Anda di halaman 1dari 83

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK

PEMBAGIAN HARTA WARIS DI PEDUKUHAN JALAWASTU


DESA CISEUREUH KECAMATAN KETANGGUNGAN BREBES

Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Program Strata Satu (S1)

Oleh :

Muhamad Dzakkii
NIM: 30501602802

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG


FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
SEMARANG
2020
Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembagian harta warisan


dalam masyarakat Dusun Jalawastu dan menganalisis pelaksanaan pembagian harta
warisan ditinjau dari hukum Islam. Metode yang digunakan dalam menganalisis
permasalahan tersebut adalah deskriptif-kualitatif, yaitu mendeskripsikan fenomena
pelaksanaan pembagian harta warisan dalam masyarakat Dusun Jalawastu dengan
langsung mewawancarai masyarakat Dusun Jalawastu. Tahap berikutnya yaitu
menganalisis praktik pembagian harta warisan ditinjau dari hukum Islam. Hasil
penelitian menyatakan praktik pembagian harta warisan pada masyarakat Dusun
Jalawastu masih menggunakan adat kebiasaan yaitu membagikan harta warisan hanya
kepada anak, tidak ada bagian yang diberikan kepada ahli waris lain. Dalam
pembagiannya, masyarakat Dusun Jalawastu memberikan bagian lebih terhadap anak
yang mengurusi pewaris sebelum ia meninggal dunia. Pembagian semacam ini tidak
sesuai dengan pembagian yang telah diatur di dalam al-Qur’an secara sistematis.
Akan tetapi tetap hukumnya sah karna dalam setiap pembagian sudah melalui
kerelaan dari pihak keluarga sehingga tidak menimbulkan pertikaian.

Kata Kunci: Praktik pembagian harta waris, Jalawastu.

ii
Abstract

This study aimed to describe the implementation of the distribution of inheritance in


the Jalawastu Hamlet community and analyze the implementation of the distribution
of inheritance in terms of Islamic law. The method used in analyzing the problem is
descriptive-qualitative, which describes the phenomenon of the implementation of the
distribution of inheritance in the Jalawastu Hamlet community by directly
interviewing the Jalawastu Hamlet community. The next stage was analyzing the
practice of the distribution of inheritance in terms of Islamic law. The results of the
study stated that the practice of distributing inheritance to the people of Jalawastu
Hamlet still uses the custom of distributing inheritance only to children, no portion
was given to other heirs. In its distribution, the Jalawastu Hamlet community gave
more shares to the children who took care of the heir before they died. This kind of
distribution was not following the distribution has been arranged in the Qur'an
systematically. However, the law was still valid because each distribution had been
through a willingness from the family so it did not cause a dispute.
 
Keywords: The practice of distribution of inheritance, Jalawastu.

iii
NOTA PEMBIMBING
Hal : Naskah Skripsi
Lamp. : 2 Eksemplar

Kepada Yth.:
Dekan Fakultas Agama Islam
Universitas Islam Sultan Agung
Di Semarang

Bismillahirahmanirrahim
Asslamu’alaikum Wr.Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perubahan seperlunya dalam rangkaian


pembimbingan penyusunan skripsi, maka bersama ini saya kirimkan skripsi:
Nama : Muhamad Dzakkii
NIM : 30501602802
Judul : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Pembagian Harta
Waris di Pedukuhan Jalawastu Desa Ciseureuh Kecamatan
Ketanggungan Brebes
Dengan ini saya mohon agar skripsi tersebut dapat segera diujikan
(dimunaqosahkan).

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Semarang, 01 April 2020
Dosen Pembimbing,

M. Noviani Ardi S. Fil. I, MIRKH

iv
LEMBAR PENGESAHAN

v
DEKLARASI

‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan dengan

sesungguhnya bahwa:

1. Skripsi ini adalah hasil karya ilmiah penulis yang bersifat asli yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) di
Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
2. Seluruh sumber data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini tidak berisi
material yang telah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain.
3. Seluruh isi skripsi ini menjadi tanggung jawab penuh penulis.

Semarang, 01 April 2020


Penyusun,

Muhamad Dzakkii
NIM. 30501602802

vi
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

vii
SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI

viii
MOTTO

DI DUNIA INI TIDAK ADA YANG ORANG TIDAK BISA, YANG ADA HANYA
ORANG YANG TIDAK MAU BISA

ix
KATA PENGANTAR

Dengan penuh kesadaran, Penyusun mengucapkan Puji Syukur kepada Allah

Swt. Berkat kehendak yang telah Allah berikan, dengan skripsi yang berjudul

“TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PEMBAGIAN

HARTA WARIS DI PEDUKUHAN JALAWASTU DESA CISEUREUH

KETANGGUNGAN BREBES” dapat Penyusun selesaikan. Sholawat serta Salam

Penyusun haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan harapan semoga Penyusun

mendapat kemudahan dalam menjalani segala hal dan mendapatkan syafaatnya di

akhirat. Aamiin.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar

sarjana strata satu (S1) pada Jurusan Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Islam

Sultan Agung (Unissula) Semarang.

Dengan selesainya penyusunan skripsi ini, penyusun mengucapkan banyak

terima kasih kepada:

1. Bapak Ir. H. Prabowo Setiyawan., MT.Ph.D., selaku Rektor Unissula.

2. Bapak Drs. M. Mukhtar Arifin Sholeh, M.Lib., selaku Dekan Fakultas Agama

Islam Unissula

3. Bapak Dr. H. Abdullah Arief Cholil, S.H., M.Ag, selaku dosen wali yang

selalu menasehati Penulis selama perkuliahan.

x
4. Bapak M. Noviani Ardi S. Fil. I, MIRKH, selaku dosen pembimbing yang

membimbing penulis dengan sabar, sehingga Penulis yang membimbing

skripsi ini dengan lancar.

5. Bapak, Ibu dan keluarga tercinta yang telah membimbing, membiayai dan

menyemangati Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Agama Islam Unissula yang telah memberikan

berbagai Ilmu pengetahuan sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi

ini.

7. Muhamad Yusuf dan keluarga yang selalu mendukung dan menyediakan

fasilitas bagi Penulis untuk menyelesaikan skripsi dengan lancar.

8. Seluruh narasumber yang telah menyempatkan waktunya untuk diwawancarai

yang turut membantu Penulis dalam menyusun skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan yang telah menyumbangkan pemikiran kepada

Penulis, sehingga dapat mengembangkan isi dari penelitian dalam skripsi ini.

Penulis, 1 April 2020

Muhamad Dzakkii

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i

ABSTRAK ...................................................................................................................ii

NOTA PEMBIMBING..............................................................................................iv

LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................................v

DEKLARASI..............................................................................................................vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN.....................................................................vii

SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI..................................................................viii

MOTTO.......................................................................................................................xi

KATA PENGANTAR.................................................................................................x

DAFTAR ISI..............................................................................................................xii

BAB I_PENDAHULUAN...........................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................6

1.3 Tujuan & Kegunaan Penelitian...........................................................................6

1.3.1 Tujuan Penelitian.....................................................................................6

1.3.2 Kegunaan Penelitian................................................................................7

1.4 Metode Penelitian...............................................................................................7

xii
1.4.1 Jenis Penelitian........................................................................................7

1.4.2 Sumber data.............................................................................................8

1.5 Subyek dan Objek...............................................................................................8

1.5.1 Teknik Pengumpulan Data......................................................................8

1.5.2 Keabsahan Data.....................................................................................10

1.6 Analisis Data.....................................................................................................13

1.7 Sistematika Penulisan.......................................................................................14

BAB II_LANDASAN TEORI HUKUM WARIS ISLAM.....................................16

2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Waris................................................................16

2.1.1 Ayat-ayat Al-Qur’an..............................................................................17

2.1.2 Hadits.....................................................................................................20

2.1.3 Al-Ijma...................................................................................................23

2.1.4 Al-Ijtihad...............................................................................................23

2.2 Rukun dan Syarat Waris...................................................................................24

2.3 Sebab-sebab mendapatkan harta waris.............................................................26

2.4 Sebab-sebab Penghalang Menerima Waris......................................................28

2.4.1 Budak.....................................................................................................28

2.4.2 Pembunuhan..........................................................................................29

xiii
2.4.3 Perbedaan Agama..................................................................................31

2.5 Asas-asas Hukum Waris...................................................................................33

2.5.1 Asas Ijbari..............................................................................................33

2.5.2 Asas Bilateral.........................................................................................34

2.5.3 Asas Individual......................................................................................34

2.5.4 Asas Keadilan Berimbang.....................................................................35

2.5.5 Kewarisan Semata Akibat Kematian.....................................................35

2.6 Ahli Waris dan Bagian-bagiannya....................................................................36

BAB III_GEOGRAFIS SOSIAL DUSUN JALAWASTU DI DESA

CISEUREUH.............................................................................................................43

3.1 Profil Dusun Jalawastu.....................................................................................43

3.1.1 Batas Wilaya..........................................................................................44

3.1.2 Kependudukan.......................................................................................44

3.1.3 Pendidikan.............................................................................................46

3.1.4 Keadaan Sosial Keagamaan...................................................................47

3.2 Praktik Pembagian Harta Warisan di Dusun Jalawastu Desa Ciseureuh

Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes............................................................48

BAB IV_TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PEMBAGIAN

HARTA WARIS DI DUKUH JALAWASTU.........................................................52

xiv
BAB V_PENUTUP....................................................................................................59

5.1 Kesimpulan.......................................................................................................59

5.2 Saran.................................................................................................................60

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................61

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah kepada manusia

melalui Rasul-Nya, yang berisi hukum yang mengatur hubungan manusia dengan

Allah, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam

semesta. Didalamnya juga terdapat aturan dan hukum yang dapat digunakan sebagai

pedoman dan pegangan hidup bagi seluruh umat agar selamat, baik di dunia dan

akhirat.1

Hukum waris merupakan salah satu syariat yang diatur di dalam ajaran agama

Islam, yakni suatu hukum yang mengatur harta peninggalan seseorang yang telah

meninggal dunia, diberikan kepada seseorang yang berhak menerimanya seperti

keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.2

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.3


1
H. T. Amir Husain Sardany, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya:
Grasindo,1987) h.18
2
Achmad Yani, S.T., M.Kom, Faraidh & Mawari, (Jakarta: KENCANA, 2016, Cet.1) h.3
3
Departement Agama, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: CV.Nuansa Aulia, Cet 5, 2013)
h.51

1
2

Asas terpenting dalam waris adalah asas al-‘adalah, yakni prinsip keadilan.4

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan sangat teratur dan adil. Syariat Islam

juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia

kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan laki-laki

dan perempuan, kecil ataupun besar.

Al-qur’an menjelaskan secara rinci dan detail tentang hukum-hukum yang

berkaitan dengan hak kewarisan. Pembagian masing-masing ahli waris telah di

tentukan dalam QS. Al-Nisa/4:7.

ِ ‫ك ْال َوالِدَا ِن َواأْل َ ْق َربُونَ َولِلنِّ َسا ِء ن‬


َ ‫ َر‬Kَ‫يبٌ ِم َّما ت‬K‫َص‬
‫ك‬ َ ‫َصيبٌ ِم َّما ت ََر‬
ِ ‫ال ن‬ ِ ‫لِلرِّ َج‬
‫َصيبًا َم ْفرُوضًا‬ ِ ‫َان َواأْل َ ْق َربُونَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ أَوْ َكثُ َر ۚ ن‬
ِ ‫ْال َوالِد‬

Terjemahnya :

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

Al-Qur’an juga telah menjelaskan bahwa bagian waris lakil-laki dan

perempuan berbeda,bagian ahli waris laki-laki lebih banyak daripada bagian ahli

waris perempuan, yakni 2:1.Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Al-Nisa/4:11.

4
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, Cet.1, 2009) h.75
3

‫ق‬ َ ْ‫و‬Kَ‫ا ًء ف‬K‫إ ِ ْن ُك َّن نِ َس‬Kَ‫ ظِّ اأْل ُ ْنثَيَي ِْن ف‬K‫ ُل َح‬K‫ َّذ َك ِر ِم ْث‬K‫ي ُك ُم هَّللا ُ فِي أَوْ اَل ِد ُك ْم لِل‬K‫ُوص‬ ِ ‫ي‬
َ
‫ ِّل‬K‫ ِه لِ ُك‬K‫ف َوأِل بَ َو ْي‬ ُ K‫ص‬ ْ ِّ‫ا الن‬KKَ‫ َدةً فَلَه‬K‫َت َوا ِح‬ ْ ‫ان‬KK‫ك َوإِ ْن َك‬ َ ‫ْاثنَتَ ْي ِن فَلَه َُّن ثلثَا َما ت ََر‬
ُ ُ
ُ‫ه‬K َ‫ ٌد َو َو ِرث‬K َ‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َركَ إِ ْن َكانَ لَهُ َولَ ٌد فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َول‬ ِ ‫َو‬
ِ ‫ ِد َو‬K‫ ُدسُ ِم ْن بَ ْع‬K ‫الس‬
‫يَّ ٍة‬K ‫ص‬ ُ
ُّ ‫ َوةٌ فَأِل ِّم ِه‬K‫هُ إِ ْخ‬K َ‫انَ ل‬KK‫إ ِ ْن َك‬K َ‫ث ف‬ ُ
ُ ُ‫واهُ فَأِل ِّم ِه الثُّل‬Kَ Kَ‫أَب‬
‫ا‬KK‫ربُ لَ ُك ْم نَ ْف ًع‬K َ K‫ ْدرُونَ أَيُّهُ ْم أَ ْق‬K َ‫ا ُؤ ُك ْم اَل ت‬KKَ‫ا ُؤ ُك ْم َوأَ ْبن‬KKَ‫ا أَوْ َدي ٍْن آَب‬KKَ‫ي بِه‬K ‫ُوص‬ ِ ‫ي‬
‫ضةً ِمنَ هَّللا ِ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬ َ ‫فَ ِري‬

Terjemahnya :

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Allah swt menjanjikan surga bagi orang-orang yang beriman, bertaqwa dan

menaati ketentuannya dalam hal pembagian harta waris, serta memberikan ancaman

bagi yang mengingkarinya, seperti firman Allah swt dalam QS. Al-Nisa/4:13-14.

ٍ ‫هُ َجنَّا‬K‫ولَهُ يُ ْد ِخ ْل‬K ‫ ِع هَّللا َ َو َر ُس‬K‫ ُدو ُد هَّللا ِ َو َم ْن يُ ِط‬K‫ك ُح‬


‫ا‬KKَ‫ ِري ِم ْن تَحْ تِه‬K ْ‫ت تَج‬ َ ‫تِ ْل‬
ِ ‫) َو َم ْن يَع‬13( ‫وْ ُز ْال َع ِظي ُم‬KKَ‫ك ْالف‬
ُ‫ولَه‬K‫ْص هَّللا َ َو َر ُس‬ َ ِ‫اأْل َ ْنهَا ُر خَ الِ ِدينَ فِيهَا َو َذل‬
)14( ‫ين‬ٌ ‫َويَتَ َع َّد ُح ُدو َدهُ يُ ْد ِخ ْلهُ نَارًا خَ الِدًا فِيهَا َولَهُ َع َذابٌ ُم ِه‬
4

Terjemahnya :

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.


Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukinya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai
sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar
(13) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya
ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa
yang menghinakan (14).”

Secara jelas ayat di atas menunjukkan perintah Allah swt supaya

melaksanakan pembagian harta warisan umat Islam berdasarkan hukum yang ada

didalam Al-Qur’an. Melaksanakan ketentuan yang berkenaan dengan hukum

kewarisan merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan bagi umat Islam,

karena hal ini merupakan suatu bentuk ketaqwaan kita kepada Allah swt.

Di Indonesia ada berbagai macam adat dan budaya, serta latar belakang yang

melandasi kehidupan masyarakatnya. Begitupula dalam hukum waris adat sangatlah

beragam, tergantung pada sifat kedaerahan dari adat tersebut. Banyaknya jumlah suku

bangsa yang ada di Indonesia brarti banyak pula jumlah hukum waris adat yang ada.

Mengutip dari Cornelis Van Vollrnhoven dalam bukunya:

“Hukum adat ialah himpunan peraturan yang berlaku bagi orang


pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena
5

bersifat hukurn), dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak
dikodifikasikan (karena adat).5

Pada zaman sekarang ini masih ada juga masyarakat adat yang dapat bertahan

dan mempertahankan nilai-nilai kearifan lokalnya meskipun arus globalisasi mengalir

secara deras.

Seperti masyarakat Baduy yang berada di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi

Banten. Mereka menutup diri dan mengasingkan dari budaya luar yang berusaha

masuk untuk mempengaruhinya. Mereka tetap bertahan hidup di dalam hutan dan

tidak terpengaruh oleh arus globalisasi. Hal ini menandakan ada masyarakat adat

yang menyesuaikan diri dengan cara memperkuat dan menggambungkan nilai-nilai

lokal dengan kemajuan zaman.6 Ada yang berubah secara keseluruhan dengan tujuan

agar tetap eksis keberadaannya di zaman modern ini dan ada pula yang menutup diri

dari dunia luar dengan tujuan agar tidak diketahui keberadaannya supaya tidak

terpengaruh budaya dari luar dan nilai-nilai kearifan lokal dari leluhur tetap terjaga

dan lestari.

Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih mendalam

tentang masyarakat adat Jalawastu. Jalawastu merupakan suatu dukuh yang berada di

Ciseureuh Ketanggungan Brebes. Pada tahun 2015 Jalawastu ditetapkan sebagai

kampung cagar budaya sesuai dengan peraturan daerah nomor 1 tahun 2015.7 Dengan

5
C. Dewi Wulansari, SH., MH., SE., MM. Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama,Cet.4,2016) h.3
6
Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, (Bandung : Humaniora Press Utama,
2010) h.169
7
Perda Brebes, No.1, 2015
6

penetapan peraturan tersebut, eksistensi masyarakat beserta kearifan lokalnya mulai

diakui dan mulai diperhatikan oleh pemerintah daerah.

Pada masyarakat adat Jalawastu ini hampir sama permasalahan yang dihadapi

oleh masyarakat adat lainnya yang berbeda di Indonesia, yaitu kelestarian budayanya

di zaman modern semakin terancam dan tergerus, dengan beberapa nilai-nilai

kearifan lokalnya yang mulai ditinggalkan. Masyarakat adat ini berada di wilayah

Jawa Tengah tepatnya di Kabupaten Brebes, Kecamatan Ketanggungan, Desa

Ciseureuh, Dusun Jalawastu. Sesuai dengan lokasi keberadaannya, masyarakat adat

itu disebut dengan masyarakat adat Jalawastu.

Penelitian ini berusaha mengungkap lebih jauh tentang tinjauan hukum Islam

terhadap praktik pembagian harta waris di adat tersebut, karena lokasinya yang

berada di pedalaman hutan dan akses jalan yang belum memadai sehingga

keberadaannya tidak banyak diketahui masyarakat luas. Maka penulis tertarik

melakukan penelitian yang dituliskan dalam bentuk skripsi dengan judul

“TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA

WARIS DI PEDUKUHAN JALAWASTU DESA CISEUREUH

KETANGGUNGAN BREBES”.

1.2 Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana diutarakan tersebut di

atas, maka dapatlah diajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :


7

1. Bagaimana praktik pembagian harta waris di Pedukuhan Jalawastu Desa

Ciseureuh Ketanggungan Brebes ?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pembagian harta waris di Pedukuhan

Jalawastu Desa Ciseureuh Ketanggungan Brebes ?

1.3 Tujuan & Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

a. Untuk mengetahui praktik pembagian harta waris di Pedukuhan Jalawastu

Desa Ciseureuh Ketanggungan Brebes

b. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktik pembagian

harta waris di Pedukuhan Jalawastu Desa Ciseureuh Ketanggungan

Brebes

1.3.2 Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis : penelitian ini di harapkan sebagai pengetahuan baru atau

kelengkapan kepustakaan. Serta perluasan wawasan mengenai tinjauan

hukum Islam terhadap praktik pembagian harta waris di Pedukuhan

Jalawastu Desa Ciseureuh Ketanggungan Brebes.

b. Secara praktis : hasil penelitian mengenai tinjauan hukum Islam terhadap

praktik pembagian harta waris di Pedukuhan Jalawastu Desa Ciseureuh


8

Ketanggungan Brebes merupakan salah satu persyaratan dalam mengikuti

studi S-1 di fakultas Agama Islam prodi Ahwal Al – Syakhsiyah

Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

c. Penelitian ini diharapkan menjadi pengalaman yang bermanfaat serta

dapat memberikan kontribusi bagi masa depan generasi selanjutnya.

1.4 Metode Penelitian

1.4.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode Kualitatif. Jenis

penelitian ini sesuai dengan sifat masalah yang akan diteliti serta mendasar pada

tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Dimana kegiatan penelitian yang dilakukan

adalah menemukan makna bukan menyimpulkan dari generalisasi.

1.4.2 Sumber data

Sebagaimana judulnya serta rumusan dan tujuan penelitian ini adalah tinjauan

hukum Islam terhadap praktik pembagian harta waris di Pedukuhan Jalawastu Desa

Ciseureuh Ketanggungan Brebes, maka jenis sumber data yang diperlukan adalah

sebagai berikut:

a. Sumber data primer


9

Sumber data primer adalah sumber data utama pokok. Diperoleh langsung

dari masyarakat yang berada di Pedukuhan Jalawastu Desa Ciseureuh

Ketanggungan Brebes.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang melengkapi dan

menunjang sumber data primer. Diperoleh dari buku-buku yang membahas

tentang waris, dan dokumen-dokumen yang menyangkut tentang penelitian.

1.5 Subyek dan Objek

Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek yaitu masyarakat di Pedukuhan

Jalawastu Desa Ciseureuh Ketanggungan Brebes. Sedangkan objek dalam penelitian

ini adalah praktik kewarisan yang dilakukan oleh masyarakat adat Jalawastu

1.5.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi,

wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh tersebut baik secara lisan

dan tulisan akan di analisis oleh penulis dan akan dijadikan kesimpulan.

a. Observasi

Observasi yang digunakan ialah observasi partisipan. Observasi

partisipan adalah teknik pengumpulan data melalui pengamatan terhadap


10

objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan, dan

berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan.8

b. Wawancara

Dalam wawancara ini, peneliti menggunakan wawancara tidak

terstruktur, yang mana wawancara tidak terstruktur mengacu pada jenis

wawancara di mana peneliti mengajukan pertanyaan yang sifatnya umum

dan jumlahnya minimal. Pertanyaan hanya berupa topik umum untuk

membantu memfokuskan responden. Diikuti dengan proses

mendengarkan tanpa melakukan terlalu banyak interupsi pada responden.

Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan perspektif peserta tanpa

memandu peserta.9 Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah para

masyarakat Pedukuhan Jalawastu Desa Ciseureuh Ketanggungan Brebes.

Untuk mengetahui bagaimana praktek pembagian waris dikalangan

masyarakat Jalawastu.

c. Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu teknik yang digunakan untuk mencari

catatan-catatan peristiwa atau dokumen yang sudah berlalu. Dokumen

adalah segala bentuk catatan, baik catatan dalam bentuk kertas (hardcopy)

maupun dalam bentuk elektronik (Softcopy) yang berupa buku, artikel,

8
Didiek Ahmad Supadie, Bimbingan Penulisan Ilmiah Buku Pintar Menulis Skripsi,
(Semarang: Unissula Press, Cetakan Kedua, 2017) h.107
9
Jogiyanto Hartono M, Metoda Pengumpulan dan Teknik Analisis Data, (Yogyakarta:
CV.Andi Offset,2018) h.61
11

catatan harian, undang-undang, halaman web, blog, foto, dan

sebagainya.10

Dalam penelitian ini, penulis memerlukan dokumentasi-

dokumentasi untuk memperoleh data/informasi dari kepala Desa, kepala

dukuh, pegawai aparatur Desa, pemangku adat dan masyarakat yang

meliputi data jumlah penduduk, kondisi geografis, peraturan adat dan

praktik kewarisan di Pedukuhan Jalawastu tersebut.

Penulis menggunakan ketiga teknik pengumpulan data diatas

karena ketiganya berkaitan dan saling melengkapi guna mendapatkan data

yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.

1.5.2 Keabsahan Data

Data hasil wawancara beserta jawabannya tersebut selanjutnya dilakukan uji

atau pemeriksaan keabsahan data hasil penelitian kualitatif. Uji keabsahan data

penelitian adalah:

1. Pengujian Kredibilitas Data

Tujuan uji kredibilitas data yaitu untuk menilai kebenaran dari temuan

penelitian kualitatif. Kredibilitas ditunjukkan ketika partisipan mengungkapkan

bahwa transkrip penelitian memang benar-benar sebagai pengalaman dirinya

sendiri. Dalam hal ini peneliti akan memberikan data yang telah ditanskripkan

untuk dibaca ulang oleh partisipan. Kredibilitas menunjukkan kepercayaan dan


10
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013) h.274
12

kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif, hal ini dapat dilakukan

dengan cara sebagai berikut.11

a. Perpanjangan Pengamatan

Perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan,

melakukan pengamatan dan wawancara dengan sumber data yang pernah

ditemui maupun sumber data yang baru. Hal ini bertujuan untuk

menumbuhkan keakraban (tidak ada jarak lagi, semakin terbuka, saling

mempercayai) antara peneliti dan narasumber sehingga tidak ada informasi

yang disembunyikan lagi. Perpanjangan pengamatan dilakukan untuk

mengecek kembali apakah data yang telah diberikan oleh sumber data

selama ini merupakan data yang sudah benar atau tidak. Bila tidak benar,

maka peneliti melakukan pengamatan lagi yang lebih luar dan mendalam

sehingga diperoleh data yang pasti kebenarannya.12

b. Peningkatan Ketekunan dalam Penelitian

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih

cermat serta berkesinambungan, dengan cara tersebut maka kepastian data

dan urutan peristiwa dapat direkam secara pasti dan sistematis. Selain itu,

peneliti melakukan pengecekan kembali apakah data yang telah didapatkan

salah atau tidak. Peneliti memberikan deskripsi data yang akurat dan

sistematis tentang praktik pembagian waris di kampung budaya Jalawastu.13


11
Dr. Sudaryono,Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Mix Method, (Depok:
RAJAWALI PRESS,Cetakan Kedua, 2017) h.557
12
Ibid
13
Ibid
13

c. Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai

pengecekan data dari sumber ada dengan berbagai cara dan berbagai waktu.

Terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan

waktu. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang

diperoleh melalui beberapa sumber, triangulasi teknik dilakukan dengan cara

mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda, dan

triangulasi waktu dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan

wawancara, observasi atau interview dalam waktu atau situasi yang tidak

sama, triangulasi dilakukan dengan cara mengecek hasil penelitian dan tim

peneliti lain yang diberi tugas oleh peneliti untuk melakukan pengumpulan

data.14

2. Pengujian Conformability

Pengujian conformability dalam penelitian kualitatif disebut juga

objetivitas penelitian. Penelitian dikatakan objektif jika hasil penelitian telah

disepakati banyak orang. Menguji conformability berarti menguji hasil

penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian

merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa

penelitian tersebut telah memenuhi standar conformability.15

14
Ibid, h.558
15
Ibid
14

1.6 Analisis Data

Data yang diperoleh dalam pengumpulan data adalah bahan mentah yang

harus dirangkai oleh peneliti untuk menemukan makna dan mendapatkan jawaban

atas masalah dalam objek penelitian. Data yang telah didapat akan dianalisis dengan

menggunakan metode analisis data.16

Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis

data interaktif. Idrus (2007) mengutip Huberman dan Milles, menyatakan bahwa

model analisis data interaktif mencakup tiga kegiatan utama yaitu: (a). Reduksi data,

(b). Penyajian data dan (c). Penarikan kesimpulan atau verifikasi. Tiga jenis kegiatan

analisis data tersebut dan kegiatan pengumpulan data merupakan siklus dan interaktif.

1.7 Sistematika Penulisan

Agar pembahasan skripsi ini menjadi runtut, maka penyusun akan membagi

pembahasan menjadi lima bab, dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab,

adapun sistematika penulisanya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penyusun akan menerangkan tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, subyek obyek dan informan

16
Didiek Ahmad Supadie, Bimbingan Penulisan Ilmiah... h.109
15

penelitian, teknik pengumpulan data, keabsahan data, analisis data serta sistematika

penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini, penyusun akan menjelaskan tentang kajian teoritis tentang

praktik pembagian waris serta pembahasan yang memuat tentang pengertian, syarat-

syarat, serta tujuan.

BAB III GEOGRAFIS SOSIAL DUSUN JALAWASTU DI DESA CISEUREUH

Dalam Bab ini berisi tentang profil singkat Pedukuhan Jalawastu, kondisi

geografis, jumlah penduduk, kebudayaan adat dan praktek pembagian harta waris di

Dusun Jalawastu Desa Ciseureuh Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN

HARTA WARIS DI DUSUN JALAWASTU

Dalam bab empat ini dijelaskan paparan data terkait dengan tinjauan hukum

Islam terhadap praktik kewarisan di Pedukuhan Jalawastu Desa Ciseureuh

Ketanggungan.

BAB V PENUTUP
16

Pada bab terakhir ini akan dijelaskan tentang kesimpulan dan saran terkait

pembahasan dalam penelitian ini.


17
BAB II

LANDASAN TEORI HUKUM WARIS ISLAM

2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Waris

Waris menurut Beni Ahmad Saebani adalah berbagai aturan tentang

perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris yang

masih hidup secara bersamaan.17

Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu ‘warasa-yaritsu-irsan-wamiratsan’

yang berarti berpindahnya harta pewaris kepada ahli waris setelah meninggal dunia.

Sedangkan menurut istilah ilmu waris adalah Ilmu pengetahuan yang mempelajari

tentang ketentuan-ketentuan harta pustaka bagi ahli waris.18

Ada beberapa kata dalam penyebutan waris yang perlu untuk dipahami yaitu

muwarits, warits, al-irts, warasah dan tirkah. Muwarits adalah orang yang

memberikan harta waris. Warits adalah orang yang mewarisi Al-irts adalah harta

warisan yang siap untuk dibagi. Warasah adalah harta warisan yang diterima pewaris.

Dan Tirkah adalah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia.

Hukum waris Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah

meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut

17
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris (Bandung: Pustaka Setia, Cetakan kesatu, 2009) h.13
18
H. Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persad, Cetakan
kesatu, 2012) h.50
19

dengan berbagai nama. Dalam literatur hukum Islam ditemukan beberapa istilah

untuk menamakan hukum waris seperti: Fara’id, Fiqh Mawaris, dan hukmal-Waris.19

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pengertian waris

tercantum dalam pasal 171 poin a yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

hukum kewarisan ialah hukum yang mengatur tentang perpindahan hak pemilikan

harta peninggalan pewaris dengan menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli

waris dan beberapa masing-masing bagiannya.20

Sumber dalam hukum waris Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Al-

Hadis). Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang mengatur tentang waris ialah

sebagai berikut:

2.1.1 Ayat-ayat Al-Qur’an

1) QS. Al-Nisa/4:7

ِ ‫ا ِء ن‬K ‫َان َواأْل َ ْق َربُونَ َولِلنِّ َس‬


ٌ‫يب‬K ‫َص‬ ِ ‫صيبٌ ِم َّما تَ َركَ ْال َوالِد‬
ِ َ‫ال ن‬
ِ ‫لِل ِّر َج‬

ِ ‫ َر ن‬KKُ‫هُ أَوْ َكث‬KK‫ َّل ِم ْن‬KKَ‫ونَ ِم َّما ق‬KKُ‫دَا ِن َواأْل َ ْق َرب‬KKِ‫ َركَ ْال َوال‬KKَ‫ِم َّما ت‬
‫يبًا‬KK‫َص‬

‫َم ْفرُوضًا‬

Terjemahnhya :

19
Amir Syarifuddin, Hukum Kearisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004) h.5
20
Departement Agama, Kompilasi Hukum Islam, h.51
20

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan


ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang
telah ditetapkan.”

2) QS. Al-Nisa/4:11

‫ق‬َ ْ‫و‬Kَ‫ا ًء ف‬K‫إ ِ ْن ُك َّن نِ َس‬Kَ‫ ظِّ اأْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ف‬K‫ ُل َح‬K‫ َّذ َك ِر ِم ْث‬K‫ي ُك ُم هَّللا ُ فِي أَوْ اَل ِد ُك ْم لِل‬K‫ُوص‬ ِ ‫ي‬
‫ ِّل‬K‫ ِه لِ ُك‬K‫ف َوأِل َبَ َو ْي‬
ُ K‫ص‬ ْ ِّ‫ا الن‬KKَ‫ َدةً فَلَه‬K‫اح‬ِ ‫َت َو‬ ْ ‫ان‬KK‫ك َوإِ ْن َك‬ َ ‫ْاثنَتَ ْي ِن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما ت ََر‬
ُ‫ه‬K َ‫ ٌد َو َو ِرث‬K َ‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َركَ إِ ْن َكانَ لَهُ َولَ ٌد فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َول‬ ِ ‫َو‬
ِ ‫ ِد َو‬K‫ ُدسُ ِم ْن بَ ْع‬K ‫الس‬
‫يَّ ٍة‬K ‫ص‬ ُّ ‫ َوةٌ فَأِل ُ ِّم ِه‬K‫هُ إِ ْخ‬K َ‫انَ ل‬KK‫إ ِ ْن َك‬K َ‫ث ف‬ ُ ُ‫واهُ فَأِل ُ ِّم ِه الثُّل‬Kَ Kَ‫أَب‬
‫ا‬KK‫ َربُ لَ ُك ْم نَ ْف ًع‬K ‫ ْدرُونَ أَيُّهُ ْم أَ ْق‬K َ‫ا ُؤ ُك ْم اَل ت‬KKَ‫ا ُؤ ُك ْم َوأَ ْبن‬KKَ‫ا أَوْ َد ْي ٍن آَب‬KKَ‫ي بِه‬K ‫ُوص‬ ِ ‫ي‬
‫هَّللا‬
‫ضةً ِمنَ ِ إِ َّن َ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬ ‫هَّللا‬ َ ‫فَ ِري‬
Terjemahnya :
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-
pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

3) QS. Al-Nisa/4:12

‫ف َما تَ َركَ أَ ْز َوا ُج ُك ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَه َُّن َولَ ٌد فَإ ِ ْن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم‬ ُ ْ‫َولَ ُك ْم نِص‬
‫ ُع ِم َّما‬Kُ‫ا أَوْ َد ْي ٍن َولَه َُّن الرُّ ب‬Kَ‫ينَ بِه‬K‫ُوص‬ ِ ‫يَّ ٍة ي‬K‫ص‬ ِ ‫ ِد َو‬Kْ‫ر ْكنَ ِم ْن بَع‬K َ Kَ‫الرُّ بُ ُع ِم َّما ت‬
‫ َر ْكتُ ْم ِم ْن‬Kَ‫ ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُم ُن ِم َّما ت‬Kَ‫انَ لَ ُك ْم َول‬KK‫إ ِ ْن َك‬Kَ‫ ٌد ف‬Kَ‫ت ََر ْكتُ ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َول‬
ٌ‫ َرأَة‬K‫ةً أَ ِو ا ْم‬Kَ‫ث كَاَل ل‬ َ Kُ‫ ٌل ي‬K‫صيَّ ٍة تُوصُونَ بِهَا أَوْ َد ْي ٍن َوإِ ْن َكانَ َر ُج‬
ُ ‫ور‬K ِ ‫بَ ْع ِد َو‬
‫ك فَهُ ْم‬ َ
َ K ِ‫ َر ِم ْن َذل‬K َ‫انُوا أ ْكث‬KK‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ فَإ ِ ْن َك‬ ِ ‫ت فَلِ ُك ِّل َو‬ ُ
ٌ ‫َولَهُ أَ ٌخ أوْ أ ْخ‬
َ
21

ً‫يَّة‬K ‫ص‬ َ ‫ُوصى بِهَا أَوْ َد ْي ٍن َغ ْي َر ُم‬


ِ ‫ضا ٍّر َو‬ ِ ‫ث ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
َ ‫صيَّ ٍة ي‬ ِ ُ‫ُش َر َكا ُء فِي الثُّل‬
‫ِمنَ هَّللا ِ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َحلِي ٌم‬
Terjemahnya :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-
isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
sesorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetap mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

4) QS. Al-Nisa/4:13

ٍ ‫هُ َجنَّا‬K‫ولَهُ يُ ْد ِخ ْل‬K ‫ ِع هَّللا َ َو َر ُس‬K‫ ُدو ُد هَّللا ِ َو َم ْن يُ ِط‬K‫ك ُح‬


‫ا‬KKَ‫ ِري ِم ْن تَحْ تِه‬K ْ‫ت تَج‬ َ ‫تِ ْل‬
‫ك ْالفَوْ ُز ْال َع ِظي ُم‬ َ ِ‫اأْل َ ْنهَا ُر خَ الِ ِدينَ فِيهَا َو َذل‬
Terjemahnya :
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukinya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai
sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.”

5) QS. Al-Nisa/4:14

ٌ‫ َذاب‬K‫هُ َع‬Kَ‫ْص هَّللا َ َو َرسُولَهُ َويَتَ َع َّد ُح ُدو َدهُ يُ ْد ِخ ْلهُ نَارًا َخالِدًا فِيهَا َول‬
ِ ‫َو َم ْن يَع‬
ٌ ‫ُم ِه‬
‫ين‬
Terjemahnya :
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya
22

ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa


yang menghinakan.”

6) QS. Al-Nisa/4:176

‫ت‬ ٌ ‫هُ أُ ْخ‬KKَ‫ْس لَهُ َولَ ٌد َول‬ َ ‫ك لَي‬ َ َ‫ك قُ ِل هَّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم ِفي ْالكَاَل لَ ِة إِ ِن ا ْم ُر ٌؤ هَل‬
َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬
‫ا‬KK‫ف َما تَ َركَ َوهُ َو يَ ِرثُهَا إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهَا َولَ ٌد فَإ ِ ْن َكانَتَا ْاثنَتَ ْي ِن فَلَهُ َم‬ ُ ْ‫فَلَهَا نِص‬
‫ ظِّ اأْل ُ ْنثَيَ ْي ِن‬K‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َح‬
َّ ِ‫الثُّلُثَا ِن ِم َّما تَ َركَ َوإِ ْن َكانُوا إِ ْخ َوةً ِر َجااًل َونِ َسا ًء فَل‬
ِ َ‫يُبَي ُِّن هَّللا ُ لَ ُك ْم أَ ْن ت‬
‫ضلُّوا َوهَّللا ُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬
Terjemahnya :
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan ,
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan) jika ia tidak mempunyai anak tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
2.1.2 Hadits

Hadits Nabi Muhammad SAW yang mengatur tentang hukum waris

termaktub pada Kitab Fara’idh Sohih Al Bukhori, yakni:

1) Hadits nomor 6238

‫ ِه ع َْن ا ْب ِن‬K‫س ع َْن أَبِي‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا ُم ْسلِ ُم ب ُْن إِب َْرا ِهي َم َح َّدثَنَا ُوهَيْبٌ َح َّدثَنَا اب ُْن طَا ُو‬
‫ا‬KKَ‫ض بِأ َ ْهلِه‬
َ ِ‫رائ‬Kَ Kَ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْل ِحقُوا ْالف‬ َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫س ق‬ ٍ ‫َعبَّا‬
‫فَ َما بَقِ َي فَهُ َو أِل َوْ لَى َر ُج ٍل َذ َك ٍر‬
Terjemahnya:
23

Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah


menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami
Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu ‘Abbas mengatakan, Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Beikanlah bagian fara’idh
(warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak, maka bagian
yang tersisa bagi pewaris lekaki yang paling dekat (nasabnya).”21

2) Hadits nomor 6243

َ‫ب ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرة‬ ِ َّ‫ب ع َْن ا ْب ِن ْال ُم َسي‬ ٍ ‫ْث ع َْن اب ِْن ِشهَا‬ ُ ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا اللَّي‬
‫ َرأَ ٍة ِم ْن بَنِي‬KK‫لَّ َم فِي َجنِي ِن ا ْم‬KK‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬ َ ِ ‫ضى َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫أَنَّهُ قَا َل ق‬
ْ Kِ‫ا ب‬KKَ‫ى لَه‬K‫ض‬
‫ال ُغ َّر ِة‬K َ َ‫رْ أَةَ الَّتِي ق‬KK‫ ٍة ثُ َّم إِ َّن ْال َم‬K‫لَحْ يَانَ َسقَطَ َميِّتًا بِ ُغ َّر ٍة َع ْب ٍد أَوْ أَ َم‬
‫ا‬KKَ‫ا لِبَنِيه‬KKَ‫أ َ َّن ِمي َراثَه‬KKِ‫لَّ َم ب‬K ‫ ِه َو َس‬K‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬K ‫ص‬
َ ِ ‫و ُل هَّللا‬K ‫ى َر ُس‬K ‫ض‬ َ َ‫ت فَق‬ ْ َ‫ ُوفِّي‬K ُ‫ت‬
َ ‫َوزَ وْ ِجهَا َوأَ َّن ْال َع ْق َل َعلَى َع‬
‫صبَتِهَا‬
Terjemahnya:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada
kami Al Laits dari Ibnu Syihab dari Ibnu Musayyab dari Abu Hurairah
bahwasannya ia mengatakan; Rasulullah Shalallahualaihi wasallam
menetapkan tentang janin wanita dari Bani lahyan yang keguguran
dengan ghurrah (pembayaran diyat dengan satu budak atau budak
perempuan), kemudian wanita yang beliau putuskan membayar
ghurrah meninggal, maka Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam
memutuskan bahwa warisannya untak laki-lakinya dan suaminya,
sedang diyatnya bagi ‘ashobahnya.22

3) Hadits nomor 6244

‫لَ ْي َمانَ ع َْن‬K ‫ ْعبَةَ ع َْن ُس‬K ‫ر ع َْن ُش‬K ٍ Kَ‫ َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ب ُْن َج ْعف‬K‫َح َّدثَنَا بِ ْش ُر ب ُْن خَالِ ٍد َح‬
ِ ‫و ِل هَّللا‬K‫ ِد َر ُس‬K‫ ٍل َعلَى َع ْه‬Kَ‫ضى فِينَا ُم َعا ُذ ب ُْن َجب‬ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫إِ ْب َرا ِهي َم ع َْن اأْل َس َْو ِد ق‬
ُ ‫لَ ْي َم‬K‫ا َل ُس‬KKَ‫ت ثُ َّم ق‬
‫ان‬ ِ ‫ف لِأْل ُ ْخ‬ ُ K‫ص‬ ْ ِّ‫ ِة َوالن‬Kَ‫ف لِاْل ْبن‬ ُ K‫ص‬ ْ ِّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الن‬
َ
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ْ
ِ ‫ضى فِينَا َولَ ْم يَذ ُكرْ َعلَى َع ْه ِد َرس‬ َ َ‫ق‬
Terjemahnya:
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Khalid telah menceritakan
kepada kami Muhammad Ja’far dari Syu’bah dari Sulaiman dari
Ibrahim dari Al Aswad mengatakan; Mua’adz bin Jabal memutuskan
bagi kami dimasa Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam untuk anak
perempuan mendapatkan separoh, saudara perempuan mendapat

21
Abi Abdullah Muhammad, Sohih Bukhori, Juz 4. h.166
22
Ibid, h.167
24

separoh, kemudian Sulaiman mengatakan; ‘ia memutuskan ditengah-


tengah kami’ tanpa menyebut di masa Rasulullah
23
Shallallahu’alaihiwasallam.

4) Hadits nomor 6248

‫ي ٍن ع َْن أَبِي‬K‫ص‬ ِ ‫ َرائِي َل ع َْن أَبِي َح‬K‫ ُد هَّللا ِ ع َْن إِ ْس‬K‫ا ُعبَ ْي‬KKَ‫و ٌد أَ ْخبَ َرن‬KK‫َح َّدثَنَا َمحْ ُم‬
ُ ‫لَّى هَّللا‬K‫ص‬ َ ِ ‫و ُل هَّللا‬K‫ال َر ُس‬K َ Kَ‫ال ق‬K ِ ‫ َرةَ َر‬K‫ح ع َْن أَبِي هُ َر ْي‬
َ Kَ‫هُ ق‬K‫ َي هَّللا ُ َع ْن‬K‫ض‬ ٍ ِ‫صال‬ َ
ُ‫ه‬Kُ‫ ااًل فَ َمال‬K‫ك َم‬ َ ‫ َر‬Kَ‫اتَ َوت‬KK‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَنَا أَوْ لَى بِ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ِم ْن أَ ْنفُ ِس ِه ْم فَ َم ْن َم‬
ُّ‫ل‬KK‫هُ ْال َك‬Kَ‫ا َولِيُّهُ فَأِل ُ ْدعَى ل‬KKَ‫يَاعًا فَأَن‬K‫ض‬
َ ْ‫ك َكاًّل أَو‬ َ ‫والِي ْال َع‬K
َ Kَ‫بَ ِة َو َم ْن ت‬K‫ص‬
َ ‫ر‬K َ K‫لِ َم‬
‫ْال ِعيَا ُل‬
Terjemahnya:
Telah menceritakan kepada kami Mahmud telah mengabarkan kepada
kami Ubaidullah dari Israil dari Abu Hushain dari Abu Shalih dari Abu
Hurairah radliallahu’anhu mengatakan; Rasulullah
Shalallahu’alaihiwasallam bersabda: “Saya lebih berhak menanggung
urusan orang-orang mukmin daripada mereka sendiri, maka siapa mati
dan meninggalkan harta maka hartanya untuk ahli warisnya yang
ashabah, dan barangsiapa meninggalkan hutang atau anak yang
terlantar, saya walinya maka hendaknya memanggil saya untuk
menanggung hutangnya dan anak-anknya.”24

5) Hadits nomor 6266

َ‫ َرة‬K‫از ٍم ع َْن أَبِي هُ َر ْي‬ ِ K‫ ِديٍّ ع َْن أَبِي َح‬K‫ ْعبَةُ ع َْن َع‬K‫َح َّدثَنَا أَبُو ْال َولِي ِد َح َّدثَنَا ُش‬
‫ك‬ َ Kَ‫ا َل َم ْن ت‬KKَ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ ‫ َر‬K َ‫ ِه َو َم ْن ت‬K ِ‫ ااًل فَلِ َو َرثَت‬K‫ركَ َم‬K َ ‫ع َْن النَّبِ ِّي‬
‫َكاًّل فَإِلَ ْينَا‬
Terjemahnya:

Telah menceritakan kepada kami Abul Wahid telah menceritakan


kepada kami Syu’bah dari ‘Adi dari Abu Hazim dari Abu Hurairah
dari Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Barangsiapa
meninggalkan harta, maka bagi ahli warisnya, dan barangsiapa
meninggalkan tanggungan, maka kami yang menjaminnya.25

23
Ibid, h.167
24
Ibid, h.167
25
Ibid, h.169
25

6) Hadits nomor 6267

‫ب ع َْن َعلِ ِّي ْب ِن ُح َس ْي ٍن ع َْن‬ ٍ ‫ْج ع َْن اب ِْن ِشهَا‬ ِ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ع‬
ٍ ‫َاص ٍم ع َْن ا ْب ِن ُج َري‬
‫لَّى‬K‫ص‬
َ ‫ي‬ َّ ِ‫ا أَ َّن النَّب‬KK‫ َي هَّللا ُ َع ْنهُ َم‬K‫ض‬ِ ‫ ٍد َر‬K‫َع ْم ِرو ب ِْن ُع ْث َمانَ ع َْن أُ َسا َمةَ ب ِْن زَ ْي‬
‫ث ْال ُم ْسلِ ُم ْال َكافِ َر َواَل ْال َكافِ ُر ْال ُم ْسلِ َم‬
ُ ‫هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل اَل يَ ِر‬
Terjemahnya:
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim dari Ibnu Juraji dari
Ibnu Syihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah
bin Zaid radliallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihiwasallam
bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir
tidak mewarisi orang muslim.”26

Selain bersumber kepada Al-qur’an dan Al-Hadits, hukum waris Islam di

Indonesia juga bersumber dari Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam buku II

dijelaskan mengenai hukum kewarisan yang mencakup ketentuan umum,

besarnya bahagian, ahli waris, rad dan aul, hibah, dan wasiat.

2.1.3 Al-Ijma

Al-ijma yaitu kaum muslimin menerima ketentuan yang telah ditetapkan di

dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah tentang hukum waris sebagai ketentuan yang harus

dilakukan yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Di dalam

kamus istilah fiqh, Ijma diartikan sebagai kesepakatan atau pendapat para sahabat

atau para ulama dalam berijtihat.27Karena telah diterima dengan sepakat, maka tidak

ada alasan untuk menolaknya

26
Ibid, h.170
27
M.Abdul Mujieb, dkk. Kamus Istilah Fiqh. h.115
26

2.1.4 Al-Ijtihad

Al-Ijtihad yaitu pemikiran para sahabat atau ulama yang sudah memiliki

kriteria sebagai mujtahid dan sudah mencukupi syarat sebagai mujtahid untuk

menjawab berbagai persoalan yang muncul dalam pembagian harta waris. Dalam

istilah fiqh, Ijtihad adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh

para ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum syar’i, menggali permasalahan

keIslaman dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis serta dengan qiyas atau analog

yang tepat.28

2.2 Rukun dan Syarat Waris

Ada beberapa rukun yang harus terpenuhi dalam pembagian harta waris.

Rukun waris ada tiga, yakni:

a) Al-Muwarrits (pewaris) yaitu orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah

muwarrits ini benar-benar sudah wafat.

b) Al-Warits (ahli waris) yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan

kekerabatan baik karena hubungan darah atau sebab-sebab perkawinan atau

akibat memerdekakan budak (wala’)

c) Al-Mauruts (harta warisan) yaitu harta peninggalan Muwarits setelah dikurangi

biaya perawatan jenazah, pelunasan utang dan setelah pelaksanaan wasiat.29

28
Ibid, h.117
29
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris. h.15
27

Selain rukun tersebut diatas terdapat juga syarat-syarat sahnya mendapatkan

harta waris, yakni ada tiga:

a) Meninggalnya seseorang (pewaris), baik meninggal secara hakiki maupun

meninggal secara hukum (misalnya telah dianggap meninggal). Yang dimaksud

dengan meninggalnya pewaris baik secara hakiki atau hukum adalah seseorang

telah meninggal dan diketahui oleh ahli warisnya, atau vonis yang ditetapkan

oleh hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui keberadaannya.

Kematian muwarits menurut ulama sebagaimana dikutip oleh Dr. Beni

Ahmad Saebani dalam kitab Fatchur Rahman, dibedakan dalam tiga macam,

yaitu:

i. Mati haqiqiy (sejati), adalah kematian yang dapat disaksikan oleh

pancaindra.

ii. Mati hukmy (menurut putusan hakim), adalah kematian yang disebabkan

karna adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup maupun sudah

mati.

iii. Mati taqdiry (menurut dugaan), adalah kematian yang didasarkan pada

dugaan atau persangkaanyang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah

mati.30

b) Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal

dunia. Yang dimaksud adalah hak kepemilikan dari pewaris harus dipindahkan

30
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris. h.130
28

kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang

sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.

c) Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-

masing. Dalam hal ini posisi ahli waris harus diketahui secara pasti, misalnya

suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagian mengetahui dengan

pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris.

Sebab dalam hukum waris, perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan

membedakan jumlah yang diterima, karena tidak cukup hanya mengatakan

bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris.31

2.3 Sebab-sebab mendapatkan harta waris

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris, yaitu:

1. Nasab Hakiki (yang ada ikatan nasab), ahli waris dengan sebab hubungan

darah atau kerabat sering disebut ahli waris nasabiyah, artinya orang berhak

memperoleh bagian harta peninggalan karena ada hubungan darah (nasab).

Allah swt berfirman dalam QS al-Anfal : 75

‫ ِام‬K‫و اأْل َرْ َح‬KKُ‫كَ ِم ْن ُك ْم َوأُول‬KKِ‫ ُدوا َم َع ُك ْم فَأُولَئ‬Kَ‫َاجرُوا َو َجاه‬ َ ‫َوالَّ ِذينَ آَ َمنُوا ِم ْن بَ ْع ُد َوه‬
‫ب هَّللا ِ إِ َّن هَّللا َ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬ ٍ ‫ضهُ ْم أَوْ لَى بِبَع‬
ِ ‫ْض فِي ِكتَا‬ ُ ‫بَ ْع‬
Terjemahnya:
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta
berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga).
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab
Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
31
Ibid. h.130
29

2. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang

laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim

(bersenggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang rusak tidak bisa

menjadikan sebab uintuk mendapatkan hak waris. Allah berfirman dalam QS

an-Nisa : 12

‫ ٌد فَلَ ُك ُم‬K َ‫انَ لَه َُّن َول‬KK‫إ ِ ْن َك‬K َ‫ ٌد ف‬K َ‫ك أَ ْز َوا ُج ُك ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَه َُّن َول‬ َ Kَ‫ا ت‬KK‫ف َم‬
َ ‫ر‬K ُ K‫ص‬ ْ ِ‫َولَ ُك ْم ن‬
‫ َر ْكتُ ْم‬Kَ‫ ُع ِم َّما ت‬Kُ‫ا أَوْ َدي ٍْن َولَه َُّن الرُّ ب‬KKَ‫ينَ بِه‬K‫ُوص‬ ِ ‫صيَّ ٍة ي‬ ِ ‫الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكنَ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
‫يَّ ٍة‬K‫ص‬ ِ ‫ ِد َو‬K‫ َر ْكتُ ْم ِم ْن بَ ْع‬Kَ‫ ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُم ُن ِم َّما ت‬Kَ‫انَ لَ ُك ْم َول‬KK‫إ ِ ْن َك‬Kَ‫إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد ف‬
‫ت‬ ٌ ‫هُ أَ ٌخ أَوْ أُ ْخ‬Kَ‫ َرأَةٌ َول‬K‫ةً أَ ِو ا ْم‬Kَ‫ث كَاَل ل‬ ُ ‫و َر‬KKُ‫ ٌل ي‬Kُ‫تُوصُونَ بِهَا أَوْ َد ْي ٍن َوإِ ْن َكانَ َرج‬
‫ث ِم ْن‬ ِ ُ‫ َر َكا ُء فِي الثُّل‬K ‫كَ فَهُ ْم ُش‬KKِ‫ َر ِم ْن َذل‬K َ‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ فَإ ِ ْن َكانُوا أَ ْكث‬ ِ ‫فَلِ ُك ِّل َو‬
‫صيَّةً ِمنَ هَّللا ِ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َحلِي ٌم‬
ِ ‫ضا ٍّر َو‬ َ ‫صى بِهَا أَوْ َدي ٍْن َغي َْر ُم‬ َ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ِ ‫بَ ْع ِد َو‬
Terjemahnya:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika sesorang mati, baik laki-
laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetap mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-itqi’

dan wala an-ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak


30

yang dilakukan dengan seseorang. Dalam hal ini, orang yang

membebaskannya mendapat kenikmanatan berupa kekerabatan (ikatan) yang

dinamakan wala al-itqi’. Orang yang membebaskan budak berarti telah

mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Oleh

karena itu, Allah swt menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap

budak yang dibebaskan bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki,

baik karena ada kekerabatan (nasab) ataupun ada tali pernikahan.

2.4 Sebab-sebab Penghalang Menerima Waris

Para ulama madzhab sepakat bahwa ada tiga hal yang menghalangi warisan.

Orang yang terhalang untuk mendapatkan warisan adalah orang yang sebenarnya

memenuhi sebab-sebab untuk memperoleh warisan, tetapi dia kehilangan hak untuk

memperolehnya. Orang yang demikian dinamakan mahrum.32yaitu :

2.4.1 Budak

Seseorang yang berstatus budak tidak memiliki hak untuk mewarisi

sekalipun dari saudaranya. Karena segala sesuatu yang dimiliki oleh budak

secara langsung milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak

murni), mudabbar budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya

meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian

32
Fikri dan Wahidin, “Konsepsi Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat”, Jurnal Ilmu
Syariah dan Hukum Islam Vol. 1 No. 2, 2016, h. 199
31

pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua

belah pihak). Itulah sebabnya semua jenis budak merupakan penganggur hak

untuk waris mewarisi, disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.

Dalam QS an-Nahl : 75 disebutkan:

‫نًا‬KK‫ب هَّللا ُ َمثَاًل َع ْبدًا َم ْملُو ًكا اَل يَ ْق ِد ُر َعلَى َش ْي ٍء َو َم ْن َر َز ْقنَاهُ ِمنَّا ِر ْزقًا َح َس‬
َ ‫ض َر‬ َ
َ َ ْ َ ‫هَّلِل‬ ْ ً
َ‫ق ِمنهُ ِس ّرا َو َج ْهرًا هَلْ يَ ْستَوُونَ ال َح ْم ُد ِ بَلْ أكث ُرهُ ْم اَل يَ ْعل ُمون‬ ْ ْ
ُ ِ‫فَهُ َو يُنف‬
Terjemahnya:
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang
yang kami beri rezeki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan
sebagian dari rezeki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan,
adakah mereka sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi
kebanyakan mereka tiada mengetahui.”

Budak hanya akan mendapatkan waris jika telah dimerdekakan,

misalnya merdekanya budak karena adanya perjanjian dengan tuannya,

sebagaimana Allah swt berfirman QS an-Nisa : 33 yang berbunyi:

‫انُ ُك ْم‬KK‫َت أَ ْي َم‬


ْ ‫د‬K َ‫ونَ َوالَّ ِذينَ َعق‬KKُ‫َان َواأْل َ ْق َرب‬
ِ ‫د‬K ِ‫ركَ ْال َوال‬K َ K‫ا َم‬KKَ‫لٍّ َج َع ْلن‬KK‫َولِ ُك‬
َ Kَ‫والِ َي ِم َّما ت‬K
‫صيبَهُ ْم إِ َّن هَّللا َ َكانَ َعلَى ُكلِّ َش ْي ٍء َش ِهيدًا‬ ِ َ‫فَآَتُوهُ ْم ن‬
Terjemahnya:
Bagi tiap-tiap peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibuk bapak
dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada)
orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu.

Seorang majikan dapat melakukan perjanjian dengan budaknya untuk

memerdekakannya atau merdekanya budak itu dikaitkan dengan suatu sifat,


32

sebagaimana majikan berkata kepada budaknya, “jika istriku melahirkan

anak laki-laki maka engkau merdeka”.

2.4.2 Pembunuhan

Para fuqoha sepakat bahwa salah satu sebab penghalang seseorang

mendapat warisan adalah pembunuhan.33Ahli waris yang membunuh pewaris

maka ia tidak akan menerima harta warisannya. Hal ini berdasarkan sabda

Rasulullah saw:

)‫ْس لِ ْلقَاتِ ِل ِم ْن تِرْ َك ِة ْال َم ْقطُوْ ِل َش ْي ٌء (صححه ابن عيدال يروغيره‬


َ ‫لَي‬
Terjemahnya:
“Bagi seorang pembunuh tidak ada hak mewarisi sedikitpun dari
peninggalan (tirkah) orang yang dibunuh.” (Hadis ini disahihkan oleh
Ibn abdil Bar dan yang lainnya)

Seorang yang telah membunuh tidak akan mendapatkan harta

warisan dari pewarisnya karena tindakan tersebut merupakan suatu

perbuatan keji yang hanya akan mendatangkan kerusakan dan kekacauan di

muka bumi ini. Hikmahnya adalah, jika membunuh tidak terhalang dalam

memperoleh harta waris maka orang akan berduyun-duyun melakukan

pembunuhan terhadap ayah kandungnya sendiri atau ibunya, karena ingin

cepat memperoleh harta warisannya. Oleh karena itu para imam madzhab

33
Mohammad Athoillah, Fiqh Mawaris, (Bandung: Yrama Widya, 2013) h.25
33

sepakat bahwa pembunuhan adalah salah satu sebab yang menggugurkan

penerimaan harta waris. Kaitannya dengan hal tersebut, ada kaidah fiqhiyah

yang berbunyi:

َ ِ‫ْج َل ال َّش ْيء قَب َْل أَ َوانِ ِه ُعوْ ق‬


‫ب بِ ِحرْ َمانِ ِه‬ َ ‫َم ِن ا ْستَع‬
Terjemahnya:
“Barang siapa tergesa-gesa ingin memperoleh sesuatu sebelum
waktunya, maka ia terkena sanksi tidak mendapatkannya.”

Dalam penentuan jenis pembunuhan para fuqoha berbeda pendapat.

Ulama Hanafiyah menentukan semua jenis pembunuhan yang wajib

membayar kafarat dapat menggugurkan hak waris. Adapun Ulama

Malikiyah berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau

pembunuhan yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa setiap jenis pembunuhan yang

mengharuskan pelakunya diqhishash, membayar diyat, atau membayar

kafarat adalah pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris.

Selain itu, tidak tergolong sebagai penggugur hak waris, sekalipun hanya

memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau

bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan

qhishash atau hukuman mati pada umumnya.

2.4.3 Perbedaan Agama

Ulama syafi’iyah, hanabilah, hanafiyah, dan malikiah sepakat bahwa

perbedaan agama menjadi penghalang menerima harta warisan. Seorang


34

muslim tidak dapat mewariskan orang kafir, dan sebaliknya orang kafir tidak

bisa mewarisi orang Islam. Jika yang meninggal dunia orang muslim,

sedangkan ahli warisnya bukan muslim maka ahli waris itu tidak berhak

mendapatkan harta waris. Rasulullah saw bersabda:

)‫ث ْال ُم ْسلِ ُم ْال َكافِ َر َوالَ ْال َكافِ ُر ْال ُم ْسلِ َم (متفق عليه‬
ُ ‫الَيَ ِر‬
Terjemahnya:
“Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, demikian juga orang kafir
tidak mewarisi orang muslim” (Muttafaq alaih)

Hadis lain mengatakan:

‫ث اَه ُل ِملَّتَ ْي ِن َشتَّى‬


ُ ‫ار‬
َ ‫الَيَتَ َو‬
Terjemahnya:
“Tidak saling mewarisi antara orang-orang yang berbeda agama”

Sementara itu, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa orang

Islam boleh menerima waris dari orang kafir. Sebaliknya, orang kafir tidak

boleh menerima harta waris dari orang Islam. Pendapat tersebut bersandar

pada hadis yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal r.a. Pandangan yang

paling rajih adalah yang menyatakan tidak saling mewarisi antara muslim

dan kafir dan sebaliknya antara kafir dan muslim, sedangkan antara Yahudi

dan Nasrani dapat saling mewarisi karena keduanya kafir. Allah swt

berfirman dalam Q.S Yunus ayat 32:

َ‫ضاَل ُل فَأَنَّى تُصْ َرفُون‬ ِّ ‫ق فَ َما َذا بَ ْع َد ْال َح‬


َّ ‫ق إِاَّل ال‬ ُّ ‫فَ َذلِ ُك ُم هَّللا ُ َربُّ ُك ُم ْال َح‬
Terjemahnya:
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang
sebenarnya, maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan
kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?
35

Sebagian ulama berpendapat bahwa murtad merupakan penggugur

hak mewarisi, yakni orang yang telah keluar dari Islam. Murtad termasuk

dalam kategori perbedaan agama sehingga orang murtad tidak dapat

mewarisi orang Islam. Terjadi perbedaan pendapat terhadap hak waris

seseorang yang kerabatnya murtad. Jumhur fuqaha (Syafi’iyah, Hanabilah,

dan Malikiyah yang sahih) berpendapat bahwa orang muslim tidak boleh

menerima harta waris dari orang yang telah murtad karena orang muslim

tidak mewariskan kepada orang kafir, dan orang yang murtad termasuk

golong orang yang kafir.

Menurut Hanafiyah, harta orang murtad dapat diwariskan kepada

kerabatnya yang muslim. Pendapat ini berdasarkan riwayat Abu Bakar, Ali

bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan lainnya. Apabila mengacu kepada hadis

yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, tidak ada

penafsiran lain bahwa orang muslim tidak mewariskan harta kepada orang

kafir, demikian juga orang kafir, karena murtad artinya menjadi kafir, maka

ketentuan tersebut sama, artinya tidak ada dalil lain yang membenarkan

orang murtad mewariskan harta kepada orang muslim, karena murtad itu

sendiri berarti telah menjadi kafir.34

34
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris. h.118
36

2.5 Asas-asas Hukum Waris

Menyangkut asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat hukum

kewarisan serta sunnah Nabi Muhammad saw. Asas-asas dimaksud dapat

diklasifikasikan sebagai berikut.

2.5.1 Asas Ijbari

Secara etimologis kata ijbari mengandung arti paksaan (compulsory),

yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Peralihan harta seseorang

yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup terjadi dengan

sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan

kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris tidak dapat menghalang-halangi

atau menolak terjadinya peralihan tersebut. Dengan kata lain,ketika pewaris

mati harta waris beralih kepada ahli waris secara otomatis tanpa terkecuali,

apakah ahli warisnya menerima atau tidak.35

Ketentuan asas ijbari ini dapat dilihat antara lain pada QS. Al-Nisa

(4) ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi seseorang laki-laki maupun

perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabatnya.

Kata nasib dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai saham, bagian, atau

jatah dari harta peninggalan si pewaris

35
Suhrawandi dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet.2.
2008) h.39
37

2.5.2 Asas Bilateral

Yang dimaksud asas bilateral dalam hukum waris Islam adalah

bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis

kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun laki-laki.36

Asas bilateral ini dapat ditemui dalam ketentuan QS. Al-Nisa (4) ayat

7,11,12 dan 176. Antara lain dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang laki-laki

berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun dari pihak ibunya.

Begitu pula seorang perempuan mendapatkan warisan dari kedua pihak

orang tuanya.

2.5.3 Asas Individual

Yang dimaksud dengan asas individual adalah setiap ahli waris

(secara individu) berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada

ahli waris lainnya. Dengan kata lain, bagian yang didapat ahli waris dari

harta pewaris dimiliki secara perorangan, dan ahli waris lainnya tidak ada

hubungannya sama sekali dengan bagian yang diperolehnya tersebut,

sehingga individu masing-masing ahli waris bebas menentukan atas bagian

yang diperolehnya.37

36
Ibid
37
Ibid
38

Ketentuan atas individual ini dapat dijumpai dalam QS Al-Nisa (4)

ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagian masing-masing (ahli waris secara

individual) telah ditentukan.

2.5.4 Asas Keadilan Berimbang

Yang dimaksud asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara

hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan

keperluan dan kegunaan. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa

faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan.38

2.5.5 Kewarisan Semata Akibat Kematian

Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta

hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan demikian, harta

seseorang tidak dapat beralih seandainya dia masih hidup. Walaupun ia

berhak untuk mengatur hartanya, hak tersebut semata-mata hanya sebatas

keperluannya semasa ia masih hidup, dan bukan untuk penggunaan harta

tersebut sesudah ia meninggal dunia.

Dengan demikian, hukum waris Islam tidak sama seperti yang

diterangkan dalam ketentuan hukum waris menurut Kitab Undang-undang

38
Ibid, h.41
39

Hukum Perdata (BW) yang dikenal dengan pewarisan secara abintestato dan

secara testamen.39

2.6 Ahli Waris dan Bagian-bagiannya

Ashabul Al-Furudh adalah waris-waris yang mempunyai bagian yang telah

ditentukan pada harta peninggalan dengan nash atau ijma’. Kelompok orang tersebut

adalah ibu, ayah, nenek, kakek shahihah (seterusnya keatas), anak perempuan, cucu

perempuan garis laki-laki (seterusnya menurun), saudari kandung, saudari tunggal

ayah, saudari tunggal ibu (Ashabul Furudh Nasabiyah : kelompok orang yang

berdasar hubungan sedarah) dan suami atau istri (Ashabul Furudh Sababiyah :

hubungan sebab perkawinan).40

Al Qur’an telah menentukan bagian Ashab Furudh, yang dibagi menjadi enam

macam, yaitu:

2
1. Dua pertiga ( )
3

1
2. Sepertiga ( ¿
3

1
3. Seperenam ( ¿
6

1
4. Seperdua ( ¿
2

39
Ibid
40
Teuku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, Cet.1.
2010) h.58
40

1
5. Seperempat ( ¿
4

1
6. Seperdelapan ( ¿
8

Berikut penjelasan tentang Ashabul Al-Furudh beserta ahli waris yang berhak

menerima bagian-bagiannya:

2
a. Ahli waris yang mendapat bagian ada empat orang, yakni:
3

1. Dua anak perempuan atau lebih, dengan ketentuan apabila mereka tidak

meninggalkan anak laki-laki. Atau dengan kata lain mereka tidak bersama-

sama dengan mu’ashib-nya (orang yang menjadikan ashabah).

2. Dua cucu perempuan pancar laki-laki atau lebih, dengan ketentuan apabila

mereka tidak meninggalkan:

a) anak dan

b) cucu laki-laki.

3. Dua orang saudari sekandung atau lebih, dengan ketentuan apabila mereka

tidak meninggalkan:

a) anak,

b) cucu,

c) bapak,

d) kakek,

e) saudara laki-laki sekandung.


41

4. Dua orang saudari seayah atau lebih, dengan ketntuan apabila mereka tidak

meninggalkan:

a) anak perempuan kandung,

b) cucu perempuan pancar laki-laki,

c) saudari kandung,

d) bapak,

e) kakek, dan

f) saudara seayah.

1
b. Ahli waris yang mendapat bagian ada dua orang, yakni:
3

1. Ibu, dengan ketentuan apabila mereka tidak meninggalkan:

a) anak,

b) cucu, dan

c) saudara-saudara lebih dari seorang, sekandung atau seayah atau seibu

saja.

2. Anak-anak ibu (saudara seibu/saudara tiri bagi mereka) laki-laki, maupun

perempuan, dua orang atau lebih, dengan ketentuan apabila mereka tidak

meninggalkan:

a) anak,

b) cucu,

c) bapak, dan

d) kakek.
42

1
c. Ahli waris yang mendapat bagian ada tujuh orang, yakni:
6

1. Ayah, dengan ketentuan apabila mereka meninggalkan:

a) anak, dan

b) cucu.

2. Ibu, dengan ketentuan apabila mereka meninggalkan:

a) anak,

b) cucu, dan

c) saudara lebih dari seorang.

3. Kakek shahih, apabila mereka meninggalkan:

a) anak,

b) cucu.

4. Nenek shahih, apabila mereka tidak meninggalkan (tidak bersama-sama)

seorang ibu.

5. Seorang saudara seibu, laki-laki maupun perempuan apabila mereka tidak

meninggalkan:

a) anak,

b) cucu,

c) bapak, dan

d) kakek.

6. Cucu perempuan pancar laki-laki seorang atau lebih, apabila mereka

meninggalkan (bersama-sama) dengan seorang anak perempuan kandung.


43

7. Seorang saudari seayah atau lebih, apabila mereka meninggalkan seorang

saudara perempuan sekandung, tidak lebih, dan tidak meninggalkan:

a) anak laki-laki

b) cucu laki-laki

c) bapak,

d) saudara laki-laki sekandung, dan

e) saudara laki-laki seayah.

1
d. Ahli waris yang mendapat bagian ada lima orang, yakni:
2

1. Seorang anak perempuan, dengan ketentuan apabila ia tidak bersama

dengan anak laki-laki yang menjadi mu’ashshib-nya (tidak ada anak laki-

laki).

2. Seorang cucu perempuan pancar laki-laki, dengan ketentuan apabila ia

tidak bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu laki-lakiyang

menjadi mu’ashshib-nya.

3. Suami, dengan ketentuan apabila mereka tidak meninggalkan:

a) anak, dan

b) cucu.

4. Seorang saudari sekandung, dengan ketentuan apabila mereka tidak

meninggalkan:

a) anak laki-laki,

b) cucu laki-laki,
44

c) anak perempuan lebih dari seorang,

d) cucu perempuan lebih dari seorang,

e) saudara laki-laki sekandung,

f) bapak, dan

g) kakek.

5. Seorang saudari seayah, dengan ketentuan apabila mereka tidak

meninggalkan:

a) anak laki-laki,

b) cucu laki-laki,

c) anak perempuan lebih dari seorang,

d) cucu perempuan lebih dari seorang,

e) saudara laki-laki sekandung,

f) bapak, dan

g) kakek

1
e. ahli waris yang mendapat bagian ada dua orang, yakni:
4

1. Suami, dengan ketentuan apabila mereka meninggalkan:

a) anak, dan

b) cucu.

2. Istri, dengan ketentuan apabila mereka tidak meninggalkan:

a) anak, dan

b) cucu.
45

1
f. Ahli waris yang mendapat bagian satu orang, yakni:
8

Istri, seorang atau lebih dengan ketentuan apabila mereka meninggalkan:

a) anak, dan

b) cucu.

1
g. Ahli waris yang mendapat bagian ada dua orang, yakni:
3

1. Ibu, dengan ketentuan apabila mereka tidak meninggalkan:

a) anak,

b) cucu,

c) saudara lebih dari seorang.

2. Saudara seibu (saudara tiri) lebih dari seorang, dengan ketentuan apabila

mereka tidak meninggalkan:

a) anak,

b) cucu,

c) bapak, dan

d) kakek.
BAB III

GEOGRAFIS SOSIAL DUSUN JALAWASTU DI DESA

CISEUREUH

3.1 Profil Dusun Jalawastu

Dusun Jalawastu adalah salah Satu dusun yang terdapat di wilayah Desa

Ciseureuh kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah.

Mayoritas penduduknya yaitu menganut Agama Islam. Penduduk Dusun Jalawastu

secara umum ialah bermata pencaharian sebagai petani jagung. Dusun Jalawastu

terdiri dari satu kepala Dusun yang biasa disebut Pemangku adat yang merupakan

bawahan dari kepala Desa Ciseureuh.41

Kampung adat Jalawastu masih memegang teguh adatnya seperti tidak

membangun rumah yang terbuat dari semen dan bata, tidak menanam bawang, dan

menjaga kelestarian budaya dengan tetap menjalankan tradisinya yakni Upacara

Ngasa yang diadakan setiap tahun sekali. Dusun ini juga sering disebut orang-orang

“Baduynya Jawa Tengah” karena cukup mirip dengan suku Baduy dan berada di

Jawa Tengah. Selain karena budayanya yang mirip, bahasa yang digunakan oleh

masyarakat Dusun Jalawastu adalah bahasa Sunda.

41
Wawancara Dengan Darso, tanggal 4 Februari 2020 di rumah kediaman Darso.
47

Walaupun mirip dengan Baduy dan memiliki spot pemandangan yang bagus,

Dusun Jalawastu belum ramai didatangi oleh pengunjung. Sehingga saat kesana pun

kita dapat bercengkrama langsung dengan masyarakatnya yang ramah.

Daerah Ciseureuh merupakan daerah yang memiliki area pertanian yang

subur, yang sebagian besar daratan dan sebagian kecil sungai dengan luas wilayah

3931 ha. Desa Ciseureuh juga termasuk daerah yang memiliki iklim tropis. Batas

wilayah Desa Ciseureuh adalah sebagai berikut:

3.1.1 Batas Wilaya

Batas Desa/Kelurahan Kecamatan


Sebelah Utara Sindang Jaya Kersana
Sebelah Selatan Jemasih Salem
Sebelah Timur Kamal Larangan
Sebelah Barat Pamedaran Banjarharjo

3.1.2 Kependudukan

Jumlah penduduk yang tercatat secara administrasi yaitu berjumlah total 4409

orang yang terdiri dari 2270 orang berjenis kelamin laki-laki dan 2139 orang berjenis

kelamin perempuan, dengan total jumlah keluarga (KK) berjumlah 1899 KK. Hal ini

berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Ciseureuh, 42

Tabel 1. Jumlah Penduduk


42
Sumber Data: Kantor Kepala Desa 2020
48

Jumlah Laki-laki 2270 Orang


Jumlah Perempuan 2139 Orang
Jumlah Total 4409 Orang
Jumlah Kepala Keluarga 1899 KK
Kepadatan Penduduk 22.963,54 per KM

Penduduk di Dusun Jalawastu ini umumnya bermata pencaharian petani

jagung, namun ada juga yang bekerja sebagai guru dan merantau ke kota. Masyarakat

Dusun Jalawastu disibukkan sehari-harinya dengan bertani, bukan hanya jagung,

tetapi juga bertani padi, buah-buahan, dan juga berternak. Dibalik semua kesibukan

tersebut, masyarakat Dusun Jalawastu masih mempunyai kepedulian yang tinggi

untuk mengikuti adat-istiadat mereka, yaitu apabila ada orang orang yang meninggal

dunia atau melangsungkan perkawinan atau ada orang yang ingin membangun rumah,

mereka akan meningalkan pekerjaan mereka dan melaksanakan kewajiban sebagai

anggota masyarakat Dusun Jalawastu, yaitu datang ke rumah keluarga orang yang

meninggal dunia atau datang ke orang yang sedang melaksanakan pernikahan atau

bergotong royong membantu membangun rumah apabila ada yang sedang

membangun rumah.

3.1.3 Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu kewajiban yang harus terpenuhi agar tidak

tertinggal oleh arus zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seakan-
49

akan menjadi tumpuan dan harapan manusia. Akan tetapi di Dusun Jalawastu ini

masih sangat minim dalam masalah pendidikan, di Desa Ciseureuh saja hanya ada

terdapat 5 buah play group (PAUD), 1 buah taman kanak-kanak (TK), dan 2 buah

sekolah dasar (SD). Sekolah menengan pertama (SMP) dan sekolah menengah atas

(SMA) berada di Desa sebelah, yaitu Desa Sidang Jaya. Jarak tempuh SMP dan SMA

tersebut dari Dusun Jalawastu sangat jauh, sekitar 10 Km. Jadi anak-anak di Dusun

Jalawastu setelah tamat SD rata-rata langsung bekerja atau membantu orang tua di

pertanian dan ada juga yang merantau, dan untuk yang perempuan di Dusun

Jalawastu sudah mulai dijodohkan dengan pria lain atau langsung dinikahkan, karna

pernikahan dini di Dusun Jalawastu merupakan suatu hal yang biasa.

Tabel 2. Keadaan Pendidikan

Status Kepemilikan
Jumlah
Nama Jumlah (Terdaftar, Desa/Ke
Pemerintah Swasta Tenaga
terakreditasi) lurahan
Play
5 Terdaftar 2 1 2 6
Group
TK 1 Terdaftar 0 1 0 3

SD 2 Terdaftar 2 0 0 15
50

3.1.4 Keadaan Sosial Keagamaan

Keadaan keagamaan dimasyarakat Dusun Jalawas sudah cukup baik walaupun

dengan tingkat pemahaman dan penghayatan yang kurang dengan tingkat pendidikan

yang mereka miliki. Karena seluruh penduduk Dusun Jalawastu menganut Agama

Islam bahkan seluruh masyarakat Desa Ciseureuh pun menganut Agama Islam.

Perayaan hari-hari besar Islam, kegiatan shalat Jumat, dan tahlilan apabila ada

orang yang meninggal dunia merupakan keadaan pengamalan syariat Islam pada

masyarakat Dusun Jalawastu yang dapat dilihat dengan nyata. Sarana peribadatan

yang ada di Dusun Jalawastu sangat kurang, karena hanya ada 1 surau atau musholla

dan sholat jamaah pun masih sangat jarang, hanya sholat sendiri-sendiri di rumah

masing-masing.

3.2 Praktik Pembagian Harta Warisan di Dusun Jalawastu Desa Ciseureuh

Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes

Yang dimaksud dengan praktik pembagian harta warisan ialah bagaimana cara

pewaris untuk mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan oleh ahli waris

setelah pewaris wafat.

Berbicara tentang harta warisan, berarti berbicara mengenai suatu peristiwa

yang penting dalam suatu masyarakat tertentu yaitu salah satu dari anggota

masyarakat tersebut ada yang meninggal dunia. Permasalahan ketika ada orang yang
51

meninggal dunia adalah bukan tentang kematian, akan tetapi harta yang ditinggalkan

oleh pewaris apabila orang yang meninggal tersebut mempunyai harta kekayaan.

Dalam praktek pembagian harta warisan keluarga di Dusun Jalawastu, Desa

Ciseureuh, kecamatan Ketanggungan, Brebes masih menggunakan hukum waris adat.

Hukum waris adat ialah himpunan kaidah sosial dalam masyarakat luas, tidak

termasuk hukum syara’ (agama).43 Mengenai pembagian harta warisan di Dusun

Jalawastu, Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan, Brebes masih menggunakan

peraturan adat yang berasal dari orang tua terdahulu yang secara turun temurun

dipakai di Dusun Jalawastu, atau bisa dibilang warisan nenek moyang mereka yang

diwariskan secara turun menurun oleh anak, cuu dan seterusnya.44

Berdasarkan hasil studi lapangan dari beberapa narasumber menunjukkan

bahwa masyarakat Dusun Jalawastu masih memegang erat peraturan yang dipegang

dari orang tua terdahulu yang mana praktik pembagian harta warisan masih

menggunakan peraturan adat.

Selain dari pada itu penentuan bagian untuk ahli waris dalam pembagian harta

warisan di Dusun Jalawastu, Desa Ciseureuh, kecamatan Ketanggunagan, Kabupaten

Brebes masih menggunakan hukum adat, yaitu menyamaratakan seluruh bagian yang

diterima ahli waris, tidak memandang apakah itu laki-laki atau perempuan, semua

dianggap sama. Akan tetapi ada bagian khusus yang diberikan dari pewaris kepada

anak yang terakhir kali mengurusi pewaris sebelum ia meninggal dunia. Barang siapa

43
M.Abdul Mujieb, dkk. Kamus Istilah Fiqh. h.3
44
Wawancara dengan Darso, tanggal 4 Februari 2020 di rumah kediaman Darso; Sudarto,
tanggal 4 Februari 2020 di rumah kediaman Darso
52

ada anak yang mengurusi pewaris sebelum ia meninggal dunia maka ia berhak

mendapatkan bagian dari harta warisan.45

Hal tersebut seakan sudah menjadi suatu tradisi dalam keluarga apabila ada

salah satu masyarakat di Dusun Jalawastu yang meninggal dunia dan ia meninggalkan

sebuah harta benda maka untuk menentukan bagian bagi para ahli waris masih

menggunakan peraturan adat. Peraturan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat

Jalawastu ialah membagi rata seluruh harta warisan kepada ahli waris. Dan yang

dinamakan ahli waris disini yaitu anak, bagian harta warisan hanya jatuh kepada

anak. Tetapi ada bagian lebih atau bagian khusus yang diberikan pewaris kepada ahli

waris yang mau mengurusi pewaris sebelum ia meninggal dunia.46

Pelaksanaan pembagian waris di Dusun Jalawastu dicontohkan seperti dalam

pembagian harta waris keluarga Bapak Darso yang juga diamanahi selaku ketua Rt

01. Bapak Darso memiliki seorang kakak dan seorang Ibu, ketika Ibu dari Pak Darso

meninggal dunia ia meninggalkan harta benda berupa tanah seluas 1 Ha dan satu buah

rumah, maka sebelum harta waris dibagikan Pak Darso dan Kakaknya, harta tersebut

digunakan untuk kepentingan mayyit, setelah kepentingan mayyit selesai maka harta

tersebut bisa dibagikan. Tanah yang ditinggalkan Ibu Pak Darso dibagi dua oleh Pak

Darso dan kakaknya, jadi masing-masing mendapatkan bagian tanah seluas 1/2 Ha.

Akan tetapi sebelum Ibu Pak Darso meninggal dunia ia dirawat oleh Pak Darso, maka

45
Wawancara dengan Darsono, tanggal 4 Februari 2020 di rumah kediaman Darsono
46
Wawancara dengan Dastam Gugun, tanggal 4 Februari 2020 di rumah kediaman Dastam
Gugun
53

dalam hal ini Pak Darso lah yang berhak mendapatkan bagian lebih dari harta waris

yang ditinggalkan yaitu satu buah rumah.47

Ahli waris yang mendapatkan harta warisan dari pewaris hanyalah anak, tidak

ada bagian yang didapatkan keluarga pewaris selain anak. Ayah, ibu, saudara dan

keluarga lainnya tidak mendapatkan harta warisan. Kecuali suami atau istri dari

pewaris masih hidup, maka ia mendapatkan 1/3 dari harta warisan. Dalam hal

pembagiannya, masyarakat Dusun Jalawastu tidak mengutamakan anak perempuan

ataupun anak laki-laki. Semua mendapat bagian harta warisan yang sama kecuali

seseorang yang terakhir mengurus pewaris sebelum ia meninggal dunia, maka ia

berhak mendapatkan bagian lebih. Hal ini tidak menjadi pertikaian diantara keluarga,

karena setiap hasil pembagian yang dilakukan sudah melalui permufakatan, dan

masyarakat Dusun Jalawastu selalu menerima apa yang telah menjadi bagiannya.

Karena masyarakat di Dusun Jalawastu sangat menghormati peraturan adat atau

peraturan yang diturunkan turun temurun dari orang tua terdahulu.

Adapun mengenai waktu kapan dibagikannya harta warisan setelah pewaris

meninggal dunia terdapat waktu tertentu. Pembagian harta warisan akan dilakukan

setelah semua urusan yang berhubungan dengan si mayyit sudah terpenuhi, baru

setelah itu harta warisan bisa dibagikan termasuk didalamnya hitungan keperluan

untuk 7 hari kematian, 40 hari, dan 100 hari.48

47
Wawancara dengan Darsono, tanggal 4 Februari 2020 di rumah kediaman Darsono
48
Wawancara dengan Darsono, tanggal 4 Februari 2020; Zainal Asikin, tanggal 4 Februari
2020 di rumah kediaman Zainal Asikin
54

Hal ini menandakan bahwa masyarakat Dusun Jalawastu sangat

memperdulikan dan menghormati si mayyit. Harta warisan bukanlah tujuan atau

pokok pembahasan yang utama bagi setiap ahli waris, akan tetapi rasa kemanusiaan

lah yang menjadi pegangan pokok masyarakat Dusun Jalawastu.

Dari paparan diatas diketahui bahwa ketika seseorang meninggal dunia, harta

yang dimiliki si mayyit tidak langsung dibagikan, melainkan digunakan untuk

kepentingan pengurusan jenazah terlebih dahulu baru setelah itu harta pewaris bisa

dibagikan.

Apabila seorang pewaris tidak mempunyai anak, baik kandung maupun

angkat, maka harta warisan dibagikan kepada keluarga yang mengurusi atau merawat

pewaris sebelum dia meninggal dunia. Lalu ketika suami atau istri masih dalam

keadaan hidup, maka ia mendapatkan 1/3 dari harta warisan dan selebihnya diberikan

kepada anak. Ketikapun pewaris tidak mempunyai keluarga maka harta waris

diserahkan kepada pemangku adat untuk di alokasikan guna kemaslahatan bersama.


BAB IV

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK

PEMBAGIAN HARTA WARIS DI DUKUH JALAWASTU

Masyarakat Dusun Jalawastu Desa Ciseureuh Kecamatan Ketanggungan

Kabupaten Brebes, 100% menganut agama Islam. Sehingga seluruh aspek kehidupan

dan perilakunya banyak dilakukan dengan penuh kebiasaan. Sistem pembagian harta

warisan menurut hukum Islam tidak tampak dibandingkan sistem waris adat karena

pembagian harta warisan telah menjadi budaya pada masyarakat Dusun Jalawastu.

Hal tersebut disebabkan sebelum agama Islam menjadi pegangan yang kuat di Dusun

Jalawastu, masyarakat di Dusun Jalawastu telah memiliki pedoman hidup yang

dipegang erat yang diwariskan turun temurun dari orang tua terdahulu.

Pemahaman masyarakat Dusun Jalawastu Desa Ciseureuh Kecamatan

Ketanggungan Kabupaten Brebes terhadap pembagian harta warisan mengikuti

peraturan adat, sebagaimana ungkapan Bapak Darsono selaku pemangku adat Dusun

Jalawastu yang mengatakan bahwa pembagian waris dilakukan secara kekeluargaan

dan mengikuti peraturan yang berlaku dimasyarakat Jalawastu yaitu menyama


56

ratakan semua bagian waris, tanpa memandang laki-laki dan perempuan, dan

memberi bagian khusus kepada ahli waris yang terakhir kali mengurusi pewaris.49

Berdasarkan kebiasaan masyarakat Dusun Jalawastu, ahli waris yang

menerima harta warisan ialah anak. Tidak ada bagian lain selain bagian itu jatuh

kepada anak. Kecuali suami atau istri dari pewaris masih hidup, maka ia

mendapatkan 1/3 dari harta warisan. Alasan mengapa hanya anak yang diprioritaskan

mendapatkan harta warisan karena seorang anak lah yang nanti akan melanjutkan

tradisi-tradisi yang ditinggalkan dari orang tuanya, dan anak lah yang paling layak

mendapatkan warisan karena hubungannya yang paling dekat dengan orang tua.

Dibalik itu semua, seorang anak lah yang nantinya akan bertanggung jawab terhadap

orang tua, baik ibu atau bapak, kakek atau nenek, jadi harta warisan yang diberikan

kepada anak semata-mata bukan untuk foya-foya dan bersenang-senang, melainkan

mempunyai tanggungan untuk menanggung beban orang tua yang masih hidup.

Terkecuali untuk sebuah keluarga yang tidak mempunyai anak, maka harta warisan

diserahkan kepada kerabat lainnya, seperti kakek, nenek, saudara laki-laki.

Harta waris dibagikan rata kepada anak dari pewaris, baik anak itu laki-laki

atau perempuan. Mungkin kita sering menemui pembagian harta waris semacam ini

dikalangan masyarakat lainnya, akan tetapi ada hal unik yang ditemukan pada

masyarakat Dusun Jalawastu ini. Yaitu penambahan harta yang diberikan kepada

49
Wawancara dengan Darsono, tanggal 4 Februari 2020 di rumah kediaman Darsono
57

anak yang mengurusi orang tuanya sebelum ia meninggal. Anak tersebut diberikan

bagian lebih karena jasanya yang telah mengurus pewaris sebelum ia meninggal.

Masyarakat Jalawastu sangat mengapresiasi perbuatan baik dari seorang anak karena

mau mengurusi apapun kebutuhan yang dibutuhkan pewaris, karena meluangkan

waktu untuk mengurusi pewaris merupakan suatu hal yang tidak bisa dianggap

mudah. Dengan kesibukan yang ada, ia rela menyisikan waktu untuk merawat orang

tua, walaupun mengurus dan mewarat kedua orang tua adalah kewajiban setiap anak,

akan tetapi tidak semua anak bisa dan mampu melakukannya dengan kesibukan-

kesibukan yang sedang ia jalankan. Maka adat atau tradisi masyarakat Dusun

Jalawastu memberikan bagian lebih terhadap anak yang mau mengurusi orang tua

sebelum ia meninggal dunia.

Dalam hal ini, Allah telah menentukan ahli waris dan bagian-bagiannya secara

terstruktur. Dijelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176.

Dalam QS an-Nisa ayat 7 Allah Swt. Berfirman :

ِ ‫ك ْال َوالِدَا ِن َواأْل َ ْق َربُونَ َولِلنِّ َسا ِء ن‬


َ ‫ َر‬Kَ‫يبٌ ِم َّما ت‬K‫َص‬
‫ك‬ َ ‫َصيبٌ ِم َّما ت ََر‬
ِ ‫ال ن‬ ِ ‫لِلرِّ َج‬
‫َصيبًا َم ْفرُوضًا‬ ِ ‫َان َواأْل َ ْق َربُونَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ أَوْ َكثُ َر ن‬
ِ ‫ْال َوالِد‬
Terjemahnhya :
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
58

Pada ayat tersebut dijelaskan untuk menyamakan kedudukan antara laki-laki

dan perempuan dalam hal mendapatkan harta warisan. Islam mengatur sistem

kewarisan dengan sangat sempurna, tidak ada diskriminasi terhadap laki-laki maupun

perempuan. Masyarakat di Dusun Jalawastu Desa Ciseureuh Kecamatan

Ketanggungan Brebes dalam memberikan harta warisan sudah sejalan dengan aturan

Islam, laki-laki dan perempuan mendapatkan harta warisan dari pewaris.

Mengenai besaran bagian yang didapatkan ahli waris, Allah Swt sudah

mengatur dengan jelas bagian-bagian ahli waris dalam QS an-Nisa ayat 11-12 yang

telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Ayat tersebut menjelaskan dalam penerimaan hak waris antara anak laki-laki

dan anak perempuan, hak suami dan istri, serta hak ayah dan ibu terdapat kesamaan

hak. Apabila terdapat anak laki-laki dan perempuan secara bersamaan maka anak

laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Ayah dari

pewaris mendapatkan 1/6 apabila bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan

mendapatkan bagian ashobah atau sisa apabila ada anak perempuan atau cucu

perempuan. Begitupun Ibu, Ibu dari pewaris mendapatkan bagian 1/3 apabila tidak

ada anak dari pewaris dan mendapatkan bagian 1/6 apabila bersama anak dari

pewaris. Dan untuk bagian kakek, nenek, cucu, saudara dan seterusnya akan

termahjub atau terhalangi apabila masih ada anak, ayah dan ibu.
59

Dalam penentuan siapa saja yang akan menerima harta warisan, masyarakat

Dusun Jalawastu belum memakai pedoman yang sudah diatur secara sistematis

didalam Al-Qur’an. Harta warisan dari pewaris hanya dibagikan kepada anak-

anaknya. Ayah, ibu, saudara dan seterusnya tidak mendapatkan harta warisan

walaupun mereka masih hidup dan ada bersama keluarga pewaris. Kecuali suami atau

istri dari pewaris masih hidup, maka ia mendapatkan 1/3 dari harta warisan.

Hal ini bertentangan dengan kaidah waris Islam. Allah Swt menurunkan ayat

yang menjelaskan tentang waris agar umat manusia menaati itu. Allah Swt tidak

semata-mata menurunkan ayat yang menerangkan tentang waris secara percuma, ada

hikmah dibalik itu semua. Hikmah yang bisa diambil dari pembagian harta waris

ialah :

1. Memuliakan kepemilikan individu, yang mana Islam telah memutuskan untuk

menjadikan harta pustaka / harta yang diwariskan (tirkah) mayit sebagai milik

ahli warisnya dengan tepat satu per satu.

2. Harta warisan diberikan kepada orang yang paling dekat hubungan

kekeluargaannya dengan mayit karena ia (mayit) telah terbantu oleh mereka

selama hidupnya dan kebanyakan mereka juga memiliki peran besar dibalik

pembentukan kekayaannya.
60

3. Telah ditentukan bagi setiap ahli waris bagian yang jelas, yang dengannya

hilang bebagai sumber perpecahan yang menanamkan kedengkian dan

terputusnya hubungan keluarga.

4. Ditetapkannya bagian perempuan separuh bagian laki-laki (kebanyakan) karna

laki-laki telah menanggung keluarga, ia juga menanggung beban infak dan

mahar, adapun perempuan tidak ada tanggungan memberi nafkah, justru ialah

yang ditanggung oleh ayahnya dan suaminya.

5. Dimasukkannya pasangan (suami / istri) sebagai kerabat dalam rangka

menghormati hubungan pernikahan dan menampakkan pemandangan sebagai

pemenuhan janji.

6. Dimasukkannya al-wala (orang yang telah memerdekakan hamba sahaya)

sebagai kerabat sebagai pengakuan atas perbuatan baiknya dan sebagai rasa

terima kasih.50

Masyarakat Dusun Jalawastu sangat mematuhi apa saja ketentuan yang

ditinggalkan dari orang tua terdahulu, termasuk masalah kewarisan. Pembagian

semacam ini tidak menjadi pertikaian didalam masyarakat Dusun Jalawastu.

Masyarakat Dusun Jalawastu menerima berapapun bagian yang ia dapatkan, mereka

percaya bahwa harta yang ditinggalkan pewaris tidak bisa menjadikannya kaya.

Masyarakat Dusun Jalawastu sudah terbiasa hidup sederhana walaupun ia mempunyai

ladang pertanian yang luas dan peternakan yang banyak. Mereka percaya semua itu
50
Aisyah As-Salafiyah, Ilmu Faraidh dan Mawaris (Bogor: Pustaka Amma Alamia, 2018)
h.4-5
61

merupakan titipan Allah dan akan kembali kepada Allah. Kekayaan harta bukan suatu

hal yang utama yang harus dicapai, akan tetapi kerukunan manusialah yang sangat

mereka harapkan.

Melihat kasus tersebut diatas tentunya perlu diketahui penyelesaian atau jalan

keluar berdasarkan ketentuan yang ada didalam Al-Qur’an dan tidak boleh

menyimpang dari Al-Qur’an. Dengan jalan al-shulhu atau perdamaian diantara ahli

waris setelah ahli waris tersebut mengetahui bagiannya masing-masing.51

Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa al-shulhu berasal dari bahasa arab

yang berarti putus pertengkaran. Sedangkan dalam pengertian syara’ shulhu adalah

suatu perjanjian yang dibuat untuk menyelesaikan perselisihan.52 Dengan demikian,

suatu putusan berdasarkan atas kesadaran bersama dari pihak yang berperkara,

sehingga tidak ada menang atau kalah merupakan definisi perdamaian.53

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah diatur tentang al-shulhu atau

perdamaian dalam membagi harta warisan, hal tersebut terdapat dalam pasal 183

51
YouTube, 2018, Juli 24, Hukum Waris Dibagi Rata – Buya Yahya (berkas video).
Diperoleh dari https://youtu.be/MZ8eGHjOwlA
52
Wahbah al-Zuhaili, fiqh al-islam wa adillatu, juz VI, damaskus: daar al-fikr, 2004.
53
M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Pustaka Kartini, Cet III, 1993) h.47
62

yang menjelaskan bahwa: “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian

dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.”54

Berdasarkan keterangan diatas maka pembagian harta waris hukumnya sah

apabila setiap ahli waris yang menerima bagiannya secara rela membaginya dengan

cara perdamaian atau kekeluargaan dengan kesepakatan setiap anggota keluarga.

Bahkan berdasarkan hal tersebut, pembagian harta waris sah bilamana ada di antara

ahli waris yang menggugurkan atau merelakan haknya dalam pembagian harta

warisan itu untuk diberikan kepada ahli waris yang telah ditentukan bagiannya

dengan adat kebiasaan masyarakat Dusun Jalawastu.

54
Departement Agama, Kompilasi Hukum Islam, h. 55
BAB V

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis di Dusun Jalawastu Desa

Ciseureuh Kecamatan Ketanggungan Brebes terkait tinjauan hukum Islam terhadap

praktik pembagian harta waris, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

5.1 Kesimpulan

1. Praktek pembagian harta waris yang dilakukan oleh masyarakat Dusun

Jalawastu Desa Ciseureuh Kecamatan Ketanggungan Brebes menggunakan

peraturan adat atau kebiasaan, yaitu membagi harta waris hanya kepada anak

dan menyamaratakn bagian tersebut.

2. Ditinjau dari Hukum Islam dalam hal Ilmu Waris, praktek pembagian harta

waris yang dilakukan masyarakat Dusun Jalawastu Desa Ciseureuh

Kecamatan Ketanggungan Brebes tidak sesuai dengan hukum waris Islam.

Kebiasaan masyarakat Dusun Jalawastu membagikan harta waris hanya

kepada anak merupakan suatu bentuk ketidak adilan. Adapun seharusnya

harta waris dibagikan secara menyeluruh sesuai bagian yang telah ditentukan

dalam Q.S. An-Nisa ayat 7,11,12,176. Akan tetapi pembagian harta waris sah

apabila setiap ahli waris secara rela membagi bagiannya dengan cara
64

kekeluargaan atau perdamaian sesuai dengan kesepakatan setiap pihak

keluarga. Dalam KHI pasl 183 telah diatur tentang pembagian harta waris,

bahwa setiap para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian harta

waris setelah masing-masing menyadari bagiannya.

5.2 Saran

1. Kepada seluruh masyarakat Dusun Jalawastu, seharusnya dalam menetapkan

suatu hukum harus berlandaskan dari nash-nash Al-Qur’an, kemudian apabila

di dalam Al-Qur’an tidak ada baru merujuk ke Al-Hadist. Seperti hukum

kewarisan, hendaklah menetapkan ketentuan yang telah ditentukan dalam Al-

Qur’an

2. Perlu diadakan sosialisasi mengenai sistem pembagian harta waris yang sesuai

dengan hukum Islam di Dusun Jalawastu Desa Ciseureuh Kecamatan

Ketanggungan Kabupaten Brebes, karena sejauh ini masyarakat di Dusun

Jalawastu masih belum paham betul tentang pembagian harta warisan yang

sesuai dengan hukum Islam


65
DAFTAR PUSTAKA

Departement Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Darus Sunnah
Jatinegara,2007)

Muhammad, Abi Abdullah, Sohih Bukhori, Juz 4.


Al-Zuhaili, Wahbah, fiqh al-islam wa adillatu, juz VI, damaskus: daar al-fikr, 2004.

Aisyah, Ilmu Faraidh dan Mawaris (Bogor: Pustaka Amma Alamia, 2018)

Amir Husain, S, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya:


Grasindo,1987)

Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013)

Asikin, Zaenal, Jalawastu, (2019 Februari Selasa). Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Praktek Pembagian Harta Waris di Pedukuhan Jalawastu Desa Ciseureuh
Kecamatan Ketanggungan Brebes. (M.Dzaki, Interviewer)

Athoillah, Muhammad, Fiqh Mawaris, (Bandung: Yrama Widya, 2013)

Darso, Jalawastu, (2019 Februari Selasa). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek
Pembagian Harta Waris di Pedukuhan Jalawastu Desa Ciseureuh
Kecamatan Ketanggungan Brebes. (M.Dzaki, Interviewer)

Darsono, Jalawastu, (2019 Februari Selasa). Tinjauan Hukum Islam Terhadap


Praktek Pembagian Harta Waris di Pedukuhan Jalawastu Desa Ciseureuh
Kecamatan Ketanggungan Brebes. (M.Dzaki, Interviewer)
67

Departement Agama, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: CV.Nuansa Aulia, Cet 5,


2013)

Dewi Wulansari, C, Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, Cet.4,


2016)

Didiek Ahmad, S, Bimbingan Penulisan Ilmiah Buku Pintar Menulis Skripsi,


(Semarang: Unissula Press, Cet 2, 2017)

Fikri dan Wahidin, “Konsepsi Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat”, Jurnal

Ilmu Syariah dan Hukum Islam Vol. 1 No. 2, 2016

Gugun, Dastam, Jalawastu, (2019 Februari Selasa). Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Praktek Pembagian Harta Waris di Pedukuhan Jalawastu Desa Ciseureuh
Kecamatan Ketanggungan Brebes. (M.Dzaki, Interviewer)

Hasby, Teuku M, Fiqh Mawaris (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, Cet.1. 2010)
Harahap, M Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Pustaka Kartini, Cet III, 1993)

Hikmat, Harry, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, (Bandung: Humaniora Press


Utama, 2010)

Jogiyanto Hartono, M, Metoda Pengumpulan dan Teknik Analisis Data, (Yogyakarta:


CV.Andi Offset, 2018)

Mujieb, M Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh.

Nasution, Amin Husein, Hukum Kewarisan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persad, Cet 1,


2012)

Perda Brebes, No.1, 2015


68

Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung: Pustaka Setia, Cet 1, 2009)

Sudarto, Jalawastu, (2019 Februari Selasa). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek
Pembagian Harta Waris di Pedukuhan Jalawastu Desa Ciseureuh
Kecamatan Ketanggungan Brebes. (M.Dzaki, Interviewer)

Sudaryono, Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Mix Method, (Depok:


RAJAWALI PRESS,Cet 2, 2017)

Suhrawandi dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
Cet.2. 2008)

Sumber Data: Kantor Kepala Desa 2020

Syarifuddin, Amir, Hukum Kearisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004)

Yani, Achmad, Faraidh & Mawari, (Jakarta: KENCANA, Cet.1, 2016)

YouTube, 2018, Juli 24, Hukum Waris Dibagi Rata – Buya Yahya (berkas video).
Diperoleh dari https://youtu.be/MZ8eGHjOwlA

Anda mungkin juga menyukai