Anda di halaman 1dari 91

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP UANG PANAIK

(UANG PESTA) DALAM PERNIKAHAN KALANGAN SUKU


BUGIS (STUDI KASUS DI KAMPUNG WIRASKA, DISTRIK
WANGGAR, KABUPATEN NABIRE)

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:
M. Mujiburrahman
NIM : 21113018

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018

i
NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar


Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan
dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : M.Mujiburrahman
NIM : 21113018
Judul : PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP UANG
PANAIK (UANG PESTA) DALAM PERNIKAHAN
KALANGAN SUKU BUGIS (STUDI KASUS DI
KAMPUNG WIRASKA, DISTRIK WANGGAR,

KABUPATEN NABIRE)

dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan


dalam sidang munaqasyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan


digunakan sebagimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, 25 Mei 2018


Pembimbing,

Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si.


NIP. 19790416 200912 1 001

ii
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP UANG PANAIK (UANG
PESTA) DALAM PERNIKAHAN KALANGAN SUKU BUGIS (STUDI
KASUSU DI KAMPUNG WIRASKA, DISTRIK WANGGAR,
KABUPATEN NABIRE)

Oleh:
M. Mujiburrahman
NIM : 21113018
telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari‟ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Senin, tanggal 9 Juli 2018,
dan telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana
dalam hukum Islam

Dewan Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang : Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. .......................................

Sekretaris Sidang : Sukron Ma‟Mun, S.Hi., M. Si. ........................................

Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M. Si. ........................................

Penguji II : Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si. ........................................

Salatiga, 25 Mei 2018


Dekan Fakultas Syari‟ah

Dr. Siti Zumrotun, M.Ag.


NIP.19670115 199803 2 002

iii
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : M. Mujiburrahman

NIM : 21113018

Jurusan : Hukum Keluarga Islam

Fakultas : Syari‟ah

Judul Skripsi :PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP UANG


PANAIK (UANG PESTA) DALAM PERNIKAHAN
KALANGAN SUKU BUGIS (STUDI KASUS DI KAMPUNG
WIRASKA, DISTRIK WANGGAR, KABUPATEN NABIRE)

menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri,
bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 25 Mei 2018


Yang menyatakan

M. Mujiburrahman
NIM: 21113018

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Jangan lakukan jikalau tak kau inginkan, akan tetapi jika kau
inginkan lakukanlah dengan cepat

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

 Kedua orang tua saya tercinta, yang selalu memberi semangat, dukungan, doa,
dan kasih sayang yang tak terbatas.
 Kepada kakak saya dan istrinya yang ikut membantu dalam mencari informasi
untuk menyelesaikan skripsi ini

v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirobbil‟alamiin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah


SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada
penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul
”Pandangan Hukum Islam Terhadap Uang Panaik (Uang Pesta) Dalam
Pernikahan Kalangan Suku Bugis (Studi Kasus di Kampung Wiraska,
Distrik Wanggar, Kabupaten Nabire)” tanpa halangan yang berarti.

Shawalat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW,


kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya yang senantiasa setia dan
menjadikannya suritauladan. Beliau merupakan sosok pencerah kehidupan di
dunia maupun di akhirat nanti dan semoga kita semua senantiasa mendapatkan
Syafaatnya min hadza ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa Robbal‟alamin.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga;


2. Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah;
3. Sukron Ma‟mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam, juga
selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar membimbing,
mengarahkan, serta mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya sehingga
skripsi ini terselesaikan;
4. Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yag sangat
bermanfaat;
5. Kepada orang tua kakak dan adik serta keluarga besar yang telah memberikan
dan mencurahkan segala kemampuan dan dukungannya secara material dan
immaterial hingga saat ini. Tanpa mereka mungkin karya ini tidak akan pernah
ada;
6. Sahabat-sahabat dan teman-teman khususnya sahabat dan teman seperjuangan
di Ahwal Al-Syakhshiyyah ( Hukum Keluarga Islam) angkatan 2013 atas
segala bantuan, semangat, dan hiburannya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini;

vi
7. Teman gamer saya, Zaid, Badrul, Dika, dan Apid yang selalu memberikan
hiburan disela-sela waktu mengerjakan karya ini, dan doaku kepada temanku
semua semoga kita sukses di dunia dan akhirat, Aamiin.
8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian
skripsi ini.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta kepada
pembaca pada umumnya. Aamiin.

Salatiga, Mei 2018


Penulis

M. Mujiburrahman
NIM: 21113018

vii
ABSTRAK

Mujiburrahman, Muhammad. “Pandangan Hukum Islam Terhadap Uang Panaik


(Uang Pesta) Dalam Pernikahan Kalangan Suku Bugis (Studi Kasus di Kampung
Wiraska, Distrik Wanggar, Kabupaten Nabire)”. Skripsi. Fakultas Syari‟ah.
Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing: Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si.

Kata Kunci: Uang Panaik, Pesta Nikah.

Walimah atau acara resepsi pernikahan merupakan suatu bentuk anjuran


yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. acara tersebut dilaksanakan dengan
tujuan untuk memberitahukan kepada keluarga masing-masing mempelai para
tetangga dan masyarakat sekitar bahwa mereka telah secara resmi menikah. Selain
itu walimatul „urs atau biasa disebut dengan acara resepsi pernikahan juga
bertujuan untuk silaturahmi dan juga sebagai bentuk mempererat tali
persaudaraan. Saat ini dalam menyelenggarakan acara resepsi pernikahan terdapat
berbagai macam bentuk acara yang berbeda sesuai dengan tradisi adat istiadat
yang telah diturunkan secara turun temurun. Salah satu tradisi tersebut adalah
kebiasaan para suku bugis yang akan meminta uang panaik (uang pesta) kepada
pihak pria yang ingin menikahi anak perempuan mereka, uang tersebut nantinya
akan digunakan untuk melangsunggakan acara resepsi pernikahan. Akan tetapi
bagi kebanyakan orang hal ini dianggap meberatkan karena uang yang diminta
biasanya tidak sedikit. Pernyataan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini
adalah: (1) Bagaimana cara penentuan uang panaik dalam pernikahan, dan (2)
bagaimana pandangan Islam dalam tradisi uang panaik suku bugis.
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan yang bertempat di
Kampung Wiraska, Distrik Wanggar Kabupaten Nabire dengan subjek
penelitiannya adalah pasangan suami isteri yang melakukan tradisi uang panaik.
Metode yang digunakan adalah dengan melakukan pendekatan yuridis sosiologis
yang secara umum bersifat deskriptif, peneliti berusaha untuk mengunggkap dan
fokus mendeskripsikan permasalahan diatas. Dengan metode tersebut dilakukan
wawancara kepada beberapa narasumber yang melakukan tradisi tersubut. Peneliti
juga akan melakukan observasi untuk mengetahui bagaimana proses
berlangsungnya tradisi uang panaik tersebut.
Temuan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa untuk menentukan
uang panaik terdapat beberapa kriteria yang menentukan yaitu latar belakng
pendidikan calon isteri, latar belakang keluarga calon isteri dan yang terakhir
adalah lingkungan masyarakat sekitar calon isteri. Sedangkan menurut Islam
tradisi uang panaik dianggap kurang sesuai karena tradisi tersebut dianggap
viii
menyusahkan kalangan pria karena harus membayar sejumlah uang untuk untuk
melancarkan proses pernikahan mereka. Hal ini dianggap memberatakan karena
uang yang diminta sangat besar untuk digunakan dalam pelaksaan acara resepsi
pernikahan secara berlebihan. Prilaku berlebih-lebihan dalam menyelenggarakan
acrara resepsi pernikhan tersebut juga tidak sesuai dengan anjuran agama Islam.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... ii

PENGESAHAN .................................................................................................iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ......................................................... iv

MOTTO ............................................................................................................. v

PERSEMBAHAN .............................................................................................. v

KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi

ABSTRAK .......................................................................................................viii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 4

D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 5

E. Telaah Pustaka ............................................................................. 6

F. Penegasan Istilah ......................................................................... 9

G. Kerangka Teori .......................................................................... 10

H. Metode Penelitian ...................................................................... 14

1. Jenis Penelitian ................................................................... 14

2. Lokasi Dan Subjek Penelitian ............................................ 14

3. Sumber Data ....................................................................... 15

x
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 16

5. Analisis Data ...................................................................... 17

6. Pengecekan Keabsahan Data .............................................. 17

I. Sistematika Penulisan Penelitian ............................................... 18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TRADISI PERNIKAHAN ............ 20

A. Tradisi Pernikahan Dalam Islam ............................................... 20

1. Ta‟aruf ................................................................................ 20

2. Khitbah .............................................................................. 25

3. Aqad Nikah......................................................................... 29

4. Walimatul „Ursy ................................................................. 35

B. Tradisi Pernikahan Dalam Masyarakat Arab ............................ 39

1. Milka .................................................................................. 40

2. Laylat Al-Hena ................................................................... 41

3. Zawaj .................................................................................. 41

BAB III PANAIK DALAM SUKU BUGIS DI PAPUA ................................ .47

A. Gambaran Umum Nabire .......................................................... 47

B. Kondisi Sosial, Budaya, dan Agama di Kampung Wiraska ...... 48

C. Tradisi Dalam Perkawinan ........................................................ 51

D. Tradisi Panaik Dalam Suku Bugis ............................................. 52

BAB IV UANG PANIK SUKU BUGIS DALAM TINJAUAN HUKUM

ISLAM .............................................................................................. 59

A. Cara Menentukan Uang Panaik ................................................. 59

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Uang Panaik ........................ 62

xi
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 72

A. Kesimpulan ................................................................................ 72

B. Saran .......................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 76

LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................................ 78

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan dasar awal untuk membentuk keluarga yang

utuh dan bahagia seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangannya melakukan

peran serta tindakan yang positif dalam mewujudkan tujuan dari pernikahan

itu sendiri tentunya dengan adanya ijab qabul sebagai lambang dari adanya

rasa ikhlas mengikhlaskan serta ridho meridhoi dengan dihadiri oleh para

saksi yang menyaksikan bahwasanya kedua pasangan antara laki-laki dan

perempuan suadah saling ada ikatan lahir bathin. Sehingga tercipta kehidupan

keluarga yang tentram sehingga terwujudnya keluarga yang bahagia sakinah,

mawaddah, dan rahmah.

Islam telah memberikan petunjuk yang terinci tentang seluk beluk

pernikahan. Dengan melaksanakan pernikahan manusia dapat melaksanakan

hal–hal yang sebelumnya diharamkan oleh Allah SWT. Manusia boleh saling

mencintai, mengasihi, berbagi rasa dalam suka maupun duka serta dapat

meneruskan keturunan dengan pasangannya. Sebagai mana firman Allah

dalam surat Ar-Rum ayat 21:

1
‫َو ِم ْن آ ٓ ََي ِث َِ َآ ْن َخو َ َق مَ ُ ُْك ِم ْن َآهْ ُف ِس ُ ُْك َآ ْز َوا ًجا ِمد َ ْس ُكٌُوا اه َ ْْيَا َو َج َع َل بَيٌَْ ُ ُْك‬
ّ
َ ‫َم َو َّد ًة َو َر ْ َْح ًة ۚ ا َّن ِِف َذَٰ ِ َِل َلٓ ََي ٍت ِم َل ْو ٍم ي َ َخ َفكَّ ُر‬
‫ون‬
ّ
Artinya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadiakan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum ynag berpikir”.
Pasal 1 undang-undang perkawinan menyatakan, bahwa perkawinan

ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Dalam perumusan tersebut

perkawinan dilihat sebagai “ikatan lahir dan batin” antara seorang pria dan

seorang wanita sebagi suami istri. Sehingga mengandung makna bahwa

perkawinan adalah persoalan antara pihak-pihak yang akan melangsungkan

perkawinan.

Dalam Islam pernikahan adalah suatu bentuk ibadah ritual. Lebih dari

itu, pernikahan juga dianggap sakral sehingga pelaksanaanya benar-benar

disiapkan secara hati-hati. Namun banyak pasangan yang terbebani karena

harus mangikuti adat-istiadat yang cukup rumit untuk dilaksanakan.

Puncak dalam suatu acara pernikahan adalah dengan diadakannya

suatu acara syukuran atau perayaan yang dilakukan baik secara kecil-kecilan

maupun secara besar-besaran dan terbilang terlalu mewah dengan


2
mengundang sanak saudara dan tetangga. Pelaksanaan syukuran atau bisa

disebut juga dengan pesta perkawinan (walimah urusy) hukumnya merupakan

anjuran (sunnah) tentang besar kecilnya acara tergantung kemampuan suami.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh iman al bukhori dan muslim dari

anas bin malik ra, bahawa Nabi SAW pernah melihat bekas kuning-kuning

pada Abdurrahman bin Auf ra, maka Rasulullah SAW bersabda:

“Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepadamu selenggarakan

walimah meskipun hanya menyembelih seekor kambing”. (HR. Imam

Bukhori)

Indonesia merupakan negara kepulauan dimana terdapat berbagai

macam suku dan budaya yang memiliki adat-istiadat yang berbeda-beda yang

diturunkan turun temurun dari nenek moyang masing-masing. Kabupaten

Nabire merupakan salah satu dari Kabupaten di Provinsi Papua disana

terdapat suatu daerah bernama Distrik Wanggar. Distrik Wanggar merupakan

daerah yang dibuat untuk menampung para transmigran dari berbagai daerah

di Indonesia khususnya Sulawesi dan Jawa. Para transmigran tersebut mulai

menetap dan membentuk sautu keluarga dengan berbagi macam suku yang

berbeda di daerah tersebut. Dalam Islam untuk membentuk suatu keluarga

diharuskan untuk melaksanakan pernikahan dan setiap daerah dalam

melaksanakan pernikahan mempunyai adat atau tradisi masing-masing.

Dalam adat budaya untuk warga masyarakat Sulawesi Selatan

khususnaya untuk suku Makasar-Bugis dalam menentukan walimah atau


3
acara resepsi pernikahan ada yang namanya uang panai‟ atau uang panaik,

yaitu sejumlah uang yang diminta oleh orang tua wali dari mempelai wanita

kepada calaon suami, dimana uang tersebut akan digunakan unuk

menyelenggarakan acara resepsi pernikahan. Hal ini dianggap menyulitkan

mempelai pria karena uang panaik tersebut bisa disebut sebagai syarat dan

apabila tidak bisa dipenuhi maka pernikahan tersebut dapat gagal

terlakasanakan.

Merujuk pada permasalahan ini penulis merasa tertarik untk

melakukan sebuah penelitian dengan judul “PANDANGAN HUKUM

ISLAM TERHADAP UANG PANAIK (UANG PESTA) DALAM

PERNIKAHAN KALANGAN SUKU BUGIS (study kasus di Kampung

Wiraska, Distrik Wanggar, Kabupaten Nabire)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pokok pikiran yang tertuang dalam latar belakang di atas

serta untuk terarahnya proposal skripsi ini. Maka masalah yang di bahas

dalam proposal skripsi ini adalah:

1. Bagaimana cara penentuan uang panaik dalam pernikahan?

2. Bagaimana pandangan Islam dalam teradisi uang panaik suku bugis?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini adalah:

4
1. Mengetahui dasar yang menjadi penentu dalam menentukan besarnya

uang panaik

2. Mengetahui pandangan Islam tentang uang panaik

D. Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah

keilmuan serta mampu memberikan pemahaman tentang walimah

atau pesta nikah dalam kalangan suku bugis.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi

peneliti-peneliti selanjutnya khususnya tentang konsep walimah.

2. Kegunaan Praktisi

a. Hasil penelitian ini diaharapkan dapat memberikan manfaat tersendiri

kepada kalangan bugis atau yang hendak melakukan pernikahan

dengan kalangan suku bugis bahwa tentang bagaimana pandangan

Islam terhadap uang panaik.

b. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusai kajian

keilmuan bagi akademisi, khususnya bagi mahasiswa Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

5
E. Telaah Pustaka

Topik penelitian walimatul „ursy dalam suatu komunitas sudah banyak

yang mengkaji baik dalam bentuk tesis, skripsi maupun yang telah

dipublikasikan ke dalam juranl ilmiah, diantaranya ialah seperti di bawah ini:

Skripsi Muyassarah berjudul “Nilai budaya walimah perkawinan

(walimatul „ursy) dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat” (studi kasus di

kelurahan Gondonori Ngaliyan Semarang). Dalam penelitian tersebut peneliti

menyimpulkan bahwa undangan walimah perkawinan (waliamtul „ursy)

dilaksanakan sebelum berlangsung ijab qabul dalam masyarakat Gondonori

Semerang. Hal ini diamksudkan untuk tahlil, meminta doa restu tokoh agama,

masyarakat, tetangga dan semua orang yang hadir agar pelaksanaan

perkawinan dapta berjalan dengan lancar. Disamping itu tahlil untuk

mendoakan para ahli kubur atau leluhur agar diampuni Allah SWT. Suastri

harus nyumbang semuanya saat mendatangi walimah perkawinan dalam

masyarakat Gondonori Semarang. Hal ini dimaksudkan agar orang yang

mempunyai hajatan tersebut tidak banyak hutang, karena sumbangan yang

diterima akan lebih banyak bila dibandingkan dengan yang menyumbang

hanya satu orang, suami atau istri saja.

Skripsi Halimah yang berjudul “Sesajen pada pelaksanaan walimatul

‟ursy” di desa Samudrera Jaya Kecamatan Taruam Jaya Bekasi Utara. Dalam

penelitian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa, sesajen ini memiliki nilai

yang sangat sakral bagi pandangan masyarakat yang masih mempercayai,

6
tujuan dari pemberian sesajen ini untuk mencari berkah. Pemberian sesajen ini

biasanya dilakukan di tempat-tempat yang dianggap keramat dan mempunyai

nilai magis yang tinggi.

Sesajen juga merupakan keharusan dan akan mempengaruhi lancar

atau tidaknya acara walimatul „ursy, dan ternyata sebagian pelaku sesajen

mengatakan bahwa sesajen harus ada dengan bagaimnapun caranya termasuk

dengan berhutang. Bukankah dengan sesajen kita meminta berkah,

keslamatan, banyak rezeki, tamu datang bagai air mengalir, maka hutang

tersebut nanti akan dibayar ketika acara hajatan selesai.

Skripsi Mariatul Qibtiyah Zainy yang berjudul “Pandangan masyarakat

terhadap tradisi pesta perkawinan” di pesisir Desa Kilensari, Kec.Panarukan,

Kab.Situbondo. Dalam penelitian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa,

pelaksanaan tradisi pesta perkawinan masyarakat pesisir Desa Kilensari

Kec.Panarukan Kab.Situbondo, sedikit tejadi perbedaan tidak seperti pesta

perkawinan pada umumnya karena sistem pemberian sumbangan berupa

hutang piutang, dicatat, disiarakan dan pada suatu hari pasti akan

dikembalikan yaitu ketika pihak yang memberi juga mengadakan pesta

perkawinan.

Skripsi Any saniatin yang berjudul “Tradisi repenan dalam walimah

nikah ditinjau dalam konsep „urf ”(studi kasus di Dusun Petis Sari Desa

Babaksari Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik). Dalam penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa, latar belakang tradisi repenan dalam walimah nikah di

7
Dusun Petis Sari, Desa Babaksari, Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik yaitu

tradisi ini menghidangkan sesajen atau sajian yang dihidangkan walimah

nikah. Asal mula tradisi repenan dalam walimah nikah dijalankan sejak turun

temurun dari nenek moyang yang sudah meninggal sejak tahun 1985,

kemudian berpesan disuruh meneruskan tradisi tersebut kepada anak dan

cucunya, sampai sekarang masih dilaksanakan dan tidak bias dihilangkan

maupun diringgalkan. Dengan kepercayaan akan adanya tradisi repenani

dalam walimah nikah masyarakat takut untuk meninggalkannya, karena

masyarakat beranggapan akan adanya bahaya yang menimpanya.

Skripsi Rizka Mubarokati yang berjudul “sumbangan pada walimatul

‟urs di Padukuhan Nepi Desa Kranggan Kecamatan Galur Kabupaten Kulon

Progo (studi komparasi antara hukum adat dan hukum Islam). Dalam

penelitian tersebut menyimpulkan, praktik sumbangan yang ada di Padukuhan

Nepi pada saat diadakannya walimaatul „urs terdapat dua jenis sumbangan,

pertama sumbangan secara umum yaitu sumbangan yang berbentuk kado atau

pemberian uang yang dimasukkan kedalam amplop. Kedua, sumbangan

berbentuk tonjokan yakni suatu pemberian yakni pemberian berupa sembako

seperti gula dan beras. Pemberian sumbangan yang secara umum diberikan

secara langsung oleh tetangga, sahabat dan famili kepada perwalian pada saat

acara walimatul „urs dimulai dan atas permintaan pewalimah sendiri.

Dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada budaya uang

panaik yang digunakan untuk acara walimatul „urs atau resepsi pernikahan

8
oleh kalangan suku bugis dalam pandangan Islam dan hal-hal yang

mempengaruhi ukuran besar kecilnya uang panaik tersebut.

F. Penegasan Istilah

a. Uang panaik

Sejumlah uang yang diminta oleh orang tua perempuan kepada

seorang laki - laki yang hendak melamar anak perempuannya. Uang

tersebut sepenuhnya digunakan untuk menyelenggarakan acara resepsi

pernikahan atau walimatul „ursy.

b. Mahar

Sejumlah uang atau benda yang diminta oleh seorang pria yang

menikahinya. Benda atau sejumlah uang tersebut sepenuhnya menjadi

milik sang istri ketika sudah menikah dan sang suami tidak dibolehkan

meminta atau menggunakannya tanpa seizin sang istri.

c. Khitbah

Khitbah atau yang biasa disebut dengan peminangan adalah

menyatakan atau melakukan permintaan untuk perjodohan dari seorang

laki-laki pada seorang perempuan baik secara langsung maupun tidak

dengan perantara seseorang yang dapat dipercaya

9
d. Milka

Milka alalah tradisi yang dilakukan setelah akad nikah dimana

mempelai pria tidak langsung hidup bersama mempelai wanitanya tetapi

ia akan bekerja keras agar nantinya dapat memenuhi kebutuhan istri

secara lahiriyah dan batiniyah. Mereka akan bekerja keras untuk dapat

memenuhi kebutuhan isteri dan untuk mempersiapkan acara puncak

resepsi pernikahannya kelak.

G. Kerangka Teori

Walimatul „ursy biasa disebut juga dengan pesta nikah, yaitu suatu

bentuk jamuan makan yang diselenggarakan berkenaan dengan pernikahan.

Biasanya walimatul ‟ursy dilaksanakan setelah melangsungkan akad nikah.

Jamuan ini biasanaya berupa berbagai macam makanan atau hiburan yang

ditujukan kepada para tamu undangan yang hadir sebagai bentuk rasa syukur

atas pernikahan antara mempelai pria dan wanita. Selain sebagai bentuk dari

rasa sukur walimah juga dimaksudkan untuk memberi tahukan kepada para

tetangga, saudara dan masyarakat sekitar bahwa pasangan suami dan isteri

tersebut sudah resmi menikah.

Pelaksanaan resepsi pernikahan diantaranya didasarkan atas sabda

Rasulullah saw.

10
َِ ِ ْ َ ‫اّ عَو‬ ِ ُ ‫م َ َّما خ ََع َب عَ ِ يل طَا ِظ َم َة كَا َ َ كَا َ َر ُْ ْو‬
ُ َّ ‫ص ِه ََ َّا ى‬
‫ َو َْ َّ ََّل َ اه َّ َُ َالبُ َّد ِنوْ َع ْر ِس ِم ْن َو ِم ْ ِ َم ٍة‬.
ّ
Artinya:

“Tatkala „Ali meminang Fatimah Ra. ia berkata, Rasulullah saw.


bersabda „sesungguhnya merupakan keharusan bagi pengantin untuk
menyelenggarakan walimah‟”.
Sekalipun secara tekstual hadits tersebut menyiratkan keharusan untuk

menyelenggarakan waliamah, para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai

hukum pelaksanaan walimah ini.

Sebagian ulama berpandangan bahwa melaksanakan resepsi

pernikahan hukumnya wajib, karena berdasarkan atas sabada Nabi saw.

Kepada abdurrahman:

‫اِل َا َّن اميَّ ِ َِّب ص َر َآى عَ َا ى َع ْب ِد َّامر ْْح ِن ْب ِن‬


ٍ ِ ‫َع ْن َاو َ ِس ْب ِن َم‬
‫ص ِه ِا ّّن حَ َز َّو ْج ُت ا ْم َر َآ ًة‬
ِ َ ‫ُذا؟ كَا َ َ ََي َر ُْ ْو‬ َ ‫َع ْو ٍف َاث ََر َُ ْف َر ٍة طَ َلا َ َ َما‬
‫ َا ْو ِم ْم َو م َ ْو ِبشَ ا ٍة‬.‫ص ِه َ َِل‬
ُ َ‫ كَا َ َ طَ َب َارك‬.‫عَ َا ى َو ْز ِن ه ََوا ٍة ِم ْن َذُ ٍَب‬
Artinya:

Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi SAW melihat ada bakas
kuning-kuning pada „Abdurrahman bin „Auf. Maka beliau bertanya, “Apa ini
?”. ia menjawab, “Ya Raulullah, saya baru saja menikahi wanita degan mahar
seberat biji dari emas”. Maka beliau bersabda, “Semoga Allah
memberkahimu. Selenggarakan walimah meskipun (hanya) dengan
(menyembelih) seekor kambing”. (HR. Muslim)
11
Tetapi berdasarkan atas sabda Nabi saw:

‫مَيْ َس ِ ِْف امْ َما ِ َح يق ِْ َوى َّامز ََك ِة‬


“Tidak ada kewajiban (hak) pada harta kecuali zakat”. Maka sebagian

ulama menganggap bahwa pelaksanaan walimah hukumnya sunnah.

Sementara itu mayoritas ulama ahli sunnah berpendapat bahwa hal itu sunnah

muakkadah (sangat dianjurkan) (Zenrif, 2008: 75-76).

Sedangkan secara umum dapat diketahui bahwa walimatul „ursy

merupakan acara makan bersama para tamu undangan sebagai tanda rasa

sukur yang diselenggarakan setelah akad nikah. Untuk bahan makanan yang

di hidangkan harus baik dan halal jika mampu maka dapat menyembelih

hewan ternak seperti kambing atau sapi.

Jika seseorang tidak mampu mengadakan walimah dengan cara

menyembelih hewan ternak, maka ia dapat menggantinya dengan makanan –

makanan yang dapat ia sediakan, meskipun tanpa daging (Al-Shabbagh, 1991:

73).

Perlu diperhatikan bahwa dalam menyelanggarakan walimah tidak

boleh secara berlebihan karena agama mengajarkan untuk tidak berperilaku

boros dan berlebihan terhadap apapun.

12
Mengadakan walimah seadanya tanpa harus menyembelih hewan

qurban tidak akan menjadi masalah, sebagai mana hadits riwayat Anas, ia

berkata:

‫اّ عَو َ ْ ِ َِ َو َْ َّ ََّل ب َ ْ َْي َخ ْي َ ََب َوامْ َم ِديْيَ ِة ثَ َال ًًث ب َ ََن‬
ُ َّ ‫َآكَا َم اميَّ ِ ُِّب ََ َّا ى‬
‫ طَ َما ََك َن ِط ْْيَا‬،َِ ‫عَوَ ْ ِ َِ ِب ِِ ََ ِفيَّ َة ِبً ْ ِت ُح َ ٍّي طَدَ َع ْو ُت امْ ُم ْس ِو ِم َْي ا ََل َو ِهمي َ ِخ‬
ّ
َّ ‫ َآ َم َر ِ ِْب َله َْعاعِ طَأَمْ َلى ِبِ َا ِم َن امخَّ ْم ِر َو ْا َل ِكطِ َو‬،‫ِم ْن خ ْ ٍُْب َو َال م َ ْح ٍم‬
‫امس ْم ِن‬
َ‫طَاكَه َْت َو ِم ْ ِ َم ُخ‬
Artinya:

“Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah berdiam selam tiga malam


di daerah antara Khibar dan Madinah ketika memboyong Shafiyyah binti
Huyay. Lalu aku mengundang kaum muslim untuk menghadiri walimahnya.
Dalam walimah tersebut tidak ada roti dan daging. Beliau menyuruh
membentangkan tikar kulit, lalu diletakkan diatasnya buah kurma, susu kering
dan samin. Demikianlah walimah beliau pada saat itu”.
Dari hadits-hadits diatas mengadakan walimah tidak hanya harus

dengan menyembelih kambing sebagai batas minimal mengadakan walimah.

Sebagaimana hadist diatas yang mengatakan bahwasanya Nabi mengadakan

walimah tanpa adanya daging. Ini menunjukan bahwa urusan walimah

bersifat fleksibel menurut kemudahan suami. Hanya saja tidak boleh sampai

kepada batas berlebih-lebihan dan tabzir (al-Hamd, 2012: 153-154).

13
H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan

yuridis sosiologis yang secara umum bersifat deskriptif. Deskriptif disini

adalah untuk mendapatkan gambaran yang baik dan jelas serta dapat

memberikan data secara cermat tentang objek yang diteliti. Dengan

maksud untuk mendapatkan semua hal yang berkaitan dengan uang panaik

dalam pernikahan kalangan suku bugis.

2. Lokasi dan Subjek Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di daerah Wiraska Distrik Wanggar

Kabupaten Nabire Papua dengan subjek penelitian yaitu pasangan

pengantin antara suku bugis dan jawa. Penelitian ini dilakukan di Nabire

Papua karena peneliti lahir dan besar disana dan selama peneliti hidup

disana banyak pendatang dari berbagai macam daerah salah satunya suku

bugis yang melaksanakan pernikahan menurut adatnya yang sedikit

berbeda dengan aslinya. Salah satu adat atau kebiasaan yang masih ada

disana adalah tradisi uang panaik yang menurut peneliti sangat menarik

karena uang panaik tersebut dianggap merupakan suatu bentuk persyaratan

untuk mennikahi anak perempuan mereka. Sedangkan untuk subjek yang

menjadi penelitian penulis adalah pasangan suami istri Najib dan Eka yang

menikah di Nabire dan juga pasangan ibu Suarti dan bapak Muktar yaitu

orang yang menikah di makasar dan sekarang sudah menetap di Nabire.


14
Berdasarkan kejadian tersebut peneliti memutuskan untuk meneliti dilokasi

tersebut.

3. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang di peroleh dari sumber-sumber

primer, yakni smber asli yang memuat informasi atau data tersebut

(Amirin, 1990:132) data primer tersebut adalah:

Informan

Infoman adalah orang yang di manfaatkan untuk memberikan

informasinya tentang situasi dan kondisi latar belakang peneliatian.

Jadi seorang informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang

latar belakang penelitian. Seorang informan berkewajiaban secara

sukarela menjadi anggota penalitian walaupun hanaya bersifat

informan.sebagai anggota dengan kebaikannya dan denagan

kesukarelaannya ia dapat memberi pandanagan dari segi orang dalam,

tentang nilai-nilai, sikap, bangunan,peroses dan kebudayaan yang

menjadi latar penelitian setempat (Moelong, 2002: 90). Dalam

penelitian ini adalah pasangan suami istri di Nabire yang mana

melaksanakan proses tradisi uang panaik tersebut.

15
b. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang

bukan asli memuat informasi atau data tersebut (Amirin, 2002: 132).

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling

efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko

pengamatan sebagai instrument. Format yang disusun berisi item-item

tentang kejadian dan tingkah laku yang digambarkan akan terjadi

(Arikunto, 2006: 299).

Dalam hal ini penulis melakukan observasi dengan cara ikut

mendampingi proses pelaksanaan pernikahan pasangan suami istri

tersebut, dan penulis juga mengamati bagaimana proses pelaksanaan

tradisi uang panaik.

b. Wawancara

Wawancara adalah sebuah dialog yang dialakukan oleh

pewawancara untuk memperoleh infrmasi dari terwawancara

(Arikunto, 1998: 145).

Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan

pasangan suami istri, orang tua dan juga keluarga mereka tentang

16
proses pelaksanaan resepsi pernikahan yang dilaksanakan. Dalam hal

ini yang akan ditanyakan penulis adalah seperti bagaimana proses

pelaksanaan uang panaik, cara menentukan dan alasan meminta uang

panaik tersebut

5. Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis

seperlunya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Dalam

penganalisahan data tersebut penulis menggunakan analisis kualitatif

yaitu analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul kemudian

disajikan dalam bentuk uraian (Moeloeng, 2011:288). Dalam

penelitian ini metode yang digunakan untuk menganalisis data

penelitian adalah secara deskriptif. Dimana akan digambarkan

terlebih dahulu bagaimana awal mula terjadinya proses tradisi uang

panaik di Nabire Papua dan bagaimana proses berlangsungnya tradisi

uang panaik tersebut. Kemudian diakhiri dengan kesimpulan

bagaimana proses penentuan uang panaik dan juga bagaimana

pandangan Islam tetang uang panaik tersebut. Sehingga mendapat

gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti dalam penelitian

ini.

6. Pengecekan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam

penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa


17
fakta. Fakta-fakta ini nanti digunakan penulis sebagai bahan

pembahasan. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan

menggunakan teknik-teknik kehadiran peneliti dilapangan, pelacakan

kesesuaian dan wawancara. Jadi temuan data tersebut dapat diketahui

keabsahannya.

I. Sistematika penulisan Penelitian

Untuk memberikan kejelasan dan ketetapan dalam pembahasan dalam

menyusun proposal ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan

penelitian yang terdiri atas 5 bab sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka

teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan penelitian.

Bab II Tinjauan umum tentang konsep tradisi nikah, yaitu terdiri dari

tahap-tahap proses tradisi pernikahan meliputi ta‟aruf, khitbah, dan walimatul

„ursy sedangkan dalam tradisi Arab terdapat tambahan yaitu milka, laylat al-

hena dan zawaj

Bab III Peroses panaik dalam suku bugis, yaitu meliputi tentang

bagaimana munculnya masyarakat bugis di Nabire dan apa yang dimaksud

dengan uang panaik dan bagaimana prosesnya

Bab IV Bagaimana cara menentukan uang panaik dan uang panaik

dalam perspektif hukum Islam, yaitu berisi tentang apa saja kriteria yang

18
mempengaruhi besar kecilnya uang panaik dan bagaimana pandangan Islam

terhadap tradisi uang panaik.

Bab V Penutup ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang diperoleh

dari hasil penelitian untuk kemajuan objek penelitian.

19
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TRADISI PERNIKAHAN

A. Tradisi Pernikahan Dalam Islam

Manusia merupakan makhluk sosial jadi secara naluri manusia akan

mencari pasangan hidup untuk memenuhi kebutuhan biologis dan

melanjutkan keturunan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dalam Islam

diwajibkan untuk melaksanakan pernikahan. Pernikahan adalah suatu hal

yang dianggap sakral dan istimewa dalam kehidupan seseorang. Maka dari

itu, muncul berbagai macam tradisi yang berbeda-beda disetiap negara atau

bahkan daerah.

Tradisi nikah adalah sebuah bentuk acara pernikahan yang dilakukan

oleh dua orang pasangan calon sumi istri untuk meresmikan ikatan mereka.

Acara tersebut biasanya berbeda-beda setiap daerah mengikuti adat dan

budaya masing-masing sehingga menjadi kebiasaan dan tradisi turun temurun.

Dalam Islam terdapat tahap-tahap proses tradisi pernikahan yaitu

ta,aruf, lalu dilanjutkan dengan khit‟bah, lalu masuk ke prosesi akad nikah,

keudian dilanjutkan denagan prosesi walimatul „Urs.

1. Ta’aruf

Ta‟aruf menurut bahasa berarti “berkenalan” atau “saling mengenal”.

Arti ta‟aruf sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu kata ta‟aarafa. Secara

sederhana arti ta‟aruf itu mirip dengan makna berkenalan. Berkenalan disini
20
sama dengan cara kita berkenalan seperti biasa misalnya saat kita berkenalan

dengan orang saat di bis atau ketika diruang tunggu. Hal ini sesuai dengan

firman Allah Surat Al-hujarat ayat 13:

‫ََي َآُّيُّ َا اميَّ ُاس اَّنَّ َخوَ ْلٌَ ُ ْاُك ِم ْن َذ َك ٍر َو ُآه َ َْٰث َو َج َعوْيَ ُ ْاُك ُش ُع ًوِب َوكَ َبائِ َل‬
ّ
ٌ‫اّ عَ ِو ٌمي َخبِي‬ ِ َّ َ‫ِم َخ َع َارطُوا ۚ ا َّن َآ ْك َر َم ُ ُْك ِع ْيد‬
َ َّ ‫اّ َآثْ َل ُ ْاُك ۚ ا َّن‬
ّ ّ
Artinya:

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikankamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ta‟aruf merupakan suatu langkah awal bagi seorang pria atau wanita

untuk untuk mencari pasangan hidup. Ta‟aruf disini bisa dilakukan dengan

berusaha sendiri mencari atau bisa juga dengan bantuan orang tua atau

saudara dekat untuk membantu mencarikan pasangan. Hal ini perlu dilakukan

untuk saling mengetahui sifat dan tingkah laku masing-masing, denagan

saling mengenal dan memahami diharapkan nantinya tidak terjadi kesalah

pahaman atau bahkan pertengkaran ketika kelak mereka sudah menikah.

Dalam Islam ta‟aruf berarti suatu tindakan pengenalan dan

pendekatan terhadap calon pasangan yang dilakukan sebelum malaksanakan

pernikahan. Tujuan ta‟aruf adalah mengetahui kriteria calon pasangan. Pada

umumnya, laki lah yang biasnya menjadi inisiator ta‟aruf. Sedangkan posisi

perempuan hanya dipilih. Jika laki-lakinya merasa cocok dan keluarga


21
perempuna juga cocok maka kebanyakan mereka sepakat untuk

melangsungkan pernikahan (Thobroni, 2010: 75-76).

Ta‟aruf tentunya sangat berbeda dengan yang namanya pacaran,

dimana ta‟aruf lebih serius untuk mengetahui dan mengenal masing-masing

calon dengan tujuan untuk menikah dan membentuk keluarga yang sakinah,

mawadah dan rahmah. Sedangkan untuk pacaran sendiri notabenya

berindikasi pada niatan yang tidak baik dan hanya berdasarkan pada hawa

nafsu seperti halnya hanya ingin untuk bersenang-senang atau berbagai

macam modus seperti ingin mendapatkan sesuatu dari pasangan tersebut dan

atau bahakan yang lebih parah yaitu hanya untuk mendapatkan sex bebas.

Maka dari itu agama Islam sangat menganjurkan untuk melakukan

ta‟aruf sebelum menikah agar kelak ketika sudah berumah tangga tidak kaget

dengan pasangannya karena sudah mengetahui hal-hal atau kebiasaan

pasangan masing-masing dan juga dapat menjaga keharmonisan keluarga

kelak katika sudah menikah.

Sebagai laki-laki dalam mencari calon pasangan tidak dianjurkan

untuk asal memilih menurut hawa nafsu. Ada beberapa kriteria yang harus

diperhatikan dalam mencari calon pasangan sesuai dengan hadits Nabi yang

diriwayatkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim dari Abu Hurairah r.a.

yang berbunyi:

22
‫ثُ ْي َك ُح امْ َم ْر َآ ُة ِ َل ْربَع ٍ ِم َما ِمَِا َو ِم َح َس ِبِ َا َو ِم َج َما ِمَِا َو ِ ِِل ْيِنِ َا طَ ْاػ َف ْر ب َِذ ِات‬
َ‫ا ّ ِِل ْي ِن حَ ِرب َ ْت يَدَ اك‬
Artinya :

“Seorang wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya,


keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya, maka pilihlah karena
agamanya niscaya kamu beruntung”.
Dalam hadits diatas walaupun harta yang disebutkan pertama dari 4

kriteria tersebut tetapi diakhi kalimat ditegaskan untuk mengutamakan

agamanya terlebih dahulu jika ingin beruntung dengan kehidupan yang

berbahagia ketika sudah berkeluarga. Arti dari agama disini tidak hanya

beragam Islam saja tetapi harus yang berakhlak baik dan amanah terhadap

pasangannya, sehingga dapat bersamama membangun keluarga dan mencari

pahala dalam rangka untuk mendapatkan ridho Allah SWT.

Dengan memilih calon isteri yang baik secara agama dan akhlak

perilakunya maka diharapakan akan dapat saling mengingatkan dan dapat

menjaga amanah dari suami ketika sedang bekerja dan tidak dapat bertemu

dalam waktu dekat. Sangat penting dalam memilih calon pasangan hidup,

karena dia lah yang nantinya akan mendampingi kita hingga akhir hayat kita,

oleh karena itu sangat dianjurkan untuk mengutamakan agamanya kemudian

baru diikuti dengan hartanya, keturunannya dan kecantikannya hal ini kerena

agama akan menjadi pondasi utama dalam membangun suatu keluarga yang

sakinah, mawaddah dan rahmah.

23
Bagi para wali atau yang secara hukum menjadi wali bagi si

perempuan yang ingin mencarikan jodoh bagi anak perempuannya, Nabi juga

mengajarkan dalam hadits yang diriwayatkan dari imam Turmudzi dari abi

Hatim Al-Muzan yang artinaya: “Apabila datang kepadamu laki-laki yang

kamu rasakan mantap karena kekuatan agama dan kebaikan akhlaknya,

nikahkan lah dia dengan anak perempuanmu; apabila kamu tidak

menerimanya, akan terjadi bencana dan kerusakan di muka bumi” (Basyir,

1996: 15).

Dari hadits diatas dijelaskan bahwa bukan hanya laki-laki saja yang

harus mencari dan menentukan perempuan yang ingin dinikahi, disana

dijelaskan bahwa sebagi wali dari perempuan yang sudah dewasa dan

berkecukupan dari segi umur dan mental wali tersebut harus membantu

mencari atau menyeleksi para laki-laki yang ingin melamar perempuan

tersebut. Ciri-ciri laki-laki yang dianjurkan oleh nabi dalam hadist tersebut

adalah yang beragama kuat dan berakhlak mulia

Dengan menyerahkan anak perempuan mereka kepada seorang pria

yang beragama kuat dan berakhlak mulia maka diharapkan anak perempuan

mereka nanti akan dibimbing ke dalam kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Seorang pria yang beragama kuat akan menjaga diri mereka sendiri dari

berbagai macam godaan yang dapat merusak ikatan pernikahan mereka ketika

ia sedang bekerja dan berada jauh dari keluarga.

24
2. Khit’bah

Kata khitbah berasal dari bahasa Arab yaitu, khatabah yang berarti

“permintaan kepada seseorang wanita untuk dinikahi”. Peminangan dalam

istilah fiqih disebut khit‟bah yang mempunyai arti peminangan. Menurut

istilah mempunayi arti menunjukan (menyatakan) permintaan untuk

perjodohan dari seorang laki-laki pada seorang perempuan baik secara

langsung maupun tidak dengan perantara seseorang yang dapat dipercaya

(Mardani, 2011: 9).

Apabila dalam masa ta‟aruf sukses dan terdapat banyak kecocokan

antara kedua belah pihak dan si pria sudah yakin maka laki-laki tersebut dapat

melakukan khit‟bah atau dalam bahasa Indonesia disebut peminangan atau

lamaran. Sangat dianjurkan seorang lelaki muslim untuk meminang calon

isterinya terlebih dahulu sebelum mengajuk untuk menikah, karena

dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Hal ini dikerenakan Islam

melarang seorang laki-laki untuk meminang seorang wanita yang sedang

dipinang oleh orang lain.

Pada saat peminangan dibolehkan untuk laki-laki yang meminang

tersebut untuk melihat perempuan yang kelak akan dinikahinya tersebut.

Sedangkan untuk batas-batas yang boleh dilihat oleh laki-laki tersebut

terdapat berbagai macam pendapat dari para ulama, ada yang berpendapat

hanya boleh melihat muka dan telapak tangannya saja ada juga yang

berpendapat boleh meliahat sealain wajah dan telapak tangannya seperti

25
rambut betis dan sebagainya. Hal ini didasari pada sabda Rasulullah saw.

yang artinaya “Apabila seseorang dari kalian meminag perempuan, maka

jika memungkinkan melihat kepada apa yang mendorongnya untuk

menikahinya, maka lakukanlah, sebab yang demikian itu lebih menjamin

kelanggengan hubungan diantara mereka berdua.

Saat seorang pria ingin meminang wanita yang dicintainya, maka pria

tersebut harus datang kepada wali dari wanita tersebut untuk meminangnya.

Ketika seorang wali menerima seorang pria yang ingin meminang anak

perempuannya maka wali tersebut harus selektif kepada para pria yang ingin

melamar anak perempuannya. Sebagaimana sabada rasulullah saw.

‫ االَّ ثَ ْف َعوُ ْوا حَ ُك ْن ِط ْذيَ ٌة‬،ٍُ ‫ا َذا َجا َء ُ ُْك َم ْن حَ ْرضَ ْو َن ِديْيَ َُ َو ُخوُ َل َُ طَا ْى ِك ُح ْو‬
ّ ّ
‫ِِف ْا َل ْر ِض َوطَ َسا ٌد َكب ْ ٌِي‬
Artinaya:

“jika datang kepada kalian seorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan
terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”
Dalam hukum Islam terdapat aturan tentang siapa yang boleh dipinang

dan siapa yang tidak boleh dipinang. Sesuai dengan yang telah disebutkan

dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 12 mengatur tentang seseorang yang

boleh dan tidak boleh dipingan adalah:

26
a. Peminangan dapat dilakukan terhadap sorang wanita yang masih

perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.

b. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah

raj‟iah, haram dan dilarang untuk dipinang.

c. Dilarang juga meminang wanita yang sedang dipinang pria lain,

selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari

pihak wanita.

d. Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang

putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang

meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Wanita yang akan menerima lamaran harus berdasarkan keinginan

sendiri untuk mencari pahala dan keberkahan dalam pernikahan tersebut tanpa

ada paksaan dari manapun baik itu orang tua, saudara atau pihak manapun.

Hal ini diperlukan unutuk meningkatkan keharmonisan keluarga dikemudian

hari tapi bukan berarti keluarga lepas tangan dalam menentukan calon

menantunya keluarga terutama orang tua harus menyaring calon menantunya.

Dalam hal ini Rasululah saw. mengajarkan dalam haditsnya yang

diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. Nabi bersabda, “janganlah kamu nikahi

seorang janda hingga dia setuju dan janganlah nikahi seorang gadis sampai

dia memberi izin.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana izin seorang gadis?”

Nabi menjawab, “Jika ia diam”.

27
Dari Al-Khansa binti Khadam, bahwa ayahnya menikahkannya dengan

seseorang tanpa persetujuannya padahal ia seorang janda. Rasulullah

mendatanginya dan membatalkan pernikahan itu. Hadits ini diriwayatkan oleh

banyak perawi kecuali Muslim.

Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah bersabda, “Anak-anak perempuan

adalah urusan para ibunya.”

Tidak diragukan lagi, hal ini menunjukan keindahan petunjuk Nabi

saw. karena para ibu adalah orang terdekat, dan yang mengatahui

kecenderungan hati putrinya (Kisyik, 1996:42).

Khitbah sangat dianjurkan dalam Islam karena memilik beragam

hikmah dan manfaat yang akan didapatkan apabila dilaksanakan sebelum

melaksanankan akad nikah.

Akad nikah untuk selamanya dan sepanjang masa bukan untuk

sementara. Salah satu dari kedua calon pasangan hendaknya tidak

mendahulukan ikatan pernikahan yang sakral terhadap yang lain kecuali

setelah diseleksi benar dan mengetahui secara jelas tradisi calon teman

hidupnya, karakter, prilaku, dan akhlaknya sehingga keduanya akan dapat

meletakkan hidup mulia dan tentram, diliputi suasana cinta, puas, bahagia,

dan ketenangan.ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak mendatangkan

akibat kecuali keburukan bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Inilah

diantara hikmah diisyaratkan khitbah dalam Islam untuk mencapai tujuan

yang muliadan impian yang agung (Azzam, 2009: 9-10).


28
3. Aqad Nikah

Setelah melakukan lamaran kepada keluarga calon pengantin dan

apabila disetujui maka kedua belah keluarga akan menentukan acara

pengikraran atau yang biasa disebut akad nikah.

Sebelum melakukan akad nikah ada beberapa rukun dan syarat yang

harus dipenuhi. Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan itu ada lima, dan

masing-masing rukun mempunyai syarat-syarat tertentu yaitu:

1. Calon suami, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam

b. Laki-laki

c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan

e. Tidak terdapat halangan perkawinan

2. Calon istri, syarat-syaratnaya:

a. Beragama Islam

b. Perempuan

c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai persetujuannya

e. Tidak terdapat halangan perkawinan

3. Wali nikah, syarat-syaratnya:

a. Laki-laki

b. Dewasa

29
c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.

4. Saksi nikah, syarat-sayaratnya:

a. Minimal dua orang laki-laki

b. Hadir dalam ijab qabul

c. Dapat mengerti maksud akad

d. Islam

e. Dewasa

5. Ijab Qabul, syarat-syaratnaya:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata

tersebut

d. Antara ijab dan qabul bersambungan

e. Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah

f. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu

calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita, dan dua

orang saksi (Mardani, 2011:10).

Dalam syarat dan rukun diatas sesuai dengan Undang-Undang no 1

tahun 1974 pasal 7 yaitu “perkawinan hanya dizinkan bila pihak pria

mencapai umur 19 ( sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai

usia 16 (enam belas ) tahun” jadi apabila belum mencukupi umur tersebut

pasangan tersebut harus meminta dispensasi nikah ke pengadilan.

30
Sedangkan untuk yang mengahalangi perkawinan juga sudah diatur

dalam Undang-Undang no 1 tahun 1974 pasal 8 yaitu “perkawinan dilarang

antara dua orang yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau lurus

ke atas.

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

dengan saudara neneknya.

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak

tiri.

4. Berhubungan dengan susunan, anak susunan, saudara dan bibi/ paman

susunan.

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan

dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain berlaku

larangan kawin.

Sedangkan untuk perwalian dalam praktik kehidupan saat ini, dikenal

ada pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum wali dalam pernikahan.

Sebagian ulama mengatakan bahwa wali adalah syarat nikah dan mereka

berpendapat bahwa wanita sama sekali tidak boleh menikahkan dirinya

sendiri, sebagaimana hadits dari Nabi yang artinya:”Barang siapa diantara

perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya dinyatakan

batal, maka nikahnya dinyatakan batal, maka nikahnya dinyatakan batal.


31
(HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Kemudian dalam riwayat lain

Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada nikah kecuali

dengan wali, dan sultan (penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak

mempunyai wali.”(HR.Ahmad). Ibnu Mundzir mengatakan bahwa dia tidak

mengetahui seorangpun dari sahabat-sahabatnya yang memiliki pendapat

yang berbeda dengan pendapat tersebut.

Imam Abu Hanifah beserta murid-muridnya, berpendapat lain. Mereka

berpendapat bahwa perempuan berhak mengawinkan diri sendiri walaupun

tanpa minta restu ayah dan wali terlebih dahulu, asalkan calon suami sekufu

dengannya. Menurut mereka, hadits-hadits diatas dinilai tidak sah. Mereka

beralasan bahwa dalam Al-Qur‟an selalu dinisbahkan kepada perempuan itu

dan bukan pada wali seperti firman Allah SWT.,

‫اَج َّن ا َذا‬ُ َ ‫َوا َذا َظو َّ ْل ُ ُُت ام ًِ ّ َسا َء طَ َبوَغ َْن َآ َجوَِ َُّن طَ َال ثَ ْعضُ وُوُ َُّن َآ ْن ي َ ْي ِك ْح َن َآ ْز َو‬
ّ
‫وف ۗ َذَٰ ِ َِل يُو َعغُ ِب َِ َم ْن ََك َن ِمٌْ ُ ُْك يُ ْؤ ِم ُن ِِب َّ ِّ َوامْ َ ِ ْو ِم‬ ِ ‫حَ َّراضَ ْوا بَيِْنَ ُ ْم ِِبمْ َم ْع ُر‬
ُ َّ ‫ْالٓ ِخ ِر ۗ َذَٰ ِم ُ ُْك َآ ْز َ َٰك مَ ُ ُْك َو َآ ْظِ َُر ۗ َو‬
َ ‫اّ ي َ ْع َ َُّل َو َآه ُ ُْْت َال ثَ ْعوَ ُم‬
‫ون‬
Artinya:

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,


maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara
yang ma‟ruf. Itulah yang dinasehati kepada orang-orang yang beriman
diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian, itu lebih baik bagimudan
lebih suci. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-
Baqarah : 232)
Demikian juga dalam firmannya yang lain

32
Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. (Al-Baqarah : 234)
Dalam ayat-ayat diatas, kata nikah selalu disandarkan kepada

perempuan, bukan kepada wali. Bahkan, oleh Al-Qur‟an wali dilarang

menghalangi perempuan menikah dengan lelaki yang disukai. Perkawinan itu

merupakan hak perempuan sepenuhnya dan ia layak menangani secara

langsung tanpa meminta restu terlebih dahulu kepada wali.

Karena itu nikah yang dilakukan tetap dinyatakan sah. Hanya saja,

Abu Hanifah mensyaratkan perempuan yang boleh mengawinkan diri sendiri,

calon suaminya harus sekufu dengannya. Kalau ternyata calon suami tidak

sekufu maka wali berhak membatalkan pernikahan itu (Takariawan 2009 :

108-109).

Dalam rukun dan syarat diatas terdapat ijab qabul, maksud dari ijab

dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu pernyataan

yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi,

baikberupa kata-kata, tulisan atau isyarat yang mengungkapkan adanya

keinginan terjadinya akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari pihak

istri. Sedangkan qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua baik

berupa kata-kata, tulisan atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan dan

ridhanya (Azzam, 2009:59).

Dalam pengucapan ijab qabul dianjurkan untuk diucapakan secara

lancar dan jelas dalam satu tarikan nafas dan tanpa diselingi kata-kata yang

tidak ada hubungannya dengan perkataan ijab qabul tersebut. Hal ini juga
33
dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 27 yang berbunyi “ijab dan

kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas dan tidak berselang

waktu”. Kemudian juga diatur pengucapan ijab qabul dalam pasal 29

Kompilasi Hukum Islam yaitu:

1. Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai secara

pribadi.

2. Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan

kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria member

kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad

nikah itu adalah untuk mempelai pria.

3. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon

mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh

dilangsungkan.

Pernikahan harus diniati untuk selamanya jadi, dalam pengucapan

shighat yang digunakan dalam akad nikah hendaknya selamnya, tidak boleh

dibatasi waktunya dengan dengan pemabtasan tertentu, baik dalam waktu

panjang atau lama maupun waktu pendek atau sebentar. Pembatasan waktu

dalam pernikahan dengan pembatasan waktu tertentu akan membatasi

pemanfaatan seksual, dan ini bukan tujuan asal dari pernikahan. Tujuan

pernikahan yang asal adalah ketenangan, cinta, kasih sayang, memelihara

keturunan, meningkatkan keturunan, gotong royong dalam kehidupan dan

kebersamaan dalam keadaan senang dan sedih. Pernikahan yang dibatasi

waktu misalnya adalah perkataan seorang laki-laki kepada wanita: ”Nikahkan


34
aku dalam waktu satu bulan dengan mahar sekian”. Wanita itu menjawab:

“Aku terima”. Ijab qabul tersebut dilakukan dihadapan para saksi yang telah

menyampurnakan syarat (Azzam, 2009: 80).

4. Walimatul ‘Ursy

Secara bahasa, walimah berarti sempurnanya dan berkumpulnya

sesuatu, sedangkan arti walimah menurut syara‟ adalah sebutan untuk

hidangan makanan pada saat pernikahan. Ibnu Al-Arabi berkata, “dikatakan

aulama ar-rajulu tatkala telah menyatu antara akal pikiran dan tingkah

lakunya, dan dikatakan pada ikatan (walam) karena menyatukan sebelah kaki

dengan kaki yang lain, kemudian nama walimah berubah menjadi sebutan

khusus untuk hidangan makanan saat nikah, dan tidak bisa diartikan pada

hidangan selain pesta pernikahan (Takariawan, 2009: 130-131).

Setelah melangsungkan akad nikah biasanya dilanjutkan dengan acara

walimatul „ursy, yaitu pesta nikah yang dilaksankan oleh keluarga pasangan

pernikahan sebagai bentuk rasa syukur juga untuk memberi tahu tetangga,

kerabat, dan kelarga jauh bahwa mereka telah melangsungkan pernikahan.

Walimah merupakan sunah yang sangat dianjurkan oleh nabi sesuai

dengan sabda dari nabi Muhammad saw. dari Buraidah bin Khasnif, ketika

Ali meminang Fatimah r.a., ”Perkawinan harus membuat walimah.”

Selanjutnya Sa‟ad berkata, “Saya akan menyumbang seekor kambing”.

Sedangkan yang lain menyambut, “Saya akan menymbang gandum sekian-

35
sekian”. Dalam riwayat lain, “Maka terkumpullah dari kelompok kaum

Anshar sekian gantang gandum.”(HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)

Dari riwayat diatas dapat diketahui bahwa walimah sangat dianjurkan

untuk dilaksanakan. Dalam menjamu tamu undangan juga tidak perlu terlalu

berlimpah atau mewah sebab nabi juga hanya memotong seekor kambing dari

sumbangan sahabatnya. Hal ini terus dilanjutkan hingga sekarang dimana

ketika ada tetangga yang melangsungkan pesta nikah maka tetangga tersebut

akan membantu dengan cara menyumbang entah itu bumbu, daging atau

tenaga hal ini juga berlaku apabila orang tersebut melangsungkan pesta nikah.

Perlu diketahui bahwa tujuan dari mengadakan acara resepsi

pernikahan atau waliamah adalah untuk memberi tahu atau mengumumkan

kepada tetangga sekitar, kerabat, dan sanak saudara bahwa pasangan yang

mengundang tersebut telah menikah. Jadi tidak perlu melakukannya secara

berlebih-lebihan sebab intinya hanya untuk memberi tahukan bahwa mereka

telah menikah, nabi pun member contoh hanya dengan menyembelih seekor

kambing.

Dalam menyelenggarakan walimah hendaknya perlu diperhatikan

untuk tidak memunculkan unsur kemaksiatan di dalamnya. Pernikahan adalah

prosesi ibadah. Oleh karena itu, tidak boleh menghadirkan kemaksiatan di

dalam setiap langkah dan tahapannya.

Walimah yang merupakan salah satu rangkaian ibadah dalam

pernikahan harus dibersihkan dari anasir kesyirikan dan kemaksiatan dalam


36
acara, penampilan pengantin, dekorasi dan perhiasan, maupun dalam

hidangannya. Apabila terdapat kemaksiatan di dalamnya, akan merusak nilai

ibadah dari walimah tersebut. Demikian pula, para tamu tidak diperbolehkan

menghadiri undangan yang jelas-jelas dalam acara walimah tersebut

mengandung kemaksiatan.

Rasulullah saw. Bersabda,

‫َم ْن ََك َن يُ ْؤ ِم ُن ِِب َّ ِّ َوامْ َ ِ ْو ِم الٓ ِخ ِر طَ َال ي َ ْل ُع ْد عَ َا ى َمائِدَ ٍة يُدَ ُار عَوَ ْْيَا‬
‫امْ َخ ْمر‬
Artinya:

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah
duduk di meja makan yang menghidangkan minuman keras. (HR. Tirmidzi,
Ahmad, dan lain-lain)
Contoh kemaksiatan dalam resepsi walimah adalah menghadirkan

penari perempuan yang menampakkan aurat dan menari-nari di hadapan para

tamu baik laki-laki maupun perempuan dengan gerakan-gerakan tubuh yang

sensual. Selain itu, juga menghidangkan makanan yang tidak halal,

menyediakan area untuk judi, dan lain sebagainya (Takariawan, 2009: 132-

133).

Mengahadiri undangan walimah adalah wajib hukumnya bagi yang di

undang karena dengan menghadiri acara walimah tersebut kita dapat

menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan mengembirakan orang yang

mengadakan acara walimahan tersebut.

37
‫ا َذا ُد ِع َى َآ َحدُ ُ ُْك ا ََل امْ َو ِهمي َ ِة طَوْ َ ِأِِتِ َا‬
ّ ّ
“Jika salah seorang diantara kalian diundang walimah, maka
hadirilah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun mengahdiri undangan selain walimah, maka menurut Jumhur

Ulama dianggap sebagai sunnah muakkadah.

Sebagai goliongan Syafi‟i berpendapat adalah wajib. Tetapi Ibnu

Hazm menyangkal, bahwa pendapat ini dari Jumhur sahabat dan Tabi‟in.

karena hadits diatas memberi pengertian wajibnya menghadiri undangan

pernikahan.

Dalam Fathul-Bari Al Hafidh berekata: syarat undangan yang wajib

didatangi adalah:

1. Pengundang adalah mukallaf, merdeka dan sehat akal.

2. Tidak khusus buat orang-orang kaya saja, sedangkan yang miskin

tidak.

3. Tidak hanya tertuju kepada orang yang disenangi dan dihormati

saja

4. Pengundangnya beragama Isalam, demikianlah pendapat yang

lebih sah.

5. Khusus hari pertama, demikianlah pendapat yang terkenal.

38
6. Belum didahului oleh undangan lain. Kalau ada undangan lain,

maka yang pertama wajib didahulukan

7. Yang diundang tidak ada uzur.

Baghawi berkata:”undangan yang ada uzur, atau tempatnya jauh

sehingga memberatkan, maka boleh tidak usah hadir.” (Sabiq 1981: 185-186).

Rasulullah SAW. menganjurkan untuk memnuhi undangan yang

mengundang, baik undangan walimah urs atau lainnya karena hal itu

menyebabkan bersatunya hati, kuatnya hubungan dan terbuangnya kebencian.

Ini termasuk tujuan penting Islam untuk membentuk masyarakat yang kuat

dan salaing mengasihi. Islam menjadikan kesempatan-kesempatan mulia ini

sebagai sebab yang menghilangkan kebencian antar satu individu dengan

lainnya (al-Hamd, 2012: 156)

B. Tradisi Pernikahan Dalam Masyarakat Arab Modern

Dalam tradisi masyrakat Arab sebenarnya hampir sama dengan seprti

yang dijelaskan diatas yaitu ta‟aruf kemudian khit‟bah setelah itu

dilanjutnkan dengan aqad nikah terakhir diakhiri dengan Walimah, akan

tetapi dalam masyarakat Arab terdapat beberapa tahapan setelah aqad nikah

yaitu milka kemudian laylat al-hena dan diakhiri dengan zawaj (Camila,

2013:8).

39
1. Milka

Milka adalah proses resepsi pertama pernikahan. Milka berasal dari

kata malaka yang berarti milik atau memiliki. Disebut milka karena kedua

pasangan pengantin sudah mempunyai rasa saling memiliki satu sama

lainnya, setelah keduanya melewati proses akad nikah.

Milka adalah proses acara yang dilakukan setelah aqad nikah dalam

pelaksanaannya sendiri milka cukup sederhana karena cukup mengundang

keluarga dekat antara kedua belah pihak yang dilaksanakan di kediaman pihak

wanita saja tamunya sendiri yang diundang hanya pihak wanitanya saja.

Setelah prosesi milka pasangan pengantin tidak diperbolehkan untuk bertemu

satu sama lainnya. Mereka tidak diperbolehkan bertemu dalam jangka waktu

yang cukup lama. Ada yang tidak bertemu dalam waktu 3 bulan, 6 bulan, 8

bulan, atau bahkan 1 tahun lamanya. Tujuan dan alasan dari ini semua adalah

agar pengantin laki-laki siap memberikan nafkah secara lahiriyah dan

batiniyah. Mereka berjuang dan bekerja keras agar dapat memenuhi

kebutuhan sang mempelai wanita atau istri. Selain itu juga untuk

mempersiapkan acara puncak yaitu resepsi pernikahan. Karena acara puncak

tersebut dilakukan secara megah dan mewah sehingga membutuhkan dana

yang tidak sedikit (Camila, 2013: 10-11).

2. Laylat Al-hena

40
Laylat al-hena, berasal dari kata lail dan hena, yang berarti malam

hena. Hena adalah sejenis pacar yang biasanya digunakan oleh kaum wanita

untuk menghiasi beberapa bagian tubuhnya (Camila, 2013: 11).

Tradisi ini merupakan sebuah kebiasaan di Arab yang dilakukan oleh

mempelai wanitanya. Acara ini dilakukan di kediaman mempelai wanita dan

hanya dihadiri oleh wanita saja. Dalam acara laylat al-hena mempelai wanita

akan di lukis tangannya dengan tinta khusus semacam tato tapi ini berbeda

dan bisa hilang.

Dalam masyarakat Arab sendiri penggunaan hena diyakini sebagai

simbol bahwa wanita tersebut sudah tidak sendiri lagi atau sudah tidak lajang

lagi. Sehingga sebelum dilangsungkan acra resepsi pernikahan mempelai

wanita akan ditandai dengan dilukis menggunakan hena pada pergelangan

tangan dan kakinya.

3. Zawaj

Zawaj kalau dalam Indonesia adalah acara puncak dalam proses

pernikahan yang biasa disebut dengan acara resepsi pernikahan. Masyarakat

Arab sendiri dalam melaksanakan zawaj atau acara resepsi pernikahan

berbeda dengan yang dilakukan di Indonesia secara umum.

Menurut Camila dalam jurnal ilmiah yang berjudul “tradisi pernikahan

masyarakat Arab Saudi” menjelaskan bahwa Zawaj adalah acara puncak dari

proses tradisi pernikahan yang biasa disebut oleh masyarakat Arab dengan

41
istilah Zawaj. Zawaj berasal dari kata zawwaaj yang berarti pernikahan.

Diadakan oleh keluarga pengantin lelaki. Acara resepsi pernikahan ini dibagi

menjadi dua, acara khusus wanita dan acara khusus pria. Acara resepsi pria

dan wanita ini diadakan di satu gedung yang sama hanya berbeda ruangan.

Proses resepsi pernikahan masyarakat Arab dilaksanakan di dalam

ruangan yang berbeda antara mempelai wanita dan mempelai pria tetapi

masih dalam satu gedung yang sama. Jadi tamunya sendiri akan dipisah antara

tamu pria dan wanita. Penjamuannya sendiri juga berbeda anatara tamu pria

dan wanita.

Jadi dalam menyelenggarakan acara resepsi pernikahannya masyarakat

Arab memiliki perbedaan degan yang biasa kita pahami di Indonesia hal ini

terlihat pada penerimaan tamu mereka dimana para tamu dipisah antara tamu

yang pria dan tamu yang wanita. Hal ini terjadi Karena budaya disana yang

sangat menjaga para wanita mereka seperti halnya dengan menggunakan

pakaian yang sangat tertutup dan menggunakan cadar maka dari itu para tamu

jadi harus dipisah.

Dalam jurnal ilmiah yang berjudul “tradisi pernikahan masyarakat

Arab” Camila menuliskan tentang bagaimana proses pelaksanaan zawaj yaitu,

acara resepsi di tempat wanita dimulai pada pukul 22.00, biasanya tamu mulai

berdatangan menjelang pukul 23.00. Dalam ruangan yang sangat besar dan

mewah sudah disediakan meja-meja pesta beserta kue-kue kecil dan,the dan

kopi. Acara pertama ini disebut Arabic coffee. Selagi para tamu menikmati

42
Arabic coffee para tamu juga disuguhkan dengan nyanyian dan tarian ala

timur tengah, dimana para tamu juga dipersilahkan untuk ikut menari bersama

dengan para tamu-tamu yang lain.

Pada pukul 02.00 dini hari barulah pasangan pengantin keluar

menampakkan diri dihadapan tamu undangan wanita. Mereka keluar dan

menemui para tamu undangan wanita melalui balkon gedung. Ketika diberi

tahu bahwa pengantin lelaki akan keluar semua para tamu wanita akan

kembali mengenakan pakaian/jubah hitam yang bernama abaya beserta

kerudung dan cadarnya. Pada saat menemui para tamu undangan wanita, pada

saat itu pula pengantin laki-laki memasangkan cincin ke jari manis pengantin

perempuan. Setelah itu mereka turun dan berjalan ke pelaminan.barulah

dilaksanakan sesi pemotretan yang dilakukan secara bergiliran, yang dimulai

dari ibu kedaua mempelai, kakak-kakakperempuan, saudara-saudara

perempuan. Setelah sesi pemotretan, dilanjutkan dengan acara hiburan, yaitu

pasangan pasangan pengantin beserta tamu undangan wanita menikmati dan

larut dalam alunan music timur tengah. Mereka menari dan berjoget bersama-

sama.

Setelah melakukan berbagai rangakian acara bersama para tamu

undangan wanita, barualh pengantin laki-laki beranjak dan berpindah tempat

ke ruangan para tamu undangan laki-laki. Pada saat itu juga semua para tamu

undangan wanita melepas pakaian hijabnya. Pada pukul 03.00 dini hari, para

tamu undangan wanita dipersilahkan untuk menyantap hidangan yang telah

43
disediakan. Khususnya untuk tamu undangan wanita, makanan yang disajikan

dalam bentuk prasmanan.

Acara berbeda lagi yaitu di tempat pria, dimulai pada pukul 10.00

malam. Di ruangan yang terpisah dari tempat wanita tetapi tetap di tempat

yang sama, para tamu undangan laki-laki datang dan langsung menemui

pengantin pria. Para tamu menyalami, memeluk, saling cium pipi kiri dan

kanan sambil mengucapkan selamat kepada sang pengantin. Kebiasaan

mencium pipi kiri dan kanan sudah menjadi tradisi masyarakat Saudi,

khususnya bagi kaum laki-laki.

Setelah memberikan selamt kepada pengantin laki-laki, para tamu

undangan dipersilahkan untuk duduk di bangku yang telah diletakkan sebuah

benda yang dinamakan bukhoor. Bukhoor adalah wewangian dari Saudi

Arabia yang terbuat dari kayu gharu. Wangi dari bukhoor ini hampir

menyerupai bau dupa. Para tamu biasanya memanfaatkan asap dari bukhoor

tersebut untuk membuat tubuhnya harum dan wangi. Setelah menempati

tempat duduknya masing-masing, para tamu dimanjakan dengan menu hangat

yaitu teh dengan kopi. Para pelayan melayani dan memberikan secangkir kopi

atau teh kepada setiap tamu undangan. Kopidan teh tersebut disajikan dengan

menggunakan cangkir berukuran kecil.

Sambil menikmati kopi dan teh, mereka dihibur oleh para Saudi

Dancer. Mereka menggunakan pakaian seperti layaknya tentara yang ingin

berperang lengkap dengan senjata dan pedangnya. Mereka semua memegang

44
gendang dan tabala. Tidak ada nyanyian, mereka hanya memainkan musik

instrumen. Setelah itu barulah dilaksanakan acara makan-makan. Makanan

disajikan di dalam ruangan yang berbeda, disediakan ruangan khusus untuk

para tamu menyantap hidangan. Ada banyak sekali menu makanan yang

disajikan, tapi dalam tradisi masyarakat Arab ada dua menu khusus yang tidak

boleh ketinggalan yaitu, nasi kabsa dan kambing guling. Dua menu ini selalu

ada dan disajikan di setiap acara pernikahan masyarakat Arab Saudi. Nasi

kabsa dan kambing guling seolah-olah menjadi menu wajib yang harus

diasantap ketika datang ke sebuah pernikahan. Karena begitu wajibnya menu

ini, dalam satu meja makan disediakan setengah kambing guling.

Setelah para tamu selesai menyantap hidangan yang ada, acara

dilanjutkan dengan tarian pedang. Para penari pedang menghibur para tamu

dengan cara berjoget-joget dengan membawa pedang ditangannya. Selain itu

ada pula penari pedang yang duduk dengan cara berhadap hadapan satu sama

lain, sambil menari nari danmealkukan gerakan-gerakan tarian. Mereka semua

duduk berbaris didepan dan dihadapan pengantin laki-laki beserta para tamu.

Tujuan dari semua ini adalah hanya unuk menghibur pengatin laki0laki dan

para tamu undangan. Meskipun demikia, rangakian acara ini merupakan salah

satu rangkaian yang paling ditunggu dan dinanti oleh para tamu, karena

memang menarik untuk ditonon dan dinikmati.

Setelah berbagai rangkaian acara telah dilakukan, tiba waktunya

pengatin laki-laki berpamitan kepada para tamu undangan laki-laki. Pengantin

laki-laki beserta keluarga dekatnya berpindah dan beranjak ke tempat raungan


45
pengantin perempuan. Dengan ditemani dan diiringi oleh keluarga dekatnya,

pengatin laki-laki jalan perlahan lahan menuju tempat pengantin perempuan.

Setelah mengetahui bahwa pengantin laki-laki ingin memasuki ruangan

pengantin perempuan, semua para tamu undangan wanita wajib mengenakan

pakaina hijabnya kembali. Setelah pasangan pengantin bertemu, mereka

berdua langsung menuju ke panggung pelaminan. Proses menuju ke panggung

pelaminan ini, menjadi momen yang harus diabadikan oleh para fotografer.

Karena pada saat itu semua lampu-lampu yang menyoroti pasangan kedua

pengantin. Ini merupakan salah satu momen terbaik dalam rangkaian acara

yang ada.

Setelah pasangan kedua pengantin duduk di panggung pelaminan,

rangkaian acara dilanjutkan dengan berjoget dan menari bersama keluarga

dekat mereka. Mereka menikmati alunan musik yang ada sambil menikmati

makanan kecil dan beberapa minuman yang telah dihidangkan. Tidak berhenti

sampai disitu, acara tetap berlangsung sampai dengan waktu subuh tiba.

Bahkan ada beberapa kalangan masyarakat Arab Saudi yang mengakhiri

acaranya samapai pukul 8 pagi (Camila, 2013: 12-15).

46
BAB III

PANAIK DALAM SUKU BUGIS DI PAPUA

A. Gambaran Umum Nabire

Nabire merupakan salah satu kabupaten di Papua. Kabupaten Nabire

sendiri terletak diatas “leher burung” pada pulau Papua. Nabire memiliki luas

wilayah 15.357,55 km2, dan terletak diantara 134,35 BT -136,37 BT dan 2,25

LS – 4,15 LS, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah utara : Kabupaten Yapen dan Kabupaten Waropen.

b. Sebelah timur : Kabupaten Paniai dan Kabupaten Waropen.

c. Sebelah Seleatan : Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Timika.

d. Sebelah barat : Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Kaimana.

Kabupaten Nabire memiliki beberapa distrik yaitu Distrik Nabire,

Distrik Uwapa, Distrik Yaur, Distrik Napan, Distrik Mapia, Distrik Kamu,

Distrik Ikrar, Distrik Sukaikai, Distrik Wanggar, Distrik Siriwo. Jumlah

penduduk Kabupaten Nabire menurut data Kantor Kependudukan dan Catatan

Sipil Kabupaten Nabire sampai dengan akhir tahun 2005 sebanyak 172.315

jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 92.476 jiwa dan perempuan sebanyak

79.839 jiwa (http://nabire.wordpress.com).

Nabire merupakan daerah yang sangat potensial karena berada

ditengah pulau Papua dan berada di daerah pesisir pantai membuat Nabire

merupakan kawasan lintas perdagangan baik melalui laut,darat,atau udara.

47
Dengan potensi yang sangat besar tersebut membuat Nabire akan menjadi

pusat jalur perdagangan di Papua hal ini membuat banyak pendatang dari

berbagi daerah yang mulai datang dan menetap di sana.

B. Kondisi Sosial, Budaya dan Agama di Kampung Wiraska

Kabupaten Nabire adalah daerah transmigrasi yang dikhususkan dalam

sektor pertanian dan emas hal ini menyebabkan banyaknya pendatang dari

luar pulau. Menurut cerita orang-orang tua disana pendatang pertama

kebanyakan datang dari Jawa Timur dan Sulawesi. Beberapa tahun kemudian

mulai muncul banyak pendatang baru dari Jawa, Sumatra bahkan Aceh. Hal

ini terjadi karena Nabire merupakan daerah pesisir dan merupakan jalur

perdagangan kapal yang lewat dari Jayapura ke Jawa. Di dalam Kabupaten

Nabire terdapat kampung Wiraska yang merupakan daerah penempatan

orang-orang transmigrasi.

Kampung Wiraska secara historis dibentuk atas penempatan

transmigrasi atau UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) sehingga

penduduknya merupakan masyarakat heterogen dari berbagai suku/etnis,

antara lain: Jawa, Bugis, Makasar, NTB, NTT, dan suku-suku asli Papua

antara lain: Wante, Ikari, Dani, Biak, Moni dan lain-lain (RPJM kampung

wiraska distrik wanggar kabupaten nabire, 2017: II-1).

Dengan berbagai macam suku yang menetap di kampung Wiraska

maka terjadi percampuran berbagai macam adat dan budaya di daerah

tersebut. Percampuran budaya terjadi karena para masyarakat disana yang


48
memiliki latar belakang dari berbagai suku yang berbeda mulai membentuk

keluarga. Walupun mereka berada di daerah yang berbeda dengan kampung

halamannya mereka, mereka masih teteap mempertahankan adat atau

kebiasaan-kebiasaan mereka yang sudah disesuaikan oleh mereka sendiri.

Adat kebiasaan itu dapat berupa tradisi pernikahan, keagamaan dan lain-lain.

Kondisi masyarakat disana sekarang luamyan tentram walaupun masih

banyak warga asli yang suka minum-minum tetapi mereka tidak akan

mengganggu warga yang lain asalkan tidak diganggu. Perang antar sukupun

sudah suadah sangat jarang sekali terjadi. Sedangkan untuk mata pencaharian

disana sebagian besar berasal dari sektor non formal seperti petani, pedagang,

buruh dan lain-lain.

Karena Kampung Wiraska merupakan kampung sentra pertanian

hortikultural, maka sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai

petani, selengkapnya sebagai berikut:

No Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan Jumlah

1 PNS 32 10 42

2 TNI/POLRI 7 - 7

3 Swasta 148 144 292

4 Tani 598 537 1135

5 Industri Rumah Tangga - 38 38

6 Nelayan - - -

7 Pelajar 193 221 414

8 Mahasiswa 32 27 59

49
9 Dagang 26 46 72

10 Tukang 32 - 32

11 Honorer 12 15 27

12 Pensiunan 5 - 5

13 Jasa 15 - 15

14 Lainnya 170 205 375

Jumlah 1270 1243 2513

(RPJM kampung wiraska distrik wanggar kabupaten nabire, 2017: 8-8).

Kampung Wiraska memiliki jumlah penduduk 2.513 jiwa terdiri dari

laki-laki 1.270 dan perempuan 1.243 dengan perbandingan agama sebagai

berikut:

No Agama Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Islam 876 830 1706

2 Kristen 304 312 616

3 Protestan Kristen Katolik 90 101 191

4 Hindu - - -

5 Budha - - -

(RPJM kampung wiraska distrik wanggar kabupaten nabire, 2017: 8-7).

Faktor yang mempengaruhi banyaknya agama Islam di Kampung

Wiraska adalah karena dulu pada saat penempatan warga yang pertama dari

program transmigrasi oleh pemerintah di daerah tersebut adalah merupakan

rombongan dari DIY (Daerah Istimewa Yokyakarta) dan rombongan dari

jawa timur. Setelah itu baru disusul dari berbagai daerah lain seperti sulawesi

dan jawa tengah yang mayoritas beragama Islam.


50
C. Tradisi Dalam Perkawinan

Adat dalam perkawinan atau tradisi adalah kebiasaan yang dilakukan

oleh nenek moyang dan diturunkan kepada anak cucunya secara turun

temurun biasanya adat atau kebisaan tersebut bermula dari tokoh masyarakat,

sesepuh atau pemuka agama di daerah tersebut. Tradisi dalam pernikahan

biasa hanya berupa tambahan-tambahan dalam proses pernikahan tampa

merubah atau mengaggu hal-hal yang di yang sudah diajarkan oleh panutan

agama masing-masing.

Tradisi mempunyai makna sebagi wadah penyalur keagamaan

masyarakat, hampir ditemui pada setiap agama. Dengan alasan, agama

menurut pengalaman secara rutin dikalangan pemeluknya. Dalam rangaka

pengalaman itu, ada tata cara yang sifatnya baku, tertentu dan tidak bisa

dirubah-rubah. Sesuatu yang tidak pernah berubah-rubah dan terus-menerus

dilakukan dalam prosedur yang sama dari hari ke hari bahkan dari masa ke

masa, akhirnya identik dengan tradisi. Berarti, tradisi bisa muncul dari

amaliyah keagamaan, baik yang dilakukan kelompok maupun perseorangan

(Zenrif, 2008: 23).

Indonesia merupakan daerah kepualauan dimana setiap daerah

mempunyai adat istiadat yang mengatur tata cara pernikahan yang berbeda-

beda yang dilestarikan oleh masing orang didaerah tersebut. Dengan

kemajuan teknologi dari transportasi dan lain-lain maka banyak orang yang

pindah keberbagi daerah baik melalui jalur transmigrasi urbanisasi atau

keinginan sendiri untuk pindah dengan harapan mendapatkan kehidupan yang

51
lebih baik. Hal ini mangakibatkan terjadinya perkawinan campuran antara

suku, adat, atau agama yang berbeda.

Walaupun indonesia memilik perundang-undangan yang mengatur

tentang perkawinan tetapi mayoritas masyarakat akan menambah tradisi atau

budaya yang diajarkan orang tua mereka secara turun temurun. Hal ini karena

undang-undang hanya mengatur pokok-pokok dalam pernikahan.

Undang-Undang No.1 tahun 1974 yang terdiri dari XIV bab dan 67

pasal tersebut mengatur tentang dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat

perkawinan, pencegahan perkawinan, putusnya perkawinan, serta akibatnya,

kedudukan anak, perwalian, ketentuan lain, ketentuan peralihan dan ketentuan

penutup. Dildalam Undang-Undang nasiaonal tersebut tidang diatur tentang

bentuk-bentuk perkawinan, cara peminangan (pelamaran) dilakukan, upacara-

upacara perkawinan dan lainnya yang kesemuanaya itu masih berada dalam

ruang lingkup hukum adat (Hadikusuma, 2003: 182).

D. Tradisi Panaik Dalam Suku Bugis

Tradisi uang panaik atau biasa yang disebut dengan uang pesta adalah

suatu adat kebiasan yang dilakukan secara turun temurun dalam kalangan

suku bugis apabila ada seseorang yang ingin melamar anak perempuannya

maka orang tua dari perempuan tersebut akan meminta sejumlah uang untuk

digunakan dalam acara resepsi pernikahan. Uang panaik berbeda dengan

mahar karena uang panaik sepenuhnya digunakan oleh orang tua perempuan

untuk menyelenggarakan acara resepsi pernikahan atau walimahan.

Sedangkan mahar adalah harta yang diberikan oleh mempelai pria kepada
52
mempelai wanita pada saat pernikahan, harta tersebut dapat berupa uang

ataupun benda dan harta tersebut sepenuhnya milik istri nantinya jadi tidak

boleh diminta kembali atau digunakan tanpa ijin dari istri.

a) Sejarah tradisi uang panaik

Tradisi uang panaik terjadi karena biasanya anak perempuan didaerah

perkampuangan suku bugis kebanyakan waktunya dihabiskan di rumah

dan dari orang tuanya juga sangat dijaga dalam pergaulan dan hubungan

dengan orang lain diluar. Maka dari itu kebanyakan perempuan disana

dijodohkan oleh orang tua mereka kepada kenalan atau saudara jauhnya.

Karena kebanyakan pasangan disana dijodohkan maka pihak dari laki-laki

tidak akan kaget saat dimintai uang panaik untuk digunakan sebagai dana

dalam menyelenggarakan acara resepsi pernikahan. Permintaan uang

tersebut dianggap sebagai bentuk kesiapan dari pihak laki – laki yang

melamar, bisa tidak mereka memenuhi tuntutan tersebut jika segitu saja

tidak bisa maka bagaimana nantinya saat sudah berkeluarga (Wawancara

pada tanggal 9 Maret 2018).

Akan tetapi menurut hasil dari penelitan penulis tradisi uang panaik

terjadi karena suku bugis makasar terkenal merupakan suku yang agama

Islamnya sangat kuat maka dari itu mereka mungkin mengikuti adat

budaya bangsa Arab modern sesudah jaman Nabi dan para sahabatnya

yaitu kebiasaan yang dinamakan milka. Milka adalah kebiasaan yang

dilakukan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah calon mempelai

wanitanya, dimana setelah melamar calon mempelai pria tersebut akan

53
pergi merantau selama 3 bulan, 6 bulan, 8 bulan, atau bahkan 1 tahun

lamanya. Tujuan dan alasan dari ini semua adalah agar pengantin laki-laki

siap memberikan nafkah secara lahiriyah dan batiniyah. Mereka berjuang

dan bekerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan sang mempelai wanita

atau istri. Selain itu juga untuk mempersiapkan acara puncak yaitu resepsi

pernikahan. Karena acara puncak tersebut dilakukan secara megah dan

mewah sehingga membutuhkan dana yang tidak sedikit (Camila, 2013: 10-

11).

Karena adanya kebiasaan milka pada masyrakat Arab tersebut maka

para orang tua dari suku bugis juga ingin anaknya nanti menikah dengan

orang yang siap secara materilal ataupun immaterial dengan cara meminta

sejumlah uang kepada pihak laki – laki saat anaknya dilamar. Hal ini juga

yang menyebabkan kebanyakan orang bugis ingin anak perempuannya

melangsungkan acara resepsi pernikahan secara besar – besaran.

b) Proses tradisi uang panaik

Dalam proses uang panaik pertama dimulai ketika keluarga pria datang

untuk melamar maka disana para keluarga akan musyawarah untuk

menentukan berapa besar uang panaik. Biasanya yang mematok atau

menentukan berapa besar uang yang harus dikeluarkan adalah ayah atau

jika tidak ada maka wali terdekat dari si perempuan atau bisa juga

seseorang yang penting dalam keluarganya disana biasa disebut yang

dituakan. Apabila setelah musyawarah tidak ditemukan satu titik temu

maka pernikahan dapat menjadi batal. Maka dari itu para laki-laki disana

54
harus pintar-pintar dalam mencari calon istri mereka harus melihat latar

belakang calon mereka dan harus berani mengambil resiko (Wawancara

pada tanggal 9 Maret 2018).

Uang panaik sesungguhnya adalah uang yang diberikan calon suami

kepada keluarga perempuan untuk digunakan untuk menyelenggarakan

acara resepsi pernikahan. Uang tersebut sepenuhnya untuk pesta nikah

tidak ada hubungannya dengan mahar, jadi apabila uang tersebut lebih

dalam melngsungkan acara resepsi pernikahan tersebut maka uang tersebut

otomatis akan menjadi milik orang tua atau keluarga mempelai wanita.

Uang panik tersebut tidak harus dalam bentuk uang bisa dengan sapi atau

emas yang penting apabila dijumlahkan sesuai dengan kesepakatan yang

sudah dimusyawarahkan saat melamar (Wawancara pada tanggal 7 Maret

2018).

c) Penentuan uang panaik

Dalam penentuan panaik biasanya yang menjadi faktor yang

mempengaruhi besar kecilnya uang panaik adalah pendidikan akhir si

perempuan, latar belakang oaring tua dan lingkungan masyarakat sekitar

(Wawancara pada tanggal 9 Maret 2018).

 Pasangan Najib dan Eka

Pasangan ini menikah di Nabire pada tahun 2016 dengan

jumlah uang panaik yang diminta adalah 10 juta rupiah. Uang yang

diminta 10 juta karena sang isteri yaitu Eka merupakan lulusan S1

sedangkan latar belakang keluarganya adalah orang biasa yaitu


55
orang tuanya bekerja sebagai pedagang sekaligus penjahit.

Kemudian faktor yang mempengaruhi adalah karena pernikahan

tersebut tidak dilangsungkan di kampong halaman mempelai

wainta yaitu di Makasar jadi menurut orang tua dari mempelai

wanita sudah tidak relevan untuk meminta uang panaik yang

beasar seuai dengan yang ada di Makasar.

Untuk sekarang menurut dari keterangan Eka saudara dari

ayahnya yang berada di Makasar dengan pendidikan akhir lulusan

D3 jumlah uang panaik yang diminta adalah 25 juta rupiah.

 Pasangan Suarti dan Muktar

Mereka menikah di Makasar pada tahun 1984 dengan

jumlah uang panaik yang diminta adalah 700.000 rupiah. Uang

yang diminta 700.000 rupiah karena mereka berasal dari latar

belakang orang tua yang biasa sedangkan untuk pendidika jaman

dulu belum terlalu di perhatikan apalagi untuk anak perempuan

jadi yang mempengaruhi besar uang yang diminta adalah hanya

dari latar belakang orang tua.

Walaupun ini sudah dilakukan secara turun temurun sebetulnya tokoh

agama disana kurang setuju dengan adat tersebut anak-anak mereka biasanaya

kalau hendak menikah tidak diminta uang panaik. Hal ini dikarenakan

menurut mereka uang panaik dianggap memberatkan dan dapat menganggu

anjuran agama yaitu surat An-Nuur(24) ayat 32 :

56
‫امصا ِم ِح َْي ِم ْن ِع َبا ِد ُ ُْك َوا َمائِ ُ ُْك ۚ ا ْن يَ ُكوهُوا طُ َل َرا َء‬َّ ‫َو َآ ْى ِك ُحوا ْ َال ََي َم ٰى ِم ٌْ ُ ُْك َو‬
ّ ّ
‫اّ َو ِاْ ٌع عَ ِو ٌمي‬ُ َّ ‫اّ ِم ْن طَضْ ِ ِِل ۗ َو‬ ُ َّ ‫يُغِْنِ ِ ُم‬
Artinya:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan


orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-
laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah
akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya...”
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Islam menganjurakan unuk

seseorang yang pria atau pun wanita yang sudah layak dalam hal ini baik dari

segi umur mental dan rezeki dianjurkan unuk segera menikah dan bagi

keluarga atau orang-orang terdekatnya untuk membantu agar orang-orang

tersebut segera menikah. Jadi apabila sudah layak untuk menikah segerelah

dinikahkan tak perlu ditambahkan sayarat-syarat yang berlebihan atau hal-hal

yang memberatkan lainya.

Untuk tujuan dari adanya uang panaik sendiri terdapat perbedaan

pendapat dari narasumber yang ditanya, ada yang berpendapat bahwa

pemberian uang panaik adalah simbol bahwa laki-laki tersebut serius dan

mampu untuk menafkahi secara lahiriyah dan batiniyah terhadap perempuan

tersebut sedangkan yang lain berpendapat bahwa uang panik tersebut tidak

ada maksud dan tujuan tertentu itu hanya dilakukan secara turun temurun.

Untuk sekarang tradisi uang panaik ini kebanyakan hanya terjadi

didaerah kampung-kampung atau desa saja sedangkan untuk daerah kota

sudah jarang dilakukan karena anak-anak mereka kebanyakan sekolah diluar

57
daerah seperti dijawa atau kota-kota lainnya. Para laki-laki tentunya akan

lebih memilih mecari istri dari daerah lain sedangkan untuk perempuan

setelah mengetahui berbagai tradisi didaerah lain tidak akan mau dijodohkan

dan lebih memilih mencari calon sendiri tanpa meminta uang panaik

(Wawancara pada tanggal 9 Maret 2018).

58
BAB IV

UANG PANAIK SUKU BUGIS DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

A. Cara Menentukan Uang Panaik

Dari penjelasan sebelumnya kita mengetahui bahwa uang panaik

adalah uang yang harus diberikan calon mempelai laki-laki kepada orang tua

calon mempelai wanita. Uang panaik tersebut akan digunakan untuk acara

resepsi pernikahan. Jadi uang panaik berbeda dengan mahar karena mahar

adalah yang diminta oleh calon istri kepada calon suami sedangkan uang

panaik adalah uang yang diminta orang tua atau keuarga kepada calon suami.

Dalam menentukan uang panaik setiap orang tua berbeda-beda

tergantung anaknya masing-masing. Pada jaman dahulu cara menentukan

hanya berdasarkan latar belakang orang tua, hal ini dikarena pada jaman

dahulu orang tua diasana ikut berperan penting dalam pernikahan anak

mereka. Biasanaya pernikahan mereka dilakukan atas dasar penjodohan dari

orang tua dari pihak perempuan yang menawarkan anak perempuan mereka

kepada kerabat atau saudara jauh mereka. Proses ini dilakukan karena

kebanyakan anak perempuan pada jaman itu lebih suka dirumah maka orang

tua mereka yang lebih aktif mencari jodoh untuk anak mereka.

Di jaman sekarang ini uang panaik ditentukan pada saat melamar jadi

apabila saat melamar keluarga perempuan dan anaknya perempuannya sendiri

sudah setuju maka dilanjutkan dengan musyawarah menentukan uang panaik.

59
Hal-hal yang biasa mempengaruhi besar kecilnya uang panik biasanya adalah

pendidikan perempuan, latar belakang orang tua, dan lingkungan masyarakat

sekitar. Untuk pendidikan setiap jenjang pendidikan berbeda-beda harga yang

diminta oleh orang tua perempuan seperti:

a. SMA (Sekolah Menengah Atas)

b. D3 (Diploma-3)

c. S1 (Strata-1)

d. S2 (Strata-2)

Selanjutya yang menentukan besar kecilnya uang panaik adalah latar

belakang orang tua. Adapun latar belakang orang tua juga sangat

mempengaruhi seperti jika keluarga yang dilamar ekonominya berada

dibawah si pelamar maka dia akan memberi seadanya, akan tetapi jika orang

tua yang dilamar adalah orang berada (kaya) maka si pelamar atau calon

suami harus memberi lebih karena dia akan malu jika hanya memberi sedikit.

Untuk latar belakang orang tua ada beberapa kriteria seperti:

a. Berdarah biru (bangsawan)

b. Orang terpandang

c. Orang kaya

d. Orang biasa

e. Orang tidak mampu

Biasanya secara umum dalam menentukan uang panaik adalah pada

saat lamaran orang tua akan mengatakan bahwa anaknya memiliki pendidikan
60
misal S1 (strata-1), maka orang tua akan meminta sekian tergantung dengan

yang biasa dikeluarkan dimasyarakat sekitar untuk wanita yang berpendidikan

sampai S1 (strata-1). Setelah itu apabila anak tersebut belum pernah pacaran

atau orang tua sudah menjamin bahwa anak tersebut anak baik-baik tidak

pernah boncengan atau pacaran dengan siapapun maka biasanya orang tua

akan meminta lebih lagi. Yang terahir adalah mereka akan menambahkan

dengan latar belakan keluarga mereka pabila orang terpandang atau orang

kaya maka uang yang diminta akan bertamabah lagi, akan tetapi bila latar

belakang keluarga mereka biasa-biasa saja maka mereka tidak berani meminta

lebih apalagi jika latar belakan keluarga mereka lebih rendah dari keluarga

yang melamar maka mereka tidak akan berani meminta lebih (Wawancara

pada tanggal 7 Maret 2018).

Faktor terakhir yang mempengaruhi uang panaik adalah lingkungan

masyarakat, akan tetapi faktor tersebut tidak begitu terlalu mempengaruhi

tergantung pihak orang tua perempuannya. Disana para masyarakatnya

menganggap acara resepsi pernikahan sebagai ajang untuk tunjuk gigi, jadi

biasanya dalam menyelenggarakan acara resepsi harus dilaksanakan dengan

cara yang palaing megah dan mewah para tamu undangan juga harus

menggunakan pakaiaan mereka yang terbaik agar tidak jadi bahan

pembicaraan orang. Hal ini membuat uang panaik yang diminta orang tua

pihak wanita menjadi lebih besar lagi.

Untuk memenuhi permintaan uang panaik tersebut calon suami tidak

harus menyanggupi dalam bentuk uang saja bisa dengan emas, sapi atau
61
barang berhaga lainnya. Barang-barang tersebut nantinya akan dikumpulkan

dan dihitung apabiala sudah memeuhi yang diminta maka tidak menjadi

masalah walaupun tidak berupa uang.

Saat musyawarah menentukan uang panaik bisa juga calon suami

meminta untuk membayar setengah harga yang ditentukan jika orang tua

perempuan ingin mengadakan acara resepsi pernikahan yang mewah, jadi

nantinya calon suami dan keluarga perempuan akan membayar setengah-

setengah. Maka dari itu faktor sebenarnya yang paling berpengaruh adalah

saat musyawarah menentukan uang panaik dengan orang tua atau keluarga

perempuan.

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Uang Panaik

Uang panaik adalah uang yang diminta oleh orang tua atau keluarga

dari si perempuan dimana unag tersebut sebagai syarat untuk dapat menikahi

wanita tersebut. Uang tersebut akan digunakan oleh keluarga perempuan

untuk mengadakan acara resepsi pernikahan atau walimahan, uang yang

diminta juga biasanya sangat berlebihan dan dianggap menyusahkan pihak

perempuan. Hal ini dikarenakan para orang tua disana ingin melihat anak

mereka menikah dengan orang yang baik secara akhlak prilaku maupun

secara materi apalagi jika mereka hanya memiliki seorang anak perempuan

maka mereka sangat menginginkan mengadakan acara resepsi pernikahan

secara besar-baseran.

62
Waliamah atau resepsi pernikahan adalah suatu acara yang

dilaksanakan oleh keluarga yang melangsungkan pernikahan yang dilakukan

setelah akad nikah pasangan suami istri tersebut. Acara tersebut biasanya

hanya berupa makan-makan dan mengucapakan selamat kepada pasangan

suami istri tersebut.

Dalam Islam hukum menyelenggarakan walimah (pesta pernikahan)

merupakan hal yang mustahabah (dianjurkan). Berkata Anas r.a.: “Pada suatu

hari Rasulullah saw. meliahat tanda-tanda pengantin pada diri Abdurrahman

bin Auf, lalu beliau bertanya: „Apa ini?‟ jawab Abdurrahaman: „saya baru

saja mengawini seorang wanita dengan mahar emas sebesar biji korma.‟

Mendengar itu beliau berkata: „Baraka „llahu laka (semoga Allah

memberkatimu). Selenngarakanlah walimah walu hanya dengan seekor

domba‟!” (al-Baqir, 1992:84).

Dari riwayat diatas kita mengetahui bahwa walimah itu dianjurakan

akan tetapi Nabi tidak mengatakan tentang batasan dalam menyelanggarakan

walimah, Nabi hanya menganjurkan untuk menyembelih hewan kurban

seperti domba, kambing atau yang lainnya. Hal ini menimbulkan munculnya

berbagai macam tradisi yang berkaitan tentang walimah atau resepsi

perniakahan.

Dalam kitabnya Al-Imam Ibnu Majah yang diterjemahkan oleh

Drs.M. Thalib disitu dikatakan bahwa jangan sampai mengadakan walimah

secara berlebih-lebihan, apalagi bertujuan untuk memamerkan kekayaan,

63
karena hal semacam itu sudah berubah menjadi perbuatan syirik (Thalib,

1993: 57).

Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menikah apabila sudah

mampu secara lahir dan batin karena sesuai dengan firman Allah SWT dalam

Al-Quran surat An-Nur ayat 32:

‫امصا ِم ِح َْي ِم ْن ِع َبا ِد ُ ُْك َوا َمائِ ُ ُْك ۚ ا ْن يَ ُكوهُوا طُ َل َرا َء‬َّ ‫َو َآ ْى ِك ُحوا ْ َال ََي َم ٰى ِمٌْ ُ ُْك َو‬
ّ ّ
‫اّ َو ِاْ ٌع عَ ِو ٌمي‬ُ َّ ‫اّ ِم ْن طَضْ ِ ِِل ۗ َو‬ ُ َّ ‫يُغِْنِ ِ ُم‬
Artinya:

Dan kawinlah orang-orang yang sendirian diantara kamu. Dan orang-


orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberia-
Nya) lagi maha mengetahui.
Dari ayat diatas dapat diketahu apabila seseorang sudah layak untuk

menikah maka kita harus membantu agar orang tersebut segera menikah

dalam islam kelayakan untuk menikah atau hukum dalam menikah itu ada 5

yaitu:

1. Perkawinan yang wajib

Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai

keinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk

melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinan serta

ada kehawatiran, apabila tidak kawin, akan tergelincir untuk berbuat zina.

64
Alasan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: apabila menjaga diri

dari perbuatan zina adalah wajib, padahal bagi seseorang tertentu penjagaan

diri itu hanya akan terjamin dengan jalan kawin, maka bagi orang itu

melakukan perkawinan hukumnya wajib. Qa‟idah fiqhiyah mengatakan:

“sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu yang wajib”; atau

dengan kata lain: “apabila suatu kewajiban tidak akan terpenuhi tanpa adanya

suatu hal, maka hal itu wajib pula hukumnya.” Pentrapan qa‟idah tersebut

dalam masalah perkawinan adalah, apabila seseorang hanya dapat menjaga

diri dari perbuatan zina dengan jalan perkawinan, maka baginya perkawinan

tersebut wajib hukumnya.

2. Perkawinan yang sunnah

Perkawinan hukumnya sunnat bagi orang yang telah berkeinginan kuat

untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan

memikul kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin

juga tidak ada kekhawatiran atas perbuatan zina

Alasan hukum sunnah ini diperoleh dari ayat-ayat Al-qur‟an dan

hadits-hadits Nabi sebagaimana disebutkan didalamnya bahwa Islam

menganjurkan untuk melaksanakan perkwanian.

3. Perkawinan yang haram

Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan

serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul

65
kewajiban-kewajiban hidup perkawinan, hingga apabila kawin juga akan

berakibat menyusahkan isterinya.

4. Perkawinan yang makruh

Perkawinan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu dalam segi

materiil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak

khawatir akan terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran

tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap isterinya, meskipun

tidak akan berakibat menyusahkan pihak isterinya; misalnya calon isteri

tergolong orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk

kawin.

Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan

dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah

dan semangat bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh daripada

yang telah disebutkan di atas.

5. Perkawinan yang mubah

Perkawinan hukumnya mubah bagi orang-orang yang mempunyai

harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan perbuatan zina

dan andaikan kawin pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan

kewajibannya terhadap isteri. Perkawinan dilakukan sekedar untuk memenuhi

syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan

menjaga keselamatan hidup beragama (Basyir, 1996: 12-14).

66
Maka dari itu sebaiknya kita janganlah menyusahkan orang-orang

yang seharusnya sudah saatnya untuk menikah dan ingin melamar anak kita

dengan harus member syarat yang berlebihan seperti, harus memberikan

sejumlah uang atau persyaratan-persyaratan lain yang akan menyausahkan

mereka. pernikahan merupakan anjuran dan salah satu bentuk ibadah jika

diniati dengan benar dan sesuai dengan ayat diatas bahwasanya apabila calon

suami dalam keadaan yang kekurangan maka Allah akan membantunya

dengan karunia-Nya. Larangan untuk memberi kesusahan kepada orang lain

juga telah diajarkan oleh nabi kita Muhammad saw. dalam hadits yang

diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang artinya: “Barang siapa yang

membawa mudharat maka Allah akan memudharatkan dirinya sendiri,

sesiapa yang menyusahkan orang lain, Allah akan menyusahkannya pula”.

(HR. Tirmidzi)

Juga dalam penggalan Ayat Al-Qura‟an surat At-Talaq Ayat 6 yaitu:

‫… َو َال ثُضَ ُّاروُ َُّن ِم ُخضَ ِ ّ ِ ُلوا عَوَ ْ ِْي ّن‬


Artinya:

…dan janganlah kamu menyusahkan (memudharatkan) mereka untuk


menyempitkan (hati) mereka.
Agama Islam juga menganjurkan untuk tidak berperilaku berlebih-

lebihan dalam segala hal seperti yang telah dituliskan dalam Al-Qur‟an surat

Al-A‟raf ayat 31 :

67
‫اْشبُوا َو َال‬ ّ ِ ُ َ‫ََي ب َ ِِن آ ٓ َد َم خ ُُذوا ِزيًَذَ ُ ُْك ِع ْيد‬
َ ْ ‫ك َم ْس ِج ٍد َو ُ ُُكوا َو‬
ِ ْ ‫ْسطُوا ۚ اه َّ َُ َال ُ ُِي ُّب امْ ُم‬
‫ْسِط َْي‬ ِ ْ ُ‫ج‬
ّ
Artinaya:

Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)


masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A‟raf 7:31)
Juga dalam riwayatnya dari „Amr bin Syu‟aib, Rasulullah saw

bersabda: “hendaklah kalian makan dan minum dan bersedekah tanpa

berlebihan dan sombong. Sesungguhnya Allah menyukai melihat nikmatNya

pada hambaNya yang diberi nikmat”. [HR al-Hakim]

Berlebih-lebihan dalam Islam merupakan perilaku yang tercela dan

dilarang oleh syariat Islam, hal ini dikarenakan tidak akan menimbulkan

kebaikan sama sekali dan bahakan akan menimbulkan berbagai macam hal-

hal buruk seperti mendatangkan sifat riya bagi yang melakukan dan

menimbulkan sifat iri dan dengki bagi orang yang melihat.

Menyelenggarakan walimah adalah salah satu macam ibadah kepada

Allah, mengikuti Sunnah Rasul; oleh karena itu harus dilaksanakan sesuai

nilai-nilai ibadah tersebut. Agar walimah benar-benar bernilai ibadah,

hendaklah diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan walimah disesuaikan dengan kemampuan, tidak

memaksa diri diluar kekuatan yang akan berakibat penyesalan, dan

tidak berlebih-lebihan yang berkecendrungan kepada kemewahan.

68
b. Menyelenggarakan walimah dengan ikhlas, untuk ittiba‟ kepada

sunnah Rasul, tidak bermotif komersil, tidak mengharap sumbangan

lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sumbangan yang datang

diterima dengan senang hati dan terima kasih serta dipandang sebagai

pernyataan kasih sayang dari para tamu undangan, bukan sebagai

“karcis masuk” memenuhi undangan walimah.

Para undangan yang menghadiri waliamah apabila mampu, baik

membawa hadiah (kado) sekedarnya, tetapi jangan samapai dirasakan

sebagi kewajiban yang memberatkan. Kewajiban memenuhi undangan

jangan sampai terhalang hanya oleh karena tidak mampu membawa

hadiah (kado). Nama penyumbang tidak mutlak disertakan dalam

bungkusan hadiah (kado) yang dibawanya. Sumbangan tampa nama

lebih menjamin keikhlasan. Apabila kartu nama disertakan juga,

jangan sampai atas dorongan rasa takut dikira tidak menyumbang.

c. Tamu-tamu disambut dengan rasa hormat dan terima kasih, tanpa

dibedakan antara yang membawa kado dan yang tidak membawa sama

sekali. Daftar tamu sering dirasakan perlu oleh pihak pengundang

sebagai kenang-kenangan, tetapi sering pula dirasakan sebagai daftar

hadir oleh para tamu, untuk diketahui siapa yang datang dan siapa

yang tidak. Oleh karena itu lebih diseyogyakan tidak usah disediakan

daftar tamu, agar keikhlasan kedua belah pihak, pengundang dan yang

diundang tetap terpelihara.

69
d. Tidak ada halangannya diadakan selingan hiburan, tetapi tidak

berakibatkan menyesakkan nafas para tamu dan tidakmenyimpang dari

ketentuan-ketentuan agama.

e. Adat istiadat yang merupakan lambang-lambang tradisional, tetapi

bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, tidak usah

dihidupkan, seperti menyebar beras, memecah telur di kaki mempelai

laki-laki, dan sebagainya. Bagaimanapun murahnya harga telur

itu,tetapi apabila dibuang akan merupakan salah satu bentuk tabzir,

menyia-nyiakan harta benda yang dilarang dalam agama Islam.

f. Para tamu yang diberikan suguhan makanan supaya menerima dengan

senang hati, jangan menolak: apabila sesuai dengan selera dimakan,

apabila tidak sesuai dibiarkan saja. Tidak diseyogyakan menilai kurang

(mencela) terhadap hidangan walimah, kurang ini, itu tidak enak dan

sebagainya. Rasulullah saw. tidak pernah mencela makananyang

dihidangkan, apabila sesuai dengan selera dimakan, apabila tidak

sesuai dibiarkan.

g. Apabila bukan karena tidak mungkin mengundang tamu-tamu yang

diharapkan hadir dalam satu waktu, walimah hendaknya diadakan satu

kali saja pada hari pertama; terpaksanya supaya dicukupkan dua kali

saja, yaitu tambahan pada hari kedua. Hadits Nabi mengajarkan:

“Makanan walimah pada hari pertama adalah haq; makanan pada hari

kedua adalah sunnat; makanan pada hari ketiga adalah riya;

barangsiapa suka memperdengarkan kebaikannya kepada orang lain,

70
Allah akan memperdengarkan kepada orang lain itu keburukan-

keburukannya (Basyir, 1996: 47-48).

71
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Uang panaik merupakan sejumlah uang yang diminta oleh keluarga

perempuan kepada laki-laki yang ingin menikahi perempuan tersebut. Uang

panaik tersebut akan diminta saat seorang laki-laki sedang melamar anak

perempuan tersebut.

Uang panaik berbeda dengan mahar karena uang panik diminta oleh

keluarga perempuan untuk digunkan dalam membuat acara resepsi

pernikahan. Sedangkan mahar adalah sesuatu yang diminta perempuan

tersebut sebagai barang atau harta milik mereka sendiri.

1. Dalam menentukan besar kecilnya uang panaik ada beberapa kriteria yang

mempengaruhinya yaitu:

a. Pendidikan terakhir si perempuan seperti:

 SMA (Sekolah Menengah Atas)

 D3 (Diploma-3)

 S1 (Strata-1)

 S2 (Strata-2)

72
b. Latar belakang keluarga si perempuan seperti:

 Berdarah biru (bangsawan)

 Orang terpandang

 Orang kaya

 Orang biasa

 Orang tidak mampu

c. Lingkungan masyarakat sekitar si perempuan, hal ini dapat

mempengaruhi besar kecilnya uang panaik dengan cara seperti

omongan dari mulut ke mulut antara para tetangga yang menceritakan

bagaimana anaknya atau anak saudaranya memminta uang panaik

kepada calon menantunya. Dengan adanya pembicaraan tersebut yang

dapat diartikan sebagai saling sharing maka akhirnya dapat

mempengaruhi besar kecilnya uang panaik.

2. Menurut hokum islam, meminta uang kepada calon mempelai pria untuk

mengadakan acara resepsi pernikahan secara besar-basaran tidak

dibolehkan. Karena di dalam agama Islam Allah SWT telah mengatakan

untuk tidak menyusahkan seseorang, sesuai dengan penggalan surat At-

Talaq ayat 6 yaitu:

‫… َو َال ثُضَ ُّاروُ َُّن ِم ُخضَ ِ ّ ِ ُلوا عَوَ ْ ِْي ّن‬


73
Artinya

…dan janganlah kamu menyusahkan (memudharatkan) mereka untuk


menyempitkan (hati) mereka.
dalam hal ini adalah dengan memberi syarat kepada seseorang yang ingin

menikahi anaknya orang tersebut harus menyerahkan uang yang telah

ditentukan oleh orang tua tersebut untuk digunkan dalam menyelenggarakan

acara resepsi pernikahan secara besar-besaran. Islam sebetulnya sangat

menganjurkan untuk mengadakan acara walimah atau resepsi pernikahan

karena hukumnya mustahabah (dianjurakan) akan tetapi agama Islam juga

menganjurkan untuk tidak berprilaku berlebih-lebihan dalam melakukan

segala perbuatan, ini juga berlaku dalam menyelenggarakan acara resepsi

pernikahan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A‟raf ayat 31:

‫اْشبُوا َو َال‬ ّ ِ ُ َ‫ََي ب َ ِِن آ ٓ َد َم خ ُُذوا ِزيًَذَ ُ ُْك ِع ْيد‬


َ ْ ‫ك َم ْس ِج ٍد َو ُ ُُكوا َو‬
ِ ْ ‫ْسطُوا ۚ اه َّ َُ َال ُ ُِي ُّب امْ ُم‬
‫ْسِط َْي‬ ِ ْ ُ‫ج‬
ّ
Artinaya:

Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)


masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A‟raf 7:31)

B. Saran

Untuk uang panaik keluarga perempuan boleh meminta uang kepada

pihak laki-laki apabila ingin mengadakan acara resepsi pernikahan secara

besar-basaran, akan tetapi sebaiknya biaya yang akan dibutuhkan untuk

melangsungkan acara resepsi tersebut tidak sepenuhnya ditanggung oleh

74
pihak laki-laki tersebut. Hal ini dikarenakan dapat memberatkan pihak laki-

laki dan ditakutkan akan berakibat para laki-laki yang ingin melamar jadi

takut untuk melamar anak tersebut dan ini akhirnya juga akan menyusahkan

anak perempuan tersebut. Sebaiknya kedua belah pihak sama-sama

menanggung biaya acara resepsi tersebut entah itu akan dibagi 50:50 atau bisa

juga 60:40 agar tidak memberatkan piahak laki-laki tersebut

75
Daftar Pustaka

Al-Qur‟an dan Hadist

Undang-Undang Repubilk Indonesia No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Kompilasi Hukum Islam.

RPJM-KAMPUNG WIRASKA-DISTRIK WANGGAR-KABUPATEN NABIRE

Al-baqir, muhammad. 1992. Menyingkap Hakikat Perkawinan. Bandung:


Karisma
Al-Shabbagh, Mahmud. 1991. Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Al-hamd, Abdul Qadir Syaibah. 2012. Fiqhul Islam Syarah Bulughul Maram.
Jakarta : Darul Haq
Amirin, Tantang. 1990. Menyusn Rencana Penelitian. Jakarta : CV Rajawali

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


Jakarta : PT Pineka Cipta.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh
Munakahat, Jakarta: AMZAH.
Basyir, Ahmad Azhar. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Yokyakarta:
Perpustakaan Fakulatas Hukum Universitas Indonesia.
Camila, 2013. Tradisi Pernikahan Masyarakat Arab Saudi, Jakarta: Universitas
Indonesia
Hadikusuma, Hilaman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Lampung:
Mandar Maju
Kisyik, Abdul Hamid. 1996. Bimbingan Islam utuk Mencapai Keluarga Sakinah,
Bandung: Al-Bayan.
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Moloeng, Leksi J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja


Rosdakarya Offset.
Sabiq, Sayyid. 1981. Fikih Sunnah 7. Bandung: PT Alma‟arif

76
Thalib. M. 1993. 20 Petunjuk Muhammad saw. Untuk Berkeluarga. Solo: CV.
Ramadhani
Thobroni, M & Aliyah A. Munir. 2010. Meraih Berkah dengan Menikah.
Yokyakarta: Pustaka Marwa.
Takariawan, Cahyadi. 2009. Di jalan Dakwah Kugapai Sakinah. Solo : Era
Intermedia.
Wawancara pada tanggal 7 2018 ( Hj. Suarti)

Wawancara pada tanggal 9 2018 (Eka Yluliani Zandra)

Zenrif, MF. 2008. Realitas Keluarga Muslim antara Mitos dan Doktrin Agama.
Malang: UIN-Malang Press.

77
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Muhammad Mujiburrahman

Nim : 211-13-018

Jurusan :Ahwal Al Syakhshiyyah

Tempat Tanggal Lahir : Jayapura, 04 April 1995

Alamat : Jl. Bandung, Karang Mulia, Kec. Nabire

Kab. Nabire

Nama Ayah : Moh. Muhaji (Alm)

Nama Ibu : Sri Kunnafsiyyah

Agama : Islam

Pendidikan : TK Bayangkari Lulus Tahun 2001

SDN Impres Jayapura Pindah

SDN 1 Nabire Pindah

SD 1 Botomulyo Kendal Lulus Tahun 2007

SMP N 4 Purwokerto Lulus Tahun 2010

SMA Ma‟arif NU 1

Kemranjen Banyumas Lulus Tahun 2013

Demikian daftar riwayat hidup ini, penulis buat dengan sebenar-benarnya.

Salatiga, 21 Maret 2018

Penulis

M. Mujiburrahman

Anda mungkin juga menyukai