Anda di halaman 1dari 131

UNIVERSITAS BENGKULU

FAKULTAS HUKUM

PELAKSANAAN SANDO TANAH MENURUT


HUKUM ADAT REJANG DI DESA PERADUAN
BINJAI KECAMATAN TEBAT KARAI
KABUPATEN KEPAHIANG

SKRIPSI
Diajukan Untuk Menempuh Ujian dan Memenuhi

Persyaratan Guna Mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DWI FITRIANI

B1A016172

BENGKULU
2020
HALAMAN PENGESAHAN

PELAKSANAAN SANDO TANAH MENURUT


HUKUM ADAT REJANG DI DESA PERADUAN
BINJAI KECAMATAN TEBAT KARAI
KABUPATEN KEPAHIANG
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh Ujian dan Memenuhi

Persyaratan Guna Mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :
DWI FITRIANI
B1A016172

Telah Disetujui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Herawan Sauni, S.H., M.S. Dr. Emelia Kontesa, S.H., M. Hum.
NIP. 196412111988031001 NIP. 196407011989102002

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu

Dr. Amancik, S.H., M.Hum.


NIP.196305171990011001

ii
Skripsi Ini Dipertahankan Dalam Rangka
Ujian Sarjana Hukum Di Depan Komisi
Penguji Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Dilaksanakan Pada :
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Nilai :
Tim Penguji

Ketua Penguji Sekretaris Penguji

Hamdani Ma’akir, S.H., M.Hum. Dr. Edra Satmaidi, S.H., M.H


NIP.1960031719872021010 NIP.197808052005011002

Anggota Penguji I Anggota Penguji II

Prof. Dr. Herawan Sauni, S.H., M.S. Dr. Emelia Kontesa, S.H., M. Hum.
NIP. 196412111988031001 NIP. 196407011989102002

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu

Dr. Amancik, S.H., M.Hum.


NIP.196305171990011001

iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik di Universitas
Bengkulu maupun di perguruan tinggi lainnya;
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan hasil penelitian saya sendiri,
yang disusun tanpa bantuan pihak lain kecuali arahan dari tim
pembimbing;
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka;
4. Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan apabila dikemudian hari
dapat dibuktikan adanya kekeliruan dan ketidakbenaran dalam pernyataan
ini, maka saya bersedia untuk menerima sanksi akademik berupa
pencabutan gelar akademik yang diperoleh dari karya tulis ini, serta sanksi
lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Bengkulu.

Bengkulu,.........................
Yang Membuat Pernyataan,

DWI FITRIANI
NPM. B1A016172

iv
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji penulis panjatkan kepada Allah swt yang maha

pengasih dan maha penyayang kepada hamba-Nya. Atas berkat

limpahan rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa di berikan kepada

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB).

Skripsi ini berjudul “Pelaksanaan Sando Tanah Menurut

Hukum Adat Rejang Di Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat

Karai Kabupaten Kepahiang”, karena pelaksanaan gadai tanah yang

terjadi dalam masyarakat masih belum sesuai dengan peraturan

gadai tanah yang telah diatur yaitu Undang-Undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan

bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Maka atas

bantuan yang telah diberikan kepada penulis, pada kesempatan ini

penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua yang penulis cintai dan hormati Bapak Antoni Zukian dan

Ibu Lismiatin yang tidak pernah putus do’a, dukungan dan harapan demi

v
kesuksesan Putri satu-satunya serta memberikan seluruh cinta dan kasih

sayangnya, dukungan lahir batin senantiasa mereka berikan kepada penulis

selama proses studi selama ini.

2. Yang terhormat Bapak Dr. Amancik, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Bengkulu.

3. Yang terhormat Prof. Dr. Herawan Sauni, S.H., M.S. selaku Pembimbing I

dan Ibu Dr. Emelia Kontesa, S.H., M. Hum. selaku Pembimbing II

penulisan Skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi

kepada penulis serta telah banyak meluangkan waktu dalam memeriksa

skripsi penulis demi kesempurnaan skripsi penulis.

4. Yang terhormat Bapak Hamdani Ma’akir, S.H., M.Hum. selaku Penguji I

dan Bapak Dr. Edra Satmaidi, S.H., M.H. selaku Penguji II penulisan skripsi

yang telah banyak memberikan masukan, arahan serta saran-saran demi

kesempurnaan skripsi penulis.

5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu yang telah banyak

memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada penulis yang akan

penulis jadikan bekal untuk menjemput kesuksesan di masa depan.

6. Pemerintah Kabupaten Kepahiang, Pemerintah Kecamatan Tebat Karai,

Pemerintah Desa Peraduan Binjai, masyarakat Desa Peraduan Binjai,

perpustakaan Universitas Bengkulu, dan perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Bengkulu yang telah memberikan dukungan dan bantuan

kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian.

vi
7. Seluruh staf jurusan dan staf akademik Fakultas Hukum Universitas

Bengkulu yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam

menyelesaikan pendidikan pada jurusan Ilmu Hukum.

8. Satu-satunya saudara kandung yang sangat penulis cintai dan hormati

Gilang Wahyu Listanto serta keluarga besar yang telah banyak memberikan

dukungan baik secara moril maupun materiil kepada penulis.

9. Sahabat-sahabat penulis yang sangat penulis sayangi Ijut, Nyol, Es Campur,

Dina, Umi Iin, Cikren yang selalu menemani dan memberikan bantuan,

dukungan serta motivasi untuk penulis dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

10. Seluruh teman-teman angkatan 2016 baik Jurusan Perdata dan Ekonomi,

Jurusan Pidana dan Perlindungan Masyarakat, serta Jurusan Tata Negara

dan Administrasi Negara yang telah banyak memberikan hal-hal indah

kepada penulis yang tidak akan pernah terlupakan.

11. Teman-teman KKN Angkatan Ke-88 Kelompok 93 Surabaya yang telah

memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

vii
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekeliruan dalam

skripsi ini,akan tetapi tidak mengurangi harapan penulis dengan

terselesaikannya skripsi ini dapat menjadi kontribusi pemikiran dalam

pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Wassalamualaikum Wr. Wb.


Bengkulu,........................

Dwi Fitriani
NPM. B1A016172

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI................................................. iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI.............. iv

KATA PENGANTAR...................................................................................... v

DAFTAR ISI.................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL............................................................................................ xii

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xiii

ABSTRAK........................................................................................................ xiv

ABSTRACT....................................................................................................... xv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah................................................................ 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................... 11
D. Kerangka Pemikiran............................................................... 12
E. Keaslian Penelitian................................................................. 22
F. Metode Penelitian................................................................... 26
1. Jenis Penelitian................................................................... 26
2. Pendekatan Penelitian........................................................ 27
3. Populasi dan Responden.................................................... 27
4. Data dan Sumber Data....................................................... 29
5. Metode Pengumpulan Data................................................ 29
6. Pengolahan Data................................................................ 30
7. Analisis Data...................................................................... 31

ix
BAB II. KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Hukum Adat................................................... 32


1. Istilah Hukum Adat............................................................ 32
2. Pengertian Hukum Adat..................................................... 33
3. Masyarakat Hukum Adat................................................... 35
4. Sifat Hukum Tanah Adat................................................... 38
5. Hak-hak Atas Tanah........................................................... 38
6. Transaksi Tanah................................................................. 42
7. Transaksi Yang Bersangkutan Dengan Tanah...................
43
B. Tinjauan Umum Gadai Tanah................................................... 44
1. Tanah.................................................................................. 44
a. Pengertian Tanah........................................................ 44
b. Hak-hak Atas Tanah Dalam Hukum Agraria
Nasional......................................................................
.................................................................................46
2. Gadai Tanah....................................................................... 50
a. Pengertian Gadai Tanah.............................................. 50
b. Dasar Hukum Gadai Tanah......................................... 54
c. Timbulnya Gadai Tanah............................................. 56
d. Hak dan Kewajiban Para Pihak................................... 58
e. Ciri Gadai Tanah......................................................... 60
f. Penyelesaian Gadai Tanah.......................................... 62

BAB III. PELAKSANAAN SANDO TANAH DI DESA PERADUAN


BINJAI KECAMATAN TEBAT KARAI KABUPATEN
KEPAHIANG

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.........................................


...............................................................................................69

x
B. Pelaksanaan Sando Tanah di Desa Peraduan Binjai,
Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang..................
.........................................................................................71

BAB IV. ALASAN MASYARAKAT DESA PERADUAN BINJAI


KECAMATAN TEBAT KARAI KABUPATEN KEPAHIANG
TIDAK MELAKSANAKAN PENGEMBALIAN SANDO
TANAH BERDASARKAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG
NOMOR 56 PRP TAHUN 1960...................................................
...................................................................................................93

BAB V. PENUTUP

A. KESIMPULAN....................................................................... 101
B. SARAN................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 104

LAMPIRAN..................................................................................................... 106

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Keadaan Sosial Desa Peraduan Binjai..............................................


........................................................................................................70

Tabel 2 : Keadaan Ekonomi Desa Peraduan Binjai.........................................


71

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1........................................................................................................ 107

Lampiran 2........................................................................................................ 108

Lampiran 3........................................................................................................ 109

Lampiran 4........................................................................................................ 110

Lampiran 5........................................................................................................ 111

Lampiran 6........................................................................................................ 112

Lampiran 7........................................................................................................ 113

Lampiran 8........................................................................................................ 114

Lampiran 9........................................................................................................ 125

xiii
ABSTRAK

Pelaksanaan sando tanah menurut Hukum Adat Rejang di Desa Peraduan


Binjai, Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang. Sando sama dengan
gadai, gadai tanah pertanian merupakan proses di mana tanah pertanian
dijadikan sebagai jaminan atas hutang oleh pemberi gadai kepada pemegang
gadai. Pokok masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan
sando tanah di Desa Peraduan Binjai, Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten
Kepahiang serta apa alasan masyarakat Desa Peraduan Binjai, Kecamatan
Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang tidak melaksanakan pengembalian sando
tanah berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Pendekatan
masalah yang digunakan adalah pendekatan sosiologis. Penelitian ini
menggunakan sumber data primer yang berasal dari hasil penelitian lapangan
yaitu dengan wawancara pada pihak-pihak yang terkait pada objek penelitian,
data sekunder yaitu dari penelitian kepustakaan. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa pertama, pelaksanaan sando (gadai) tanah di Desa Peraduan
Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang tidak sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Hal tersebut dapat dibuktikan dari
transaksi gadai tanah pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Peraduan
Binjai belum sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penatapan Luas
Tanah Pertanian. Kedua, alasan masyarakat adat Desa Peraduan Binjai,
Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang tidak melaksanakan
pengembalian sando tanah berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No.56 Prp
Tahun 1960 disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : Belum ada sosialisasi
mengenai masalah gadai tanah pertanian yang telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 56 Prp Tahun 1960 di Desa Peraduan Binjai dari Pihak Berwenang. Kultur
masyarakat Desa Peraduan Binjai yang menganggap ketentuan Undang-Undang
Nomor 56 Prp Tahun 1960 tidak sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang terdapat
dilingkungannya. Kurangnya pemahaman masyarakat di Desa Peraduan Binjai
mengenai peraturan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.

xiv
Kata Kunci : Sando Tanah, Hukum Adat

ABSTRACT
The Implementation of Land Sando According to Rejang Customary Law in the
Village of Peraduan Binjai, Tebat Karai District, Kepahiang District. Sando is
the same as a pawn, a pawn of agricultural land is a process in which
agricultural land is used as collateral for debts by the pawnbroker to the pawn
holder. The main problem in this research is how the implementation of land
sando in Peraduan Binjai Village, Tebat Karai District, Kepahiang District and
what are the reasons for the indigenous people of Peraduan Binjai Village, Tebat
Karai District, Kepahiang District not implementing the return of land sando
based on Article 7 of Law No.56 Prp of 1960. This type of research is empirical
legal research. The problem approach used is the sociological approach. This
study uses primary data sources derived from the results of field research that is
by interviewing the parties involved in the object of research, secondary data
from library research. The results of this study indicate that first, the
implementation of sando (pawning) land in the village of Peraduan Binjai, Tebat
Karai Subdistrict, Kepahiang Regency is not in line with Law Number 56 Prp of
1960. This can be proven from the transaction of agricultural land pawns carried
out by the people of Peraduan Binjai Village is not in accordance with the
provisions contained in article 7 paragraph (1) and paragraph (2) of Law
Number 56 Prp of 1960 concerning the Determination of Agricultural Land Area.
Second, the reason why the indigenous people of the village of Peraduan Binjai,
Tebat Karai Subdistrict, Kepahiang Regency did not carry out the return of the
land sando according to Article 7 of Law No. 56 Prp of 1960 due to several
factors, namely: Law Number 56 Prp of 1960 in the Binjai Village of the
Authorities. The culture of the Peraduan Binjai Village community considers that
the provisions of Law Number 56 Prp of 1960 are not in accordance with the
customs found in their environment. Lack of community understanding in the
Peraduan Binjai Village about the regulations of Law Number 56 Prp of 1960.
Keywords: Land Pawn, Customary Law

xv
xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk individualis, namun sekaligus makhluk

sosial. Manusia membutuhkan privasi, namun tidak akan pernah mampu

hidup tanpa campur tangan dan pertolongan orang lain, tolong menolong

adalah sikap saling membantu untuk meringankan beban (penderitaan,

kesulitan) orang lain dengan melakukan sesuatu.

Bantuan yang dimaksud dapat berbentuk bantuan tenaga, waktu,

ataupun dana. Dalam masyarakat ada banyak macam cara dalam hal

tolong menolong bagi yang sedang kesusahan ekonomi salah satunya

yaitu dengan cara gadai.

Hak gadai menurut Hukum Agraria Nasional pengertiannya

berlainan dengan hak gadai menurut Hukum Perdata Barat yang diatur

dalam BW. Menurut Hukum Agraria Nasional pengertian hak gadai

tercantum dalam Penjelasan Umum UU No. 56 Prp Tahun 1960 angka 9 a

sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang


dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang uang
kepadanya. Selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah
itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi
(pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak
pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari
utang tersebut1.
1
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional,
Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 85.

1
2

Tetapi walaupun hak gadai dalam Hukum Agraria Nasional itu

mengenai tanah pertanian, tidak boleh disamakan dengan hak hipotik atau

creduit verband. Dalam hal ini Boedi Harsono, membedakan hak gadai

menurut Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 dengan hak hipotik atau

crediet verband dan hak gadai menurut BW; Berlainan dengan hak hipotik

atau crediet verband, maka hak gadai merupakan hak atas tanah, karena

memberi wewenang kepada pemegang gadai untuk mempergunakan atau

mengambil manfaat dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian

maka jelaslah bahwa sungguh pun pemilik tanahnya sama-sama

menerima sejumlah uang dari pihak lain, hak gadai itu bukanlah hak

tanggungan2.

Hak gadai di sini yakni hak gadai tanah (pertanian atau bangunan)

adalah dalam pengertian yang berasal dari hukum adat sebagai adanya

akibat perbuatan hukum yang disebut jual gadai. Jadi seorang yang

memegang hak gadai itu dapat mempergunakan tanah yang dikuasainya,

dan bilamana penggadaian itu akan berakhir tergantung pada kapan

diadakan penebusan3.

Tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi.

Tanah adalah salah satu objek yang diatur oleh Hukum Agraria. Tanah

yang diatur oleh hukum agraria itu bukanlah tanah dalam berbagai

aspeknya, akan tetapi tanah dari aspek yuridisnya yaitu yang berkaitan

2
Ibid, hlm. 86
3
Ibid, hlm. 35.
3

langsung dengan hak atas tanah yang merupakan bagian dari permukaan

bumi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA4.

Fakta empiris menunjukan bahwa sampai saat ini kebanyakan

penduduk Indonesia masih menggantungkan hidupnya dari usaha di

sektor pertanian5. Dalam sistem hukum adat yang masih berlaku dan

masih banyak dipraktikan di pedesaan, tanah pun dapat digadaikan di

samping barang bergerak, ini disebut dengan gadai tanah.

Pada dasarnya timbulnya hak gadai ini disebabkan oleh karena

kebutuhan seseorang akan uang yang tidak dapat ditunda, sehingga apabila

tidak dapat memperoleh pinjaman uang, maka dilakukanlah transaksi ini.

Transaksi ini mulai terjadi pada waktu si pemilik tanah sudah menerima uang

tunai dan sebagai gantinya maka diserahkanlah tanahnya kepada pihak

pemeberi uang yang kemudian disebut pemegang gadai6.

Hak gadai ini terdapat di seluruh Indonesia hanya saja disebut

dengan istilah yang berbeda-beda. Misalnya di Sunda disebut dengan

istilah “Ngajual Akad”, di Jawa disebut “Adol Sende”, di Minangkabau

disebut Menggadai”7. Istilah gadai dalam masyarakat adat di Bengkulu

dikenal dengan berbagai sebutan: Sando (suku Serawai, Rejang); di

Kabupaten Kaur pada suku Basemah disebut “sande”8.

4
Arba, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hlm. 7.
5
Herawan Sauni, “Konflik Penguasaan Tanah Perkebunan”, UBELAJ, Vol. 1, No. 1,
Oktober 2016, hlm. 46.
6
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional,
Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 54.
7
Ibid, hlm. 53.
8
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm. 162.
4

Pada umumnya masalah gadai di Indonesia tidak ada perbedaan yang

prinsipiil, perbedaan tak berarti terletak pada pelaksanaannya saja, misalnya

di Aceh dalam aktanya harus dicantumkan tentang ijabkabulnya: di

Minangkabau ada kebiasaan bahwa bagi pemegang gadai setiap tahunnya

memberi kiriman nasi kepada yang menjual gadai: di Batak harus dijalankan

di atas nasi ngebul9.

Keberagaman pelaksanaan dan penerapan yang menjamin

kepastian hukum di berbagai daerah di Indonesia tidak terlepas dari

pengaruh “Masyarakat Hukum Adat”. Mengenai apa yang dimaksud

dengan “Masyarakat Hukum Adat “ tidak ada penjelasan baik dalam Pasal

3 UUPA maupun Penjelasan Umum/Khusus yang merupakan tafsir resmi

dari Pembuat Undang-Undang10. Pembahasan mengenai hukum adat

Indonesia bukan merupakan hal yang baru di Indonesia termasuk hukum

adat tentang tanah.

Hukum adat merupakan hukum tradisional masyarakat yang

merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta

merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara keseluruhannya

merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku11.

Negara sebagai organisasi tertinggi yang diwakili oleh pemerintah

menurut Undang-Undang Dasar 1945 harus mengakui dan menghormati

keberadaan Masyarakat Hukum Adat di seluruh wilayah Indonesia.


9
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional,
Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 53.
10
Hamdani Ma’akir dan Emelia Kontesa, “Inkonsistensi Peraturan Perundang-Undangan
Dalam Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat”, Jurnal Ilmiah Kutei, Edisi 26,
April 2014, hlm. 26.
11
Laksanto Utomo, Hukum Adat, Rajawali Pers, Depok, 2017, Hlm. 131.
5

Dengan demikian, pemerintah harus mengakui dan menghormati pula

hukum adat sebagai hukum yang hidup pada masyarakat yang masih

mendukungnya12.

Undang-Undang Pokok Agraria yang biasa dikenal dengan

singkatan UUPA yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

(LN.1960No.104) adalah Undang-Undang Nasional yang secara

fundamental mengadakan perombakan terhadap hukum pertanahan

yang berlaku di negara kita. Berlakunya UUPA pada Tahun 1960

dimaksudkan untuk mengakhiri pluralisme hukum, yang di bidang hukum

tanah dikenal dengan istilah dualisme berlakunya hukum tanah13.

Sebelum Undang-Undang Pokok Agraria terbentuk, hak gadai atas

tanah pertanian sudah ada dan digunakan oleh masyarakat berdasarkan

hukum yang tidak tertulis yaitu hukum adat. Oleh karena tidak mudah untuk

menghapus adat kebiasaan tersebut dan menjalankan hak gadai atas tanah

sesuai Undang-Undang Pokok Agraria. Namun setelah berlakunya UUPA,

maka hak gadai tersebut dalam Pasal 53 dihubungkan dengan Pasal 52 ayat 2;

yang menentukan bahwa sebagai hak yang sifatnya sementara hak itu harus

diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UUPA14.

Hak atas tanah ini sifatnya sementara artinya bahwa hak ini dalam waktu

yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat


12
Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat, Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya
Alam Kehutanan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat, Refika Aditama, Bandung,
2015, hlm. 71

13
Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 hlm.
115
14
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 87.
6

pemerasan, feodal, dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang

dikandung oleh UUPA15.

Untuk membatasi sifat-sifat yang bertentangan dengan Undang-

Undang Pokok Agraria, maka hak gadai tersebut diatur lebih lanjut.

Pengaturan lebih lanjut tentang hak gadai tersebut dikemukakan pada

ketentuan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.

Dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tidak diberikan

penjelasan apakah yang dimaksud dengan tanah pertanian, sawah dan tanah

kering. Berhubungan dengan itu dalam Intruksi Bersama Menteri Dalam

Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agararia tanggal 5 Januari 1961

No. Sekra 9/1/1216.

Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun

1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian :

(1) Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai


yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah
berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu
kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang
ada selesai di panen, dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tembusan.
(2) Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini
belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak
untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang
ada selesai di panen, dengan membayar uang tembusan yang
besarnya dihitung menurut rumus :
( 7+½ ) −waktu berlangsung hak gadai
×uang gadai
7
Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah
berlangsung 7 tahun, maka pemegang gadai wajib
mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang

Sahnan, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press, Malang, 2018, hlm. 83.
15

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang


16

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2016, hlm 372.
7

tembusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada


selesai dipanen.
(3) Ketentuan dalam ayat (2) Pasal ini berlaku juga terhadap hak
gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini17.

Akan tetapi, Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun,

berpuluh tahun, bahkan ada pula yang dilanjutkan oleh ahli waris pemberi

gadai dan penerima (pemegang) gadai, karena pemberi gadai tidak mampu

untuk menebus tanahnya kembali.

Berbagai macam peraturan mengenai gadai tanah pertanian dibuat

dengan maksud untuk melindungi kedua belah pihak dari penyimpangan-

penyimpangan yang berujung pada pemerasan. Namun, pada praktikya gadai

tanah pertanian masih banyak yang tidak sesuai dengan ketentuan Hukum

Nasional yang berlaku. Praktik gadai tanah yang ada cenderung lebih

menguntungkan pihak penerima gadai, dikarenakan hasil yang diterima oleh

pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahun umumnya jauh

lebih besar dari pada apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai

yang diterima pemilik tanah.

Praktik gadai tanah yang bersimpangan dengan Hukum Nasional

masih sering terjadi di Indonesia. Salah satunya yaitu yang terjadi di Desa

Peraduan Binjai yang terdapat di Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten

Kepahiang.

Bagi masyarakat di Desa Peraduan Binjai yang terdapat di

Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang yang mayoritas

penduduknya merupakan suku Rejang, sangat mengutamakan sikap saling


17
Laksanto Utomo, Hukum Adat, Rajawali Pers, Depok, 2017, hlm. 42.
8

menolong antar sesama dan karena masih sangat eratnya hubungan

kekeluargaan sehingga sangat mengutamakan tolong menolong bagi yang

membutuhkan. Masyarakat Rejang khususnya di Desa Peraduan Binjai

mengenal sando, sebagai salah satu bentuk tolong menolong apabila ada

seseorang atau kerabatnya sedang kesusahan dalam hal ekonomi.

Jual sando menurut Hukum Adat Rejang adalah penyerahan

barang yang dijual untuk sementara dengan menerima pembayaran tunai;

tetapi si penjual sando berhak menebus barang tersebut, guna

mendapatkan kembali hak miliknya atas barang itu, dengan jalan

mengembalikan uang sebanyak yang diterimanya itu kepada si pembeli

sando18.

Hukum adat mengenai tanah yang berlaku dalam masyarakat suku

bangsa Rejang adalah hukum tanah adat dan hukum perjanjian adat

mengenai tanah, walaupun di samping hukum adat masih ada hukum

kebiasaan, hukum negara dan hukum agama. Hukum tanah adat dan

hukum perjanjian adat mengenai tanah ini diberlakukan untuk semua

orang yang menetap di lokasi penelitian. Hukum tanah adat dan hukum

perjanjian adat mengenai tanah telah ditetapkan oleh nenek-moyang

dahulu dan selalu digunakan sebagai pedoman untuk menyelesaikan

setiap sengketa yang menyangkut tanah antara warga suku-suku bangsa

Rejang19.

18
Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hlm. 184.
19
Andry Harjianto Hartiman, Bunga Rampai Kasus-Kasus Pertanahan di Bengkulu,
Lemlit Unib Press, Bengkulu, 2004, hlm. 143.
9

Jika pada asalnya menurut Hukum Adat Rejang, jual sando

dilakukan terbatas kepada orang sedusun saja, maka dalam perkembangan

selanjutnya berangsur-angsur makin meluas kepada orang-orang semarga

sampai kepada orang-orang Indonesia bukan Suku Bangsa Rejang dan

bukan pula semarga20.

Pada asasnya sande tersebut adalah perjanjian hutang piutang, baik itu

hutang piutang uang (duit) maupun emas. Sebagai jaminan dari pengembalian

uang atau emas tersebut pihak dibetur menyerahkan jaminan berupa benda-

benda tetap, seperti tanah, rumah. Tanah-tanah tersebut dapat berbentuk

sawah, tanah pekarangan, kolam (pauk atau tebat), kebun atau tanah belukar

(belukaqh)21.

Praktiknya sando di Kabupaten Kepahiang khususnya di Desa

Peraduan Binjai, Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang, Provinsi

Bengkulu, penebusan kembali terhadap tanah tersebut oleh pemilik tanah

tidak memiliki batas waktu dan jumlah besaran penebusan sama dengan

jumlah yang dipinjam. Pada pelaksanaan gadai tersebut dilakukan secara

tertulis dengan hanya diketahui oleh Kepala Desa atau Perangkat Desa yang

lain saja serta adanya saksi dari kedua belah pihak yang bersangkutan dan

tidak menurut ketentuan yang berlaku, peralihan hak atas tanah yang

demikian tetap dianggap sah bagi para pihak yang mengadakan perjanjian

peralihan hak atas tanah tersebut, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum

yang tetap.
20
Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hlm. 138.
21
Herawan Sauni, Hukum Agraria (Akses Petani Untuk Menguasai Tanah Pertanian),
Cipta Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 26.
10

Dahulu sando dilakukan dengan menyerahkan sebidang tanah untuk

meminjam emas, namun sekarang sando sudah tidak menggunakan emas

sebagai alat pembayarnya melainkan uang tunai. Pada saat ini sando yang

dilakukan oleh masyarakat Peraduan Binjai yaitu dengan menyerahkan

sebidang tanah kepada pemegang gadai agar pemilik tanah mendapatkan

pinjaman uang, besaran uang dan lamanya waktu pengembalian atau

penebusan tergantung pada kesepakatan masing-masing pihak. Setelah para

pihak telah mencapai kata sepakat maka akan dibuatkan surat keterangan

gadai atau surat perjanjian gadai yang diketahui oleh Kepala Desa atau

perangkat desa yang lainnya serta adanya saksi dari masing-masing pihak.

Hal ini tentu tidak sejalan dengan peraturan yang berlaku.

Meskipun ketentuan jangka waktu dan tata-cara gadai sudah diatur

dalam UU No. 56 Prp Tahun 1960, masyarakat hanya mengerti ketentuan-

ketentuan tentang gadai yang berlaku dalam hukum adat setempat.

Berkaitan dengan masa waktu pengembalian atau penebusan sando

sebagaimana rumusan dalam undang-undang belum berlaku efektif22.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan

mengetahuinya dengan judul “Pelaksanaan Sando Tanah Menurut Hukum

Adat Rejang Di Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten

Kepahiang”.

B. Identifikasi Masalah

22
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm. 166.
11

Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa

permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini yang kemudian

dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan sando tanah di Desa Peraduan Binjai,

Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang?

2. Apa alasan masyarakat Desa Peraduan Binjai, Kecamatan Tebat Karai,

Kabupaten Kepahiang tidak melaksanakan pengembalian sando tanah

berdasarkan Pasal 7 Undang- Undang No.56 Prp Tahun 1960?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan sando tanah di Desa

Peraduan Binjai, Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang.

2. Untuk Mengetahui apa alasan masyarakat Desa Peraduan Binjai,

Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang tidak melaksanakan

pengembalian sando tanah berdasarkan Pasal 7 Undang- Undang

No.56 Prp Tahun 1960.

Diharapkan penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Manfaat Teoritis yang diharapkan adalah dapat memberikan

sumbangan dan ilmu pengetahuan khususnya tentang Sando Tanah di

Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang.

2. Manfaat Praktis
12

Manfaat Praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan

pemahaman tentang Pelaksanaan Sando Tanah di Desa Peraduan

Binjai, Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang.

D. Kerangka Pemikiran

1. Konsep Gadai Tanah Menurut Hukum Adat

a. Pengertian Sando (Gadai Tanah)

Istilah gadai dalam masyarakat adat di Bengkulu dikenal dengan

berbagai sebutan: Sando (suku Serawai, Rejang); di Kabupaten Kaur

pada suku Basemah disebut “sende”. Di beberapa daerah di Nusantara

dikenal dengan istilah jual gadai pada orang Minangkabau; disebut

“manggadai” pada orang jawa; disebut “adol sende” pada orang Sunda;

“ngajual akad” gade, pada orang Batak disebut “dondon atau sindor”23.

Jual sando menurut Hukum Adat Rejang adalah penyerahan

barang yang dijual untuk sementara dengan menerima pembayaran

tunai; tetapi si penjual sando berhak menebus barang tersebut, guna

mendapatkan kembali hak miliknya atas barang itu, dengan jalan

mengembalikan uang sebanyak yang diterimanya itu kepada si

pembeli sando24.

Menurut Hukum Agraria Nasional pengertian hak gadai

tercantum dalam Penjelasan Umum UU No. 56 Prp Tahun 1960

angka 9 a sebagai berikut :

23
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm. 162.
24
Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hlm. 184.
13

Yang dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang


dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang
uang kepadanya. Selama utang tersebut belum dibayar lunas
maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang
meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selama itu hasil
tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan
demikian merupakan bunga dari utang tersebut25.

Adapun pengertian gadai menurut para sarjana salah satunya

yaitu oleh menurut Boedi Harsono, gadai adalah hubungan hukum

antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah

menerima uang gadai dari padanya. Selama uang gadai belum

dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”. Selama

itu hak tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian

uang gadai atau lazim disebut “penebusan”, tergantung pada kemauan

dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan. Banyak gadai yang

berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun karena

pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan26.

Istilah gadai tanah ini sebenarnya berasal dari VanVollenhoven.

Hal ini dikemukakan oleh Ter Har Bzn sebagai berikut : “Perjanjian

yang menyebabkan bahwa tanahnya diserahkan untuk menerima tunai

sejumlah uang, dengan permufakatan bahwa si penyerah akan berhak

mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan jalan membayarkan

sejumlah uang yang sama, maka perjanjian (transaksi) sedemikian itu

25
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 85.
26
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm.163.
14

oleh Van Vollenhoven dengan konsekuensi dinamakan gadai tanah

(sawah) [grond (-sawah) –Verpanding]”.

Dengan demikian berarti selama hutang tersebut belum lunas,

maka tanah tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang

(pemegang gadai) dan selama itu pula hasil tanah seluruhnya menjadi

hak pemegang gadai yang dengan demikian merupakan bunga dari

hutang itu27.

Dalam gadai tanah, tanah objek gadai juga harus dialihkan

kekuasaannya kepada kreditor. Dalam konteks ini, pihak kreditor

dapat memungut hasil atas tanah tersebut. Bahkan dalam sistem

gadai tanah menurut hukum adat, hasil yang dipungut dari tanah

tersebut merupakan prestasi atau imbalan jasa bagi kreditor, karena

gadai tanah umumnya tidak berbunga seperti bunga bank28.

Quesnay menjelaskan bahwa tanah dianggap sebagai satu-satunya

sumber untuk mendapatkan pendapatan dan kekayaan, dan sektor

pertanian merupakan kegiatan produktif, tanah juga diyakini

mengandung kemampuan untuk menghasilkan produksi dalam jumlah

dan mutu yang melebihi (menciptakan surplus) bahan mentah dan

peralatan yang digunakan dalam menghasilkan produk bersih29.

Penguasaan tanah oleh negara dimaknakan sebagai

kewenangan negara untuk mengatur peruntukan dan penggunaan

27
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 52.
28
Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2013, hlm. 153
29
Sumitro, Konsep Pertanahan Nasional, Alfabeta, Bandung, 2001, hlm. 62, dikutip dari
Laksanto Utomo, Hukum Adat, Rajawali Pers, Depok, 2017, hlm. 31.
15

dari tanah tersebut, sehingga dapat memberikan manfaat yang

sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat banyak.

Penguasaan tanah oleh masyarakat ukum adat dimaknakan sebagai

kekuasaan atau kewenangan untuk menempati dan menggunakan

tanah yang berasal dari hak-hak adat. Sementara itu, penguasaan

tanah oleh individu atau badan hukum adalah erat kaitannya dengan

pemberian hak atau kewenangan kepada orang atau badan hukum

untuk memanfaatkan dan menggunakan tanah tersebut untuk

kepentingannya30.

b. Dasar Hukum Hak Gadai

Hak gadai tanah pertanian dan juga tanah bangunan semula

diatur oleh hukum adat. Namun setelah berlakunya UUPA, maka hak

gadai tersebut dalam Pasal 53 dihubungkan dengan Pasal 52 ayat 2;

yang menentukan bahwa sebagai hak yang sifatnya sementara hak itu

harus diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan

UUPA31.

Pengaturan tentang gadai tanah tersebut dikemukakan pada

ketentuan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Seperti dalam

Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun

1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian :


30
Arba, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hlm. 10
31
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 87.
16

(1) Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang
pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7
tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada
pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai di panen, dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tembusan.
(2) Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini
belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak
untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang
ada selesai di panen, dengan membayar uang tembusan yang
besarnya dihitung menurut rumus :
( 7+½ ) −waktu berlangsung hak gadai
×uang gadai
7
Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah
berlangsung 7 tahun, maka pemegang gadai wajib
mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang
tembusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai dipanen.
(3) Ketentuan dalam ayat (2) Pasal ini berlaku juga terhadap hak
gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini32.
c. Timbulnya Hak Gadai

Pada dasarnya timbulnya hak gadai ini disebabkan oleh karena

kebutuhan seseorang akan uang yang tidak dapat ditunda, sehingga

apabila tidak dapat memperoleh pinjaman uang, maka dilakukanlah

transaksi ini. Transaksi ini mulai terjadi pada waktu si pemilik tanah

sudah menerima uang tunai dan sebagai gantinya maka diserahkanlah

tanahnya kepada pihak pemeberi uang yang kemudian disebut

pemegang gadai.

Mengenai besarnya uang gadai tidak saja tergantung pada

kesuburan tanahnya saja,akan tetapi terutama pada kebutuhan

penggadai akan kredit. Oleh karena itu tidak jarang tanah yang subur

digadaikan dengan uang gadai yang rendah. Berhubung dengan hal


32
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian.
17

tersebut di atas, maka kebanyakan gadai itu diadakan dengan imbangan

yang sangat merugikan penggadai dan amat menguntungkan pihak

pelepas uang33.

d. Para Pihak Dalam Gadai Tanah

Dalam gadai tanah terdapat dua (2) pihak, yaitu pihak pemilik

tanah pertanian disebut pemberi gadai dan pihak yang menyerahkan

uang kepada pemberi gadai disebut penerima (pemegang) gadai.

Pada umumnya, pemberi gadai berasa dari golongan masyarakat

yang berpenghasilan rendah, sebaliknya penerima (pemegang) gadai

berasal dari golongan masyarakat yang mampu.

e. Jangka Waktu Hak Gadai

Dalam praktikya jangka waktu hak gadai, menurut Urip

Santoso, dapat dibagi dua yaitu:

1) Hak gadai yang lamanya tidak ditentukan jangka waktu;

2) Hak gadai yang lama jangka waktunya telah ditentukan34.

f. Ciri-ciri Hak Gadai Tanah

Menurut Boedi Harsono, sifat-sifat dan ciri-ciri Hak Gadai

(Gadai Tanah), adalah sebagai berikut:

1) Hak Gadai (Gadai Tanah) jangka waktunya terbatas, artinya

pada suatu waktu akan hapus. Hak Gadai (Gadai Tanah)

berakhir kalau dilakukan penebusan oleh yang menggadaikan.

Penebusan kembali tanah yang digadaikan tergantung pada


33
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 54.
34
Sahnan, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press, Malang, 2018, hlm. 100.
18

kemauan dan kemampuan pemiliknya, artinya ia tidak dapat

dipaksa untuk menebusnya. Hak untuk menebus itu tidak

hilang karena lampaunya waktu atau meninggalnya si pemilik

tanah. Jika pemilik tanah meninggal dunia hak untuk menebus

beralih kepada ahli warisnya;

2) Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak berakhir dengan meninggalnya

pemegang gadai. Jika peegang gadai meninggal dunia, maka

hak tersebut berpindah kepada ahli warisnya;

3) Hak Gadai (Gadai Tanah) dapat dibebani dengan hak-hak

tanah yang lain. Pemegang gadai berwenang untuk

menyewakan atau membagihasilkan tanahnya kepada pihak

lain. Pihak lain itu bisa pihak ketiga, tetapi bisa juga pemilik

tanah sendiri. Pemegang gadai bahkan berwenang juga untuk

menggadaikan tanahnya itu kepada pihak ketiga tanpa perlu

meminta izin atau memberitahukannya kepada pemilik tanah

(menggadaikan atau Onderverpanden). Perbuatan ini tidak

mengakibatkan terputusnya hubungan gadai dengan pemilik

tanah. Dengan demikian, tanah yang bersangkutan terikt pada

hubungan gadai;

4) Hak Gadai (Gadai Tanah) dean persetujuan pemilik tanahnya

dapat “dialihkan” kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa

hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan


19

dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dan pihak

ketiga itu (memindahkan gadai atau doorverpanden);

5) Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas

tanahnya dialihkan kepada pihak lain;

6) Selama Hak Gadai (Gadai Tanah)nya berlangsug maka atas

persetujuan edua belah pihak uang gadainya dapat ditambah

(mendalami gadai);

7) Sebagai lembaga, Hak Gadai (Gadai Tanah) pada waktunya

akan dihapus35.

g. Hapusnya Hak Gadai

Hapusnya hak gadai tanah dapat disebaban yaitu :

1) Tanah gadai telah ditebus oleh penjual gadai

2) Hak gadai telah berlangsung 7 tahun atau lebih

3) Adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pemegang

(pembeli) gadai menjadi pemilik atas tanah yang digadaikan

karena pemilik tanah (penjual gadai) tidak mampu untuk

menebus dalam jangka waktu yang telah disepakati oleh kedua

belah pihak dalam gadai tanah

4) Tanahnya dicabut untuk kepentingan umum

5) Tanahnya musnah36.

h. Hukum Adat
35
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm. 165.
36
Sahnan, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press, Malang, 2018, hlm. 102.
20

Kata adat yang berasal dari bahasa Arab, diartikan sebagai

kebiasaan, baik untuk menyebut kebiasaan yang buruk (adat

jahiliah) maupun bagi kebiasaan yang baik (adat islamiah).

Bahasa Indonesia mengartikan adat hanya bagi kebiasaan-

kebiasaan yang baik saja, sehingga seseorang yang melakukan

kebiasaan yang baik disebut orang yang beradat atau tahu di adat.

Sebaliknya orang yang melakukan kebiasaan yang buruk, dikatakan

sebagai orang yang tidak beradat atau tidak tahu adat37.

Sedangkan menurut hukum adat diartikan sebagai komplek

adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan

bersifat paksaan, mempunyai sanksi dan mempunyai akibat

hukum38.

Fauzie Ridwan mengomentari bangunan hukum adat tanah di

Indonesia, bahwa hukum adat tentang tanah di Indonesia sebagai

“kesatuan dalam keanekaragaman”. Hukum adat tanah pada

pokoknya tidak terlepas dari tata susunan hukum keluarga adat serta

hukum tatanegara adat di dalam suatu persekutuan hukum adat,

sehingga susunan dan coraknya relatif bervariasi untuk beberapa

wilayah persekutuan hukum adat.

Terdapat hak-hak atas tanah, yaitu hak persekutuan/komunal

atas tanah dan hak-hak perorangan atas tanah.

1) Hak Persekutuan/Komunal Atas Tanah


37
Andry Harijanto Hartiman, dkk, Bahan Ajar Hukum Adat, (Departemen Pendidikan
Nasional Universitas Bengkulu Fakultas Hukum 2018), hlm. 8.
38
Ibid, hlm. 10.
21

Di beberapa daerah hak persekutuan ini tidak serupa lagi

akibat adanya pengaruh dalam pandangan hidup anggota-

anggota persekutuan hukum itu atau pengaruh-pengaruh

ketatanegaraan, sehingga keduanya saling berpengaruh

mengembang dan mengempis antara hak ulayat dengan hak-hak

perorangan atas tanah. Sehingga jika di suatu tempat hak ulayat

lemah maka hak-hak perorangan berkembang pesat, dan jika

hak ulayat masih kuat maka hak perorangan sulit berkembang.

2) Hak-hak Perorangan Atas Tanah

Hak perorangan atas tanah adalah suatu hak yang

diberikan kepada warga persekutuan ataupun orang luar

persekutuan atau sebidang tanah yang berada di wilayah hak

ulayat persekutuan hukum yang bersangkutan. Identitas hak

perorangan di berbagai persekutuan hukum tidak sama, dan

sangat dipengaruhi oleh pengaruh timbal balik dengan hak

ulayat setempat39.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan hasil karya penulis sendiri.Sumber-sumber,

baik yang dikutip maupun yang di rujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

Berdasarkan informasi yang ada, hasil pencarian/penelusuran yang berasal

dari internet maupun hasil penelitian lain dalam bentuk jurnal , makalah,

karya ilmiah, maupun skripsi dalam penelurusan kepustakaan di Fakultas

39
Ibid, hlm. 115.
22

Hukum Universitas Bengkulu maupun Universitas Lainnya dan website,

belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul : “Pelaksanaan Gadai Tanah

Menurut Hukum Adat Rejang Di Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat

Karai Kabupaten Kepahiang”.

Tabel 1. Keaslian Penelitian

NO PENULIS JUDUL SKRIPSI PERMASALAHAN

1 Gaung Analisis Yuridis Gadai 1. Apakah pelaksanaan

Aydakarina Tanah Pertanian Di Desa gadai tanah di Desa

Chusnul Sukamakmur Kecamatan Sukamakmur sudah

Hotimah Ajung Kabupaten Jember. sesuai dengan

(Fakultas peraturan gadai tanah

Hukum, di Indonesia?

Universitas 2. Bagaimana akibat

Jember: 2019) hukum pelaksanaan

gadai tanah tanpa batas

waktu berkaitan dengan

Pasal 7 Undang-

Undang No. 56 Prp

Tahun 1960?
2 Desi Septiana Pelaksanaan Perjanjian 1. Apakah alasan yang

(Fakultas Gadai Tanah Pertanian mempengaruhi

Hukum, Menurut Hukum Adat masyarakat Desa

Universitas (Studi Di Desa Simpang Simpang Agung

Lampung: Agung Kecamatan Kecamatan Seputih


23

2016) Seputih Agung Agung Lampung

Kabupaten Lampung Tengah menggadaikan

Tengah) tanah pertaniannya?

2. Bagaimana tata cara

pelaksanaan perjanjian

gadai tanah pertanian

menurut hukum adat di

Desa Simpang Agung

Kecamatan Seputih

Agung Lampung

Tengah?

3. Bagaimana upaya

penyelesaian terjadinya

wanpestasi pada

pelaksanaan perjanjian

gadai tanah pertanian

di Desa Simpang

Agung Kecamatan

Seputih Agung

Lampung Tengah?

Perbedaan karya ilmiah penulis dengan karya ilmiah yang tercantum di tabel

keaslian penelitian di atas yaitu:


24

1. Yang pertama mengkaji tentang Analisis Yuridis Gadai Tanah Pertanian

Di Desa Sukamakmur Kecamatan Ajung Kabupaten Jember. Dalam

penulisan ini lokasi penelitiannya di Desa Sukamakmur Kecamatan

Ajung Kabupaten Jember. Adapun hasil penelitiannya:

a. Pelaksanaan gadai tanah pertanian pada masyarakat Desa

Sukamakmur Kecamatan Ajung Kabupaten Jember ini terdapat

beberapa hal yang tidak sejalan dengan gadai tanah pertanian yang

diatur didalam Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian khususnya pada Pasal 7. Kepala

Desa di Desa Sukamakmur Kecamatan Ajung Kabupaten Jember

memiliki peran penting dalam penyelesaian masalah gadai tanah

pertanian ini secara kekeluargaan.

b. Masalah yang timbul di Desa Sukamakmur belum pernah

diselesaikan dengan jalur litigasi atau peradilan, melainkan

diselesaikan dengan cara non-litigasi atau kekeluargaan atau

musyawarah mufakat antara para pihak yang bersangkutan dengan

didampingi oleh Kepala Desa.

2. Yang kedua mengkaji tentang Pelaksanaan Perjanjian Gadai Tanah

Pertanian Menurut Hukum Adat (Studi Di Desa Simpang Agung

Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah). Dalam

penulisan ini lokasi penelitiannya di Desa Simpang Agung Kecamatan

Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah. Adapun hasil

penelitiannya:
25

a. Alasan yang mempengaruhi masyarakat Desa Simpang Agung

melakukan gadai tanah pertanian yaitu dari pihak pemberi gadai,

melakukan gadai tanah pertanian karena kebutuhan ekonomi yang

mendesak serta beberapa kebutuhan lain dari pihak penerima gadai,

mereka melakukan gadai tanah pertanian karena menguntungkan

dan alasan ingin membantu orang lain yaitu pemberi gadai.

b. Tata cara dan pelaksanaan gadai tanah pertanian di Desa Simpang

Agung memiliki beberapa syarat untuk pelaksanaannya, yaitu

kesepakatan para pihak pelaku gadai, cakap, ada objek gadai dan

sebab yang halal. Setelah persyaratan terpenuhi maka kesepakatan

dibentuk dan disetujui para oleh pihak dan gadai tanah pertanian

dapat dilaksanakan.

c. Wanpretasi lebih banyak dilakukan oleh pemberi gadai dan penerima

gadai belum pernah ditemukan telah melakukan wanpretasi.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian hukum empiris. Dalam penelitian hukum empiris, hukum

dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam

kehidupan nyata. Dalam hal ini hukum tidak semata-mata dikonsepkan

sebagai gejala normatif yang mandiri (otonom), sebagai ius

constituendum dan ius constitutum, tetapi secara empiris sebagai ius


26

operatum yaitu hukum sebagai apa yang ada dalam masyarakat (law as

what it is in society)40.

Sifat dalam penelitian hukum empiris ini adalah deskriptif,

Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti

mungkin tentang manusia, atau gejala-gejala lainnya serta mendapatkan

saran-saran dan kesimpulan berkaitan dengan masalah di dalam

penelitian. Maka penelitian deskriptif merupakan penelitian yang

berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi

untuk menjelaskan tentang Pelaksanaan Gadai Tanah Menurut Hukum

Adat Rejang Di Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai

Kabupaten Kepahiang.

2. Pendekatan Penelitian

Menjelaskan tentang pendekatan penelitian yang digunakan dan

memberikan alasan mengapa pendekata tersebut digunakan oleh peneliti.

Penelitian hukum empiris atau sosiologis, menurut Soetandyo

Wignyosoebroto, merupakan jenis penelitian dengan pendekatan non

doktrinal yaitu penelitian berupa studi-studi empiris untuk menemukan

teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya.

Dalam penelitian ini penlis menggunakan pendekatan hukum

empiris atau sosiologis yang merupakan studi hukum dalam

aksi/tindakan (Law in action), karena penelitian jenis ini menyangkut

40
Iskandar, Herawan Sauni, Dkk, Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum
(S1), Bengkulu, 2018, hlm. 40.
27

hubungan timbal balik antara hukum dan lembaga-lembaga sosial lainnya

dalam masyarakat41.

3. Populasi dan Responden

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek penelitian

dengan ciri yang sama. Dalam pelaksanaan penelitian pada umumnya

tidak dilakukan terhadap seluruh obyek atau populasi penelitian, tetapi

hanya menggunakan sebagian dari keseluruhan obyek penelitian yang

disebut sampel42.

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Desa

Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang,

baik yang pernah menjadi pemberi gadai dan penerima gadai

serta seluruh pihak yang berkompeten dalam penelitian ini.

b. Responden

Teknik penentuan responden dalam penelitian ini adalah

Snowball Sampling, teknik penarikan sampel berdasarkan

rekomendasi atau penunjukan dari sampel sebelumnya. Sampel

pertama yang diteliti ditentukan sendiri oleh peneliti dengan mencari

key informan (informasi kunci) atau responden kunci yang dianggap

mengetahui tentang penelitian yang dilakukan43. Responden yang

ditentukan dalam penelitian ini yaitu Kepala Desa dan Ketua Adat
41
Iskandar, Herawan Sauni, Dkk, Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum
(S1), Bengkulu, 2018, hlm. 41.
42
Iskandar, Herawan Sauni, Dkk, Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum
(S1), Bengkulu, 2018, hlm. 42
43
Ibid, hlm. 43
28

serta empat orang masyarakat Desa Peraduan Binjai Kecamatan

Tebat Karai Kabupaten Kepahiang yang pernah melakukan sando

tanah, pemberi gadai dan penerima (pemegang) gadai.

4. Data dan Sumber data

Dalam penelitian hukum empiris terdapat dua jenis data yaitu data

primer dan data sekunder44.

a. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan

yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama di

lapangan baik dari responden maupun informan.

b. Data sekunder adalah jenis data yang bersumber dari penelitian

kepustakaan, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari

sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah

terdokumentasikan dalam bentuk bahan-bahan hukum maupun

bahan-bahan non hukum. Data sekunder dari penelitian ini adalah

referensi seperti buku, jurnal, skripsi dan referensi yang lainnya yang

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

5. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data yang dilakukan yaitu

dengan metode :

44
Ibid, hlm. 44.
29

a. Studi Dokumen

Studi dokumen dilakukan terhadap bahan-bahan hukum

yang relevan dengan permasalahan penelitian. Dalam

penelitian ini bahan-bahan hukum tersebut diperoleh dengan

cara mempelajari buku-buku yang relevan , KUH Perdata,

Undang-Undang, literatur-literatur dan tulisan-tulisan lain

yang berkaitan dengan penelitian.

b. Wawacancara

Prosedur pengumpulan data penelitian ini adalah dengan cara

wawancara. Wawancara sebagai salah satu teknik dalam penelitian

bertujuan untuk mengumpulkan keterangan atau data 45. Wawancara

merupakan metode pengumpulan data untuk mendapatkan informasi

secara verbal. Wawancara merupakan salah satu bentuk teknik

pengumpulan data dalam metode survei melalui daftar pertanyaan

yang diajukan secara lisan terhadap responden.

Teknik dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan kepada

responden untuk mendapat jawaban yang sesuai dengan kebutuhan

permasalahan penelitian46. Responden yang ditentukan dalam

penelitian ini yaitu Kepala Desa dan Ketua Adat serta empat orang

masyarakat Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai

Kabupaten Kepahiang yang pernah melakukan sando tanah,

pemberi gadai dan penerima (pemegang) gadai.


45
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Penerbit Ind-
Hill Co, 1990, hlm. 115
46
Ibid, hlm. 45
30

6. Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan proses penelitian di mana data yang

telah terkumpul diolah. Dalam penelitian ini menggunakan pengolahan

data yaitu dengan Pemeriksaan Data (Editing), yaitu pembenaran apakah

data yang terkumpul melalui studi pustaka, dokumen, wawancara, dan

observasi sudah dianggap cukup, lengkap, relevan, jelas, tidak

berlebihan, dan tanpa kesalahan.

7. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

data kualitatif, yakni menguraikan dalam bentuk kalimat yang baik dan

benar, sehingga mudah dibaca dan diberi arti (interpretasi).

Analisis data yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan data

untuk memberikan gambaran mengenai Pelaksanaan Sando Tanah

Menurut Hukum Adat Rejang Di Desa Peraduan Binjai Kecamatan

Tebat Karai Kabupaten Kepahiang.


31
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjuan Umum Hukum Adat

1. Istilah Hukum Adat

Kata adat yang berasal dari bahasa Arab, diartikan sebagai

kebiasaan, baik untuk menyebut kebiasaan yang buruk (adat jahiliah)

maupun bagi kebiasaan yang baik (adat islamiah). Setelah istilah adat

yang berasal dari bahasa Arab ini diambil alih oleh bahasa Indonesia dan

dianggap sebagai bahasanya sendiri, maka pengertian adat dalam bahasa

Indonesia menjadi berbeda.

Bahasa Indonesia mengartikan adat hanya bagi kebiasaan-

kebiasaan yang baik saja, sehingga seseorang yang melakukan kebiasaan

yang baik disebut orang yang beradat atau tahu di adat. Sebaliknya

orang yang melakukan kebiasaan yang buruk, dikatakan sebagai orang

yang tidak beradat atau tidak tahu adat.

Istilah atau sebutan hukum adat itu sendiri tidak begitu populer di

kalangan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia pada umumnya,

memisahkan serta membedakan pengertian hukum dengan pengertian

adat. Hukum pada umumnya mereka anggap suatu ketentuan yang

datangnya dari luar masyarakat itu sendiri, dari penguasa,pemerintah

atau berdasarkan agama. Adat adalah ketentuan-ketentuan yang timbul

serta tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri yang mereka taati selaku

hukum.
33

Istilah atau sebutan hukum adat adalah :

a. Merupakan suatu nama yang diciptakan oleh orang asing (Snouch

Hurgronje), bukan suatu sebutan yang diberikan langsung oleh

bangsa Indonesia sendiri.

b. Merupakan gabungan dari kata asing adat (Arab) dengan kata recht

(Belanda), sehingga tercipta istilah adatrecht yang akhirnya

digunakan secara teknis juridis menjadi hukum adat.

c. Istilah asing ciptaan orang Belanda tersebut kemudian digunakan dan

dimaksudkan untuk menyebut suatu sistem hukum yang hidup dan

berlaku bagi bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda dan

justru istilah tersebut menjadi cukup dikenal di lingkungan

akademis hingga sekarang.

d. Menurut Van Dijk, perkataan hukum adat merupakan istilah yang

tepat untuk menyebut hukum rakyat Indonesia47.

2. Pengertian Hukum Adat

Definisi hukum adat menurut para sarjana adalah sebagai berikut :

Van Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan

aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi oleh

karena itu disebut hukum dan di pihak lain dalam keadaan tidak

dikodifikasikan oleh karena itu disebut adat.

Definisi dari Hukum Adat menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma

adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan

47
Andry Harijanto Hartiman, dkk, Bahan Ajar Hukum Adat, (Departemen Pendidikan
Nasional Universitas Bengkulu Fakultas Hukum 2018), hlm.8
34

manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya

dan anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan dibawa

dalam bermasyarakat dan negara48.

Pengertian hukum adat sebagaimana yang disampaikan Ter Haar

dalam Pidato Dies Natalies Rechtshogeschool, Batavia 1937, yang

berjudul Het Adat recht van Nederlandsch Indie in wetenschap, pracktijk

en onderwijs, menurutnya hukum adat adalah seluruh peraturan yang

ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh wibawa yang

dalam pelaksanaannya “diterapkan begitu saja”, artinya tanpa adanya

keseluruhan peraturan yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat

sama sekali.

Definisi Ter Haar tersebut kemudian dikenal dengan nama

beslissingenleer. Menurut ajaran ini, hukum adat dengan mengabaikan

bagian-bagiannya yang tertulis (terdiri dari peraturan-peraturan desa,

surat-surat perintah raja) merupakan keseluruhan peraturan-peraturan

yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum

(dalam arti luas). Keputusan tersebut diyakini memiliki kekuatan

“wibawa” (macht) serta pengaruh (invloed) yang dalam pelaksanaannya

berlaku dengan serta merta (spontan) dan tak seorang pun yang berani

membangkang.

Soekanto dalam bukunya Meninjau Hukum Adat Indonesia,

mengemukakan bahwa “kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan

tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi (ongecodiceerd) dan bersifat paksaan


48
Rosdalina, Hukum Adat, Deepublish, Yogyakarta: 2017, hlm. 33
35

(dwang), mempunyai sanksi (dari hukum itu), jadi mempunyai akibat

hukum (rechtgevolgi), kompleks ini disebut hukum adat.

Dengan demikian, hukum adat itu merupakan keseluruhan adat

(yang tidak tertulis) dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan,

kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum49.

3. Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat merupakan suatu komponen yang pasti ada pada

sebuah negara. Indonesia merupakan sebuah negara yang besar, sehingga

bermacam-macam pula jenis masyarakat yang ada. Masyarakat terdapat

yang sudah mulai memiliki kehidupan yang lebih modern dan ada pula

yang masih tetap bertahan pada kesederhanaannya dengan adat yang ada.

Masyarakat adat sendiri merupakan suatu kesatuan masyarakat bersifat

otonom, yaitu mereka mengatur system kehidupannya (hukum, politik,

ekonomi, dsb). Ia lahir dari, berkembang bersama, dan dijaga oleh

masyarakat itu sendiri50.

Masyarakat hukum adalah kelompok-kelompok masyarakat yang

tetap dan teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri baik yang

berujud maupun tidak berwujud. Bentuk dan susunan masyarakat hukum

yang merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat

oleh faktor yang bisa bersifat territorial ataupun genealogis51.

49
Suriyaman Mastari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, Kencana,
Jakarta : 2017, hlm. 4-5
50
Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal (Revitalisasi Hukum Adat Indonesia),
Jakarta: Grasindo, 2010, hlm. 13
51
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: 2003, hlm. 105
36

Masyarakat hukum adat memiliki beberapa bentuk, yaitu52:

a. Masyarakat Hukum Territorial

Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum adat di

zaman Hindia Belanda, yang dimaksud masyarakat atau persekutuan

hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur,

yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah

kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat

kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan

terhadap roh-roh leluhur.

b. Masyarakat Hukum Genealogis

Masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat genealogis adalah

suatu kesatuan masyarakat yang teratur, dimana para anggotanya

terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik

secara langsung karena hubungan darah (keturunan) atau secara

tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat.

Berdasarkan para ahli hukum adat dimasa Hindia Belanda

masyarakat yang genealogis itu dapat dibedakan dalam tiga macam,

yaitu yang bersifat patrilineal, matrilineal dan bilateral atau parental.

c. Masyarakat Territorial-Genealogis

Masyarakat hukum yang territorial-genelogis adalah kesatuan

masyarakat yang tetap dan teratur dimana para anggotanya bukan

saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu tetapi

juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah


52
Ibid, hlm. 105
37

dan atau kekerabatan.

d. Masyarakat Adat Keagaaman

Beberapa di antara masyarakat adat, terdapat kesatuan masyarakat

adat yang khusus bersifat keagamaan dibeberapa daerah tertentu.

Terdapat kesatuan masyarakat adat keagamaan menurut kepercayaan

lama, kesatuan masyarakat yang khusus beragama Hindu, Islam,

Kristen, Katolik dan ada yang sifatnya campuran.

e. Masyarakat Adat di Perantauan

Perpindahan ketempat yang lebih baik agar mendapat pekerjaan

yang layak menjadi salah satu cara yang bisa ditempuh. Banyaknya

jumlah penduduk yang melakukan perpindahan membuat

masyarakat harus mampu berbaur dengan penduduk asli daerah

tempat mereka dipindahkan. Seiring berjalannya waktu, karena

percampuran masyarakat ini membuat budaya yang ada juga ikut

menyesuaikan dengan keadaan masyarakat yang mulai beragam

adatnya.

f. Masyarakat Adat Lainnya

Selain dari adanya kesatuan-kesatuan masyarakat adat di perantauan

yang anggota-anggotanya terikat satu sama lain karena berasal sari

satu daerah yang sama, di dalam kehidupan masyarakat kita jumpai

pula bentuk-bentuk kumpulan organisasi yang ikatan anggota-

anggotanya didasarkan pada ikatan kekaryaan sejenis yang tidak

berdasarkan pada hukum adat yang sama atau daerah asal yang
38

sama, melainkan pada rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri dari

berbagai suku bangsa dan berbeda agama.

4. Sifat Hukum Tanah Adat

Fauzie Ridwan (1982) mengomentari bangunan hukum adat tanah

di Indonesia, bahwa hukum adat tentang tanah di Indonesia sebagai

“kesatuan dalam keanekaragaman”. Hukum adat tanah pada pokoknya

tidak terlepas dari tata susunan hukum keluarga adat serta hukum

tatanegara adat di dalam suatu persekutuan hukum adat, sehingga

susunan dan coraknya relatif bervariasi untuk beberapa wilayah

persekutuan hukum adat53.

5. Hak-hak Atas Tanah

a. Hak Persekutuan atau Komunal Atas Tanah

Di dalam literatur disebut juga hak ulayat, hak purba, hak

pertuanan atau beschikkingrecht. Hak purba (Iman Sudiyat, 1978)

adalah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan, gens, stam), sebuah

serikat desa-desa (dorpenbond), atau biasanya oleh sebuah desa saja

untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan

wilayahnya sebagai hak tertinggi.

Di beberapa daerah persekutuan ini tidak serupa lagi akibat

adanya pengaruh dalam pandangan hidup anggota-anggota

persekutuan hukum itu atau pengaruh-pengaruh ketatanegaraan,

sehingga keduanya saling berpengaruh mengembang dan

53
Andry Harijanto Hartiman, d kk, Bahan Ajar Hukum Adat, (Departemen Pendidikan
Nasional Universitas Bengkulu Fakultas Hukum 2018), hlm. 114
39

mengempis antara hak ulayat dengan hak-hak perorangan atas tanah.

Sehingga jika di suatu tempat hak ulayat lemah maka hak-hak

perorangan berkembang pesat, dan jika hak ulayat masih kuat maka

hak perorangan sulit berkembang.

Ciri-ciri hak ulayat ke dalam :

1) Anggota persekutuan mempunyai hak tertentu atas obyek hak

ulayat (membuka tanah,memungut hasil, berburu dan melepas

ternak).

2) Jika penggarap atas tanah ulayat pergi, meninggal tanpa ahli

waris atau tanda-tanda tanah hilang maka tanah kembali

menjadi hak ulayat.

3) Persekutuan menyediakan tanah untuk keperluan persekutuan,

misalnya : untu kuburan, untuk tanah jabatan atau lainnya.

4) Kepala persekutuan bertindak sebangai pengatur dan

mengetahui setiap terjadi transaksi tanah di dalam wilayah hak

ulayat.

Ciri-ciri hak ulayat ke luar :

1) Melarang orang luar membeli atau memegang gadai tanah pada

wilayah hak ulayat.

2) Orang luar boleh memungut hasil dengan ijin penguasa dengan

membayar rekognisi/upeti, dan tanpa ijin merupakan

pelanggaran.

3) Persekutuan bertanggung jawab atas terjadinya delik yang


40

terjadi di wilayahnya.

b. Hak-hak Perorangan Atas Tanah

Hak perorangan atas tanah adalah suatu hak yang diberikan

kepada warga persekutuan atas sebidang tanah yang berada di

wilayah hak ulayat persekutuan hukum yang bersangkutan. Identitas

hak perorangan di berbagai persekutuan hukum tidak sama, dan

sangat dipengaruhi oleh pengaruh timbal balik dengan hak ulayat

setempat.

Adapun jenis-jenis hak perorangan adalah :

1) Hak Milik

Hak milik merupakan hak terkuat di antara hak-hak perorangan

dan pemilik tanah berhak penuh atas tanah tersebut dengan

memperhatikan hak purba persekutuan hukumnya, kepentingan

para pemilik tanah lainnya dan ketentuan hukum adat setempat.

Hak milik dapat diperoleh melalui :

a) Dengan membuka hutan, mengelola secara kontinu,

menanami pohon-pohon, tanaman tahunan, dijadikan

persawahan, lambat laun menjadi pemilik.

b) Warisan/hibah dari hak milik orang tuanya.

c) Pembagian dari peguyuban hidup, jika ada pemilik tanha

pergi atau meninggal tanpa ahli waris.

d) Pembelian dari pemegang hak milik tanah, penghibahan,

tukar menukar, dengan kesaksian kepala persekutuan agar


41

keadaannya menjadi “terang”.

e) Daluarsa, yaitu menguasai tanah dalam waktu yang cukup

lama tanpa adanya tegoran atau peringatan dari siapapun.

2) Hak Memungut Hasil

Dengan membuka tanah dan menanami maka yang

bersangkutan berhak untuk menikmati hasilnya.

3) Hak Wenang Pilih

Seorang warga yang telah membuka tanah dan mengerjakannya,

baginya dapat memilih untuk terus mengerjakan dan menjadi

hak milik atau mengembalikan kepada persekutuan atau

menyerahkan kepada warga yang lain.

4) Hak Wenang Beli

Seorang mempunyai hak didahulukan untuk membeli sebidang

tanah yang berbatasan atau karena ia pemilik sebelumnya.

5) Hak Keuntungan Jabatan

Yaitu hak memungut hasil pleh pamong-pamong atas tanah

yang telah disediakan oleh persekutuan sebagai balas budi atau

gaji atas tugasnya terhadap persekutuan.

6) Hak Pakai

Yaitu hak memakai tanah famili atau tanah orang lain dengan

seijin pemiliknya atau tanah persekutuan dengan ijin kepala

persekutuan54.

6. Transaksi Tanah
54
Ibid, hlm. 114-116
42

Transaksi tanah merupakan perjanjian timbal balik dan perbuatan

tunai, yaitu perpindahan hak atas tanah dengan pembayarannya serentak

terjadi. Saat perpindahan hak ini terjadi di hadapan kepala persekutuan

agar “terang”, ketika pemilik tanah mengucapkan maksudnya serta

menerangkan tela menerima pembayarannya.

Transaksi tanah, umunya digunakan istilah jual, yang meliputi :

a. Jual Lepas

Yaitu menyerahkan tanah selama-lamanya untuk menerima

pembayaran sejumlah uang secara tunai. Dalam perkembangannya

terdapat kebiasaan transaksi ini dibuat secara tertulis ditandatangani

penjual dan pembeli, saksi-saksi dan diketahui kepala persekutuan.

b. Jual Gadai

Yaitu menyerahkan tanah kepada orang lain dengan pembayaran

sejumlah uang secara tunai dengan perjanjian, bahwa penjual gadai

berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebus kembali.

c. Jual Tahunan atau Oyodan

Yaitu menyerahkan tanah kepada orang lain dengan pembayaran

sejumlah uang secara tunai, dengan perjanjian tanpa suatu perbuatan

hukum lagi tanah kembali dengan sendirinya kepada pemilik,

setelah beberapa tahun, beberapa kali panen, menurut perjanjian55.

7. Transaksi yang Bersangkutan dengan Tanah

Dalam transaksi yang bersangkutan dengan tanah ini, obyeknya

55
Ibidi, hlm. 116
43

bukanlah tanah itu sendiri, tetapi tanah hanyalah sebagai hal yang

tersangkut. Adapun bentuknya adalah :

a. Bagi Hasil (Maro atau Belah Pinang)

Yaitu suatu perjanjian bahwa si pemilik tanah memperbolehkan

orang lain mengerjakan tanahnya, tetapi hasilnya nanti akan dibagi

antara para pihak. Obyek transaksi bagi hasil ini adalah tenaga kerja

dan hasil tanaman. Tentang berapa perbandingan hasilnya dan siapa

penanggung bibit, pupuk dan sebagainya tergantung isi perjanjian.

b. Sewa

Yaitu pemilik tanah membolehkan orang lain mengusahakan

tanahnya atau tinggal di atas tanahnya dengan pembayaran uang

sewa di belakang tiap bulan, tiap tahun atau tiap habis panen.

Obyeknya adalah pemanfaatan tanah dan uang. Sewa maupun bagi

hasil dapat dipadukan dengan jual lepas, jual gadai dan jual tahunan.

c. Jaminan atau Jonggolan

Yaitu perjanjian meminjam uang dengan jaminan tanah. Obyek

perjanjian ini adalah pinjam uang,sedang tanahnya hanya mengikuti

perjanjian pinjam uang itu. Selama utang belum lunas, pemilik tanah

dilarang membuat transaksi tanah kecuali untuk kepentingan

pelunasan utang uang tersebut.

Transaksi yang bersangkutan dengan tanah ini umunya

dilaksanakan tanpa sepengetahuan kepala persekutuan, sehingga tidak

berlaku terhadap pihak ketiga dan hanya antara kedua belah pihak saja56.
56
Ibidi, hlm. 117
44

B. Tinjauan Umum Gadai Tanah

1. Tanah

a. Pengertian Tanah

Tanah merupakan sumber daya material dan sumber

terpenting. Tanah merupakan lapisan teratas dan lapisan inilah hidup

beraneka ragam makhluk termasuk manusia57.

Tanah yang diatur oleh hukum agraria itu bukanlah tanah

dalam berbagai aspeknya, akan tetapi tanah dari aspek yuridisnya

yaitu yang berkaitan langsung dengan hak atas tanah yang

merupakan bagian dari permukaan bumi sebagaimana diatur dalam

Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menentukan :

“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada
dan dapat dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun besama-
sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.

Pengertian tanah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(1994) tanah adalah :

1) Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;

2) Keadaan bumi di suatu tempat;

3) Permukaan bumi yang diberi batas;

4) Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir,

cadas, napal dan sebagainya).

Kata tanah dalam pengertian yuridis adalah permukan bumi,


57
Laksanto Utomo, Hukum Adat, Rajawali Pers, Depok, 2017, hlm.31
45

sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu atas

permukaan bumi yang terbatas, berdimensi dua dengan usuran

panjang kali lebar yang diatur oleh hukum tanah. Tanah diberikan

kepada dan dipunyai oleh orang-orang dengan hak yang disediakan

oleh UUPA adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan.

Tanah dari aspek penguasaannya dibagi dua macam, yaitu :

1) Tanah yang dikuasai di bawah hak adat (hukum adat); dan

2) Tanah-tanah yang dikuasai dengan alas hak lainnya.

Martin Dixon menyajikan pengertian Tanah. Tanah (land)

adalah “Both the physical assset and the rights which the owner or

other may enjoy in or over it”. Pengertian tanah dalam konsep ini,

meliputi konsep tanah dari aspek fisik dan aspek pemanfaatannya.

Tanah dari aspek fisiknya merupakan tanah, baik terdapat di dalam

permukaan bumi maupun yang terdapat di atasnya. Tanah dari aspek

pemanfaatannya merupakan tanah yang dapat digunakan dan

dinikmati oleh pemiliknya atau orang lain, baik terhadap hak-hak

yang terdapat di bawah maupun di atas tanah tersebut.

Apabila disintesiskan pengertian tanah, baik yang tercantum

dalam undang-undang atau pandangan yang dikemukakan oleh para

ahli, maka konsepsi tentang tanah dapat didasari menjadi :

1) Pengertian tanah dari aspek fisiknya;

2) Pengertian tanah dari aspek penguasaannya; dan

3) Pengertian tanah dari aspek fungsi atau manfaatnnya.


46

Dengan mengacu kepada ketiga hal di atas, maka pengertian

tanah dapat dikemukakan sebagai berikut. Tanah adalah :

”Permukaan bumi yang dapat dikuasai oleh negara, masyarakat

adat,dan/atau perorangan dan/atau badan serta dapat dipergunakan

untuk kepentingan yang bernialai ekonomis dan budaya”58.

b. Hak-hak Atas Tanah Dalam Hukum Agraria Nasional

Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal

4 ayat (1) UUPA, yaitu Atas dasar hak menguasai dari negara atas

tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya

macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang

dapat diberikan kepada dan dipunyai orang-orang, baik sendiri

maupun bersama-sama denan orang-orang lain serta badan-badan

hukum59.

Untuk membahas hak gadai atas tanah baik sebelum maupun

sesudah UUPA 24 September 1960, perlu dimaklumi bahwa hak

gadai itu termasuk salah satu macam hak atas tanah yang diatur oleh

UUPA. Dalam hukum Agraria sekarang orang-orang dan Badan

Hukum dapat mempunyai hak-hak atas tanah, yaitu ha katas

permukaan bumi. Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah :

Hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan tanah


yang berdangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang angkasa yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu dalam batas-batas ‘menurut UUPA dan peraturan-
peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
58
Arba, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hlm. 7-10
59
Urip Santoso, Hukum Agraria : Kajian Komprehensif, Kencana, 2012, hlm. 89
47

Menurut Pasal 4 UUPA yang menentukan bahwa atas dasar

hak menguasai dari negara akan ditentukan adanya macam-macam

hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh

orang-orang serta badan hukum. Hak-hak perorangan atas tanah

tetap diakui dalam hukum agrarian Nasional walaupun dalam

pembatasan-pembatasan tertentu.

Fungsi sosial dari pada hak-hak perseorangan, khususnya hak-

hak perseorangan atas tanah merupakan sifat asli daripada hak-hak

itu. Pelaksanaan hak-hak perseorangan atas tanah menurut hukum

adat memang asli sejak semula dan selalu berpedoman pada

kepentingan masyarakat yang menjelma menjadi hak rakyat. Dalam

hukum adat hak perseorangan atas tanah bersumber pada hak

masyarakat atas tanah. Oleh karena itu masyarakat melalui

penguasa adatnya mempunyai wewenang untuk mengatur dan

memimpin peruntukan dan penggunaan tanah yang termasuk dalam

wilayah masyarakat hukum itu. Masyarakat dan penguasanya

diadakan untuk melindungi dan memungkinkan hak-haknya dan

pelaksanaan hak-hak perseorangan harus ditempatkan dalam rangka

kepentingan masyarakat.

Fungsi sosial yang dinyatakan dalam Pasal 6 UUPA

mengandung pengertian bahwa tanah wajib dipergunakan hingga

bukan saja menguntungkan yang mempunyai hak, tetapi juga


48

bermanfaat bagi masyarakat. Tanah tidak boleh diterlantarkan,

artinya dengan sengaja dibiarkan dalam keadaan tidak

dimanfaatkan, karena hal yang demikian akan merugikan

masyarakat.

Dengan sengaja membiarkan tanah dalam keadaan terlantar

dapat dijadikan alasan untuk membatalkan haknya dan

mengembalikan tanah itu ke dalam penguasaan langsung dari

negara, tanpa pemberian sesuatu ganti kerugian. Penggunaan tanah

selain didasarkan pada kepentingan yang mempunyai sendiri, wajib

berpedoman juga pada kepentingan umum adalah merupakan suatu

hukum masyarakat, suatu asa pokok untuk menjamin kelangsungan

hidup bersama bahwa kepentingan perseorangan wajib mengalah

pada kepentingan masyarakat, tetapi jika hal demikian

mengakibatkan kerugian bagi yang mempunyai hak atas tanah,

maka ia berhak untuk mendapat kompensasi.

Penentuan hak-hak atas tanah itu seperti tercantum dalam Pasal

16 ayat 1 UUPA, yaitu:

1) Hak milik

2) Hak guna usaha

3) Hak guna bangunan

4) Hak pakai

5) Hak sewa

6) Hak membuka tanah


49

7) Hak memungut hasil hutan60

8) Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas

yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak

yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal

53.

Dikatakan hak bersifat sementara, karena hak-hak tersebut

mengandung sifat-sifat yang bertentangan dengan UUPA, yaitu

mengandung unsur-unsur pemerasan. Hak-hak yang bersifat

sementara ini ialah : Hak-hak yang memberi wewenang kepada

yang empunya untuk menguasai dan mengusahakan tanah

kepunyaan orang lain.

Dengan demikian maka hak-hak itu merupakan hubungan-

hubungan hukum yang bertentangan dengan asas yang tercantum

dalam Pasal 10 UUPA.Oleh karena itu hak-hak yang bersifat

sementara ini diusahakan agar dapat dihapus dalam waktu yang

singkat.

Akan tetapi dalam kenyataan maksud penghapusannya dalam

waktu singkat itu belum dapat terlaksana sebab untuk

penghapusannya harus dilalui dan disertai dengan berbagai usaha

yang pada waktu sekarang ini masih bisa dilakasanakan sebagian

kecil saja. Sebab mengahapuskan hak-hak tersebut hanya akan

berakibat menambah persoalan bagi masyarakat dan negara.

60
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm.13-16
50

Adapun hak-hak yang bersifat sementara itu tercantum dalam

Pasal 53 ayat 1 UUPA, yakni :

Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud


dalam Pasal 16 ayat 1 huruf ha ialah : hak gadai, hak usaha
bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah, pertanian,
diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan
dengan undang-undangan hak-hak tersebut diusahakan
hapusnya dalam waktu yang singkat.

Hak-hak inilah yang untuk sementara masih diakui, tetapi hak-

hak tersebut harus diselenggarakan menurut ketentuan undang-

undangan dan peraturan yang akan diadakan, hal ini antara lain

untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat

penindasan dari golongan yang kuat kepda golongan yang lemah61.

2. Gadai Tanah

a. Pengertian Gadai Tanah

Lembaga gadai adalah lembaga yang telah lama hidup di

masyarakat Indonesia. Oleh karena itu di dalam mempelajari

Hukum Adat akan dikenal dengan istilah gadai tanah. Istilah gadai

tanah ini sebenarnya berasal dari VanVollenhoven. Hal ini

dikemukakan oleh Ter Har Bzn sebagai berikut :

“Perjanjian yang menyebabkan bahwa tanahnya diserahkan

untuk menerima tunai sejumlah uang, dengan permufakatan bahwa

si penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya

sendiri dengan jalan membayarkan sejumlah uang yang sama, maka

61
Ibid, hlm.33-35
51

perjanjian (transaksi) sedemikian itu oleh Van Vollenhoven dengan

konsekuensi dinamakan gadai tanah (sawah) [grond (-sawah) –

Verpanding]”.

Dengan demikian berarti selama hutang tersebut belum lunas,

maka tanah tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan

uang (pemegang gadai) dan selama itu pula hasil tanah seluruhnya

menjadi hak pemegang gadai yang dengan demikian merupakan

bunga dari hutang itu.

Di dalam hukum adat transaksi gadai ini ada kalanya

dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan atau pamong desa

agar supaya mendapat perlindungan hukum dan agar perbuatan

hukum itu dianggap terang. Atas bantuannya kepada kepala

persekutuan atau pamong desa diberikan uang saksi. Tetapi ikut

sertannya kepala persekutuan atau pamong desa ini dalam suatu

perjanjian gadai tidaklah menjadi syarat mutlak bagi sahnya

perjanjian itu62.

Hak gadai menurut Hukum Agraria Nasional pengertiannya

berlainan dengan hak gadai menurut Hukum Perdata Barat yang

diatur dalam BW. Menurut Hukum Agraria Nasional pengertian

hak gadai tercantum dalam Penjelasan Umum UU No. 56 Prp

Tahun 1960 angka 9 a sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara


seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang
mempunyai utang uang kepadanya. Selama utang tersebut
62
Ibid, hlm. 51-53.
52

belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam


penguasaan yang meminjamkan uang tadi (pemegang
gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak
pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga
dari utang tersebut.

Sedangkan pengetian hak gadai menurut BW adalah

tercantum dalam Pasal 1150 BW sebagai berikut :

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang


atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh
seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan
yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya,
dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut,
dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya
setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan.

Dari pengertiaan-pengertian tersebut di atas, dapat diketahui

bahwa yang dimaksud dengan hak gadai menurut Hukum Agraria

Nasional berbeda dengan hak gadai menurut BW. Oleh karena di

dalam pengertian hak gadai menurut Hukum Agraria Nasional

adalah mengenai tanah pertanian, sedang menurut BW adalah

mengenai barang bergerak.

Tetapi walau hak gadai dalam Hukum Agraria Nasional itu

mengenai tanah pertanian, tidak boleh disamakan dengan hak

hipotik atau crediet verband. Dalam hal ini Boedi Harsono,

membedakan hak gadai menurut Undang-undang No.56 Prp Tahun

1960 dengan hak hipotik atau crediet verband dan hak gadai

menurut BW.
53

Berlainan dengan hak hipotik atau crediet verband, maka hak

gadai merupakan hak atas tanah, karena memberi wewenang

kepada pemegang gadai untuk mempergunakan atau mengambil

manfaat dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian maka

jelaslah bahwa sungguh pun pemilik tanahnya sama-sama

menerima sejumlah uang dari pihak lain, hak gadai itu bukanlah

hak tanggungan.

Hak gadai atas tanah yang dimaksudkan di sini juga berlainan

benar dengan hak gadai sebagai jaminan yang diatur dalam Pasal

1150 sampai dengan Pasal 1160 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata dan Hukum Adat.

Hak gadai sebagai hak jaminan itu mengenai benda-benda

bergerak dan sunggu pun benda yang bersangkutan berada dalam

kekuasaan pemegang gadai, ia tidak berwenang untuk

mempergunakan atau mengambil manfaat daripadanya63.

Adapun pengertian gadai menurut para sarjana salah satunya

yaitu oleh menurut Boedi Harsono, gadai adalah hubungan hukum

antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah

menerima uang gadai dari padanya. Selama uang gadai belum

dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”.

Selama itu hak tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai.

Pengembalian uang gadai atau lazim disebut “penebusan”,

tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang


63
Ibid, hlm. 85-87.
54

menggadaikan. Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun,

bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu

melakukan penebusan64.

b. Dasar Hukum Gadai Tanah

Hak gadai atas tanah pertanian dan juga tanah bangunan

semula diatur oleh hukum adat. Namun setelah berlakunya UUPA,

maka hak gadai disebut dalam Pasal 53 dihubungkan dengan Pasal

52 ayat (2) ; yang menentukan bahwa sebagai hak yang sifatnya

sementara hak itu harus diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang

bertentangan dengan UUPA.

Berdasarkan Pasal 53 tersebut, maka diadakan ketentuan

Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dalam Pasal 7 nya

tentang pengembalian dan penebusan tanah-tanah yang digadaikan


65
. Pengaturan tentang gadai tanah tersebut dikemukakan pada

ketentuan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Seperti

dalam Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian :

(1) Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai


yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah
berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah
itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman
yang ada selesai di panen, dengan tidak ada hak untuk
menuntut pembayaran uang tembusan.

64
Boedi harsono, hukum Agraria Indonesia, Jilid 1. (Jakarta : Jambatan, 2002), hlm. 394.
Dikutip dari Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm.163.
65
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 87.
55

(2) Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan


ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya
berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah
tanaman yang ada selesai di panen, dengan membayar uang
tembusan yang besarnya dihitung menurut rumus :
( 7+½ ) −waktu berlangsung hak gadai
×uang gadai
7
Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah
berlangsung 7 tahun, maka pemegang gadai wajib
mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang
tembusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai dipanen.
(3) Ketentuan dalam ayat (2) Pasal ini berlaku juga terhadap hak
gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan
ini66.

Kemudian dengan Keputusan Pertanian dan Agraria No. SK

10/Ka/1963 ketentuan Pasal 7 tersebut ditegaskan berlaku juga bagi

gadai tanaman keras, misalnya karet, kopi, baik yang digadaikan

berikut atau tidak berikut tanahnya.

Akhirnya karena ternyata bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal

7 tersebut masih memerlukan pedoman, maka ditetapkanlah

Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 Tahun 1963 yaitu

tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Gadai67.

c. Timbulnya Gadai Tanah

Pada dasarnya timbulnya hak gadai ini disebabkan oleh karena

kebutuhan seseorang akan uang dengan menjadikan tanah sebagai

jaminannya. Biasanya orang menggadaikan tanahnya hanya bila ia

berada dalam keadaan yang sangat mendesak. Jika tidak dalam


66
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian.
67
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 87-88
56

keadaan terdesak kebutuhannya, biasanya orang lebih suka

menyewakan tanahnya.

Mengenai besarnya uang gadai tidak saja tergantung pada

kesuburan tanahnya saja,akan tetapi terutama pada kebutuhan

penggadai akan kredit. Oleh karena itu tidak jarang tanah yang

subur digadaikan dengan uang gadai yang rendah. Berhubung

dengan hal tersebut di atas, maka kebanyakan gadai itu diadakan

dengan imbangan yang sangat merugikan penggadai dan amat

menguntungkan pihak pelepas uang68.

Mengenai terjadinya hak gadai adalah dapat disebabkan oleh

dua hal, yaitu :

1) Karena Konversi

Hanya seorang pemilik tanah dapat menggadaikan

tanahnya. Pada waktu mulai berlakunya UUPA, maka hak-hak

gadai yang ada berlaku terus dalam rangka hukum agraria yang

baru. Setalah berlakunya UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 hak

gadai atas tanah pertanian terkena ketentuan Pasal 7 UU Nomor

56 Prp Tahun 1960. Dengan demikian maka hak-hak gadai itu

konversinya tidak berubah.

2) Karena Jual Gadai

Perbuatan hukum yang menimbulkan hak gadai itu dalam

perpustakaan hukum adat disebut dengan jual gadai, maksudnya

ialah perbuatan hukum yang sifatnya tunai berupa penyerahan


68
Ibid, hlm. 89.
57

sebidang tanah oleh pemiliknya kepada pihak lain, yang

memberikan uang kepadanya pada saat itu dengan perjanjian

bahwa tanah itu akan dikembali kepada pemiliknya setelah ia

mengembalikan uang yang diterimanya tadi kepada pemegang

gadai.

Sedang yang dimaksud dengan uang gadai adalah apa

yang diberikan kepada si pemberi gadai, dapat berupa benda

atau jasa yang dapat dinilai dengan uang. Sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Pertanian dan

Agraria Nomor 20 tahun 1963 sebagai berikut69 :

Pengertian “uang gadai” dalam Pasal 7 Undang-undang


No. 56/Prp/1960 dan penjelasannya dalam kenyataan
tidak hanya dapat berupa uang, tetapi juga benda ataupun
jasa, yang dapat dinilai dengan uang70.

Sebelum berlakunya UUPA, gadai menggadai ini hanya

terjadi di antara orang-orang Indonesia asli saja, tetapi setelah

berlakunya UUPA dengan mengingat Pasal 9 ayat (2) yang

meniadakan perbedaan antara warga negara Indonesia asli dan

keturunan asing dalam memperoleh sesuatu hak atas tanah,

maka kiranya hak gadai ini dapat juga dipunyai oleh warga

negara Indonesia keturunan asing. Sebab bagi orang-orang asing

dan badan hukum tidak diperkenankan untuk menguasai tanah

69
Ibid, hlm. 89-91
70
Pasal 1 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 Tahun 1963 Tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Gadai.
58

dengan hak gadai71.

d. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Dalam gadai tanah terdapat dua (2) pihak, yaitu pihak

pemilik tanah pertanian disebut pemberi gadai dan pihak yang

menyerahkan uang kepada pemberi gadai disebut penerima

(pemegang) gadai. Pada umumnya, pemberi gadai berasa dari

golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sebaliknya

penerima (pemegang) gadai berasal dari golongan masyarakat

yang mampu.

Di dalam hal gadai ini setelah para pihak yang

berkepentingan mengadakan perjanjian gadai di hadapan PPAT,

maka kemudian diwajibkan mendaftarkan ke kantor agraria

untuk kemudian dibuatkan aktanya, sesuai dengan ketentuan

Pasal 19 PP No.10 Tahun 1961.

Setelah melaksanakan hal tersebut di atas, maka kewajiban

selanjutnya dari para pihak adalah sebagai berikut :

1) Pihak Pemberi Gadai

a) Setelah menerima uang gadai, maka segera tanah yang

digadaikan itu diserahan kepada pihak yang memberi

uang atau disebut dengan pemegang gadai.

71
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 92
59

b) Pemberi gadai dapat sewaktu-waktu menebus tanahnya

dengan syarat pemegang gadai sudah memetik hasilnya

(panen) paling sedikit satu kali.

c) Jika tanah yang digadaikan musnah, pemberi gadai ini

tidak dapat dituntut untuk mengembalikan uang gadai

yang telah diterima.

d) Jika ada perbedaan nilai uang pada waktu menggadai dan

menebus, maka harus menanggung resiko bersama-sama

dengan pemegang gadai.

2) Pihak Pemegang Gadai

a) Setelah membayar uang gadai, maka pemegang gadai

menguasai tanah gadai tersebut, untuk dipelihara dan

berhak pila menggunakan serta memungut hasilnya.

b) Apabila sewaktu-waktu pemegang gadai ini

membutuhkan uang, maka berhak melakukan

pendalaman gadai dengan seijin pemilik tanah atau

menganakkan gadai jika tanpa ijin pemilik tanah.

c) Jika tanah gadai tersebut musnah karena bencana alam,

misalnya banjir maka pemegang gadai ini tidak boleh

menuntut kembali uang gadainya.

d) Wajib mengembalikan tanah gadai tersebut, setelah

dikuasai selama 7 tahun, atau jika tidak sampai dikuasai


60

7 tahun, maka pengembalian uang gadainya dihitung

menurut ketentuan :

( 7+½ ) −waktu berlangsung hak gadai


×uang gadai
7
e) Dalam perjanjian gadai yang disertai dengan perjanjian,

jika dalam waktu yang ditentukan pemberi gadai

takdapat menebus kembali tanahnya, maka dengan

prantara Pengadilan Negeri barulah pemegang gadai ini

dapat memiliki tanah gadai tersebut sesuai dengan

perjanjian ; kalau perlu dengan menambah uang lagi

sesuai dengan harga tanah jika dijual lepas72.

e. Ciri Gadai Tanah

Menurut Boedi Harsono, ciri-ciri Hak Gadai (Gadai

Tanah), adalah sebagai berikut:

1) Hak Gadai (Gadai Tanah) jangka waktunya terbatas, artinya

pada suatu waktu akan hapus. Hak Gadai (Gadai Tanah)

berakhir kalau dilakukan penebusan oleh yang

menggadaikan. Penebusan kembali tanah yang digadaikan

tergantung pada kemauan dan kemampuan pemiliknya,

artinya ia tidak dapat dipaksa untuk menebusnya. Hak untuk

menebus itu tidak hilang karena lampaunya waktu atau

meninggalnya si pemilik tanah. Jika pemilik tanah meninggal

dunia hak untuk menebus beralih kepada ahli warisnya;


72
Ibid, hlm. 92-93.
61

2) Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak berakhir dengan

meninggalnya pemegang gadai. Jika peegang gadai

meninggal dunia, maka hak tersebut berpindah kepada ahli

warisnya;

3) Hak Gadai (Gadai Tanah) dapat dibebani dengan hak-hak

tanah yang lain. Pemegang gadai berwenang untuk

menyewakan atau membagihasilkan tanahnya kepada pihak

lain. Pihak lain itu bisa pihak ketiga, tetapi bisa juga pemilik

tanah sendiri. Pemegang gadai bahkan berwenang juga untuk

menggadaikan tanahnya itu kepada pihak ketiga tanpa perlu

meminta izin atau memberitahukannya kepada pemilik tanah

(menggadaikan atau Onderverpanden). Perbuatan ini tidak

mengakibatkan terputusnya hubungan gadai dengan pemilik

tanah. Dengan demikian, tanah yang bersangkutan terikt pada

hubungan gadai;

4) Hak Gadai (Gadai Tanah) dean persetujuan pemilik tanahnya

dapat “dialihkan” kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa

hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan

dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dan pihak

ketiga itu (memindahkan gadai atau doorverpanden);

5) Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas

tanahnya dialihkan kepada pihak lain;


62

6) Selama Hak Gadai (Gadai Tanah)nya berlangsug maka atas

persetujuan edua belah pihak uang gadainya dapat ditambah

(mendalami gadai);

7) Sebagai lembaga, Hak Gadai (Gadai Tanah) pada waktunya

akan dihapus73.

Demikianlah ciri-ciri hak gadai yang dapat disebutkan

berdasrkan hak gadai yang berlaku dalam kehidupan

masyarakat, dan berdasarkan pada Pasal 5 UUPA Tahun 1960

maka ciri-ciri tersebut yang bersumber dari hukum adat yang

hidup dalam masyarakat masih tetap berlaku, karena belum ada

dasar peraturan lain yang mengaturnya berdasar UUPA74.

f. Penyelesaian Gadai Tanah

Peraturan soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian

yang digadaikan tercantum dalam Pasal 7 UU No, 56 Tahun 1960.

Ketentuan tesebut merupakan perubahan dari peraturan-peraturan

gadai tanah menurut hukum adat.

Pengembalian uang gadai atau disebut juga dengan penebusan

kembali tanah gadai tersebut, tergantung pada kemampuan pemilik

tanah yang menggadaikan. Banyak gadai yang berlangsung

bertahun-tahun, karena pemilik tanah belum mampu melakukan

penebusan.

73
Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum
Masyarakat Lokal, Penerbit Citra Harta Prima, Jakarta, 2018, hlm. 165.
74
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 95
63

Di dalam pengembalian tanah gadai itu akan timbul persoalan

tentang pembayaran kembali uang gadainya. Maka dalam hal ini

akan diselesaikan menurut ketentuan Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun

1960 sebagai berikut75 :

(1) Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai


yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah
berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah
itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman
yang ada selesai di panen, dengan tidak ada hak untuk
menuntut pembayaran uang tembusan.
(2) Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan
ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya
berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah
tanaman yang ada selesai di panen, dengan membayar uang
tembusan yang besarnya dihitung menurut rumus :
( 7+½ ) −waktu berlangsung hak gadai
×uang gadai
7
Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah
berlangsung 7 tahun, maka pemegang gadai wajib
mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang
tembusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai dipanen.
(3) Ketentuan dalam ayat (2) Pasal ini berlaku juga terhadap hak
gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan
ini76.

Hal ini sesuai dengan Ketentuan Mahkamah Agung tanggal 11

Maret 1961 No, 4K/Sip/1961 yang menetapkan sebagai berikut :

Menurut Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960 (Lembaran


Negara 1960 No. 174) yang mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 1961 ; tanah yang digadaikan lebih dari tujuh tahun
harus dikembalikan oleh pemegang gadai kepada si pemilik
tanah tanpa membayar uang tebusan dan tanpa memberi
kerugian.

75
Ibid, hlm. 96
76
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian.
64

Dalam pada itu tidak ada keharusan bagi penggadai untuk

menebus tanahnya kembali. Ketentuan- ketentuan Pasal 7 UU No.

56 Prp Tahun 1960 ini tidak hanya mengenai tanah-tanah gadai

yang harus dikembalikan tetapi mengatur juga gadai pada

umumnya.

Ketentuan tersebut di atas adalah berdasarkan perhitungan,

bahwa dalam kenyataannya hasil yang diterima pleh pemegang

gadai dari hasil tanahnya dalam waktu 5 sampai 10 tahun dengan

ditambah bunga yang layak sudah melebihi nilai uang yang

dijadikan jaminan dari tanah yang digadaikan. Berhubungan dengan

itu, maka tanah yang sudah digadaikan selama 7 tahun lebih harus

dikembalikan kepada yang empunya tanpa kewajiban untuk

membayar uang tebusan kembali.

Bahwa penyelesaian masalah gadai sebagai yang tercantum

dalam Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960 itu ternyata masih

memerlukan adanya pedoman yang dapat dipergunakan sebagai

pegangan, baik oleh pihak yang berkepentingan maupun oleh

instansi yang bersangkutan, misalnya Pengadilan Negeri. Pedoman

yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No.

20 Tahun 1963 Tentang Pedomana Penyelesaian Masalah Gadai

yang dalam garis besarnya pengertiannya sebagai berikut :

Dalam Pasal 2 diterangkan bahwa jika sebelum gadai berakhir

dilakukan “pendalaman gadai” jangka waktu 7 tahun itu dihutung


65

sejak uang gadainya ditambah, asal perbuatan hukum tersebut

dilakukan secara tertulis dengan melalui cara yang lazim seperti

waktu gadai yang semula digadaikan. Dalam hal yang demikian,

maka timbullah hubungan gadai baru dengan jumlah uang gadai

yang baru pula. Penambahan uang gadai yang tidak dilakukan

seperti yang tersebut di atas tidak menimbulkan gadai baru.

Jika pemegang gadai tidak melakukan pemindahan gadai, akan

tetapi hanya menganakkan gadai saja, maka hubungan gadai antara

pemegang gadai dan pemilik tanah tidak berubah ; walaupun di

samping gadai yang pertama timbul hubuungan gadai yang kedua

antara pemegang gadai dan pihak ketiga sebagai pihak yang

selanjutnya akan menguasai tanahnya, tetapi bagi pihak pemilik

tanah, pemegang gadai yang pertamalah yang dianggap

bertanggung jawab untuk mengembalikan tanahnya kepadanya

setelah 7 tahun itu berakhir. Waktu 7 tahun itu tetap dihitung sejak

gadai pertama diadakan. Pemegang gadai yang pertama akan dapat

memenuhu kewajibannya itu karena sewaktu-waktu ia dapat

menebus tanahnya kembali dari pihak yang menguasainya selaku

pemegang gadai yang kedua.

Di dalam Pasal 4 mengatur tentang penyelesaian masalah

gadai jika ternyata di antara pihak-pihak yang berkepentingan

terjadi persengketaan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas,

maka Mahkamah Agung dalam Ketetapannya No. 6/KM/845/MA


66

III/ 67 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengadilan Landreform

(No. 5/PLP/1967) menetapkan sebagai berikut :

(1) Mengenai penerapan Pasal 7 UU No.56 Tahun 1960 bahwa


walaupun Pasal 7 ini tercantum dalam peraturan Landreform,
maka berlaku pula bagi Peradilan Umum. Sebab Pasal 7 ini
selain berlaku bagi pengembalian tanah gadai dalam rangka
pelaksanaan UU No.56 Tahun 1960, berlaku juga bagi
pengembalian tanah pada umunya, termasuk juga pengembalian
tanah gadai yang tidak bersangkut paut dengan pelaksanaan
peraturan Landreform
(2) Mengenai wewenang untuk mengadili perkara-perkaranya gadai
tanah disebutkan bahwa hanya perkara-perkara mengenai
pengembalian tanah pertanian yang timbul dalam rangka
pelaksanaan peraturan-peraturan UU No.56 Tahun 1960 saja
yang menjadi wewenang Pengadilan Landreform, sedang
perkara-perkara gadai tanah yang lain menjadi wewenang
Pengadilan Negeri.

Selain itu untuk mengetahui apakah suatu perkara gadai tanah

mempunyai sangkut paut dengan pelaksanaan Landreform sehingga

perkaranya menjadi wewenang Pengadilan Landreform, maka

wajib disampaikan oleh yang berkepentingan suatu surat

keterangan mengenai hal itu dari Panitia Landreform Daerah

Tingkat II yang bersangkutan.

Apabila keterangan itu tidak dapat diajukaan secara tertulis,

maka atas permintaan yang berkepentingan atau karena jabatannya

hakim yang bersangkutan memanggil Ketua Panitia tersebut atau

wakilnya untuk didengar sebagai saksi. Sedangkan perkara-perkara

pidana yang timbul di dalam melaksanakan Pasal 7 tersebut tetap

menjadi wewenang Pengadilan Landreform. Setelah dihapuskan

Pengadilan Landreform oleh UU. 7 Tahun 1970 (LN 1970 No. 41)
67

maka seluruh penyelesaian sengketa tanah hak gadai ini menjadi

wewenang Pengadilan Negeri setempat.

Di samping hubungan gadai yang jangka waktunya ditentukan,

ada juga hubungan-hubungan gadai yang disertai perjanjian bahwa

selama jangka waktu tertentu tidak boleh dilakukan penebusan.

Maksud perjanjian yang demikian adalah untuk memberi

kesempatan kepada pemegang gadai melakukan pengusahaan

tanahnya secara berencana selama jangka waktu yang tertentu.

Mengenai tanah pertanian jangka waktunya dengan sendirinya tidak

boleh melebihi dari tujuh tahun.

Mungkin juga diadakan perjanjian bahwa setelah berlangsung

selama waktu yang ditentukan, pihak pemilik tanha diwajibkan

untuk melakukan penebusan. Perjanjian demikian itu seringkali

disertai sanksi, bahwa jika tanah tidak ditebus dalam waktu yang

telah ditentukan, tanahnya akan menjadi milik pemegang gadai.

Dalam hal ini menurut Keputusan Mahkamah Agung tanggal 9

Maret 1960 No. 45K/Sip/1960 menetapkan : “Bahwa perjanjian itu

harus diartikan bahwa untuk mendapatkan hak milik tanah itu si

pemegang gadai harus mengadakan tindakan hukum lain”.

Yakni meminta kepada pengadilan supaya berdasarkan

perjanjian tersebut si pemegang gadai ditetapkan sebagai pemilik

dari sawah tersebut. Dalam hal mana pengadilan dapat mengambil

putusan menurut kebijaksanaan. Misalnya dengan memberi wktu


68

lagi kepada pemberi gadai untuk menebus sawah itu, dan apabila

penebusan itu tidak dilakukan, maka barulah sawah itu menjadi

milik pemegang gadai, jika perlu dengan menambah uang gadai

kepada pemberi gadai.

Apabila pada waktu penebusan ada perbedaan yang besar

anatar nilai rupiah, pada waktu gadai diadakan dan pada saat

dilakukannya penebusan, maka uang gadai yang di maksud dalam

Pasal 7 ayat (2) UU No. 56 Prp Tahun 1960 dinilai kembali dengan

dasar harga emas atau beras pada waktu-waktu itu; dengan

ketentuan bahwa resiko daripada perubahan nilai rupiah tersebut

ditanggung bersama oleh penggadai dan pemegang gadai77.

77
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm.97-102
BAB III

PELAKSANAAN SANDO TANAH DI DESA PERADUAN

BINJAI KECAMATAN TEBAT KARAI KABUPATEN

KEPAHIANG

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1.Gambaran Umum Desa Peraduan Binjai

a. Letak Geografis Desa Peraduan Binjai

Desa Peraduan Binjai merupakan salah satu desa dari 14 desa

yang terbagi menjadi 1 Kelurahan dan 13 Desa di wilayah

Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang. Dengan luas

wilayah 1010 ha.

Jarak pusat desa ke pusat pembelanjaan seperti kalangan 1 km

dan jarak ke pasar kabupaten dapat ditempuh melalui perjalanan

darat sejauh kurang lebih 10 km. Sedangkan jarak pusat desa ke

puskesmas kurang lebih 4 km, rumah sakit daerah Kepahiang sejauh

15 km dan jarak pusat desa ke RSUD Provinsi yaitu 70 km78.

b. Wilayah Administrasi Desa Peraduan Binjai

Batas wilayah desa Peraduan Binjai yaitu berbatasan dengan

Desa Tebing Penyamun dan Desa Penajung Panjang Atas.

Komunitas di Desa terbagi menjadi 4 (empat) Kepala Dusun (Kadus)

78
Profil Desa Peraduan Binjai, Pemerintah Kabupaten Kepahiang Kecamatan Tebat
Karai Desa Peraduan Binjai
70

dan 3 (tiga) Kepala Urusan (Kaur). Dengan total jumlah penduduk

sebanyak 1486 orang dan jumlah KK yaitu sebanyak 420 KK.

c. Keadaan Sosial Desa Peraduan Binjai

Adanya fasilitas pendidikan yang memadai serta pemahaman

masyarakat tentang pentingnya menempuh pendidikan formal dan

non formal mempengaruhi peningkatan taraf pendidikan, kesehatan,

kebudayaan, adat istiadat dan kebiasaan yang ada beragam. Keaadan

sosial penduduk di Desa Peraduan Binjai tersaji dalam tabel berikut :

Tabel 1

Keadaan Sosial Desa Peraduan Binjai

No URAIAN JUMLAH SATUAN

.
1. Tingkat Pendidikan
a. Sekolah dasar 419 Jiwa
b. Sekolah Menengah Pertama 226 Jiwa
c. Sekolah Menengah Atas 348 Jiwa
d. Perguruan Tinggi Diploma 10 Jiwa

S1 : 30 Jiwa
2. Kesehatan
a. Sakit Ringan 97 Jiwa
b. Sakit Sedang 84 Jiwa
c. Sakit berat 20 Jiwa
sumber : Profil Desa Peraduan Binjai

d. Keadaan Ekonomi Desa Peraduan Binjai

Potensi ekonomi dalam Desa Peraduan Binjai yaitu memiliki

lahan perkebunan seluas kurang lebih 800 ha, lahan pertanian seluas
71

kurang lebih 263 ha, memiliki lahan perikanan seluas 2 hakolam

ikan, serta peternakan yang terdiri dari peternakan ayam, itik, ikan,

kambing dan sapi serta adanya tambang batu.

Tabel 2

Keadaan Eokonomi Desa Peraduan Binjai

No. URAIAN JUMLAH SATUAN KET


1. Tingkat Kesejahteraan
 Sangat Miskin 71 KK
 Miskin 71 KK
 Sejahtera 221 KK
 Kaya 26 KK
 Sangat Kaya - KK
Sumber : Profil Desa Peraduan Binjai

B. Pelaksanaan Sando Tanah di Desa Peraduan Binjai,

Kecamatan Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang

Jenis transaksi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Peraduan Binjai

salah satunya merupakan transaksi atas tanah pertanian di antaranya adalah

gadai tanah pertanian. Masyarakat di Desa Peraduan Binjai biasa menyebut

gadai dengan sebutan sando. Jual sando menurut Hukum Adat Rejang

adalah penyerahan barang yang dijual untuk sementara dengan menerima

pembayaran tunai; tetapi si penjual sando berhak menebus barang

tersebut, guna mendapatkan kembali hak miliknya atas barang itu, dengan

jalan mengembalikan uang sebanyak yang diterimanya itu kepada si

pembeli sando79.

79
Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hlm. 184.
72

Gadai tanah pertanian merupakan salah satu bentuk transaksi yang

sering terjadi karena pemilik tanah mendapatkan masalah ekonomi yang

mendesak maka untuk mengatasi permasalahannya adalah dengan cara

menggadaikan tanah pertanaian yang dimilikinya. Praktek gadai tanah

pertanian oleh kalangan masyarakat petani dipilih karena kemudahan dan

prosesnya cepat untuk mendapatkan uang pinjaman.

Hak gadai atas tanah pertanian dan juga tanah bangunan semula diatur

oleh hukum adat. Namun setelah berlakunya UUPA, maka hak gadai disebut

dalam Pasal 53 dihubungkan dengan Pasal 52 ayat (2) ; yang menentukan

bahwa sebagai hak yang sifatnya sementara hak itu harus diatur untuk

membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UUPA80.

Ketentuan hak-hak atas tanah ini diatur dalam Undang-Undang Pokok

Agraria dan diberikan sifat yang sementara, yang diusahakan akan dihapus

karena mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa

Undang-Undang Pokok Agraria.

Menurut Effendi Perangin, gadai tanah pertanian mengandung unsur

eksploitasi, karena hasil yang diterima penerima gadai dari tanah yang

bersangkutan pada umumnya jauh lebih besar dari pada apa yang merupakan

bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah.

Sedangkan menurut A.P Parlindungan, setelah menguasai tanah sawah

selama 7 tahun itu si penerima gadai (pemegang gadai) sudah cukup

80
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 87.
73

mengecap hasil dari tanah sawah itu sehingga telah memperoleh kembali

uang gadai yang telah dikeluarkan81.

Kenyataannya sampai saat ini upaya untuk menghapus sifat pemerasan

dalam transaksi gadai tanah pertanian, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah

dikarenakan gadai tanah pertanian tersebut sudah berakar dalam kehidupan

masyarakat khususnya di pedesaan. Yang dapat dilakukan adalah mengurangi

sifat pemerasan dengan jalan membuat ketentuan tentang cara penebusan

uang gadai. Hal ini dilakukan dalam rangka penertiban dan melindungi

golongan masyarakat ekonomi lemah. Berdasarkan Pasal 53 tersebut, maka

diadakan ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun

1960 diatur tentang soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang

digadaikan (sanksi pada Pasal 10). Kemudian dengan keputusan Menteri

Pertanian dan Agraria No. SK. 10/Ka/1963 ketentuan Pasal 7 ditegaskan

berlaku juga terhadap gadai tanaman keras, baik yang digadaikan berikut atau

tidak berikut tanahnya82.

Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960

ditegaskan bahwa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada

mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib

mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah

tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut

pembayaran uang gadai. Atas dasar ketentuan ini, jika hak gadai tanah

pertanian yang sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, maka tanah harus
81
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2017, hlm. 139
82
Muji Rahardjo dan Sigit Sapto Nugroho, “Gadai Tanah Menurut Hukum Adat”, Sosial,
Vol. 13, No. 2, September 2012, hlm. 94
74

dikembalikan kepada pemilik tanah tanpa uang tebusan dalam waktu sebulan

setelah tanaman yang ada dipanen. Hal ini di asumsikan bahwa pemegang

gadai yang menggarap tanah pertanian selama 7 tahun atau lebih, maka

hasilnya akan melebihi uang gadai yang ia berikan kepada pemilik tanah

pertanian.

Prakteknya di Desa Peraduan Binjai pelaksanaan pengembalian atau

penebusan kembali dilakukan tanpa adanya ketetapan batasan jangka waktu.

Menurut penjelasan Bapak Sukiman Dahri, 50 tahun, Kepala Desa Peraduan

Binjai pelaksanaan pengembalian atau penebusan dilakukan berdasarkan

kesepakatan masing-masing pihak dan tidak ada ketentuan jangka waktu,

apabila masing-masing pihak telah sepakat maka akan dibuatkan surat

perjanjian dan surat perjanjian tersebut akan diperbarui setiap tahunnya,

apabila pemberi gadai belum dapat melakukan penebusan maka tanah masih

tetap berada ditangan pemegang gadai meskipun gadai sudah berlangsung

selama lebih dari 7 tahun83.

Agar peraturan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun

1960 dapat berjalan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya maka diadakan

sanksi-sanksi pidana seperlunya sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf b dan

ayat (2) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960:

(1)Dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau


denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000.- : huruf b barang siapa tidak
melaksanakan kewajiban tersebut pada Pasal 3, 6 dan 7 (1).
(2)Tindak pidana tersebut pada ayat (1) Pasal ini adalah pelanggaran.

83
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
75

Dalam Pasal 7 ayat (2) ditegaskan bahwa mengenai hak gadai tanah
pertanian yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7
tahun, maka pemilik tanah berhak untuk memintanya kembali setiap waktu
setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tembusan
yang besarnya dihitung menurut rumus :

( 7+½ ) −waktu berlangsung hak gadai


×uang gadai
7

Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah

berlangsung 7 tahun, maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah

tersebut tanpa pembayaran uang tembusan, dalam waktu sebulan setelah

tanaman yang ada selesai dipanen.

Di Desa Peraduan Binjai transaksi gadai tanah pertanian yang dilakukan

oleh masyarakat Desa Peraduan Binjai belum sesuai dengan ketentuan yang

terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang

Penatapan Luas Tanah Pertanian, baik sistem gadai yang pernah dilakukan

saat dahulu dimana gadai tanah menggunakan emas dan sistem gadai yang

dilakukan saat sekarang yaitu pembayaran bukan lagi dengan emas melainkan

uang tunai, hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya batasan waktu

membuat gadai tanah pertanian di Desa Peraduan Binjai dapat berlangsung 7

tahun atau bahkan lebih serta penebusan uang gadai masih berdasarkan adat

atau kebiasaan masyarakat di mana pemilik tanah harus menebus kembali

tanahnya sesuai dengan jumlah emas atau uang yang dipinjam walaupun dari

hasil keuntungan yang diperoleh pemegang gadai selama beberapa tahun dari
76

tanah tersebut jauh lebih besar dari utang pokok pemilik tanah dan walaupun

gadai tidak berlangsung lebih dari 7 tahun pihak penggadai tetap harus

mengembalikan atau menebus kembali uang sebesar yang dipinjam.

Berdasarkan wawancara dengan pihak pemberi gadai menyatakan

bahwa gadai tanah pertanian yang pernah dilakukannya di Desa Peraduan

Binjai adalah:

Menurut Ibu Katija Haryanti, 60, Ibu Rumah Tangga, pemberi

gadai, dalam transaksi gadai tanah yang dilakukannya yaitu meminjam

emas untuk kebutuhan yang mendesak dengan menyerahkan sebidang

tanah kepada pemegang gadai sebagai jaminan berdasarkan kesepakatan

masing-masing pihak setelah itu dibuatkan perjanjian dihadapan kepala

desa dan saksi dari masing-masing pihak, apabila pihak pemilik tanah

belum dapat melakukan penebusan maka pemegang gadai masih memiliki

hak atas tanah gadai tersebut dan jika dalam jangka waktu yang telah

ditentukan pihak pemberi gadai belum dapat menebus kembali tanahnya

maka akan diadakan kesepakatan antara masing-masing pihak untuk tetap

melanjutkan gadai dengan cara membuat perjanjian yang baru84.

Menurut Bapak Amal, 65 tahun, petani, sebagai pemegang gadai,

bahwa aturan gadai tanah pertanian di Desa Peraduan Binjai menurutnya

adalah tanah pertanian yang telah digadaikan itu tidak akan dikembalikan

sebelum adanya penebusan yang senilai dengan emas yang dipinjam pemilik

84
Wawancara dengan Ibu Katija Haryanti, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemberi
Gadai, Bengkulu, 13 Mei 2020.
77

tanah walaupun itu sebelum atau setelah 7 tahun bahkan lebih. Menurutnya

tanah pertanian akan tetap diambil hasil panennya selama penerima gadai

masih memiliki hak gadai85.

Begitu pula dengan gadai tanah yang masih dilakukaan saat ini,

menurut Bapak Sahdan, 47 tahun, petani, sebagai pemberi gadai cara

penebusan gadai yang dilakukan di Desa Peraduan Binjai menurutnya adalah

jika uang tebusan seluruhnya sudah dikembalikan kepada pemegang gadai

sesuai kesepakatan di dalam perjanjian maka tanah pertanian milik pemberi

gadai juga akan dikembalikannya. Jika pemilik tanah tidak menebus tanahnya

maka tanah tesebut akan tetap ada dalam penguasaan pemegang gadai86.

Menurut Bapak Bustari, 60 tahun, Ketua Adat Desa Peraduan Binjai

mengenai transaksi tanah yaitu gadai tanah pertanian adalah :

Sando yaitu memberikan pinjaman uang kepada orang lain dengan


jaminan berupa tanah perkebunan atau sawah berdasarkan kesepakatan
masing-masing pihak yang bersangkutan dan dibuatkan segel87 yang
diketahui RT, RW, Kadus atau Kades dan disaksikan oleh saksi
masing-masing pihak88.
Menurut penjelasan Bapak Sukiman Dahri, 50 tahun, Kepala Desa

Peraduan Binjai aturan dalam transaksi gadai tanah pertanian di Desa

Peraduan Binjai adalah :

85
Wawancara dengan Bapak Amal, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemegang Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
86
Wawancara dengan Bapak Sahdan, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemberi Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
87
Segel adalah surat perjanjian yang merupakan sebutan bagi masyarakat Desa Peraduan
Binjai .
88
Wawancara dengan Bapak Bustari, Ketua Adat Desa Peraduan Binjai, Kepahiang, 13
Mei 2020.
78

Sando itu sama dengan gadai, gadai yang dilakukan di Desa Peraduan
Binjai untuk saat ini yaitu penyerahan sebidang tanah baik tanah
perkebunan atau sawah dengan menerima pembayaran tunai, aturan
atau syarat dalam melakukan gadai ini yang terpenting yaitu kedua
belah pihak telah mencapai kesepakatan, kemudian tanah yang akan
digadaikan tidak dalam keadaan sengketa, setelah itu dibuatkan
surat keterangan gadai yang diketahui oleh aparat pemerintah seperti
Kades dan disaksikan oleh saksi masing-masing pihak, di mana
dalam surat keterangan gadai tersebut berisi identitas para pihak,
jumlah uang yang dipinjam dan ketentuan jangka waktu penebusan
berdasar kesepakatan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, nama
saksi-saksi serta mengetahui Kades dan selama gadai berlangsung
maka hak pengelolaan tanah pertanian berada pada pemegang gadai
dan akan dikembalikan apabila telah melakukan penebusan89.
Berdasarkan wawancara dengan pemberi gadai dan penerima gadai,

gadai tanah pertanian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960 Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) bahwa jika gadai tanah pertanian

belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanah berhak meminta kembali

setiap waktu setelah tanaman yang ada telah dipanen, dengan membayar

tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus dan apabila telah berlangsung

tujuh tahun atau lebih maka pemegang gadai wajib mengembalikan

tanah tersebut kepada pemilik tanah sebulan setelah tanaman selesai dipanen

dengan tidak ada hak untuk menuntut uang tebusan. Hal ini tentunya

bertentangan dengan cara penebusan gadai tanah pertanian yang dilakukan

oleh masyarakat Desa Peraduan Binjai, pada masyarakat Desa Peraduan

Binjai dalam pelaksanaan gadai tidak adanya batasan waktu, selama pemberi

gadai belum dapat melakukan penebusan maka pemegang gadai masih

memiliki hak atas tanah gadai tersebut meskipun gadai sudah berlangsung

selama 7 tahun atau lebih.

89
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
79

Ketentuan mengenai batasan waktu 7 tahun dan cara penebusan gadai

tanah pertanian menurut Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian pada Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) tidak

diterapkan dalam transaksi gadai tanah pertanian yang dilakukan di Desa

Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang.

Gadai tanah pertanian dilakukan untuk menjamin suatu pelunasan

utang, sehingga gadai tanah pertanian mempunyai hubungan hukum antara

seseorang dengan tanah milik orang lain yang telah menerima utang atau

pinjaman uang yang disebut uang gadai. Tanah tersebut dikuasai oleh

penerima gadai selama uang gadai belum dikembalikan. Selama itu hak atas

tanah menjadi hak pemegang gadai selama memilki hak gadai. Penebusan

adalah kata yang lazim disebut dalam pengembalian uang gadai, penebusan

tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan

sehingga banyak gadai tanah pertanian yang berlangsung selama bertahun-

tahun bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu

untuk melakukan penebusan.

Gadai tanah pertanian pada masyarakat Desa Peraduan Binjai adalah

menjaminkan tanah pertanian atas pinjaman emas atau uang yang diterimanya

dari pemegang gadai sehingga pemegang gadai berhak untuk menggunakan

dan mengambil manfaat dari tanah pertanian yang telah digadaikan tersebut

selama pemilik tanah belum mampu melunasi utangnya.


80

1. Definisi Gadai Tanah di Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat

Karai Kabupaten Kepahiang

Sistem gadai tanah pertanian yang di lakukan oleh masyarakat Desa

Peraduan Binjai, biasanya disebut oleh kalangan masyarakat setempat

dengan sebutan Sando. Sando memiliki arti penyerahan tanah pertanian

milik seseorang untuk sementara waktu yang diserahkan kepada pemegang

gadai sebagai jaminan terhadap pinjaman emas atau uang yang telah

diberikannya kepada pemilik tanah di mana tanah akan akan dikembalikan

kepada pemiliknya setelah adanya penebusan. Transaksi gadai tanah

pertanian yang dilakukan masyarakat Desa Peraduan Binjai pada

umumnya dilakukan untuk tanah pertanian yaitu sawah ataupun

perkebunan yang produktif.

Gadai tanah pertanian yang dilakukan masyarakat dapat berakhir

ketika tanah gadai tersebut musnah karena bencana alam, alih fungsi lahan

untuk kepentingan umum atau putusan pengadilan serta gadai tanah

pertanian telah berlangsung 7 tahun atau lebih. Namum berakhirnya gadai

tanah pertanian seperti demikian belum pernah terjadi di Desa Peraduan

Binjai. Berakhirnya gadai tanah pertanian di Desa Peraduan Binjai

biasanya terjadi karena penebusan oleh pemilik tanah atau pemberi gadai.

Apabila dalam penebusan tanah tersebut masih terdapat tanaman yang

sudah siap panen, maka pemegang gadai terlebih dahulu memanen

tanaman tersebut.
81

Masyarakat Desa Peraduan Binjai dalam menebus tanah pertanian

yang digadaikan adalah sama dengan sejumlah emas atau uang yang

dikeluarkan atau didapatkan dari gadai tanah pertanian tersebut sebagai

utang. Meskipun penebusan dilakukan sebelum 7 tahun jumlah uang yang

dikembalikan atau untuk penebusan pun sama dengan yang diterima dari

pemegang gadai sebagai pinjaman uang.

2. Hubungan Antara Pemberi Gadai dengan Pemegang Gadai

Transaksi gadai tanah pertanian yang dilakukan masyarakat Desa

Peraduan Binjai pada umumnya dilakukan dengan keluarga sendiri, tanah

yang dimiliki biasanya diserahkan kepada keluarga sendiri untuk dijadikan

jaminan atas gadai yang dilakukan hal tersebut dimaksudkan untuk saling

membantu sesama keluarga karena keluarga pada dasarnya akan tahu

keaadan ekonomi dari keluarganya sendiri.

Kebiasaan masyarakat Desa Peraduan Binjai, gadai tanah pertanian

umumnya diberikan kepada keluarga terlebih dahulu, karena didasari rasa

ingin saling membantu sesama keluarga, jika memang keluarga tidak

mampu untuk memberikan pinjaman uang kemudian gadai tanah

pertanian ditawarkan kepada tetangga atau orang lain yang sanggup untuk

memberikan pinjaman uang, tetapi sudah menjadi kebiasaan masyarakat

Desa Peraduan Binjai bahwa dalam pelaksanaan transaksi gadai tanah

pertanian diutamakan dilakukan kepada keluarga sendiri.

Alasan masyarakat menggadaikan tanah pertaniannya kepada

keluarga adalah karena dinilai memberikan kemudahan dalam


82

mendapatkan pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan yang

mendesak tanpa harus menjual lepas tanah pertaniannya dan menjadi

alternatif mendapatkan pinjaman uang selain di bank atau lembaga

keuangan lainnya, alasan lain adalah karena prosedurnya yang rumit jika

harus meminjam uang di lembaga pengadaian juga menjadi alasan

masyarakat lebih memilih untuk menggadaikan tanah pertaniannya kepada

keluarga atau kepada tetangga.

Menurut Bapak Bustari , 60 tahun, Ketua Adat Desa Peraduan Binjai

selaku Ketua adat yang juga sebagai seorang petani :

Gadai tanah biasanya dilakukan dengan keluarga atau tetangga


sebagai bentuk rasa kekeluargaan dan saling tolong menolong.
Apabila seseorang sedang membutuhkan pertolongan dalam hal ini
membutuhkan pinjaman dana sebagai keluarga kita harus saling
tolong menolong, dan ditambah lagi apabila kebutuhan tersebut
mendesak dan butuh dana secepatnya, sedangkan jika harus
meminjam dari Bank atau lemabaga keuangan lainnya membutuhkan
proses yang cukup ribet dan lama90.
Begitu pula yang disampaikan oleh Ibu Katija Haryanti, 60, Ibu

Rumah Tangga, pemberi gadai :

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat apabila misalnya tidak ada


keluarga dekat yang bisa memberikan pinjaman uang biasanya
akan meminjam dengan tetangga, tetangga juga termasuk
keluarga. Hal ini juga merupakan bentuk saling tolong menolong
antar sesama dan adanya rasa kekeluargaan yang masih erat antar
sesama masyarakat91.
Berdasarkan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa transaksi

gadai tanah yang dilakukan oleh pemberi gadai atau pemilik tanah dan

90
Wawancara dengan Bapak Bustari, Ketua Adat Desa Peraduan Binjai, Kepahiang, 13
Mei 2020.
91
Wawancara dengan Ibu Katija Haryanti, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemberi
Gadai, Bengkulu, 13 Mei 2020.
83

pemegang gadai di Desa Peaduan Binjai kebanyakan dilakukan dengan

sesama keluarga atau kerabat dekat.

3. Perjanjian Gadai Tanah Pertanian di Desa Peraduan Binjai

Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang

Pada Pasal 1313 KUHPerdata mengatur mengenai perjanjian yaitu:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam

pelaksanaan gadai tanah pertanian yang terjadi di Desa Peraduan Binjai

ditentukan pula perjanjian dalam gadai tanah pertanian.

Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Sukiman Dahri, selaku

Kepala Desa Peraduan Binjai mengenai perjanjian gadai tanah pertanian di

Desa Peraduan Binjai bahwa secara umum perjanjian gadai di Desa

Peaduan Binjai itu adalah jika tanah pertanian telah digadaikan maka hak

pengelolaan saja yang beralih kepihak pemegang gadai, kemudian tanah

pertanian dapat kembali kepada pemiliknya setelah ditebus92.

Menurut Ibu Katija haryanti (60 tahun) yang pernah melakukan

transaksi gadai tanah pertanian dan bertindak sebagai pemberi gadai

menuturkan bahwa di dalam gadai tanah pertanian para pihak yang telah

mencapai kata sepakat akan membuat perjanjian atau surat keterangan

gadai dengan menetapkan waktu penebusan misalnya perjanjiannya dalam

jangka waktu 5 tahun lamanya pihak pemberi gadai akan menebus tanah

92
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
84

yang digadaikan tersebut dengan jumlah emas sebagai tebusan harus

sesuai dengan yang diterima atau yang dipinjam93.

Begitu pula dengan gadai tanah yang dilakukan saat ini, menurut

Bapak Himin (47 tahun) petani yang sebagai pihak pemegang gadai,

setelah mencapai kata sepakat maka akan dibuatkan surat keterangan atau

surat perjanjian yang berisi tentang jumlah uang yang dipinjam serta

jangka waktu yang tak terbatas dengan catatan bahwa setiap tahunnya

apabila uang belum bisa dikembalikan maka harus memperbaruhi surat

perjanjian dan apabila sudah dilakukan penebusan uang sebesar yang

dipinjam maka tanah akan dikembalikan kepada pemilik tanah94.

Dari beberapa pernyataan responden tersebut dapat diketahui bahwa

perjanjian gadai yang dilakukan oleh masyarakat Desa Peraduan Binjai

adalah penentuan waktu penebusan dalam gadai. Penebusan tanah

pertanian yang digadaikan tersebut baik gadai yang dilakukan saat dahulu

maupun saat sekarang berdasarkan pada kesepakatan masing-masing pihak

dan tidak terbatas. Tanah pertanian akan tetap dikuasai oleh pihak

pemegang gadai selama belum ada penebusan dari pihak pemilik tanah

walaupun waktu yang telah diperjanjikan telah jatuh tempo, akan tetapi

pemberi gadai dapat kembali meminta tambahan waktu kepada pemegang

gadai sampai pemberi gadai mampu untuk menebus tanah pertaniannya

kembali secara utuh sesuai dengan apa yang dipinjamnya.

93
Wawancara dengan Ibu Katija Haryanti, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemberi
Gadai, Bengkulu, 13 Mei 2020.
94
Wawancara dengan Bapak Himin, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemegang Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
85

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak Bustari, 60 tahun,

Ketua Adat Desa Peraduan Binjai :

Dalam surat perjanjian kan sudah ada kesepakatan jangka waktu


penebusan dan misalnya dalam jangka waktu itu sudah jatuh tempo
tapi pihak penggadai belum bisa mengembalikan uang maka pihak
penggadai boleh minta tambahan waktu dengan pihak pemegang
gadai dan pihak pemegang gadaipun memiliki hak untuk tetap
menggarap sawah atau kebun yang digadaikan itu95.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa ada dua bentuk

perjanjian yang dilakukan masyarakat Desa Peraduan Binjai yaitu :

1) Perjanjian Gadai Tanah Pertanian Dengan Ketentuan Waktu Tertentu

Perjanjian ini menggunakan ketentuan waktu tertentu sesuai

dengan kesepakatan masing-masing pihak, artinya apabila sudah jatuh

tempo maka pemberi gadai seharusnya melakukan penebusan namun

apabila pada waktu itu pemberi gadai belum mampu untuk menebus

maka bisa dilakukan perpanjangan jangka waktu penebusan dan gadai

akan tetap berlanjut sampai ada penebusan dari pemilik tanah. Gadai

tanah di Desa Peraduan Binjai dapat tetap berlangsung meskipun telah

melebihi waktu tujuh tahun.

2) Perjanjian Gadai Tanah Pertanian Tanpa Ada Ketentuan Waktu

Perjanjian tanpa ketetapan waktu ini mengandung pengertian

bahwa penerima gadai dapat menguasai tanah tersebut sampai pemilik

tanah dapat menebus kembali tanahnya. Meskipun tanpa ketetapan

waktu tetapi perjanjian gadai tersebut harus dilakukan perbaruan

perjanjian pada tiap tahunnya. Ini bertujuan agar apabila kedepannya


95
Wawancara dengan Bapak Bustari, Ketua Adat Desa Peraduan Binjai, Kepahiang, 13
Mei 2020.
86

terdapat hal yang tidak diinginkan maka tidak akan menjadi kesalah

pahaman.

4. Alasan Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian di Desa Peraduan Binjai

Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang

Pada dasarnya manusia terkadang akan dihadapkan pada keadaan

yang mendesak seperti mengalami kesulitan atau hambatan-hambatan

dalam memenuhi setiap kebutuhannya dalam kehidupan, oleh karena itu

manusia senantiasa membutuhkan uluran tangan dari orang lain artinya

bantuan selalu dibutuhkan untuk mengatasi setiap permasalahan yang ada.

Menggadaikan tanah pertanian kepada orang lain menjadi salah satu cara

untuk mengatasi masalah dalam keadaan mendesak yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Perduan Binjai.

Penyebab masyarakat dalam menggadaikan tanah sawahnya ada

bemacam-macam alasan. Di Desa Perduan Binjai sendiri sering terjadi

transaksi gadai tanah pertanian yang disebabkan karena ada kebutuhan

mendesak dan memerlukan biaya segera maka salah satu jalan yang

dianggap paling mudah dan efektif oleh masyarakat adalah menggadaikan

tanah pertanian yang dimiliki.

Kebutuhan mendesak yang biasanya terjadi adalah seperti masalah

ingin mengadakan pesta perkawinan, menyekolahkan anak, untuk mencari

pekerjaan serta terjadinya kecelakaan sehingga membutuhkan dana yang

cukup besar seperti yang disampaika oleh Bapak Sukiman Dahri, selaku

Kepala Desa Peraduan Binjai:


87

Alasan masyarakat melakukan gadai tanah karena adanya hal yang


mendesak sehingga mereka lebih memilih melakukan gadai tanah
yang mana dalam prosesnya dirasakan lebih efektif dan juga cepat,
sedangkan jika ingin meminjam uang seperti di Bank atau di
lembaga keuangan lain pasti akan memakan waktu yang lama dan
proses yang ribet96.
Alasan lain melakukan gadai tanah yaitu untuk merenovasi rumah

seperti yang dilakukan oleh Ibu Katija Haryanti. Sedangkan alasan

menerima gadai menurut Bapak Bustari, Bapak Amal dan Bapak Himin

adalah untuk membantu dan menolong mereka yang membutuhkan

pertolongan dalam hal ini berupa pinjaman uang untuk memenuhi

kebutuhan yang mereka perlukan.

Dari hasil penelitian terhadap seluruh subjek penelitian penulis dapat

menyimpulkan faktor-faktor masyarakat Desa Peraduan Binjai dalam

melakukan transaksi gadai tanah pertanian adalah sebagai berikut:

a. Faktor Budaya Masyarakat Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat

Karai Kabupaten Kepahiang

Gadai tanah pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa

Peraduan Binjai adalah suatu bentuk transaksi yang telah membudaya

dalam kehidupan masyarakat karena masyarakat di Desa Peraduan

Binjai sejak zaman dahulu sampai sekarang sudah terbiasa melakukan

gadai tanah sawah atau pertanian yang dilakukan secara berulang-

ulang, sehingga mereka beranggapan bahwa hal tersebut sudah

menjadi kebiasaan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari

96
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
88

kehidupan, maka sudah menjadi hal yang wajar jika dalam keperluan

mendesak seseorang menggadaikan tanah pertanian yang dimilikinya.

Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Sukiman Dahri, Kepala

Desa Peraduan Binjai bahwa transaksi gadai tanah pertanian yang

dilakukan oleh masyarakat Desa Peraduan Binjai adalah sudah

dilakukan turun temurun sejak dahulu97.

b. Faktor Adanya Rasa Kekeluargaan Antar Masyarakat Desa Peraduan

Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang

Adanya rasa kekeluargaan anatar masyarakatsehingga timbulnya

keinginan untuk tolong menolong maka pemegang gadai memberikan

pinjaman uang kepada pemberi gadai atau pemilik tanah. Karena

sebagai rasa terima kasih serta untuk meyakinkan pemegang gadai

bahwa pemilik tanah atau pemberi gadai akan mengembalikan

pinjaman uang tersebut maka pemilik tanah atau pemberi gadai

memberikan dan merelakan tanah pertanian yang dimilikinya

diberikan sementara kepada pemegang gadai sebagai jaminan atas

utang yang boleh untuk diambil manfaatnya oleh pemegang gadai

untuk sementara waktu sampai pemilik tanah atau pemberi gadai

dapat menebusnya kembali.

Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Amal, 65 tahun,

masyarakat Desa Peraduan Binjai, alasan menerima gadai adalah

karena untuk membantu saudara yang sedang membutuhkan uang

97
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
89

namun pemilik tanah menunjuk dan menyerahkan tanah pertaniannya

sebagai jaminan utang98.

c. Faktor Kebutuhan Masyarakat Desa Peraduan Binjai Kecamatan

Tebat Karai Kabupaten Kepahiang

Untuk mengatasi persoalan kebutuhan masyarakat yang

mendesak yang memerlukan biaya segera maka cara terbaik dan

efektif yang dilakukan masyarakat Desa Peraduan Binjai adalah

dengan menggadaikan tanah pertanian yang mereka miliki.

Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Sahdan (47 tahun)

masyarakat Desa Peraduan Binjai bahwa alasan dilakukan gadai tanah

ini karena adanya kebutuhan mendesak seperti untuk kebutuhan anak

sekolah, untuk biaya pernikahan anak atau bahkan biaya pengobatan

apabila ada keluarga yang sakit atau mengalami kecelakaan99.

d. Faktor Lingkungan Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai

Kabupaten Kepahiang

Letak geografis Desa Peraduan Binjai yang terletak pada daerah

yang banyak terdapat hamparan sawah dan perkebunan yang subur,

hal tersebut menjadikan masyarakat Desa Peraduan Binjai banyak

yang bekerja sebagai petani hal tersebut juga menjadi alasan bagi

masyarakat dalam keadaan mendesak yang membutuhkan biaya

98
Wawancara dengan Bapak Amal, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemegang Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
99
Wawancara dengan Bapak Sahdan, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemberi Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
90

segera maka menggadaikan tanah pertanian yang dimilikinya kepada

orang lain karena itu merupakan harta yang dapat mereka gunakan.

5. Unsur-Unsur Pemerasan Gadai Tanah Pertanian di Desa Peraduan

Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang

Menurut Effendi Perangin, gadai tanah pertanian mengandung unsur

eksploitasi, karena hasil yang diterima penerima gadai dari tanah yang

bersangkutan pada umumnya jauh lebih besar dari pada apa yang

merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah.

Sedangkan menurut A.P Parlindungan, setelah menguasai tanah

sawah selama 7 tahun itu si penerima gadai (pemegang gadai) sudah cukup

mengecap hasil dari tanah sawah itu sehingga telah memperoleh kembali

uang gadai yang telah dikeluarkan100.

Masyarakat Desa Peraduan Binjai selama ini beranggapan bahwa

gadai tanah pertanian yang mereka lakukan adalah atas dasar tolong

menolong namun bila dikaji lebih mendalam pada dasarnya gadai tanah

pertanian yang mereka lakukan adalah mengandung unsur-unsur

pemerasan yang merugikan pihak pemberi gadai atau pemilik tanah.

Dari hasil penelitian penulis menjelaskan bahwa unsur-unsur

pemerasan yang terkandung dalam transaksi gadai tanah pertanian di Desa

Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang adalah

karena selama pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, maka tanah

tersebut akan tetap dikuasai oleh pemegang gadai serta akan tetap

100
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.
139
91

memperoleh hasil dari tanah tersebut sehingga terkadang beberapa tahun

saja keuntungan yang diperoleh pemegang gadai dari tanah pertanian yang

digadaikan tersebut sudah cukup atau bahkan telah melebihi dari utang

pokok pemilik tanah atau pemberi gadai. Hal inilah kiranya yang menjadi

maksud dan tujuan dari Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 untuk

memberikan sifat yang sementara terhadap hak gadai tanah pertanian serta

ketentuan penebusan yang ditentukan menurut rumus untuk melindungi

pemilik tanah dari unsur-unsur pemerasan yang terkandung dalam

transaksi gadai tanah pertanian yang dilakukan oleh masyarakat.

Sifat pemerasan pada hak gadai tanah pertanian di Desa Peraduan

Binjai adalah:

a. Jangka waktu gadai tidak terbatas. Artinya walaupun gadai tanah

pertanian telah berlangsung 7 tahun atau lebih tanah pertanian yang

digadaikan tersebut tidak akan dikembalikan sebelum ada penebusan

dengan sejumlah uang yang senilai dengan uang gadai yang diterima

pemilik tanah. Sehingga Beberapa tahun saja tanah itu dikuasai oleh

penerima gadai dan memperoleh hasil dari tanah pertanian tersebut

hasil yang diperoleh sudah cukup atau bahkan melebihi utang pokok

pemberi gadai. Dalam gadai tanah pertanian biasanya hanya

ditentukan waktu untuk menebus tetapi jika dalam waktu tersebut

pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya maka tanah pertanian

tersebut tetap dikuasai penerima gadai sampai ada tebusan.


92

b. Penebusan gadai harus sama dengan uang gadai. Sedangkan untuk

penebusan gadai tanah pertanian di bawah 7 tahun telah ditentukan

menurut rumus di dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 56

Prp Tahun 1960.


BAB IV

ALASAN MASYARAKAT DESA PERADUAN BINJAI

KECAMATA TEBAT KARAI KABUPATEN KEPAHIANG

TIDAK MELAKSANAKAN PENGEMBALIAN SANDO

TANAH BERDASARKAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG

NOMOR 56 PRP TAHUN 1960

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa gadai tanah pertanian

memiliki aturan hukum, sehingga dari hasil penelitian penulis dapat

menyimpulkan bahwa gadai tanah pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa

Peraduan Binjai tidak sesuai dengan ketentuan dari undang-undang yang berlaku.

Berdasar pada hasil penelitian bahwa semua subjek penelitian melaksanakan gadai

tanah pertanian yang menyimpang. Penyimpangan tersebut dapat terlihat pada

pelaksanaan gadai tanah pertanian tanpa ada batasan waktu, yang di maksud

dengan tanpa ada batas waktu adalah pemilik tanah menyerahkan tanah gadai

kepada penerima (pemegang) gadai untuk dikelola sampai pemilik tanah mampu

menebus kembali tanah tersebut (waktu yang tidak ditentukan). Perjanjian gadai

yang seperti demikian sangat rentan terhadap pelanggaran waktu berlangsungnya

gadai yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yaitu

tujuh tahun. Hal tersebut di karenakan meskipun gadai telah berlangsung selama

tujuh tahun tetapi pihak pemberi gadai belum dapat menebus tanah tersebut, maka

tanah masih dikuasai oleh pihak pemegang gadai.


94

Selain mengenai berlangsungnya gadai tanah pertanian tanpa adanya

batasan waktu, pelanggaran gadai tanah pertanian juga terlihat pada penebusan

gadai tanah pertanian di mana jumlah emas atau uang tebusan harus sama dengan

jumlah emas atau uang gadai. Pada pelaksanaan gadai tanah pertanian di Desa

Peraduan Binjai jumlah penebusan yang harus dibayarkan oleh pihak pemberi

gadai kepada pemegang gadai jumlahnya sama persis dengan jumlah emas atau

uang gadai, baik untuk gadai yang ditentukan waktunya ataupun tidak ditentukan

waktunya. Hal tersebut dibenarkan oleh semua subjek penelitian bahwa jumlah

emas atau uang gadai yang diberikan haruslah sama dengan jumlah emas atau

uang penebusan, baik untuk gadai yang berlangsung kurang dari tujuh tahun

ataupun lebih dari tujuh tahun.

Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan gadai

tanah pertanian di Desa Peraduan Binjai terdapat hal yang menyimpang dari

ketentuan hukum nasional yang berlaku atau dengan kata lain transaksi gadai

tanah pertanian yang terjadi di Desa Peraduan Binjai berdasarkan Pasal 7 ayat (1)

dan ayat (2) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 belum efektif hal tersebut

tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-

faktor tersebut di antaranya meliputi :


95

A. Belum Ada Sosialisasi Mengenai Masalah Gadai Tanah Pertanian yang

Telah Diatur Dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 di Desa

Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang dari

Pihak Berwenang.

Pemberian sosialisasi mengenai gadai tanah pertanian yang telah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 merupakan tugas dari

berbagai pihak, seperti dari pihak kepala Desa, instansi pertanahan, pihak

akademisi seperti dari perguruan tinggi, serta pejabat lain yang berwenang.

Dengan adanya sosialisasi masyarakat akan terbantu untuk mendapatkan

informasi mengenai ketentuan gadai tanah pertanian.

Masyarakat Desa Peraduan Binjai pada umumnya tidak mengetahui

ketentuan gadai tanah pertanian berdasarkan Undang-Undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960 yang berlaku, masyarakat hanya mengetahui ketentuan gadai

tanah pertanian sebagaimana kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan

berulang-ulang. Hal tersebut terlihat pada hasil penelitian yang menunjukkan

bahwa semua subjek penelitian baik pemberi ataupun pemegang gadai tanah

pertanian tidak mengetahui sama sekali mengenai undang-undang yang

mengatur mengenai masalah gadai tanah pertanian.

Di Desa Peraduan Binjai sejauh ini tidak pernah ada sosialisasi yang

terkait mengenai Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Kepala Desa

Peraduan Binjai menyebutkan bahwa tidak pernah ada sosialisasi kepada

masyarakat Desa Peraduan Binjai terkait dengan ketentuan gadai tanah


96

pertanian dari pihak manapun101. Hal tersebut juga dibenarkan oleh seluruh

subjek penelitian bahwa di Desa Peraduan Binjai memang belum pernah ada

sosialisasi terkait aturan gadai tanah pertanian khususnya Undang-Undang

Nomor 56 Prp Tahun 1960.

Subyek penelitian menjelaskan bahwa selama ini di Desa Peraduan

Binjai belum pernah diadakan sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor

56 Prp Tahun 1960 baik itu dari pihak Kepala Desa atau dari instansi

pemerintah yang berwenang. Tidak adanya sosialisasi mengenai ketentuan

gadai tanah pertanian menjadikan masyarakat Desa Peraduan Binjai tidak

mengetahui ketentuan gadai tanah pertanian berdasarkan Undang-undang.

Sebenarnya dengan dilakukannya sosialisasi masyarakat akan terbantu untuk

mengetahui ketentuan dari gadai tanah pertanian tersebut.

B. Kultur Masyarakat Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai

Kabupaten Kepahiang yang Menganggap Ketentuan Undang-Undang

Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tidak Sesuai dengan Kebiasaan-kebiasaan

yang Terdapat di Lingkungannya.

Dalam pelaksanaan gadai tanah pertanian masyarakat Desa Peraduan

Binjai cenderung terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi

kebiasaan dalam lingkungannya. Kebiasaan yang dimaksud oleh masyarakat

Desa Peraduan Binjai adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang

yang diikuti dan diterima oleh masyarakat secara terbuka bukan karena

keterpaksaan. Hal tersebut menjadikan masyarakat tidak tahu akan

101
Wawancara dengan Bapak Sukiman Dahri, Kepala Desa Peraduan Binjai, Kepahiang,
13 Mei 2020.
97

diberlakukannya Hukum Nasional yang mengatur masalah gadai tanah

pertanian seperti Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang

penetapan luas tanah pertanain.

Masyarakat Desa Peraduan Binjai menganggap bahwa ketentuan Pasal

7 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tidak sesuai dengan kebiasaan-

kebiasaan yang ada di lingkungan masyarakat, masyarakat menilai bahwa

kebiasaan mereka didasari oleh rasa ingin saling tolong menolong dan bukan

karna paksaan, mereka melakukannya karena kemauan masing-masing

dengan tujuan tolong menolong serta ketentuan undang-undang tersebut

dirasa oleh masyarakat akan menimbulkan kerugian bagi pemegang gadai, hal

tersebut timbul karena tidak disadarinya maksud dan tujuan dari ketentuan

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, bila dikaji sebenarnya

ketentuan tersebut adalah untuk mengurangi unsur-unsur pemerasan yang

terkandung dalam transaksi gadai tanah pertanian.

C. Kurangnya Pemahaman Masyarakat di Desa Peraduan Binjai

Kecamatan Tebat Karai Mengenai Peraturan Undang-Undang Nomor

56 Prp Tahun 1960

Kurangnya pemahaman masyarakata Desa Peraduan Binjai terhadap

maksud dan tujuan dari ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960 adalah karena pada umumnya masyarakat tradisional mempunyai

keterbatasan akses untuk memperoleh segala informasi, termasuk juga

informasi mengenai ketentuan aturan hukum nasional. Demikian juga dialami

oleh masyarakat Desa Peraduan Binjai, karena secara umum mayarakat Desa
98

Peraduan Binjai cenderung merupakan masyarakat tradisional. Rata-rata

subyek penelitian yang berkedudukan sebagai pemberi gadai tanah pertanian

sedang menghadapi kesulitan ekonomi, sehingga tidak terbersit dalam pikiran

mereka untuk mencari dan menambah informasi atau pengetahuan, terutama

yang berkaitan tentang hukum lebih lagi hukum yang berkenaan dengan

masalah gadai tanah pertanian. Mereka cenderung berpikir untuk mencari

banyak uang untuk dapat menebus kembali tanah pertaniannya yang telah

digadaikan. Begitu juga dengan pemegang gadai umumnya mereka pun sama

dengan pihak pemberi gadai. Pemegang gadai tanah pertanian memberikan

bantuan dalam bentuk dana tidak lain karena adanya rasa kekeluargaan.

Rendahnya kesadaran hukum masyarakat di Desa Peraduan Binjai dapat

dilihat dari hasil wawancara terhadap semua masyarakat subyek penelitian

yang tidak setuju dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960. Umumnya masyarakat tidak mau terikat terhadap Pasal 7

Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Tidak mau terikatnya

masyarakat Desa Peraduan Binjai terhadap ketentuan Undang-undang yang

mengatur mengenai gadai tanah pertanian erat keitannya dengan tidak

disadarinya tujuan dari Undang-undang tersebut. Pada dasarnya ketentuan

tersebut menjamin hak-hak pemberi gadai agar tidak dirugikan, namun

kenyataan yang ada di Desa Peraduan Binjai selama ini pihak pemberi gadai

tidak merasa dirugikan. Dari kurangnya kesadaran hukum tersebut

menjadikan masyarakat Desa Peraduan Binjai melaksanakan gadai tanah


99

pertanian tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960 yang berlaku.

Rendahnya kesadaran hukum masyarakat Desa Peraduan Binjai dalam

pelaksanaan gadai tanah pertanian terbukti dari penguasaan tanah pertanian

yang digadaikan kepada pemegang gadai sekalipun telah lebih dari 7 tahun

serta penebusan gadai tanah pertanian oleh pemberi gadai atau pemilik tanah

yang tidak sesuai dengan rumus dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56

Prp Tahun 1960.

Rendahnya pengetahuan hukum masyarakat Peraduan Binjai, hal

tersebut dapat dilihat jelas dari pernyataan subjek penelitian, semua subjek

penelitian disela-sela jawaban atas pertanyaan mengenai keberlakuan

Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang mengatur tentang batasan

waktu dan cara penebusan gadai tanah pertanian, menyatakan bahwa mereka

sama sekali tidak tahu tentang Undang-Undang tersebut sehubungan dengan

penyimpangan gadai tanah pertanian pada ketetapan waktu 7 tahun dan

jumlah penebusan gadai tanah pertanian yang mereka lakukan.

Bapak Himin (47 tahun) mengemukakan bahwa masyarakat

menganggap hanya orang-orang tertentu saja yang tahu tentang aturan itu

seperti halnya Kepala Desa102. Dari hasil penelitian juga dapat diketahui

bahwa seluruh subjek penelitian mengakui bahwa mereka baru mendengar

untuk pertama kalinya bahwa ada Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun

102
Wawancara dengan Bapak Himin, Masyarakat Desa Peraduan Binjai Pemegang Gadai,
Kepahiang, 13 Mei 2020.
100

1960 yang mengatur tentang batasan waktu serta aturan penebusan dalam

transaksi gadai tanah pertanian dari penelitian tersebut.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian yang telah penulis

uraikan sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan sando

(gadai) tanah di Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten

Kepahiang tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun

1960. Hal tersebut dapat dibuktikan dari transaksi gadai tanah pertanian

yang dilakukan oleh masyarakat Desa Peraduan Binjai belum sesuai

dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penatapan Luas

Tanah Pertanian, tidak adanya batasan waktu membuat gadai tanah

pertanian di Desa Peraduan Binjai dapat berlangsung 7 tahun atau bahkan

melampuinya serta cara penebusan uang gadai masih berdasarkan adat

atau kebiasaan masyarakat dimana pemilik tanah harus menebus kembali

tanahnya sesuai dengan jumlah uang yang dipinjam walaupun dari hasil

keuntungan yang diperoleh pemegang gadai selama beberapa tahun dari

tanah tersebut jauh lebih besar dari utang pokok pemilik tanah.
102

2. Dapat diketahui alasan masyarakat Desa Peraduan Binjai, Kecamatan

Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang tidak melaksanakan pengembalian

sando tanah berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No.56 Prp Tahun

1960 yaitu disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :

a. Belum ada sosialisasi mengenai masalah gadai tanah pertanian yang

telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 di

Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang

dari pihak berwenang.

b. Kultur masyarakat Desa Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai

Kabupaten Kepahiang yang kenganggap Ketentuan Undang-Undang

Nomor 56 Prp Tahun 1960 tidak sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan

yang terdapat di lingkungannya.

c. Kurangnya pemahaman masyarakat di Desa Peraduan Binjai

Kecamatan Tebat Karai mengenai Undang-Undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960.

B. Saran

Setelah melakukan dan menyelesaikan penelitian ini, saran yang dapat

penulis berikan adalah sebagai berikut :

1. Mengadakan sosialisasi dari pihak yang berwenang serta para akademisi

mengenai Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan

Luas Tanah Pertanian untuk seluruh masyarakat khususnya masyarakat

Peraduan Binjai Kecamatan Tebat Karai Kabupaten Kepahiang yang

bertujuan untuk memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat


103

bahwa adanya Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 khususnya

pada Pasal 7 ayat (1) dan (2) adalah untuk menjaga hak-hak dari masing-

masing pihak yang melakukan gadai tanah yaitu pemberi gadai dan

pemegang gadai. Disamping itu diharapkan pula agar sifat-sifat yang

bertentangan dengan UUPA dapat segera dihapuskan.

2. Memberikan pendekatan atau pengertian serta akses informasi dan ilmu

pengetahuan untuk seluruh masyarakat khususnya yang melakukan

transaksi gadai tanah (sando) agar masyarakat dapat lebih memahami

batas waktu penebusan gadai tanah serta cara penebusan gadai tanah

sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56

Prp Tahun 1960.


DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, Balai Pustaka, Jakarta, 1980.

Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal (Revitalisasi Hukum Adat Indonesia),
Jakarta: Grasindo, 2010.

Andry Harjianto Hartiman, Bunga Rampai Kasus-Kasus Pertanahan di Bengkulu,


Bengkulu: Lemlit Unib Press, 2004.

........................................., dkk, Bahan Ajar Hukum Adat, (Departemen


Pendidikan Nasional Universitas Bengkulu Fakultas Hukum 2018).

Arba, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2017.

Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat, Hak Menguasai Negara atas Sumber
Daya Alam Kehutanan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum
Adat, Bandung: Refika Aditama, 2015

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-


Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti, 2016.

Emelia Kontesa, Penyelenggaraan Usaha Perkebunan Berbasis Pranata Hukum


Masyarak at Lokal, Jakarta: Penerbit Citra Harta Prima, 2018.

Herawan Sauni, Hukum Agraria (Akses Petani Untuk Menguasai Tanah


Pertanian), Jakarta: Cipta Grafika, 2014

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: 2003.

Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Iskandar, Herawan Sauni, Dkk, Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana
Hukum (S1), Bengkulu, 2018.

Laksanto Utomo, Hukum Adat, Depok: Rajawali Pers, 2017.

Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.

Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013.

104
Profil Desa Peraduan Binjai, Pemerintah Kabupaten Kepahiang Kecamatan Tebat
Karai Desa Peraduan Binjai

Rosdalina, Hukum Adat, Deepublish, Yogyakarta: 2017.

Sahnan, Hukum Agraria Indonesia, Malang: Setara Perss, 2018.

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo


Persada, 2014.

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Penerbit


Ind-Hill Co, 1990.

Suriyaman Mastari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, Kencana,
Jakarta : 2017.

Urip Santoso, Hukum Agraria : Kajian Komprehensif, Kencana, 2012.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 Tahun 1963 Tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Gadai.

Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah


Pertanian.

Jurnal

Hamdani Ma’akir dan Emelia Kontesa, “Inkonsistensi Peraturan Perundang-


Undangan Dalam Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat”, Jurnal Ilmiah Kutei, Edisi 26, April 2014

Herawan Sauni, “Konflik Penguasaan Tanah Perkebunan”, UBELAJ, Vol. 1, No.


1, Oktober 2016

Muji Rahardjo dan Sigit Sapto Nugroho, “Gadai Tanah Menurut Hukum Adat”,
Sosial, Vol. 13, No. 2, September 2012

105
LAMPIRAN

106
107
108
109
110
111
112
113
114
115

Anda mungkin juga menyukai