanah baik tanah
perkebunan atau sawah dengan menerima pembayaran tunai, aturan
atau syarat dalam melakukan gadai ini yang terpenting yaitu kedua
belah pihak telah mencapai kesepakatan, kemudian tanah yang akan
digadaikan tidak dalam keadaan sengketa, setelah itu dibuatkan
surat keterangan gadai yang diketahui oleh aparat pemerintah seperti
Kades dan disaksikan oleh saksi masing-masing pihak, di mana
dalam surat keterangan gadai tersebut berisi identitas para pihak,
jumlah uang yang dipinjam dan ketentuan jangka waktu penebusan
berdasar kesepakatan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, nama
saksi-saksi serta mengetahui Kades dan selama gadai berlangsung
maka hak pengelolaan tanah pertanian berada pada pemegang gadai
dan akan dikembalikan apabila telah melakukan penebusan89.
Berdasarkan wawancara dengan pemberi gadai dan penerima gadai,
Tahun 1960 Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) bahwa jika gadai tanah pertanian
setiap waktu setelah tanaman yang ada telah dipanen, dengan membayar
tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus dan apabila telah berlangsung
tanah tersebut kepada pemilik tanah sebulan setelah tanaman selesai dipanen
dengan tidak ada hak untuk menuntut uang tebusan. Hal ini tentunya
Binjai dalam pelaksanaan gadai tidak adanya batasan waktu, selama pemberi
memiliki hak atas tanah gadai tersebut meskipun gadai sudah berlangsung
89
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
79
Penetapan Luas Tanah Pertanian pada Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) tidak
seseorang dengan tanah milik orang lain yang telah menerima utang atau
pinjaman uang yang disebut uang gadai. Tanah tersebut dikuasai oleh
penerima gadai selama uang gadai belum dikembalikan. Selama itu hak atas
tanah menjadi hak pemegang gadai selama memilki hak gadai. Penebusan
adalah kata yang lazim disebut dalam pengembalian uang gadai, penebusan
tahun bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu
menjaminkan tanah pertanian atas pinjaman emas atau uang yang diterimanya
dan mengambil manfaat dari tanah pertanian yang telah digadaikan tersebut
gadai sebagai jaminan terhadap pinjaman emas atau uang yang telah
ketika tanah gadai tersebut musnah karena bencana alam, alih fungsi lahan
biasanya terjadi karena penebusan oleh pemilik tanah atau pemberi gadai.
tanaman tersebut.
81
yang digadaikan adalah sama dengan sejumlah emas atau uang yang
dikembalikan atau untuk penebusan pun sama dengan yang diterima dari
jaminan atas gadai yang dilakukan hal tersebut dimaksudkan untuk saling
pertanian ditawarkan kepada tetangga atau orang lain yang sanggup untuk
keuangan lainnya, alasan lain adalah karena prosedurnya yang rumit jika
gadai tanah yang dilakukan oleh pemberi gadai atau pemilik tanah dan
90
Wawancara dengan Bapak Bustari, Ketua Adat Desa Peraduan Binjai, Kepahiang, 13
Mei 2020.
91
Wawancara dengan Ibu Katija Haryanti, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemberi
Gadai, Bengkulu, 13 Mei 2020.
83
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam
Peaduan Binjai itu adalah jika tanah pertanian telah digadaikan maka hak
menuturkan bahwa di dalam gadai tanah pertanian para pihak yang telah
jangka waktu 5 tahun lamanya pihak pemberi gadai akan menebus tanah
92
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
84
Begitu pula dengan gadai tanah yang dilakukan saat ini, menurut
Bapak Himin (47 tahun) petani yang sebagai pihak pemegang gadai,
setelah mencapai kata sepakat maka akan dibuatkan surat keterangan atau
surat perjanjian yang berisi tentang jumlah uang yang dipinjam serta
jangka waktu yang tak terbatas dengan catatan bahwa setiap tahunnya
pertanian yang digadaikan tersebut baik gadai yang dilakukan saat dahulu
dan tidak terbatas. Tanah pertanian akan tetap dikuasai oleh pihak
pemegang gadai selama belum ada penebusan dari pihak pemilik tanah
walaupun waktu yang telah diperjanjikan telah jatuh tempo, akan tetapi
93
Wawancara dengan Ibu Katija Haryanti, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemberi
Gadai, Bengkulu, 13 Mei 2020.
94
Wawancara dengan Bapak Himin, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemegang Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
85
apabila pada waktu itu pemberi gadai belum mampu untuk menebus
akan tetap berlanjut sampai ada penebusan dari pemilik tanah. Gadai
terdapat hal yang tidak diinginkan maka tidak akan menjadi kesalah
pahaman.
Menggadaikan tanah pertanian kepada orang lain menjadi salah satu cara
mendesak dan memerlukan biaya segera maka salah satu jalan yang
cukup besar seperti yang disampaika oleh Bapak Sukiman Dahri, selaku
menerima gadai menurut Bapak Bustari, Bapak Amal dan Bapak Himin
96
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
88
kehidupan, maka sudah menjadi hal yang wajar jika dalam keperluan
97
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
89
Kabupaten Kepahiang
yang bekerja sebagai petani hal tersebut juga menjadi alasan bagi
98
Wawancara dengan Bapak Amal, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemegang Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
99
Wawancara dengan Bapak Sahdan, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemberi Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
90
orang lain karena itu merupakan harta yang dapat mereka gunakan.
eksploitasi, karena hasil yang diterima penerima gadai dari tanah yang
bersangkutan pada umumnya jauh lebih besar dari pada apa yang
merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah.
sawah selama 7 tahun itu si penerima gadai (pemegang gadai) sudah cukup
mengecap hasil dari tanah sawah itu sehingga telah memperoleh kembali
gadai tanah pertanian yang mereka lakukan adalah atas dasar tolong
menolong namun bila dikaji lebih mendalam pada dasarnya gadai tanah
karena selama pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, maka tanah
tersebut akan tetap dikuasai oleh pemegang gadai serta akan tetap
100
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.
139
91
saja keuntungan yang diperoleh pemegang gadai dari tanah pertanian yang
digadaikan tersebut sudah cukup atau bahkan telah melebihi dari utang
pokok pemilik tanah atau pemberi gadai. Hal inilah kiranya yang menjadi
maksud dan tujuan dari Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 untuk
memberikan sifat yang sementara terhadap hak gadai tanah pertanian serta
Binjai adalah:
dengan sejumlah uang yang senilai dengan uang gadai yang diterima
pemilik tanah. Sehingga Beberapa tahun saja tanah itu dikuasai oleh
hasil yang diperoleh sudah cukup atau bahkan melebihi utang pokok
menyimpulkan bahwa gadai tanah pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Peraduan Binjai tidak sesuai dengan ketentuan dari undang-undang yang berlaku.
Berdasar pada hasil penelitian bahwa semua subjek penelitian melaksanakan gadai
pelaksanaan gadai tanah pertanian tanpa ada batasan waktu, yang di maksud
dengan tanpa ada batas waktu adalah pemilik tanah menyerahkan tanah gadai
kepada penerima (pemegang) gadai untuk dikelola sampai pemilik tanah mampu
menebus kembali tanah tersebut (waktu yang tidak ditentukan). Perjanjian gadai
gadai yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yaitu
tujuh tahun. Hal tersebut di karenakan meskipun gadai telah berlangsung selama
tujuh tahun tetapi pihak pemberi gadai belum dapat menebus tanah tersebut, maka
batasan waktu, pelanggaran gadai tanah pertanian juga terlihat pada penebusan
gadai tanah pertanian di mana jumlah emas atau uang tebusan harus sama dengan
jumlah emas atau uang gadai. Pada pelaksanaan gadai tanah pertanian di Desa
Peraduan Binjai jumlah penebusan yang harus dibayarkan oleh pihak pemberi
gadai kepada pemegang gadai jumlahnya sama persis dengan jumlah emas atau
uang gadai, baik untuk gadai yang ditentukan waktunya ataupun tidak ditentukan
waktunya. Hal tersebut dibenarkan oleh semua subjek penelitian bahwa jumlah
emas atau uang gadai yang diberikan haruslah sama dengan jumlah emas atau
uang penebusan, baik untuk gadai yang berlangsung kurang dari tujuh tahun
tanah pertanian di Desa Peraduan Binjai terdapat hal yang menyimpang dari
ketentuan hukum nasional yang berlaku atau dengan kata lain transaksi gadai
tanah pertanian yang terjadi di Desa Peraduan Binjai berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 belum efektif hal tersebut
tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-
Pihak Berwenang.
berbagai pihak, seperti dari pihak kepala Desa, instansi pertanahan, pihak
akademisi seperti dari perguruan tinggi, serta pejabat lain yang berwenang.
bahwa semua subjek penelitian baik pemberi ataupun pemegang gadai tanah
Di Desa Peraduan Binjai sejauh ini tidak pernah ada sosialisasi yang
pertanian dari pihak manapun101. Hal tersebut juga dibenarkan oleh seluruh
subjek penelitian bahwa di Desa Peraduan Binjai memang belum pernah ada
56 Prp Tahun 1960 baik itu dari pihak Kepala Desa atau dari instansi
yang diikuti dan diterima oleh masyarakat secara terbuka bukan karena
101
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
97
kebiasaan mereka didasari oleh rasa ingin saling tolong menolong dan bukan
dirasa oleh masyarakat akan menimbulkan kerugian bagi pemegang gadai, hal
tersebut timbul karena tidak disadarinya maksud dan tujuan dari ketentuan
oleh masyarakat Desa Peraduan Binjai, karena secara umum mayarakat Desa
98
yang berkaitan tentang hukum lebih lagi hukum yang berkenaan dengan
banyak uang untuk dapat menebus kembali tanah pertaniannya yang telah
digadaikan. Begitu juga dengan pemegang gadai umumnya mereka pun sama
bantuan dalam bentuk dana tidak lain karena adanya rasa kekeluargaan.
kenyataan yang ada di Desa Peraduan Binjai selama ini pihak pemberi gadai
yang digadaikan kepada pemegang gadai sekalipun telah lebih dari 7 tahun
serta penebusan gadai tanah pertanian oleh pemberi gadai atau pemilik tanah
tersebut dapat dilihat jelas dari pernyataan subjek penelitian, semua subjek
waktu dan cara penebusan gadai tanah pertanian, menyatakan bahwa mereka
menganggap hanya orang-orang tertentu saja yang tahu tentang aturan itu
seperti halnya Kepala Desa102. Dari hasil penelitian juga dapat diketahui
102
Wawancara dengan Bapak Himin, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemegang Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
100
1960 yang mengatur tentang batasan waktu serta aturan penebusan dalam
PENUTUP
A. Kesimpulan
1960. Hal tersebut dapat dibuktikan dari transaksi gadai tanah pertanian
dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)
tanahnya sesuai dengan jumlah uang yang dipinjam walaupun dari hasil
tanah tersebut jauh lebih besar dari utang pokok pemilik tanah.
102
Tahun 1960.
B. Saran
pada Pasal 7 ayat (1) dan (2) adalah untuk menjaga hak-hak dari masing-
masing pihak yang melakukan gadai tanah yaitu pemberi gadai dan
batas waktu penebusan gadai tanah serta cara penebusan gadai tanah
Buku-buku
Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal (Revitalisasi Hukum Adat Indonesia),
Jakarta: Grasindo, 2010.
Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat, Hak Menguasai Negara atas Sumber
Daya Alam Kehutanan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum
Adat, Bandung: Refika Aditama, 2015
Iskandar, Herawan Sauni, Dkk, Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana
Hukum (S1), Bengkulu, 2018.
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.
104
Profil Desa Peraduan Binjai, Pemerintah Kabupaten Kepahiang Kecamatan Tebat
Karai Desa Peraduan Binjai
Suriyaman Mastari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, Kencana,
Jakarta : 2017.
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 Tahun 1963 Tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Gadai.
Jurnal
Muji Rahardjo dan Sigit Sapto Nugroho, “Gadai Tanah Menurut Hukum Adat”,
Sosial, Vol. 13, No. 2, September 2012
105
LAMPIRAN
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115