Anda di halaman 1dari 111

1

SKRIPSI
SANKSI ZINA
(STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP)

oleh :
Nurul Islam
1502121431

JURUSAN AHWAL SYAKHSHIYAH


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2019

1
SKRIPSI
SANKSI ZINA
(STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP)

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Mataram Untuk Melengkapi


Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum

oleh :
Nurul Islam
1502121431

JURUSAN AHWAL SYAKHSHIYAH


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2019

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi oleh: NURUL ISLAM, NIM: 150.212.1.431 dengan judul “Sanksi Zina
(Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan KUHP)” telah memenuhi
syarat dan disetujui untuk diuji

Disetujui pada tanggal : 2019

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II

DR. H. Sainun,M.Ag. Hj. Ani Wafiroh,M.Ag


NIP: 196412311992031037 NIP: 197407162005012003

iii
iii
NOTA DINAS PEMBIMBING

Mataram, 2019
Hal : Ujian Skripsi

Yang Terhormat
Dekan Fakultas Syariah UIN Mataram
di :
Tempat

Assalamualaikum, Wr.Wb.
Dengan hormat, setelah melakukan bimbingan, arahan, dan koreksi, kami
berpendapat bahwa skripsi Saudara :

Nama Mahasiswa : NURUL ISLAM


NIM : 150.212.1.431
Jurusan/Prodi : Hukum Keluarga Islam
Judul : “Sanksi Zina (Studi Komparatif Antara Hukum
Pidana Islam dan KUHP)”

telah memenuhi syarat untuk diajukan dalam sidang Munaqasyah Skripsi


Fakultas Syariah UIN Mataram. Oleh karena itu, kami berharap agar
skripsi ini dapat segera dimunaqasyahkan
Wassalammu’alaikum, Wr.Wb.

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II

DR. H. Sainun,M.Ag. Hj. Ani Wafiroh,M.Ag


NIP: 196412311992031037 NIP: 197407162005012003

iv
PENGESAHAN

Skripsi oleh: NURUL ISLAM, NIM: 150.212.1.431 dengan judul “Sanksi Zina
(Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan KUHP)”, telah dipertahankan
di depan dewan penguji Program Studi Hukum Keluarga Islam UIN Mataram
pada Tanggal ……………………………….

DewanPenguji

DR. H. Sainun,M.Ag. ____________________


(KetuaSidang/Pemb. I)

Hj. Ani Wafiroh,M.Ag. ____________________


(SekretarisSidang/Pemb. II)

Dr. H. Usman,M.Ag
(Penguji I) ___________________

Dr. khairul Hamim, MA


(Penguji II) ___________________

Mengetahui,
Dekan Fakultas Syariah

Dr. H. Musawar, M.Ag.


NIP. 196912311998031008

vivi
MOTTO

         

“ Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS.Al Isro’ ayat 32)

vii
PERSEMBAHAN

Skripsi ini peneliti persembahkan kepada:

1. Untuk kedua orang tua, ibu (BQ. Muhini) dan ayah (Muhammad
Yusi) yang sangat saya cintai serta yang telah mendidik, membimbing
dan mendoakan saya untuk menjadi sukses, dan memberikan motivasi
baik itu spiritual dan material.
2. Untuk kedua adikku, Mariana ulfa dan marfuatin aini yang sangat
saya sayangi serta yang telah menjadi penyemangat dalam hidup saya.
3. Untuk semua guru dan dosenku yang sangat berjasa dalam hidup saya
serta dalam perjalanan saya menuntut ilmu.
4. Untuk para pihak yang telah terlibat dalam skripsi ini penulis ucapkan
banyak terimakasih dan untuk teman-teman yang telah memberikan
dukungan serta memberikan motivasi sehingga bisa terselesaikannya
skripsi ini.
5. Untuk teman-teman seperjuangan saya, Siti Amina, zamhur malik
fathur hafiz, yuzro aini, al hijrin serta seluruh teman seperjuangan
saya di kelas B (AS) angkatan 2015 terima kasih atas doa dan
dukungannya.
6. Untuk Almamaterku tercinta Universitas Islam Negeri (UIN)
Mataram

viii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT., yang telah menganugerahkan nikmat kepada
peneliti, dengan anugerah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Selanjutnya
shalawat dan salam peneliti persembahkan kehadapan junjungan Nabi besar
Muhammad SAW., yang telah mengeluarkan umatnya dari kegelapan kepada
cahaya yang terang benderang.
Skripsi ini berjudul “Implementasi Sanksi Zina Perspektif Hukum Pidana
Islam Dan KUHP”, yang merupakan syarat akhir studi untuk mendapatkan gelar
Sarjana Hukum (S.H) diprogram Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena
itu dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. DR. H. Sainun,M.Ag. serta Hj. Ani wafiroh,M.Ag., selaku dosen
pembimbing I dan II yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya
untuk membimbing, mengarahkan, serta memberikan motivasi kepada
peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Hj. Ani Wafiroh, M.Ag., selaku ketua jurusan Ahwal Syakhsiyah beserta
ibu Nunung Susfita, M.SI., selaku sekretaris jurusan dan staf yang telah
memberikan kemudahan kepada peneliti dalam memberikan segala urusan
yang terkait dengan skripsi ini.
3. Bapak Dr. H. Musawar, M.Ag., selaku Dekan Fak. Syariah UIN Mataram
beserta staf yang telah memberikan kemudahan kepada peneliti dalam setiap
aktivitas kegiatan atau pengurusan administrasi perkuliahan khususnya terkait
dengan penelitian.
4. Sahabat dan rekan-rekan seperjuangan yang ada diProdi Hukum Keluarga
Islam angkatan Tahun 2015 yang telah berkenan menemani peneliti selama
perkuliahan hingga penyelesaian skripsi.
5. Bapak Prof. Dr. Mutawalli, M. Ag. Selaku Rektor di UIN Mataram.
Peneliti berharap adanya saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga tugas akhir yang peneliti buat ini

ix
dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan khususnya bagi peneliti sendiri.
Amin.

Mataram, 2019
Peneliti

NURUL ISLAM
NIM:150.2121.431

x
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................iii

NOTA DINAS PEMBIMBING....................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................................... v

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... vi

HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN.....................................................................viii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................................... xi

ABSTRAK .....................................................................................................xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 6
D. Telaah Pustaka ............................................................................... 7
E. Kerangka Teori............................................................................. 11
F. Metodologi Penelitian .................................................................. 18
G. Sistematika Pembahasan .............................................................. 22
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERZINAAN DALAM
HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP
A. Tinjauan umum tentang perzinahan dalam
hukum pidana Islam .................................................................... 32
1. Pengertian dan dasar hukum perzinahan................................ 24
2. Unsur-unsur tindak pidana zina ............................................. 27

xi
B. Tinjauan umum tentang delik perzinahan dalam
KUHP .......................................................................................... 32
1. Pengertian delik...................................................................... 32
2. Macam-macam delik .............................................................. 33
3. Delik perzinahan menurut KUHP pasal 284 .......................... 38
4. Unsur-unsur dapat dipidananya perzinahan
menurut pasal 284 KUHP ...................................................... 41
BAB III ANALISIS PENERAPAN SANKSI ZINA DALAM
HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP
A. Bentuk Sanksi Perzinaan dalam Hukum Pidana
Islam dan KUHP. ........................................................................... 43
1. Bentuk Sanksi Perzinaan dalam Hukum Pidana
Islam .......................................................................................... 43
2. Bentuk sanksi Bagi Pelaku Zina Dalam KUHP ........................ 57
B. Persamaan dan perbedaan delik perzinaan
menurut hukum pidana Islam dan KUHP ...................................... 70
C. Faktor Penghambat dalam Penerapan Hukum
Islam Di Indonesia ......................................................................... 74
D. Upaya transformasi sanksi zina dalam hukum
pidana islam ke dalam KUHP ........................................................ 79

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 88
B. Saran............................................................................................. 91
C. Penutup......................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 93

xii
Sanksi Zina

“(Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan KUHP)”

Oleh :

Nurul islam
1502121431

ABSTRAK
Persoalan zina merupakan perbuatan pidana yang penting untuk
diperhatikan dengan didasari ajaran agama. Ditinjau dari sosiologis, banyak orang
yang menggugurkan kandunganya dikarenakan kedua pasangan (laki-laki dan
perempuan yang melakukan zina) tersebut enggan mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Metode yang kami gunakan dalam penelitian ini adalah komparasi
yuridis normatif antara Hukum Islam dengan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) . Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis.
Data yang dikumpulkan dan diolah untuk mendukung penelitian ini menggunakan
penelitian kepustakaan yang diolah secara kualitatif, yang terdiri dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil dari penelitian dan analisis data
dalam penelitian ini menyatakan bahwa: di dalam Hukum Pidana Islam perzinaan
merupakan delik biasa sedangkan KUHP menganggap perzinaan sebagai delik
aduan absoluth.
Kata Kunci : Zina, Pembuktian, Delik Aduan,Sanksi, Transformasi Hukum.

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam hukum Islam, perzinahan dianggap sebagai suatu perbuatan

yang sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah. Pendapat ini

disepakati oleh ulama’, kecuali perbedaan hukumnya menurut sebagian

ulama tanpa memandang pelakunya, baik dilakukan oleh orang yang

belum menikah atau orang yang telah menikah, selama persetubuhan

tersebut berada di luar kerangka pernikahan, hal itu disebut sebagai zina

dan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. juga tidak mengurangi

nilai kepidanaannya, walaupun itu dilakukan secara sukarela atau suka

sama suka. meskipun tidak ada yang merasa dirugikan, zina dipandang

oleh Islam sebagai pelanggaran seksualitas yang sangat tercela, tanpa

kenal prioritas dan diharamkan dalam segala keadaan.1

Seks dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang suci.2 Di sisi

lain, adanya perzinaan maka seks menjadi sesuatu yang kotor, menjijikkan

dan menimbulkan berbagai penyakit yang membahayakan kehidupan

manusia. Berdasarkan keterangan itu, pantaslah semua agama samawi

mengharamkan dan memerangi perzinaan. Terahir adalah agama Islam,

yang dengan sangat keras melarang dan mengancam pelakunya. Yang

demikian itu zina menyebabkan siungnya keturunan, terjadinya kejahatan

1
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Fiqh Jinayah), (Bandung;Pustaka Setia, 2000),
hlm. 69.
2
Quraish Shihab, Mistik , Seks, dan Ibadah, (Jakarta: Republika, 2004), hlm.2.

1
2

terhadap keturunan, dan berantakannya keluarga. Bahkan menyebabkan

tercabutnya akar kekeluargaan, menyebarnya penyakit menular,

merajalelanya nafsu, dan maraknya kebobrokan moral.3

Para ulama’ telah merumuskan pengertian zina, diantaranya Ibnu

Rusyd dalam Kitab Bidayah Almujtahid Wa Nihayah Al Muqtasid, dalam

kitab tersebut dijelaskan bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan

bukan karena nikah yang sah atau semunikah dan bukan karena pemilikan

hamba sahaya.4

Menurut Fuqaha dari kalangan madzhab Hanafi, zina adalah

hubungan seksual yang dilakukan oeh seorang laki-laki secara sadar

terhadap perempuan yang disertai nafsu seksual dan di antara mereka tidak

atau belum ada ikatan perkawinan secara sah atau ikatan perkawinan

secara syubhat, yaitu perkawinan yang diragukan keabsahannya, seperti

ikatan perkawinan tanpa wali nikah, tanpa saksi, atau kawin mut’ah.5

Menurut H.A. Djzajuli, dengan mengutip ulama Malikiyyah, zina

adalah mewathui’nya laki-laki mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan

miliknya dan dilakukan dengan sengaja. Adapun ulama’ Syafi’iyyah,

masih dari sumber yang sama, mendefinisikan zina adalah memasukkan

3
Yusuf Q ardhawi, Al-Halal Wa Al-Haram Fi Al-Islam, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah,1986),
hlm.134.
4
H.A. Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: pustaka setia, 2000),
hlm.69.
5
Djubaedah, Neng. Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Di
Tinjau Dari Hukum Islam (Jakarta: media grafika, 2010), hlm. 119.

2
3

zakar ke dalam faraj yang haram dengan tidak syubhat dan secara naluriah

memuaskan hawa nafsu.6

M. Quraish Shihab merumuskan pengertian zina adalah

persentuhan dua alat kelamin dari jenis yang berbeda dan yang tidak

terikat oleh akad nikah atau kepemilikan, dan tidak juga disebabkan oleh

syubhat (kesamaran).7

Para mufassirin dan tim pentashih mushaf Al-Qur’an Departemen

Agama Republik Indonesia, merumuskan :

Perbuatan zina adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh pria


dengan wanita diluar pernikahan, baik pria ataupun wanita itu
sudah pernah melakukan hubungan kelamin yang sah, ataupun
belum diluar ikatan perkawinan yang sah dan bukan karena
kekeliruan.8

Menurut Fadhel Ilahi, zina dalam makna menurut Syara’ dan

bahasa, adalah seorang laki-laki yang menyetubuhi perempuan melalui

qubul (vagina atau kemaluan), yang bukan isterinya , tanpa melalui

perkawinan atau syubhatun nikah (perkawinan yang syubhat).9

Anggapan seperti ini sangat jauh berbeda dengan pandangan

hukum positif yang bersumber dari hukum barat. Dalam hukum positif,

zina tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran dan tentu tidak dihukum,

selama tidak ada yang merasa dirugikan. Karena menyandarkan suatu

6
H.A. Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka
Setia,2000),hlm.69.
7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, hlm.
279.
8
Departemen Agama RI, Aljamil,Al- Qur’an tajwid warna (Bekasi: Cipta Bagus
Segara,2010), hlm. 588.
9
Djubaedah, Neng. Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Di
Tinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Media Grafika, 2010). hlm. 119.

3
4

perbuatan sebagai tindak pidana hanya karena akibat kerugian semata,

hukum positif mengalami kesulitan membuktikan, siapa yang merugi

dalam kasus seperti ini.10 Sebagai salah satu jarimah kesusilaan, sangat

sulit dibuktikan unsur kerugiannya apalagi kalau dilakukan dengan

kerelaan kedua belah pihak. KUHP memang menganggap bahwa

persetubuhan di luar nikah adalah zina, namun tidak semua perbuatan zina

dapat dihukum. Perbuatan zina yang memungkinkan untuk dapat dihukum

adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki maupun wanita yang

telah menikah sedangkan zina yang dilakukan laki-laki maupun wanita

yang belum menikah tidak termasuk dalam larangan tersebut. Pasal 284

ayat (1) ke, 1 a dan b. Penuntutan terhadap pelaku zina itu sendiri hanya

dilakukan atas pengaduan dari salah satu pasangan yang terlibat dalam

kasus ini, atau mereka yang merasa tercemar akibat perbuatan tersebut.11

Oleh karena itu, kalau mereka semua diam, tidak ada yang merasa

dicemari atau tidak ada yang merasa dirugikan, mereka dianggap

melakukannya secara sukarela dan tentu tidak dihukum. Hukum positif

menganggap kasus perzinaan sebagai delik aduan, artinya hanya dilakukan

penuntutan manakala ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan.

Pengaduan itu pun masih dapat ditarik selama belum disidangkan (pasal

284 ayat 4). Kecuali untuk masalah pemerkosaan karena pemerkosaan

menunjukkan secara jelas adanya kerugian, pasal 285 KUHP. Karena

10
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Fiqh Jinayah), (Bandung; Pustaka Setia,
2000), hlm. 70.
11
Ibid, hlm.70.

4
5

dalam kasus pemerkosaan, ada pemaksaan untuk melakukan perzinaan,

baik dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan.12

Hukum positif menganggap kasus perzinaan sebagai delik aduan

dan hukum positif merupakan hukum induk yang diberlakukan di

Indonesia, sedang keterbatasan sanksi yang diatur dalam KUHP masih

belum mampu untuk memberantas atau meminimalisir angka terjadinya

kasus perzinaan, dikarenakan KUHP hanya mengatur tentang tindak

pidana zina yang dilakukan oleh salah seorang dari kedua pelaku atau

kedua-duanya masih atau pernah menikah. Masalah perzinaan dianggap

sebagai persoalan yang kompleks dan menyangkut berbagai dimensi,

namun rancangan KUHP belum menyentuh delik perzinaan. Padahal

perzinaan merupakan sesuatu yang sangat menyimpang sehingga makna

seks menjadi tidak suci lagi. Oleh sebab itu hukum pidana Islam

merupakan ius constituendum (hukum yang dicita-citakan) agar dapat

dijadikan sebagai pertimbangan dalam merumuskan RUUKUHP, sehingga

jangkauan ruang lingkupnya lebih luas. Oleh karena itu, peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian Skripsi dengan judul “ Sanksi Zina (Studi

Komparatif Antara Hukum Pidana Islam Dan KUHP).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Bentuk sanksi bagi pelaku zina menurut hukum pidana

Islam dan KUHP ?

12
Ibid.hlm.70.

5
6

2. Apa persamaan dan perbedaan sanksi perzinaan dalam hukum pidana

Islam dan KUHP ?

3. Apa faktor penghambat dalam penerapan hukum pidana Islam di

Indonesia?

4. Bagaimana upaya transformasi sanksi zina dalam hukum pidana Islam

ke dalam KUHP?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Untuk menjelaskan bentuk sanksi bagi pelaku zina menurut hukum

pidana Islam dan KUHP.

b. Untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan sanksi zina menurut

hukum pidana Islam dan KUHP.

c. Untuk menjelaskan faktor penghambat dalam penerapan hukum

pidana Islam di Indonesia.

d. Untuk menjelaskan bagaimana upaya transformasi sanksi zina

dalam hukum pidana Islam ke dalam KUHP.

2. Manfaat penelitian

a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini, diharapkan dapat memperluas cakrawala

berfikir atau ilmu pengetahuan dalam hal kajian komparasi sanksi

hukum bagi pelaku zina antara hukum pidana Islam dan KUHP.

6
7

b. Manfaat Praksis

Dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan baik

menyangkut teori maupun praksisnya.

1. Bagi legislator

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

pertimbangan dalam merumuskan sanksi zina berdasarkan

hukum pidana Islam ke RUUKUHP.

2. Bagi masyarakat

Masyarakat diharapkan dapat mempertimbangkan hasil

penelitian ini sebagai bahan rujukan untuk melakukan evaluasi

dalam penerapan atau pengimplementasian hukum bagi pelaku

zina.

D. Telaah Pustaka

Telaah pustaka merupakan perbandingan terhadap studi-studi atau

karya-karya terdahulu yang terkait untuk menghindari duplikasi serta

menjamin keaslian dan keabsahan penelitian yang dilakukan. Berdasarkan

hal tersebut dalam usaha penelusuran yang dilakukan, peneliti

mendapatkan karya-karya penelitian sebelumnya sebagai bahan

perbandingan, sekaligus menjadi objek kajian penting penelitian yang

peneliti lakukan. Hasil penelitian tersebut antara lain sebagai berikut :

Pertama, Skripsi yang disusun oleh M. Irkhammudin Sholeh

dengan judul Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan

Negeri Pemalang Nomor 98/Pid.B/2000 PN.PML tentang Tindak

7
8

Pidana Perzinaan Secara Berlanjut.13 Skripsi ini menggunakan jenis

penelitian kualitatif dengan sumber data diperoleh dari field research

(penelitian lapangan) dan library research (penelitian kepustakaan).

Sedangkan metode analisisnya menggunakan metode deskriptif analisis.

Menurut penyusun skripsi ini bahwa terhadap kejahatan

perzinaan/kesusilaan, ancaman hukuman berdasarkan KUHP tidak sampai

seberat dan sebijak Hukum Pidana Islam. Bandingkan dengan apa yang

disebut kejahatan terhadap kesusilaan pasal 281, 282, 283, dan pasal 284,

285 KUHP, serta lainnya. Dalam pasal tersebut, tidak terlihat adanya

ancaman berupa pendidikan seperti tersirat dalam hukum pidana Islam,

baik bagi yang bersangkutan, maupun masyarakat. Kejahatan perzinaan

tidak dapat diberikan pemaafan, seperti halnya kejahatan lain.

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah: 178. Namun,

bukan mustahil dapat pengampunan illahi sebagaimana terbukti tidak mau

menerima pengakuan, kecuali memberi kesempatan bertobat atau bukan.

Persamaan, dalam penelitian yang telah dilakukan oleh M.

Irkhammudin Sholeh dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah

sama-sama membahas tentang sanksi bagi pelaku zina, yang dimana

penelitian sebelumnya dan penlitian yang akan peneliti lakukan adalah

sama-sama menganggap bahwa peraturan-peraturan yang terdapat dalam

hukum positif tersebut tidak terdapat atau tidak terlihat adanya ancaman

berupa pendidikam seperti tersirat dalam hukum pidana Islam.


13
M. Irkhammudin Sholeh, Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Pemalang Nomor 98/Pid.B/2000 PN.PML tentang Tindak Pidana Perzinaan Secara
Berlanjut.(Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo).

8
9

Perbedaan, dalam penelitian yang telah dilakukan oleh M.

Irkhammudin Sholeh dengan fokus Analisis Hukum Islam Terhadap

Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor 98/Pid.B/2000 Pn.Pml

Tentang Tindak Pidana Perzinaan Secara Berlanjut, sedang penelitian

yang peneliti lakukan fokus terhadap konsekuensi hukum bagi pelaku zina

dalam hukum pidana Islam dan KUHP serta problematika yang muncul

dalam penerapan sanksi bagi pelaku zina dalam hukum pidana Islam dan

KUHP.

Kedua, skripsi yang disusun oleh Sayidatul Fadlilah dengan judul

Larangan Perzinaan Dalam Islam Dan Implikasinya Terhadap

Pendidikan Akhlak Anak.14 Skripsi ini menggunakan jenis penelitian

kualitatif dengan sumber data diperoleh dari library research (penelitian

kepustakaan). Sedangkan metode analisisnya menggunakan metode

deskriptif analisis. Menurut penyusun skripsi ini bahwa zina adalah

hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan

perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur

syubhat. Delik perzinaan ditegaskan dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghair muhsan)

didasarkan pada ayat al-Qur'an, yakni didera seratus kali. Sementara bagi

pezina muhsan dikenakan sanksi rajam. Rajam dari segi bahasa berarti

melempari batu. Sedangkan menurut istilah, rajam adalah melempari

14
Sayidatul Fadlilah,Larangan Perzinaan dalam Islam dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan Akhlak Anak,(Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo)

9
10

pezina muhsan sampai menemui ajalnya. Adapun dasar hukum dera atau

cambuk seratus kali adalah firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2

Persamaan, dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Sayidatul

Fadlilah dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah sama-sama

membahas tentang zina, serta di dalam penelitan terdahulu dengan

penelititan yang akan peneliti teliti ini sama-sama menyadari akan bahanya

perbuatan zina tersebut..

Perbedaan, dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Sayidatul

Fadlilah dengan fokus penelitian terhadap larangan perzinaan dalam Islam

dan implikasinya terhadap pendidikan akhlak anak, sedang penelitian yang

peneliti lakukan lebih spesifik meneliti implementasi terhadap sanksi bagi

pelaku zina dalam hukum pidana Islam dan KUHP serta problematika

yang muncul dalam penerapan sanksi bagi pelaku zina dalam hukum

pidana Islam dan KUHP.

Ketiga, skripsi yang disusun oleh Choirun Nidzar Alqodari dengan

judul: Analisis Pendapat Syafi'i tentang Hukuman Isolasi Bagi Pelaku

Zina Ghairu Muhsan.15 Pada kesimpulannya dijelaskan bahwa menurut

Imam al-Syafi'i, setiap pezina ghair muhsan harus dikenakan pengasingan

di samping hukuman dera, yakni bagi laki-laki atau perempuan, merdeka

maupun hamba. Pendapat Imam al-Syafi'i berbeda dengan pendapat Abu

Hanifah dan Malik. Menurut Abu Hanifah dan para pengikutnya, tidak ada

pengasingan bagi pezina ghair muhsan. Sedangkan menurut Malik,

15
Choirun Nidzar Alqodari,Analisis Pendapat Syafi'i tentang Hukuman Isolasi Bagi
Pelaku Zina Ghairu Muhsan.(Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo).

10
11

pengasingan hanya dikenakan kepada pezina laki-laki dan tidak dikenakan

terhadap pezina perempuan, pendapat ini juga dikemukakan oleh al-

Auza'i. Malik juga berpendapat tidak ada pengasingan bagi hamba. Dalil

yang digunakan Syafi'i adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Salamah

Yahya ibn Khalaf, dari Bisyr ibn al-Mufaddhal, dari Yahya ibn "Ummarah

dari Abu Sa'id al-Khudri dari Turmudzi.

Persamaan, dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Choirun

Nidzar Alqodari dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah sama-

sama membahas tentang sanksi zina menurut hukum pidana Islam.

Perbedaan, dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Choirun

Nidzar Alqodari dengan fokus penelitian terhadap analisis pendapat Syafi'i

tentang hukuman isolasi bagi pelaku zina ghair muhsan. sedang penelitian

yang peneliti lakukan lebih spesifik meneliti implementasi terhadap sanksi

bagi pelaku zina dalam hukum pidana Islam dan KUHP serta problematika

yang muncul dalam penerapan sanksi bagi pelaku zina dalam hukum

pidana Islam dan KUHP.

E. Kerangka Teori

1. Pengertian Zina

Zina berasal dari kata Zana-Yazni, dengan kata jadiannya di

dalam Al-Qur’an diulang sebanyak Sembilan kali, yang berarti

menyetubuhi seorang perempuan tanpa aqad nikah yang sah. Di

kalangan ulama definisi ini sudah maklum adanya. Namun, di antara

mereka ada yang menambahkan, bahwa keduanya sudah baligh

11
12

(dewasa). Karena itu, jika salah satunya belum baligh, maka hukum

zina hanya ditujukan kepada yang sudah baligh. Ada juga yang

menambahkan bahwa hubungan seksual yang tidak sah itu dilakukan

atas dasar suka sama suka. Sehingga, dalam kasus perkosaan, yang

mendapatkan had zina hanya yang memperkosa, jika memang

terbukti.16

Zina menurut Neng Djubaedah adalah hubungan seksual yang

dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang

tidak terikat dalam perkawinan yang sah secara Syari’at Islam, atas

dasar suka sama suka dari kedua belah pihak, tanpa keraguan

(syubhat) dari pelaku atau para pelaku zina yang bersangkutan.17

Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, zina adalah “hubungan

seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak

atau belum diikat dalam perkawinan tanpa disertai unsur keraguan

dalam hubungan seksual tersebut”.18

Abdul Qadir Audah berpendapat bahwa zina adalah hubungan

badan yang diharamkan dan disengaja oleh pelakunya. 19

Menurut pendapat madzhab Hanabilah, zina adalah melakukan

perbuatan keji (persetubuhan), baik terhadap qubul (farji’) maupun

dubur.20

16
Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI,Tafsir Alqur’an Tematik
(Bekasi:Cipta Bagus Segara,2010). hlm.159
17
Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Di
Tinjau Dari Hukum Islam,(Jakarta: Media Grafika,2010), hlm.119
18
Ibid. hlm.119.
19
H. M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm.13.

12
13

Menurut pendapat Syafi’iyah, zina adalah pemasukan zakar ke

dalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa ada syubhat dan

menurut tabiatnya menimbulkan syahwat.21

Menurut pendapat Malikiyah, zina adalah persetubuhan yang

dilakukan oleh orang mukallaf terhadap farji manusia (wanita) yang

bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan.22

Menurut pendapat Hanafiyah, zina adalah nama bagi

persetubuhan yang haram dalm qubul (kemaluan) seorang perempuan

yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam

negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku

hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada

syubhat dalam miliknya.23

Zina yaitu melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan

perempuan yang bukan suami isteri dan bukan pula dengan

budaknya.24

2. Hukum Zina (Had Zina)

Al - Huduud, bentuk jamak dari lafadz Had, menurut istilah

bahasa berarti larangan. Sedangkan menurut istilah Syara’ artinya

hukuman yang setimpal, ditetapkan untuk membuat jera agar hal-hal

yang mengharuskan adanya hukuman tersebut tidak dilakukan. Karena

20
H. Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm.7.
21
Ibid, hlm.7.
22
Ibid, hlm.7.
23
Ibid, hlm.7.
24
Djedjen Zainuddin, Pendidikan Agama Islam Fiqh, (Jakarta : Karya Toha Putra, 2008).
hlm. 22

13
14

Perbuatan zina merupakan suatu perbuatan yang sifat hukumnya

adalah haram, dan juga perbuatan zina termasuk dalam golongan

perbuatan yang keji dan menjijikkan.25

Abdul Qadir mengemukakan jarimah had sebagai berikut :

‫الحده الع ب ال د ح ه تع لي‬


Artinya : Jarimah Had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh

Syara’ dan merupakan hak Allah.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas

jarimah hudud itu adalah sebgai berikut :

a. Hukumnya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman

tersebut telah ditentukan oleh Syara’ dan tidak ada batas minimal

dan maksimal.

b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau

ada hak manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih

dominan.

Oleh karena hukuman had itu merupakan hak Allah maka

hukuman tersebut tidak bisa di gugurkan oleh perseorangan (orang

yang menjadi korban atau keluarganya) atau masyarakat yang di

wakili oleh Negara.26

25
Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i Juz 2, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2006), hlm.1140
26
H. Ahmad Wardi Musclih, Hukum Pidana Islam, (Jakarata: Sinar Grafika, 2005)
Hlm.1.

14
15

Didalam hukum Islam, had zina terbagi sesuai dengan

jenisnya. Dan secara eksplisit telah disebutkan tentang had zina27.

Pada permulaan Islam , hukuman untuk tindak pidana zina adalah

dipenjarakan di dalam urmah dan disakiti, baik dengan pukulan

pada badannya maupun dengan dipermalukan.28

3. Jenis Dan Syarat Had Zina

Perbuatan zina dalam Islam merupakan suatu perbuatan

tercela yang terbagi menjadi zina muhsan dan zina ghairu muhsan.

a. Zina Muhsan

Zina Muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang

sudah atau pernah menikah. Artinya yang dilakukan baik oleh

suami,istri, duda maupun janda.

b. Zina Ghairu Muhsan

Zina Ghairu Muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang

yang belum pernah menikah.29

c. Syarat Had Zina

Adapun syarat-syarat seseorang dikenakan had zina adalah

sebagai berikut :

1) Islam

2) Baligh

27
Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI,Tafsir Alqur’an Tematik (Jakarta:
Kamil Pustaka, 2014). Hlm.160
28
H. Ahmad Wardi Musclih, Hukum Pidana Islam, (Jakarata: Sinar Grafika, 2005),
Hlm.27.
29
Djedjen Zainuddin, Pendidikan Agama Islam Fiqh, (Jakarta : Karya Toha Putra,
2008), hlm. 23

15
16

3) Berakal sehat

4) Berbuat zina

4. Zina Dalam KUHP

Beberapa pasal dalam KUHP dimuat larangan zina dan perzinaan

(perbuatan cabul) yang berlaku untuk seluruh penduuduk di Indonesia.

Sehubungan dengan warga Negara Indonesia mayoritas umat Islam, maka

untuk memahami isi ketentuan KUHP akan dikaji dari perspektif hukum

Islam. Tetapi dalam bab ini hanya di muat ketentuan-ketentuannya saja,

sedangkan pengkajian terhadap pasal-pasal terdapat pada bab IV.

Perbuatan zina menurut pasal 284 KUHP adalah hubungan seksual

atau persetubuhan diluar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki

dan seorang perempuan yang kedua-duanya atau salah satunya masih

terikat dalam perkawinan dengan orang lain.30

Menurut. R. Soesilo, zina adalah peraduan antara kemaluan laki-

laki dan perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak.

Anggota kelamin laki-laki harus masuk ke dalam anggota kelamin

perempuan, sehingga mengeluarkan air mani.31

Larangan hubungan seksual yang dapat di katagorikan sebagai

tindak pidana zina atau jarimah zina, selain zina itu dilakukan oleh orang

yang masih terikat perkawinan, baik salah seorang pelaku zina atau

menurut keduanya menurut KUHP, juga termasuk orang yang melakukan

30
KUHAP DAN KUHP, (Tangerang, SL Media), hlm. 108.
31
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ( Jakarta: Sinar Grafika,
2011), hlm. 181.

16
17

persetubuhan dengan seorang perempuan yang sedang dalam keadaan

pingsan atau tidak berdaya, sebagaimana ditentukan dalam pasal 286

KUHP.

Selain itu menurut pasal 287 KUHP , seorang dapat dikatagorikan

sebagai pelaku zina , yaitu terhadap orang yang melakukan persetubuhan

diluar perkawinan dengan seorang perempuan, yang diketahuinya atau

sepatutnya di duga olehnya, bahwa perempuan tersebut belum berumur 15

tahun, dan jika usia perempuan itu tidak jelas maka dapat diketahuinya

atau sepatutnya harus diduga bahwa perempuan tersebut sepatutnya belum

patut dinikahi. Hukuman yang di tentukan dalam pasal 287 KUHP adalah

pidana penjara paling lama Sembilan tahun.

Dalam ketentuan pasal 287 KUHP yang melarang persetubuhan

diluar nikah tersebut, memang tidak ada pemaksaan terhadap perempuan

yang di setubuhinya dan atau bukan perempuan yang berada dalam

keadaan pingsan atau tidak berdaya, tetapi ia lakukan dengan perempuan

yang belum berusia 15 tahun.32

Berdasarkan uraian sederhana tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa perbuatan persetubuhan di luar perkawinan yang dapat dimasukkan

sebagai perbuatan pidana adalah :

a. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki

dan seorang perempuan yang kedua-duanya atau salah seorang

pelakunya sedang dalam ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain.

32
Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
Di Tinjau Dari Hukum Isla , (Jakarta: Media Grafika, 2010), hlm.66.

17
18

b. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki

terhadap perempuan yang dalam keadaan pingsan.

c. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki

terhadap perempuan yang dalam keadaan tidak berdaya.

d. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki

terhadap perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya harus

diduganya belum berumur 15 tahun.

e. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki

terhadap perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya harus

diduganya belum masanya untuk dikawini.33

Jenis delik zina yang di tentukan pasal 287 ayat (2) KUHP adalah

delik aduan absolut (absolut klacht delict). Jika anak yang disetubuhi

diluar perkawinan itu belum berumur 12 tahun, atau perempuan tersebut

mengalami luka berat atau kematian, sebagaimana ditentukan dalam pasal

291 dan pasal 294, maka jenis delik tersebut, bukan lagi merupakan delik

aduan, tetapi merupakan delik umum. Sebagaimana telah diketahui, bahwa

perbuatan zina dalam KUHP termasuk kejahatan (misdrijven).34

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara utama yang digunakan

seseorang peneliti untuk mencapai suatu tujuan. Cara tersebut digunakan

33
Ibid. hlm.67.
34
Ibid. hlm. 68.

18
19

setelah peneliti memperhitungkan kelayakannya yang ditinjau dari tujuan

situasi penelitian.35

Setiap kegiatan ilmiah untuk terarah dan rasional diperlukan suatu

metode yang sesuai dengan obyek yang dikaji, karena metodologi

berfungsi sebagai cara mengerjakan sesuatu untuk dapat menghasilkan

hasil yang memuaskan. Metode penelitian metodologi pada hakikatnya

memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari,

menganalisa dan memahami lingkungan yang di hadapinya.

Adapun langkah-langkah penelitian yang digunakan dalam

penulisan proposal skripsi ini secara sistematis adalah penentuan metode

yang digunakan, tehnik pengumpulan data, dan analisis sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan

(library research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap

sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif.

Pengertian dari penelitian library research menurut Sutrisno Hadi,

adalah suatu riset kepustakaan atau penelitian murni.36 Sehingga di

dalam penyusunan skripsi ini lebih menekankan sumber informasinya

dari buku-buku hukum, kitab undang-undang hukum pidana (KUHP),

buku Fiqih dan literature lain yang berkaitan atau relevan dengan

kajian penelitian ini.

35
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah 9 Dasar Metode Teknik, (Banten
:Universitas Terbuka, 2012), hlm.191
36
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 1,(Banten:Universitas Terbuka, 2009),
hlm.9.

19
20

a. Sumber Data

Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat library

research, maka data lebih banyak diambil dari buku-buku yang

berkaitan dengan judul penelitian ini. Adapun sumber data yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber primer dan

sumber sekunder. Sumber primer atau tangan pertama, adalah data

yang diperoleh langsung dari obyek penelitian dengan

menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung

dari buku sebagai sumber informasi yang dicari. Sumber utama

tersebut, yaitu buku-buku tentang perzinahan dari segi pembahasan

hukum pidana Islam. Cara kerja data primer adalah mencari dan

mengumpulkan referensi berupa buku-buku yang mengkaji tentang

perzinaan dalam hukum pidana Islam dan KUHP.

Adapun sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh

lewat literatur lain, yang diperoleh oleh peneliti dari subjek

penelitiannya dari buku-buku bacaan dan literatur-literatur lain

yang pembahasannya masih berkaitan dengan perzinahan baik

dalam pembahasan hukum positif maupun dalam hukum pidana

Islam. Cara kerja data sekunder dalam mencukupi data dalam

penelitian ini adalah dengan mencari dan mengumpulkan data dari

literatur lain yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti literatur

yang terdapat dalam jurnal maupun website resmi.

20
21

b. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data sangat identik dengan jenis

penelitian yang dilaksanakan. Oleh karena penelitian ini adalah

penelitian kualitatif yang berupa penelitian kepustakaan(library

research), maka Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. pengumpulan data

dalam penelitian ini juga mennggunakan metode pengumpulan data

kualitatif kepustakaan yakni metode dokumentasi. Pengertian dari

metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data berupa

sumber data tertulis (yang berbentuk tulisan). Sumber data tertulis

dapat dibedakan menjadi: dokumen resmi, buku, majalah, arsip,

ataupun dokumen pribadi dan juga foto.

2. Metode Analisis Data

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka peneliti akan

menggunakan beberapa metode sebagai berikut:

a. Content analisis

Dalam menganalisis data, teknik yang dilakukan

menggunakan content analysis. Yaitu menguraikan secara teratur

mengenai konsep sanksi zina dan hukumnya berdasarkan hukum

pidana Islam dan KUHP. Setelah itu peneliti membandingkan serta

mengkomparasikan antara kedua hukum tersebut. Oleh karena itu,

content analysis ini didasarkan pada pendapat ahli dan pembandingnya

agar dapat membantu memahami keadaan data yang disajikan.

21
22

b. Metode Deskriptif Analitis

Yaitu cara penulisan dengan mengutamakan pengamatan

terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual di masa sekarang. Skripsi

ini merupakan kajian sebuah kitab-kitab/buku-buku serta kajian

pemikiran, maka dengan metode ini dapat digunakan untuk

menggambarkan dan menguraikan secara menyeluruh dari hasil

penelitian ini, sehingga akan didapatkan informasi secara utuh.

c. Metode Komparatif

Yaitu membandingkan antara hukum pidana Islam dengan

kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Sehingga dari

perbandingan tersebut dapat diketahui persamaan dan perbedaan serta

kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sedangkan pendekatan

analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum

(law approach). Penggunaan pendekatan ini tidak lain dikarenakan

dalam sebuah proses pengambilan dan penetapan hukum tidak akan

dapat dilepaskan dari aspek-aspek selama proses tersebut berlangsung,

khususnya aspek penggunaan legalitas hukum Islam yang dijadikan

landasan penelitian ini.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari empat bab yang

masing-masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu

kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi.

22
23

Bab I, berisi tentang deskripsi permasalahan dalam kasus

perzinaan. keseluruhan pola berpikir dituangkan dalam konteks yang jelas

serta padat. Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang

masalah yang terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan

memilih judul, dan bagaimana pokok permasalahannya. Dengan

penggambaran secara sekilas sudah dapat ditangkap substansi skripsi.

Selanjutnya untuk lebih memperjelas maka dikemukakan pula tujuan

penelitian. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh signifikansi

tulisan ini. Pengembangannya kemudian tampak dalam sistematika

pembahasan. Dengan demikian, dalam bab pertama ini tampak

penggambaran isi skripsi secara keseluruhan dalam satu kesatuan yang

ringkas dan padat guna menjadi pedoman untuk bab kedua, ketiga dan bab

keempat.

Bab II berisi tinjauan umum had zina dalam hukum pidana Islam

serta KUHP. yang meliputi pengertian dan dasar hukum zina, dasar dapat

dipidananya zina, macam-macam zina, unsur-unsur pidana zina.

Bab III berisi tentang bentuk sanksi perzinaan beserta persamaan

dan perbedaan sanksi dalam hukum pidana Islam dan KUHP. Dan

menjelaskan analisis dalam penerapan hukum sanksi zina dalam hukum

pidana Islam ke KUHP serta upaya transformasi hukum pidana Islam ke

KUHP.

Bab IV merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian

pembahasan skripsi ini yang terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.

23
BAB II
TINJAUAN UMUM PERZINAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
DAN KUHP

A. Tinjauan Umum Perzinahan Dalam Hukum Pidana Islam

1. Pengertian dan Dasar Hukum Perzinahan

Di dalam kitab Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar

dijelaskan, kata zina berasal dari bahasa arab, yaitu zanaa, yazni,

zinaan yang artinya menyetubuhi wanita tanpa didahuli aqad nikah

menuurut Syara’.37

Menurut Neng Djzubaedah, zina adalah hubungan seksual

yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang

tidak terikat dalam perkawinan yang sah secara syariah Islam, atas

dasar suka sama suka dari kedua belah pihak, tanpa keraguan (syubhat)

dari pelaku atau para pelaku zina bersangkutan.38

Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid Karya Ibnu Rusyd dijelaskan

bahwa zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena

pernikahn yang sah, semu nikah, dan bukan pula karena kepemilikan.39

Abu Fajar Al Qalami merumuskan pengertian zina adalah

melakukan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan yang

bukan isterinya/suaminya. 40

37
Ibnu Hajar Ash-Qalani, Bulughul Maram, Terj. Kahar Masyhur, (Jakarta,PT. Rineka
Cipta, 1992), hlm.190.
38
Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.119.
39
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid 5, (Jakarta, Pustaka Amani,1995), hlm.231.
40
Abu Fajar Al Qalamy, Tuntunan Jalan Lurus Dan Benar, (Jakarta, Gita Media Press,
2010), hlm.466.

24
25

Ahmad Rahman dalam karyanya Penjelasan Lengkap Hukum-

Hukum Allah (Syariah) meumuskan zina adalah hubngan kelamin

antara seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa ikatan

perkawinan.41 Sedangkan M. Quraish Shihab merumuskan pengertian

zina adalah persetubuhan suatu alat kelamin dari jenis atau

kepemilikan, dan tidak juga disebabkan karena syubhat (kesamaran).42

Menurut Ensiklopedia Hukum Pidana Islam disebutkan

definisi zina menurut beberapa madzhab, yang meskipun berbeda

redaksi tetapi sebenarnya maksudnya sama yaitu persetubuhan antara

laki-laki dan perempuan yang dilakukan oleh mukallaf yang tidak

terikat oleh perkawinan yang sah. 43

Amir Syarifudin merumuskan zina atau perzinaan adalah

hubungan kelamin di luar nikah.44 Adapun menurut Ulama Fiqih

pengertian zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang haram

dengan tidak subhat. Dan menurut Ibnu Rusyd pengertian zina adalah

persetubuhan yang dilakukan bukan karena nikah yang sah/ semu

nikah dan bukan karena pemilikan hamba sahaya. Sedangkan menurut

Hamka, berzina adalah segala persetubuhan diluar nikah, dan di juzu‟

41
A. Rahman I.Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 308.
42
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan,Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta, Lentera Hati, 2008), hlm.279.
43
Abdul Qadir Auda, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, (Bogor, PT. Charisma Ilmu,
2012), hlm.153.
44
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta, Kencana Prenamedia Group,
2013), hlm. 274.

25
26

yang lain beliau mendefinisikan zina sebagai segala persetubuhan yang

tidak disyahkan dengan nikah, atau yang tidak syah nikahnya. 45

H. Zainudin ali merumuskan zina secara harfiyah artinya

fahisyah, yaitu perbuatan keji.46 Abdur Qadir Audah berpendapat

bahwa zina ialah hubungan badan yang diharamkan dan disengaja oleh

pelakunya.47 Mengenai kekejian jarimah zina ini, Muhammad Al-

Khatib Al-Syarbini mengatakan, zina termasuk dosa-dosa besar yang

paling keji, tidak suatu agama pun yang menghalalkanya. Oleh sebab

itu, sanksinya juga sangat berat, karena mengancam kehormatan dan

hubungan nasab.48

Definisi zina yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam

tersebut secara esensi tidak ada perbedaan yang signifikan, karena

pada dasarnya perbuatan zina ada dua unsur yang harus dipenuhi yaitu;

a. Persetubuhan yang diharamkan

Persetubuhan yang disebut zina adalah persetubuhan ke

dalam farji (kemaluan), dimana alat kelamin laki-laki (zakar)

masuk ke dalam alat kelamin perempuan (farji), sebagaimana alat

mencelak mata dimasukkan ke dalam tempat celak mata.

Ukurannya adalah jika kepala kemaluan laki-laki (hasyafah) telah

masuk ke dalam farji walaupun sedikit. Dianggap zina juga

45
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1993), hlm.4.
46
H. Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta,
Sinar Grafika Offset, 2015), hlm.106.
47
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’ Al-Islami Muqaranan Bi Al-Qur’an Al-
Wadh’i, (Beirut, Mu’assanah Ar-Risalah, 1992), hlm.349.
48
M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, (Jakrata, Amzah, 2013), hlm.18.

26
27

walaupun ada penghalang antara zakar dan farji selama

penghalangnya tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan dalam

persetubuhan, dan juga persetubuhan yang terjadi bukan miliknya

sendiri. Akan tetapi, jika persetubuhan pada miliknya meskipun

diharamkan, seperti persetubuhan istri sedang haid, nifas dan

berpuasa ramadhan, maka dianggap zina. 49

b. Ada niat dari pelaku yang melawan hukum

Unsur ini terpenuhi, jika pelaku melakukan persetubuhan

padahal ia tahu bahwa perempuan yang disetubuhinya itu adalah

perempuan yang diharamkan baginya. Jika seorang tidak tahu

bahwa perbuatannya itu dilarang, maka dia tidak dapat dikenai

hukuman hadd, seperti seorang yang menikah dengan seorang

perempuan yang masih beristri, tetapi dirahasiakan kepadanya. 50

Zina merupakan tindak pidana yang diancam dengan

hukuman hudud atau had, yakni suatu hukuman yang diberlakukan

terhadap pelanggaran yang menyangkut hak Allah. Dengan

demikian, hukuman tindak pidana zina telah diatur oleh Al Quran

karena merupakan hak Allah SWT secara mutlak.51

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Zina

Sebelum mempelajari secara mendalam mengenai tindak

pidana zina, tentu terlebih dahulu kita perlu untuk mengetahui dan

49
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang, CV. Karya Abadi Jaya, 2015), hlm.17
50
Ibid, hlm. 18.
51
Syamsul Huda, Jurnal, Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, STAIN Kediri.

27
28

memahami unsur-unsur tindak pidana (jarimah) itu sendiri. Jika unsur-

unsur itu muncul akibat dari suatu perbuatan, maka tentu dapat

diklasifikasikan sebagai bentuk perbuatan tindak pidana

(delik/jarimah) dengan akibat hukum hukum berupa ancaman sanksi

yang telah diatur dalam hukum syara’. Dan sebelum itu, tentu

diperlukan pengkajian dan pemahaman terhadap jarimah itu sendiri.52

Jarimah berasal dari kata jarama yang sinonimnya kasaba

waqhatha’a yang artinya berusaha dan bekerja. Hanya saja usaha di

sini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh

manusia.53 Dan hudud (berasal dari bahasa Arab) adalah jamak dari

kata had yang artinya secara harfiah adalah siksaan, ketentuan atau

sanksi. Dalam bahasa fiqh , had artinya ketentuan-ketentuan tentang

sanksi terhadap pelaku kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral,

menurut syari’at yaitu ketetapan Allah yang terdapat di dalam Al-

Qur’an dan/atau kenyataanyang dilakukan oleh Rasulullah. Tindak

kejahatan, baik dilakukan oleh seseorang atau kelompok, sengaja atau

tidak sengaja, dalam istilah fiqh disebut dengan istilah jarimah. Jadi

jarmah al-hudud adalah tindak kejahatan yang menjadikan pelakunya

dikenakan sanksi had.54

Dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap jarimah itu harus

memenuhi unsur-unsurnya yaitu:

52
H. Ahmad Wardi Muschlih, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Fiqh
Jinayah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006),hlm.8.
53
Ibid, hlm. 9.
54
H. Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta,
Sinar Grafika Offset, 2015), hlm. 107.

28
29

a. Nash yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman

terhadapnya. Unsur ini biasa disebut Unsur Formil (Rukun Syar‟I).

b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa

perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat. Unsur ini

biasa disebut Unsur Materiil (Rukun Maddi).

c. Pelaku adalah orang mukallaf yaitu orang yang dapat dimintai

pertanggungjawaban terhadap jarimah yang diperbuat. Unsur ini

disebut Unsur Moril (Rukun Adabi).55

Disamping unsur-unsur umum, ada juga unsur-unsur yang

bersifat khusus. Misalnya dalam peristiwa pencurian, selain telah

memenuhi unsur-unsur umum, juga harus memenuhi unsur-unsur

khusus yaitu barang yang dicuri bernilai seperempat dinar ke atas,

dilakukan dengan diamdiam dan benda yang di curi tersebut

disimpan di tempat yang pantas.

Demikian juga dengan tindak pidana zina, bahwa suatu

perbuatan baru bisa dianggap zina kalau sudah memenuhi kedua

unsur tersebut, yakni:

a. Unsur-unsur yang bersifat umum

1) Adanya nash yang melarang.

2) Adanya perbuatan zina atau perbuatan yang dilakukan oleh

seorang laki-laki dengan seorang wanita diluar ikatan

perkawinan. Maka ketika ada dua orang berlainan jenis

55
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Media Grafika, 2016),
hlm.6.

29
30

sedang bermesraan seperti berciuman atau bercumbu belum

bisa dikatakan zina dan tidak dihukum dengan hukuman

had. Karena perbuatan tersebut belum bisa dikatakan

sebagai perbuatan perzinaan.

3) Pelaku zina adalah mukallaf. Dalam arti pelaku adalah

orang yang telah cakap bertindak hukum, yang ditandai

dengan telah baligh dan berakal.

b. Unsur-unsur yang bersifat khusus

1) Perbuatan zina dilakukan secara sadar dan sengaja. Jumhur

ulama berpendapat bahwa orang yang terpaksa, baik lakilaki

maupun perempuan, tidak diketahui hukuman perzinaan.

Menurut ulama madzhab Hambali, apabila yang dipaksa itu

laki-laki, maka ia dikenai hukuman perzinaan, tetapi kalau

yang dipaksa itu wanita, maka ia tidak dikenai hukuman

perzinaan.

2) Yang dizinai adalah manusia, menurut madzhab Hanafi,

Maliki serta pendapat terkuat dikalangan madzhab Syafi’I

dan Hambali, seorang tidak dikenai hukuman perzinaan

apabila yang dizinai itu adalah hewan.

3) Perbuatan itu terhindar dari segala bentuk keraguan

syubhat. Ulama fiqih membagi hubungan seksual yang

berbentuk syubhat itu menjadi tiga bentuk;

30
31

a) Syubhat Fi Alfi‟L (keraguan dalam perbuatan), seperti

seorang laki-laki menyenggamai istrinya yang

diceramahi melalui Khuluk.

b) Syubhat Fi Al-Mahal (keraguan pada tempat) yang

disebut juga dengan Syubhat Al-Milk, seperti

menyenggamai istri yang telah ditalak tiga kali dengan

Lafal Kinayah (kata kiasan talak).

c) Syubhat Fi Al-Fa‟Il (keraguan pada pihak pelaku),

seperti laki-laki yang menyenggamai seorang wanita

yang bukan istrinya dan berada di kamar tidurnya. Pada

saat itu tidak ada alat penerang, sehingga laki-laki itu

tidak mengetahui bahwa wanita tersebut bukan istrinya.

Dalam ketika bentuk syubhat ini, hubungan seksual

tersebut tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan zina yang

dikenai hukuman perzinaan.

4) Pelaku mengetahui bahwa perbuatan zina itu diharamkan.

5) Ulama Madzhab Hanafi dan Az-Zahiri mensyaratkan bahwa

wanita yang dizinai itu masih hidup. Sedangkan menurut

ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, apabila mayat

wanita itu bukan mayat istrinya, maka perbuatan itu

termasuk zina.56

56
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), hlm.2027.

31
32

Oleh karena itu apabila unsur-unsur tersebut telah terpenuhi

maka perbuatan tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak pidana

zina dengan implementasi sanksi berupa had dapat diterapkan.

B. Tinjauan umum tentang delik perzinahan dalam KUHP

1. Pengertian delik

Dr. Jonaeadi Effendi merumuskan delik atau tidak pidana

sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan

mana diserrtai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi

barang siapa melanggar larangan tersebut.57

Delik dalam KBBI adalah perbuatan yang dapat dikenakan

hukuman karena merupakan pelanggaran terdapat undang-undang

tindak pidana.58

Pipin syarifin mengatakan delik atau perbuatan pidana adalah

suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu

hukum pidana, yang dibentuk oleh kesadaran dalam memberikan ciri

tertentu pada peristiwa hukum pidana. Dan juga berarti sebagai

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.59

Moeljatno merumuskan delik sebagai suatu perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum, yang disertai ancaman (sanksi)

57
Ismu Gunadi, Dkk, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta,
Prenadamedia Group, 2014), hlm.35.
58
KBBI, hlm.219.
59
Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2000),
hlm. 51.

32
33

berupa pidana tertentu bagi mereka yang melanggar larangan

tersebut.60

Menurut simons, strafbarrfeit/delik adalah kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum,

patut dipidana (straafwaarding), dan dilakukan dengan kesalahan.61

Dari berbagai pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan

bahwa pengertian tindak pidana (delik) adalah suatu perbuatan atau

tindakan yang melanggar hukum, sehingga dapat dijatuhi sanksi

terhadap pelaku tindak pidana.

2. Macam-macam delik

a. Tindak pidana biasa/delik biasa

Delik biasa yaitu delik atau tindak pidan yang bisa dituntut

meskipun tanpa pengaduan dari si korban, misalnya pembunuhan,

pencurian biasa, delik biasa atau dalam istilah barekrimnya adalah

criminal murni, yaitu semua tindak pidana yang terjadi yang tidak

bisa dihentikan prosesnya dengan alasan yang bisa dimaklumi

dalam delik aduan.62

Adapun unsur-unsur dari delik biasa, walaupun unsur-unsur

tiap-tiap delik berbeda, namun pada umumnya mempunyai unsur-

unsur yang sama yaitu :

1) Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif.

60
Ibid, hlm. 52.
61
Ibid, hlm. 53.
62
Ismu Gunadi, Dkk, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta,
Pranadamedia Group, 2014.), hlm. 57.

33
34

2) Akibat (khusus delik-delik yang dirumuskan secara materiil).

3) Melawan hukum materiil.

4) Tidak adanya dasar pembenar.63

b. Delik aduan

Delik aduan adalah suatu delik yang hanya boleh dituntut

jika ada pengaduan dari orang yang menderita delik.64 Sedangkan

Ismu Gunadi mendefiniskan delik aduan sebagai Tindak pidana

yang penuntutanya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari

pihak yang terkena atau yang dirugikan. dengan demikian, apabila

tidak ada pengaduan, terhadap tindak pidana tersebut maka tidak

bisa terjadi penuntutan. Tindak pidana itu di sebut klacht delicten,

yaitu sebagai lawan yang disebut gewone delicten yaitu tindak

pidana yang dapat di tuntut tanpa diperlukan adanya suatu

pengaduan.65

Jadi terdapat pengecualian dalam adanya suatu tindak

pidana (kejahatan) dimana terdapat beberapa tindak pidana tersebut

hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang

dirugikan. Karenanya apabila kepada suatu pengadilan/mahkamah

diajukan suatu delik aduan tanpa dilengkapi dengan pengaduan

(tertulis atau lisan yang dicatat oleh penguasa penerima aduan)

63
Ibid, hlm. 59.
64
Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2000), hlm.
57.
65 65
Ismu Gunadi, Dkk, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta,
Pranadamedia Group, 2014.), hlm. 60.

34
35

harus dinyatakan sebagai tidak dapat diterima (niet ontvangkelijk

verklaard).

Tindak pidana-tindak pidana seperti itu disebut “klacht

delicten” yakni sebagai lawan dari apa yang disebut “gewone

delicten” yakni tindak pidana-tindak pidana yang dapat dituntut

tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan. Delik-delik yang hanya

dapat dituntut apabila ada suatu pengaduan dari orang yang merasa

dirugikan itu di dalam bahasa Belanda disebut “delicten allen op

klachte vervolgbaar” atau dalam bahasa Jerman disebut juga

“antragsdelikte”, yakni sebagai lawan dari apa yang disebut

“delicten van ambtswege vervolgbaar” atau delik-delik yang dapat

dituntut sesuai dengan jabatan.66

Di dalam delik-delik pengaduan penuntutan tergantung

daripada orang yang dirugikan. orang ini menentukan penuntutan,

karena tanpa mengajukan penuntutan, ia dapat mencegah

penuntutan. Sebaliknya apabila ia mengajukan pengaduan, badan

penuntut umum tidak berwajib untuk memberi akibat pada

pengaduan, badan penuntut umum tidak berwajib untuk memberi

akibat pada pengaduan yang diajukan. Hal ini disebabkan karena

adanya asas opportuniteit, asas tentang kefaedahan penerapan

undang-undang, yang merupakan dasar dari pada tuntutan pidana

pada hukum positif, tetap dipertahankan, sehingga dalam delik-

66
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Sinar Baru, 1990),
hlm. 207.

35
36

delik pengaduan penguasa yang menuntut, berhak untuk tidak

meneruskan perkara demi kepentingan umum.

c. Macam-macam delik aduan

Pada umumnya delik aduan terbagi menjadi dua yaitu, delik

aduan absolute dan delik aduan yang relatif (nisbi).

1) Delik Aduan Absolut

Delik aduan absolut ialah delik aduan yang dalam

keadaan apapun tetap merupakan delik aduan. Atau menurut

kata-kata Vos: “Absolute zijn die, welke als regel allen op klchte

vervolgbaar zijn”67 Tindakan pengaduan di sini diperlukan

untuk menuntut peristiwanya, sehingga semua yang

bersangkutan dengan itu harus dituntut. Dengan kata lain, delik

aduan absolut bersifat onsplitbaar, misalnya: Soepirno

menangkap basah seorang lakilaki melakukan overspel dengan

istrinya. Jika akan dilakukan pengaduan, maka laki-laki tersebut

maupun istrinya sendiri (betapapun sayangnya terhadap istri dan

nama keluarganya harus) diadukan.68

Delik aduan absolut terdapat dalam beberapa Pasal yang

tersebar, antara lain delik penghinaan (Pasal 310 sampai Pasal

319) dengan catatan bahwa penghinaan terhadap pejabat pada

waktu ia sedang melakukan jabatan yang sah, dapat dituntut

67
Nico Ngani, Sinerama Hukum Pidana, (Yogyakarta: Sinar Grafika, 1984), Hlm. 27
68
Slamet Riyanto, Kebijakan Formulasi Dalam Penentuan Delik Aduan Perundang-
Undangan Pidana Di Indonesia, TESIS, Magister Ilmu Hukum UNDIP, 2004, Hlm.32

36
37

oleh jaksa, kemudian delik kesusilaan (Pasal 284, 287, 293 dan

332), dan kejahatan membuka rahasia (Pasal 322 KUHP).69

2) Delik aduan relative

Delik aduan relatif adalah tiap kejahatan yang hanya

dalam keadaan tertentu saja merupakan delik aduan, umumnya

kejahatan itu bukanlah delik aduan melainkan kejahatan biasa.

Pengaduan ini dilakukan bukan untuk menuntut peristiwanya

tetapi karena itu merupakan delik aduan relatif bersifat

splitsbaar.70

Yang termasuk dalam delik aduan relatif yaitu: pencurian

dalam keluarga (familie-diefstal) Pasal 367 dan delik-delik

kekayaan (vermogensdelicten) yang kurang lebih sejenis, seperti

pemerasan dan ancaan (Pasal 370 KUHP), penggelapan (Pasal

376), penipuan (Pasal 394 KUHP). 71

Adapun yang menjadi alasan delik aduan relatif,

sebagaimana yang ditetapkan dalam Wetboek van Strafrecht

Belanda, Modderman, Menteri Kehakiman Belanda

mengemukakan alasannya yakni:

a) Alasan susila, yaitu mencegah terjadinya hal pemerintah

terpaksa menempatkan orang-orang yang mempunyai

hubungan yang sangat dalam dan (intim) antara yang satu

dengan yang lain berhadapan muka di depan hakim pidana.


69
Ibid, hlm. 33.
70
Nico Ngani, Sinerama Hukum Pidana, (Yogyakarta: Sinar Grafika, 1984), Hlm. 28
71
Ibid, hlm. 29.

37
38

b) Alasan materiil (stoffelijk), yaitu de facto (feitelijk) ada

semacam kondominium antara suami dan istri.72

3. Delik perzinahan menurut KUHP Pasal 284.

KUHP adalah kitab induk hukum pidana di Indonesia,

dalam Pasal-pasal yang mengatur tentang pidana zina sebagai bagian

dari kejahatan terhadap kesusilaan, semuanya masuk kedalam jenis

kejahatan. Kejahatan yang dimaksud termuat dalam lima Pasal, yaitu:

Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285 (perkosaan bersetubuh), Pasal 286

(persetubuhan dengan perempuan bukan isterinya yang dalam keadaan

pingsan). Pasal 287 persetubuhan dengan perempuan yang belum

berumur lima belas tahun yang bukan isterinya), Pasal 288 (bersetubuh

dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawini

dan menimbulkan luka atau kematian).73

Perbuatan yang mempunyai makna sama dengan perzinaan,

di dalam KUHP digolongkan kejahatan kesusilaan diatur dalam Pasal

284-303 KUHP. Salah satu kejahatan kesusilaan tersebut terkenal

dengan istilah perzinaan/ mukah (overspel) yang di atur dalam Pasal

284.

Menurut KUHP Pasal 284 dinyatakan bahwa zina adalah

persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah

kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau

suaminya. Dan supaya masuk pasal ini maka persetubuhan itu harus

72
Ibid, hlm. 28
73
Http://Perzinaan-Hukum.Blogspot.Co.Id Akses Minggu, 13 Oktober Pukul 10.56.

38
39

dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah

satu pihak.74

Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan ialah

perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang

biasa dijalankan untuk mendapat anak, jadi anggota lakilaki masuk ke

dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani.75

Pasal 284 KUHP :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan:

1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak

(overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku

baginya.

b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak,

padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.

2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu,

padahal diketahuinya yang turut bersalah telah kawin.

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan

perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut

bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri

yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW,

74
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Polites, 2004),
hlm 181.
75
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentarkomentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Polites, 1996), Hlm. 209

39
40

dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan

bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terdapat pengaduan ini tidak berlaku pasal 72,73 dan 75

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang

pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak

diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena

perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan

tempat tidur menjadi tetap.76

Tindak pidana perzinahan atau overspel yang dimaksud

dalam pasal 284 ayat (1) KUHP itu merupakan suatu opzettleijk

delict atau merupakan tindak pidana yang harus dilakukan dengan

sengaja. Melihat ketentuan pasal 284 maka overspel yang dapat

dikenai sanksi pidana menurut KUHP adalah :

a. Persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah sah menikah

saja. Apabila pasangan ini belum menikah kedua-duanya, maka

persetubuhan mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai

overspel, hal mana berbeda dengan pengertian berzina yang

menganggap persetubuhan antara pasangan yang belum

menikah juga termasuk di dalamnya.

b. Partner yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap

sebagai peserta pelaku (medepleger). Ini berarti apabila partner

76
Moeljatno, KUHP, 2001, (Jakarta ; Bumi Aksara, 2010), Hlm 104

40
41

yang disetubuhi telah menikah juga, yang bersangkutan

diangap bukan sebagai peserta pelaku.

c. Persetubuhan tidak direstui suami ataupun isteri yang

bersangkutan. Kalau persetubuhan itu direstui oleh suami atau

isteri yang bersangkutan maka bukan termasuk overspel.77

4. Unsur-Unsur Dapat Dipidananya Pezinahan Menurut Pasal 284

KUHP.

Menurut asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana,

unsur-unsur tindak pidan merupakan syarat-syarat untuk menentukan

sampai dimana perbuatan seseorang manusia dapat dikenakan

hukuman. Unsur itu meliputi perbuatan manusia yang memenuhi

rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum serta orang atau

pelakunya yakni adanya kesalahan pada diri pelaku.78

Bisa dikatakan sebagai tindak pidana perzinahan maka

harus ada unsur kesengajaan atau dilakukan dengan sengaja. Inti dari

kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik

dalam rumusan undang-undang, demikian von hippel. Menurut

soedarto dikatakan sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa

yang ia lakukan.79 Apabila unsur kesengajaan dari pelaku zina ini tidak

dapat dibuktikan maka pelaku tidak terbukti menghendaki atau tidak

77
Mardjono Reksodiputro,dkk, Parados Dalam Kriminologi, (Jakarta: Rajawali, 1989),
Hlm 60.
78
Ahmad Bahiej, Tinjauan Yuridis Atas Delik Perzinahan (Overspel) Dalam Hukum
Pidana Di Indonesia, Jurnal, Hlm. 7.
79
Sudarto, Hukum Pidana Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Di
Ponegor, 1990), Hlm. 102

41
42

terbukti mengetahui perzinahan yang dilakukan, sehingga hakim harus

memutus bebas dari tuntutan hukum bagi pelaku.80

Menurut simons, untuk adanya suatu perzinahan menurut

pasal 284 itu diperlukan adanya suatu vlesslijk gemeenschap atau

diperlukan adanya suatu hubungan alat-alat kelamin yang selesai

dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita. Kalau dilakukan

oleh dua orang yang berjenis kelamin sama maka tidak termasuk

tindak pidana perzinahan dalam KUHP Pasal 284.81

Selanjutnya yaitu perbuatan melakukan hubungan kelamin

antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau

keduanya telah kawin dapat disebut sebagai delik perzinahan menurut

KUHP adalah bahwa tidak adanya persetujuan diantara suami dan

isteri. Jika ada persetujuan antara suami dan isteri, misalnya suami

yang bekerja sebagai mucikari dan isterinya menjadi pelacur

bawahannya maka perbuatan semacam itu bukanlah termasuk

perbuatan zina.82

80
Ahmad Bahiej, Tinjauan Yuridis Atas Delik Perzinahan (Overspel) Dalam Hukum
Pidana Di Indonesia, Jurnal, Hlm. 8.
81
Lamintang, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana-Tindak Pidana Yang Melanggar
Norma-Norma Kesusilaan Dan Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm 89.
82
Ahmad Bahiej, Tinjaun Yuridis Atas Delik Perzinahan (Overspel) Dalam Hukum
Pidana Indonesia, Jurnal, Hlm 9.

42
BAB III

ANALISIS PENERAPAN SANKSI ZINA DALAM HUKUM PIDANA


ISLAM DAN KUHP

A. Bentuk Sanksi Perzinaan dalam Hukum Pidana Islam dan KUHP.

1. Bentuk Sanksi Perzinaan dalam Hukum Pidana Islam

Terhadap pelaku perzinaan, ditentukan tiga bentuk hukuman,

yaitu hukuman cambuk (dera/jilid), pengasingan dan rajam.83 Dan

perbuatan zina digolongkan menjadi dua bagian, yaitu :

a. Zina muhsan

Zina muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang sudah

menikah. Artinya yang dilakukan oleh suami, isteri, duda maupun

janda.

b. Zina ghairu muhsan

Zina ghairu muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang

belum pernah menikah.84

Terhadap kedua jenis tindak pidana perzinaan tersebut syariat

Islam memberlakukan dua sanksi yang berbeda, yaitu:

1) Hukuman Dera dan Pengasingan

Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan untuk pelaku zina

ghairu muhsan, sedangkan hukuman rajam ditettapkan untuk pelaku

83
H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Fiqh Jinayah, (Bandung, Pustaka Setia,
2000), Hlm.73.
84
Djedjen Zainudin,Dkk, Pendidikan Agama Islam, Fiqih, (Semarang, PT. Karya
Toha, 2008), Hlm.23.

43
44

zina muhsan. Apabila pelaku zina itu kedua-duanya ghairu muhsan

maka keduanya dijilid dan diasingkan.85

Hukuman dera merupakan hukuman cambuk yang jumlahnya

seratus kali,86 Dasarnya adalah firman QS.An-Nur (24): 2

           

            

   

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka


deralah tiap- dari keduanya seratus kali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman87.

Berdasarkan dalil hukum tersebut, dapat dikemukakan bahwa

Syari’at Islam tidak membedakan setiap orang, apakah ia seorang raja

atau putra raja dan/ atau hamba sahaya, kaya atau miskin, hitam atau

putih. Oleh karena itu, bila seseorang terbukti melakukan perbuatan

zina tanpa ada keraguan sedikitpun, maka hukuman itu akan

dijatuhkan kepadanya tanpa memandang status sosial. Sebagai contoh

85
H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Fiqh Jinayah, (Bandung, Pustaka Setia,
2000), Hlm.75.
86
H. Ahmad Wardi Musclih, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Fiki Jinayah,
(Jakarta, Sinar Grafika, 2006), Hlm.145.
87
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Hlm.350.

44
45

mengenai pelaksanaan hukuman terhadap orang yang berzina, yaitu

hukuman terhadap putra Umar Bin Kahattab.88

Ayat di atas juga menjelaskan tentang cara pelaksanaan

hukuman zina. Ayat 2 surat An-Nur ini adalah patokan hukum utama,

tetapi belum cukup berpegang pada ayat ini saja, melainkan hendaklah

diperhatikan pula betapa caranya Rasulullah melaksanakan hukuman

itu. Menurut Rasulullah, yang melakukan zina itu dibagi menjadi dua

tingkatan, yaitu yang mendapat hukuman sangat berat dan yang

dijatuhi hukuman berat. Yang mendapat hukuman sangat berat yaitu

orang muhsan.89

Di dalam beberapa hadits telah diterangkan tentang ketentuan

hukuman bagi pezina ghairu muhsan. Hukuman yang dijatuhkan

kepada pezina ghairu muhsan lamanya adalah satu tahun.90 Ketentuan

ini didasarkan pada hadits Nabi saw. Dari ‘ubadah ibn shaimit bahwa

Rasulullah saw. Bersabda :

‫ج دم ئ نفي س‬ ‫ب ال‬ ‫ال‬

Artinya : jejaka dan gadis hukumannya dijilid seratus kali dan

pengasingan selam satu tahun. (HR. Jama’ah kecuali

Al Bukhari dan An-Nasa’i)91

88
H. Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta,
Sinar Grafika, 2015), Hlm. 110.
89
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta, Anggat INKAPI, 2015), Hlm. 245.
90
H. Ahmad Wardi Musclih, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Fikih Jinayah,
(Jakarta, Sinar Grafika, 2006), Hlm.146.
91
Muhammad Ibn Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1996), Hlm.
249.

45
46

Dan beberapa hadist:

‫ خد ا ع ي‬: ‫س م‬ ‫ه عي‬ ‫هص‬ ‫س‬ ‫بن الص مت ق‬ ‫عن ع‬

‫الثيب ب لثيب ج د‬ ‫ج دم ئد نف س‬ ‫بل‬ ‫ق دجعل ه ل ن س يا ال‬

‫ال جم‬ ‫مئ‬

Artinya : Dari Ubaidah bin as-Samith ia berkata : Rasulullah


SAW, bersabda “abillah dari diriku, ambillah dari
diriku, sesungguhnya Allah telah memberijalan keluar
(hukuman) untuk mereka (pezina). Jejaka dan perawan
yang berzina hukumanya dijilid seratus kali dan
pengasingan Selama satu tahun, sedangkan duda dan
janda yang berzina hukumanya di jilid seratus kali dan
di rajam.92

Dari ayat Al-Qur’an dan hadits di atas dapat diketahui bahwa

sanksi bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah berupa jilid 100 kali

dan pengasingan sebagai tambahan dari ketentuan ayat 2 surat an-Nur

bukan sebagai hukuman had, melainkan hukuman ta‟zir yang

didasarkan atas kebijakan hakim sebagai penguasa setempat.93

2) Hukuman Rajam

Hukuman rajam merupakan bentuk hukuman terhadap

pelaku zina muhsan. Jika pelaku zina, baik seorang laki-laki

maupun perempuan kedua-duanya muhsan, maka keduanya

dikenakan hukuman rajam. Apabila yang satu muhsan dan yang

satu ghairu muhsan maka yang muhsan dirajam dan yang ghairu

92
Shahih Muslim, Juz III, Hlm.1316
93
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jina’iy Al-Islamy, (Beirut, Dar Al-Kitab Al-Araby,
1996), hlm.380

46
47

muhsan dijilid dan diasingkan.94 Akan tetapi mengenai hukuman

rajam tidak terdapat ketentuan satu ayat pun dalam Al Quran,

melainkan terdapat dalam beberapa hadist Nabi SAW. Yang

kesahihanya tidak diragukan, antara lain;

‫يد ين خ لد الج ي ضي ه ع ه ه‬ ‫ضي ه ع ه‬ ‫عن ابي ه ي‬

‫ي‬ ‫ه ع يه س م ف‬ ‫هص‬ ‫س‬ ‫جا من ااع ا ات‬ ‫قاا‬ ‫ان‬

‫ه‬ ‫ال صم اا خ‬ ‫هف‬ ‫ه انشد ه اا قضيت لي ب ت‬ ‫س‬

‫ه‬ ‫هص‬ ‫س‬ ‫ه ا ئد لي ف‬ ‫بت‬ ‫اف ه م ه نعم ف قض بي‬

‫ى ا ف ن ب م اته اني اخ‬ ‫عسيف ع‬ ‫ ا اب ي ك‬. ( ‫ع يه س م ) قل‬

‫ني ان‬ ‫فس لت اىل الع م ف خ‬ ‫اب ي ال جم ف تد يت م ه ب ته ش‬ ‫ا ع‬

‫ه‬ ‫س‬ ‫ام ا ى ا ال جم ف‬ ‫ا ع‬ ‫تغ يب ع‬ ‫اب ي ج د م ئ‬ ‫ع‬

‫الغ م‬ ‫ه ال ليد‬ ‫بت‬ ‫نفسي بيد اقضين بي‬ ‫ع يه س م ال‬

‫تغ يب ع اغد ي‬ ‫اب ك ج د م ئ‬ ‫ع‬

‫انيس ال ام ا ى ا ف ء اعت فت ف ج‬

Artinya : Dari Abu Hurairah dan Zaid Ibn Khalid keduanya


berkata: kami bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba ada
seseorang yang berdiri dan berkata “aku akan
bersumpah kepada Allah dihadapan engkau kecuali
engkau beri putusan kepada kami dengan dasar kitab
Allah. Kemudian ada yang lebih pandai membantah
berkata “beri keputusan kepada kami dengan dasar
kitab Allah dan izinkanlah aku, dan menyuruh orang
tersebut untuk melapor, maka ia berkata “anak laki-
laki ku adalah seorang buruh pada seseorang, dia
berzina dengan majikan wanitanya, aku akan menebus
perbuatan itu dengan seratus ekor kambing dan

94
H. Ahmad Wardi Musclih, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Fikih
Jinayah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), Hlm.145.

47
48

seorang budak, kemudian aku tanyakan kepada orang-


orang pandai maka menurut mereka bahwa anak laki-
laki saya itu harus didera seratus kali, dan diasingkan
selama satu tahun, serta istri majikan itu harus
dihukum rajam, maka Nabi SAW bersabda: demi Dzat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku
akan putuskan permasalahan kalian, dan anak laki-
lakimu harus dihukum dera seratus kali dan diasingkan
selama satu tahun, dan kamu wahai Unais, telitilah
wanita itu, jika ia mengaku, maka rajamlah dan
kemudian Unais menelitinya dan ternyata wanita
tersebut mengaku, maka wanita itu dirajam. (HR.
Bukhori).95

Hadist di atas jumhur ulama telah sepakat bahwa sekalipun di

dalam Al-Qur’an tidak disebut hukuman rajam, namun hukuman ini telah

diakui keeksistensiannya.96

Adapun dalam memberikan sanksi terhadap pelaku zina dalam

Islam, tentu harus melakukan pembuktian atas perbuatan tindak pidana

perzinaan tersebut.

a. Pembuktian dalam hukum pidana Islam

Di dalam hukum Islam, pembuktian biasa disebut dengan

al-bayyinah, secara etimologi berarti keterangan, yakni segala

sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang haq (benar).97

Secara terminologi al-bayyinah adalah membuktikan suatu perkara

95
Al-Bukhari, Jilid 4, hlm. 2727.
96
Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Beirut, Dar Al Fikr, 1996),
Hlm.106.
97
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklpedi Hukum Islam Jilid I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), Hlm.206.

48
49

dengan mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai batas

keyakinan98

Al-bayyinah didefinisikan oleh ulama fiqih sesuai dengan

pengertian etimologis. Jumhur ulama’ fiqih mengartikan al-bayyinah

secara sempit, yaitu sama kesaksian. Namun Ibnu Qayyim Al-

Jauziyah Al Bayinah mengandung pengertian yang lebih luas dari

definisi jumhur ulama tersebut. Menurutnya, kesaksian hanya salah

satu jenis dari al-bayyinah yang dapat digunakan untuk mendukung

dakwah seseorang. Al bayyinah didefiniskan Ibnu Qayyim Al-

Jauziyah sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

menjelaskan yang haq (benar) di depan majelis hakim, baik berupa

keterangan, saksi, dan berbagai indikasi yang dapat dijadikan

pedoman oleh majlis hakim untuk mengembalikan hak kepada

pemiliknya.99

Bayyinah dalam istilah fuqaha, sama dengan syahadah

(kesaksian). Tetapi Ibnu Qayyim memaknai bayyinah dengan segala

yang dapat menjelaskan perkara.

b. Dasar Hukum Pembuktian

Keharusan pembuktian dalam hukum Islam didasarkan

antara lain pada firman Allah swt, Q.S. Al-Baqarah : 282, yang

berbunyi:

98
Sobhi Mahmassari, Falsafat Al-Tasyri’ Fi Al Islamy, Terjemahan, Ahmad Sudjono,
Filsafat Hukum Islam, (Bandung: PT. Alma Arif, 1976), Hlm. 239
99
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), Hlm. 207

49
50

         

      


     

        


Artinya : dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil.100

“Dan hendaklah kamu adakan dua orang saksi dari laki-laki

kamu”. Disini dijelaskan dua orang saksi laki-laki. Meskipun disini

tidak disebutkan bahwa kedua saksi itu mesti adil, dengan sendirinya

tentulah dapat difahamkan bahwa keduanya tentu mesti adil kalau

pada penulis dan wali sudah diisyaratkan berlaku adil. Dalam kata

syahid sudah terkandung makna bahwa kedua saksi itu hendaklah

benar-benar mengetahui dan menyaksikan perkara yang dituliskan

itu, jangan hanya semata-mata hadir saja, sehingga kalau perlu

dimintai keterangan dari mereka dibelakang hari, mereka sanggup

menjelaskan yang mereka ketahui.101

Perintah untuk membuktikan ini juga didasarkan pada

sabda Nabi Muhammad saw, yang berbunyi:

‫سم‬ ‫هعي‬ ‫هص‬ ‫س‬ ‫ا‬ ‫ضي ه ع‬ ‫عن ابن ع‬

‫ ل م‬, ‫م ء ج ام ال م‬ ‫بد ع اىم ا ع ن‬ ‫ ل يعط ال‬: ‫ق‬


100
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, hlm.350.
101
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Anggata INKAPI, 2015), hlm. 561.

50
51

‫ال د ع ع ي‬ ‫الي ين ع‬

Artinya: Dari Ibnu Abbas Ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda:


“sekiranya diberikan kepada manusia apa saja yang
digugatnya, tentulah manusia akan menggugat apa yang
ia kehendaki, bahwa jiwa maupun harta akan tetapi
sumpah itu dihadapkan kepada tergugat.102

Hadits tersebut menunjukkan bahwa perkataan seorang

pendakwa tidak dapat diterima hanya dengan dakwaan semata,

bahkan dakwaannya itu harus dia kuatkan dengan bukti atau

pengakuan dari terdakwa. Itulah pendapat yang dianut oleh kaum

salaf dan khalaf. Hadits tersebut juga menyatakan bahwa seorang

pendakwa harus mendatangkan bukti, dan orang yang

mengingkarinya wajib menyampaikan sumpah.103

c. Macam-Macam Alat Bukti

Pada dasarnya alat bukti adalah suatu yang dapat

menampakkan kebenaran. Dipandang dari segi pihak-pihak yang

berperkara alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa digunakan

oleh pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim dimuka

pengadilan. Dipandang dari segi pengadilan yang memeriksa

perkara, alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa digunakan oleh

hakim untuk memutuskan perkara. Jadi alat bukti tersebut diperlukan

oleh pencari keadilan ataupun pengadilan.104

102
Muslim, Shahih Muslim, Juz II, (Bandung: Ma’arif), Hlm. 59
103
Abu Abdiah Muhammad, Ensiklopedia Hadis-Hadis Hukum, (Jakarta: Darus Sunnah,
2013), Hlm.1367
104
Inayah Yusnita, Skripsi, Hasil Tes DNA (Deoxyribonucleicaid) Sebagai Alat Bukti
Alternatif Dalam Jarimah Zina, IAIN Walisongo Semarang, Hlm.38

51
52

Alat-alat bukti dalam hukum acara Islam, Ibnu Qayyim

berpendapat bahwa alat bukti adalah bukti yang diajukan di dalam

pengadilan untuk menguatkan penggugat. Untuk memberikan dasar

keppada hakim akan kebenaran peristiwa yang yang didalilkan para

pihak yang dibebani pembuktian diwajibkan mengajukan alat-alat

bukti untuk membuktikan peristiwa-peristiwa dimuka

persidangan.105

Menurut kebanyakan fuqaha, alat bukti itu ada 7 (tujuh)

macam yaitu:

1. Al-Iqrar

Al-Iqrar adalah menetapkan dan mengakui sesuatu hak

dengan tidak mengingkari.106 Yang dimaksud dengan pengakuan

dalam dunia peradilan adalah mengakui adanya hak orang lain

yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau

berstatus sebagai ucapan meskipun untuk masa yang akan

datang.107 Sesuai dengan firman Allah swt dalam Q.S. An-nisa

ayat 135 yang berbunyi:

          



105
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.93.
106
Ibid, hlm. 94.
107
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), Hlm.40

52
53

Artinya: wahai orang-orang yang beriman, jadlah kamu orang


yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri.108

Bukti atau hujjah yang paling kuat adalah pengakuan

tergugat. Untuk membenarkan pengkauan itu dalam keadaan

berakal, baligh, tidak dipaksa dan bukan orang yang berada

dalam bawah tekanan orang lain. Oleh karenanya, pengakuan

orang-orang yang dipaksa, anak kecil, orang gila dan

sebagainya, tidaklah dianggap sah.

Apabila tergugat sudah memberikan pengakuan, maka

dia tidak dapat menarik kembali pengakuannya dalam hal-hal

yang mengenai hak hamba, tetapi dia tetap menarik kembali,

dalam perkara zina dan perkara arak. Dalam hal-hal yang

berhubungan dengan hak-hak Allah, menurut jumhur ulama’

dapat ditarik kembali. Akan tetapi penganut-penganut madzhab

zhahairi tidak membenarkan ditarik kembali pengkauan dalam

segala bidang.109

2. Syahadah (kesaksian)

Syahadah adalah cara yang dipakai untuk menetapkan

tnidak pidana. Kebanyakan tindak pidana ditetapkan melalui

saksi dan sangat sedikit yang ditetapkan melalui saksi. Dengan

demikian, sebagai salah satu cara menetapkan tindak pidana,

108
109
Hasbi Ash Shiddieqy, Pradilan Dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT.Pustaka
Rizqi Putra, 1997), Hlm.137.

53
54

kesaksian memiliki peran sangat penting dalam menetapkan

tindak pidana.110

Adapun dalil firman Allah swt yang berkaitan dengan

kesaksian adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 282:

         

    


Artinya: dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki diantaramu. Jika taka da dua
orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai.111

a. Yamin

Menurut ahli fiqih adalah sumpah (yamin) ialah

suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau

diucapkan dengan nama Allah, bahwa ucapannya itu benar

dengan mengingat sifat maha kuasanya Allah dan percaya

siapa yang memberi keterangan yang tidak benar akan

memperoleh siksanya.112

b. nukul

penolakan pihak tergugat untuk bersumpah dalam

menguatkan haknya. Jika tergugat menolak untuk

bersumpah didepan majelis hakim, hal ini merupakan

110
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam IV, (Jakarta: PT. Kharisma
Ilmu, 2009), hlm. 117.
111
112
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.100.

54
55

indikasi pengakuannya atas apa yang digugat oleh

penggugat.113

c. Qasamah

Secara bahasa adalah al-qasm atau sumpah (al-

yamin) atau diartikan sebagai al-wasamah yaitu

tampan/indah. Ahli bahasa berpendapat bahwa qasamah

adalah segolongan orang yang bersumpah. Maka qasamah

dalam istilah fuqaha adalah sumpah yang diulang-ulang

dalam tuduhan pembunuhan. Yang menyumpah adalah para

wali korban untuk memastikan pembunuhan atas orang

yang dicurigai melakukan qasamah untukmenghilangkan

kecurigaan pembunuhan yang diarahkan kepada dirinya. 114

3. Ilmu pengetahuan hakim

Para ulama salaf maupun khalaf telah berselisih

pendapat dalam masalah ini. Di dalam madzhab ahmad ada

tiga riwayat yaitu:

a. Riwayat yang masyhur dikembangkan pengikutnya

menyebutkan, bahwa dalam perkara pidana Ahmad tidak

memutus berdasarkan pengetahuannya.

b. Hakim boleh memutus berdasarkan pengetahuannya

dalam perkara pidana had dan yang lainnya secara mutlak.

113
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam Jilid I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), hlm.207.
114
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Iv, (Jakarta: Pt.Kharisma
Ilmu), hlm.123.

55
56

c. Hakim dibolehkan menjatuhkan keputusan berdasarkan

pengetahuannya kecuali dalam perkara pidana had.

Menurut madzhab hanifah, dalam perkara pidana,

hakim tidak boleh menjatuhkan keputusannya berdasarkan

pengetahuannya, karena ia merupakan contentious yang di

dalamnya terdapat hak Allah.dalam menjalankan tugasnya,

hakim adalah wakil Allah untuk menegakkan had sessuatu

dakwaan. Kalau terdapat perkara-perkara di dalamnya terdapat

hak anak Adam, hakim boleh menjatuhkan keputusannya

berdasarkan pengetahuannya. 115

4. Qarinah

Secara bahasa diambil dari kata “muqaranah” yang

berarti mushohabah (penyertaan/petunjuk). Secara istilah

qarinah diartikan dengan :

‫اح ال‬ ‫اا ل التي يست ط ال ضي من ق ئع الدع‬

‫ب جت‬

Artinya: tanda-tanda yang merupakan hasil kesimpulan hakim

dalam menangani berbagai kasus melalui ijtihad.116

Tanda-tanda tersebut yang dapat menimbulkan

keyakinan. Dalam ensiklopedi hukum Islam qarinah yaitu

115
Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), hlm.335.
116
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.88.

56
57

berbagai indikasi yang menunjukkan kebenaran atau

ketidakbenaran suatu gugatan.117

Qarinah terbagi menjadi dua yaitu:

a. Qarinah qauniyah yaitu qarinah yang ditemukan oleh

undang-undang.

b. Qarinah qodhoiyyah yaitu qarinah yang merupakan hasil

kesimpulan hakim yang setelah memeriksa perkara.118

2. Bentuk sanksi Bagi Pelaku Zina Dalam KUHP

Di dalam KUHP, ancaman hukuman maksimal yang diberikan

kepada pelaku zina adalah Sembilan bulan pidana penjara. Dalam

RUUKUHP yang baru telah disebutkan tentang ancaman hukuman untuk

perbuatan zina adalah lima tahun penjara.

Pasal 483 RUU KUHP 2019

(1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun.
a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan yang bukan isterinya;
b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
c. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa
perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki
tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
e. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam
perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

117
Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), hlm. 208.
118
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004), hlm. 89.

57
58

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan suami, isteri, atau pihak ketiga
yang tercemar.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku ketentuan pasal 25, pasal 26 dan pasal 28.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan sidang
pengadilan belum dimulai.

Pasal 484
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan anak-anak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
kategori IV dan paling banyak kategori VI.

Pasal 485
Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami isteri
di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. 119
Berdasarkan rumusan dari Rancangan Undang-Undang KUHP dari

pasal 483 sampai 485 masih terdapat beberapa pembahasan yaitu

perumusan undang-undang telah melakukan overkriminalisasi terhadap

semua pelaku persetubuhan yang tidak terikat oleh ikatan perkawinan

menjadi tindak pidana zina.120

Meskipun belum sah disidangkan, tetapi setidaknya ada

perencanaan sanksi zina. Dan sepertinya terjadi perluasan kriteria zina.

Sebagai buktinya dalam RUU KUHP telah dijelaskan definisi kumpul

kebo, yaitu perbuatan tinggal serumah tanpa ada ikatan perkawinan.121

119
RUU KUHP, hlm. 136.
120
Eko Sugiyanto, Dkk, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan
Tindak Pidana Perzinaan, Diponegoro Law Jurnal, hlm.6.
121
Syamsul Huda, Zina Dalam Perspektif Hukum Dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Jurnal, STAIN Kediri, hlm. 390.

58
59

a. Pembuktian Perzinahan Dalam KUHP

Pembuktian dalam perkara pidana adalah bertujuan untuk

mencari kebenaran materiel, yaitu kebenaran sejati atau yang

sesungguhnya. Demikian pula dalam persidangan, hakim dalam perkara

pidana adalah aktif, artinya hakim berkewajiban untuk mendapatkan

bukti-bukti yang cukup untuk membuktikan tuduhan kepada si

tertuduh.122

Masalah pembuktian adalah yang sangat penting dan utama,

sebagaimana menurut pasal 6 ayat 2 KUHAP, bahwa” tidak seorangpun

dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat

pembuktian yang sah menurut Undang-Undang, mendapat keyakinan

bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah

bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.123

1. Pengertian pembuktian

Menurut simorangkir, pembuktian adalah usaha dari yang

berwenanag untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin

hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar

supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan

keputusan seperti perkara tersebut.124

Pembuktian dalam hukum acara pidana diartikan sebagai

suatu upaya mendapat keterangan-keterangan melalui alat bukti dan

122
Andi Sofyan, Dkk, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014),
hlm. 229.
123
Ibid, hlm.230.
124
Ibid, hlm.230.

59
60

barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya

perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada

tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.125

Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan

berarti memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu

sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan

meyakinkan.126

Menurut beberapa ahli pembuktian adalah: Menurut

Bambang Peornomo bahwa, suatu pembuktian menurut hukum pada

dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau

hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang

layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu

yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam

hubungannya dengan perkara pidana.127

Darwan prints mengatakan bahwa pembuktian adalah

pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan

terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus

mempertanggungjawabkannya.128

125
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, 2007), hlm.185.
126
Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm.3.
127
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, 2007), hlm.185.
128
Andi Sofyan, Dkk, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014),
hlm. 230.

60
61

R. Subekti yang dimaksud dengan membuktikan ialah

meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang

dikemukakan dalam suatu persengketaan.129

Yahya Harahap menjelaskan arti pembuktian ditinjau dari

segi hukum acara pidana, yakni ketentuan yang membatasi sidang

pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan

kebenarannya.130

2. Sistem pembuktian dalam hukum positif

Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori

pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam melakukan

pemeriksaan terhadap terdakwa disidang pengadilan. Berdasarkan

praktik peradilan pidana, dalam perkembangannya dikenal ada

empat macam teori pembuktian. Masing-masing teori ini memiliki

karakteristik yang berbeda-beda dan menjadi ciri dari masing-masing

teori tersebut.

a. Berdasar undang-undang secara positif (positif wettelijk bewijs

theorie)

Teori ini dikatakan “secara positif”, karena hanya

didasarkan kepada undang-undang melulu, artinya jika sesuatu

perbuatan telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti yang

disebutkan dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak

129
R.Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), hlm.1.
130
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, 2007), hlm.185.

61
62

diperlukan lagi. Jadi sistem pembuktian ini disebut juga teori

pembuktian formal (formele bewijstheori).131

Simons memaparkan dalam bukunya Beknopte

Handleiding tot het wetboek van strafvordering yang diterbitkan

pada tahun 1925 bahwa sistem atau pembuktian berdasarkan

undang-undang secara positif, untuk menyingkirkan semua

pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat

menurut peraturan pembuktian yang keras.132

b. Berdasar keyakinan hakim melulu (conviction invite)

Dalam sistem ini, hakim hanya berdasar atas perasaan

belaka dalam menentukan, apakah suatu keadaan atau suatu

peristiwa harus dianggap terbukti atau tidak atas kesalahan

terdakwa.133

c. Pembuktian bebas

Menurut teori ini, bahwa alat-alat dan cara

pembuktian tidak ditentukan atau terikat dalam undang-

undang, namun demikian teori ini mengakui adanya alat-alat

bukti dan cara pembuktian, tetapi hakim dapat menentukan

alat-alat bukti dan cara pembuktian yang tidak diatur dalam

131
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm.233.
132
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), hlm. 229.
133
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm.234.

62
63

undang-undang. Jadi dasar putusan hakim bergantung pada

keyakinan dan pendapatnya sendiri.134

d. Berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (la

conviction rais onne)

Menurut teori ini, bahwa hakim dapat memutuskan

seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan

mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai

dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandasakan

kepada aturan-aturan pembuktian tertentu. Jadi putusan

hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.135

Dengan penerapan sistem ini, pemidanaan itu telah

berdasarkan pada sistem pembuktian ganda, yaitu pada

peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dasar

keyakinan hakim bersumber pada peraturan undang-

undang.136

3. Macam-macam alat bukti

Menurut sistem HIR, dalam acara perdata/pidana

hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa

hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat

bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja.

134
Ibid, hlm. 235.
135
Ibid, hlm. 235.
136
H.P.Panggabean, Hukum Pembuktian Teori-Praktik Dan Yurisprudensi Indonesia,
(Bandung: PT.Alumni, 2014), hlm.82.

63
64

Berdasarkan pasal 184 ayat 1 KUHAP, bahwa yang

termasuk alat bukti yang sah adalah:

a. Keterangan saksi

Dalam pengertian tentang keterangan saksi, terdapat

beberapa pengertian lainya yang perlu dikemukakan, yaitu:

1) Saksi

Saksi adalah orang yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan

peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (pasal 1 angka

26 KUHAP)

2) Kesaksian

Kesaksian menurut r. soesilo adalah suatu

keterangan dimuka hakim dengan sumpah, tentang hal-hal

mengenai kejadian tertentu, yang ia dengar, lihat dan

alami sendiri.

3) Keterangan saksi

Yang dimaksud dengan keterangan saksi menurut

pasal 1 angka 27 KUHAP adalah “salah satu alat bukti

dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,ia

64
65

lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan

dari pengetahuannya itu.137

b. Keterangan ahli

Di dalam KUHAP telah merumuskan tentang

pengertian keterangan ahli, sebagai berikut:

1) Menurut pasal 1 angka 28 KUHAP, bahwa “

keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh

seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana

guna kepentingan pemeriksaan.

2) Menurut pasal 186 KUHAP, bahwa keterangan ahli ialah

apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan.138

c. Surat

Menurut sudikno mertokusumo, bahwa alat bukti

tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-

tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati

atau untuk menyampaikan buah fikiran seorang dan

digunkan sebagai pembuktian.

Demikian pula menurut pasal 187 KUHAP, bahwa

yang dimaksud dengan surat sebagaimana tersebut pada

pasal 184 ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau

dikuatkan dengan sumpah, adalah:

137
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 239.
138
KUHAP Dan KUHP, hlm. 213.

65
66

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang

dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang

dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang

kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang

dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas

dan tegas tentang keterangannya itu.

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh

pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana

yang menjadi tanggung jawabnya dan yang

diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu

keadaan.

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat

pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal

atau sesuatu keaadaan yang diminta secara resmi dari

padanya.

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada

hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang

lain.139

d. Petunjuk

Menurut pasal 188 KUHAP, bahwa yang dimaksud

dengan alat bukti petunjuk adalah:

139
Ibid, hlm.280.

66
67

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang

karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan

yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,

menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana

dan siapa pelakunya.

2. Petunjuk sebgaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya

dapat diperoleh dari:

a. Keterangan saksi

b. Surat

c. Keterangan terdakwa

3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk

dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim

dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan

pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan

keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.140

e. Keterangan terdakwa

Menurut pasal 189 KUHAP, bahwa yang dimaksud

dengan alat bukti berupa keterangan terdakwa, adalah:

1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan

disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia

ketahui sendiri atau alami sendiri.

140
Ibid, hlm. 280.

67
68

2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang

dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di

sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh sebuah

alat bukti yang sah sepanjang itu mengenai hal yang

didakwakan kepadanya.

3. Keteragan terdakwa hanya bisa digunakan terhadap

dirinya sendiri.

4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan

yang didakwakan kepadanya, melainkan harus diseratai

dengan alat bukti yang lain.141

Jadi berdasarkan pasal 189 KUHAP di atas, bahwa

keterangan terdakwa harus diberikan di depan sidang saja,

sedangkan di luar sidang hanya dapat digunakan untuk

menemukan bukti di sidang saja.

Demikian pula apabila terdakwa lebih dari satu orang,

maka keterangan dari masing-masing terdakwa untuk dirinya

sendiri, artinya keterangan terdakwa satu dengan terdakwa

lainnya tidak boleh dijadikan alat bukti bagi teradakwa

lainnya.142

141
Ibid, hlm. 281.
142
Andi Sofyan, Hukum Ac Ara Pidana, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 266.

68
69

f. Barang bukti

Dalam HIR Pasal 63 sampai pasal 67 HIR

disebutkan, bhwa “ barang-barang yang dapat digunakan

sebagai bukti, dapatlah dibagi atas:

1. Barang yang merupakan objek peristiwa pidana

Misalnya dalam perkara pencurian uang atau

hewan, maka uang atau hewan tersebut digunakan

sebagai barang bukti,.

2. Barang yang merupakan produk peristiwa pidana

Misalnya uang palsu atau obat-obatan dan lain

sebagainya.

3. Barang yang digunakan sebagai alat pelaksanaan

peristiwa pidana

Misalnya senjata api atau parang yang

digunakan untuk penganiayaan.

4. Barang yang terkait di dalam peristiwa pidana.

Misalnya bekas-bekas darah pada pakaian,

bekas sidik jari, dan lain sebagainya.143

143
Ibid, hlm.266.

69
70

B. Persamaan dan Perbedaan Sanksi Perzinaan dalam Hukum Pidana

Islam dan KUHP

Di dalam hukum pidana islam, zina merupakan tindak pidana yang

di ancam hukuman hadd atau hudud, yakni hukuman yang telah di tetapkan

oleh Allah di dalam Al-Qur’an ataupun hadist Nabi. Adapun larangan dari

pada tindak pidana zina terdapat dalam surat Al Isro‟ ayat 32.

         

Artinya : dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu

adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.

(QS.AlIsro’ (17): 32 ).

Di dalam surat Al Isro‟ tersebut sudah jelas, bahwa perbuatan yang

mendekati zina tidak boleh, apalagi berbuat zina. Islam sangat melarang

keras perbuatan zina.

Di dalam hukum islam sangatlah tegas dijelaskan bahwa zina

merupakan perbuatan yang mempunyai konsekuensi yang besar, dan

penerapannya kerap membuat pelaku jera. Sementara itu di dalam Hukum

Positif Indonesia juga mengatur tentang larangan zina dan memang pada

dasarnya hal tersebut dipengaruhi oleh budaya timur yang menjunjung

tinggi nilai dan norma kesopanan.

Adapun larangan perzinaan terdapat dalam pasal 284 KUHP, sebagai

berikut:

70
71

Pasal 284 KUHP :

(1). Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),

padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya,

b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal

diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya;

2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal

diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan

perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut

bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang

tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam

tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau

pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang

pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami-istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan

selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum

putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.144

144
Moeljatno, KUHP, 2001, (Jakarta:PT.Bumi Aksara),hlm.104.

71
72

Dari pemaparan uraian di atas dapat diketahui bahwa persamaan

dalam hukum pidana Islam dan KUHP tentang perzinaan adalah sama-sama

menganggap bahwa perzinaan merupakan suatu perbuatan yang sangat

tercela dan keji, yang dimana perbuatan tersebut harus diberikan sanksi

berdasarkan aturan-aturan yang telah ada.145

Sedangkan perbedaan Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif

Indonesia Tentang Perzinaan dapat digambarkan sebagai berikut :

KUHP Hukum Pidana Islam

 Merupakan delik aduan  Merupakan delik biasa

karena dipengaruhi faham karena melanggar hak

individualism, liberalism, allah, masyarakat dan

dan individual rights. keluarga dari pelaku zina.

 Harus ada pihak yang  Tidak perlu menunggu ada

mengadu (karena masuk pihak yang mengadu tetapi

ranah privat). langsung dapat di proses.

 Hanya suami, isteri dan

pihak ketiga yang dapat

mengadukan.

Tindak pidana perzinaan dalam Islam merupakan delik biasa bukan

merupakan delik aduan. Islam itu memandang bahwa zina itu termasuk dosa

besar yang harus ditindak tanpa menunggu pengaduan dari oang yang

145
Jimly Ashiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, cet 4, (Bandung:
Angkasa, 1996), hlm.93.

72
73

bersangkutan. Karena sudah jelas ada nas yang melarang tindak pidana

tersebut. Apabila ada seseorang yang mengetahui ada tindak pidana

perzinaan maka ia dapat melaporkan tindakan tersebut. Namun perlu juga

diperhatikan dalam kasus perzinaan ini hukum Islam tidak sembarangan

dalam memprosesnya. Ada syarat-syarat yang harus di perhatikan sebelum

melakukan pembuktian dalam kasus perzinaan.146

Berbeda dengan Hukum Pidana Islam, KUHP Indonesia Pasal 284

mengkategorikan perzinaan itu dalam delik aduan absoluth. Artinya tidak

dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami, isteri yang

dirugikan (dimalukan). Menurut KUHP, yang dapat melakukan pengaduan

adalah suami, isteri, atau pihak ketiga yang tercemar. Apabila dalam kasus

perzinaan ini tidak ada pengaduan dari pihak-pihak yang telah disebutkan

dalam Pasal 284 ayat (2) maka suatu delik perzinaan tidak dapat diproses

secara hukum.147

Berdasarkan uraian diatas, wajar saja kalau KUHP yang

notabennya merupakan produk asli dari Barat mengkategorikan perzinaan

sebagai delik aduan. Karena hukum Barat itu di pengaruhi dengan ajaran

yang berfaham individualism, liberalisem, dan individual rights. Jimly

Ashiddiqie berpendapat bahwa perzinaan dalam hukum barat di anggap

sebagai delik aduan hanya keharusan moral untuk setia kepada suami dan

isteri.148

146
Ibid, hlm. 94.
147
Ibid, hlm. 95.
148
Ibid, hlm. 95.

73
74

Namun berbeda dengan Hukum Pidana Islam yang menyatakan

bahwa perzinaan itu bukan merupakan delik aduan yang memerlukan

adanya pengaduan dari pihak-pihak yang berhak supaya delik ini bisa

diproses secara hukum. Menurut hukum pidana Islam delik perzinaan

merupakan perlanggaran terhadap hak Allah, hak masyarakat, dan hak

keluarga dari pelaku zina. Sehingga wajar apabila tindak pidana zina dalam

hukum pidana Islam diancam dengan hukuman yang berat.

C. Faktor Penghambat dalam Penerapan Hukum Islam Di Indonesia

Berbicara tentang penerapan hukum Islam, kita akan segera

teringat pada berbagai pergerakan-pergerakan Islam yang tidak pernah lelah

menyuarakan diberlakukannya hukum Islam, mulai dari mereka yang

tergolong radikal sampai pada yang moderat, mulai dari yang menginginkan

itu sekarang juga sampai pada yang memberikan toleransi terhadap

penerapan secara bertahap atau setelah siap infrastrukturnya. Ini

menunjukkan bahwa dikalangan internal Islam sendiri terdapat berbagai

versi yang muncul dengan berbagai aspirasi dalam menanggapi isu

kemungkinan di berlakukannya Syari’at Islam di Indonesia.149

Perdebatan mengenai peluang penerapan hukum Islam di

Indonesia, tampaknya polemik yang tak pernah berkesudahan sejak sidang

BPUPKI/PPKI pada tahun 1945. Pada masa orde baru, tema ini muncul

kembali melalui perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29 UUD.

149
https://rullyasrul83-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/rullyasrul83.wordpress.com/2009/08/20/dilema-penerapan-hukum-
islam-di-indonesia/amp/?amp_js_v=0.1&usqp=mq331AQFKAG4AQE%3D#_ftn31 , diakses pada
tanggal 14-11-2019.

74
75

Dua fraksi partai Islam yaitu fraksi (F-PPP) dan fraksi (F-PBB) dalam

pemandangan umum mereka bersikeras untuk memasukkan kembali piagam

Jakarta dalam batang tubuh UUD 1945, khususnya pasal 29. 150

Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan

warga Negara dalam menjalankan ibadahnya. Dalam perspektif taa hukum

Indonesia, fungsi Negara adalah melindungi setiap agama dan pemeluknya

melalui peran menjamin pelaksanaan ibadah, memberikan dukungan

fasilitas dan menjaga kerukunan antar ummat beragama. Agama haruslah

menjadi landasan moral, karenanya setiap peraturan perundang-undangan

yang bertentangan dengan moral dan agama mesti dikesampingkan. Secara

normative, menjalankan syari’at Islam secara kaffah merupakan perintah

Allah swt, dan mengabaikannya dikategorikan sebagai manusia kafir,

dzalim, atau fasik.151

Syariat Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada

Rasulullah untuk disampaikan kepada umatnya. Ia bukan sebuah teori, tetapi

merupakan ajaran ilahi yang harus dipelajari, dan diberlakukan untuk

menciptakan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat serta

keseimbangan antara kewajiban dan hak.152

Membicarakan tentang pemberlakuan hukum Islam, maka akan

sangat berkaitan dengan proses bagaimana unsur-unsur hukum Islam itu

dapat menjadi hukum positif atau bagian dari hukum nasional, disamping

150
Ibid.
151
A. Rahmat rosyadi, dkk, formalisasi syari’at Islam dalam perspektif tata hukum
Indonesia, (bogor: ghalia, 2006), hlm. 9
152
Ibid. hlm. 10.

75
76

hukum adat dan hukum barat.adanya politisasi hukum yang dilakukan

colonial Belanda kearah mereduksi hukum Islam serta menjauhkan dari

masyarakatnya, menyebabkan hukum Islam sampai saat ini selalu

terpinggirkan dalam proses positivisasi hukum dalam perspektif tata hukum

di Indonesia.153

Dalam kajian ilmu hukum pada umumnya, ada yang disebut

hukum positif (ius constitutum) dan ada yang disebut dengan hukum yang

dicita-citakan (ius constituendum).

a. Ius constitutum adalah yaitu hukum yang berlaku dalam suatu Negara

pada waktu tertentu. Misalnya,ius consitutum Indonesia adalah tata

hukum Indonesia pada waktu sekarang, yang disebut juga tata hukum

Indonesia.

b. Ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan

hidup dan Negara, namun belum merupakan norma dalam betuk

perundang-undangan atau berbagai ketentuan lain yang diharapkan

berlaku pada waktu mendatang.154

Eksistensi hukum Islam di Indonesia yang menjadi hukum positif

hanya yang berkaitan dengan hukum privat, yaitu ubudiayah dan

muamalah. Sedangkan yang menjadi hukum publik Islam sampai saat ini

masih menjadi hukum yang dicita-citakan. Sehingga apabila persoalan

seputar penting tidaknya syari’at Islam dilegislasikan menjadi hukum

153
Ibid.
154
Abintoro prakoso, pengantar ilmu hukum, (Surabaya: laksbang pressindo, 2017), hlm.
81.

76
77

nasional merupakan satu wacana yang kerap melahirkan perdebatan yang

cukup panjang.155

Misalnya, Azyumardi Arza mengatakan bahwa dalam menanggapi

soal kemungkinan positivisasi syari’at Islam menjadi hukum nasional, yang

harus diperhatikan adalah kondisi umat Islam di Indonesia yang bukan

merupakan realitas monolitik, tapi adalah realitasnya yang beragam, banyak

golongannya, pemahaman keislamannya yang berbeda. Realitas sosiologis

ini dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan viabilitas. Artinya, hukum

Islam tersebut tidak bisa bertahan, bahkan mungkin juga bisa menjadi

kontradiktif ketika lapisan masyarkat muslim yang pemahamannya beda

tadi kemudian tidak sebagaimana yang diharapkan.156

Selain itu Habib Rizieq Shihab, menurutnya penerapan hukum

Islam harus formalistic-legalistik melalui institusi Negara. Ia mengatakan

bahwa syariat Islam secara formal harus diperjuangkan dan harus diamalkan

secara substansial. Tidak ada gunanya memperjuangkan formalitas

sedangkan substansialnya ditinggalkan. Sebaliknya ia tidak setuju bila

mengatakan yang penting substansinya, formalitasnya tidak perlu. Justru

dengan formalisasi, maka substansi bisa diamalkan. Ia juga mengungkapkan

pendapat Imam Al-Ghazali yang berbicara tentang tata Negara Islam, bahwa

“ agama adalah fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa yang

tidak ada fondasinya maka akan runtuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti

155
www.menaraislam.com, strategi menuju penerapan syari’at Islam.
156
Ibid.

77
78

akan hilang”. Karenanya menurut Habib Rizieq Shihab tidak boleh

memisahkan agama dengan kekuasaan.157

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa faktor

yang memang menjadi kendala dalam penerapan hukum Islam atau

positivisasi hukum Islam, sebagai berikut:

1) faktor eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki

antipati terhadap Islam dan Syari’at Islam. Mereka adalah para

pengusung agama dan ideology tertentu di luar Islam, terutama yang

memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa

menyebarluaskan image yang negative tentang Islam.

2) faktor dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis, kecuali

bahwa mereka menolak penerapan syari’at Islam karena akan mengekang

kesenangan mereka. Mereka itulah yang disebut sebagai para hedonis.

3) faktor dari pihak-pihak yang menolak syari’at Islam karena belum

memahami syari’at Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang

salah.

4) Disamping itu, faktor usaha-usaha menuju penerapan syari’at Islam juga

berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul

dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syari’at Islam dan

penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda.

157
Ibid.

78
79

Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-

strategi tersebut saling berseberangan satu sama lain.158

D. Upaya transformasi sanksi zina dalam hukum pidana islam ke dalam

KUHP

Sebagai negara berdasar atas hukum yang berfalsafah Pancasila,

Negara melindungi agama, penganut agama, bahkan berusaha memasukkan

hukum agama, ajaran dan hukum agama Islam dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara, sebagaimana pernyataan Mohammad Hatta, bahwa dalam

pengaturan Negara hukum Republik Indonesia, syariat Islam berdasarkan

Al-Qur’an dan Hadits dapat dijadikan peraturan perundang-undangan

Indonesia sehingga orang Islam mempunyai sistem Syariat yang sesuai

dengan kondisi Indonesia. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dalam salah satu

konsiderannya menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945

menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan suatu rangkaian

kesatuan dengan konstitusi tersebut.159

Dalam hal ini Bustanul Arifin, mengemukakan bahwa prospek

hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional sangat positif karena

secara kultural, yuridis dan sosiologis memiliki akar kuat. Hukum Islam

memiliki serta menawarkan konsep hukum yang lebih universal dan

mendasarkan pada nilai-nilai esensial manusia sebagai khalifatullah.160

Pada masa kolonial Belanda pemberlakuan hukum Islam di

158
ibid.
159
M. Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan
lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 44.
160
Ibid, hlm. 45.

79
80

Indonesia agak tersendat. Pemerintah Belanda berusaha menekan umat

Islam dengan menghambat pemberlakuan hukum Islam secara resmi dengan

dibuatnya aturan-aturan yang sangat merugikan umat Islam. Dinamika

pemberlakuan hukum Islam di Indonesia digambarkan dengan munculnya

berbagai teori yang sebagaimana telah dikemukakan di atas.161

Sejak pemerintah Belanda hengkang dari bumi nusantara,

keberadaan hukum Islam mulai dianggap signifikan dan mendapat perhatian

yang baik di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan nasional.

Usaha mengembalikan dan menempatkan hukum Islam dalam

kedudukannya seperti semula terus dilakukan oleh para pemimpin Islam

dalam berbagai kesempatan. Perjuangan mereka dimulai sejak peletakan

hukum dasar bagi negara kita, yaitu ketika mereka dalam wadah Badan

Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 162

Setelah bertukar pikiran melalui musyawarah, para pemimpin

Indonesia yang menjadi perancang dan perumus UUD Republik Indonesia

kemudian dikenal dengan UUD 1945 mencapai persetujuan yang

dituangkan ke dalam satu piagam yang kemudian dikenal dengan nama

Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Dalam Piagam Jakarta, yang kemudian

diterima menjadi Pembukaan UUD 1945, dinyatakan antara lain bahwa

negara berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat

Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata terakhir ini kemudian oleh

161
Mohammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”.
Dalam Marzuki, Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia
https://marzukiwafi.wordpress.com/2011/02/08/prospek-pemberlakuan-hukum-pidana-islam-
diindonesia/ diakses pada tanggal 17 Juni 2012.
162
Ibid.

80
81

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dihilangkan dan diganti

dengan kata Yang Maha Esa.163

Meskipun usaha menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum

dasar nasional tidak berhasil pada waktu itu, akan tetapi pada perkembangan

selanjutnya berbagai upaya dilakukan oleh para pemimpin dan pemikir

Islam untuk menjadikan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum

dalam pembangunan hukum nasional. Dalam hal ini hukum Islam banyak

memberi kontribusi yang berarti bagi pembangunan hukum nasional.164

Harapan untuk mengembangkan syariat Islam di Indonesia sudah

lama terniatkan, sejak hukum pidana positif berkembang pada zaman

pemerintahan Hindia Belanda. Para perumus bangsa (The Founding

Fathers) kita sudah merencanakan untuk diberlakukannya syariat Islam di

Indonesia. Namun, dengan mendasarkan pada pluralitas penduduk

Indonesia, rencana itu tidak terwujud dan kemudian menjadian Pancasila

sebagai dasar negara Indonesia.165

Perkembangan politik hukum di Indonesia sudah menjalani

pertumbuhan dengan memperhatikan pengaruh dari faktor nilai-nilai

kemasyarakatan dan keagamaan. Maka sudah waktunya para ulama dan

kaum cendekiawan Muslim turut menegaskan kaidah agama, agar para

penganutnya tidak lagi melanggar ajaran agamanya dengan cara self

inforcement. Penegakan hukum (kaidah) agama secara preventif ini sangat

163
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: sinar grafika, 2010). hlm.
127.
164
Ibid. hlm. 128.
165
Marzuki, prospek pemberlakuan hukum, (Jakarta: sinar grafika, 2008), hlm. 65.

81
82

membantu pemantapan pola penegakan hukum (law enforcement) negara

secara preventive represive. Tujuannya, adalah agar masyarakat memahami

dan menaati kaidah hukum negara dan kaidah agama sekaligus. Dengan

demikian, syariat Islam bukan hanya didakwahkan, tetapi juga dilaksanakan

(self-enforcement) melalui penegakan hukum preventif (bukan represif)

guna mengisi kelemahan norma hukum pidana positif.166

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini

masih merupakan warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal

abad ke-19 Hindia Belanda memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang

pada mulanya masih pluralistis, yakni Undang-undang Hukum Pidana untuk

orang-orang Eropa dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-

orang Bumiputra serta yang dipersamakan (inlanders). Mulai tahun 1918 di

Indonesia diberlakukan satu Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk

seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana)

hingga sekarang. Sejak Indonesia merdeka kitab hukum pidana itu

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP).167

Untuk Hukum Pidana Islam, yang menurut asas legalitas

dikategorikan sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia

secara konstitusional sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal

II Aturan Peralihan UUD 1945. Namun demikian, ketentuan dasar ini belum

ditindaklanjuti dengan instrument hukum untuk masuk ke dalam wujud


166
Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan
Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 245.
167
Ibid, hlm. 245.

82
83

instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP di atas, posisi hukum pidana

Islam belum terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan teoritis, mana

hukum pidana dengan karenanya bagaimana ia ditegakkan.168

Ketiadaan hukum pidana Islam secara tertulis di Indonesia menjadi

penyebab belum dapat terpenuhinya hukum pidana Islam secara legal sesuai

dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah HPI harus benar-benar disiapkan

secara tertulis sebagaimana hukum positif lainnya, bukan langsung

mendasarkannya pada sumber hukum Islam, yakni al-Quran, Sunnah, dan

ijtihad pada ulama (kitab-kitab fikih).169

Hingga sekarang ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian

umat Islam Indonesia keinginan untuk diberlakukannya hukum Islam secara

utuh di Indonesia, termasuk dalam bidang hukum pidana. Hal ini didasari

oleh anggapan bahwa dengan diberlakukannya hukum pidana Islam, maka

tindak pidana yang semakin hari semakin merebak di tengah-tengah

masyarakat sedikit demi sedikit dapat terkurangi. Sanksi yang tidak sepadan

yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana selama ini tidak membuat

jera mereka untuk mengulanginya. 170

Karena itu, sanksi yang tegas seperti yang ada dalam hukum pidana

Islam nampaknya merupakan alternatif terbaik yang dapat mengatasi

permasalahan tindak pidana di Indonesia. Dalam beberapa kasus terlihat

antusiasme masyarakat kita untuk segera menerapkan ketentuan pidana

168
Ibid, hlm. 246.
169
Marzuki, prospek pemberlakuan hukum, (Jakarta: sinar grafika, 2008), hlm. 66.
170
Ibid, hlm. 67.

83
84

Islam, namun karena tidak diizinkan oleh aparat pemerintah, keinginan

untuk melaksanakannya tidak terwujud.171

Telah bertahun-tahun di negara kita diupayakan pembuatan KUHP

yang baru yang dapat disebut KUHP Indonesia. Upaya ini mendapatkan

hasil dengan disiapkannya RUU KUHP yang baru. Dalam RUU ini juga

termuat materi-materi yang bersumberkan pada hukum pidana Islam,

meskipun tidak secara keseluruhan. RUU ini juga sudah beberapa kali

dibahas dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam forum sidang-sidang

di DPR, namun hingga saat ini belum ada kata sepakat dikalangan para

pengak hukum kita tentang materi atau pasal-pasal yang menjadi isi dari

RUU tersebut. Ada sebuah pemikiran yang bijak yaitu adanya

pengintegrasian hukum pidana Islam ke dalam pembentukan hukum pidana

nasional.172

Dalam hal ini Masykuri Abdillah menyarankan agar proses

tersebut dilakukan jika memungkinkan dengan cara pengungkapan materi

hukum Islam secara eksplisit ke dalam RUU KUHP. Namun, jika tidak

memungkinkan ia mengusulkan agar hal itu dilakukan dengan cara

pengungkapan prinsip-prinsip dan moralitasnya saja. Misalnya, tindak

pidana perzinaan dan minum minuman keras tidak mesti harus dihukum

dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk empat puluh kali kepada

pelakunya. Yang paling prinsip adalah bagaimana kedua contoh bentuk

perbuatan itu dianggap sebagai tindak pidana yang tidak sesuai dengan
171
Faisal, Jurnal Ahkam: Menimbang wacana Formalisasi Hukum Pidana Islam di
Indonesia, vol. XII No. 1 Januari 2011, hlm. 48.
172
Marzuki, prospek pemberlakuan hukum, (Jakarta: sinar grafika, 2008), hlm. 68.

84
85

prinsip dan moralitas Islam. Hal ini, menurut Masykuri Abdullah

merupakan proses dari strategi legislasi hukum Islam yang bersifat gradual

dan sejalan dengan kaidah fikih: Ma la yudrakukulluh la yutraku kulluh

(sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan

seluruhnya).173

Kemudian, dalam hal ini, Ahmad Sukardja mencoba mengajukan

dua pendekatan dalam pelaksanaan hukuman pidana Islam, yaitu melalui

pendekatan jawabir dan zawajir. Pendekatan jawabir menghendaki

pelaksanaan secara tekstual berdasarkan nash, di mana hukuman ditegakkan

dengan maksud menebus kesalahan dan dosa si pelaku pidana, maka

pendekatan zawajir lebih melihat bagaimana agar tujuan penghukuman itu

sendiri dapat dicapai, yaitu membuat jera si pelaku dan menimbulkan rasa

takut pada diri orang lain untuk melakukan perbuatan pidana sejenis. 174

Ahmad Sukardja berpendapat bahwa dalam rangka pengintegrasian

hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana nasional, kedua pendekatan ini

patut menjadi pertimbangan. Bila dengan pendekatan zawajir (hukuman

minimal) tujuan penerapan sanksi dapat tercapai, maka pendekatan jawahir

(hukum maksimal) yang disebutkan secara eksplisit dalam nash tidak perlu

lagi diterapkan.175

Dari beberapa keterangan di atas, terdapat beberapa alternatif

pelaksanaan hukum pidana Islam di Indonesia, yaitu: perubahan institusi,

173
M. Amin Suma, Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di negara hukum Indonesia,
makalah disampaikan pada Kuliah Umum dan seminar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1430 H/2009 M, hlm. 38.
174
Ibid, hlm. 39.
175
Marzuki, prospek pemberlakuan hukum, (Jakarta: sinar grafika, 2008), hlm. 69.

85
86

perubahan sistem hukum pidana nasional menjadi sistem hukum pidana

Islam, Islamisasi hukum pidana nasional, perluasan kompetensi Peradilan

Agama, transformasi norma dan konsep hukum pidana Islam ke dalam

hukum pidana nasional. Pendeknya, penegakan hukum pidana Islam

sejatinya sangat mendukung reformasi dalam bidang hukum pidana nasional

dan juga sebaliknya.176

Syariat Islam sebagai hukum yang berasal dari wahyu Ilahi, sudah

barang tentu akan memberikan jiwa dan ruh kepada hukum pidana nasional

yang dihormati dan dipatuhi oleh bangsa Indonesia yang notabene mayoritas

beragama Islam, juga bangsa Indonesia yang beragama selain Islam. Dalam

konteks ini, sudah barang tentu formalisasi hukum pidana Islam di

Indonesia ke dalam hukum pidana nasional menjadi suatu kebutuhan dan

tentu tidak akan melanggar aturan-aturan yang sudah ada.177

Perlu ditambahkan bahwa pembaharuan sistem hukum pidana

nasional melalui pembahasan RUU KUHP sekarang ini harus diakui sebagai

upaya untuk mengakomodasi aspirasi sebagian besar umat beragama di

Indonesia. Berbagai delik tentang agama ataupun yang berkaitan dengan

agama mulai dirumuskan dalam RUU tersebut, misalnya tentang

penghinaan agama, tentang perzinaan dan lain sebagainya.178

Selain beberapa pasal yang terkait dengan delik agama, dalam

rancangan tersebut juga dimasukkan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan

176
Ibid, hlm. 70.
177
Ibid, hlm. 71.
178
Ibid, hlm. 72.

86
87

delik kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan

yang sah atau yang melanggar ketentuan agama. 179

Kemudian terkait dengan proses transformasi hukum Islam

kedalam hukum pidana nasional itu tidak terlepas bagaimana prosedur

penyusunan peraturan perundang-undangan. Peran politik fraksi dan

anggota Legislatif yang sangat dominan.180

Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa upaya-upaya untuk

mentransformasi hukum pidana islam tentang perzinaan ke dalam KUHP

dapat dilakukan dengan cara mempertimbangkan aspirasi masyarakat

muslim sebagai mayoritas dengan melihat amanat UUD 1945 dan Piagam

Jakarta sebagai acuan dalam merumuskan RUUKUHP yang baru.

179
Faisal, Jurnal Ahkam: Menimbang wacana Formalisasi Hukum Pidana Islam di
Indonesia, vol. XII No. 1 Januari 2011, hlm. 48.
180
Ibid, hlm. 48.

87
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan dan analisis dengan

memperhatikan pokok-pokok masalah yang diangkat dengan judul Sanksi

Zina (Studi Komparatif Perspektif Hukum Pidana Islam Dan KUHP)

maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa:

1. Bentuk sanksi zina dalam hukum pidana Islam dan KUHP

 Sanksi zina dalam hukum Islam yaitu jilid dan pengasingan selama satu

tahun untuk pezina ghairu muhsan serta rajam untuk pezina muhsan.

 Sanksi zina dalam KUHP pasal 284 yaitu di penjarakan selama 9

bulan.

2. Persamaan dan perbedaan hukum pidana Islam dan KUHP tentang

perzinaan

Hukum pidana islam dan hukum positif Indonesia sama-sama

mengatur tentang larangan perzinaan yang mana hal itu sangatlah mengacu

pada budaya ketimuran yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma

kesopanan. Titik letak perbedaan terdapat pada sistem pembuktiannya,

dimana antara Hukum Pidana Islam dengan Hukum Positif tidaklah sama.

KUHP Hukum pidana Islam

 Delik Aduan Absolut artinya  Harus terdapat saksi yang

harus ada pihak yang berjumlah

mengadukan (suami, istri,  Pengakuan Harus terperinci

88
89

pihak ketiga yang dari pelaku zina

dirugikan/tercemar  Terdapat indikasi/akibat,

seperti hamilnya

perempuan yang belum

menikah

 Apabila pelapor tidak

menghadirkan 4 saksi,

maka pelapor bisa

dikenakan hukuman dengan

kasus menuduh orang

berbuat zina.

Dalam pembuktian perzinaan hukum pidana islam itu dibuktikan

oleh empat hal: 1) kesaksian, 2) pengakuan, 3) qarinah (indikasi), 4)

sumpah li’an. Dan di dalam hukum pidana islam suatu tindak pidana

perzinaan dapat diproses secara hukum selama dapat mendatangkan empat

orang saksi dan semuanya laki-laki yang dapat di ajukan. Namun tidak

demikian dengan KUHP, karena tindak pidana perzinaan itu masuk

kategori delik aduan absolut harus ada pengaduan terlebih dahulu supaya

delik itu bisa di proses.

3. Faktor penghambat dalam penerapan sanksi zina di Indonesia

 faktor eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki

antipati terhadap Islam dan Syari’at Islam. Mereka adalah para

89
90

pengusung agama dan ideology tertentu di luar Islam, terutama yang

memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa

menyebarluaskan image yang negative tentang Islam.

 faktor dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis, kecuali

bahwa mereka menolak penerapan syari’at Islam karena akan

mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang disebut sebagai

para hedonis.

 faktor dari pihak-pihak yang menolak syari’at Islam karena belum

memahami syari’at Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang

salah.

4. Upaya transformasi sanksi zina dalam hukum pidana Islam ke KUHP

 Sejarah proses transformasi hukum Islam kedalam hukum pidana

nasional di Indonesia terus berjalan sejak jaman kesultanan, jaman

kolonial belanda, jaman kemerdekaan, jaman orde lama, sampai dengan

jaman reformasi saat ini. Hingga eksistensinya terus diperjuangkan.

 Pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui pembahasan RUU

KUHP sekarang ini sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi

sebagian besar umat beragama di Indonesia. Berbagai delik tentang

agama ataupun yang berkaitan dengan agama mulai dirumuskan dalam

RUU tersebut, misalnya tentang penghinaan agama, perzinaan dan lain

sebagainya.

90
91

 Pengakomodasian hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana

nasional akan saling melengkapi sekaligus menjadi jawaban atas

problem kriminalitas yang hingga kini tidak pernah usai.

B. Saran

Karena zina dan perzinahan merupakan suatu perbuatan yang sangat

tercela. Maka sangat diperlukan pencegahan melalui pembaharuan hukum yang

dapat meminimalisir perzinahan. Oleh karena itu penanggulangan masalah

perzinahan ini melibatkan beberapa elemen yaitu:

1. Untuk masyarakat

Elemen terkecil dari masyarakat adalah keluarga. Dan keluarga

adalah madrasah pertama dalam mendidik anggota keluarganya untuk

menciptakan dan mewujudkan generasi penerus yang cerdas bermoral dan

beretika. Oleh sebab itu, maka peran penting orang tua dalam keluarga

sangat diperlukan untuk menekankan para generasi penerus bangsa untuk

membentengi anaknya dengan pendidikan Agama, moral, dan etika.

2. Untuk pemerintah

Demi terciptanya generasi bangsa yang baik, bermoral dan beretika

dalam melanjutkan peradaban Negara Indonesia yang menjaga norma

kesusilaan, adat istiadat dan bagsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebgai dasar Negara.

Seharusnya pemerintah dan DPR memandang perzinahan sebagai masalah

yang berat dan serius dan harus dikenai sanksi yang berat untuk meberikan

91
92

efek jera yang efektif dan untuk meminimalisir bahkan untuk membasmi

tindak pidana perzinahan agar tidak semakin bebas dan merajalela.

3. Untuk generasi muda

Pemuda adalah adalah harapan bangsa untuk melanjutkan

reformasi/revolusi dan untuk meneruskan perjuangan bangsa agar tercipta

bangsa dan Negara yang maju. Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan rasa

nasionalisme dengan menjadi pribadi yang berakhlaqul karimah, bermoral

dan beretika. Hendaknya kaum muda menyibukkan dirinya dengan

kegiatan-kegiatan yang positif untuk menentukan jati diri agar bisa

berdikari dan berguna bagi bangsa ini.

C. Penutup

Alhamdulillahissyukur segala puji bagi Allah swt atas segala

limpahan rahmad, taufiq, hidayah, serta inayahNya. Sehingga penulis mampu

menyelesaikan penulisan skripsi ini, sekalipun masih terdapat banyak

kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Karena tidak ada karya manusia yang

sempurna, kesempurnaan hanya milik Allah swt semata.

Oleh karena itu, saran serta kritik konstruktif sangat penulis

harapkan guna kesempurnaan skripsi ini. Penulis sangat berharap semoga

skripsi ini dapat menambah hazanah ilmu pengetahuan serta dapat bermanfaat

bagi semua. Amiiin.

92
93

DAFTAR PUSTAKA

A. Rahman I.Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta,


PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996.

Abdul Qadir Auda, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Bogor, PT. Charisma
Ilmu, 2012.

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jina’iy Al-Islamy, (Beirut, Dar Al-Kitab Al-
Araby, 1996.

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’ Al-Islami Muqaranan Bi Al-Qur’an Al-


Wadh’i, (Beirut, Mu’assanah Ar-Risalah, 1992.

Abu Abdiah Muhammad, Ensiklopedia Hadis-Hadis Hukum, Jakarta: Darus


Sunnah, 2013

Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Indonesia,


Dahlan.

Abu Fajar Al-Qalamy,Dkk, Tuntunan Jalan Lurus Dan Benar, Jakarta, Gita
Media Press, 2010.

Ahmad Bahiej, Tinjauan Yuridis Atas Delik Perzinahan (Overspel) Dalam


Hukum Pidana Di Indonesia, Jurnal

Ahmad Fathi Bahansyi, Nasriyah Al-Isbat Fil Fiqh Al-Jina‟I Al Islami, Kairo:
Al-Syirkah Al Arabiyah Al-Ittiba’ah Wa Al-Nasyr, 1984

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Media Grafika, 2016.

Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,Jakarta: Sinar Grafika,2004.


Al-Bukhari, Kitab Al-Hudud

Al-Jumanatul Ali, Alqur’an Dan Terjemahannya, J- Art. 2004.

Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta, Kencana Prenamedia Group,


2013
Andi Sofyan, Dkk, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Prenada Media Group, 2014

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan Hukum


Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

93
94

A. Rahmat Rosyadi, Dkk, Formalisasi Syari’at Islam Dalam Perspektif Tata


Hukum Indonesia, Bogor: Ghalia, 2006

Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama Ri,Tafsir Alqur’an Tematik,


Kamil Pustaka, 2014.

Djedjen Zainuddin, Pendidikan Agama Islam Fiqh, Karya Toha Putra, 2008.

Djubaedah, Neng. Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di


Indonesia Di Tinjau Dari Hukum Islam.Media Grafika 77. 2010.
Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta: Erlangga, 2012

Eko Sugiyanto, Dkk, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan


Tindak Pidana Perzinaan, Diponegoro Law Jurnal

H. Ahmad Wardi Musclih, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, 2005.

H. Ahmad Wardi Musclih, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Fikih
Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

H. Rachmat Syafi’ie, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia Bandung, 2015.

H. Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia,


Jakarta: Sinar Grafika, 2015.

H.A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, Sinar Grafika, 2011.

H.A. Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah),Pustaka Setia Bandung,2000.

H.M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, Sinar Grafika, 2015.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1993.

Hasbi Ash Shiddieqy, Pradilan Dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT.Pustaka
Rizqi Putra, 1997.
Http://Perzinaan-Hukum.Blogspot.Co.Id Akses Minggu, 13 Oktober Pukul 10.56.

https://rullyasrul83-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/rullyasrul83.wordpress.com/2009/08/20/dilema-
penerapan-hukum-islam-di-
indonesia/amp/?amp_js_v=0.1&usqp=mq331AQFKAG4AQE%3D#_ftn31 ,
diakses pada tanggal 14-11-2019

Ibnu Hajar Ash-Qalani, Bulughul Maram, Terj. Kahar Masyhur, Jakarta :PT.
Rineka Cipta, 1992

94
95

Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2006

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta, Pustaka Amani, 1995.

Imam Ghazali, Rahasia Ketajaman Hati (Mukasyafatul Qulub),Terbit Terang


Surabaya, 2009.
Inayah Yusnita, Skripsi, Hasil Tes DNA (Deoxyribonucleicaid) Sebagai Alat
Bukti Alternatif Dalam Jarimah Zina, IAIN Walisongo Semarang

Ismu Gunadi, Dkk, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta,
Prenadamedia Group, 2014

K.H. Moch. Anwar, Sullamut Taufiq, Sinar Baru Algesindo, 2012.


KBBI

Khat Utsman Thaha, Al-Jamil, Al-Qur’an Tajwid Warna, Terjemah Perkata,


Terjemah Inggris,Bekasi, Cipta Bagus Segara, 2012

KUHAP DAN KUHP.Sl-Media


Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Sinar Baru, 1990

Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya,


Jakarta : Sinar Grafika, 1996.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan,Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an,


Jakarta, Lentera Hati, 2008

M. Toha Anggoro, Metode Penelitian,Universitas Terbuka, 2009.

Mardjono Reksodiputro,dkk, Parados Dalam Kriminologi, Jakarta: Rajawali,


1989
Moeljatno, KUHP, 2001, Jakarta ; Bumi Aksara, 2010

Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Beirut, Dar Al Fikr, 1996.

Muhammad Ibn Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, (Beirut, Dar Al-Fikr, 1996.

Muhammad Salam Madkur, Al-Qada’ Fi Al-Islami, Kairo: Dar Al-Nahdhah Al-


Arabian,1964

Mushaf Al- Jamil, Al- Qur’an Tajwid Warna, Terjemah Per Kata, Terjemah
Inggris, Bekasi: Cipta Bagus Segara,2012.

95
96

Nico Ngani, Sinerama Hukum Pidana, Yogyakarta: Sinar Grafika, 1984

Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2000

Quraish Shihab,Mistik,Seks, Dan Ibadah,Jakarta:Republika,2004.

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),Sinar Grafika, 2011.


R.Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995

Rahmat Hakim,Hukum Pidana Islam, (Fiqh Jinayah) Untuk Iain, STAIN, PTAIS,
Bandung;Pustaka Setia,2000.

Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, Semarang, CV. Karya Abadi Jaya, 2015.

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT.Citra


Aditya Bakti, 2007
RUU KUHP9102

Shahih Muslim, Juz III

Slamet Riyanto, Kebijakan Formulasi Dalam Penentuan Delik Aduan


Perundang-Undangan Pidana Di Indonesia, TESIS, Magister Ilmu
Hukum UNDIP, 2004

Sobhi Mahmassari, Falsafat Al-Tasyri’ Fi Al Islamy, Terjemahan, Ahmad


Sudjono, Filsafat Hukum Islam, Bandung: PT. Alma Arif, 1976

Sudarto, Hukum Pidana Indonesia, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Di


Ponegor, 1990

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 1. Universitas Terbuka, 2009.


Syamsul Huda, Jurnal, Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, STAIN Kediri.

Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i Juz 2, Sinar Baru Algesindo,
Bandung, 2006.

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah 9 Dasar Metode


Teknik,Universitas Terbuka, 2009.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Alqur’an, Alqur’an Dan


Terjemahannya,Bandung : Depag Ri,2004.

96
97

Yusuf Qardhawi,Al-Halal Wa Al-Haram Fi Al-Islam, Beirut; Dar Al-


Ma’rifah,1986.

97
98

LAMPIRAN

98
101

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri
Nama : Nurul Islam
TTL : Lingko Laki, 14 November 1995
Alamat Rumah : Desa Kabar, Kec. Sakra, Kab. Lombok
Timur
Nama Ayah : Muhammad Yusi
Nama Ibu : BQ. Muhini
B. Riwayat Pendidikan
1. SD/MI : SDN 3 KABAR
2. SMP/Mts : Mts NW KABAR
3. SMA/MA : MA NW KABAR
C. Riwayat Pekerjaan
D. Prestasi/Penghargaan
E. Pengalaman Organisasi
1. Ketua Ikatan Mahasiswa Kreatif (IMK) Desa Kabar
2. Pernah Menjadi Anggota HMI
3. Pernah Menjadi Ketua Osis Di MA NW KABAR
F. Karya Ilmiah

Mataram, 2019

Nurul Islam

101

Anda mungkin juga menyukai