Anda di halaman 1dari 143

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN

PELESTARIAN CAGAR BUDAYA BERDASARKAN


PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR
NOMOR 2 TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S1)


Pada Bagian Hukum dan Masyarakat
Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia

OLEH :

KHAIRIL AKRAM

No.Stb : 040.2011.0256

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2016
YAYASAN WAKAF
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
FAKULTAS HUKUM

Sekretariat : FH-UMI Jl. Urip Sumoharjo Km.5 Kampus II UMI Tlp.:0411-44871 Fax.:0411-447936 Mks,90231

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa Skripsi tersebut di bawah ini :

J udul : TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN

PELESTARIAN CAGAR BUDAYA

BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA

MAKASSAR NOMOR 2 TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : KHAIRIL AKRAM

Program Studi : ILMU HUKUM

Bagian : HUKUM DAN MASYARAKAT

Dasar Penetapan

Pembimbing : SK DEKAN NO. 524/H.05/FH-UMI/II/2015

Telah diperiksa dan di setujui untuk diajukan dalam ujian skripsi.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Said Sampara, SH.,MH. Hj. Fauziah Basyuni,SH.,MH

Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum dan Masyarakat

Hasanuddin Kanenu, SH., MH

ii
PENGESAHAN SKRIPSI

Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Tentang Pengaturan Pelestarian

Cagar Budaya Berdasarkan Peraturan Daerah Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013

Nama Mahasiswa : KHAIRIL AKRAM

Stambuk : 040 2011 0256

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Dan Masyarakat

Dasar Penetapan : SK DEKAN NO. 524/H.05/FH-UMI/II/2015

Telah mengikuti ujian Skripsi dan disahkan oleh tom penguji pada hari kamis,

tanggal 21 Juli 2016, dan dinyatakan lulus oleh :

1. Prof. Dr. Said Sampara, SH., MH. ( )

2. Hj. Fauziah Basyuni, SH., MH. ( )

3. Dr.Andi Abidin, SH., MH. ( )

4. Hasanuddin Kanenu, SH., MH ( )

iv
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,

karena dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada program

studi strata satu/Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.

Serta salam kemuliaan bagi kekasih-Nya Rasulullah Muhammad SAW,

pembimbing bagi siapa yang mencarinya, pemegang kunci gerbang menuju-Nya.

Adapun judul yang penulis ajukan adalah sebagai berikut : “Tinjauan Yuridis

Tentang Pengaturan Pelestarian Cagar Budaya Berdasarkan Peraturan Daerah Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013”.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemukan hambatan dan

tantangan baik bersifat internal maupun eksternal sehingga penulis menyadari

sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagai

suatu karya ilmiah. Hal ini disebabkan oleh faktor keterbatasan penulis sebagai

manusia yang masih berada dalam proses pembelajaran. Selain daripada itu, dalam

penulisan skripsi ini penulis menganggap bahwa dalam menulis tugas akhir

merupakan salah satu cara ampuh dalam melawan rasa malas. Oleh karena itu,

penulis sangat mengharapkan partisipasi aktif dari semua pihak berupa saran dan

kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaannya.

Skripsi ini khusus penulis persembahkan kepada ayahanda tercinta

Alimuddin yang semenjak lahir hingga sekarang telah mendidik penulis dengan

v
ikhlas dan tiada henti-hentinya memberikan motivasi. Ibunda Hasna yang telah

melahirkan penulis terima kasih telah memberikan kesempatan kepadaku untuk

hidup semoga beliau dapat beristirahat dengan tenang di alam sana. Tidak lupa pula

dengan Ibunda Juderiah yang penuh cinta dan kasih sayang membesarkan penulis

dengan segala pengorbanan yang tak ternilai harganya. Kepada saudara-saudaraku

tersayang Uli, Lia dan Riri, serta seluruh keluarga yang telah memberikan

dukungan serta bantuan moril selama ini. Ucapan terima kasih terkhusus buat nenek

penulis tercinta Mapparimeng yang telah membesarkan penulis dan memberikan

kasih sayang pengganti kasih sayang seorang ibu ketika penulis lahir semoga beliau

tenang di peristirahatan terakhirnya. Untuk itu hanya do’a yang dapat penulis

panjatkan semoga senantiasa mendapat berkah, rahmat dan tetap dalam lindungan-

Nya. Amin.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Said Sampara, SH.,MH., selaku dosen Pembimbing I dan Hj.Fauziah

Basyuni, SH., MH., selaku dosen Pembimbing II yang dengan keikhlasannya

meluangkan waktu dan memberikan petunjuk serta arahannya kepada penulis

dalam menyusun skripsi ini.

2. Dr. Andi Abidin, SH., MH., dan Hasanuddin Kanenu, SH., MH., selaku dosen

penguji yang telah banyak memberikan saran dan petunjuk kepada penulis

dalam menyusun skripsi ini.

3. Hj. Muryani Sufran, SH., MH., selaku Penasehat Akademik penulis selama

mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.

vi
4. Dr. H. Muhammad Syarif Nuh, SH., MH., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muslim Indonesia.

5. Semua dosen-dosen beserta staf akademik yang telah membantu dan

mendorong penulis selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum

Universitas Muslim Indonesia.

6. Dan semua orang yang memungkinkan karya kecil ini terlahir.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu

Hukum dan penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang

setimpal atas bantuan dan jasa-jasa semua pihak yang telah berupaya membantu

penyusunan skripsi ini. Amin Ya Rabbal Alamin.

Wassalamu Alaikum Wr. Wb.

Makassar, 2 Juni 2016

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN DEKAN ................................................................ iii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................... iv

KATA PENGANTAR ....................................................................................... v

DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 4

D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Istilah dan Pengertian Cagar Budaya .............................................. 7

a. Istilah Cagar Budaya ....................................................................... 7

b. Pengertian Cagar Budaya ................................................................11

a) Monumen ........................................................................................11

b) Benda Cagar Budaya .......................................................................13

c) Cagar Budaya ..................................................................................15

1) Benda Cagar Budaya .............................................................16

2) Bangunan Cagar Budaya .......................................................18

3) Struktur Cagar Budaya ..........................................................19

4) Situs Cagar Budaya ................................................................20

viii
5) Kawasan Cagar Budaya .........................................................23

B. Pelestarian Cagar Budaya ................................................................24

a. Perlindungan Cagar Budaya ............................................................29

a) Penyelamatan .........................................................................29

b) Pengamanan ...........................................................................30

c) Zonasi ....................................................................................31

d) Pemeliharan ...........................................................................33

e) Pemugaran .............................................................................33

b. Pengembangan Cagar Budaya .........................................................35

a) Penelitian ...............................................................................35

b) Revitalisasi .............................................................................36

c) Adaptasi .................................................................................36

c. Pemanfaatan Cagar Budaya ............................................................37

C. Desentralisasi Cagar Budaya ...........................................................38

a. Azas – Azas Otonomi Daerah .........................................................38

1. Azas Desentralisasi ................................................................40

2. Azas Dekonsentrasi ...............................................................41

3. Azas Tugas Pembantuan ........................................................42

b. Tugas dan Wewenang Pelestarian Cagar Budaya ...........................42

1. Tugas Pelestarian Cagar Budaya ...........................................43

2. Wewenang Pelestarian Cagar budaya ....................................44

c. Penetapan Cagar Budaya .................................................................47

1. Penetapan Warisan Budaya .............................................................47

ix
a) Pendaftaran ............................................................................47

b) Pengkajian ..............................................................................48

c) Penetapan ...............................................................................50

2. Penetapan Zona Cagar Budaya .......................................................51

3. Penetapan Peringkat Cagar Budaya ................................................51

D. Hak, Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat .................................52

a. Hak .........................................................................................52

b. Kewajiban ..............................................................................53

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah ...............................................................................56

B. Lokasi Penelitian ....................................................................................56

C. Jenis dan Sumber Data ...........................................................................57

D. Teknik Pengumpulan Data .....................................................................58

E. Analisis Data ..........................................................................................59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Cagar Budaya ......................................................................61

B. Wewenang Pengaturan Pelestarian Cagar Budaya di Kota Makassar ....71

C. Badan Pemerintah Yang Terkait Pelestarian Cagar Budaya ...................96

a. Museum Kota Makassar ...................................................................96

b. Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar.....................................99

c. Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar ............................104

d. Badan Lingkungan Hidup Daerah Kota Makassar ...........................113

x
e. Balai Pelestarian Cagar Budaya Kota Makassar ..............................119

D. Pemberdayaan Masyarakat Terkait Pelestarian Cagar Budaya ...............122

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................. 126

B. Saran ....................................................................................................... 128

DAFTAR PUSTAKA

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cagar budaya merupakan salah satu bagian dari kebudayaan bangsa

Indonesia di masa lampau yang kini masih banyak tersebar di pelosok negeri, perlu

penanganan secara khusus agar tinggalan budaya tersebut dapat diselamatkan dan

dilestarikan keberadaannya. Sebagai salah satu upaya memajukan kebudayaan

nasional Indonesia secara keseluruhan sebagaimana telah diamanatkan dalam

Undang – Undang Dasar 1945 Amandemen keempat pada Pasal 32 ayat (1) yang

berbunyi :

Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah


peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Secara gamblang dalam pasal terkait sebagai konstitusi Negara Kesatuan

Republik Indonesia mengintruksikan kepada setiap elemen masyarakat agar

menjunjung tinggi nilai-nilai dalam kebudayaan sebagai identitas nasional.

Kebudayaan merupakan keseluruhan aspek kehidupan yang mencakup pengetahuan,

kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, kemampuan dan kebiasaan lainnya yang

diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Bahkan di dalam Islam pun terdapat

ayat suci Al-Qur’an yang berkenaan dengan wujud kebudayaan bendawi, yaitu :

Quran Surat Al-Ahzab : ayat 27

1
2

Artinya : Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta

benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah

Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.

Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan

manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya. Pada dasarnya tata

kehidupan dalam masyarakat tertentu merupakan pencerminan yang konkrit dari nilai

budaya yang bersifat abstrak (Soekmono, 1990 : 10).

Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan memiliki tiga dimensi

wujud. Pertama, kebudayaan berupa kompleks gagasan, konsep, dan pikiran

manusia. Kedua kebudayaan berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi.

Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda. (Munandar, 2000 : 186) Dengan kata

lain dapat disimpulkan bahwa hasil kebudayaan yang bersifat kebendaan (tangible)

yaitu tinggalan budaya yang berwujud atau berupa benda dan hasil kebudayaan

yang bersifat tak benda atau tak berwujud (intangible).

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan tersebut, maka cagar budaya

pada dasarnya adalah tinggalan budaya yang bersifat kebendaan dalam hal ini

tersirat makna bahwa yang tergolong sebagai cagar budaya hanyalah tinggalan

budaya yang benda atau berwujud dengan kata lain tinggalan budaya yang tak

berwujud tidak tergolong ke dalam cagar budaya.

Cagar budaya merupakan benda hasil pikiran dan karya manusia yang berasal

dari masa lampau atau biasa disebut jaman purbakala memiliki sifat rapuh, unik,

langka, terbatas, dan tidak terbarui, sudah barang tentu sebagian diantaranya telah

hancur, rusak bahkan ada yang tinggal hanya puing-puing belaka sangat besar
3

kemungkinan sudah terpendam di dalan tanah yang tentunya memerlukan kegiatan

tehnis tertentu untuk menyelamatkannya. Begitu pula keberadaan cagar budaya itu,

ada di darat (perkotaan, pedesaan, pegunungan, lembah atau di hutan) serta di air

(laut, danau, sungai atau di rawa) memerlukan pengaturan secara seksama untuk

menjamin eksistensinya.

Fenomena tersebut menunjukkan kompleksnya masalah di bidang pelestarian

cagar budaya, sehingga perlu penyelenggaraan kegiatan pelestarian secara

seksama, tidak hanya bertumpuh pada kegiatan penata usahaan (perencanaan,

pembiayaan dan sumber daya manusia) atau kegiatan teknis (pencatatan,

pemeliharaan, penelitian, perizinan, pengamanan, penyelamatan, pemugaran,

revitalisasi, pengukuran dan penggambaran, pewilayahan/zonasi, konservasi dan

sebagainya), namun tak kalah pentingnya adalah “masalah hukum“ yaitu

pengaturan pelestarian cagar budaya.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar budaya LN Tahun

2010 Nomor. 130 TLN tahun 2010 Nomor 5168, sebagai landasan hukum dalam

upaya melestarikan cagar budaya yang pengaturannya mencakup antara lain:

kriteria, penguasaan, pemilikan, pengalihan hak, penemuan dan pencarian,

perizinan (membawa benda cagar budaya antar tempat, kota, pulau, mancanegara

dan sebagainya), pendataan, pendaftaran, penetapan warisan budaya menjadi cagar

budaya oleh Bupati/Walikota, pemeringkatan cagar budaya (Kabupaten/Kota,

Provinsi, dan Pusat), pencatatan dan penghapusan, perlindungan , pengembangan,

pemanfaatan, tugas dan wewenang, pendanaan, pengawasan, dan ketentuan

mengenai pemidanaan dan sebagainya.


4

Semangat otonomi daerah serta tolok ukur implementasi Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, maka azas-azas desentralisasi,

dekonsentrasi serta tugas pembantuan. Demikian pula prinsip demokratisasi harus

diakomodir dalam peraturan perundang-undangan, termasuk upaya pelestarian

cagar budaya di daerah-daerah.

Desentralisasi pelestarian cagar budaya khususnya di Kota Makassar, ditandai

dengan berlakunya Perda Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya,

dan ditingkat provinsi dengan berlakunya Perda Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya. Kehadiran Perda tersebut diharapkan

mengatur secara komprihensif terhadap kompleksitas masalah pelestarian cagar

budaya di wilayah ini, sehingga warisan budaya nenek moyang kita, dapat

dilestariakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, sejarah, ilmu

pengetahuan, kebudayaan dan pariwisata, serta dapat diwariskan kepada generasi

selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari dasar pemikiran sebagaimana dikemukakan tersebut, maka dalam

penulisan ini mengangkat pokok permasalahan, sebagai berikut:

a. Sejauhmanakah wewenang Pemerintah Daerah dalam upaya melestarikan

cagar budaya di wilayah hukum Kota Makassar .

b. Bagaimanakah hak-hak dan peranserta masyarakat dalam pelestarian cagar

budaya.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


5

a. Untuk mengetahui dan menganalisa hak dan wewenang Pemerintah Daerah

Kota Makassar dalam upaya pelestarian cagar budaya;

b. Untuk mengetahui dan menganalisa hak-hak dan peranserta masyarakat dalam

melestarikan cagar budaya di wilayah hukumnya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

D. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan judul penulisan dan rumusan masalah yang diajukan tersebut, maka

hasil penelitian dan penulisan skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Segi Teori

1) Bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya

dan khususnya mengenai hukum cagar budaya serta sebagai referensi,

informasi kepada siapun yang berminat melakukan kajian, penelitian

mengenai cagar budaya;

2) Bermanfaat sebagai bahan pertimbangan, referensi guna mendorong

penetapan hukum cagar budaya sebagai salah satu bahan pelajaran dalam

rangka penyusunan kurikulum Fakultas Hukum di Indonesia.

b. Segi Praktik

1) Bermanfaat sebagai bahan pengetahuan praktis dan gambaran mengenai

tugas, wewenang badan tata usaha negara dalam mewujudkan pelestarian

cagar budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku khususnya di kota Makassar


6

2) Bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang ingin mengetahui hak-hak,

kewajiban maupun keterlibatan masyarakat dalam upaya melestarikan cagar

budaya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Istilah dan Pengertian Cagar Budaya

a. Istilah Cagar Budaya

Secara etimologi cagar budaya berasal dari dua kata yaitu cagar dan budaya,

cagar berarti perlindungan dan kata budaya berarti hasil pikiran, akal budi manusia.

Jadi cagar budaya dapat diartikan sebagai suatu upaya perlindungan terhadap hasil

pikiran, akal budi dari manusia. Untuk hal pengistilahan cagar budaya memiliki

istilah yang berbeda-beda terlebih karena sudut pandang yang berbeda dan

perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi dalam melihat cagar budaya.

Istilah cagar budaya merupakan suatu istilah yang digunakan dalam

perundang-undangan yang tidak lain wujudnya adalah hasil kebudayaan masa silam

yang berwujud benda atau warisan budaya bendawi , dalam pergaulan sehari-hari

dikalangan masyarakat sering kali digunakan istilah seperti barang antik, benda

kuno, benda pusaka, peninggalan sejarah dan purbakala, peninggalan purbakala.

Sebagai ilmu yang sangat erat kaitannya dengan cagar budaya, Ilmu Arkeologi

memiliki istilah yaitu sumberdaya arkeologi, warisan budaya dan sumberdaya

budaya hingga penggunaan yang spesifik seperti artefak, ekofak, fitur dan situs.

Menurut Collin Renrew dan Paul Bahn (1996: 11-12) sumberdaya budaya

adalah hasil aktifitas masa lalu, dapat berupa artefak, fitur, struktur, dan situs yang

meliputi benda, bangunan, serta lansekap dan sebagai bukti peristiwa pada suatu

lokasi tertentu. Kemudian oleh Carman (2002: 11-12) menjelaskan bahwa istilah

sumberdaya arkeologi yang didalamnya terdiri atas situs, fakta-fakta fisik

7
8

berkenaan dengan keseluruhan dari kehidupan masyarakat masa lampau, dan semua

fakta fisik tersebut digunakan sebagai data untuk merekonstruksi pola-pola hidup

masyarakat masa lampau.

Organisasi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui salah

satu lembaganya yaitu Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural

Organization) yang fokus bekerja di bidang kebudayaan pada tahun 1972

memberikan definisi terkait warisan budaya yaitu ; secara garis besar warisan

budaya terdiri dari monumen, kawasan bangunan dan situs. Monumen yang

merupakan suatu karya berupa patung monumental, lukisan, karya arsitektur,

elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua hunian dan kombinasi

ciri-ciri yang memiliki nilai universal dan luar biasa dari sudut pandang sejarah,

seni atau ilmu pengetahuan. Kawasan bangunan yang dimaksud yaitu suatu

kelompok bangunan yang karena terpisah ataupun terhubung karena kesamaan

arsitektur dalam suatu lanskap tertentu memiliki nilai universal dan luar biasa yang

di pandang dari sudut sejarah, seni atau ilmu pengetahuan. Situs yaitu suatu wilayah

karya manusia atau gabungan karya manusia dengan alam termasuk situs arkeologi

(kepurbakalaan) yang memiliki nilai universal dan luar biasa dari dari sudut

pandang sejarah, estetika, titik etnologis atau antropologi. (Unesco, 1972 : 2).

Istilah cagar budaya itu sendiri sebenarnya telah lama digunakan di kalangan

praktisi maupun akademisi telah berkembang bahkan ketika masih berlakunya

Monumenten-Ordonantie Staatblad 1931 Nomor 238 di zaman pemerintahan

Hindia Belanda di Indonesia, beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam

“Himpunan Peraturan-Peraturan Perlidungan Cagar Budaya Nasional”, antara lain:


9

a) Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor:

01/A.1/1973, tanggal, 8 Januari 1973 tentang Kerjasama Kepala Perwakilan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kepolisian RI dalam

Pengamanan/Penyelamatan Cagar Budaya Nasional Indonesia. Dalam

keputusan tersebut menggunakan istilah “benda-benda purbakala/cagar

budaya Nasional Indonesia “ ;

b) Instruksi Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Nomor: INS-

002/KOPKAM/I/1973 tentang Pengamanan Cagar Budaya

Nasional/Indonesia, yang ditujukan kepada Kapolri, para Laksus

Pangkopkamtib Wilayah dan para Laksus Kopkamtib daerah Untuk

mengamankan dan menyelamatkan cagar budaya nasional/Indonesia, yaitu

antara lain:

1. Mencegah dan mengamankan mengalirnya benda-benda budaya dan

barang-barang kuno dalam perdagangan ke luar negeri,yang

mengakibatkan proses pemiskinan kehidupan budaya Indonesia serta

sangat merugikan budaya dan ilmu pengetahuan.

2. Melindungi keselamatan obyek-obyek bersejarah yang bernilai sebagai

peninggalan dan warisan leluhur, serta ikut membina dan meningkatkan

Museum-Museum yang berada dalam lingkungan daerahnya.

c) Petunjuk Pelaksanaan Markas Besar Kepolisian RI Nomor:

JUKLAK/LIT/01/I4/1973, tanggal, 23 April 1973 tentang pengamanan dan

Penyelamatan Benda-Benda Purbakala, dalam juklak tersebut juga

digunakan istilah “ benda-benda purbakala peninggalan sejarah “.


10

d) Keputusan bersama Kepala Perwakilan P dan K Provinsi Sulawesi Selatan

Nomor: 020/Set/A.9/Perw/73 dam Kepala Daerah Kepolisian XVIII Sulselra

No.Pol. : SKEP/117/XII/1973 tentang Pengamanan Benda-benda cagar

Budaya di daerah Sulawesi selatan, dalam keputusan ini, selain istialah cagar

budaya, juga digunakan istilah cagar budaya, benda-benda purbakala (cagar

budaya), cagar budaya nasional dan istilah barang antik.

e) Surat Kepala Badan Koordinasi Kepolisian Khusus Nomor: Polsus/17/I/76

tanggal, 10-1-1976 prihal pengamanan, penyelamatan dan perlindungan

benda-benda cagar budaya nasional.

f) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor: 432 – 178, tanggal, 20 Pebruari

1982, keputusan ini menggunakan istilah “ Benda-benda Peninggalan Sejarah

dan Purbakala “.

Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 14 yang berbunyi: Ketentuan

tentang perlindungan cagar budaya ditetapkan dengan undang-undang.

Dengan demikian istilah cagar tidak lain adalah peninggalan sejarah dan purbakala

yang berwujud benda, atau peninggalan purbakala, benda kuno, barang anti dan

beberapa istilah sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Instruksi Pasal 14 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tersebut, maka

lahirlah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992, maka istilah yang dipakai adalah

“Benda Cagar Budaya“ dan selanjutnya Undang-undang ini diubah/diganti dengan

Undang-undang Nomor: 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang berbasis

otonomi daerah.
11

b. Pengertian Cagar Budaya

a) Monumen

Pada jaman penjajahan di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda telah

mengeluarkan peraturan guna melindungi cagar budaya, pada waktu itu pemerintah

Hindia Belanda menggunakan istilah “ Monumen“ yang diatur dalam Monumenten

Ordonantie. (MO) Staatblaad 1931 Nomor 238, Pasal 1 berbunyi :

(1.) Yang dianggap sebagai monumen dalam peraturan ini:


a) Bagian benda-benda atau kelompok benda-benda yang
bergerak maupun tidak bergerak dan juga sisa-sisanya yang
dibuat oleh tangan manusia, yang pokoknya berumur sedikit-
dikitnya 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting
bagi prasejarah, sejarah atau kesenian.
b) Benda-benda yang dianggap mempunyai nilai penting
dipandang dari sudut paleo-anthropologi.
c) Tanah yang mempunyai petunjuk yang kuat dasarnya bahwa
didalamnya terdapat benda-benda seperti termasuk ad b.
Segala sesuatu asalnya dicantumkan sementara maupun
tetap dalam sebuah daftar, disebut daftar monumen pusat
yang diusahakan terus oleh Kepala Dinas Purbakala.

(2.) Mengenai benda-benda yang dimaksud pada ayat a tersebut


disamakan dan pada waktu itu juga didaftarkan benda-benda
bergerak atau tidak bergerak yang menurut maksud aslinya atau
maksud sekarang, termasuk padanya tanda-tanda yang
tanamannya, bangunannya atau keadaan umumnya mempunyai
atau dapat mempunyai kepentingan yang langsung bagi benda-
benda yang disebut pada ayat terdahulu yaitu benda-benda yang
dimaksud pada ayat a.

Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka “monumen“ memiliki beberapa

jenis yakni monumen dapat berupa benda bergerak atau benda tak bergerak bisa

dalam bentuk kesatuan atau berkelompok serta bisa berupa sisa-sisa benda, dapat

berupa tanah atau lokasi yang didalamnya terdapat benda-benda bergerak atau tidak

begerak dimaksud, bisa juga wujud benda lain seperti tanaman, bangunan, atau

tanda-tanda asalkan semuanya tercatat dalam daftar monumen pusat di Kantor


12

Dinas Purbakala, serta dapat berupa fosil manusia. Dari pengertian di atas juga

mengandung makna bahwa “monumen“ memiliki kriteria, yaitu berumur 50 tahun,

memiliki nilai penting bagi prasejarah, sejarah, kesenian dan palaeoantropologi.

Koentjaraningrat ( 1974 : 4 ) menjelaskan :

Palaeoantropologi adalah ilmu bagian antropologi yang mempelajari


dan meneliti soal asal-usul terjadinya dan perkembangan makhluk
manusia dengan mempergunakan sebagai obyek penelitian sisa-sisa
tubuh yang telah membatu atau fosil-fosil manusia dari zaman dahulu
yang tersimpan dalam lapisan-lapisan bumi dan harus didapat oleh
peneliti dengan berbagai metode.

Dengan demikian monumen yang kemudian diidentikkan dengan cagar

budaya memiliki cakupan benda-benda yang amat banyak yakni benda-benda yang

berasal dari jaman Paleolitikum, mesolitikum, neolitikum, termasuk didalam suatu

lokasi, benda-benda lainnya yang terdaftar dalam daftar monumen pusat serta fosil

manusia, yang dalam perkataan sehari-hari biasa juga disebut “peninggalan

sejarah dan purbakala“. Uka Tjandrasasmita (1981: 1-2) menjelaskan bahwa

sejarah adalah kisah, peristiwa-peristiwa, perbuatan, kegiatan hasil fikiran-fikiran

dan lain sebagainya dari manusia dalam masyarakat masa lampau, dapat diteliti dan

dihimpun berdasarkan data-data atau bukti-bukti baik yang berupa bukti tertulis

maupun tidak tertulis dan bukti itulah yang biasa disebut sumber sejarah seperti:

prasasti, piagam, naskah, hikayat, perjanjian-perjanjian, benda-benda, bangunan-

bangunan, peralatan dan sebagainya, sedangkan peninggalan purbakala yang

dikaitkan dengan ilmunya (Archaeology) lebih menitikberatkan pada kekunoan

bendanya yakni batas usia benda 50 tahun yang mengacu kepada peraturan

Monumen Staatsblad 1931 nomor 238. Meskipun sejarah terjadinya sangat relatif

bisa beberapa saat lalu, hari, bulan atau tahun yang lalu, dengan demikian sumber-
13

sumber sejarah yang berwujud benda, yang berumur 50 tahun (kuno) dapat

digolongkan sebagai peninggalan sejarah dan purbakala.

b) Benda Cagar Budaya

Sebagai upaya pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan perubahan

peraturan perundang-undangan dibidang cagar budaya dan sebagai pengganti

peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda, maka dikeluarkanlah

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Ketentuan

Pasal 1 Undang-undang tersebut berbunyi, sebagai berikut :

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Benda cagar budaya adalah:


a. Benda buatan manusia,bergerak atau tidak bergerak yang
berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya
atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 (
lima puluh ) tahun, atau memiliki masa gaya yang khas
dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan
2. Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga
mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya
yang diperlukan bagi pengamanannya.

Lebih lanjut ditegaskan dalan Undang-undang mengenai lingkup pengaturannya,

yaitu ketentuan Pasal 3, berbunyi, sebagai berikut:

Lingkup pengaturan undang-undang ini meliputi benda cagar


budaya,benda yang diduga benda cagar budaya, benda berharga
yang tidak diketahui pemiliknya dan situs

Berdasarkan pengertian tersebut, maka cakupan yang dimaksud dengan

benda cagar budaya amat luas jika dibandingkan dengan pengertian monumen

menurut MO Staatblad 1931 Nomor 238 yang mengatur benda bergerak dan benda
14

tidak bergerak berumur 50 tahun yang memiliki nilai penting pagi prasejarah,

sejarah, kesenian, palaeoantropologi beserta tanah-tanah dan yang berkaitan

dengannya yang terdaftar pada daftar monumen pusat. Sedangkan benda cagar

budaya menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992, selain benda-benda yang

disebutkan tersebut di atas, juga meliputi benda berharga yang tidak diketahui

pemiliknya mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan

kebudayaan, serta situs/lokasi yang mengandung atau bahkan diduga mengandung

benda cagar budaya dan berumur 50 tahun.

Pengertian benda berharga dirumuskan dalam Pasal 1 Keputusan Presiden

Republik indonesia Nomor 43 tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan

dan Pemanfaatan Benda Berharga, bahwa benda berharga adalah benda yang

mempunyai nilai sejarah, budaya, ekonomi dan lainnya, sedangkan ketentuan Pasal

587 KUHPerdata memberikan pengertian harta karun yaitu segala kebendaan

tersembunyi atau terpendam, yang mana tiada seorangpun dapat membuktikan hak

milik terhadapnya dan didapatkanya karena kebetulan semata-mata.

Dengan demikian benda berharga asal muatan kapal tenggelam didasar laut

perairan Republik Indonesia tergolong sebagai benda cagar budaya menurut

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992. Begitu pula benda bergerak dan tidak

bergerak baik buatan tangan manusia maupun benda alam serta situs atau lokasi,

dalam ilmu pengetahuan kepurbakalaan (arkeologi), digolongkan ke dalam 3 (tiga)

jenis (Juknis Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala,

1985: 45-55), sebagai berikut :


15

a. Artefak (Artifact)adalah semua benda peninggalan


purbakala yang merupakan hasil karya manusia;
b. Ekofak (Ecofact) adalah benda-benda alam yang digunakan
atau mempunyai hubungan dengan aktivitas manusia masa
lalu, misalnya batu kali yang dijadikan pondasi rumah,
kerang-kerang sisa makanan orang jaman dahulu, daun
alang-alang yang dijadikan atap rumah;
c. Fitur (Feature) adalah semua data arkeologi yang tidak dapat
diangkat atau dipindahkan dar keletakannya (matriksnya).
Fitur dapat berupa benda, bangunan, kanal, kuburan, jalan
raya, bahkan bercak-bercak di atas tanah yang membentuk
satu pola keteraturan tertentu.

Pengertian tersebut memberi gambaran bahwa pada hakekatnyan yang

namanya monumen, peninggalan sejarah dan purbakala, benda cagar budaya,

artepak, ekofak, dan fitur semuanya mengandung pengertian dengan wujud

bendanya sama, yaitu yang kita sebut sebagai cagar budaya.

c) Cagar Budaya

Pengertian cagar budaya menurut ketentuan umum pasal 1 ayat (1) Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2010, yang selanjutnya diatur dalam pasal 1 ayat (8) Perda

Kota Makassar berbunyi, sebagai berikut:

Cagar budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan


berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur
cagar budaya, situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya di
darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan.

Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa cara budaya itu merupakan benda

berwujud (tangible), tempatnya bisa di darat atau di air serta karena memiliki nilai

penting, dan diisyaratkan pula melalui proses penetapan.

Agar lebih mudah dipahami dan lebih konkrit penulis akan menjelaskan unsur-

unsur dalam pengertian cagar budaya tersebut ;


16

1) Benda Cagar Budaya

Ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 dan ketentuan

Pasal 1 ayat (9) Peraturan Daerah Kota makassar Nomor 2 Tahun 2013, berbunyi,

sebagai berikut:

Benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan


manusia, baik bergerak mapun tidak bergerak, berupa kesatuan
atau kelompok , atau bagian-bagianya, atau sisa-sisanya yang
memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah
perkembangan manusia.

Dalam ilmu pengetahuan hukum khususnya yang berkaitan dengan masalah

kebendaan ini telah diatur secara jelas dalam Buku II Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata :

a) Pasal 499, bahwa: “Menurut paham undang-undang yang


dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap
hak yang dapat dikuasai hak milik “

b) Pasal 506 , bahwa : benda tak bergerak adalah Pekarangan-


pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya; penggilingan-
penggilingan (kecuali dimaksud pasal 510); pohon dan
tanaman ladang yang belum ditebang, buah yang belum
dipetik, barang tambang seperti batu bara, dan sebagainya
sepanjang benda tersebut pohon masih tertanam dalam
tanah tempatnya tumbuh/berada; termasuk kayu dihutan
yang belum ditebang; pipa dan got/saluran air dari
pekarangan/rumah atau bagian yang terpasang pada rumah.

Berkaitan dengan benda bergerak maupun benda tak bergerak dalam hubungannya

dengan pengertian benda cagar budaya, Prof. DR. Ny. Sri Soedewi Masjchoen

Sofwan, SH (1981 : 20) bahwa :

Benda bergerak karena sifatnya menurut pasal 509 KUHPerdata


ialah benda yang dapat dipindahkan misalnya meja atau dapat
pindah dengan sendirinya misalnya ternak. Benda tak bergerak
menurut sifatnya iahlah tanah dan segala sesuatu yang melekat
diatasnya misalnya : pohon-pohon (wortelvast), tumbuh-
tumbuhan kecil (takvast).
17

Secara umum baik benda cagar budaya maupun benda sebagaimana

pengertian menurut hukum terdapat kesamaan yaitu sifatnya yang bergerak dan

tidak bergerak. Namun pada sisi tertentu terdapat juga perbedaan terutama dari segi

nilai dan kriterianya.

Adapun kriteria cagar budaya, Pasal 5 Undang-undang nomor 11 tahun 2010 jo.

Pasal 5 Perda Nomor 2 tahun 2013, sebagai berikut:

a. Berusia 50 tahun (lima puluh tahun);


b. Memiliki masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh)
tahun;
c. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
d. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 jo. Pasal 6 Perda Nomor 2 Tahun

2013, berbunyi sebagai berikut :

Benda Cagar Budaya, dapat:

a. Berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang


dimanfaatkan oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat
dihubungkan dengan kegiatan manusia dan/atau dapat
dihubungkan dengan sejarah manusia;
b. Bersifat bergerak dan tidak bergerak; dan
c. Merupakan kesatuan atau kelompok.

Benda cagar budaya dapat berupa kesatuan atau kelompok, bergerak dan

tidak bergerak, misalnya keramik asing, keramik lokal (gerabah), meja, perhiasan,

keris, makam kuno atau sejenisnya, gapura dan sebagainya, baik itu dalam kondisi

utuh, tersendiri, berkelompok maupun kepingan-kepingan atau sisanya yang

memenuhi kriteria 50 tahun atau memiliki masa gaya yang khas/mewakili masa

gaya 50 tahun seperti benda yang memiliki ornamen atau ukiran, arsitektur

tradisonal yang bersal dari 50 tahun yang lalu serta memiliki nilai penting bagi
18

sejarah, agama, kebudayan dan/atau ilmu pengetahuan dapat digolongkan sebagai

benda cagar budaya atau cagar budaya.

2) Bangunan Cagar Budaya.

Ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 dan

ketentuan Pasal 1 ayat (10) dan ayat (11) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun

2013, berbunyi sebagai berikut:

Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari


benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi
kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding dan
beratap;

Berdasarkan pengertian bangunan cagar budaya tersebut dapat dipahami

bahwa bangunan cagar budaya menurut undang-undang adalah benda tidak

bergerak. Menurut hukum pada umumnya karena sifatnya yang tidak bergerak,

yang dapat berwujud bangunan rumah atau rumah adat, bangunan-bangunan

kolonial atau gedung-gedung lainnya yang tentunya hasil buatan manusia maupun

bersifat alami.

Pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 dan Pasal 7 Perda Nomor 2

Tahun 2013, berbunyi sebagai berikut:

Bangunan cagar budaya, dapat:

1. Berunsur tunggal atau banyak; dan/atau


2. Berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.

Penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

“berunsur tunggal “ adalah bangunan yang dibuat dari satu jenis bahan dan tidak

mungkin dipisahkan dari kesatuannya atau “ berunsur banyak “ adalah bangunan

yang dibuat lebih dari satu jenis bahan dan dapat dipisahkan dari kesatuannya,
19

sedangkan yang dimaksud “berdiri bebas“ adalah bangunan yang tidak terikat

dengan formasi alam, kecuali yang menjadi tempat kedudukannya. Kemudian yang

dimaksud dengan “menyatu dengan formasi alam“ adalah struktur yang dibuat di

atas tanah atau pada formasi alam lain, baik seluruh maupun bagian-bagian

strukturnya.

Ketentuan dan penjelasan peraturan perundang-undangan tersebut

memberikan gambaran bahwa benda yang berasal dari jaman dahulu (dengan batas

usia 50 tahun) yang memiliki masa gaya yang khas serta memiliki nilai penting bagi

sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang mempunyai ruangan dan beratap,

bisa berdinding atau tidak berdinding, buatan manusia atau benda alam dalam ilmu

pengetahuan kepurbakalaan dapat tergolong sebagai artefap, ekofak atau fitur

seperti rumah adat, masjid tua, bangunan kolonial dan sebagainya termasuk ke

dalam jenis cagar budaya yang berupa “ bangunan cagar budaya “. Abri sous roche

adalah sebuah gua atau ceruk yang terbuat dari batu karang yang digunakan

manusia purba sebagai tempat tinggal untuk melindungi diri dari cuaca hujan dan

panas (Soekmono, 1990 : 41), selain dari itu gua-gua prasejarah semacam itu

banyak pula ditemukan di Kabupaten Maros dan Pangkep dapat digolongkan

sebagai bangunan cagar budaya.

3) Struktur Cagar Budaya

Ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 dan Pasal 1 ayat

( 11 ) Perda nomor 2 tahun 2013 mengaskan :

Struktur cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari


bendaalam dan/atau benda buatan manusia untuk mmemenuhi
kebutuhan ruang kgiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan
prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
20

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jenis cagar budaya ini agak berbeda

dengan bangunan cagar budaya sebagaimana diuraikan sebelumnya, terutama dari

bagian atap dan dinding, pada bangunan cagar budaya diisyaratkan beratap serta

berdinding atau tidak berdinding, sedangka pada struktur cagar budaya tidak secara

tegas disebutkan adanya atap dan dindning, dapat menyatu dengan alam, sarana dan

prasarana.

Kriteria struktur cagar budaya sebagaimana Pasal 8 Undang-undang Nomor 11

tahun 2010 dan Pasal 8 Perda Kota Makassar Nomor 2 tahun 2013, berbunyi

sebagai berikut:

Struktur cagar budaya, dapat :

a. Berunsur tunggal atau banyak; dan/atau

b. Sebagian atau seluruhnya menyatu dengan formasi alam.

Berdasarkan dari pengertian tersebut, diperoleh gambaran bahwa struktur

cagar budaya itu, dapat berupa benteng, pagar, saluran air atau kanal, jalan,

bendungan, dan sebagainya. Hal ini terdapat persamaan pengertian benda tak

bergerak menurut pasal 506 KUHPerdata sebagaimana telah dikemukakan

sebelumnya.

4) Situs Cagar Budaya.

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 pada Bab 1 ketentuan

umum Pasal 1 ayat (12) dan Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 11 tahun

2010, yang berbunyi sebagai berikut ;

Situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di


air yang mengandung benda cagar budaya,bangunan cagar
budaya, dan/atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan
manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
21

Sejarah perundang-undangan dibidang cagar budaya, telah tercatat bahwa

“situs cagar budaya“ ini sudah dikenal pada awal pengaturannya di Indonesia,

sejaka berlakunya Monumenten Ordonnantie Staatsblad 1931 Nomor 238 yang

mengatur tentang “monumen“, perkataan yang digunakan untuk menyebut situs ini

adalah “tanah“, kemudian dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang

“benda cagar budaya“ , perkataan yang digunakan adalah “situs“ .

Keberadaan situs cagar sudah dipertegas dalam Undang-undang Nomor 11

tahun 2010, yaitu di darat dan/atau di air, oleh karena itu situs cagar budaya itu

merupakan suatu lokasi atau lahan atupun bisa perairan, rawa, sungai, danau, laut

diisyaratkan didalamnya mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya

dan struktur cagar budaya.

Lokasi itu harus ada bukti hasil kegiatan manusia masa lalu yang

mengandung pengertian bahwa bukan hanya benda cagar budaya, sturktur cagar

budaya dan/atau bangunan cagar budaya yang utuh, akan tetapi termasuk situs

apabila ditemukan sisa-sisanya misalnya pecahan keramik atau pecahan gerabah,

puing-puing bangunan, sisa-sisa kapal tenggelam dan muatannya sebagai bukti

kejadian masa silam. Ringkasnya apabila di atas atau di dalam situs tersebut

mengandung benda, bangunan, struktur, yang menunjukkan adanya peristiwa yang

pernah terjadi atau dapat dikatakan peninggalan sejarah dan purbakala.

Situs merupakan suatu lokasi, dan lokasi ini tidak lain adalah tanah yang

mengandung peninggalan sejarah dan purbakala, atau dengan kata lain tanpa

adanya suatu benda, bangunan, struktur cagar budaya didalam tanah itu, maka tanah

tersebut bukan merupakan sebuah “ situs “ melainkan lokasi biasa yang


22

pengaturannya tunduk pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Ketentuan - Ketentuan Pokok Agraria.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara lokasi/tanah dan benda,

bangunan, struktur cagar budaya merupakan dua sisi mata uang, atau dua hal yang

tak terpisahkan bahkan dari sudut pandang hukum keperdataan yang menganut azas

“ accessie “ yaitu hak milik atas sebidang tanah meliputi segalah apa yang ada di

atas dan di dalam tanah itu (Pasal 571 KUHPerdata) ; segala bangunan yang

didirikan diatas tanah atau pekarangan dan melekat menjadi satu, adalah kepunyaan

pemilik tanah/pekarangan (Pasal 601 KUHPerdata) dan Pasal 588, bahwa segala

apa yang melekat menjadi satu benda, adalah hak milik dari pemilik benda tersebut.

Persoalan lain yang berkaitan dengan prinsip hukum adat, yaitu azas “horizontale

scheiding“ atau azas pemisahan horizontal antara tanah dan bangunan, hukum adat

menganut prinsip bahwa secara yuridis bahwa tanah terpisah dengan segala

bangunan atau tanaman yang ada di atasnya (Sri Soedewi Masjchum Sofwan, 1981

: 45-46).

Memperhatikan kedua azas hukum tersebut, maka kehadiran situs cagar

budaya itu terkesan bertentangan dengan peraturan keperdataan maupun prinsip

hukum adat yang berlaku, sebagaimana diketahui bahwa hukum pertanahan

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria dibangun di bawah Konstitusi serta berlandaskan prinsip hukum asli

bangsa Indonesia (hukum adat).

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen keempat, Pasal 33 ayat (3),

menentukan : Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai
23

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,

kemudian ditindak lanjuti dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, dimana

ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2), mengatur mengenai hak mengusai oleh negara

memberi wewenang:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan


persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenau bumi, air dan ruang angkasa.

Negara dan instansi pemerintah menurut tata hukum di Indonesia tidak dapat

mempunyai hak milik, negara memiliki kekuasaan untuk mengatur hak-hak,

hubungan-hubungan hukum atas tanah, tentunya termasuk dalam hal ini situs cagar

budaya, kekuasaan negara itu diwujudkan dalam bentuk kewenangan, sehingga

timbul pertanyaan sejauh mana kewenangan negara atau pemerintah itu terhadap

cagar budaya, hal inilah yang akan menjadi penelitian dalam penulisan skripsi ini.

5) Kawasan Cagar Budaya.

Ketentuan Pasal 1 ayat (6) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 dan Pasal 1

ayat (13) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, berbunyi sebagai berikut:

Kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang


memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya
berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Mencermati pengertian kawasan cagar budaya yang dikemukan di atas diperoleh

gambaran bahwa:

 Satuan ruang geografis itu merupakan suatu areal tanah yang cukup

luas;
24

 Di dalamnya terdapat paling sedikit dua areal situs cagar budaya atau

lebih yang letaknya berdekatan;

 Memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Dari gambaran tersebut dapat diperoleh pemahaman, bahwa didalam suatu

kawasan cagar budaya kemungkinannya terdapat beberapa situs cagar budaya

dengan berbagai jenis yaitu dapat berupa benda cagar budaya, bangunan cagar

budaya ataupu struktur cagar budaya sebagai contoh di kota makassar memliki ciri

tata ruang yang khas dengan kehadiran bangunan yang berasal dari peninggalan

kolonial seperti gedung Mulo, Rumah Jabatan Gubernur, Kantor walikota

Makassar, Kantor Pengadilan Negeri Makassar, Benteng Fort Rotterdan, Gereja

Immanuel dan sebagainya.

Sebagai perbandingan ciri khas tata ruang di kabupaten maros dan Kabupaten

Pengkep dengan keberadaan Gua-gua prasejarah disana, begitu pula di Kabupaten

Gowa dengan cagar budaya berupa situs makam raja-raja dan Mesjid tua, kesemua

itulah yang harus dilestarikan.

B. Pelestarian Cagar Budaya

Kata Pelestarian dalam terminologi kamus besar bahasa indonesia berarti

perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan; pengawetan; konservasi; (sumber-

sumber alam). Cagar budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh,

unik, langkah, terbatas dan tidak terbarui, oleh karena itu diperlukan upaya-upaya

pelestarian dengan tujuan melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya

dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara kepentingan akademis,

ideologis dan ekonomis.


25

Paradigma baru dalam pelestarian cagar budaya berorientasi pada

pengelolaan kawasan, peran serta masyarakat, desentralisai pemerintahan,

perkembangan, serta tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat, oleh karena

itu untuk memberi kewenangan kepada pemerintah dan partisipasi masyarakat

dalam mengelola cagar budaya, dibutuhkan sistem manajerial perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi yang baik dalam upaya pelindungan, pengembangan dan

pemanfaatan cagar budaya sebagai sumberdaya budaya bagi kepentingan yang luas.

Undang-Undang No 11 Tahun 2010 Pasal 1 ayat (22) dan Pasal 1 ayat 25 Peraturan

Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, ditegaskan pengertian bahwa ;

Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan


keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi,
mengembangkan, dan memanfaatkannya.

Bertolak dari ketentuan mengenai pengertian pelestarian tersebut di atas,

maka seharusnya memang ada pergerakan secara berkesinambungan yang disebut

“ pelestarian “ guna mengantisipasi sejak dini agar sumberdaya budaya tersebut

tidak mengalami kemusnahan atau hancur begitu saja, mengingat nilai-nilai budaya

yang terkandung di dalam sangat penting bagi ilmu pengetahuan dan jatidiri bangsa

secara keseluruhan.

Nilai penting menurut beberapa ahli Arkeologi sangat dianggap penting

sebagai unsur dari penentuan keberadaan dan variabel tersendiri dalam cagar

budaya. Menariknya dalam penjelasan nilai penting yang dijelaskan oleh Supriadi

dalam thesisnya yang berjudul “Pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah

Bellae”beliau mengemukakan pandangannya dalam melihat nilai penting setiap

cagar budaya. Perbedaan penilaian terhadap cagar budaya sangat berbeda antara
26

negara, antara keyakinan, dan antara stakeholder serta sangat ditentukan oleh

landasan filosofi yang memberi nilai. “Nilai penting cagar budaya bervariasi dan

sangat tergantung kepada siapa yang memaknai dan menafsirkannya. Pengetahuan

atau tafsiran tentang masa lampau bersifat relatif dan terus berubah dari waktu ke

waktu. Penafsiran juga sangat tergantung pada konteks sosial budaya sang penafsir.

Lokasi yang berbeda juga akan memberi makna yang berbeda pula terhadap cagar

budaya (Supriadi, 2008: 78-79).

Kemudian Daud Aris Tanudirdjo (2004) dalam Asmunandar (2008 : 149)

mengemukakan nilai penting Cagar Budaya yaitu:

 Nilai penting Sejarah, apabila tinggalan budaya tersebut dapat menjadi bukti

yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah,

berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah atau merupakan tinggalan/karya

tokoh terkemuka dalam bidang tertentu, atau menjadi bukti perkembangan

penting dalam bidang tertentu seperti penemuan baru, penerapan teknologi

baru, dan perubahan sosial, ekonomi dan politik.;

 Nilai Penting Ilmu Pengetahuan, apabila tinggalanbudaya itu mempunyai

potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah -masalah

dalam bidang keilmuan tertentu. Bidang keilmuan yang dimaksud tidak

hanya mencakup bidang sosial, tapi juga berkaitan dengan bidang ilmu non

-sosial. Masing-masing dari bidang ilmu tersebut memiliki tujuan masing -

masing. Berikut gambaran beberapa bidang ilmu beserta dengan tujuannya.

Arkeologi mendeskripsikan, menjelaskan dan menjawab masalah-masalah

yang berkaitan dengan peristiwa atau proses-proses budaya di masa lampau,


27

termasuk di dalamnya pengujian teori, metode, dan teknik tertentu di bidang

ini. Antropologi, untuk mengkaji prinsip- prinsip umum dalam bidang ini,

khususnya proses -proses perubahan budaya dalam jangka waktu yang

panjang dan proses adaptasi ekologi, termasuk di dalamnya evolusi ragawi

(biological evolution dan palaeoantropologi). Ilmu-ilmu Sosial, untuk

mengkaji prinsip-prinsip umum dalam bidang ilmu sosial humaniora,

terutama yang berkaitan dengan interaksi sosial, struktur sosial , kekuasaan

dan politik, dan proses-proses sosial lainnya. Arsitektur dan Teknik Sipil,

untuk mengkaji prinsip-prinsip umum dalam bidang seni bangun, rancang

bangun, dan susunan (kontruksi) bangunan, termasuk kajian penggunaan

bahan dan keterampilan merancang, atau merupakan hasil penerapan

teknologi dan materi baru pada masa dibangun. Ilmu-ilmu Kebumian, untuk

mengkaji prinsip-prinsip umum dalam ilmu kebumian (geologi,

geomorfologi, geografi, geodesi), atau menjadi bukti peristiwa-peristiwa

alam yang dikaji dalam bidang ilmu ini. Ilmu-ilmu lain, mengandung

informasi yang sangat khusus bagi kajian ilmu -ilmu tertentu yang belum

disebutkan. Kriteria ini untuk mengakomodasi kemungkinan bila sebuah

tinggalanbudaya mengandung informasi untuk ilmu yang biasanya tidak

bersinggungan sama sekali dengan masa lampau, sehingga bersifat prediktif.

 Nilai penting Kebudayaan, apabila tinggalan budaya tersebut dapat mewakili

hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya, atau

menjadi jati diri (cultural identity) bangsa atau komunitas tertentu. Misalnya
28

saja nilai etnik yang memberikan pemahaman latar belakang kehidupan

sosial, sistem kepercayaan, dan mitologi yang semuanya merupakan jati diri

suatu bangsa atau komunitas tertentu. Nilai estetik, mempunyai kandungan

unsur-unsur keindahan baik yang terkait dengan seni rupa, seni hias, seni

bangun, seni suara maupun bentuk-bentuk kesenian lain, termasuk juga

keserasian antara bentang alam dan karya budaya (saujana budaya); menjadi

sumber ilham yang penting untuk menghasilkan karya-karya budaya di masa

kini dan mendatang. Selain etnik dan estetik, nilai publik juga berpotensi

untuk dikembangkan sebagai sarana pendidikan masyarakat tentang masa

lampau dan cara penelitiannya ; menyadarkan tentang keberadaan manusia

sekarang; berpotensi atau telah menjadi fasilitas rekreasi; dan berpotensi atau

telah menjadi sumberdaya yang dapat menambah penghasilan masyarakat,

antara lain lewat kepariwisataan.;

 Nilai penting Pendidikan (Education), menurut Timothy Darvill (1995 : 42)

menyatakan “bahwa sumberdaya budaya merupakan salah satu objek yang

memiliki peran penting dalam bidang pendidikan baik bagi anak-anak dan

pemuda, terlebih untuk memupuk rasa bangga terhadap kebesaran bangsanya

melalui warisan nenek moyang yang selanjutnya akan menimbulkan rasa

cinta terhadap bangsa dan tanah airnya”;

 Nilai penting Agama (Religion), bahwa cagar budaya merupakan suatu

tinggalan budaya yang dapat menjadi landasan dari sistem beragama dalam

mewujudkan keharmonisan, keberagaman dan keberlanjutan dalam

beragama pada suatu wilayah tertentu. Agama merupakan suatu sistem atau
29

prinsip kepercayaan terhadap Tuhan atau Yang Maha Esa ataupun dengan

nama lainnya dengan berdasarkan suatu ajaran dan kewajiban-kewajiban

yang berhubungan dengan keyakinan yang dianut oleh sebuah kelompok.

a. Perlindungan Cagar Budaya

Perlindungan cagar budaya merupakan salah satu cara melestarikannya, oleh

karena itu perlindungan terhadap cagar budaya diwujudkan melalui berbagai

kegiatan yang bersifat teknis maupun administratif, dalam penyelenggaraannya

kegiatan tersebut tetap mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Perlindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan,

kehancuran, atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi,

pemeliharaan, dan pemugaran cagar budaya (Pasal 1 ayat ( 23 ) UU.No.11/2011

dan Pasal 1 ayat ( 27 ) Perda Kota Makassar No.2/2013 ).

a) Penyelamatan

Penyelamatan merupakan suatu bentuk kegiatan yang berusaha untuk

menghindarkan dan/atau menaggulangi cagar budaya dari kerusakan, kehancuran

atau kemusnahan (Pasal 1 ayat (24) UU.No.11/2011 dan Pasal 1 Perda Kota

Makassar No.2/2013), sebagaimana diketahui bahwa keberadaan cagar budaya itu

di perkotaan, pedesaan, di hutan, ada yang terpendam/tertimbun tanah bahkan di

air, kondisi keberadaannya itulah menuntut penyelamatan, misalnya suatu cagar

budaya yang terancam pembangunan di wilayah perkotaan, tentu memerlukan

upaya-upaya penyelamatan, baik secara koordinatif, administratif bahkan tindakan-

tindakan yang lebih bersifat tehnis seperti melakukan pemetaan situs cagar,

panggambaran dan sebagainya.


30

Berbagai langkah-langkah penyelamatan seperti penanggulangan cagar

budaya atas musibah kebakaran, penyelaman di dasar laut, ekskavasi atau

penggalian arkeologi penyelamatan terhadap benda-benda cagar budaya yang

terpendam di dalam tanah, semua itu memerlukan metode tertentu, ilmiah serta

sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah ditentukan.

Ekskavasi penyelamatan merupakan salah satu metode yang dipergunakan

dalam ilmu kepurbakalaan (arkeologi). Menurut J. Susetyo Edy Yuwono (2003 :

8), Ekskavasi penyelamatan (Salvage atau Rescue Excavation) yaitu ekskavasi yang

dilakukan untuk menyelamatkan data arkeologi sebelum terjadi peristiwa yang

akan mengakibatkan kerusakan data tersebut beserta konteks dan situsnya.

Peristiwa-peristiwa yang dimaksud di antaranya penggenangan waduk, pembuatan

jalan, pembangunan di bidang industri, dan pengembangan kawasan pemukiman.

Dengan demikian, ekskavasi ini bertujuan untuk memperoleh informasi tambahan

mengenai kondisi data dan situs arkeologi, sebagai bahan pertimbangan tentang

aspek penyelamatannya. Tujuan seperti ini biasanya mendasari kegiatan

penyelamatan dan pemugaran suatu monumen yang indikasi awalnya sudah

diketahui, baik melalui penemuan tidak sengaja maupun sengaja, yang kemudian

terancam punah.

b) Pengamanan

Pengamanan cagar budaya adalah upaya menjaga dan mencegah cagar

budaya dari ancaman dan/atau gangguan (Pasal 1 ayat (25) UU.No.11 Thn 2011

dan Pasal 1 ayat (29) Perda Kota Makassar No. 2 Thn 2013), adapun wujud

kegiatan pengamanan cagar budaya itu adalah menjaga/mencegah cagar budaya


31

dari faktor alam atau binatang maupun ulah manusia atau vandalis, mencegah

ancaman dari binatang atau ternak dapat dilakukan dengan menjaga cagar budaya

atau melakukan pemagaran situs cagar budaya, sedangkan pengamanan dari ulah

manusia dapat besifat preventif atau bersifat represif.

Menurut G.W. Bawengan di dalam upaya menanggulangi tindak pidana dapat

dilakukan dengan tindakan preventif maupun represif.Tindakan preventif adalah

tindakan yang dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi suatu tindak kejahatan

maupun pelanggaran, sedangkan tindakan represif adalah tindakan untuk

memberantas adanya tindak pidana. (G.W. Bawengan, 1977: 197) Melihat dari

pengertian kedua tindakan tersebut apabila dihubungkan dengan tindakan

pengamanan pengamanan terhadap perlindungan cagar budaya maka, Tindakan

pengamanan bersifat preventif merupakan tindakan pencegahan terhadap hal-hal

yang dapat menimbulkan kerugian terhadap cagar budaya yang berasal dari

perbuatan manusia maupun alam baik dengan cara yang bersifat teknis arkeologis

maupun yuridis. Sedangkan tindakan pengamanan bersifat refresif yaitu tindakan

pelaksanaan kasus pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan cagar budaya

atas tindakan atau perbuatan manusia berupa penangkapan, pengusutan,

penyelidikan, penyidikan dan sebagainya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

c) Zonasi

Zonasi merupakan bentuk atau sistem perlindungan terhadap cagar budaya

melalui kegiatan pewilayahan dan penetapan batas-batas keluasan dan pemanfaatan

ruang cagar budaya berdasarkan hasil kajian (pasal 72 ayat (1) UUNo.11/2011 dan

pasal 51 ayat (1) Perda Kota Makassar No.2 Thn. 2013). Sistem zonasi tersebut
32

ditegaskan dalam Pasal 73 ayat UU.No.11/2011 dan Pasal 52 ayat (3) Perda Kota

Makassar No.2 Thn.2013 bahwa zonasi dapat terdiri atas :

a) Zona inti;

b) Zona penyangga;

c) Zona pengembangan; dan/atau

d) Zona penunjang.

Penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil

kajian dengan mengutamakan peluang kesejahteraan rakyat. Berikut penjelasan

terkait dengan pembagian lapisan zonasi yang dimaksud sebelumnya ; Wilayah inti

merupakan wilayah cagar budaya yang harus diamankan dan dilindungi secara total

sehingga setiap jenis kegiatan yang diperkirakan dapat mengganggu keamanan

situs tidak diperbolehkan terjadi dalam wilayah ini. Wilayah penyangga yaitu

wilayah yang terdapat disekitar (di luar) wilayah inti dapat berupa bagian lahan

yang terdapat di sisi wilayah inti, atau berupa lahan yang mengelilingi wilayah inti

yang berfungsi sebagai wilayah penyangga (buffer zone) untuk melindungi wilayah

inti dari segala bentuk ancaman, baik akibat ulah manusia maupun akibat aktifitas

alami atau biasa disebut wilayah hijau. Wilayah pengembangan merupakan wilayah

yang diperuntukkan bagi pemanfaatan cagar budaya untuk masyarakat berupa lahan

fasilitas yang pada prinsipnya digunakan masyarakat sebagai pusat kegiatan

pengunjung agar tidak terlalu banyak melakukan aktifitas pada wilayah inti. (Andi

Muhammad Said, 2000 : 137) Wilayah penunjang merupakan wilayah yang

diperuntukkan untuk mendukung fasilitas-fasilitas yang berada pada wilayah

pengembangan.
33

d) Pemeliharaan

Pemeliharaan adalah upaya perlindungan terhadap cagar budaya dengan cara

menjaga dan merawat agar kondisi fisik cagar budaya tetap lestari (Pasal 1 ayat (27)

UU.No 11/2010 dan Pasal 1 ayat (31) Perda Kota Makassar No.2 Thn. 2013).

Sistem pemeliharaan ini diselenggarakan dengan cara manual dan kemis, secara

manual dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana seperti pacul, cangkul

,cetok, linggis dan sebagainya, sedangkan secara kemis menggunakan bahan kimia

guna membasmi mikro organisme yang dapat merusak keberadaan cagar budaya.

Berbagai bentuk pemeliharaan yang dimaksudkan dapat berupa konservasi

dan preservasi. Konservasi merupakan kegiatan perawatan dengan cara pengawetan

yang dilakukan terhadap suatu cagar budaya yang telah mengalami

kerusakan/pelapukan baik secara mekanis,fisis,khemis, maupun biotis. Sedangkan

preservasi merupakan kegiatan perawatan suatu cagar budaya yang dilakukan

dengan cara menanggulangi pengaruh faktor lingkungan yang dapat mengancam

kondisi keterawatannya. (Sadirin, 1997 : 7)

e) Pemugaran

Pemugaran merupakan suatu bentuk perlindungan cagar budaya yang

berusaha mengembalikan kondisi fisik benda cagar budaya, bangunan cagar budaya

dan struktur cagar budaya yang rusak, sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata

letak, dan/atau teknik pengerjaan guna memperpanjang usianya (Pasal 1 ayat (28)

UU.No11/2010 dan Pasal 1 ayat (32) Perda Kota Makassar No.2/2013). Pemugaran

bangunan cagar budaya atau struktur cagar budaya yang rusak dilakukan untuk
34

mengembalikan kondisi fisik dengan cara memperbaiki, memperkuat dan/atau

mengawetkan atau melalui rekonstruksi, rehabilitasi,konsolidasi ataupun restorasi.

a) Rekonstruksi adalah upaya mengembalikan Bangunan cagar budaya dan

struktur cagar budaya sebatas kondisi yang diketahui dengan tetap

mengutamakan prinsip keaslian bahan, teknik pengerjaan, dan tata letak,

termasuk dalam menggunakan bahan baru sebagai bahan asli. Rekonstruksi

berupa kegiatan penyusunan kembali struktur bangunan yang rusak/runtuh,

yang pada umumnya bahan-bahan bangunan asli sudah banyak hilang. Dalam

hal ini kita dapat menggunakan bahan-bahan bangunan yang baru seperti cat

warna atau bahn lainnya yang bentukya harus disesuaikan dengan bangunan

yang aslinya.

b) Rehabilitasi adalah upaya perbaikan dan pemulihan bangunan cagar budaya

dan struktur cagar budaya yang kegiatannya dititkberatkan pada penanganan

yang sifatnya parsial. Rehabilitasi berupa kegiatan yang sifat pekerjaannya

hanya memperbaiki bagian-bagian bangunan yang mengalami kerusakan.

Bangunan tersebut akan dibongkar seluruhnya karena pekerjaan rehabilitasi

umumnya melibatkan tingkat persentase kerusakan yang rendah.

c) Konsolidasi adalah adalah perbaikan terhadap bangunan cagar budaya dan

struktur cagar budaya yang bertujuan memperkuat konstruksi dan

menghambat proses kerusakan lebih lanjut. Konsolidasi berupa kegiatan yang

sifatnya memperkuat bagian yang rusak pada bagian-bagian tertentu pada

bangunan dan tidak melibatkan pembongkaran keseluruhan bangunan.


35

d) Restorasi adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan mengembalikan

keaslian bentuk bangunan cagar budaya dan struktur cagar budaya yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Restorasi berupa kegiatan yang

sifatnya membongkar bangunan bangunan asli secara menyeluruh, tetapi

tidak mengadakan pergantian bahan-bahan secara menyeluruh.

b. Pengembangan Cagar Budaya

Selain perlindungan cagar budaya, hal yang penting dalam melestarikan cagar

budaya yaitu pengembangan cagar budaya yang bertujuan untuk meningkatkan

potensi nilai, informasi dan promosi. Pengembangan merupakan upaya teknis yang

berdasar pada kegiatan ilmiah dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan,

keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat pada suatu cagar

budaya yang meliputi penelitian, revitalisasi, dan adaptasi .

a) Penelitian

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan

metode yang sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan bagi

kepentingan Pelestarian cagar budaya, ilmu pengetahuan,dan pengembangan

kebudayaan (Pasal 1 ayat (30) UU.No 11/2010 dan Pasal 1 ayat (34) Perda Kota

Makassar No.2 Thn. 2013). Penelitian yang dimaksud ditinjau dari tujuaannya

dapat berupa penelitian murni dan penelitian terapan atau kajian. Penelitian murni

(pure research) adalah penelitian yang dilakukan diarahkan sekedar untuk

memahami masalah dalam organisasi secara mendalam (tanpa ingin menerapkan

hasilnya). Penelitian dasar bertujuan untuk mengembangkan teori dan tidak

memperhatikan kegunaan yang langsung bersifat praktis. Penelitian ini biasanya


36

dilakukan Balai Arkeologi sebagai instansi Unit Pelaksana Teknis dari

Kementerian Kebudayaan dan Balai Geologi yang bernaung di Kementerian Energi

dan Sumber Daya Mineral yang meneliti terkait Paleontologi. Penelitian terapan

atau kajian (applied research) adalah penelitian yang diarahkan untuk mendapatkan

informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Penelitian terapan

dilakukan dengan tujuan menerapkan, menguji, dan mengevaluasi masalah-maslah

praktis sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, baik secara

individual maupun kelompok. Salah satu bentuk penelitian terapan yaitu kajian

zonasi yang dilakukan Balai Pelestarian Cagar Budaya sesuai dengan amanat

undang – undang terkait zonasi.

b) Revitalisasi

Revitalisasi merupakan salah bentuk kegiatan pengembangan yang ditujukan

untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting cagar budaya dengan penyesuaian

fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai

budaya masyarakat (Pasal 1 ayat (31) UU.No 11/2010 dan Pasal 1 ayat (35) Perda

Kota Makassar No.2 Thn. 2013). Revitalisasi cagar budaya dapat dilakukan dengan

bentuk menghidupkan kembali suatu cagar dengan menambahkan ruang-ruang

yang dapat dimanfaatkan pengunjung ssebagai fasilitas umum seperti ruang

istirahat (gazebo, dan tempat duduk), taman, MCK, dan sarana umum lainnya.

c) Adaptasi

Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang

lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas

yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada
37

bagian yang mempunyai nilai penting (Pasal 1 ayat (32) UU.No 11/2010 dan Pasal

1 ayat (36) Perda Kota Makassar No.2 Thn. 2013). Konsep adaptasi pada suatu

cagar budaya lebih menekankan pada kebutuhan masa kini. Sebagi contoh sebuah

bangunan cagar yang sifatnya living monument (warisan budaya yang masih

berfungsi semula) yang karena kebutuhan masa kini akan dibuat atau ditambahkan

fasilitas umum (toilet) yang bertujuan menyesuaikan fungsi suatu bangunan cagar

budaya.

c. Pemanfaatan cagar budaya

Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan

sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan

kelestariannya. (Pasal 1 ayat (33) UU.No 11/2010 dan Pasal 1 ayat (37) Perda Kota

Makassar No.2 Thn. 2013) Pemanfaatan cagar budaya dimaksudkan segala bentuk

upaya berbagai pihak untuk memanfaatkan cagar budaya demi kepentingan dan

perkembangan ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan, pariwisata, dan ekonomi.

1. Pemanfaatan cagar budaya untuk kepentingan ilmu pengetahuan biasanya

dilakukan pihak-pihak akademisi dalam hal ini melakukan penelitian terkait

cagar budaya sebagai contoh seorang mahasiswa meneliti arsitektur

bangunan cagar budaya.

2. Pemanfaatan cagar budaya untuk kepentingan agama dalam hal ini

masyarakat tetap menggunakan suatu bangunan atau struktur cagar budaya

sebagai tempat beribadah. Sebagai contoh Mesjid Tua Katangka yang ada di

kabupaten Gowa yang merupakan warisan budaya berbentuk bangunan cagar


38

budaya yang hingga sekarang tetap dijadikan tempat beribadah umat muslim

setempat.

3. Pemanfaatan cagar budaya untuk kepentingan kebudayaan yaitu suatu benda

cagar budaya tak bergerak berupa Menhir (batu tegak) yang berada di

kabupaten Toraja hingga sekarang tetap dijadikan objek upacara adat dalam

kebudayaan masyarakat torajayang berfungsi sebagai wujud penyembahan

kepada roh nenek moyang.

4. Pemanfaatan cagar budaya untuk kepentingan pariwisata dapat dilihat pada

kawasan situs taman prasejarah Leang-Leang yang berada di kabupaten

Maros. Kawasan cagar budaya dimanfaatkan pemerintah setempat untuk

dijadikan salah satu objek wisata yang dapat menarik pengunjung lokal

maupun mancanegara untuk mengunjungi Indonesia khususnya di Maros.

5. Pemanfaatan cagar budaya untuk kepentingan ekonomi dalam hal ini suatu

situs ataupun kawasan cagar budaya yang telah dimanfaatkan sebagai objek

wisata dapat berdampak pada warga sekitar situs atau kawasan cagar budaya

berada terkhusus warga yang memiliki usaha seperti toko campuran. Hal ini

pula membuat peningkatan pendapatan warga. Dampak pemanfaatan ini pula

akan menjadi peningkatan pada pendapatan negara yang berupa penerimaan

negara bukan pajak.

C. Desentralisasi Pelestarian Cagar Budaya

a. Azas-Azas Otonomi Daerah

Otonomi merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan teori demokrasi yang

diaplikasi melalui prinsip-prinsip otonomi daerah. Adapun istilah otonomi berasal


39

dari kata autonomie dari bahasa Yunani, yakni terdiri dari kata autos berarti sendiri

dan nomos berarti undang-undang. Dengan demikian, otonomi berarti “Perundang-

undangan sendiri” atau Zelfwetgeving. Menurut berbagai literatur Belanda otonomi

berarti pemerintahan sendiri (zelfregering) yang dipertegas oleh Van Vollenhoven

dengan membagi otonomi atas zelfwetgeving (membuat undang-undang sendiri),

zelfutveoring (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri) dan

zelfpolitie (menindaki sendiri)”. (Agus Santoso, 2013 : 124)

Semangat dalam Pasal 18 UUD 1945 yang bermaksud pada pemahaman

terhadap desentralisasi lebih diarahkan pada otonomi. Otonomi mengandung pula

pengertian kemandirian (Zelfstandigheid) untuk mengatur dan mengurus sendiri

sebagian urusan pemerintah yang diserahkan atau dibiarkan sevagai urusan runah

tangga satuan pemerintahan lebih rendah yang bersangkutan. Walaupun istilah

otonomi dimaknai sebagai kemandirian atau kebebasan, tetapi otonomi tetap bukan

kemerdekaan. Kemandirian ataupun kebebasan yang terbatas adalah wujud

pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan dengan mengatur dan

mengurus pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya. (Bagir Manan &

Kuntana Magnar, 1997 : 268)

Dalam cerminan pemberian tanggung jawab ini Wirjono Prodjodikoro (1983 : 116)

membaginya menjadi dua hal yaitu;

1. Otonomi daerah yang berarti mengurus sendiri rumah tangga

(desentralisasi) dan

2. Self-government atau zelfbestuur yang berarti pemerintahan sendiri

(dekonsentrasi)
40

Prinsip otonomi daerah dengan paradigma baru yang berlandaskan akan

otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Adapun dalam pengaplikasian prinsip

otonomi daerah akan dijabarkan melalui tiga azas-azas penyelenggaraan

pemerintah di daerah yang dianut oleh Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah adalah bahwa azas desentralisasi dilaksanakan

bersama-sama dengan azas dekonsentrasi dengan memberikan kemungkinan pula

bagi pelaksanaan azas tugas pembantuan (medewind). Dengan kata lain, Undang-

undang No. 32 Th. 2004 ini menganut tiga azas dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah yaitu, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

1. Azas Desentralisasi

Secara etimologis menurut R.D.H. Koesumaatmaja kata desentralisasi

berasal dari bahasa latin yaitu de berarti lepas dan centrum berarti pusat. Sehingga

berdasarkan peristilahannya desentralisasi berarti melepaskan (terlepas) dari pusat

(Andi Kasmawati, 2010 : 48). Pengertian desentralisasi dalam Pasal 1 ayat 7

Undang-Undang No. 32 Thn 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan

oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya

dalam Pasal 12 ayat (1) dipertegas bahwa ; Urusan pemerintahan yang diserahkan

kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana,

serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Sejalan dengan

penjelesan dari Undang-undang tersebut, Prof. Kuntjoro Purbopranoto

menjelaskan; Desentralisasi merupakan segala urusan pemerintahan yang telah

diserahkan kepada Daerah dalam rangka pelaksanaaan azas desntralisasi pada


41

dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya. Dalam hal

ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah, baik yang menyangkut

penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, maupun yang menyangkut

segi-segi pembiayaannya. Demikian pula perangkat pelaksanaannya adalah

perangkat Daerah itu sendiri, yaitu terutama Dinas-dinas Daerah (1981 : 77).

2. Azas Dekonsentrasi

Dekonsentrasi dalam pengertian dalam Pasal 1 ayat 8 UU No. 32 Thn 2004,

yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur

sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Oleh karena itu tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah

menurut azas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan

di daerah berdasarkan azas dekonsentrasi. Segala urusan yang dilimpahkan kepada

pejabat-pejabat di daerah menurut azas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggung

jawab pemerintah pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun

pembiayaannya.

Dari penjelesan tersebut kiranya cukup jelas bahwa pelimpahan wewenang

tersebut dapat terjadi dari pemerintah (Presiden, Menteri, Direktur Jenderal, dan

lain-lain) kepada pejabat-pejabat Pemerintah (pusat) di daerah, yang dalam hal ini

terdiri dari dua kelompok yaitu Gubernur sebagai wakil pemerintah dan Kepala

Instansi Vertikal. Pelimpahan wewenang dapat terjadi pula dari Kepala Wilayah

kepada Kepala Wilayah tingkat bawahan atau dari Kepala Instansi Vertikal kepada

Kepala Instansi Vertikal tingkat bawahannya, (Solly Lubis, 1992 : 159). Tetapi
42

dalam hal kebijaksanaan terhadap urusan dekonsentrasi tersebut sepenuhnya

ditentukan oleh Pemerintah Pusat.

3. Azas Tugas Pembantuan (Medebewind)

Selain memisahkan antara desentralisasi dengan dekonsentrasi, UU No. 32

Tahun 2004 juga membedakan desentralisasi dengan tugas pembantuan sebagai dua

azas yang berbeda satu sama lain. Padahal menurut berbagai literatur baik di

Belanda maupun di Indonesia, tugas pembantuan (medebewind), adalah satu aspek

dalam desentralisasi (bukan sesuatu yang berada di luar desentralisasi). Kalaupun

dibedakan, seharusnya antara otonomi dengan tugas pembantuan. Walaupun

pendapat pada umumnya mengatakan, bahwa perbedaan antara otonomi dengan

tugas pembantuan hanya bersifat “gradual” (Bagir Manan & Kuntana Magnar, 1997

: 275-276). Dalam Pasal 1 ayat 9 UU No. 32 Tahun 2004, Tugas pembantuan adalah

penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi

kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada

desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

b. Tugas dan Wewenang Pelestarian Cagar Budaya

Tugas (taakstelling) dan wewenang (kewenangan) seyogyanya dalam

lapangan hukum tata negara dan hukum administrasi negara merupakan akibat dari

perbuatan hukum. Sebuah negara hukum yang menjadikan azas legalitas sebagai

pilar utama ,maka dalam pelaksanaannya wewenang pemerintahan bersumber dari

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian substansi pada azas

legalitas adalah wewenang yaitu suatu kemampuan tindakan-tindakan hukum

tertentu.
43

1. Tugas Pelestarian Cagar Budaya

Utrecht berpendapat bahwa “tugas” itu adalah functie atau kekuasaan dan

menyatakan pembagian tugas itu adalah pembagian kekuasan (tugas legislatif,

tugas eksekutif dan tugas yudikatif). Pernyataan ini di pertegas A.L.N. Kramer Sr

dalam kamus Hukum Belanda (Belanda – Indonesia dan Indonesia – Belanda) yang

menerjemahkan tugas menjadi functie, taak, dan menyebut tugas pemerintahan

sebagai regeeringstaak. (Solly Lubis, 1992 : 55) Dalam literatur lain menjelaskan

bahwa “tugas” merupakan satuan urusan pemerintahan yang dibebankan kepada

organ tertentu.

Kemudian dalam hal pelestarian cagar budaya Pemerintah Kota Makassar sesuai

dengan Pasal 12 Perda Kota Makassar No. 2 Thn. 2013 memiliki Tugas sebagai

berikut :

(1) Pemerintah Daerah mempunyai tugas melakukan Pelindungan,


Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya.
(2) Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya mempunyai
tugas:
(a.) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta
meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab akan hak dan
kewajiban masyarakat dalam pengelolaan Cagar Budaya;
(b.) mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat
menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar
Budaya;
(c.) menyelenggarakan penelitian dan pengembangan Cagar
Budaya;
(d.) menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;
(e.) menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;
(f.) memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan
pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya;
(g.) menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan
darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan
kawasan yang telah dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta
memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami
bencana;
44

(h.) melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap


pelestarian warisan budaya; dan
(i.) mengalokasikan dana bagi kepentingan pelestarian Cagar
Budaya.

2. Wewenang Pelestarian Cagar Budaya

Wewenang yang memiliki kata dasar “wenang” dalam kamus Hukum

Belanda (Belanda – Indonesia dan Indonesia – Belanda) karangan A.L.N. Kramer

Sr. menerjemahkan macht en recht hebbend, dan pada bagian lain menerjemahkan

competentie menjadi “kuasa”. Sedangkan menurut, Solly Lubis “wewenang”

adalah pelaksana teknis urusan yang dimaksud dalam tugas. Kemudian mengenai

wewenang, H.D. Stout mengatakan bahwa, wewenang adalah pengertian yang

berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai

keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan

wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum

publik. ( Ridwan HR, 2010 : 100)

Beberapa referensi oleh para ahli terkait wewenang terdapat berbagai

penggunaan istilah yang berbeda terhadap pembagian wewenang (kewenangan)

pemerintah yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Salah satunya

E.Utrecht mengatakan pemerintah diberikan kewenangan (wewenang) yang disebut

dengan Freies Ermessen yang berdasarkan pada impilikasi peraturan perundang-

undangan (SF. Marbun & Mahfud MD 1987 : 47) yaitu :

(1.) Kewenangan atas inisiatif sendiri merupakan kewenangan untuk membuat

peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan Undang-Undang tanpa

meminta persetujuan dari Parlemen terlebih dahulu.


45

(2.) Kewenangan karena delegasi perundang-undangan merupakan kewenangan

untuk membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah

daripada Undang-Undang dan yang berisi masalah-masalah untuk mengatur

ketentuan-ketentuan yang ada di dalam satu Undang-Undang

(3.) Kewenangan droit function yaitu kewenangan untuk menafsirkan sendiri

mengenai ketentuan-ketentuan yang bersifat enunsiatif.

Sedangkan menurut H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt mengemukakan

bahwa kewenangan pemerintah secara teoritik yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan diperoleh melalui tiga cara (Ridwan HR, 2010 : 102) yaitu ;

(1.) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-

undang kepada organ pemerintahan,

(2.) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, dan

(3.) Mandat yaitu terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya

dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Wujud dari kewenangan (wewenang) pemerintah dan pemerintah daerah dalam

pelestarian cagar budaya yang telah diinstruksikan pada Pasal 13 - 14 Peraturan

Daerah Kota Makassar No. 2 Tahun 2013 tentang wewenang pemerintah dan

pemerintah daerah sebagai berikut ;

Pasal 13

Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk:

(1.) Menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya;

(2.) Mengoordinasikan pelestarian Cagar Budaya secara lintas


sektor dan wilayah;
46

(3.) Menghimpun data Cagar Budaya;

(4.) Menetapkan peringkat Cagar Budaya;

(5.) Menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;

(6.) Membuat peraturan pengelolaan Cagar Budaya;

(7.) Menyelenggarakan kerja sama pelestarian Cagar Budaya;

(8.) Melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;

(9.) Mengelola Kawasan Cagar Budaya;

(10.) Mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis bidang


pelestarian, penelitian, dan museum;

(11.) Mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang


kepurbakalaan;

(12.) Memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah


melakukan Pelestarian Cagar Budaya;

(13.) Memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk


kepentingan pengamanan;

(14.) Melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan


kepentingannya menjadi peringkat kota;

(15.) Menetapkan batas situs dan kawasan; dan

(16.) Menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses


pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau
musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-
bagiannya.

Pasal 14

(1.) Pemerintah Daerah memfasilitasi pengelolaan Kawasan Cagar


Budaya.

(2.) Pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat
terhadap Cagar Budaya dan kehidupan sosial.

(3.) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk
oleh Pemerintah Daerah.
47

(4.) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat


terdiri atas unsur Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah,
dunia usaha, dan masyarakat.

b. Penetapan Cagar Budaya

1. Penetapan Warisan Budaya

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (8) Perda Kota Makassar No.2 Tahun

2013 dan Pasal 1 ayat (1) UU.No.11 Tahun 2010, bahwa cagar budaya merupakan

suatu “warisan budaya” yang melalui proses penetapan, atau dengan kata lain

warisan budaya itulah yang ditetapkan menjadi cagar budaya dengan demikian

amanat ketentuan tersebut di atas mengisyaratkan adanya “penetapan“ atau

“beschikking“. Tanpa adanya suatu penetapan terhadap warisan budaya oleh

pejabat administrasi dapat dikatakan cagar budaya tersebut tidak ada melainkan

hanya suatu warisan budaya bendawi. Penetapan warisan budaya menjadi cagar

budaya melalui proses kegiatan registrasi yaitu pendaftaran , kemudian pengkajian,

dan penetapan.

a) Pendaftaran

Ketentuan Pasal 24 Perda Kota Makassar No. 2 Tahun 2013 yang berbunyi :

Pemerintah Daerah bekerjasama dengan setiap orang dalam melakukan

pendaftaran. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan pelaksanaan Pasal 28

UU.No.11 tahun 2010 yang berbunyi : Pemerintah Kabupaten/Kota

bekerjasama dengan setiap orang dalam melakukan pendaftaran. Kemudian

hasil pendaftaran tersebut harus dilengkapi dengan deskripsi dan dokumentasinya

(Pasal 24 ayat (4) Perda Kota Makassar No.2 Tahun 2013 dan Pasal 29 ayat (5)

UU.No.11 Tahun 2010).


48

Pendaftaran cagar budaya dilakukan oleh :

- Pemerintah Kabupaten/Kota atau pemerintah daerah bekerjasama dengan

setiap orang (Pasal 28 ayat (1) UU.No.11 Tahun 2010);

- Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai cagar budaya (Pasal 29

ayat (1) UU.No.11 Tahun 2010)

- Setiap orang dapat berpartisipasi dalam melakukan pendaftaran terhadap

benda, bangunan, struktur, lokasi yang diduga sebagai cagar budaya (Pasal

29 ayat (2) UU. No. 11 Tahun 2010);

- Pemerintah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota atau pemerintah daerah

melaksanakan pendaftaran cagar budaya yang dikuasai oleh Negara atau

yang tidak diketahui pemiliknya (Pasal 29 ayat (3) UU No.11 Tahun

2010);

- Instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara

Republik Indonesia dan/atau instansi terkait bagi benda temuan yang

diduga sbagai cagar budaya (Pasal 23 ayat (1) UU.No. 11 tahun 2010);

- Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri bagi cagar budaya yang

berada di luar negeri (Pasal 29 ayat (4) UU.No.11 tahun 2010);

- Kurator Museum melakukan pendaftaran terhadap koleksi Museum yang

tergolong sebagai cagar budaya (Pasal 32 UU.No.11 Tahun 2010);

b) Pengkajian

Hasil pendaftaran diserahkan kepada tim ahli cagar budaya untuk dikaji

kelayakannya sebagai cagar budaya atau bukan cagar budaya (Pasal 26 ayat (1)

Perda Kota Makassar No. 2 Tahun 2013 dan Pasal 31 ayat (1) UU.No.11 tahun
49

2010). Pengkajian hasil pendaftaran bertujuan melakukan identifikasi dan

klasifikasi terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis

yang disusulkan untuk ditetapkan sebagai cagar budaya (Pasal 26 ayat (2) Perda

Kota Makassar No.2 Tahun 2013 dan Pasal 31 ayat (2) UU.No.11 Tahun 2010).

Pengkajian dilakukan oleh tim ahli cagar budaya, yaitu kelompok ahli pelestarian

dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan

rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan cagar budaya (Pasal 1

ayat (13) UU.No.11 Tahun 2010), dan kurator melakukan pengkajian terhadap

koleksi Museum yang selanjutnya diserahkan kepada tim ahli cagar budaya.

Tim ahli cagar budaya dibentuk dan ditetapkan (Pasal 31 ayat (3) UU.No.11 Tahun

2010) dengan:

- Keputusan Menteri untuk tingkat nasional;

- Keputusan gubernur untuk tingkat Provinsi; dan

- Keputusan Bupati/Walikota untuk tingkat Kabupaten/Kota.

Pasal 39 Perda Kota Makassar No.2 Tahun 2013, menyatakan :

a. Dalam rangka melakukan kajian, pemberian rekomendasi


penetapan, pemeringkatan dan penghapusan cagar budaya, dibentuk
Tim Ahli Bagar Budaya;

b. Tim Ahli Cagar Budaya terdiri dari 9 ( Sembilan ) orang ahli


pelestarian cagar budaya yang memiliki sertifikat kompetensi di
bidang pelindungan, pengembangan, atau pemanfaatan cagar
budaya;

c. Tim Ahli Cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


dibentuk oleh Walikota setelah mendapat persetujuan DPRD;

d. Pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada


ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
50

Dalam melakukan, Tim Ahli Cagar Budaya dapat dibantu oleh Unit Pelaksana

Tehnis atau kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang cagar

budaya (Pasal 26 ayat (3) Perda Kota Makassar No. 2 Tahun 2013).

c) Penetapan

Bupati/Walikota mengeluarkan surat penetapan status cagar budaya paling

lama 30 ( tiga puluh ) hari setelah rekomendasi diterima dari tim ahli cagar budaya

yang menyatakan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang

geografis yang didaftarakan layak sebagai cagar budaya (Pasal 33 ayat (1)

UU.No.11 Tahun 2010).

Pemerintah Kabupaten/Kota menyampaikan hasil penetan kepada pemerintah

Provinsi dan selanjutnya diteruskan kepada Pemerintah (Pasal 35 UU.No.11 Tahun

2010), kemudian setelah tercatat dalam Register Nasional Cagar Budaya, pemilik

cagar budaya berhak memperoleh jaminan hukum berupa (Pasal 33 ayat (2)

UU.No.11 Tahun 2010):

- Surat Keterangan status cagar budaya; dan

- Surat keterangan kepemilikan berdasarkan bukti yang sah.

Situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya yang berada di 2 (dua)

Kabupaten/Kota atau lebih ditetapkan sebagai cagar budaya Provinsi; sedangkan

situs cagar budaya atau Kawasan cagar budaya yang berada di 2 (dua ) Provinsi

atau lebih ditetapkan sebagai cagar budaya Nasional (Pasal 34 ayat (1) dan (2)

UU.No.11 Tahun 2010). Kemudian benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan

ruang geografis yang memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa Indonesia

sebagaimana diatur dalam pasal 11 dapat ditetapkan sebagai cagarbudaya dengan


51

keputusan Menteri atau Keputusan Gubernur setelah memperoleh rekomendasi dari

tim ahli cagar budaya sesuai dengan tingkatannya (Pasal 36 UU.No. 11 Tahun

2010).

2. Penetapan Zona Cagar Budaya

Salah satu bentuk perlindungan terhadap cagar budaya adalah menetapkan

batas-batas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui system zonasi, dan

pemanfaatan zona cagar budaya untuk tujuan rekreatif, adukatif, apresiatif, dan/atau

religi. System zonasi cagar budaya terdiri atas : zona inti, zona penyangga, zona

pengembangan; dan/atau zona penunjang, baik secara vertical maupun horizontal

yang dapat dilakukan terhadap lingkungan alam di atas cagar budaya baik di darat

dan/atau di air. Sedangkan mengenai luas, tata letak, dan fungsi masing-masing

zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang

peningkatan kesejahteraan rakyat (Pasal 52 Perda Kota Makassar No. 2 tahun 2013)

3. Penetapan Peringkat cagar budaya

Pemerintah daerah melakukan pemeringkatan cagar budaya berdasarkan

kepentingannya menjadi cagar budaya peringkat kota berdasarkan rekomendasi

Tim Ahli cagar Budaya. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Walikota (Pasal

32 dan 34 Perda Kota Makassar No.2 Tahun 2013).

Ketentuan Pasal 33 Perda Kota Makassar No.2 tahun 2013 mengatur:

Cagar budaya yang dapat ditetapkan menjadi cagar budaya, apabila


memenuhi syarat:

a. Sebagai cagar budaya yang diutamakan untuk dilestarikan dalam


wilayah kota;

b. Mewakili masa gaya yang khas;

c. Tingkat kerancamannya tinggi;


52

d. Jenisnya sedikit; dan/atau

e. Jumlahnya terbatas.

D. Hak, Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat

a. Hak

Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk (Pasal 15 Perda Kota Makassar

No.2 Tahun 2013):

1. Menikmati keberadaan cagar budaya;

2. Mendapat informasi tentang cagar budaya sebagai bagian dari


upaya memberikan pendidikan kesejarahan;

3. Mendapatkan pengetahuan kesejarahan melalui cagar budaya;

4. Memperoleh informasi yang berkaitan dengan peran serta dalam


pengelolaan cagar budaya;

5. Berperan serta dalam rangka pengelolaan cagar budaya sesuai


dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

- Penemu berhak mendapatkan kompensasi atas benda, bangunan, struktur

yang ditemukannya dan telah ditetapkan menjadi cagar budaya (Pasal 18

ayat (1) Perda Kota Makassar No.2 Tahun 2013)

- Setiap orang berhak memiliki dan/atau menguasai cagar budaya yang

diperolehnya melalui pewarisan, hibah, tukar-menukar, hadiah, pembelian

dan/atau melalui putusan atau penetapan Pengadilan apabila jumlah dan

jenisnya telah memenuhi kebutuhan Negara kecuali yang dikuasai oleh

negara (Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Perda Kota Makassar No.2 Tahun

2013);

- Setiap orang berhak memperoleh insentif apabila telah melakukan

kewajibannya melindungi cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya;


53

- Setiap orang yang memiliki dan menguasai cagar budaya yang telah

ditetapkan, berhak mendapatkan plakat dan piagam penghargaan dari

Walikota (Pasal 21 ayat (3) Perda Kota Makassar No.2 Tahun 2013);

- Setiap orang yang telah ikut serta dan berperan serta dalam kegiatan

pelestarian cagar budaya dan lingkungannya berhak mendapatkan

penghargaan (Pasal 21 ayat (5) Perda Kota makassar No.2 Tahun2013);

- Setiap orang yang memiliki dan menguasai cagar budaya yang akan

melaksanakan pemugaran berhak memdapatkan keringanan perizinan (Pasal

21 ayat (6) Perda Kota Makassar No.2 tahun 2013);

- Setiap orang berhak memperoleh dukungan tehnis dan/atau kepakaran dari

pemerintah daerah atas upaya pelestarian cagar budaya yang dimiliki dan/atau

yang dikuasai (Pasal 41 ayat (1) Perda Kota Makassar No.2 Tahun 2013);

- Setiap orang berhak melakukan penyelamatan cagar budaya yang dimiliki

atau yang dikuasainya dalam keadaan darurat atau yang memaksa untuk

dilakukan tindakan penyelamatan (Pasal 43 Perda Kota Makassar No.2 Tahun

2013)

b. Kewajiban

Beberapa ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban antara lain:

- Setiap orang wajib menjaga serta mencegah dan menanggulangi kerusakan

cagar budaya budaya (Pasal 16 ayat (1) Perda Kota Makassar No. 2 Tahun

2013);

- Setiap orang wajib memelihara kelestarian dan mencegah kerusakan

bangunan cagar budaya dan/atau lingkungan cagar budaya yang dimilikinya,


54

dikuasai dan/atau dimanfaatkannya (Pasal 16 ayat (2) Perda Kota Makassar

No.2 Tahun 2013);

- Setiap orang wajib melaporkan kepada instansi yang berwenang, apabila

menemukan benda yang diduga : benda cagar budaya, bangunan cagar

budaya, struktur cagar budaya, dan/atau lokasi yang diduga situs cagar

budaya (Pasal 17 ayat (1) Perda Kota Makassar No.2 Tahun 2013);

- Setiap yang rusak, hilang, atau musnah cagar budaya yang dikuasai dan/atau

dimilikinya wajib melaporkannya paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak

rusaknya, hilangnya dan/atau musnahnya cagar budayanya (Pasal 21 ayat (1)

Perda Kota Makassar No.2 tahun 2013);

- Setiap orang yang memiliki dan/atau mengusai cagar budaya wajib

memperhatikan fungsi sosialnya (Pasal 20 ayat (1) Perda Kota Makassar No.2

Tahun 2013);

- Setiap orang yang memiliki dan menghuni cagar budaya yang telah

ditetapkan wajib memasang plakat pada bagian depan bangunan dan/atau

pada bagian yang mudah dilihat (Pasal 21 ayat (4) Perda Kota Makassar No.2

Tahun 2013);

- Setiap orang wajib melakukan koordinasi dengan instansi terkait, apabila

akan melakukan pemugaran terhadap cagar budaya yang dimiliki dan

dikuasainya (Pasal 21 ayat (6) Perda Kota Makassar no.2 tahun 2013);

- Setiap orang yang memiliki, menguasai, menghuni , mengelola dan/atau

memanfaatkan cagar budaya wajib melindungi cagar budaya dan/atau


55

lingkungannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

(Pasal 21 ayat (7) Perda kota Makassar No.2 Tahun 2013);

- Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai cagar budaya wajib

mendaftarkan kepada Pemerintah Daerah tanpa dipungut biaya (Pasal 24 ayat

(1) Perda Kota Makassar No.2 Tahun 2013);

- Pemerintah Daerah atau setiap orang yang melakukan penyelamatan cagar

budaya wajib menjaga dan merawat cagar budaya dari pencurian, pelapukan,

atau kerusakan baru (Pasal 45 ayat (3) Perda Kota Makassar No.2 Tahun

2013);

- Setiap orang wajib melakukan pengamanan atas cagar budaya yang memiliki

dan/atau dienguasainya (Pasal 46 ayat (2) Perda Kota Makassar No.2 Tahun

2013);

- Setiap orang wajib memelihara cagar budaya yang dimiliki dan/atau

dikuasainya (Pasal 53 ayat (1) Perda Kota Makassar No.2 Tahun 2013)
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis

empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang didasarkan pada

peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan

dengan penelitian skripsi ini, sedangkan pendekatan yuridis empiris dalam

penelitian ini yaitu hukum sebagai law in action, dideskripsikan sebagai gejala

sosial yang empiris. Dengan pendekatan yuridis empiris diharapkan pada penelitian

lapangan dapat dilihat fakta-fakta yang terdapat pada pengaturan pelestarian cagar

budaya di Kota Makassar. Atau dengan kata lain, kesesuaian antara law in books

dengan law in action atau kesesuaian antara das sollen dengan das sein.

B. Lokasi Penelitian

Ruang lingkup lokasi dalam penelitian ini meliputi seluruh wilayah administrasi

maupun wilayah teritorial laut yang ada di Kota Makassar. Lokasi penelitian

dilakukan pada beberapa intansi Pemeritah Kota Makassar, Pemerintah Sulawesi

Selatan ataupun instansi Pemerintah Pusat yang ada di Kota Makassar. Pemilihan

lokasi Kota Makassar selain karena berdasarkan judul penelitian dan juga karena

Kota Makassar merupakan salah satu kota besar di Indonesia dengan laju

pembangunan cukup signifikan yang dapat mengancam keberadaan warisan budaya

bendawi. Selain itu, perhatian khusus telah mulai tertuju pada pelesatarian warisan

budaya bendawi secara Internasional maupun nasional yang dijadikan sebagai bukti

jati diri bangsa suatu negara

56
57

C. Jenis dan Sumber Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu

penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan sumbernya, data terdiri

dari data lapangan dan data kepustakaan. Jenis data meliputi data primer dan data

sekunder.

1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Data lapangan, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan

penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan para narasumber.

b. Data kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dari berbagai sumber atau

bahan kepustakaan, seperti buku-buku hukum, jurnal atau hasil

penelitian dan literatur lainnya yang sesuai dengan permasalahan dalam

penelitian.

2. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objeknya.

Data primer diperoleh atau dikumpulkan dengan melakukan studi

lapangan (field research) dengan cara wawancara. Wawancara adalah

proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secaralisan

dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara

langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.Wawancara


58

yang dipilih adalah wawancara bebas terpimpin, yang dilakukan

dengan responden non random sampling yang terdiri dari pejabat

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Pegawai Negeri Sipil

(PNS) serta instansi vertikal Kementerian Republik Indonesia yang

berada di Kota Makassar. Wawancara ini bertujuan untuk menggali

informasi yang dibutuhkan penulis terkait dengan

perumusanpermasalahan yang diteliti.

b. Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai

bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder

terdiri dari :

1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari Undang-undang Dasar 1945

Hasil Amandemen Keempat, Undang-undang Republik

Iindonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 tentang

Pelestarian Cagar Budaya.

2) Bahan Hukum Sekunder, bersumber dari bahan hukum yang

membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami

permasalahan, berbagai buku hukum, arsip dan dokumen, brosur

atau makalah.

D. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi:

a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu membaca, mengutip buku-

buku atau referensi serta menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen


59

dan informasi lain yang ada dengan permasalahan yang akan diteliti dalam

penulisan skripsi ini.

b. Penelitian lapangan dengan langkah-langkah :

1) Wawancara yaitu proses memperoleh keterangan untuk penelitian

dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara

dengan informan/narasumber yang ada hubungannya dengan

pengaturan pelestarian cagar budaya di Kota Makassar. Dalam

penelitian ini pedoman wawancara tidak terstuktur, yaitu pedoman

wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan.

2) Dokumentasi, teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dan

informasi dari bahan-bahan dokumen baik peraturan perundang-

undangan, catatan-catatan, laporan-laporan maupun arsip-arsip lainnya.

3) Survei Lapangan, teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data

lapangan dengan melakukan observasi langsung di lapangan kemudian

mencatat keseluruhan yang berkenaan dengan data dan informasi yang

dibutuhkan. Observasi ini dilakukan dengan memilih sampel lokasi

yang dapat menunjang kebutuhan data.

E. Analisis Data

Analisis data yaitu pengolahan data yang diperoleh baik dari penelitian

pustaka maupun penelitian lapangan. Untuk menganalisa data digunakan teknik

analisis induktif dengan model analisis interaktif (interactive model of analisis).

Terhadap data primer yang didapat dari lapangan terlebih dahulu diteliti

kelengkapannya dan kejelasannya untuk diklasifikasi serta dilakukan penyusunan


60

secara sistematis serta konsisten untuk memudahkan melakukan analisis. Data

primer inipun terlebih dahulu di korelasi untuk menyelesaikan data yang paling

relevan dengan perumusan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Data

sekunder yang didapat dari kepustakaan dipilih serta dihimpun secara sistematis,

sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dari hasil data penelitian

pustaka maupun lapangan ini dilakukan pembahasan secara deskriptif analitis.

Deskriptif adalah pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh suatu

gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematis terutama mengenai fakta yang

berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Cagar Budaya.


Cagar budaya sejatinya merupakan warisan budaya bendawi yang menjadi

pencerminan jati diri bangsa Indonesia yang beraneka ragan bentuk, jenis dan

coraknya. Uka Tjanrasasmita mengemukakan bahwa :

Peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, dapat dibagi menurut zaman, macam,

bahan, dan fungsinya. Menurut zamannya ada peninggalan zaman prasejarah,

zaman klasik (Hindu/Budha), zaman islam, zaman kolonial dan sebagainya.

Menurut macamnya ada berupa benda-benda bergerak dan tak bergerak, misalnya

arca, ukiran, alat-alat rumah tangga, alat-alat upara, naskah, gedung, rumah, bekas

settlement, benteng dan lain-lain. Menurut bahannya ada peninggalan sejarah dan

kepurbakalaan yang dibuat dari batu, tulang, logam, kertas, kulit dan lain-lain.

Sedangkan menurut fungsinya ada yang berupa Candi, Kuil, Klenteng, Gereja,

Kraton, Pura, Mesjid, Punden berudak, alat perhiasan, alat atau benda upacara

keagamaan dan lain-lain. (Koesnadi Hardjasoemantri : 295-296)

Gambaran umum mengenai jumlah tingkat keberagaman jenis dan bentuk

warisan budaya yang berhasil di inventarisasi melalui data yang diperoleh dari

Balai Pelestarian Cagar Kota Makassar wilayah kerja propinsi Sulawesi Selatan,

Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara, dimana Badan tata usaha Negara ini

merupakan lini sektor pelestarian cagar budaya sebelum desentralisasi di bidang

kepurbakalaan.

61
62

Sebagaimana pengertian cagar budaya dalam Undang - Undang No. 11

Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Daerah Kota Makassar No. 2

Tahun 2013 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya di Kota Makassar

terdapat beberapa jenis warisan budaya seperti benda cagar budaya, bangunan

cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya dan kawasan cagar

budaya. Pentingnya mengidentifikasi cagar budaya yang memiliki jenis dan

bentuk yang berbeda – beda agar nantinya tidak terjadi salah kaprah dalam

menentukan suatu benda yang dapat digolongkan sebagai cagar budaya. Untuk

mengantisipasi permasalahan tersebut maka lebih awal penulis mengemukakan

jenis dan bentuk warisan budaya yang masih memerlukan identifikasi untuk

ditetapkan menjadi cagar budaya, adalah sebagai berikut:


63

Tabel 1.
Jumlah Warisan Budaya yang telah terinventarisasi
Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar

No. Jenis Warisan Budaya Jumlah Persentase Keterangan

1. Bangunan Kolonial 230 20,43 %

2. Benteng 90 7,99 %
3. Makam Kuno
334 29, 66 %
4. Mesjid Kuno
33 2,93 %
5. Peninggalan Prasejarah
251 22,29 %
6. Perkampungan Tua
6 0,53 %
7. Rumah Adat
49 4,35 %
8. Situs Bawah Air
29 2,58 %
Warisan budaya
9.
Bergerak 4 0,35 %

10. Warisan Budaya Tak Bergerak 24 2,13 %

11. Lainnya 76 6,75 %

Jumlah 1126 100,00 %


Sumber data : Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. 2016

Berdasarkan tabel hasil inventarisasi warisan budaya tersebut, maka

terdapat sedikitnya 11 jenis warisan budaya dengan jumlah total mencapai 1.126

pada tahun 2016, kesemuanya warisan budaya tersebut tersebar ditiga provinsi

atau dengan kata lain berada dalam wilayah kerja Balai Pelestarian Pninggalan
64

Purbakala Makassar. Bangunan kolonial sebagaimana dimaksud pada tabel 1 di

tersebut terdapat 230 buah bangunan atau berkisar 20,43 % merupakan

peninggalan yang berasal dari jaman penjajahan, dimana pada jamannya

berfungsi sebagai gedung perkantoran, kesenian, dan pertahanan misalnya

Gedung Kantor Walikota Makassar, Gedung Kantor Pengadilan Negeri kelas 1

Makassar, Gedung Harmoni, Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan di

Makassar, Kantor Balikota, Rumah-rumah yang berada di kompleks Perumahan

Perwira Kodam XIV Hasanuddin jalan Sungai Katangka, Rumah Sakit Stella

Maris, Bunker Jepang di kelurahan Lakkang kota Makassar, Pillbox di kota

Kendari dan sebagainya.

Jenis makam kuno, sebanyak 334 buah atau berkisar 29,66 % meliputi

warisan budaya seperti ; Makam para tokoh Islam, Kompleks Makam Raja-raja

Tallo, Kompleks Makam Pangeran Diponegoro, Kompleks Makam Sultan

Hasanuddin dan sebagainya. Sedangkan jenis warisan budaya berwujud mesjid

kuno meliputi bangunan – bangunan mesjid 33 buah atau 2,93 % yang telah

dibangun pada masa periodesasi Islam berkembang maupun bangunan Islam yang

dibangun pada masa kolonial dan pasca kemerdekaan yang memiliki nilai penting

seperti ; Mesjid Tua Katangka, Mesjid Agung Keraton Buton, Mesjid Kuno

Salabose di Majene dan mesjid - mesjid kuno lainnya.

Kemudian warisan budaya benteng berdasarkan klasifikasi yaitu benteng-

benteng 90 buah 7,99 % baik yang berasal pada masa penjajahan, masa pasca

kemerdekaan maupun masa kerajaan Islam dan PraIslam seperti contohnya


65

benteng Somba Opu di Kabupaten Gowa, Benteng Tallo di Makassar, Benteng

Rotterdam di Makassar, Benteng Pattojo di kabupaten Soppeng, dan lain-lainnya.

Klasifikasi jenis warisan budaya selanjutnya yaitu rumah adat 49 buah

atau 4,35 % yang merupakan bangunan – bangunan peninggalan masa lampau

yang mencirikan suatu suku ataupun wilayah tertentu contohnya seperti ; Rumah

Adat Tongkonan, Rumah Adat, Istana Datu Luwu, Rumah Adat Bola Soba di

Bone, Istana Balla Lompoa, dan sejenis lainnya. Jenis warisan budaya

perkampungan 6 lokasi atau 0,53 % merupakan klasifikasi jenis warisan budaya

yang berwujud suatu kompleks wilayah adat baik yang terdiri atas rumah, lahan

bercocok tanam, lahan dan benda – benda untuk upacara adat, kompleks

pemakaman, dan lainnya contohnya seperti perkampungan adat Kajang,

Perkampungan Adat Kete’ Kesu, dan lain sebagainya.

Peninggalan prasejarah ada 251 buah atau berkisa 22,29 % dapat berupa

benda, struktur, bangunan, lokasi, ataupun satuan ruang geografis contohnya

seperti ; artefak batu, manik-manik, moko, perhiasan dari logam, gerabah. Punden

berundak, Gua atau leang misalnya Taman Gua Prasejarah Leang- Leang di

Kabupaten Maros,dan banyak yang lainnya Gua – Gua Prasejarah di Kawasan

Karst Maros – Pangkep di Sulawesi Selatan.

Kemudian jenis warisan budaya yang berwujud suatu situs bawah air

tercatat 29 lokasi atau sekitar 2,8 % merupakan suatu lokasi di bawah air baik itu

di laut, rawa, sungai, danau, dan jenis perairan lainnya, dimana ditemukan benda

– benda kuno seperti keramik asing, bangkai pesawat tua, kapal tua yang karam,

meriam kuno, jangkar kapal tua dan lainnya contoh situs bawah air yaitu ; situs
66

kodingareng keke, situs Taka Bulango di Pangkep, Situs Kapal Karam di Perairan

Buton, ataupun Situs Kapal Karam VOC di sungai di kabupaten Malili.- dan

sebagainya.

Klasifikasi jenis warisan budaya bergerak dan warisan budaya tak bergerak

ada 24 buah atau 2,13 % merupakan wujud paling dasar dalam pengelompokan

jenis warisan budaya yang ada, karena kedua jenis (warisan budaya bergerak dan

tak bergerak) ini nantinya menjadi cikal bakal benda cagar budaya yang

cakupannya lebih luas dan nantinya melalui verifikasi terhadap peninggalan

prasejarah, benda-benda yang ditemukan dan tersebar di berbagai tempat dan

sebagainya, baik itu berasal dari zaman prasejarah maupun zaman setelah

prasejarah, atau peninggalan pasca prasejarah ( priode sejarah ) Contoh jenis

warisan budaya bergerak seperti ; Nekara, Bendera Kerajaan, Artefak Batu

Prasejarah, Fosil Makhluk Hidup, Keramik, Prasasti, Meriam, Senapan, Mata

Uang Kuno, Alat Musik Kuno dan lain sebagainya. Sedangkan contoh jenis

warisan budaya tak bergerak seperti ; Menhir (Batu Tegak) di Toraja, Lumpang

Batu, Arca, dan lain sebagainya. Klasifikasi yang terakhir yaitu digunakan istilah

“Lainnya“ mengingat warisan budaya sangat banyak bentuk, wujud serta

keberadaanya di darat, di air, ataupun dipajang sebagai barang dagangan bahkan

dapat berupa bagian atau sisa-sisa suatu bangunan, struktur yang dapat

digolongkan sebagai warisan budaya sehingga data yang didapatkan tidak begitu

jelas atau masih memerlukan identifikasi, pengelompokkan dan sebagainya,

warisan budaya semacam ini perlu pengkajian dan penelitian lebih lanjut untuk

ditetapkan sebagai salah satu jenis cagar budaya.


67

Mengingat wilayah penelitian skripsi ini, fokusnya adalah Kota Makassar,

maka perlu penulis mengemukakan hasil inventarisasi warisan budaya khususnya

yang ada di wilayah kota Makassar, sebagai berikut ;

Table 2 : Jumlah warisan budaya di Kota Makassar

Jumlah
No. Jenis warisan
Warisan Persentase
budaya Keterangan
Budaya (%)
Bangunan
1. 149 76,80
Kolonial

2. Benteng 9 4,64

3. Makam Kuno 26 13,40

4. Mesjid tua 4 2,06

5. Situs bawah air 3 1,55

6. Lain-lain 3 1,55

Jumlah 194 100,00

Sumber data : Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. 2016

Data pada tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa warisan budaya yang ada di

Kota Makassar didominasi bangunan colonial terdapat 149 bangunan dari jumlah

194 warisan budaya atau berkisar 76,80 %, atau dengan kata lain dari 230

bangunan kolonal yang telah diinventarisasi oleh Balai Pelestarian Peninggalan

Purbakala Makassar terdapat 149 bangunan, sekitar 64,78 % berada di Kota

Makassar, kemudian benteng ada 9 lokasi atau 10 %, Makam kuno 26 atau 7,78

%, Mesjid tua 4 bangunan atau 12,12 %, Situs bawah air 3 atau 10,34 %, dan
68

lainnya 3 lokasi atau 3,95 % semua warisan budaya yang ada di Kota Makassar

yang dihitung dari total warisan budaya yang terinventarisasi di tiga Provinsi.

Potensi warisan budaya tersebut tersebut merupakan data awal bagi

Pemerintah Kota Makassar untuk didaftar, diidentifikasi dan diverifikasi, serta

selanjutnya diusulkan kepada Walikota Makassar untuk ditetapkan sebagai cagar

budaya, sebagaimana ketentuan Pasal 25 Perda No. 2 Tahun 2013 bahwa

Pemerintah daerah melakukan pendaftaran cagar budaya yang dimiliki setiap

orang, dan yang dikuasai oleh Negara, serta yang tidak diketahui pemiliknya, hasil

pendaftaran tersebut dilengkapi dengan deskripsi dan dokumentasinya.

Hasil pendaftaran tersebut diserahkan kepada Tim ahli Cagar Budaya untuk

dikaji, dengan tujuan identifikasi dan diklassifikasi, terhadap benda, bangunan,

struktur, lokasi dan stuan ruang geografis yang didaftar layak sebagai cagar

budaya atau bukan cagar budaya (Pasal 26 Perda No.2 Tahun 2013)

Adapun kriteria benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang georafis

didasarkan pada nilai sejarah, nilai ilmu pengetahuan, nilai pendidikan, nilai

agama, nilai kebudayaan, nilai arsitektur, dan nilai sosial serta keaslian,

kelangkaan, kejamakan, dan umurnya (Pasal 38 ayat (1) Perda No.2 Tahun 2013).

Ketentuan umum Pasal 1 ayat (9), memberikan pengertian bahwa benda

cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak

maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya,

atau sisa-sisanya,yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah

perkembangan manusia. Pengertian ini memberikan gambaran bahwa benda -

benda atau warisan budaya sebagaimana pada tabel 3, koleksi UPTD Museum
69

Kota Makassar, bahkan jenis warisan budaya bergerak ini banyak dikuasai

dan/atau dimiliki oleh masyarakat dan banyak sekali bentuk dan macamnya,

terutama jika semua fragmen (bagian-bagian atau sisa-sisanya), digolongkan ke

dalamnya. Demikian pula benda-benda yang ditemukan atau terdapat dalam situs

bawah air pada umumnya berasal dari muatan kapal tenggelam ataupun kapalnya

sendiri, dapat berupa keramik asing, perhiasan dan sebagainya. Benda - benda

atau warisan budaya yang dijelaskan sebelumnya itulah yang akan ditetapkan

menjadi “ Benda Cagar Budaya “.

Selanjutnya ketentuan Pasal 1 ayat (10) Perda Kota Makassar Nomor 2

Tahun 2013, memberi pengertian bahwa bangunan cagar budaya adalah suatu

susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau buatan manusiauntuk

memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

Dari pengertian tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa terhadap warisan

budaya yang berupa bangunan kolomial, dan Mesjid kuno yang ada di Kota

Makassar, tersebut pada tabel 2 yang akan ditetapkan sebagai “ Bangunan Cagar

Budaya “.

Begitu pula pengertian Pasal 1 ayat (11) Perda Kota Makassar Nomor 2

Tahun 2013, bahawa struktur cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat

dari benda alam dan/atau buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang

kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung

kebutuhan manusia. Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa terhadap

struktur atau warisan budaya yang berupa Benteng sebagaimana pada tabel 2,

akan ditetapkan menjadi “ Struktur Cagar Budaya “


70

Mengenai warisan budaya berupa Makam kuno, belum diperoleh gambaran

secara signifikan, sebagian ada yang memasukkan sebagai struktur, sebagian ada

yang menggolongkan sebagai benda tak bergerak, hal ini dengan mengambil

patokan pada “ Candi Borobudur “ digolongkan sebagai warisan budaya berupa

Struktur, oleh karena tidak beratap, dan “Candi Prambanan“ atau Candi Loro

Jonggrang digolongkan sebagai Warisan budaya berupa Bangunan, karena

dianggap beratap, atau memiliki ruang dalam candi tersebut.

Hal mengenai warisan budaya “Lain - lain“ pada tabel 2 serta jenis warisan

budaya berupa makam kuno, tidak dijelaskan lebih jauh dalam skripsi ini, akan

lebih baik jika hal ini menjadi wilayah Tim ahli cagar budaya.

Kemudian ketentuan Pasal 1 ayat (12) , Perda Kota Makassar Nomor 2

Tahun 2013, memberikan pengertian bahwa Situs cagar budaya adalah lokasi

yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung benda cagar budaya,

bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan

manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Ketentuan ini memberikan gambaran

bahwa lokasi atau lahan tempat warisan budaya : benda, bangunan dan/atau

struktur sebagaimana pada tabel 2, itulah yang akan ditetapkan menjadi situs

cagar budaya ( azas accessie ).

Kawasan cagar budaya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (13) adalah satuan

ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya

berdekatan dan/atau memperlihatakan cirri tata ruang yang khas. Berkeitan

dengan kawasan cagarbudaya ini, sebagaimana data pada tabel 2 , terdapat 149

buah bangunan kolonial atau 76,80 % dari seluruh warisan budaya yang ada di
71

Kota Makassar, ini berarti ada 149 bangunan yang menempati ruang atau lokasi

yang akan ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya dan situs cagar budaya.

Sebagai contoh kondisi tata ruang yang khas, beberapa bangunan beserta

lokasinya yang saling berdekatan seperti Benteng Rotterdan, Gedung Societeit de

Harmonie, Bioskop Benteng, Gedung Balaikota, Kantor Polrestabes Makassar,

Gedung Museum kota Makassar, Gereja Katedral, Gedung Pengadilan Kelas 1

Makassar dan seterusnya, merupakan potensi ruang yang dapat ditetapkan sebagai

Kawasan cagar budaya di Kota Makassar sejalan dengan semboyan “Makassar

Menuju Kota Dunia” atau smart city. Demikian pentingnya mewujudkan

peraturan perundang-undangan di bidang pelestarian cagar budaya dengan

menegakkan kaedah-kaedah, dan etika pelestarian cagar budaya yang berbasis

kerakyatan.

B. Wewenang Pengaturan Pelestarian Cagar Budaya di Kota Makassar

Bertolak dari azas desentralisasi dan azas dekonsentrasi, dimana

kewenangan pengaturan pelestarian cagar budaya telah dilimpahkan dan

diserahkan kepada Pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2010,Bagir Manan menjelaskan bahwa wewenang dalam bahasa hukum

tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekusaan hanya untuk menggambarkan

hak untuk berbuat atau tidak berbuat, dalam hukum, kewenangan sekaligus berarti

hak dan kewjiban (rechten en plichten), dalam kaitan dengan otonomi daerah

mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan

mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti

kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya dan


72

secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu

tertib ikatan pemerintahan Negara secara keseluruhan. (Ridwan HR : 99-100)

Dipandang dari cara memperoleh kewenangan, maka pengaturan pelestarian

cagar budaya dapat diartikan bahwa kewenangan itu diperoleh secara

“attributive” yaitu oleh pembuat Undang-undang memberikan kewenangan baru

kepada Pemerintah daerah. H.D. Nan Wijk/WillentKonijnenbelt mendefinisikan

atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-undang

kepada organ pemerintahan. Kemudian menurut Indroharto mengatakan pula

bahwa atribusi, terjadi pemberian wewenang pemerintahan baru oleh suatu

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, disini lahir atau dicipatakan

suatu wewenang baru. ( Ridwan HR, 2006 : 101-102 )

Secara atributif, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan memperoleh

kewenangan untuk mengatur pelestarian cagar budaya di wilayah kerjanya, yang

kemudian ditindak-lanjuti dengan diundangkannya Peraturan Daerah Provinsi

Sulawesi Selatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pelestarian dan Pengelolaan

Cagar Budaya, begitu pula Pemerintah Daerah Kota Makassar memperoleh

kewenangan secara atributif untuk mengaturan pelestarian cagar budaya di Kota

Makassar, yang kemudian ditindak-lanjuti Peraturan Daerah Kota Makassar

Nomor 2 Tahun 2013 tentang pelestarian cagar budaya. Dengan demikian dapat

dikatakan pemberian kewenangan kepada Pemerintah daerah Provinsi Sulawesi

Selatan secara atribusi yang bersifat dekonsentrasi, dan pemberian kewenangan

kepada Pemerintah Daerah Kota Makassar secara atribusi yang bersifat

desentralisasi.
73

Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah daerah di tingkat Provinsi adalah

Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Pemerintah daerah

di tingkat Kabupaten/Kota adalah Walikota dan Dewan Perwakilan Daerah

Kabupaten/Kota, maka dalam rangka mewujudkan dan melaksanakan

kewenangan pelestarian cagar budaya dalam peraturan daerah tersebut harus

didelegasikan kepada Gubernur dan Walikota sebagai Badan atau pejabat yang

melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan di daerah.

Indroharto (1991 : 65) mengemukakan bahwa pada delegasi terjadi

pelimpahan suatu weweang yang telah ada oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif

kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara lainnya, jadi suatu delegasi

wewenang selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.

Dengan berpatokan kepada pandangan yang dikemukakan oleh Indroharto

tersebut di atas, maka Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2014, pelaksanaannya

didelegasikan oleh Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan kepada

Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, demikian juga halnya dengan Peraturan

Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 pelaksanaannya didelegasikan oleh

Dewan Perwakilan Daerah Kota Makassar kepada Walikota Makassar.

Upaya untuk mewujudkan kewenangan yang didelegasikan tersebut,

hkususnya pelestarian cagar budaya di Kota Makassar, maka oleh Walikota

Makassar telah menetapkan Peraturan Walikota Nomor 82 Tahun 2013 tentang

Pelaksanaan Peraturan daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 Tentang


74

Pelestarian Cagar Budaya ( Lembaran Daerah Kota Makassar Tahun 2013 Nomor

2 ) yaitu, sebagai berikut:

Pasal 1

Melaksanakan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013

tentang Pelestarian cagar budaya

Pasal 2
Memerintahkan kepada Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota

Makassar untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 1

Pasal 3

Memerintahkan kepada Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,

untuk menyusun petunjuk tehnis pelaksanaan Peraturan daerah dimaksud

dengan melakukan koordinasi dengan SKPD terkait

Pasal 4

Peaturan Walikota ini berlaku sejak tanggal diundangkan.

Peraturan walikota Makassar tersebut di atas, merupakan perintah yang

harus dilaksanakan oleh Kepala Dinas, sebagai pejabat atau organ bawahannya.

John Austin bahwa perintah yang dibuat oleh pribadi-pribadi tertentu atau badan

tertentu ada yang disebut dengan perintah hukum, yang dipersenjatai sengan

sanksi-sanksi, dan dengan membebankan tugas-tugas tertentu, sesuai dengan

fungsi masing-masing. Dengan demikian perintah oleh seorang pemangku

otoritas, selama perintah tersebut sah secara hukum dan dilakukan sesuai dengan

dan tidak melampaui kewenangannya yang diberikan oleh hukum, sehingga

karenanya disebut sebagai “perintah hukum“ maka perintah tersebut wajib


75

dijalankan dan bagi yang mengabaikannya dapat dikenakan sanksi hukum. (Munir

Fuady, 2014 : 96 ).

Virginia S Thacher (dalam Munir Fuady, 2014 : 99) mengemukakan

beberapa konsep yang satu sama lain berbeda arti dan penekanan yang terbit dari

suatu perintah antara lain : komit terhadap sesuatu; menyuruh (order)

berdasarkan otoritas yang dimilikinya; memaksa untuk dijalankan (injunction);

mengarahkan (direct); menuntut (chage); menjalankan perintah atasan;

mendominasi; memandang rendah; memberi mandat; memaksa; (force).

Dengan demikian peraturan Walikota Kota Makassar Nomor 82 Tahun 2013

dapat diartikan sebagai suatu “perintah hukum“ kepada Kepala Dinas untuk

melaksanakan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013,

“perintah hukum“ sebagaimana dimaksudkan tersebut adalah merupakan perintah

untuk menjalankan perintah atasan, atau “mandat“ dalam lapangan hukum

administrasi Negara.

Philipus M Hadjon dkk (1999: 131) mengemukakan bahwa dalam hal

mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan

kewenangan. Disini menyangkut janji-janji intern antara penguasa dan pegawai..

Sejalan dengan pandangan Philiphus M. Hadjon dkk tersebut, oleh Indroharto

(1991 : 66) menyatakan ;

.... pada Mandat disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru

maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau pejabat TUN yang satu

kepada yang lain, tidak terjadi perubahan apa-apa mengenai kewenangan

yang telah, yang ada hanya suatu hubungan intern.


76

Substansi peraturan Walikota Makassar tersebut memerintahkan kepada Kepala

Dinas untuk :

1. Melaksanakan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013,

(dengan Pasal 1 jo. Pasal 2 Peraturan walikota Makassar Nomor 82 Tahun

2013) ;

2. Menyusun petunjuk tehnis pelaksanaan peraturan Perda dan melakukan

koordinasi dengan SKPD terkait, (dengan Pasal 3 Peraturan Walikota

Makassar Nomor 82 Tahun 2013).

Beberapa kemungkinan yang dimaksudkan dalam materi muatan dan substansi

Peraturan Walikota tersebut, antara lain :

1. Adanya perintah untuk “melaksanakan“ Perda Kota Makassar Nomor 2

Tahun 2013, dapat berarti seluruh ketentuan Perda Harus dilaksanakan;

2. Pelaksanaan ketentuan Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, oleh

Kepala dinas, hanya terbatas pada kewenangannya sebagai perangkat

Daerah atau pejabat administrasi Negara;

3. Adanya perintah membuat Juknis dan koordinasi dengan SKPD terkait,

dapat berarti beberapa ketentuan Perda yang memungkinkan dilaksanakan

dengan juknis;

4. Koordinasi dengan SKPD terkait dapat merupakan bahan dalam

penyusunan juknis.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Makassar sebagai Satuan Kerja

Perangkat Daerah Kota Makassar ini merupakan instansi daerah yang berperan

sebagai lini sektor pelestarian cagar budaya di Kota Makassar, melalui tugas
77

pokok dan fungsi yang dimiliki, yang bekerja di bawah Undang-undang Nomor

11 Tahun 2010 dan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013.

Uraian mengenai Tugas, Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan kota Makassar sebagai salah satu Satuan Perangkat Daerah Kota

Makassar di atur dalam Pasal 12 Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 7

Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun

2009 Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi yang menyebutkan bahwa ;

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai tugas pokok merumuskan,

membina dan mengendalikan kebijakan di bidang pendidikan meliputi pra

sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan khusus nonformal

dan informal, sarana dan prasarana serta kebudayaan.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dalam melaksanakan tugas pokok akan

diselenggarakan fungsi sebagai berikut :

 Penyusunan rumusan kebijakan teknis di bidang pra sekolah, pendidikan

dasar, pendidikan menengah, pendidikan khusus nonformal dan informal,

sarana dan prasarana serta kebudayaan;

 Penyusunan rencana dan program di bidang pra sekolah, pendidikan dasar,

pendidikan menengah, pendidikan khusus nonformal dan informal, sarana

dan prasarana serta kebudayaan;

 Pelaksanaan pengendalian dan perencanaan teknis operasional di bidang

pra sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan khusus

nonformal dan informal, sarana dan prasarana serta kebudayaan;


78

 Pelaksanaan pengkajian teknis perizinan dan pelayanan umum di bidang pra

sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan khusus

nonformal dan informal, sarana dan prasarana serta kebudayaan;

 Pelaksanaan perencanaan dan pengendalian teknis operasional pengelolaan

keuangan, kepegawaian dan pengurusan barang milik daerah yang berada

dalam penguasaannya;

 Pelaksanaan kesekretariatan dinas;

 Pembinaan unit pelaksana teknis.

Berdasarkan uraian ketentuan tersaebut di atas, maka salah satu tugas pokok

dan fungsi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan khususnya di bidang kebudayaa,

adalah menyusun rumusan kebijakan tehnis, menyusun rencana dan program,

melaksanakan pengendalian dan perencanaan tehnis operasinal, melaksanakan

pengkajian tehnis perizinan dan pelayanan umum, membina Unit Pelaksana

Teknis (UPT) kebudayaan.

Apabila dicermati Peraturan Walikota Makassar Nomor 82 Tahun 2013,

yang dikaitkan tugas pokok dan fungsi Dinas tersebut, maka pengaturan

pelestarian cagar budaya di Kota Makassar, oleh peraturan perundang-undangan

telah diserahkan untuk melaksanakan otonomi di bidang pelestarian cagar budaya,

dalam arti kewenangan berada pada Kepala Dinas selaku Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara sebagai pemangku kebijakan di bidang cagar budaya dan

pelaksanaannya di bawah tanggung jawab Walikota Makassar.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar ( 1997 : 268-269 ) mengemukakan

bahwa sesuai dengan semangat pasal 18 UUD 1945, seyogyanya pemahaman


79

desentralisasi lebih diarahkan pada otonomi. Otonomi mengandung pengertian

kemandirian ( Zelftandingheid ) untuk mengatur dan mengurus rumah tangga

sendiri sebagian urusan pemerintah yang diserahkan atau dibiarkan sebagai urusan

rumah tangga satuan pemerintanhan lebih rendah yang bersangkutan. Jadi esensi

otonomi adalah kemandirian, yaitu kebebasan untuk berinisiatif dan bertanggung

jawab sendiri dalam mengatur dan mengurus pemerintahan yang menjadi urusan

rumah tangganya.

Dalam wawancara penulis dengan pejabat Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan yaitu Bapak Rukkudin sebagai Kepala Bidang Kebudayaan dan Ibu

Andi Nilam sebagai Kepala Seksi Cagar Budaya mengemukakan bahwa hingga

saat ini dalam menjalankan serangkaian tupoksi dinas pendidikan dan kebudayaan

khususnya bidang cagar budaya masih dalam tahap pendataan untuk menghimpun

keseluruhan data – data warisan budaya yang nantinya akan diverifikasi oleh Tim

Ahli Cagar Budaya, mengingat pendataan dan pendaftaran warisan budaya

menjadi hal yang paling mendesak dalam rangka pelestarian cagar budaya. Beliau

mengatakan kendala yang dihadapi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan adalah

kurangnya sumber daya manusia yang berkompeten dibidang pelestarian cagar

budaya dan minimnya penganggaran setiap tahunnya melalui Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Makassar.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, dapat disimp[ulkan bahwa

kendala utama yang dihadapi oleh pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan,

bertumpuh pada “kurangnya sumber daya manusia dan minimnya anggaran“

sehingga pengaturan pelestarian cagar budaya di Kota Makassar menjadi stagnan,


80

kegiatan pendataan warisan budaya sangat lamban karena kedua varibel tersebut

(sumber daya manusia dan anggaran).

Sarundajang, 1999 : 27 (dikutip dari Agus Santoso : 3013 : 122-123) bahwa sifat

universal suatu pemerintahan daera ( local self government ), terkandung di

dalamnya ciri-ciri :

1. Segala urusan yang diselenggarakan merupakan urusan yang sudah

dijadikan urusan-urusan rumah tangga sendiri, sehingga urusan-urusannya

perlu ditegaskan secara terinci;

2. Penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan oleh alat-alat perlengkapan

yang seluruhnya bukan terdiri dari pejabat pusat, tetapi pegawai pemerintah

daerah;

3. Penanganan segala urusan itu seluruhnya diselenggarakan atas dasar inisiatif

atau kebijakan sendiri;

4. Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mengurus rumah

tangga sendiri adalah hubungan pengawasan;

5. Seluruh penyelenggaraan pada dasarnya dibiayai dari sumber keuangan

sendiri.

Pandangan yang dinyatakan baaik oleh Bagir Manan dan Kuntana Magnar,

maupun oleh Sarudajang tersebut tersirat makna, bahwa urusan rumah tangga

dalam hal ini pengaturan pelestarian cagar budaya telah menjadi otonomi

Pemerintah daerah Kota makassar seyogyanya diselenggarakan secara mandiri,

dengan inisiatif Dinas selaku lini sektor baik pengaturan, pelaksanaan dan

pembiayaannya dan sebagainya, singkatnya tugas dan kewenangan pengaturan


81

dan pelestarian cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13

Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 (sebagaimana telah diuraikan dalam

Bab II) menjadi otonomi daerah atau Kota Makassar.

Merujuk pada prinsip otonomi pelestarian cagar budaya, maka hal-hal yang

urgen dapat dilakukan dengan penelusuran dan klassifikasi terhadap ketentuan-

ketentuan pasal-pasal dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun

2013 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010, guna sebagai

langkah-langkah mewujudkan pengaturan penyelenggaraan pelestarian cagar

budaya di Kota Makassar.

Apabila ditelusuri ketentuan-ketentuan pasal-pasal dimaksud, maka terdapat

ketentuan-ketentuan yang akan diatur dalam Peraturan walikota, ketentuan-

ketentuan mengenai perizinan, ketentuan-ketentuan mengenai penetapan,

ketentuan-ketentuan lainnya yang memberi tugas dan weweang Pemerintah

daerah, bahka kepada Dinas (instansi yang bertanggung jawab di bidang

kebudayaan) dan berbagai ketentuan-ketentuan yang menghendaki dilaksanakan

dengan “ peraturan kebijakan “ dan sebagainya.

Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang akan dilaksanakan dengan Peraturan

Walikota No. 82 Tahun 2013 adalah sebagai berikut :

1. Peraturan mengenai pemberian kompensasi kepada penemu benda,

bangunan, struktur yang ditetapkan sebagai benda cagar budaya, bangunan

cagar budaya dan/atau struktur cagar budaya (Pasal 18 dan Pasal 28 ayat (2)

dan (3) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013);


82

2. Peraturan mengenai pemberian insentif bagi setiap orang yang memiliki dan

menguasai yang telah melakukan kewajibannya melindungi cagar budaya

(Pasal 21 ayat 2 Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013);

3. Hak mendapatkan plakat dan piagam penghargaan dari Walikota, bagi

setiap orang yang memiliki cagar budaya yang telah ditetapkan (Pasal 21

ayat ( 3 ) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013);

4. Peraturan mengenai pemberian keringanan perizinan bagi setiap orang yang

akan melaksanakan pemugaran atas cagar budaya yang dimiliki dan

dikuasainya (Pasal 21 ayat (6) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013);

5. Peraturan mengenai kewajiban melindungi cagar budaya dan/atau

lingkungannya, bagi setiap orang yang memiliki, menguasai, menghuni,

mengelola dan/atau memanfaatkan cagar budaya (Pasal 21 ayat (7) Perda

Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013);

6. Peraturan mengenai izin Walikota bagi setiap orang yang akan mengalihkan

cagar budaya peringkat kota (Pasal 22 Perda Kota Makassar Nomor 2

Tahun 2013);

7. Peraturan mengenai pemeringkatan cagar budaya (Pasal 32 dan pasal 34

Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013);

8. Peraturan mengenai pemeliharaan cagar budaya (Pasal 54 Perda Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013);

9. Peraturan mengenai pemberian penghargaan dan sebagai warga kota

teladan, bagi pemilik, pengelola, dan/atau penghuni bangunan dan/atau


83

lingkungan cagar budaya yang telah melaksanakan pelestarian cagar budaya

dan/atau lingkungananya (Pasal 55 Perda Nomor 2 Tahun 2013);

10. Peraturan mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan sanksi administrasi

(Pasal 70 Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013).

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, akan diatur dengan Peraturan

Walikota, yang sekaligus merupakan wewenang ( Pemerintah daerah ) membuat

peraturan pengelolaan cagar budaya di Kota Makassar (Pasal 13 huruf f Perda

Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 ), yang bersifat mengikat setiap orang atau

bersifat umum ( in abstracto ) artinya kewenangan ini merupakan delegasi kepada

Walikota untuk menetapkan peraturan dalam menjalankan Peraturan daerah Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013 dan selanjutnya dilaksanakan dalam bentuk

ketetapan ( beschikking ) maupun dalam bentuk peraturan-peraturan kebijakan.

S.F Marbun dan Machfud, MD ( 1987 : 88 ) mengemukakan bahwa :

Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum,

maksudnya pengaturan yang memuat norma-norma yang dituangkan dalam

bentuk “Peraturan“ yang bersifat abstracto dan mengikat setiap orang. Suatu

peraturan yang bersifat umum, biasanya akibat-akibat hukum yang ditimbulkan

belum dapat diketahui lebih dahulu (abstrak).

Ketentuan-ketentuan sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah sepenuhnya

wewenang Walikota Makassar, mengenai perintah Walikota Makassar kepada

Kepala Dinas, sesuai dalam Peraturan walikota Makassar Nomor 82 Tahun 2013

merupakan perintah tata usaha yakni Kepala Dinas selaku instansi yang

berwenang di bidang kebudayaan yang didalamnya termasuk pengelolaan dan


84

pelestarian cagar budaya, dapat merumuskan draft atau konsep Peraturan

Walikota sebagai wujud mandat atau perintah atasan terhadap bawahannya,

Beberapa ketentuan-ketentuan mengenai pemberian izin menurut Perda Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013, yaitu :

1. Izin Walikota, pencarian cagar budaya atau yang diduga cagar budaya

dengan cara penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat

dan/atau di air (Pasal 19 Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013);

2. Izin pembongkaran atas sebagian atau keseluruhan bangunan dan/atau

lingkungan cagar budaya (Pasal 21 ayat (8) Perda Kota makassar Nomor 2

Tahun 2013 );

3. Izin Walikota, memindahkan dan/atau memisahkan cagar budaya peringkat

kota, baik seluruhnya, maupun bagian-bagiannya (Pasal 49 Perda Nomor 2

Kota Makassar Tahun 2013 ) ;

4. Izin Walikota, membawa cagar budaya ke luar kota Makassar (Pasal 50

Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 ) ;

5. Izin pemugaran bangunan cagar budaya dan struktur cagar budaya, oleh

Pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD (Pasal 56 ayat (5) Perda

Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 ) ;

6. Izin Pemerintah daerah dan pemilik cagar budaya untuk pengembangan

suatu cagar budaya (Pasal 57 ayat (2) Perda Kota Makassar Nomor 2 tahun

2013) ;

7. Izin Walikota, mengubah fungsi ruang situs cagar budaya dan kawasan

cagar budaya, berdasarkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang dan
85

wilayah Kota Makassar (Pasal 60 ayat (1) Perda kota Makassar Nomor 2

Tahun 2013);

8. Izin untuk mengubah fungsi ruang dan bangunan situs cagar budaya yang

berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan struktur cagar

budaya yang menjadi aset Pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD

(Pasal 60 ayat (2) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 ) ;

9. Izin Pemerintah daerah kepada stiap orang untuk fasilitas pemanfaatan

dan promosi cagar budaya (Pasal 62 ayat (2) dan ayat (3) Perda Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013);

10. Izin Pemerintah daerah atas pemanfaatan cagar budaya yang dapat

menyebabkan terjadinya kerusakan dan/atau pemanfaatan cagar budaya

yang pada saat ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula dan dapat

dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu (Pasal 63 Perda Kota Makassar

Nomor 2 Tahun 2013);

11. Izin Walikota, pemanfaatan cagar budaya peringkat kota dengan cara

perbanyakan (Pasal 65 ayat (1) dan ayat (3) Perda Kota makassar Nomor

2 Tahun 2013).

Berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 75 Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun

2013 bahwa:

(1) Pengelolaan cagar budaya yang telah memiliki izin wajib menyesuaiakan

persyaratan Peraturan Daerah paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya

Peraturan Daerah ini.


86

(2) Terhadap izin-izin yang telah dikeluarkan sebelum diundangkannya

Peraturan Daerah ini, akan dilakukan evaluasi secara bertahap dan

menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyelenggaraan perizinan merupakan wilayah pejabat administrasi Negara,

namun penting dalam mewujudkan pemberia izin dimaksusd harus berdasarkan

peraturan perundang-undangan. N.M Spelt dan J.B.J.M ten Berge ( dalam Ridwan

HR, 2011 : 199) antara lain mengemukakan bahwa dengan memberi izin,

penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-

tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu

tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus

atasnya.

Perlu dicermati bahwa ketentuan-ketentuan Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun

2013, khususnya yang menyangkut perizinan terdapat 3 ( tiga ) bentuk, yaitu:

1. Izin yang dapat diberikan langsung oleh Walikota;

2. Izin yang dapat diberikan oleh Pemerintah Daerah; dan

3. Izin yang dapat diberikan oleh Pemerintah Daerah dengan persetujuan

DPRD.

Mengenai izin yang diberikan oleh walikota, merupakan kewenangan yang

secara umum dapat dikatakan, kewenangan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha

Negara memberikan izin dalam rangka menyenggarakan tugas-tugas

pemerintahan melayani masyarakat.

Secara umum yang dimaksud dengan pemerintah daerah di tingkat

Kabupaten/Kota adalah Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota, dalam ketentuan


87

umum Pasal 1 ayat (4) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, bahwa yang

dimaksud Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Makassar, dan Pasal 1 ayat

(5) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, bahwa yang dimaksud dengan

Walikota adalah Walikota Makassar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

izin yang diberikan oleh Pemerintah daerah yang dimaksud, merupakan

wewenang Walikota Makassar bersama dengan DPRD Kota Makassar.

Izin yang diberikan dengan persetujuan DPRD. Hal lain yang menarik, yaitu

ketentuan Pasal 60 ayat (1) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, bahwa

setiap orang dilarang mengubah fungsi ruang situs cagar budaya atau kawasan

cagar budaya peringkat kota baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dengan

izin Walikota, kemudian ketentuan

Ketentuan Pasal 60 ayat (2), disana diatur larangan pemberian izin oleh

Walikota untuk mengubah fungsi ruang dan bangunan situs cagar budaya yang

berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan struktur cagar budaya

yang menjadi asset Pemerintah daerah, kecuali dengan persetujuan DPRD.

Intinya adalah bahwa norma atau kaedah dalam hal revitalisasi yaitu untuk

mengubah fungsi ruang cagar budaya berupa situs cagar budaya dan kawasan

cagar budaya hanya dapat dilakukan atas dasar izin dari Walikota, sedangkan

norma atau kaedah dalam hal revitalisasi yaitu mengubah fungsi ruang situs cagar

budaya cagar budaya yang berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya,

dan struktur cagar budaya yang menjadi asset Pemeruntah daeah harus dengan

persetujuan DPRD.
88

Kranenburg Vegting dan Van Der Pot (dalam E.utrecht, 1954 : 130),

mengemukakan bahwa bila pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu

perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang

ditentukan untuk masing-masing hal yang kongkrik (sikap pembuat peraturan in

different), maka keputusan administrasi Negara yang memperkenankan perbuatan

tersebut bersifat suatu izin ( vergunning ).

Dengan demikian ketentuan-ketentuan tersebut baik izin (vergunning) yang

dapat diberikan oleh Walikota Makassar, berdasarkan Pasal 60 ayat (1 ) maupun

izin yang dikeluarkan oleh Walikota Makassar berdasarkan Pasal 60 ayat (2)

tersebut dalam peristiwa kongkrik, tetap merupakan kewenangan Walikota

Makassar Sebagai Badan atau pejabat Tata Usaha Negara, yang dikecualikan

menurut Pasal 60 ayat (2) adalah cagar budaya yang merupakan asset Pemerintah

Kota Makassar penetapan izinnya dengan persetujuan DPRD Kota Makassar.

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, W.F Prins berpendapat, kalau

dalam hal dispensasi peristiwa yang diberi dispensasi itu harus terbatas/tertentu,

maka bagi perizinan sebaliknya, hala-hal yang tidak dapat diizinkan

( permohonan ), izin itu seharusnya terbatas. (dalam Kuntjoro Purbopranoto, 1981

: 53)

Dari uraian sebagimana dijelaskan sebelumnya, diperoleh gambaran bahwa izin

yang diberikan oleh pemerintah Daerah atau Pemerintah Kota Makassar dan izin

yang dapat diberikan dengan persetujuan DPRD Kota Makassar, merupakan

bentuk penetapan kongkrik (beschikking) yang melibatkan badan legislatif daerah


89

sebagai suatu bentuk pengawasan terhadap badan eksekutif daerah Kota

Makassar.

Indroharto ( 1991 : 136 ) mengemukakan bahwa dalam rangka pengawasan

administratif yang bersifat preventif dan keseragaman kebijaksanaan seringkali

peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya

keputusan TUN diperlukan persetujuan instansi atasan lebih dahulu. Adakalanya

peraturan dasar menentukan bahwa persetujuan instansi lain itu diperlukan karena

instansi lain tersebut akan terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan

oleh keputusan itu.

Membedakan antara cagar budaya yang tergolong asset Pemerintah kota

dengan cagar budaya yang bukan aset pemerintah kota, artinya membedakan

cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh perseorangan, namun tak kalah

pentingnya adalah memperhatikan tujuan pelestarian cagar budaya, sebagaimana

diamanatkan Pasal 3 Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, yaitu :

melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan ummat manusia; meningkatkan

harkat dan martabat bangsa melalui cagar budaya; memperkuat kepribadian

bangsa; meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan mempromosikan warisan budaya

bangsa kepada masyarakat internasional.

Beberapa ketentuan-ketentuan pelestarian dalam peraturan-udangan yang

memberikan wewenang kepada Dinas, antara lain :

1. Instansi yang berwenang di bidang kebudayaann, menerima laporan tentang

penemuan benda yang diduga benda cagar budaya, bangunan yang diduga

banguan cagar budaya, struktur yang diduga struktur cagar budaya dan/atau
90

lokasi yang diduga situs cagar budaya (Pasal 23 ayat 1 UU.No.11 Tahun

2010 dan Pasal 17 ayat (1) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013),

adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan :

a) Penemuan yang diduga cagar budaya wajib dilaporkan paling lama 30

(tiga puluh ) hari, sejak penemuan dimaksud ( Pasal 17 ayat (1) Perda

Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013));

b) Jika penemu tidak melaporkan dalam waktu 30 hari, dapat diambil

alih oleh Pemerintah daerah (Pasal 17 ayat (1) Perda Kota Makassar

Nomor 2 Tahun 2013);

c) Koordinasi dengan kepolisian atau instansi terkait, jika penemuan itu

dilaporkan kepada Kepolisian atau instansi terkait lainnya (Pasal 17

ayat (1) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013);

d) Penemuan yang diduga cagar budaya yang tidak dilaporkan, dapat

diambil alih oleh pemerintah daerah (Pasal 17 ayat (2) Perda Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013);

e) Dinas selaku instansi yang berwenang di bidang kebudayaan

melakukan pengkajian atas benda temuan tersebut (Pasal 17 ayat (3)

Perda No.2 tahun 2013 );

f) Apabila benda temuan ditetapkan sebagai cagar budaya, maka penemu

berhak mendapatkan kompensasi (Pasal 18 ayat (1) Perda Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013);


91

g) Apabila temuan ditetapkan sebagai cagar budaya dan sangat langka

jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya dikuasai oleh

Negara (Pasal 24 ayat (2) UU.No.11 Tahun 2010 );

h) Apabila temuan ditetapkan sebagai cagar budaya tidak langka

jenisnya, tidak unik rancangannya, dan jumlahnya telah memenuhi

kebutuhan Negara, dapat dimiliki oleh penemunya (Pasal 24 ayat (3)

UU.No.11 Tahun 2010 );

2. Instansi yang berwenang di bidang Kebudayaan,menerima laporan

mengenai rusak, hilang, atau musnahnya cagar budaya yang dimiliki

dan/atau dikuasai perseorangan (Pasal 19 ayat (1) UU.No.11 Tahun 2010

dan Pasal 21 ayat (1) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, adapun

langkah-langkah yang perlu dilakukan :

a) Peristiwa rusaknya, atau hilangnya, atau musnahnya atas cagar budaya

yang dimiliki dan/atau dikuasi perseorang wajib dilaporkan paling

lama 30 ( tiga puluh ) hari sejak rusak, hilang atau musnahnya cagar

budaya yang bersangkutan (Pasal 19 ayat (1) UU.No.11 Tahun 2010

dan Pasal 21 ayat (1) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013);

b) Koordinasi dengan kepolisian atau instansi terkait, jika peristiwa

mengenai kerusakan, kehilangan, atau musnahnya cagar budaya yang

bersangkutan dilaporkan kepada Kepolisian atau instansi terkait

lainnya (Pasal 19 ayat (1) UU.No.11 Tahun 2010 dan Pasal

21 ayat (1) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013);


92

c) Jika pemilik dan/atau yang menguasai cagar budaya tidak melaporkan

dalam waktu 30 hari, dapat diambil alih oleh Pemerintah daerah (Pasal

19 ayat (2) ) UU.No. 11 Tahun 2010 );

3. Instansi yang berwenag di bidang Kebudayaan dapat memberikan bantuan

perlindungan terhadap cagar budaya atau benda, bangunan, struktur, lokasi,

atau satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar budaya disita oleh

aparat penegak hukum, apabila diminta oleh aparat penegak hukum. Dalam

ketentuan ini mengandung norma, bahwa :

a) Cagar budaya atau benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan

ruang geografis yang diduga cagar budaya yang disita oleh aparat

penegak hukum dilarang dimusnahkan atau dilelang (Pasal 21 ayat

(1) UU.No.11 Tahun 2010 );

b) Cagar budaya atau benda, bangunan, struktur, lokasi atau satuan ruang

geografis yang diduga sebagai cagar budaya yang disita oleh aparat

penegak hukum, dilindungi oleh aparat penegak hukum sesuai dengan

ketentuan dalam UU.No.11 Tahun 2010

c) Dalam melakukan perlindungan, aparat penegak hukum dapat

meminta bantuan kepada instansi yang berwenang di bidang

kebudayaan.

Berdasarkan uraian tentang ketentuan-ketentuan di atas, Badan atau Pejabat

tata Usaha Negara yaitu Kepala Dinas pendidikan dan Kebudayaan sebagai

instansi yang berwenang di bidang kebudayaaan, diberikan wewenang, baik oleh

Undang-udang Nomor 11 Tahun 2010 maupun oleh Perda Kota Makassar nomor
93

2 Tahun 2013, guna melakukan tindakan-tindakan kongkrik yang berkaitan

dengan ketiga hal yang diuraikan tersebut sebagai wujud dari bagian

penyelenggaraan pemerintahan di bidang pelestarian cagar budaya di Kota

Makassar.

Dipandang dari segi strategis penyelenggaraan pelestarian cagar budaya di

Kota Makassar, Satuan Kerja Perangkat Daerah ini memiliki tugas pokok dan

fungsi di bidang kebudayaan, dengan posisi yang demikian itu, maka seyogyanya

mewujudkan pengaturan, kebijakan-kebijakan di bidang pelestarian cagar budaya,

mengingat dukungan pemerintah melalui peraturan perundang-undangan telah

tersedia dan cukup memadai, langkah yang paling tepat adalah merumuskan atau

membuat peraturan-peraturan kebijakan atau biasa disebut “ beleidsregel “

Bagir Manan dan Kuntana Magnar (1997: 136-137), mengemukakan bahwa

wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara membuat peraturan kebijakan

(beleidsregel) didasarkan pada asas kebebasan bertindak beleidsvrijheid atau

beoordelingvrijheid atau lazim disebut Freis Ermessen, peraturan kebijakan

dibuat untuk menjaga ketaat-asasan tindakan administrasi Negara dalam kaitan

dengan azas-azas umum Pemerintahan yang layak- antara lain azas persamaan

perlakuan (gelijkheidsbeginsel), azas kepastian hukum rechtzekerheidsbeginsel ),

dan azas dapat dipercaya ( vertrouwensbeginsel ). Dalam praktek, peraturan

kebijakan dapat berupa keputusan, instruksi, edaran, petunjuk, pengumuman, dan

lain-lain.

Hal sama juga dikemukakan oleh philipu M.Hadjon dkk ( 1999 : 152 )

bahwa pelaksanaan pemerintahan sehari-hari menunjukkan betapa Badan atau


94

Pejabat tata Usaha Negara acapkali menempuh pelbagai langkah kebijakan

tertentu, antara lain menciptakan apa yang kini sering dinamakan peraturan

kebijakan (beleidsregel, policy rule). Produk semacam peraturan ini tidak terlepas

dari kaitan penggunaan freies ermessen, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara yang bersangkutan merumuskan kebijakan itu dalam pelbagai bentuk

“juridische regel “ seperti halnya peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran

dan mengumumkan kebijaksanaan itu.

Dari uraian-uraian sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dipastikan

bahwa pengaturan pelestarian cagar budaya di Kota Makassar, atau denganj kata

lain pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang pelestarian cagar

budaya bertumpuh kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai SKPD,

Badan atau Pejabat tata Usaha Negara diberi tugas dan tanggung jawab di bidang

ini.

Selain ketentuan-ketentuan mengenai peraturan Walikota, perizinan serta

kewenangan Dinas pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dikemukakan di

atas, dalam rangka pelestarian cagar budaya di Kota Makassar, Perda Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013, mengamanatkan beberapa penetapan, yaitu :

1) Menetapkan etika pelestarian cagar budaya di Kota Makassar (Pasal 13

huruf a Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 );

2) Menetapkan pencabutan status cagar budaya di Kota Makassar (Pasal 13

huruf e Perda kota Makassar Nomor 2 tahun 2013 );


95

3) Menetapkan batas-batas situs cagar budaya dan Kawasan cagar budaya di

Kota Makassar (Pasal 13 huruf o Perda Kota Makassar Nomor 2 tahun

2013);

4) Menetapkan benda, atau bangunan, atau struktur, dan/atau lokasi, yang

ditemukan, sebagai cagar budaya (Pasal 17 dan pasal 18 Perda Kota

Makassar Nomor 2 tahun 2013 );

5) Penetapan warisan budaya berupa benda sebagai benda cagar budaya,

bangunan sebagai bangunan cagar budaya, struktur sebagai struktur cagar

budaya, lokasi sebagai situs cagar budaya atau satuan ruang geografis

sebagai kawasan benda cagar (Pasal 28 ayat (1) Perda Kota Makassar

Nomor 2 Tahun 2013 );

6) Keputusan/penetapan Walikota Makassar tentang pembentukan Tim Ahli

Cagar Budaya dengan persetujuan DPRD (Pasal 39 Perda Kota Makassar

Nomor 2 Tahun 2013 );

7) Penetapan sistem zonasi sesuai dengan keluasan Situs cagar budaya atau

kawasan cagar budaya (Pasal 51 Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun

2013);

Mengenai hal penetapan ini, sepenuhnya menjadi kompetensi Badan atau

Pejabat Tata Usaha yang bersangkutan, yaitu Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Kota Makassar sebagai badan yang diberi tugas dan wewenang untuk

menyelenggarakan atau mengesksekusi ke dalam masalah kongkrik.

Bachsan Mustafa ( 1985 : 96 ) menyimpulkan bahwa suatu keputusan selalu

peraturan apabila isinya berlaku secara umum dan keputusan selalu ketetapan
96

apabila isinya berlaku dan mengikat seseorang atau individu saja. Akan tetapi

peraturan itu tidak selalu keputusan sebab keputusan itu dapat merupakan

peraturan dapat pula merupakan ketetapan.

Penting diketahui bahwa semua warisan budaya baik itu mengenai, benda,

bangunan, strukltur, lokasi, atau satuan ruang geografis, perlu segera

merealisasikan proses penetapan menjadi cagar budaya, sebagaimana amanat

Pasal 1 ayat (8) dan Perda Kota makassar Nomor 2 tahun 2013 dan

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 ). Dengan penetapan

menjadi cagar budaya, maka warisan budaya itu memperoleh status hukum

berdasarkan peraturan perudang-undangan tersebut di atas, sebaliknya tanpa

adanya penetapan , maka belum dapat dikatakan cagar budaya, yang ada adalah

warisan budaya.

C. Badan Pemerintah Yang Terkait Pelestarian Cagar Budaya.

Dalam rangka mewujudkan pelestarian cagar budaya di Kota Makassar,

selain diperlukan suatu strategi pengaturan pelestarian, juga diperlukan koordinasi

secara lintas sektoral dan wilayah terhadap berbagai instansi atau badan-badan

pemerintah yang memiliki keterkaitan tugas pokok dan fungsi khususnya

menyangkut pelestarian cagar budaya, oleh karena itu perlu dikemukakan

beberapa instansi yang terkait, sebagaimana diuraikan di bawah ini.

a. Museum Kota Makassar

Salah satu Lembaga tehnis yang berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Dinas pendidikan dan kebudayaan, yaitu Unit Pelaksana Teknis Daerah

(UPTD) Museum Kota Makassar yang dibentuk berdasarkan pada Surat


97

Keputusan Walikota Makassar Nomor : 432.1.05/218/Kep/II/2010 tanggal 9

Pebruari 2010 tentang Pembentukan Unit Pengelola Museum Kota Makassar

Tahun Anggaran 2010.

Instansi daerah ini memegang peranan penting dalam upaya pelestarian

cagar budaya khususnya di Kota Makassar, sebagaimana ditegaskan dal pasal 27

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, bahwa “ pengkajian

terhadap koleksi Museum yang didaftarkan dilakukan oleh Kurator dan

selanjutnya diserahkan kepada Tim Ahli cagar budaya “

Badan tata usaha daerah ini mempunyai tugas pokok dan fungsi, sebagai berikut :

1. Melaksanakan sebagaian tugas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di bidang

permuseuman;

2. Melaksanakan tugas teknis operasional pengelolaan UPTD Museum Kota

Makassar;

3. Melaksanakan tugas penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran pengelolaan

Museum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan;

4. Membuat perencanaan, pembinaan, penataan, perbaikan dan pemeliharaan

terhadap UPTD Museum Kota Makassar;

5. Melaksanaan inventarisasi / pendataan, pengawasan, dan pengendalian

terhadap peralatan dan kendaraan yang berada dalam penguasaan UPTD

Museum Kota Makassar;

6. Melaksanakan pengadaan / penyediaan, pengaturan, penyimpanan dan

distribusi barang serta peralatan yang diperlukan dalam pengelolaan

operasional UPTD Museum Kota Makassar;


98

7. Melakukan koordinasi seluruh bidang – bidang yang ada dalam lingkup

Pemerintah Kota Makassar;

8. Melakukan koordinasi dengan instansi lain;

9. Mengadakan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktur

Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud RI di Jakarta;

dan

10. Melaksanakan tugas khusus dari pimpinan / atasan.

Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi tersebut UPTD Museum Kota

Makassar terutama dalam melakukan identifikasi koleksi Museum yang tergolong

sebagai warisan budaya bergerak, menurut Kepala Museum Ibu Nurul Chamisany

membutuhkan Kurator yang berkompeten dalam berbagai hal terutama

penanganan koleksi - koleksi museum yang tergolog warisan budaya yang

nantinya akan menjadi cagar budaya, lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa

dalam memaksimalkan tugas pokok dan fungsinya museum kota makassar sering

melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal

Kebudayaan Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud

Republik Indonesia.
99

Tabel 3.
Warisan Budaya bergerak Koleksi
Museum Kota Makassar

No. Jenis Koleksi Jumlah


1 Medalion Ratu Wilhelmina 1
2 Patung Ratu Wilhelmina 1
3 Meja dan Kursi Pemerintah Belanda 1
4 Lemari Brankas Pemerintah Belanda 1
5 Piano Masa Pemerintahan Belanda 1
6 Meriam Belanda 2
7 Bola Meriam Belanda 12
8 Uang Koin Kuno 55
9 Uang Kertas Kuno 29
Naskah Perjanjian Kerajaan Gowa-Tallo dan
10 1
Pemerintah Belanda
11 Alat Musik Kecapi 3
12 Alat Musik Ganrang (Gendang) 5
13 Pakaian Resmi Walikota dan Wakil Walikota 5
14 Keramik Asing 5
15 Mesin ketik kuno walikota 1
TOTAL 123

Sumber : Museum Kota Makassar. 2016


Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah koleksi sebanyak 123 buah,

seluruhnya dapat digolongkan ke dalam kategori warisan budaya bergerak,

koleksi tersebut cukup banyak dipandang perlu menjadi data awal bagi

Pemerintah Kota Makassar dalam rangka meinventarisasi dan pendaftaran warisan

budaya yang ada di Kota Makassar.

b. Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar

Badan Pertanahan Nasional yang merupakan salah satu badan tata usaha

negara atau instansi vertikal, dalam melaksanakan tugas, fungsi dan

wewenangnya memiliki perangkat-perangkat di daerah, baik berupa Kantor


100

Wilayah Pertanahan Nasional yang berkedudukan di Provinsi dan Kantor

Pertanahan Nasional yang berkedudukan di Kabupaten\Kota.

Sebagaimana telah diuraikan pada Bab II, bahwa cagar budaya umumnya

tidak dapat dipisahkan dengan tanah, baik itu berupa bangunan, struktur, lokasi,

kawasan bahkan sebagian besar masih terpendan di dalam maupun di permukaan

tanah, sehingga peran lembaga pertanahan sangat strategis dalam upaya

pelestariannya.

Kondisi demikian itu memerlukan pengaturan kewenangan dan kebijakan

operasional pertanahan tentunya hal ini diemban oleh Badan Pertanahan Nasional

melalui tugas pokok, fungsi dan kewenangannya, serta implementasinya melalui

peraturan perundang-uandangan yang menjadi dasar hukumnya.

Adapun struktur organisasi Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia Nomor 4 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas

Subbagian Dan Seksi Pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan

Uraian Tugas Urusan Dan Subseksi Pada Kantor Pertanahan, adalah sebagai

berikut:

Kantor Pertanahan terdiri dari :

a. Subbagian Tata Usaha;

b. Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan;

c. Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah;


101

d. Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan;

e. Seksi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan masyarakat;

f. Seksi Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.

Subbagian Tata Usaha terdiri dari :

a. Urusan Perencanaan dan Keuanga

b. Urusan Umum dan Kepegawaian

Subseksi Pengukuran dan pemetaan terdiri dari:

a. Subseksi Pengukuran dan Pemetaan;

b. Subseksi Tematik dan Potensi tanah

Seksi Hak atas tanah dan Pendaftaran Tanah Terdiri atas:

a. Seksi Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah

b. Subseksi Penetapan Hak Tanah

c. Subseksi Pengaturan Tanah Pemerintah

d. Subseksi Pendaftaran Hak

e. Subseksi Peralihan, Pemberian Hak dan PPAT

Selanjutnya dalam menyelenggarakan tugas pokok tersebut, Badan

Pertanahan Nasional menurut ketentuan Pasal 3 Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 yaitu BPN

memiliki fungsi sebagai berikut :

a. Penyusunan rencana, program, dan penganggaran dalam rangka

pelaksanaan tugas pertanahan;

b. Pengkoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan survei, pengukuran, dan

pemetaan; hak tanah dan pendaftaran tanah; pengaturan dan penataan


102

pertanahan; pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat; serta

pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan;

c. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pertanahan di lingkungan

provinsi;

d. Pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah;

e. Pengelolaan sistem informasi manajemen pertanahan nasional (simtanas)

di provinsi;

f. Pengkoordinasian penelitian dan pengembangan;

g. Pengkoordinasian pengembangan sumberdaya manusia pertanahan;

h. Pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana, dan

prasarana, perundang-undangan serta pelayanan pertanahan.

Hasil wawancara dengan Kepala Sub-Seksi Penatagunaan Tanah dan Ruang

yaitu Bapak Mansyur, menurut beliau dalam mewujudkan penatagunaan dan

pemanfaatan tanah sebesar-besarnya untuk rakyat, pihak Badan Pertanahan

Nasional membuka ruang kerja sama sebesar-besarnya dalam menentukan

berbagai kebijakan di sektor pertanahan. Salah satunya Badan Pertanahan

Nasional telah menjalin koordinasi dengan Dinas Tata Ruang Kota Makassar

mengenai penataan tanah – tanah milik perseorangan, badan hukum ataupun

pemerintah dalam rangka mewujudkan penataan ruang yang berdasarkan

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Makassar 2005-2015. Kemudian mengenai kebijakan

pelestarian cagar budaya pihak Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar belum

memiliki data- data terkait situs – situs warisan budaya yang ada di kota
103

Makassar, lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa oleh karena tidak adanya

ketentuan mengenai cagar budaya dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor

6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005-2015

menjadikan tidak adanya ruang –ruang khusus mengenai penataan tanah terkait

cagar budaya tersebut. Untuk mewujudkan hal tersebut beliau mengungkapkan

bahwa sinkronisasi kelembagaan mengenai cagar budaya perlu dijalin.

Penatagunaan tanah akan berpengaruh dengan penerbitan sertifikat kepemilikan

hak atas tanah yang sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Berdasarkan uraian mengenai tugas pokok, dan fungsi Kantor Badan

Pertanahan Nasional dapat dipahami bahwa dalam menentukan dan menetapkan

hak-hak atas tanah, badan tata usaha Negara ini banyak bersentuhan langsung

dengan keberadaan warisan budaya, tidak hanya tanah-tanah pemerintah akan

tetapi mencakup warisan budaya yang berada di atas tanah pemilikan dan/atau

penguasaan masyarakat.

Selain dari itu lembaga ini memiliki tugas pokok dan fungsi dalam upaya

koordinasi baik dengan instansi pemerintah maupun dengan stekholder atau

pemangku kepentingan, sehingga badan ini memiliki posisi strategis

menggunakan kewenangannya dalam upaya pelestarian cagar budaya, tentunya

hal ini dimaksudkan karena warisan budaya sebagaimana diuraikan pada table 2

di atas, berupa benda, bangunan, struktur, lokasi, tidak dapat dipisahkan dengan

areal tanah sebagai tempat warisan budaya itu berada bahkan tidak menutup

kemungkinan terdapat satuan ruang geografis yang dapat ditetapkan sebagai cara
104

budaya sebagaimana amanat Undang-undang Noomo 11 Tahun 2010 tentang

cagar budaya dan Peratutan Daerah kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 tentang

pelestarian cagar budaya.

c. Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar

Dinas tata ruang dan bangunan merupakan salah satu Satuan Perangkat

Pemerintah Daerah Kota Makassar, sebagaimana Peraturan Daerah Kota

Makassar Nomor 7 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan daerah Nomor 3

Tahun 2009 tentang pembentukan dan susunan organisasi perangkat daerah Kota

Makassar , dimana ketentuan Pasal 15 ayat (1) mengatur bahwa: Dinas Tata

Ruang dan Bangunan mempunyai tugas pokok merumuskan, membina dan

mengendalikan kebijakan di bidang penataan dan pemanfaatan ruang,

pengendalian kawasan, penataan bangunan, pengawasan dan pengendalian.

Dalam melaksanakan tugas pokok dan funsinya tersebut Dinas Tata Ruang dan

Bangunan Kota Makassar, mengacu pada Peraturan daerah Nomor 4 Tahun 2015

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2015 – 2034, tanggal, 13

Nopember 2013 Lembaran Daerah Kota Makassar Tahun 2013 Nomor 7.

Ketentuan Pasal 43, berbunyi sebagai berikut :

(1) Rencana pola ruang wilayah Kota Makassar ditetapkan dengan tujuan

mengoptimalkan pemanfaatan ruang sesuai dengan peruntukannya sebagai

kawasan lindung dan kawasan budidaya berdasarkan daya dukung dan daya

tampung lingkungan;
105

(2) Rencana pola ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

rencana peruntukan kawasan lindung dan rencana peruntukan kawasan

budidaya;

Berdasarkan ketentuan peraturan daerah tersebut, maka dapat diketahui

bahwa pola penataan ruang dalam kota Makassar dibagi menjadi dua yaitu

kawasan lindung dan kawasan budidaya, dalam kaitannya dengan cagar budaya

menurut Perda ini, digolongkan ke dalam kawasan lindung, sebagaimana

diuraikan dalam Pasal 44, sebagai berikut:

Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) terdiri atas:

Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;

a) Kawasan perlindungan setempat;

b) Kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar

budaya;

c) Kawasan rawan bencana alam;

d) Kawasan lindung geologi;

e) Kawasan lindung lainnya; dan

f) Ruang terbuka hijau (RTH) kota.

Lebih lanjut diatur dalam Pasal 47 Perda tata ruang bahwa kawasan suaka

alam, kawasan pelestarian alam dan kawasan cagar budaya, ditetapkan dalam

rangka melindungi keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan

alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan, dan pembangunan pada

umumnya serta melindungi kekayaan budaya bangsa berupa peninggalan sejarah

yang berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dari ancaman kepunahan


106

yang disebabkan oleh kegiatan alam maupun manusia. Kawasan suaka alam,

kawasan pelestarian alam dan kawasan cagar budaya, yang terdiri atas:

a) Kawasan pantai berhutan bakau; dan

b) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

Sebagai kawasan lindung, maka Pemerintah Daerah Kota Makassar

menempatkan dalam kebijakan dan strategi dalam pengembangan kawasan

strategi kota, yakni strategi pelestarian dan peningkatan kualitas sosial dan budaya

lokal yang beragam, meliputi:

a) Meningkatkan pelestarian, pemeliharaan, dan perlindungan kawasan untuk

kegiatan sosial budaya yang berjati diri kearifan lokal;

b) Mengembangkan kawasan bagi kegiatan sosial budaya yang berjati diri

kearifan lokal untuk kegiatan yang bernilai budaya lokal; dan

c) Melestarikan situs warisan budaya komunitas lokal yang beragam melalui

penetapan kawasan cagar budaya. ( Pasal 16 Ayat (5) Perda Kota Makassar

No.4 Tahun 2015 ).

Selain dari itu, kawasan cagar budaya juga dimasukkan dalam pola tata

ruang kota dengan indikasi program utama perwujudan pola ruang wilayah kota

Makassar, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 84 ayat (4) huruf d,

bahwa “ pengembangan, peningkatan, pemantapan, dan rehabilitasi fungsi-fungsi

lindung pada kawasan cagar budaya”

Ketentuan Pasal 84 ayat (4) huruf d perda Kota Makassar Nomor 4 Tahun

2014 tersebut, sejalan dengan ketentuan mengenai “ revitalisasi “ sebagaimana

dimaksud Pasal 60 ayat (1) Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, yaitu
107

Walikota dibeikan wewenang memberikan izin untuk mengubah fungsi ruang

terhadap situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya, baik seluruh maupun

bagian-bagiannya, berdasarkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang dan

wilayah. Kecuali yang diatur dalam Ketentuan Pasal 13 huruf p Perda Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2010, bahwa Pemerintah daerah mempunyai wewenang

menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat

menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya cagar budaya, baik seluruh maupun

bagian-bagiannya.

Adapun kawasan cagar budaya di Kota Makassar, ditetapkan berdasarkan Pasal

49, adalah sebagai berikut:

a) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 47 ayat (2) huruf b ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi budaya

bangsa yang bernilai tinggi untuk kepentingan ilmu pengetahuan berupa

bangunan dan lingkunga peninggalan sejarah, bangunan arkeologi, dan

monumen;

b) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), ditetapkan di:

1) Kawasan Benteng Fort Rotterdam di Kecamatan Ujung Pandang;

2) Kawasan Situs Bersejarah Pusat Kerajaan Gowa Benteng Somba Opu

di sebagian wilayah Kecamatan Tamalate;

3) Kawasan Makam Raja-raja Tallo di Kecamatan Tallo;

4) Kawasan Makam Lajangiru di Kecamatan Bontoala; dan

5) Kawasan Makam Lomo Ri Antang di Kecamatan Manggala.


108

Perlu dicermati adanya perbedaan penetapan Kawasan Cagar Budaya

menurut Perda Kota Makassar Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Tata Ruang dan

Wilayah dengan pengertian Kawasan cagar budaya yang dimaksud Perda Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya. Sebagaimana

telah dikemukakan pada Bab II, bahwa pengertian Kawasan cagar budaya

menurut pengertian Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, adalah satuan

ruang ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang

letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan cirri tata ruang yang khas. Dengan

demikian ke 5 (lima) Kawasan cagar budaya yang ditetapkan dalam Pasal 49

Perda Kota Makassar Tahun 2015, pada dasarnya merupakan situs menurut Perda

Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013.

Kawasan cagar budaya yang ditetapkan sebagaimana Pasal 49 ayat (2) huruf

b, di atas, tidak dapat dikatakan kawasan cagar budaya maupun sebagai situs

cagar budaya, karena belum terdeteksi adaya warisan budaya berupa benda,

bangunan, struktur, maupun sebagai lokasi yang diduga mengandung warisan

budaya dimaksud, serta belum ada suatu hasil pendataan dan hasil kajian

sebagaimana dimaksud Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013.

Salah satu Kawasan yang ditetapkan dalam Pasal 49 Perda Kota Makassar

Nomor 4 Tahun 2015, yaitu Kawasan Makam Raja-Raja Tallo dapat dikatakan

kawasan apabila penetapannya mencakup seluruh struktur (Benteng Tallo), hal ini

mengingat Benteng Tallo memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan

dan kebudayaan, serta telah teriventarisasi sebagai warisan budaya oleh Balai

Pelestarian Cagar Budaya Makassar. (Lihat tabel 2)


109

Adanya perbedaan penetapan Kawasan Cagar Budaya, menurut Perda Kota

Makassar Nomor 4 Tahun 2015 dan pengertian Kawasan Cagar Budaya menurut

Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, mencerminkan ke dua Perda Kota

Makassar tersebut, tidak singkron penyususnannya, kondisi ini dapat

mempengaruhi validitas dan efektifitas berlakunya aturan hukum.

Munir Fuady (2014 : 121-122) mengemukakakn bahwa jika dua aturan

hukum yang saling kontradiktif, tentu dalam hal ini hanya satu aturan saja yang

berlaku. Jadi hanya satu aturan hukum tersebut yang valid atau yang lebih valid

dari yang satunya lagi. Untuk itu diperlukan beberapa teori, seperti:

a) Hukum yang khusus mengenyampingkan hukum yang umum;

b) Hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama;

c) Hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan hukum yang rendah;

d) Hukum yang lebih menyangkut kepentingan umum mengenyampingkan

hukum yang kurang menyangmut kepentingan umum;

e) Jika belum ada hukum yang baru, maka hukum yang lama masih dianggap

berlaku;

f) Mencari hukum yang lebih sesuai dengan norma dasar ( Konstitusi );

g) Mencari hukum yang paling adil;

h) Menjari hukum yang paling dapat diterima oleh masyarakat.

Kemudian rencana tata ruang kota Makassar memberi ruang di bidang

pariwisata, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 62 Perda Rencana Tata

Ruang Kota Makassar No. 4 Tahun 2015, yang meliputi : Kawasan pariwisata

budaya; kawasan pariwisata alam; dan kawasan pariwisata buatan. Kawasan


110

peruntukan pariwisata budaya merupakan kawasan wisata budaya dan religi

ditetapkan (Pasal 62 ayat (2) ) di:

a) Kawasan Benteng Fort Rotterdam dan sekitarnya di sebagian

wilayah Kecamatan Ujung pandang;

b) Kawasan Situs Bersejarah Pusat Kerajaan Gowa Benteng Somba Opu dan

sekitarnya sebagian wilayah Kecamatan Tamalate;

c) Kawasan Makam Raja-Raja Tallo dan sekitarnya di sebagian wilayah,

Kecamatan Tallo;

d) Kawasan Bunker Jepang dan sekitarnya di sebagian wilayah Kecamatan

Tallo dan sebagian wilayah Kecamatan Ujung Pandang;

e) Kawasan Makam Pangeran Diponegoro dan sekitarnya di sebagian wilayah

Kecamatan Wajo;

f) Kawasan Monumen Korban 40.000 Jiwa dan sekitarnya di sebagian wilayah

Kecamatan Tallo;

g) Kawasan Monumen Mandala dan sekitarnya di sebagian wilayah

Kecamatan Ujungpandang;

h) Kawasan Monumen Emmy Saelan dan sekitarnya di sebagian wilayah

Kecamatan Panakkukang;

i) Kawasan Museum Kota dan sekitarnya di sebagian wilayah Kecamatan

Ujungpandang;

j) Kawasan Masjid Raya dan sekitarnya di sebagian wilayah Kecamatan

Bontoala;
111

k) Kawasan Gereja Katedral dan sekitarnya di sebagian wilayah Kecamatan

Ujung pandang;

l) Kawasan Klenteng Ibu Agung Bahari dan sekitarnya di sebagian wilayah

Kecamatan Wajo;

m) Kawasan Pecinan (China Town) di sebagian wilayah Kecamatan Wajo.

Sebagian besar peruntukkan kawasan pariwisata sebagaimana dikemukakan

di atas merupakan situs cagar budaya, sesuai dengan data warisan budaya yang

dilestariakan di wilayah kota Makassar, hal ini didasarkan pada data hasil

inventarisasi yang diperoleh dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar

(tabel 2 di atas). Penting dikemukakan pula yang berkaitan dengan pengaturan

zonasi kawasan cagar budaya menurut Perda Rencana Tata Ruang Kota Makassar

No. 4 Tahun 2015, yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 101 ayat (3) yang

berbunyi sebagai berikut:

Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu

pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi :

a) Kegiatan yang diperbolehkan meliputi : kegiatan pelestarian, penyelamatan,

pengamanan, serta penelitian cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

b) Kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi : kegiatan pariwisata,

social budaya, keagamaan, dan kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada

huruf a yang tidak mengganggu fungsi kawasan cagar budaya dan ilmu

pengetahuan; dan

c) Kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi : kegiatan pendirian bangunan

yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan, kegiatan yang merusak kekayaan
112

budaya bangsa berupa peninggalan sejarah, dan monumen, dan kegiatan

yang mengganggu upaya pelestarian budaya masyarakat setempat.

Selanjutnya ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukkan

pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Perda Rencana Tata Ruang Kota

Makassar No. 4 Tahun 2015 Pasal 98 ayat (3) huruf f meliputi :

a) Kegiatan yang diperbolehkan meliputi : kegiatan pemnfaatan ruang untuk

kegiatan pembangunan pariwisata dan pasilitas penunjang pariwisata,

kegiatan pemnafaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai dengan

daya dukung dan daya tamping lingkungan, kegiatan perlidungan terhadap

situs peninggalan kebudayaan masa lampau ( heritage };

b) Kegiatan yang diperbolehkan bersyarat meliputi : kegiatan pemanfaatan

ruang secara terbatas untuk menunjang kegiatan pariwisata sesuai dengan

penetapan KDB, KLB dan KDH yang ditetapkan; dan

c) Kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi : kegiatan selain sebagaimana

dimaksud huruf a dan b.

Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang

dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai

dengan rencana rinci tata ruang, peraturan zonasi berisi ketentuan yang boleh dan

tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang, yang dapat terdiri atas

ketentuan tentang amplop ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan

lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif,

dan berkelanjutan, pengaturan zonasi memuat pula ketentuan mengenai

penanganan dampak pembangunan, kelembagaan, dan administrasi. (Penjelasan


113

Pasal 87 Ayat (2) Huruf a Perda Rencana Tata Ruang Kota Makassar No. 4 Tahun

2015).

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, juga mengatur

mengenai perlindungan cagar budaya dengan menetapkan batas-batas keruangan

atau zonasi yang penetapannya menjadi kewenangan Walikota berdasarkan hasil

kajian, yang pemanfaatannya untuk tujuan rekreatif, edukatif, apresiatif, dan/atau

religi (Pasal 51 Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 );

Sistem zonsi cagar budaya, terdiri atas : zona inti; zona penyangga; zona

pengembangan; dan/atau zona penunjang. Penetapan luas, tata mletak, dan fungsi

zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang

peningkatan kesejahteraanh rakyat (Pasal 52 Perda Kota Makassar Nomor 2

Tahun 2013 ). Tindak lanjut mengenai penetapan dan persyaratan yang diperlukan

bagi system zonasi, baik menurut Perda Nomor Kota Makassar Nomor 2 Tahun

2013, maupun menurut Perda Kota Makassar Nomor 4 Tahun 2015, merupakan

wilayah yang kongkrik, artinya eksekusinya tentu diperlukan koordinasi diantara

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara masing-masing yang bersangkutan.

d. Badan Lingkungan Hidup Kota Makassar

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 7 Tahun 2013 tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan

Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Makassar Pasal 38 diatur sebagai

berikut ;

(1) Badan Lingkungan Hidup Daerah mempunyai tugas pokok merumuskan,

membina, mengoordinasikan dan mengendalikan kebijakan di bidang


114

lingkungan hidup meliputi analisis dampak lingkungan, pencegahan dan

pengendalian dampak lingkungan, pemulihan dampak lingkungan serta

penataan hukum lingkungan.

(2) Badan Lingkungan Hidup Daerah dalam melaksanakan tugas pokok

dimaksud ayat (1) pasal ini, menyelenggarakan fungsi :

a) Penyusunan rumusan kebijakan teknis di bidang lingkungan hidup

meliputi dampak lingkungan hidup, strategi penegakan hukum, dan

pengembangan instrument ekonomi dalam rangka pelestarian

lingkungan hidup;

b) Penyusunan rencana dan program pengendalian, pengawasan

pencemaran dan kerusakan lingkungan;

c) Penyusunan rumusan kebijakan teknis pelaksanaan penegakan hukum

lingkungan baik secara administrasi perdata maupun pidana terhadap

pelaku pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dengan

pengembangkan skema insentif – disinsentif dan pelaksanaan

perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan;

d) Pemberian fasilitasi kegiatan instansi terkait dalam hal pengendalian

dampak lingkungan, yang meliputi menerapan AMDAL, penerapan

instrument baru dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungan,

monitoring kualitas air, penerapan system manajemen, ekolabel,

produksi bersih dan teknologi ramah lingkungan, pengembangan

perangkat ekonomi lingkungan, penerapan Standar Nasional Indonesia


115

(SNI) dan Standar Kompetensi Personil Bidang Lingkungan Hidup,

Kajian Lingkungan Strategis (KLS) dan Laboratorium Lingkungan;

e) Pelaksanaan perencanaan dan pengendalian teknis operasional

pengelolaan keuangan, kepegawaian dan pengurusan barang milik

daerah yang berada dalam penguasaannya;

f) Pelaksanaan kesekretariatan;

g) Pembinaan unit pelaksana teknis dan tenaga fungsional.

Kemudian menurut Kasubid. Analisis Dampak Lingkungan Badan

Lingkungan Hidup Kota Makassar Bapak Muhammad Kilat, S.PI, M.Si dalam

kesempatan wawancara dengan penulis mengemukakan bahwa dalam

melaksanakan Tugas Pokok dan Fungsinya Badan Lingkungan Hidup Kota

Makassar lebih berlandaskan pada Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan sebagai peraturan

pelaksananya. Kemudian beliau menegaskan bahwa dengan adanya keinginan

DPRD Kota Makassar dan Walikota Makassar dalam waktu dekat akan

mengesahkan Ranperda Kota Makassar tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

akan menjadi angin segar bagi pengelolaan lingkungan hidup yang ada di Kota

Makassar.

Kawasan lindung yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) UU No. 32 Tahun

2009, sebagimana kemudian diuraikan dalam dafatar kawasan lindung menurut

Lampiran III Permen LH No. 5 Tahun 2012 yaitu ;

(1) Kawasan hutan lindung;


(2) Kawasan gambut;
116

(3) Kawasan resapan air;


(4) Kawasan sempadan pantai;
(5) Kawasan sempadan sungai;
(6) Kawasan sekitar danau dan waduk;
(7) Suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut;
(8) Cagar alam dan cagar alam laut;
(9) Kawasan pantai berhutan bakau;
(10) Taman nasional dan Taman nasional laut;
(11) Taman hutan raya;
(12) Taman wisata alam dan taman wisata alam laut;
(13) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
(14) Kawasan cagar alam geologi;
(15) Kawasan imbuhan air tanah;
(16) Sempadan air;
(17) Kawasan perlindunganplasma nutfah;
(18) Kawasan pemgunsia satwa;
(19) Terumbu karang; dan
(20) Kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi.

Ditegaskan pula bahwa kawasan lindung sebagaimana yang dimaksud ke-20

daftar kawasan tersebut adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan

sumber daya budaya. Penetapan kawasan budaya tersebut dilakukan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Analisis mengenai dampak lingkungan diatur secara khusus dalam

Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau

Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Peraturan Menteri tersebut sesuai yang disebutkan sebelumnya pada Bab II bahwa

dalam penjelasan Pasal 23 ayat (1) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009

bahwa Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib

dilengkapi dengan amdal antara lain “ proses dan kegiatan yang hasilnya akan

mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau

perlindungan cagar budaya.


117

Kemudian dalam Peraturan Meneteri Negara Lingkungan Hidup Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau kegiatan

yang wajib memliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Pasal 3 Ayat

(1) bahwa rencana Usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan dalam kawasan

lindung, dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan lindung, wajib memiliki

Amdal.

Usaha dan/atau kegiatan adalah segala bentuk aktivitas yang dapat

menimbulkan perubahan terhadap zona lingkungan hidup serta menyebabkan

dampak terhadap lingkungan hidup. (Pasal 1 ayat (2) Permen LH No.5 Tahun

2012). Dampak penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat

mendasar yang diakibatkan oleh suatu Usaha dan/atau Kegiatan (Pasal 1 ayat (3)

Permen LH No.5 Tahun 2012).

Hasil observasi di wilayah Kota Makassar diamati beberapa warisan

budaya, antara lain : Kantor Walikota Makassar yang telah di banguni sebuah

gedung bertingkat seperti menara, demikian pula gedung pengadilan Negeri Kelas

1 Makassar, kedua bangunan tersebut tergolong warisan budaya yang ada di Kota

Makassar sebagaimana hasil inventarisasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Kota

Makassar. (Lihat Tabel 2) Kemudian survei di lokasi Benteng Tallo dimana lokasi

tersebut juga terdapat kompleks Makam Raja – Raja Tallo yang ditetapkan

sebagai kawasan cagar budaya berdasarkan Perda RTRW Kota Makassar No 4

Tahun 2015. Kelurahan Tallo memiliki Luas 59,520 Ha. Sebelah utara berbatasan

dengan Selat Makassar, sebelah selatan Kelurahan Buloa dan Kelurahan Kaluku

Bodoa Kecamatan Tallo, sebelah timur Sungai Tallo , dan sebelah barat
118

Kelurahan Cambayya Kecamtan Ujung Tanah. Areal benteng mencakup wilayah

pemukiman warga dan pergudangan bahkan diperkirakan 85 % areal benteng

Tallo adalah wialyah Kelurahan Tallo, dan selebihnya yaitu kurang lebih 15 %

berada pada wilayah Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo Kota Makassar,

mengenai kondisi lingkungannya dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut ini :

Tabel 4
Kondisi Demografi dan Lingkungan Benteng Tallo,
Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo Kota Makassar.
JUMLAH
NO URAIAN JML KK
LAKI LAKI PEREMPUAN JIWA
1 RW. 1 = 6 RT 377 907 923 1.830
2 RW. 2 = 5 RT 282 815 751 1.566
3 RW. 3 = 5 RT 373 893 822 1.715
4 RW. 4 = 6 RT 515 1.048 1.018 2.066
5 RW. 5 = 4 RT 430 1.072 999 2.071
TOTAL 1.977 4.735 4.513 9.248
Sumber Data : Kantor Kelurahan Tallo, 2016

Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, mengatur mengenai kegiatan,

dan/atau usaha yang wajib memiliki AMDAL, yaitu :

1) Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negative terhadap

lingkungan social dan lingkungan fisik harus didahului analisis mengenai

dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan

(Pasal 56 ayat (4) );

2) Penelitian dilakukan pada setiap rencana pengembangan cagar budaya untuk

menghimpun informasi serta mengungkap, memperdalam, dan menjelaskan


119

nilai-nilai budaya, dilakukan terhadap cagar budaya melalui : penelitian

dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan; dan penelitian terapan untuk

pengembangan tehnologi atau tujuan praktis yang bersifat aplikatif.

Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sebagai

bagian dari analisis mengenai dampak lingkungan atau berdiri sendiri (Pasal

58 ); dan

3) Pemanfaatan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib didahului

dengan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan.

(Pasal 63 ayat (1) ).

Berdasarkan hasil survei ketiga lokasi tersebut yang terinventarisasi sebagai

warisan budaya Kota Makassar tersebut dapat dipastikan bahwa baik menara

Balai Kota, dan bangunan baru di sebalah barat Gedung Pengadilan maupun

bangunan-bangunan di areal Benteng Tallo semua tergolong sebagai kawasan

lindung sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2009 dan Permen

LH No. 5 Tahun 2012 : secara tegas berada dalam perlindungan cagar budaya.

Begitu pula di lingkungan Benteng Rotterdam telah berdiri beberapa bangunan

disekitarnya. Pada kondisi seperti ini dibutuhkan telaah dan kajian yang lebih

lanjut bangunan mana saja berada dalam areal pelestarian cagar budaya dan mana

saja yang berbatasan dengan areal cagar budaya, tentunya hasil pengamatan dan

secara empirik ini dianggap telah melalui proses kajian AMDAL.

e. Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar

Balai Pelesatarian Cagar Budaya Makassar merupakan Unit pelaksana

teknis yang berada di bawah lingkungan Kementerian Pendidikan dan


120

Kebudayaan. Badan Tata Usaha Negara ini mempunyai wilayah kerja yang

mencakup Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, dan Provinsi

Sulawesi Tenggara, Menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang Rincian Tugas

Balai Pelestarian Cagar Budaya, Balai Pelestarian Cagar Budaya ini, memiliki

Tugas sebagai berikut ;

1) Melaksanakan penyusunan program kerja Balai;

2) Melaksanakan kajian pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar

budaya;

3) Melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya;

4) Melaksanakan zonasi cagar budaya;

5) Melaksanakan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya;

6) Melaksanakan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya;

7) Melaksanakan adaptasi dan revitalisasi pengembangan cagar budaya;

8) Melaksanakan pelayanan perijinan dan pengendalian pemanfaatan cagar

budaya;

9) Melaksanakan dokumentasi dan publikasi cagar budaya;

10) Melaksanakan sosialisasi pelestarian cagar budaya;

11) Melaksanakan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya;

12) Melaksanakan pemberian bantuan teknis pelaksanaan pelestarian cagar

budaya;

13) Melaksanakan pemberian bantuan teknis pengembangan tenaga teknis di

bidang pelestarian cagar budaya;


121

14) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program pelestarian

cagar budaya;

15) Melaksanakan penyajian koleksi cagar budaya;

16) Melaksanakan urusan perencanaan, keuangan, kepegawaian,

ketatalaksanaan, persuratan dan kearsipan, barang milik negara, dan

kerumahtanggaan Balai;

17) Melaksanakan pengelolaan perpustakaan Balai;

18) Melaksanakan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen Balai; dan

19) Melaksanakan penyusunan laporan Balai.

Dalam menjalankan Tugas pokok tersebut di atas, Balai Pelestarian Cagar

Budaya memiliki fungsi yang berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2012 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya yaitu :

1) Pelaksanaan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya;

2) Pelaksanaan zonasi cagar budaya;

3) Pelaksanaan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya;

4) Pelaksanaan pengembangan cagar budaya;

5) Pelaksanaan pemanfaatan cagar budaya;

6) Pelaksanaan dokumentasi dan publikasi cagar budaya;

7) Pelaksanaan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya;

8) Fasilitasi pelaksanaan pelestarian dan pengembangan tenaga teknis di

bidang pelestarian cagar budaya; dan

9) Pelaksanaan urusan ketatausahaan Balai Pelestarian Cagar Budaya.


122

Penting diketahui bahwa sebelum berlekunya Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2010, seluruh kebijakan dan pengelolaan pelestaria cagar budaya yang ada

di tiga perovinsi terebut di atas dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Tehnis

Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ini.

Adanya desentralisasi pelestarian cagar budaya, maka kondisi pelestarian cagar

budaya sekarang dalam keadaan transisi, dengan berlakunya Perda Kota Makassar

Nomor 2 Tahun 2013, maka kewenangan penetapan warisan budaya menjadi

cagar budaya, berada di daerah dalam hal ini, khususnya di Kota Makassar

menjadi kewenangan Walikota Makassar, untuk selanjutnya dilakukan

pemeringkatan menjadi cagar budaya peringkat daerah Kabupaten/kota, cagar

budaya peringkat daerah Provinsi dan cagar budaya peringkat nasional.

D. Pemberdayaan Masyarakat Terkait Pelestarian Cagar Budaya.

Uraian mengenai peranserta, hak dan kewajiban masyarakat dalam upaya

pelestarian cagar budaya, telah dikemukakan pada Bab II, gambaran tersebut

menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan cukup memadai sebagai

sarana pelibatan masyarakat dalam rangka menciptakan kepastian, keadilan dan

kemanfaatan di bidang Kebudayaan, khususnya yang berkaitan dengan cagar

budaya.

Hasil observasi di beberapa tempat di Kota Makassar, menunjukkan bahwa

peranserta ataupun pelibatan masyarakat dalam upaya pelestarian cagar budaya di

daerah ini sangat sulit ditemukan. Kehadiran Undang-undang Nomor 11 Tahun

2010 dan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013, sebagai sarana

untuk memberdayakan masyarakat, diharapkan dapat menciptakan kesadaran akan


123

tanggung jawab secara bersama-sama, Pemerintah Daerah, lemabga-lembaga

social, setiap orang, dunia usaha, maupun para stockholder, belum terlaksana

sebagaiman mestinya.

Prinsip pelestarian cagar budaya yang berazaskan : Pancasila, Bhineka

Tunggal Ika, kenusantaraan, keadilan, ketertiban dan kepastian hukum,

kemanfaatan, berkelanjutan, partispasi, transparansi dan akuntabilitas (Pasal 2

Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 ), seharusnya menjadi pedoman bagi

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di bidang ini, dalam mewujudkan,

menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran datan tanggung

jawab akan hak dan kewajiban masyarakat dalam pelestarian cagar budaya (Pasal

12 huruf a Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 ).

Penerapan kebijakan yang dapat menjamin terlindunginya dan

termanfaatkannya cagar budaya, penyediaan informasi cagar budaya untuk

masyarakat baik dalam hal pengelolaan maupun pemanfaatannya tidak nampak

berjalan, akibatnya pengawasan, pemmantauan, dan evaluasi pelestarian cagar

budaya tidak maksimal.

a. Masalah Benteng Fort Rotterdam

Benteng Fort Rotterdam adalah “Situs warisan budaya“ (Perda kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013), “Kawasan cagar budaya“ (Perda Kota

Makassar Nomor 4 Tahun 2015) sebagai salah satu ikon pariwisata budaya, ilmu

pengetahuan dan kebudayaan Kota Makassar, merupakan contoh warisan budaya

yang kondisinya cukup memprihatinkan, dimana kehadiran dunia usaha,

perkantoran, pemukiman disekitarnya yang mengancam kesinambungan


124

pelestariannya, kondisi ini menunjukkan perlunya pemberdayaan masyarakat,

yakni Pemerintah daerah sepatutnya mendorong, dan memotivasi masyarakat

serta menciptakan kesadaran masyarakat akan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan

tanggung jawabnya dalam melestarikan warisan budaya tersebut.

b. Masalah Benteng Tallo

Benteng Tallo adalah “situs warisan budaya“ (Perda Kota Makassar

Nomor 2 Tahun 2014), diperkirakan luasnya mencapai kurang lebih 60 (enam

puluh) hektar, 59,520 Ha, selebihnya masuk dalam wilayah Kelurahan Buloa,

wilayah kelurahan Tallo, Kecamatan tallo, Kota Makassar. Kelurahan Tallo

memiliki jumlah penduduk 9.248 jiwa yang tercakup dalam 1.977 kepala

keluarga (KK), sarana pendidikan, sarana ibadah dan pergudangan dan situs

warisan budaya “Makam Raja-Raja Tallo“. ( Lihat tabel 4 )

Dari luas areal situs warisan budaya BentengTallo menggambarkan bahwa betapa

pentingnya peninggalan kerajaan Tallo yang pernah mengalami kejayaan dan

kekuasaan pada masa silam, jika Benteng Somba opu dapat diselamatkan dari

timbunan tanah, mengapa Benteng Tallo tidak bisa demikian ?. mengapa

Kompleks Makam Raja-Raja tallo yang notabene berada di areal Benteng tampak

rapi dan lestari ? masih mungkinkah Benteng Tallo sebagai bukti sejarah masa

silam dapat diwariskan kepada generasi muda? . Kondisi terkini Benteng Tallo

tinggal sisianya, dapat dikatakan rata dengan tanah disertai dengan pemukiman

penduduk di atasnya, kehadiran pergudangan pun menambah kompleksnya

permasalahan. Hasil wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat (Ketua

RT , petugas pelestari Benteng Tallo dan Makam Raja-Raja Tallo) beliau


125

menjelaskan bahwa beberapa bagian benteng Tallio berupa Bastion masih dapat

dikendalikan dari pemukiman penduduk, namun terkesan tidak mendapat

perhatian dari pemerintah, meskipun sebenarnya warga masyarakat tahu kalau

areal yang ditempati perkampungan tersebut adalah di atas struktur Benteng Tallo.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, diperoleh gambaran bahwa untuk

melestarikan warisan budaya itu, diperlukan pendekatan terhadap warga

masyarakat setempat, baik melaui sosialisasi, pengumuman dan sebagainya

sebagai langkah memberdayakan masyarakat setempat agar dapat menyadiri akan

hak dan kewajibannya melestarikan warisan budaya, Benteng Tallo dan Makam

Raja-Raja Tallo.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelestarian cagar budaya merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah

dalam rangka melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan cagar budaya.

Sejak diundangkannya Undang – Undang mengenai otonomi daerah di Indonesia

memberi pula dampak terhadap pengaturan pelestarian cagar budaya secara

nasional. Keberadaan cagar budaya yang memiliki peran penting terhadap

kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai salah satu wujud kebudayaan

Indonesia yang memliki nilai – nilai luhur yang harus dilestarikan. Dalam praktek

pengaturan pelestarian cagar budaya seyogyanya tetap memperhatikan sistem

hukum yang sesuai dengan teori sistem hukum yang dikemukan oleh Lawrence M.

Friedman bahwa suatu sistem hukum yang efektif dan berhasil penegakan

hukumnya bergantung pada tiga unsur sistem hukum yaitu, struktur hukum,

substansi hukum dan budaya hukum. (Achmad Ali, 1996 : 213) Berdasarkan oleh

pemikiran – pemikiran tersebut penelitian ini dapat memberikan andil tersendiri

terhadap pelestarian cagar budaya khususnya di kota Makassar.

Sesuai dengan dua permasalahan yang diajukan pada rumusan masalah, dapat

disimpulkan dua hal sebagai berikut ;

1. Berdasarkan data yang didapatkan dari beberapa instansi terkait yang

memiliki kewenangan pelestarian cagar budaya khususnya di kota Makassar

sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

kota Makassar sebagai lini sektor pelestarian cagar budaya

126
127

yang memiliki tugas pokok dan fungsi diatur dalam Peraturan Daerah Kota

Makassar Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah

Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi belum dapat

mengakomodir pelestarian cagar budaya sesuai dengan Peraturan Daerah Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya. Penyerahan dan

pelimpahan wewenang yang diberikan kepada pemerintah daerah kota Makassar

secara atribusi, delegasi maupun mandat sesuai dengan amanat Undang – Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pembentuk Pemerintahan Daerah yang memiliki

azas dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan. Sinkronisasi

kelembagaan terkait pelestarian cagar budaya belum pula terjalin sesuai dengan

pembagian kewenangan yang telah diberikan seperti lembaga pertanahan yaitu

Badan Pertanahan kota Makassar belum melakukan tindakan pelestarian terhadap

cagar budaya khususnya situs cagar budaya. Begitu pula terhadap Dinas Tata Ruang

kota Makassar sebagai instansi yang berwenang terhadap pengaturan keruangan

yang ada di kota Makassar belum melakukan tindakan pelestarian cagar budaya

terkait keruangan kawasan cagar budaya di kota Makassar. Sedangkan Balai

Pelestarian Cagar Budaya Makassar sebagai instansi vertikal pemerintah pusat

belum maksimal mengawasi instansi-instansi yang memiliki kewenangan dalam

pelestarian cagar budaya. Hal – hal tersebut disebutkan akan mempengaruhi tingkat

keberadaan warisan budaya yang jumlah 194 yang dikelola oleh Balai Pelestarian

Cagar Budaya Makassar dan 123 warisan budaya bergerak yang dikelola oleh

Museum kota Makassar.


128

2. Peranserta masyarkat dalam pelestarian cagar budaya telah dijamin dalam

peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian,

keadilan dan kemanfaatan di bidang Kebudayaan, khususnya yang berkaitan

dengan cagar budaya. Sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan penulis

di salah sampel lokasi, diperoleh gambaran bahwa untuk melestarikan

warisan budaya itu, diperlukan pendekatan terhadap warga masyarakat

setempat, baik melaui sosialisasi, pengumuman dan sebagainya sebagai

langkah memberdayakan masyarakat setempat agar dapat menyadiri akan hak

dan kewajibannya melestarikan warisan budaya.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan pada hasil penelitian dan analisis, berikut ini

disampaikan beberapa saran sebagai berikut ;

1. Reinventarisasi cagar budaya di tingkat Kota Makassar harus dilaksankan

segera dalam waktu dekat ini sesuai dengan instruksi Undang – Undang

Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Daerah Kota

Makassar Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya.

2. Hal yang paling mendasar yaitu adanya revisi terhadap Peraturan Daerah

Kota Makassar terkait dengan penjabaran tugas pokok dan fungsi Dinas

Pendidikan dan Kebudayaan Kota Makassar dalam hal sebagai lini sektor

pelestarian cagar budaya yang tidak mampu mencover dan menunjang

adanya Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 tentang

Pelestarian Cagar Budaya dan Peraturan Walikota Nomor 82 Tahun 2013


129

tentang Pelaksanaan Peraturan daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013

Tentang Pelestarian Cagar Budaya.

3. Peran aktif lintas sektoral dan elemen lainnya memberikan keterbukaan

dalam pelestarian cagar budaya sesuai denga Instruksi Peraturan Walikota

Nomor 82 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Peraturan daerah Kota Makassar

Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelestarian Cagar Budaya harus dijalankan

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Makassar.

4. Pelibatan masyarakat lebih aktif membuat pelestarian cagar budaya akan

lebih dapat diarahkan kepada salah satu tujuan. Diharapkan perangkat

pemerintah daerah lebih banyak melibatkan mayarakat dalam kegiatan –

kegiatan pelestarian yang dapat berfungsi sebagai wadah untuk

mensosialisasikan keberadaan cagar budaya tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Achmad Ali. 1996. Menguak Tabir Hukum. Jakarta : Chandra Pratama

Andi Kasmawati. 2010. Implikasi Hukum Kebijakan Desentralisasi. Makassar:


Rayhan Intermedia

Bagir Manan dan Kuntana Magnar. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia. Bandung : Alumni.

C.S.T, Kansil. 1984. Hukum Tata Negara. Jakarta : Bina Aksara

Collin Renrew dan Paul Bahn, 1996. Archaeology : Theories, Methods, and
Practice. Second Edition. London. Thames and Hudson Ltd.

E.Utrecht,1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan


Keempat, Universitas Padjajaran, Bandung.

G.W Bawengan. 1977, Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibatnya,


Pradnya Paramitha, Jakarta.

HM. Agus Santoso. 2013. Menyingkap Tabir Otonomi Daerah Di Indonesia.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

HR Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Kharisma Putra Utama

J. Susetyo Edy Yuwono. 2003. Aspek-Aspek Teknis Ekskavasi Dalam Kerangka


Pemahaman Transformasi Data. Yogyakarta : Puslitarkenas.

John Carman. 2002. Archaeology and Heritage : An Introduction. London – New


York: Continuum. Routledge.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Koentjaraningrat. 1974. Pengantar Antropologi. Jakarta : Aksara Baru

Koesnadi Hardjasoemantri. 1994. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta:


Universitas Gadjah Mada

Kuntjoro Purbopranoto. 1981. Pekembangan Hukum Administrasi Indonesia.


Jakarta : Bina Cipta

M. Solly Lubis. 1992. Hukum Tata Negara. Bandung : Mandar Maju


M.Munandar Soelaeman. 2000. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Refika Aditama.

Philipus M Hadjon dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. 1999.


Cetakan Keenam. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada Press.

R.Soekmono. 1990. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Jakarta:


Kanisius.

Rachmadi Usman. 2013. Hukum Kebendaan. Jakarta : Sinar Grafika

Sadirin Hr. 1997. Teknik Konservasi Koleksi Benda Cagar Budaya di Museum.
Jakarta. Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Said Sampara , et al. 2009. Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum. Yogyakarta:
Total Media

SF, Marbun dan Mahfud MD. 1987. Pokok-Pokok Administrasi Negara.


Yogyakarta : Liberty

Soejono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1981. Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty


Supriadi. 2008. Pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Thesis.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Timothy Darvill. 1995. Managing Archaeology. Cooper dkk. (ed). New York: Tj
Press Ltd

Uka Tjandrasasmita. 1981. Usaha-Usaha Perlindungan dan Pembinaan


Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Jakarta. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan

Wirjono, Prodjodikoro. 1983. Azas-Azas Hukum Tata Negara Di Indonesia.


Jakarta: Dian Rakyat.

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Peraturan Daerah Kota Makassar 2 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya.

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan Susunan
Organisasi Perangkat Daerah Kota Makassar
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Makassar 2005-2015

Peraturan daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Makassar 2015 – 2034

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun


2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun


2008 tentang Uraian Tugas Subbagian Dan Seksi Pada Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Dan Uraian Tugas Urusan Dan Subseksi Pada Kantor
Pertanahan

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana
Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 52


Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan


Peraturan Walikota Makassar Nomor 82 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Peraturan daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelestarian Cagar
Budaya

Undang – Undang Dasar 1945 Republik Indonesia Amandemen ke-4

Undang - Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup

Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok


Agraria

Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya


Surat Keputusan Walikota Makassar Nomor : 432.1.05/218/Kep/II/2010 tanggal 9
Februari 2010 tentang Pembentukan Unit Pengelola Museum Kota Makassar Tahun
Anggaran 2010

Terjemahan Monumenten-Ordonantie Staatsblad 1931 No.238

MAKALAH ILMIAH, MODUL DAN DIKTAT

Andi Muhammad Said. 2000. Pemintakatan Arkeologi : Suatu Upaya Pelestarian


Kawasan Gua Prasejarah Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Thesis.
Jakarta : Universitas Indonesia

Asmunandar. 2008. Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota Kuna


Makassar. Thesis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka

Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. 1985.


Himpunan Peraturan-Peraturan Perlindungan Cagar Budaya Nasional.
Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tanpa Tahun.


Modul Register Cagar Budaya Nasional. Jakarta. Tidak Terbit

Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. 1985.


Petunjuk Teknis Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan
Purbakala. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Kebudayaan

United Nations Educational, Scientific And Cultural Organisation (Unesco)


English Text. 1972. Convention Concerning The Protection Of The World
Cultural And Natural Heritage. Paris

INTERNET
http://marsability.blogspot.com/2012/07/jenis-jenis-penelitian_04.html. Diakses
tanggal 11 November 2015

Anda mungkin juga menyukai