Anda di halaman 1dari 80

1

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBERI WARALABA ATAS


WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH PENERIMA WARALABA
DI BENGKULU UTARA

SKRIPSI

Oleh :

DWI NANDA BIMA ABIMANYU


NPM : 13010235

Program Studi : Hukum

UNIVERSITAS PROF. DR. HAZAIRIN, SH

FAKULTAS HUKUM

BENGKULU

2017
2

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBERI WARALABA ATAS


WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH PENERIMA WARALABA
DI BENGKULU UTARA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH. Bengkulu

Oleh :

DWI NANDA BIMA ABIMANYU


NPM : 13010235

Program Studi : Hukum

UNIVERSITAS PROF. DR. HAZAIRIN, SH

FAKULTAS HUKUM

BENGKULU

2017
3

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBERI WARALABA ATAS


WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH PENERIMA WARALABA
DI BENGKULU UTARA

Disetujui Oleh :

Bengkulu, 2017 Bengkulu, 2017

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Indradefi, SH, M.Hum Nediyanto Ramadhan, SH,MH

Mengesahkan :

DEKAN

Dwikari Nuristiningsih, SH, M.Hum

iii
4

PENGESAHAN OLEH TIM PENGUJI

Skripsi Telah Dipertahankan di Depan Tim Penguji Skripsi


Fakultas Hukum UNIHAZ Bengkulu pada :

Hari : .

Tanggal : .

Tempat : .

Dan Dinyatakan Oleh Tim Penguji :

1. . (.)
Ketua

2.. (.)
Anggota

3. ... (.)
Anggota

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
5

Motto :

Hidup ini jangan dianggap beban, maka hadapilah


kehidupan dengan ceria dan penuh keikhlasan

(DWI NANDA BIMA ABIMANYU)

Persembahan :

- Kepada kedua orang tuaku yang tercinta

- Kepada adik-adikku yang tersayang

- Rekan-rekan Almamaterku

v
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
6

NAMA : DWI NANDA BIMA ABIMANYU

NPM : 13010235

FAKULTAS : HUKUM

JURUSAN : HUKUM

JUDUL SKRIPSI : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBERI


WARALABA ATAS WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH
PENERIMA WARALABADI BENGKULU UTARA

Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahwa skripsi ini saya


buat dengan kemampuan saya sendiri, tanpa dibuat oleh orang lain dan
tanpa menjiplak karya ilmiah orang lain.
Apabila dikemudian hari, diketahui bahwa skripsi ini dibuat oleh orang lain
atau plagiat, maka saya bersedia dikenakan sanksi, menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan pencabutan gelar keserjanaan yang
saya peroleh.

Bengkulu, September 2017

DWI NANDA BIMA ABIMANYU

vi
7

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena

atas rahmat dan hidayahnya sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan tepat

pada waktunya.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga saya

sampaikan kepada yang terhormat :

1. Bapak Rektor Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu, Bapak Dr.

Yulfiperius, MSi atas kesempatan dan pasilitas yang diberikan kepada saya

untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Strata satu.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu, Ibu

Dwikari Nuristiningsih, SH, M.Hum

3. Bapak Indradefi, SH, M.Hum selaku pembimbing Pertama dan juga kepada

Bapak Nediyanto Ramadhan, SH, MH selaku pembimbing Kedua, atas

bimbingan dan pengarahan dengan penuh ketekunan dan kesabaran

sampai skripsi ini selesai.

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH

Bengkulu, yang telah bersusah payah membimbing saya selama dalam

mengikuti di bangku perkuliahan.

vii
8

4. Bapak dan Ibu Staf Fakultas Hukum Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH

Bengkulu yang telah banyak membantu saya dapat menyelesaikan skripsi

ini.

5. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang juga

telah ikut membantu saya dalam penulisan skripsi ini, baik moril maupun

materiil.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,

karena terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu

segala saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.

Bengkulu, September 2017

Penulis

DWI NANDA BIMA ABIMANYU

viii
9

ABSTRAK

DWI NANDA BIMA ABIMANYU, NPM.13010235, Perlindungan hukum


pemberi waralaba atas wanprestasi yang dilakukan penerima waralaba di Bengkulu
Utara. Diasuh dan dibimbing oleh Bapak Indradefi, SH, M.Hum selaku pembimbing
pertama dan Bapak Nediyanto Ramadhan, SH, MH selaku pembimbing kedua dengan
jumlah 67 halaman.
Berdasarkan penyediaan pelayanan tersebut oleh pemilik waralaba, maka
pembeli waralaba mempertimbangkan kemungkinan memperoleh keuntungan bila
membeli/meneriman izin perolehan waralaba. Dengan kata lain, pemberi waralaba
melisensikan waralaba disertai penyediaan utama yang dapat menguntungkan
penerima waralaba. Dalam penulisan skripsi ini masalah yang akan dikaji adalah
bagaimanakah perlindungan hukum pemberi waralaba atas wanprestasi yang dilakukan
penerima waralaba di Bengkulu Utara dan bagaimanakah prosedur izin permohonan
perolehan hak waralaba di Bengkulu Utara. Dalam penelitian sampel ditentukan
dengan metode purposive sampling, dimana yang menjadi sampel yaitu Kepala Dinas
Kantor Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bengkulu Utara, Pimpinan pemberi
waralaba di Kabupaten Bengkulu Utara dan 3 orang penerima waralaba di Kabupaten
Bengkulu Utara. Data yang terkumpul yaitu data primer dan sekunder, selanjutnya data
tersebut diolah dengan teknik coding dan editing dan yang terakhir dianalisa dengan
teknik deskriptif kualitatif. Selanjutnya disusun dalam susunan sistematis dalam bentuk
skripsi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum pemberi
waralaba atas wanprestasi yang dilakukan penerima waralaba di Bengkulu Utara yaitu
pemberi waralaba dapat menuntut adanya ganti kerugian berdasarkan apa yang telah
ditetapkan oleh KUHPerdata jika penerima waralaba melakukan wanprestasi. Untuk
mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) seorang penerima
waralaba harus melalui prosedur yakni : penyajian prosopektus penawaran waralaba
dari pemberi waralaba yang telah didaftarkan pada instansi terkait, pembuatan
perjanjian waralaba dan paling lambat lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima Waralaba harus mendaftarkan
permohonan untuk memperoleh Surat Tanda Perolehan Usaha Waralaba. Jika tidak ada
ada kendala berarti maka dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
diterimanya Daftar Isian Permohonan STPUW secara lengkap dan benar, Pejabat
Penerbit STPUW menerbitkan STPUW. Bahwa prosedur izin permohonan perolehan
hak waralaba di Bengkulu Utara adalah seorang penerima waralaba harus melalui
prosedur untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW)
yakni : penyajian prosopektus penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah
didaftarkan pada instansi terkait. Pemberi waralaba dapat menuntut adanya ganti
kerugian berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh KUHPerdata jika penerima
waralaba melakukan wanprestasi.
Ix
10

ABSTRACT

DWI NANDA BIMA ABIMANYU, NPM.13010235, The legal protection of the


franchisor over the default of franchisees in North Bengkulu. Cared and guided by Mr.
Indradefi, SH, M. Hum as the first mentor and Mr. Nediyanto, SH, MH as the second
mentor with a total of 67 pages.
Based on the provision of such services by the franchisor, the franchisor considers the
possibility of making a profit when buying / receiving a franchise acquisition permit.
In other words, the franchisor licenses the franchise with major provisions that can
benefit the franchisor. In the writing of this thesis the problem to be studied is how the
legal protection of the franchisor over wanprestasi made franchise recipients in North
Bengkulu and how the procedure permit acquisition of franchise rights in North
Bengkulu. In the sample study is determined by purposive sampling method, where the
sample is the Head Office of Industry and Trade Office of North Bengkulu, Leader
franchise in North Bengkulu and 3 franchise recipients in North Bengkulu Regency.
The data collected are primary and secondary data, then the data is processed by coding
and editing techniques and the last one is analyzed by qualitative descriptive technique.
Further arranged in a systematic arrangement in the form of thesis. From the results of
this study it can be concluded that the legal protection of the franchisor over the
waiprestasi of the franchise recipient in North Bengkulu ie the franchisor may demand
compensation based on what has been stipulated by the Civil Code if the franchise
recipient has defaulted. To obtain a Franchise Registration Certificate (STPUW), a
franchisee must undergo a procedure that is: a presentation of a franchise offering
prosopektus from a franchisor who has been registered with the relevant agency,
making a franchise agreement and not later than 30 (thirty) working days from the date
of its entry into force The Franchisee Franchisee Agreement must register an
application to obtain a Franchise Gain Sign. If there are no significant constraints then
within 5 (five) working days from the date of receipt of the complete and correct
STPUW Application Form List, the STPUW Issuing Officer issues STPUW. Whereas
the procedure for obtaining franchise rights permit in North Bengkulu is a franchise
recipient must go through the procedure to obtain a Franchise Registration Certificate
(STPUW) namely: presentation of prosopectus of franchise offering from franchisor
who has been registered to the relevant institution. The franchisor may demand
compensation based on what has been stipulated by the Civil Code if the franchisor
receives a default.

x
11

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL .........i


HALAMAN JUDUL ........ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ........iii
HALAMAN PERNYATAAN TIM PENGUJI ...........iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..........v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI...................................................................vi
KATA PENGANTAR ............vii
ABSTRAK ...........ix
ABSTRACT..................................................................................................................x
DAFTAR ISI .......xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang . ..................................................................... ...1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... ...4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... ...5
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................ ...5
E. Hipotesis......................................................................................... .17
F. Metode Penelitian........................................................................... .17
1. Teknik Penentuan Sampel .17

2. Teknik Pengumpulan Data ..19

3. Teknik Pengolahan Data .19

4. Teknik Analisa Data 19

G. Sistematika Penulisan..................................................................... .20

xi
12

BAB II TINJAUAN UMUM


A. Pengertian Waralaba.22
B. Pembuatan Perjanjian Waralaba...26
C. Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW).. .33
D. Pelaksanaan Perjanjian Waralaba................................................... .37
E. Pelanggaran Perjanjian Waralaba .................................................. .40
F. Upaya Hukum Akibat Pelanggaran Perjanjian Waralaba Oleh
Penerima Waralaba ........................................................................ .44

BAB III PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian
1. Pelaksanaan Perlindungan hukum pemberi waralaba atas

wanprestasi yang dilakukan penerima waralaba di Bengkulu

Utara....................49

2. Prosedur Prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba di

Bengkulu Utara.........................53

B. Pembahasan ........................................................................................ .57

BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... .67
B. Saran-saran ........................................................................................ .67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xii
13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bisnis waralaba merupakan kegiatan usaha penjualan barang secara retail

kepada masyarakat luas, begitu populernya kegiatan usaha ini, sehingga cepat

sekali berkembang dan meliputi berbagai jenis bidang usaha. Di Indonesia, bisnis

penjualan secara retail semacam waralaba mulai dikembangkan, banyak sekali

bermunculan pebisnis-pebisnis lokal yang melirik penjualan barang atau jasanya

secara waralaba, misalnya :

1. Pertamina yang mempelopori penjualan retail bensin melalui lisensi pompa

bensin.

2. Ayam Goreng Wong Solo dan Tahu Tek-Tek, yang memperlopori bisnis

waralaba di bidang makanan

3. Es Teler 77 yang mempelopori dalam bidang minuman

4. Primagama yang mempelopori waralaba dalam bidang jasa pendidikan

Di Indonesia, sistem bisnis penjualan secara waralaba sangat diminati oleh

pebisnis waralaba asing dimana mereka memberikan izin kepada pengusaha lokal

untuk mengelola waralaba asing tersebut dan tentunya akan berakibat

menimbulkan saingan yang berat bagi pengusaha kecil lokal yang bergerak di

bidang usaha sejenis.

Begitu menarik dan menguntungkannya bisnis waralaba ini, maka

pemerintah berkepentingan pula untuk mengembangkan bisnis di Indonesia guna


14

terciptanya iklim kemitraan usaha melalui pemanfaatan lisensi sistem bisnis

waralaba. Dengan bantuan International Labour Organization (ILO) da

Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, kemudian didirikan Asosiasi

Franchise Indonesia pada tanggal 22 Nopember 1991.

Abdulkadir Muhammad, (1993:336) :

Pada tahun 1995 berdiri pula Asosiasi Restoran Waralaba Indonesia


(ARWI) yang mengkhususkan diri di bidang usaha restoran. Asosiasi ini
bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia bekualitas di bidang
usaha restoran waralaba, mengembangkan informasi dan inovasi teknologi di
bidang usaha restoran terutama mengenai teknologi makanan, peralatan
masak, kemasan, kesehatan dan gizi, pengawetan dan manajemen pelayanan.

Melalui sistem bisnis waralaba ini, kegiatan usaha para pengusaha kecil di

Indonesia dapat berkembang secara wajar dengan menggunakan resep, teknologi,

kemasan, manajemen pelayanan, merek dagang/ jasa pihak lain dengan membayar

sejumlah royalti berdasarkan lisensi waralaba. Di samping itu pengembangan

sumber daya manusia berkualitas menjadi penting melalui pelatihan keterampilan

menjalankan usaha waralaba yang diselenggarakan oleh pihak pemberi lisensi

waralaba. Para pengusaha kecil tidak perlu bersusah payah menciptakan sendiri

sistem bisnis, sudah cukup dengan menyediakan modal kemitraan usaha,

membayar royalti, dengan memanfaatkan sistem bisnis waralaba asing melalui

lisensi bisnis.

Menurut Douglas J Queen dalam Abdulkadir Muhammad, (1993:337)

konsep bisnis waralaba yang sudah teruji kemungkinan besar mengimbangi biaya

awal dan royalti selanjutnya dari waralaba tersebut. Besarnya biaya tersebut
15

memberikan hak pada pemilik waralaba berupa penyediaan pelayanan utama

berikut ini :

1. Pemilihan dan pengkajian lokasi


2. Spesifikasi peralatan dan tempat
3. Pelatihan manajemen dan staf
4. Dukungan promosi dan iklan
5. Manfaat pembelian dan volume
6. Merek dagang yang terkenal

Berdasarkan penyediaan pelayanan tersebut oleh pemilik waralaba, maka

pembeli waralaba mempertimbangkan kemungkinan memperoleh keuntungan bila

membeli/meneriman izin perolehan waralaba. Dengan kata lain, pemberi waralaba

melisensikan waralaba disertai penyediaan utama yang dapat menguntungkan

penerima waralaba.

Semakin menjamurnya bisnis waralaba saat ini, Pemerintah Indonesia

khususnya di wilayah Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara, memandang perlu

untuk mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha Pemberi Waralaba khususnya di

Kabupaten Bengkulu Utara, guna menciptakan transparansi informasi usaha yang

dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam memasarkan barang

dan/atau jasa dengan Waralaba di Kabupaten Bengkulu Utara. Disamping itu,

Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara dapat memantau dan menyusun data

Waralaba baik jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan. Untuk itu,

Pemberi Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima

Waralaba, harus menyampaikan prospektus penawaran Waralaba kepada

Pemerintah dan calon Penerima Waralaba. Disisi lain, apabila terjadi kesepakatan

perjanjian Waralaba, Penerima Waralaba harus menyampaikan perjanjian


16

Waralaba tersebut kepada Pemerintah. Berdasarkan alasan tersebut pemerintah

kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang

Waralaba.

Kejelian memilih waralaba sebenarnya hanyalah sebagian dari serangkaian

kiat sukses di bisnis ini. Selain itu prinsip kehati-hatian juga harus dijaga.

Perjanjian yang akan dibuat hendaknya benar-benar dipahami oleh para pihak agar

dikemudian hari tidak terjadi sengketa yang berujung pada gugatan wanprestasi

salah satu pihak.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti

lebih jauh yang akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul :

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBERI WARALABA ATAS

WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH PENERIMA WARALABA DI

BENGKULU UTARA.

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak pada uraian dalam latar belakang masalah di atas maka

pokok permasalahannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perlindungan hukum pemberi waralaba atas wanprestasi yang

dilakukan penerima waralaba di Bengkulu Utara ?

2. Bagaimanakah prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba di Bengkulu

Utara ?
17

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan di atas, maka tujuan

penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum pemberi waralaba atas wanprestasi

yang dilakukan penerima waralaba di Bengkulu Utara

2. Untuk mengetahui prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba di

Bengkulu Utara.

D. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Menurut Poerwadarminta, (1999:526) menyebutkan bahwa

:Perlindungan adalah sebagai tempat berlindung, perbuatan melindungi,

pertolongan, dan penjagaan.

Pengertian perlindungan secara umum adalah suatu cara untuk

melindungi hak-hak yang dimiliki manusia agar tidak terjadi kesewenang-

wenangan. Pemberian perlindungan merupakan serangkaian kegiatan untuk

mewujudkan hak-hak manusia, perlindungan sebagai perwujudan bersama antara

pemerintah dan masyarakat dalam memberikan terhadap manusia.

Adapun mengenai definisi hukum menurut M.H. Tirtaamidjaja dalam CST

Cansil, (2000:11) mengatakan : Aturan yang harus diturut dalam tingkah laku

tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti


18

kerugianjika melanggar aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta,

umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.

Menurut Chairul Areasjid, (2000:26) bahwa hukum terdiri dari beberapa

unsur, yaitu :

a. Peraturan atau kaedah-kaedah tingkah laku manusia dalam pergaulan


antar manusia (masyarakat)
b. Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. Peraturan merupakan jalinan-jalinan nilai, merupakan abstrak tentang
adil dan tidak adil serta dianggap baik dan buruk
d. Peraturan yang bersifat memaksa
e. Peraturan yang mempunyai sanksi yang tegas dan nyata.

Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

perlindungan hukum merupakan upaya memberikan rasa nyaman terhadap

kepentingan manusia yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan manusia yang

dilindungi oleh hukum biasa disebut hak, dan hak memberikan wewenang

kepada seseorang untuk melakukan perbuatan yang dapat dipertahankan terhadap

siapapun dan sebaliknya setiap orang harus menghormati hak tersebut.

Perlindungan hukum ada ketika adanya suatu upaya memberikan sanksi

terhadap pelanggaran kaedah-kaedah hukum agar kepentingan manusia dapat

terlindungi dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang

lain.Perlindungan hukum bertujuan untuk memberikan kepastian hak, menjaga

serta mempertahankan hak tersebut jika dilanggar pihak yang tidak mempunyai

hak dan yang tidak dapat mempertahankan sesuatu yang menjadi haknya adalah

pihak yang lemah. Jadi esensi dari perlindungan hukum lebih ditujukan untuk

melindungi pihak yang lemah terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma
19

hukum yang berlaku dari pihak-pihak yang lebih memiliki kekuatan,

kemampuan, dan kekuasaan baik dari aspek ekonomi, politik, dan sebagainya.

Perlindungan hukum di Indonesia pada dasarnya adalah mengandung prinsip

pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang

bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan pada

Pancasila.

2. Definisi Waralaba

Istilah franchise merupakan saduran dari bahasa Prancis yang berarti

kejujuran atau kebebasan hak untuk menjual suatu produk atau jasa maupun

layanan. Sedangkan istilah franchise dimaknakan dalam bahasa Indonesia

sebagai Warlaba yang terdiri dari kata wara dan laba. Wara artinya lebih atau

istimewa, dan laba artinya untung.

Menurut Munir Fuady (2005:276) mengatakan :Waralaba dapat

diartikan sebagai usaha yang dapat memberikan untung lebih atau laba istimewa.

Istilah waralaba dipekenalkan pertama kali oleh Lembaga Pendidikan dan

Pembinaan Manajemen (LPMM) di Jakarta.

Sedangkan pengertian waralaba sendiri menurut Pasal 1 Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba yakni : Waralaba adalah

hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap

sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau

jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh

pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.


20

Dalam Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 3 Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor : 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang penyelenggara Waralaba

berbunyi :

1. Waralaba adaiah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan


atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam
rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil
dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain
berdasarkan peiianjian Waralaba.
2. Pemberi Waralaba adaiah orang perseorangan atau badan usaha yang
memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan
Waralaba yai dimilikinya kepada Penerima Waralaba.
3. Penerima Waralaba adaiah orang perseorangan at badan usaha yang
diberikan hak oleh Pemberi Waralat untuk memanfaatkan dan/atau
menggunakan Waralat yang dimiliki Pemberi Waralaba.

Pengertian lainnya terdapat dalam Pasal 1 Keputusan Menteri

Perdagangan No.12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara

Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba, yang berbunyi :

Waralaba (Franchise) adalah perikatan antara Pemberi Waralaba


dengan Penerima Waralaba dimana Penerima Waralaba diberikan hak untuk
menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak
kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki
Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang
ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan
dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi
Waralaba kepada Penerima Waralaba.

Franchise atau waralaba pada hakekatnya merupakan strategi pemasaran

yang bertujuan untuk memperluas jangkauan usaha untuk meningkatkan

pangsa pasar atau penjualannya. Pengembangan usaha semakin cepat dengan

dana yang relatif terbatas, karena dengan melibatkan investor lain untuk turut

serta menggunakan pengalaman, hak kekayaan intelektual, sistem atau cara kerja

serta ketrampilan yang dimilikinya.


21

Seringkali antara waralaba atau franchise disamakan dengan lisensi,

padahal keduanya berbeda. Pada lisensi hanya memberikan ijin untuk

menggunakan hak kekayaan intelektual tertentu saja, sedangkan pada waralaba

lebih luas daripada lisensi. Hal ini disebakan pada waralaba di dalamnya antara

lain ada lisensi penggunaan hak kekayaan intelektual yang disertai dengan suatu

system kerja, ketrampilan, pengalaman dan berbagai system pelayanan yang

dimilikinya. Waralaba memungkinkan perusahaan untuk melakukan penetrasi

pasar ke pasar baru tanpa harus keluar biaya sendiri.

Menurut Roy Sembel dan Tedy Ferdiansyah, (2002:16) mengatakan :

Perusahaan sebagai pemberi waralaba (franchisor) dapat memegang


kendali atas penerima waralaba (franchisee) dengan memberikan dukungan
perihal strategi penjualan-pelayanan, reputasi, merek, dan standard kualitas
serta dukungan lainnya. Dukungan ini tentunya diimbangi dengan imbalan
fee yang fixed atau variabel secara periodik. Jadi intinya waralaba
memungkinkan perusahaan untuk memperluas jaringan bisnis dan sekaligus
memperkecil risiko karena ada proses berbagi risiko dengan franchisee.

3. Perjanjian Waralaba

Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang

waralaba berbunyi :

(1) Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara


pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan
hukum Indonesia.
(2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditulis dalam
bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.

Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi

waralaba dengan penerima waralaba. Perjanjian waralaba di buat dalam bahasa

Indonesia dan apabila masih dalam bentuk bahasa asing maka harus
22

diterjemahkan dulu kedalam bahasa Indonesia sehingga berlaku pula hukum

Indonesia dalam segala aspek waralaba tersebut.

Dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang

waralaba berbunyi :

(1)Pemberi Waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran


Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima
Waralaba.
(2)Pendaftaran prospektus penawaran waralaba sebagaimana dimaksud
dapat dilakukan oleh pihak lain yang diberi kuasa.

Setiap perorangan maupun badan usaha bisa mewaralabakan bisnisnya.

Hal tersebut seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (1) PP No. 42 Tahun 2007 yang

berbunyi : Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan

atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka

memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat

dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian

waralaba.

Menurut Munir Fuady, (2002:46) : dari pengertian tersebut jelaslah bahwa

subyek hukum yang bisa menjadi pemberi waralaba adalah perorangan maupun

badan usaha. Untuk jenis-jenis bentuk hukum dari suatu badan usaha atau

perusahaan, maka dibedakan menjadi 3 (tiga) bentuk hukum perusahaan yakni :

1. Perusahaan perseorangan

2. Perusahaan persekutuan bukan badan hukum (firma dan CV)

3. Perusahaan badan hukum (PT, Perum, Persero)


23

Untuk bisa menjadi Pemberi waralaba, setiap perorangan maupun badan

usaha harus memiliki suatu bisnis dengan konsep yang unik. Kriteria lebih

spesifik diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor. 42 Tahun 2007

tentang waralaba yang berbunyi :

Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:


a. memiliki ciri khas usaha;
b. terbukti sudah memberikan keuntungan;
c. memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang
ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
d. mudah diajarkan dan diaplikasikan;
e. adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
f. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.

Penerima Waralaba wajib mendaftarkan perjanjian Waralaba.

Pendaftaran perjanjian Waralaba tersebut dapat dilakukan oleh pihak lain yang

diberi kuasa. Permohonan pendaftaran prospektus penawaran Waralaba

sebagaimana dimaksud diatas dapat diajukan dengan melampirkan dokumen :

a) fotokopi prospektus penawaran Waralaba; dan

b) fotokopi legalitas usaha.

Sedangkan isi dari perjanjian waralaba diatur dalam Pasal 6 Kepmendag

No 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang ketentuan dan tata cara penerbitan surat tanda

pendaftaran usaha waralaba yang memuat paling sedikit :

a) Nama dan alamat perusahaan para pihak;


b) Nama dan jenis Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri
khas usaha seperti sistem manajemen, cara penjualan atau penataan
atau distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi
Objek Waralaba;
c) Hak dan kewajiban para pihak serta bantuan dan fasilitas yang
diberikan kepada Penerima Waralaba;
d) Wilayah usaha (zone) Waralaba;
e) Jangka waktu perjanjian;
24

f) Perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian;


g) Cara penyelesaian perselisihan;
h) Tata cara pembayaran imbalan;
i) Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada Penerima Waralaba;
j) Kepemilikan dan ahli waris.

Jangka waktu Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dengan

Penerima Waralaba Utama berlaku paling sedikit 10 (sepuluh) tahun. Jangka

Waktu Perjanjian Waralaba antara Penerima Waralaba Utama dengan Penerima

Waralaba Lanjutan berlaku paling sedikit 5 (lima) tahun. Pemberi Waralaba dari

luar negeri wajib memiliki surat keterangan legalitas usaha yang dikeluarkan oleh

instansi berwenang di negara asalnya. Surat keterangan legalitas usaha

sebagaimana dimaksud harus dilegalisir oleh Atase Perdagangan/Pejabat

Perwakilan RI di negara setempat.Pemberi Waralaba dari dalam negeri wajib

memiliki Izin Usaha dari Departemen/Instansi Teknis.

4. Subyek dan Obyek Perjanjian Waralaba

Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak

dan kewajiban, atau sebagai pendukung hak dan kewajiban, menurut Achmad

Ichsan, (1996 :68) mengatakan :

Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala


biologika, yaitu makhluk hidup yang mempunyai panca indera dan
mempunyai budaya. Sedangkan orang adalah pengertian yuridis ialah
gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat
perhatian adalah orang atau persoon.

Hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini, manusia di anggap atau

diakui sebagai manusia pribadi, artinya diakui sebagai orang atau persoon.
25

Karena itu setiap manusia diakui sebagai subyek hukum (recht persoon lijkheid)

yaitu pendukung hak dan kewajiban.

Sebagai pendukung hak dan kewajiban, seseorang memiliki kewenangan

untuk bertindak, dan tentu kewenangan bertindak tersebut harus menurut hukum,

dengan kata lain manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan

hukum. Namun demikian kewenangan itu dibatasi oleh beberapa faktor dan

keadaan tertentu, sehingga seseorang dapat dinyatakan wenang untuk melakukan

tindakan hukum apabila dia itu dewasa dan sehat jiwanya serta tidak berada

dalam pengampuan (curandus)

Sedangkan Dudu Duswara Machmudin, (2001:33) :

Pengertian dari obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi
subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum yang
dilakukan oleh para subyek hukum. Dalam bahasa hukum, obyek hukum
dapat juga di sebut hak atau benda yang dapat dikuasai dan/ atau dimiliki
subyek hukum. Misalnya, A meminjamkan buku kepada B. di sini yang
menjadi obyek hukum dalam hubungan hukum antara A dan B adalah
buku. Buku menjadi obyek hukum dari hak yang dimiliki A.

Dalam hal perjanjian waralaba, maka subyek hukumnya adalah pemberi

waralaba dan penerima waralaba. Pengertian dari Pemberi waralaba dan

penerima waralaba diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun

2007 tentang waralaba yang berbunyi : Pemberi Waralaba adalah orang

perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan

dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.

Kemudian Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang

waralaba yang berbunyi : Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau


26

badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan

dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba.

Sedangkan penerima waralaba menurut Pasal 4 Kepmendag No. 12/M-

DAG/Per/3/2006 ketentuan dan tata cara penerbitan surat tanda pendaftaran

usaha waralaba yakni : Penerima Waralaba Utama (Master Franchisee) adalah

Penerima Waralaba yang melaksanakan hak membuat Perjanjian Waralaba

Lanjutan yang diperoleh dari Pemberi Waralaba dan berbentuk Perusahaan

Nasional.

Kemudian Pasal 5 Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 ketentuan

dan tata cara penerbitan surat tanda pendaftaran usaha waralaba yakni :

Penerima Waralaba Lanjutan adalah badan usaha atau perorangan yang

menerima hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan

intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba

melalui Penerima Waralaba Utama.

Obyek perjanjian waralaba atau klausula-klausul perjanjian waralaba

sendiri menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang

waralaba yakni :

Perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit :


a. nama dan alamat para pihak;
b. jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c. kegiatan usaha;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang
diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
f. wilayah usaha;
g. jangka waktu perjanjian;
h. tata cara pembayaran imbalan;
27

i. kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;


j. penyelesaian sengketa; dan
k. tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.

5. Pengertian Wanprestasi

Mengenai pengertian prestasi dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal

1234 KUH Perdata yaitu berupa :Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan

sesuatu, untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.

Sementara itu, dengan wanprestasi yang dimaksudkan adalah tidak

dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang

dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan

dalam perjanjian yang bersangkutan.

Ridwan Syahrani, (1999:280) : Pengertian lain mengenai wanprestasi

yang berasal dari bahasa Belanda wanprestatie adalah tidak memenuhi kewajiban

yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik yang timbul perjanjian maupun

perikatan yang timbul karena undang-undang.

Suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau

persetujuan kedua belah pihak mengenai apa yang menjadi obyek perjanjian. Si

yang berkewajiban yang tidak melakukan apa saja yang dijanjikannya, maka

pihak yang ia melakukan wanprestasi atau ingkar janji sesuai dengan Pasal

1243 KUHPerdata yang berbunyi :

Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu


perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila siberutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat tenggang waktu yang telah
dilampaukannya.
28

Kemudian Abdul Kadir Muhammad, (1982:20) :Wanprestasi debitur

dapat berupa empat macam:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.


2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan apa yang menurut yang dijanjikan tidak boleh dilakukannya.

Hukuman bagi yang wanprestasi atau hak-hak kreditur atas


wanprestasi :
1. Hak menuntut pemenuhan perikatan.
2. Hak menuntut pembatalan perikatan.
3. Hak menuntut ganti rugi.
4. Hak menuntut pemenuhan perikatan dan ganti rugi.

Tanggung jawab hukum perdata karena Wanprestasi Pasal 1239 KUHPerdata

yang berbunyi :"Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat

sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan

penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga."

E. Hipotesis

Dari latar belakang dan permasalahan sebagaimana yang telah penulis

uraikan di atas, maka penulis akan menguraikan jawaban sementara yang masih

memerlukan pembuktian lebih lanjut yaitu sebagai berikut :

1. Perlindungan hukum pemberi waralaba atas wanprestasi yang dilakukan


29

penerima waralaba di Bengkulu Utara yaitu pemberi waralaba dapat

menuntut adanya ganti kerugian berdasarkan apa yang telah ditetapkan jika

penerima waralaba melakukan wanprestasi.

2. Prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba di Bengkulu Utara adalah

seorang penerima waralaba harus melalui prosedur untuk mendapatkan Surat

Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) yakni : penyajian prosopektus

penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah didaftarkan pada

instansi terkait

F. Metode Penelitian

1. Teknik Penentuan Sampel

a. Populasi

Pengertian populasi itu sendiri dapat ditinjau dari beberapa

pendapat ahli yaitu menurut Ronny Hanitijo Soemitro, (1990 : 44) yang

menyatakan bahwa : Populasi atau Universe adalah seluruh obyek atau

seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh unit-unit yang

diteliti. Karena populasi biasanya sangat besar dan sangat luas, maka kerap

kali tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi itu.

Berdasarkan definisi tersebut maka yang menjadi populasi adalah

: Semua pihak yang terkait dalam penelitian ini.

b. Penentuan Sampel
30

Ronny Hanitijo Soemitro, (1990:45) mengatakan : Apabila dalam

suatu penelitian pengambilan sampel tidak dilakukan dengan benar, maka

kesimpulan atas penemuan-penemuannya tidak dapat digeneralisasikan

pada populasi yang diteliti. Penelitian sampel merupakan cara

penelitian yang dilakukan hanya terhadap sampel-sampel dari

populasi saja. Dalam menentukan sampel ini menggunakan methode

purposive sampling.

Purposive sampling yaitu sampel yang sengaja dipilih karena ada

maksud dan tujuan tertentu yang dianggap mewakili populasi secara

keseluruhan. Yang dipilih menjadi sampel adalah orang yang menjadi

kunci yang dianggap sudah dapat mewakili populasi secara keseluruhan,

maka yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah :

1. Kepala Dinas Kantor Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten

Bengkulu Utara

2. Pimpinan pemberi waralaba di Kabupaten Bengkulu Utara.

3. 3 orang penerima waralaba di Kabupaten Bengkulu Utara .

2 Teknik Pengumpulan data

a. Data Primer

Yang dimaksud data primer adalah data yang diperoleh dari

hasil penelitian lapangan (field research), melalui wawancara langsung

dengan responden, dan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang


31

telah disusun sebelumnya dan dikembangkan saat wawancara dengan

responden.

b. Data Sekunder

Yang dimaksud data sekunder adalah data yang diperoleh dari

penelitian kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, laporan-laporan,

dokumen-dokumen dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan

obyek peneleitian ini.

3. Teknik Pengolahan Data

Dari hasil penelitian yang diperoleh baik dari hasil penelitian di

lapangan maupun hasil penelitian kepustakaan, kesemuanya dihimpun dan

diolah dengan menggunakan metode editing data yaitu memeriksa data

dari hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui relevansi dan

kesahihan data yang dideskripsikan dalam menemukan jawaban pada

permasalahan.

4. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa data

diskriftif kualitatif yaitu : cara mendiskripsikan ke dalam bentuk-bentuk

uraian-uuraian, sehingga pada akhirnya dapat menjawab semua

permasalahan dan selanjutnya disusun dalam susunan yang sistematis

dalam bentuk laporan ilmiah atau skripsi.


32

G. Sistematika Penulisan

Dalam rangka penyusunan skripsi ini, secara sistematis penulis bagi

kedalam bentuk 4 Bab yaitu :

BAB I PENDAHULUAN

Di dalam Bab I Pendahuluan ini penulis akan menguraikan tentang

Latar belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,Tinjauan Pustaka,

Hipotesis, Metode Penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM

Pada Bab II ini penulis akan menguraikan tentang pengerttian

waralaba, Perjanjian Waralaba, Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran

Usaha Waralaba (STPUW), Pelaksanaan Perjanjian Waralaba dan Upaya

Hukum Akibat Pelanggaran Perjanjian Waralaba oleh Pemberi Waralaba

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada hasil penelitian dan pembahasan ini penulis akan menguraikan

tentang :

A. Hasil Penelitian

3. Perlindungan hukum pemberi waralaba atas wanprestasi

yang dilakukan penerima waralaba di Bengkulu Utara

4. Prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba di

Bengkulu Utara

B. Pembahasan

BAB IV PENUTUP
33

Pada bab penutup ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan

saran.

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Pengertian Waralaba

Waralaba merupakan suatu konsep bisnis berupa hak khusus yang dalam

pelaksanaannya melibatkan suatu kewajiban dari penerima waralaba untuk


34

menggunakan suatu sistem dan metode yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba

termasuk di dalamnya hak untuk mempergunakan merek dagang.

Kewajiban untuk mempergunakan metode dan tata cara atau prosedur yang

telah ditetapkan oleh Pemberi Waralaba oleh Penerima Waralaba membawa akibat

lebih lanjut bahwa suatu usaha waralaba adalah usaha yang mandiri, yang tidak

mungkin digabungkan dengan kegiatan usaha lainnya (milik Penerima Waralaba).

Ini berarti pemberian waralaba menuntut eksklusivitas bagi Penerima Waralaba.

Setiap perorangan maupun badan usaha bisa mewaralabakan bisnisnya. Hal

tersebut seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (1) PP No. 42 Tahun 2007 tentang yang

berbunyi : Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan

atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka

memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat

dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian

waralaba.

Kemudian Munir Fuadi, (2005:339) waralaba adalah :

Suatu cara melakukan kerja sama dibidang bisnis antara 2 (dua) atau lebih
perusahaan, di mana 1 (satu) pihak akan bertindak sebagai franchisor dan pihak
yang lain sebagai franchisee, di mana didalamnya diatur bahwa pihak
franchisor sebagai pemilik suatu merek dari know-know terkenal, memberikan
hak kepada franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis dari/ atas suatu produk
barang atau jasa, berdasar dan sesuai dengan rencana komersil yang telah
dipersiapkan, diuji keberhasilannya dan diperbaharui dari waktu kewaktu, baik
atas dasar hubungan yang eksklusif ataupun non eksklusif, dan sebaliknya suatu
imbalan tertentu akan dibayarkan kepada franchisor sehunbungan dengan hal
tersebut.
35

Menurut Gunawan Widjaja, (2004:82) Setiap subyek hukum dalam

waralaba yakni pemberi waralaba maupun penerima waralaba, masing-masing

mempunyai hak dan kewajiban yaitu :

Adapun kewajiban dari pemberi waralaba adalah :

1. Memberikan segala macam informasi yang berhubungan dengan Hak atas


Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem
manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang
merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba, dalam
rangka pelaksanaan waralaba yang diberikan tersebut;
2. Memberikan bantuan pada Penerima Waralaba pembinaan, bimbingan dan
pelatihan kepada Penerima Waralaba.

Hak Pemberi Waralaba adalah :

1. Melakukan pengawasan jalannya pelaksanaan waralaba,


2. Memperoleh laporan-Iaporan secara berkala atas jalannya kegiatan usaha
Penerima Waralaba;
3. Melaksanakan inspeksi pada daerah kerja Penerima Waralaba guna
memastikan bahwa waralaba yang diberikan telah dilaksanakan
sebagaimana mestinya;
4. Sampai batas tertentu mewajibkan Penerima Waralaba, dalam hal-hal
tertentu, untuk membeli barang modal dan atau barang-barang tertentu
lainnya dari Pemberi Waralaba;
5. Mewajibkan Penerima Waralaba untuk menjaga kerahasiaan Hak atas
Kekayaan Intelektual,penemuan arau ciri khas usaha misalnya sistem
manajemen, cara penjualan atau penaraan atau cara distribusi yang
merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba;
6. Mewajibkan agar Penerima Waralaba tidak melakukan kegiatan yang
sejenis, serupa, ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
menimbulkan persaingan dengan.kegiatan usaha yang mempergunakan
Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan arau ciri khas usaha misalnya
sistem manajemen, cara penjualan atau penaraan atau cara distribusi yang
merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba;
7. Menerima pembayaran royalti dalam bentuk, jenis dan jumlah yang
dianggap layak olehnya,
8. Meminta dilakukannya pendaftaran atas waralaba yang diberikan kepada
Penerima Waralaba;
36

9. Atas pengakhiran waralaba, Meminta kepada Penerima Waralaba untuk


mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperoleh
Penerima Waralaba selama masa pelaksanaan waralaba;
10. Atas pengakhiran waralaba, melarang Penerima Waralaba untuk
memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi maupun keterangan yang
diperoleh oleh Penerima Waralaba selamamasa pelaksanaan waralaba;
11. Atas pengakhiran waralaba.melarang Penerima Waralaba untuk tetap
melakukan kegiaran yang sejenis, serupa, ataupun yang secara langsung
maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan
mempergunakan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas
usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara
distribusi yang rnerupakan karakteristik khusus yang menjadi objek
waralaba;
12. Pemberian waraiaba,kecuali yang bersifat eksklusif, tidak menghapuskan
hak Pemberi Waralaba untuk tetap memanfaatkan, menggunakan atau
melaksanakan sendiri Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri
khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau
cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek
waralaba.

Kemudian Gunawan Widjaja, (2004:90) Setiap subyek hukum dalam

Kewajiban Penerima Waralaba adalah :

1. Melaksanakan seluruh instruksi yang diberikan oleh Pemberi Waralaba


kepadanya guna melaksanakan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan
atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau
penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang
menjadi objek waralaba;
2. Memberikan keleluasaan bagi Pemberi Waralaba untuk melakukan
pengawasan maupun inspeksi berkala maupun secara tiba-tiba, guna
memastikan bahwa Penerima Waralaba telah melaksanakan waralaba yang
diberikan dengan baik;
3. Memberikan laporan-laporan baik secara berkala maupunatas permintaan
khusus dari Pemberi Waralaba;
4. Sampai batas tertentu membeli barang modal tertentu ataupun barang-
barang tertentu lainnya dalam rangka pelaksanaan waralaba dari Pemberi
Waralaba;
5. Menjaga kerahasiaan atas Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau
ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan
atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi
objek waralaba, baik selama maupun setelah berakhirnya masapemberian
waralaba,
37

6. Melaporkan segala pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan


atau eiri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau
penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang
menjadi objek waralaba yang ditemukan dalam praktik langsung maupun
tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan mempergunakan
Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya
sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang
merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba.
7. Tidak memanfaatkan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri
khas usaha misalnya sistem manajemen, eara penjualan atau penataan atau
eara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek
waralaba selain dengan tujuan untuk melaksanakan waralabayang
diberikan;
8. Melakukan pendaftaran waralaba;
9. Tidak melakukan kegiatan yangsejenis, serupa, ataupun yang secara
langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan
kegiatan usaha yang mempergunakan Hak atas Kekayaan Intelektual,
penemuan atau eiri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan
atau penataan ataucara distribusi yang merupakan karakteristik .khusus
yang menjadi objek waralaba;
10. Melakukan pembayaran royalti dalam bentuk, jenis dan jumlah yang telah
disepakati seeara bersama;
11. Atas pengakhiran waralaba, mengembalikan seluruh data, informasi
maupun keterangan yang diperolehnya;
12. Atas pengakhiran waralaba, tidak memanfaatkan lebih lanjut seluruh data,
informasi maupun keterangan yang diperoleh oleh Penerima Waralaba
selama masa pelaksanaan waralaba;

Hak penerima waralaba adalah :

1. Hak untuk melakukan penjualan alas produk berupa barang dan atau jasa
dengan mempergunakan nama dagang atau merek dagang tertentu;
2. Hak untuk melaksanakan kegiatan usaha dengan atau berdasarkan pada
suatu format bisnis yang telah ditentukan oleh Pemberi Waralaba.

B. Pembuatan Perjanjian Waralaba


Proses selanjutnya jika ada ketertarikan dari calon penerima waralaba atas

prospektus penawaran waralaba yang diajukan oleh Pemberi Waralaba adalah

membuat Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.


38

Menurut Pasal 5 PP Nomor 42 Tahun 2007 perjanjian waralaba sekurang-

kurangnya memuat tentang:

a. Nama dan alamat para pihak;


b. Jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c. Kegiatan usaha
d. Hak dan kewajiban para pihak;
e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang
diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
f. Wilayah usaha;
g. Jangka waktu perjanjian;
h. Tata cara pembayaran imbalan;
i. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
j. Penyelesaian sengketa; dan
k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.

Kemudian Gunawan Widjaja, (2004:10) mengenai klausul-klausul dalam

perjanjian waralaba adalah mengatur sebagai berikut :

1) Ketentuan Umum ( general provisions )


Ketentuan umum memuat pembatasan istilah dan pengertian yang
digunakan di dalam seluruh perjanjian. Artinya, di dalam ketentuan ini
dirumuskan definisi-definisi atau pembatasan pengertian dari istilah-istilah
yang dianggap penting dan sering digunakan dalam perjanjian, yang
disepakati oleh para pihak.
2) Prasyarat perjanjian ( conditions precedent )
Klausula ini menentukan bahwa ada beberapa peristiwa yang harus terjadi
atau tindakan yang harus dilakukan oleh salah satu pihak sebelum pihak
yang lainnya berkewajiban menjalankan suatu perjanjian.
3) Pemberian hak franchise ( franchise grant )
Dalam bagian ini ditentukan mengenai pemberian hak franchise oleh pihak
franchisor kepada pihak franchisee. Penentuan pemberian hak tersebut
diperincikan mengenai hak-hak yang boleh digunakan oleh pihak
franchisee, seperti penggunaan merek dagang, paten, hak cipta, rahasia
dagang, dan sebagainya.
4) Pembatasan penggunaan hak franchise ( limitations of franchise /
Intelectual property protection )
Dalam bagian ini ditentukan berbagai batasan dalam hal digunakannya oleh
pihak franchisee setiap merek dagang, logo, desain, paten ataupun hak cipta
milik franchisor. Selanjutnya ditegaskan juga bahwa pihak franchisor yang
berhak atas hak milik intelektual tersebut, sementara pihak franchisee hanya
diberi hak untuk menggunakannya saja.
39

5) Pembayaran biaya franchise ( franchise price and payment terms )


Dalam bagian ini diperinci seluruh pembayaran dan mekanisme pembayaran
oleh pihak franchisee kepada pihak franchisor sebagai imbalan penggunaan
hak-hak yang dimiliki oleh franchisor, misalnya royalti, franchise fee, initial
assistance fee, biaya promosi.
6) Jasa yang diberikan oleh franchisor ( services by franchisor )
Klausula ini mengatur tentang kewajiban apa saja yang akan diberikan oleh
pihak franchisor selain pemberian izin penggunaan hak, misalnya pelatihan
tenaga kerja, bantuan dalam hal manajemen usaha, pelaksanaan operasional
perusahaan, pengawasan atau evaluasi kinerja, pemberian manual
pengoperasian dan standar policy yang bersifat rahasia, pengontrolan biaya
dan akuntansi.
7) Keseragaman dan standardisasi operasi ( standard and uniformity of
operation)
Klausula ini mengatur mengenai kewajiban franchisee untuk mematuhi dan
melaksanakan peraturan, baik dari segi manajemen usaha, pelayanan, mutu,
laporan keuangan, dekorasi, sampai kepada hal-hal yang mendetail, sebab
pelaksanaan suatu usaha franchise oleh franchisee harus sesuai dengan
standar operasi yang ditentukan oleh franchisor.
8) Promosi ( marketing and advertising campaign )
Ketentuan ini mengatur tentang besarnya biaya atau kontribusi sekian persen
dari omset usaha franchisee yang harus disisihkan. Besarnya kontribusi,
jenis promosi dan media yang digunakan harus ditentukan dengan jelas.
9) Pelatihan ( training )
Agar usaha franchise dapat berjalan sesuai dengan standar operasi
franchisor, maka biasanya franchisor menentukan berbagai macam kegiatan
yang harus diberikan pelatihan terlebih dahulu, berapa lama waktu pelatihan
akan diadakan, tempat pelatihan dan biaya pelatihan.

10) Eksklusivitas ( exclusivity )


Dalam bagian ini ditentukan bahwa pihak franchisee diberikan hak yang
eksklusif untuk beroperasi di dalam suatu wilayah tertentu. Jika memang
demikian yang diperjanjikan, maka dalam hal ini, franchisor tidak boleh
memberikan hak franchise kepada pihak lain selain dari pihak franchisee
yang terikat dengan perjanjian franchise yang bersangkutan.
11) Jangka waktu perjanjian ( terms )
Klausula ini secara umum menentukan berapa lama perjanjian berlaku, atau
secara khusus menentukan jangka waktu berakhirnya pemberian hak
franchise kepada franchisee.
12) Pemilihan lokasi ( premises )
Ketentuan ini mengatur mengenai tempat di mana usaha franchise ini akan
dioperasikan oleh pihak franchisee.
13) Hak untuk memeriksa dan mengaudit (rights of inspection and audit)
40

Klausula ini mengatur tentang hak dari franchisor untuk sewaktu-waktu


dapat memeriksa tempat usaha, standar operasional, maupun laporan
keuangan franchisee, dengan atau ijin terlebih dahulu dari franchisee.
14) Prosedur pelaporan ( report procedures )
Bersamaan dengan pembayaran biaya secara periodik, franchisee
diwajibkan untuk memberikan laporan tentang kegiatan usahanya pada
setiap periode tertentu dengan format laporan keuangan tertentu.
15) Prinsip tanpa persaingan ( non competition );
Dalam bagian ini ditentukan bahwa untuk melindungi rahasia dagang milik
franchisor, pihak franchisee dilarang secara langsung ataupun tidak
langsung untuk membuka usaha lain yang sama atau mirip dengan bisnis
franchise tersebut selama dan bahkan hingga beberapa tahun setelah
berakhirnya perjanjian. Juga tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan
yang dapat dikategorikan sebagai persaingan tidak sehat sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Klausula ini tidak berarti
bahwa perjanjian franchise adalah merupakan suatu bentuk monopoli, sebab
perjanjian franchise adalah merupakan hubungan hukum istimewa yang
berkaitan dengan hak-hak istimewa seperti HAKI, sehingga dengan
demikian pemiliknya dilindungi oleh undang-undang.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, menyatakan bahwa perjanjian franchise atau waralaba tidak termasuk
sebagai bentuk monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
16) Kerahasiaan produk atau sistem ( confidentiality / non-disclosure )
Klausula ini menentukan bahwa pihak franchisee berkewajiban untuk
menjaga rahasia atau informasi yang termasuk rahasia dagang milik
franchisor kepada pihak manapun.

17) Perizinan dan administrasi ( government approval )


Franchisee berkewajiban untuk mengurus dan menanggung biaya yang
dikeluarkan untuk hal-hal yang bersifat perizinan dan administrasi
pemerintah, seperti pendaftaran usaha, IMB, izin gangguan (HO), NPWP
Perusahaan, dan sebagainya.
18) Karyawan dan tenaga kerja ( employees )
Klausula ini menentukan bahwa setiap karyawan dari pihak franchisee
adalah semata-mata merupakan karyawan dari pihak franchisee sendiri.
Tidak ada hubungan hukum apapun dengan pihak franchisor, sehingga tidak
ada tuntutan apapun baik oleh pihak ketiga dalam hubungan dengan tindakan
karyawan maupun oleh karyawan itu sendiri yang dapat dialamatkan kepada
franchisor.
19) Asuransi ( insurance )
41

Klausula mengenai asuransi biasanya ditentukan secara terperinci mengenai


hal apa saja yang harus dimasuki oleh pihak franchisee dan dijamin untuk
jumlah berapa. Misalnya asuransi untuk product liability, bodily injury
liability, property damages liability, dan sebagainya.
20) Jaminan terhadap tuntutan hukum dan kerugian (indemnification )
Ketentuan ini mengatur bahwa setiap kewajiban dan tanggung jawab secara
kontraktual apapun, yang tidak terbit sebagai akibat dari eksistensi usaha
franchise oleh franchisee tersebut harus sepenuhnya dipikul oleh pihak
franchisee itu sendiri. Oleh karena itu pihak franchisee berkewajiban untuk
menjamin bahwa kedudukan franchisee tetap aman dan bebas dari segala
macam tuntutan hukum.
21) Pajak (taxes)
Ketentuan ini mengatur dengan tegas bahwa seluruh pajak yang berkenaan
dengan usaha franchise akan ditanggung oleh pihak franchisee.
22) Pengalihan hak (assignment)
Dalam perjanjian franchise, biasanya penggunaan hak franchisor dapat
dialihkan kepada pihak lain sepanjang dengan izin tertulis dari franchisor,
dan biasanya franchisor memiliki hak tolak pertama (rights of first refusal).
Selain itu biasanya ditentukan juga dalam hal kematian atau ketidakcakapan
bertindak dari pihak franchisee, pihak franchisor harus memberikan izin
kepada pihak ahli waris atau yang berhak lainnya untuk meneruskan usaha
franchise, kecuali pihak ahli waris atau yang berwenang lainnya tidak
memenuhi ketentuan atau persyaratan standar untuk menjalanan usaha
tersebut.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1318 KUHPerdata bahwa :Jika setiap
orang minta diperjanjikan suatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk
ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan
dari sifat perjanjianm bahwa tidak demikian maksudnya.

23) Kedudukan berdiri sendiri (independent contractors atau no agency)


Klausula ini menegaskan bahwa kedudukan dan hubungan hukum antara
franchisor dengan franchisee bukanlah merupakan hubungan keagenan, join
venture, atasan-bawahan, perusahaan dan anak perusahaan, sehingga tidak
ada fiduciary duty antara pihak yang satu dan yang lainnya selain daripada
perjanjian franchise itu sendiri. Lebih lanjut juga klausula ini menentukan
bahwa segala hutang yang timbul akibat perbuatan hukum franchisee
dengan pihak ketiga menjadi tanggung jawab franchisee sendiri.
24) Wanprestasi ( events of default / non-performance );
Dalam ketentuan ini ditentukan dengan tegas tentang saat kapan atau
kejadian-kejadian apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya wanprestasi
oleh salah satu pihak, sehingga pihak lain dengan prosedur tertentu dapat
42

memutuskan perjanjian secara sepihak sesuai dengan pengaturan yang


terdapat dalam perjanjian yang bersangkutan.
25) Perpanjangan perjanjian ( extension of agreement)
Ketentuan ini mengatur mengenai tata cara perpanjangan suatu perjanjian
pada saat akan berakhir atau pada saat berakhirnya perjanjian franchise.
26) Penghentian atau berakhirnya perjanjian (termination of agreement)
Ketentuan ini mengatur mengenai kapan putusnya suatu perjanjian atau
bagaimana jika salah satu pihak atau kedua belah pihak ingin memutuskan
perjanjian, dan akibat dari putusnya perjanjian.
27) Pilihan forum dan jurisdiksi hukum ( forum and governing law)
Klausula ini menentukan bahwa perjanjian ini dibuat dan ditafsirkan
berdasarkan hukum yang berlaku dari suatu negara atau negara bagian
tertentu, peraturan daerah tertentu, dan sebagainya.
28) Amandemen perjanjian dan pelepasan hak (modification and waiver)
Ketentuan ini merupakan kesepakatan dari awal yang mensyaratkan pihak-
pihak yang menginginkan perubahan perjanjian agar membuat
modifikasinya dalam bentuk tertulis dan harus berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak.
29) Ganti rugi (damages)
Menurut Hardijan Rusli, (1996:133) : Ketentuan ini adalah sebagaimana
diatur dalam pasal 1236 dan 1239 KUHPerdata, di mana dalam hal ini
apabila franchisee tidak memenuhi prestasinya, maka wajib membayar ganti
biaya, rugi, dan bunga yang diderita oleh franchisor.
30) Force Majeure
Ketentuan force majeure merupakan ketentuan yang umum pada setiap
perjanjian. Klausula ini mengekspresikan keinginan dari para pihak yang
terikat dalam perjanjian bahwa jika pelaksanaan dari perjanjian terhalang
oleh suatu keadaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan diluar
kemampuan para pihak untuk mencegah atau mengantisipasinya, seperti
misalnya bencana alam, huru-hara, perubahan undang-undang, maka tidak
terlaksananya prestasi bukanlah merupakan wanprestasi.
31) Keterpisahan (severability of provisions)
Klausula ini menentukan bahwa apabila satu atau beberapa pasal di dalam
perjanjian ini ternyata tidak sah atau tidak valid menurut peraturan
perundang-undangan, maka klausul yang lain (yang sah) dapat tetap
dijalankan atau berlaku seolah-olah klausula yang tidak valid tersebut tidak
pernah ada.
32) Wewenang untuk terikat dalam perjanjian (binding authority)
Klausula ini menyatakan bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian
merupakan pihak yang berwenang dan cakap untuk membuat perjanjian.
33) Penyelesaian sengketa (settlement of disputes )
Pilihan forum menentukan badan mana yang berwenang untuk mengadili
jika terjadi sengketa, biasanya urut-urutannya adalah musyawarah atau
kekeluargaan, arbitrase, dan akhirnya baru pengadilan. Dapat juga
43

ditentukan misalnya untuk penyelesaian sengketa hanya akan digunakan


badan arbitrase tertentu saja, dan keputusan badan tersebut bersifat final dan
tidak dapat dibanding.
34) Biaya jasa pengacara (cost and fees )
Ketentuan ini mengatur mengenai biaya atau ongkos jasa pengacara yang
harus ditanggung oleh franchisee atas setiap penagihan terhadap
keterlambatan pembayaran.
35) Surat menyurat (notices)
Ketentuan ini menegaskan bahwa segala bentuk pemberitahuan harus dalam
bentuk tertulis serta dikonfirmasi dengan surat-menyurat yang dialamatkan
kepada alamat yang tertera dalam perjanjian.
36) Integrasi perjanjian (merger/entire agreement)
Klausula ini mengatur bahwa para pihak tidak terikat dengan janji,
perkataan, ataupun pernyataan terdahulu selain daripada yang dinyatakan
secara tegas dalam perjanjian.

Setelah perjanjian selesai dibuat maka fotokopi perjanjian tersebut dengan

dilampiri fotokopi legalitas usaha, fotokopi prospektus penawaran waralaba dan

fotokopi kartu Tanda Penduduk pemilik/ pengurus perusahaan didaftarkan ke

instansi yang berwenang berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 42

Tahun 2007 tentang waralaba yang berbunyi : Penerima Waralaba wajib

mendaftarkan perjanjian Waralaba.

Pendaftaran perjanjian dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Kepmendag No.

12/M-DAG/Per/3/2006 yang berbunyi :

1) Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar


Negeri wajib mendaftarkan Perjanjian Waralaba beserta keterangan tertulis
atau prospektus kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri Departemen Perdagangan.
2) Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba dalam
negeri dan Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi
Waralaba Luar Negeri dan Dalam Negeri wajib mendaftarkan Perjanjian
Waralaba beserta keterangan tertulis atau prospektus kepada Kepala Dinas
yang bertanggungjawab di bidang perdagangan daerah setempat
44

Jadi secara garis besar disini dibedakan dua prosedur dalam pendaftaran

perjanjian waralaba, yakni bagi :

1. Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri

(Mc. Donalds, KFC, dll)

2. Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba dalam negeri

(Ayam Goreng Wong Solo, es Teller 77, dll) dan Penerima Waralaba Lanjutan

yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri dan Dalam Negeri.

Untuk jangka waktu Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dengan

Penerima Waralaba Utama adalah paling sedikit 10 (sepuluh) tahun.

Sedangkan untuk jangka waktu Perjanjian Waralaba antara Penerima Waralaba

Utama dengan Penerima Waralaba Lanjutan berlaku paling sedikit 5 (lima) tahun.

(Pasal 7 Kepmendag Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata

Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba ).

C. Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW)

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba tidak

mengatur lebih detail mengenai bagaimana proses pendaftaran waralaba, sehingga

dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba

memberikan penjelasan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pendaftaran Waralaba diatur dengan Peraturan Menteri.


45

Sampai saat ini peraturan menteri terbaru sebagai peraturan pelaksana dari

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba, belum dibuat

sehingga merujuk pada Ketentuan Penutup dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah

Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba, maka saat ini peraturan pelaksanan yang

berlaku dari Peraturan Pemerintah ini adalah Keputusan Menteri Perdagangan

Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006. Adapun Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 42

Tahun 2007 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran

Usaha Waralaba sebagai dasar hukum pemberlakuan Kepmendag Nomor 12/M-

DAG/Per/3/2006 tersebut berbunyi :

Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, semua peraturan perundang-


undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3690) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Proses selanjutnya dalam pendaftaran waralaba lebih lanjut mengenai

pendaftaran waralaba berdasarkan Kepmendag Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006

tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha

Waralaba adalah paling lambat lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak

tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima Waralaba harus mendaftarkan

permohonan untuk memperoleh Surat Tanda Perolehan Usaha Waralaba ke instansi

yang berwenang dengan lampiran yang sesuai dengan Pasal 12 Kepmendag No.

12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda

Pendaftaran Usaha Waralaba yakni :

1) Daftar Isian Permohonan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani


46

oleh Penerima Waralaba atau kuasanya di atas kertas bermeterai cukup,


diserahkan kepada pejabat penerbit STPUW dengan dilampirkan:
a. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/pengurus perusahaan;
b. Copy Izin Usaha Departemen/Instansi teknis;
c. Copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
d. Copy Perjanjian Waralaba;
e. Copy Keterangan tertulis (Prospektus usaha) Pemberi Waralaba;
f. Copy Surat Keterangan Legalitas Usaha Pemberi Waralaba.
2) Copy dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilampirkan
dokumen asli dan akan dikembalikan kepada pemohon STPUW setelah
selesai pemeriksaan mengenai keabsahannya.

Adapun instansi yang berwenang dalam proses pengurusan permohonan

dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPUW) berdasarkan

Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara

Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba Pasal 10 yakni :

1) Menteri memiliki kewenangan pengaturan kegiatan usaha Waralaba.


2) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Direktur
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, bagi Penerima Waralaba Utama yang
berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri.
3) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Gubernur
DKI/Bupati/Walikota bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari
Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang
berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri.
4) Bupati/Walikota melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada
Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang perdagangan bagi
Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam
Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba
Dalam dan Luar Negeri.
5) Khusus Propinsi DKI Jakarta, Gubernur melimpahkan kewenangan
penerbitan STPUW kepada Kepala Dinas yang bertanggungjawab dibidang
perdagangan bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi
Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari
Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri.

Lebih jelasnya mengenai Kewenangan Penerbitan STPUW berdasarkan

Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara


47

Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba Pasal 10 diatas, akan

digambarkan sebagai berikut :

1. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar
Negeri :
Menteri Perdagangan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri
2. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba
Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi
Waralaba Dalam dan Luar Negeri khusus untuk pengajuan permohonan di
DKI Jakarta :
Menteri Perdagangan Gubernur DKI Kadin Perdagangan
3. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba
Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi
Waralaba Dalam dan Luar Negeri khusus untuk pengajuan di luar DKI
Jakarta :
Menteri Perdagangan Bupati / Walikota Kadin Perdagangan

Setelah Permohonan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani

oleh Penerima Waralaba atau kuasanya di atas kertas bermeterai cukup, diserahkan

kepada pejabat penerbit STPUW maka paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung

sejak diterimanya Daftar Isian Permohonan STPUW secara lengkap dan benar,

Pejabat Penerbit STPUW menerbitkan STPUW dengan menggunakan formulir

STPUW Model B (lihat di lampiran).

Apabila Daftar Isian Permintaan STPUW dinilai belum lengkap dan benar,

paling lambat 5 (lima) hari kerja, pejabat penerbit STPUW membuat surat

penolakan disertai alasan-alasan. Bagi pemohon yang ditolak dapat mengajukan

permohonan STPUW kembali.

Jangka waktu Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba berlaku sampai

jangka waktu lima tahun, seperti diatur dalam Pasal 12 ayat (5), (6), dan (7)

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba yakni :


48

1) Surat Tanda Pendaftaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (4)


berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
2) Dalam hal perjanjian Waralaba belum berakhir, Surat Tanda Pendaftaran
Waralaba dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
3) Proses permohonan dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba
tidak dikenakan biaya.

Jadi berdasarkan keseluruhan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa setiap perorangan maupun badan usaha bisa mewaralabakan bisnisnya

asalkan bisnis tersebut mempunyai ciri khas usaha, terbukti sudah memberikan

keuntungan, dan sebagainya berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42

Tahun 2007 tentang waralaba.

Untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW)

seorang penerima waralaba harus melalui prosedur yakni : penyajian prosopektus

penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah didaftarkan pada instansi

terkait, pembuatan perjanjian waralaba dan paling lambat lambat 30 (tiga puluh)

hari kerja terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima

Waralaba harus mendaftarkan permohonan untuk memperoleh Surat Tanda

Perolehan Usaha Waralaba. Jika tidak ada ada kendala berarti maka dalam waktu

paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya Daftar Isian

Permohonan STPUW secara lengkap dan benar, Pejabat Penerbit STPUW

menerbitkan STPUW.

D. Pelaksanaan Perjanjian Waralaba

Pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi,

hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba

menekankan pada kewajiban untuk menggunakan system, metode, tata cara,


49

prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang ditentukan

oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun

diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba

cenderung bersifat eksklusif. Seorang atau suatu pihak yang menerima waralaba

tidaklah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang

berada dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan

kegiatan usaha waralaba yang diperoleh olehnya dari pemberi waralaba.

Menurut Gunawan Widjaja, (2004:47) Pada dasarnya suatu waralaba adalah

suatu bentuk perjanjian, yang isinya memberikan hak dan kewenangan khusus

kepada pihak Penerima Waralaba, yang terwujud dalam bentuk :

1. Hak untuk melakukan penjualan alas produk berupa barang dan atau jasa

dengan mempergunakan nama dagang atau merek dagang tertentu;

2. Hak untuk melaksanakan kegiatan usaha dengan atau berdasarkan pada suatu

format bisnis yang telah ditentukan oleh Pemberi Waralaba.

Kemudian Gunawan Widjaja, (2004:47) mengatakan : dengan ini berarti

sebagai suatu perjanjian, waralaba juga tunduk pada ketentuan umum yang berlaku

bagi sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba

pengaturan perjanjian khususnya mengenai waralaba hanya sebatas tentang cara

pembuatan perjanjian, pendaftaran perjanjian, dan sanksi administratif dari instansi

yang berwenang saja. Untuk pengaturan tentang bagaimana jika terjadi wanprestasi
50

diantara para pihak yang membuat perjanjian, dalam Peraturan Pemerintah tersebut

tidak mengaturnya.

Sebagai suatu perjanjian, Pasal 1320 KUHPerdata tetap mengikat sebagai

syarat dasar dari sahnya perjanjian untuk waralaba yakni adanya :

1) Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan diri ( Toestaming )

2) Kecakapan untuk mengadakan perikatan ( Bekwaamheid )

3) Mengenai suatu obyek tertentu ( Een Bepaal Onderwerp )

4) Mengenai kausa yang diperbolehkan ( Geoorloofde Oorzaak )

Secara khusus mengenai syarat lainnya mengenai sahnya perjanjian

waralaba diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007,

tentang waralaba yakni:

1) Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi


Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum
Indonesia.
2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam
bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.

Atas dasar pasal tersebut, maka syarat suatu perjanjian waralaba jika tidak

ditulis dalam bahasa Indonesia maka perjanjian tersebut harus diterjemahkan dalam

bahasa Indonesia.

Kemudian Munir Fuadi, (2002:12):

Dalam hal timbulnya perjanjian antara pemberi waralaba dengan penerima


waralaba baru terjadi jika telah ada kesepakatan berdasarkan prospektus yang
ditawarkan untuk kemudian dilakukan pembuatan perjanjian. Hal tersebut
sesuai dengan apa yang dinyatakan Munir Fuady bahwa sebuah kesepakatan
bisa terjadi pada saat pihak pemberi tawaran tersebut mengirimkan
akseptasinya (penawarannya) dan pihak penerima segera melakukan offer
(tawaran) sampai pada saat kedua belah pihak saling menyetujui akan
51

penawaran tersebut yang kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian


tertulis.

Setelah tahapan negosiasi dan pembuatan suatu dokumen perjanjian, maka

tahapan berikutnya adalah pelaksanaan dan sekaligus pengawasan dari perjanjian.

Pelaksanaan dan pengawasan merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Tata cara

pelaksanaan perjanjian (performance) serta akibat-akibat hukum dari pelaksanaan

perjanjian harus secara cermat dipikirkan pada saat akan dibuatnya sebuah

perjanjian, agar pada saat pelaksanaannya tidak mengalami suatu permasalahan

yang mengganggu.

Menurut Muhammad Djumhana, (1999:94) mengatakan : Pelaksanaan

perjanjian selain membutuhkaan adanya itikad baik juga perlu dikelola secara tepat

agar tidak menimbulkan masalah. Dalam pelaksanaan perjanjian mungkin saja

akan menghadapi hal-hal yang menghambat bahkan menyebabkan tidak

terpenuhinya perjanjian tersebut.

Demikian pula dalam perjanjian waralaba, sangat dimungkinkan dalam

pelaksanaannya juga akan terjadi kegagalan atau hal-hal yang dapat menghambat

serta mengakibatkan tidak terpenuhinya perjanjian. Seperti halnya contoh kasus

yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya mengenai pelanggaran perjanjian yang

dilakukan oleh Rudi Hadisuwarno terhadap My Salon dimana pihak Rudy

menaikkan fee franchise sampai dua kali lipat secara sepihak dimana hal tersebut

tidak disebutkan sebelumnya dalam perjanjian.

Hal seperti contoh tersebut bisa saja terjadi karena pihak pemberi waralaba

yang dalam hal ini secara ekonomi memang berada pada posisi yang lebih kuat jika
52

dibandingkan dengan pihak penerima waralaba, karenanya tidak menutup

kemungkinan dengan situasi dan kondisi yang seperti tersebut akan berdampak dan

berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian waralaba dimana pihak pemberi

waralaba akan mendominasi pihak penerima waralaba untuk memaksakan

kehendaknya.

E. Pelanggaran Perjanjian Waralaba

Perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada

seseorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.

Pada prinsipnya dalam suatu perjanjian masing-masing pihak harus melaksanakan

perjanjian dengan sempurna dan dengan tepat sesuai dengan apa yang telah

disetujui untuk dilakukan. Namun tidak menutup kemungkinan akan terjadinya

pelanggaran terhadap perjanjian tersebut.

Dalam prakteknya pelanggaran terhadap ketentuan klausul perjanjian

waralaba sangatlah sering terjadi seperti dalam contoh kasus antara My Salon dan

pihak Rudi Hadisuwarno. Sudah menjadi hukum alam bahwa pihak yang kuat

bertindak seenaknya terhadap pihak yang lemah. Demikian pula halnya antara

Pemberi Waralaba dan penerima waralaba. Si Pemberi Waralaba kerap melakukan

pelanggaran atas isi perjanjian waralaba dikarekanakan kedudukan yang superior

dari si Pemberi Waralaba. Semakin terkenal sebuah brand dari waralaba, maka

semakin kecil bargaining power (kekuatan bernegosiasi) dari penerima waralaba.


53

Pelanggaran terhadap perjanjian khususnya mengenai waralaba bisa terjadi

dalam beberapa cara, misalnya salah satu pihak dengan tegas melepaskan tanggung

jawabnya dan menolak melaksanakan kewajiban pihaknya.

Menurut Hartono Hadisoeprapto, (1984:42) adapun alasan terjadinya

pelanggaran dalam suatu perjanjian yang telah dibuat, dapat disebabkan oleh dua

hal, yaitu :

1. Karena adanya wanprestasi, yakni salah satu pihak mengingkari isi atau
klausul dari perjanjian tanpa alasan yang jelas.
2. Karena adanya Overmacht, atau suatu peristiwa yang tidak terduga pada
saat pembuatan perjanjian. Yakni misalnya adanya kenaikan harga BBM
dikarenakan krisis ekonomi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya

Kemudian Abdulkadir Muhammad, (1989:159) mengatakan :

Akibat hukum dari melanggar perjanjian berupa wanprestasi dari pemberi


waralaba adalah sebagai berikut yaitu :
1. Setiap pelanggar perjanjian akan memberikan hak kepada pihak yang
dirugikan untuk memperoleh ganti rugi;
2. Jika pelanggaran itu cukup berat, akan memberikan hak kepada pihak yang
dirugikan untuk menghentikan perjanjian dan mengakhirinya.
Jika terjadi pelanggaran berupa tidak terpenuhinya syarat pokok
(condition), pihak yang dirugikan memperoleh hak menghentikan
perjanjian itu dan mengakhirinya.
3. Jika salah satu pihak menolak kewajibannya dan melakukan pelanggaran
lebih dahulu, pihak yang dirugikan boleh menyatakan perjanjian itu
berakhir dan sekaligus melakukan gugatan, baik untuk memperoleh ganti
rugi karena pelanggaran maupun pemberian kompensasi yang layak karena
telah dilaksanakannya klausul perjanjian itu.

Jadi disini sesuai dengan permasalahan mengenai bagaimana jika pemberi

waralaba melakukan wanprestasi, maka pemberi waralaba harus memberikan ganti

rugi kepada pihak penerima waralaba.

Syarat pokok dalam perjanjian waralaba misalnya mengenai pembinaan dan

pengawasan. Pemberi waralaba harus senantiasa memberikan pembinaan dan


54

pengawasan kepada penerima waralaba selama perjanjian waralaba berlaku.

Penerima waralaba tidak boleh melepaskan tanggungjawabnya jika hal tersebut

terjadi maka pihak penerima waralaba dapat mengentikan perjanjian. Pemberi

waralaba jika tidak melakukan pembinaan dan pengawasan bagi penerima waralaba

maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 bisa dicabut Surat

Tanda Pendaftaran Usaha Waralabanya (STPUW). Sanksi ini berlaku jika surat

peringatan sudah melayang tiga kali. Tujuannya untuk mendidik dan menertibkan

para pemberi waralaba supaya patuh kepada peraturan.

Jadi jika pemberi waralaba melakukan wanprestasi terhadap kalusul yang

diperjanjikan maka penerima waralaba dapat membatalkan perjanjian tersebut

sekaligus melayangkan gugatan ganti kerugian ada pemberi waralaba.

Menurut Munir Fuady, (2001:137) mengatakan :

Apabila salah satu pihak telah melanggar perjanjian khususnya bagi


pemberi waralaba betapapun ringannya pelanggaran itu, pihak lainnya yakni
penerima waralaba dapat menuntut ganti rugi. Ini adalah upaya hukum yang
utama bagi pelanggaran perjanjian. Pada asasnya bentuk dari ganti rugi yang
lazim dipergunakan ialah kompensasi uang, oleh karena menurut ahli-ahli
Hukum Perdata maupun Yurisprudensi, uang merupakan alat yang paling
praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sesuatu
sengketa. Selain uang, masih ada bentuk-bentuk lain yang diperlukan sebagai
ganti rugi, yaitu : pemulihan pemenuhan prestasi perjanjian seperti semula (in
natura) dan larangan untuk mengulangi.

Kemudian J. Satrio, (1999:187) mengatakan :

Adapun asas-asas untuk menilai suatu kerugian itu adalah sebagai berikut

1. Ganti rugi sebagai akibat pelanggaran;


55

Asas pokok dalam ganti rugi ini adalah bahwa pihak yang dirugikan yakni
penerima waralaba seharusnya diberi ganti rugi, tetapi tidak lebih dari pada
ganti rugi untuk setiap kerugian yang ia derita sebagai akibat dari
pelanggaran yang dilakukan oleh pemberi waralaba. Jadi ganti rugi disini
2. Ganti rugi bersifat terbatas;
Penerima Waralaba tidak dapat diberi ganti rugi untuk semua akibat yang
mungkin secara logis timbul karena pelanggaran yang dilakukan Pemberi
Waralaba. Jadi menurut asas ini tidak setiap kerugian akan diganti oleh
Pemberi Waralaba. Kerugian berupa sesuatu yang sudah diperhitungkan
sebelumnya oleh kedua belah pihak dan telah disetujui tidak dapat digugat
untuk dimintakan kompensasi.
3. Kewajiban memperkecil kerugian;
Pihak yang dirugikan (penerima waralaba) mempunyai kewajiban untuk
mengurangi atau memperkecil kerugiannya, yaitu mengambil langkah-
langkah yang patut atau perlu untuk mengurangi kerugian itu berupa
antisipasi agar kerugian tidak semakin meluas.
4 Menilai lebih dahulu kerugian yang mungkin terjadi.
Dalam beberapa hal, pihak-pihak yang meramalkan kemungkinan terjadi
pelanggaran dalam perjanjian semula, berusaha untuk menilai lebih dahulu
kerugian-kerugian yang dapat dibayar karena pelanggaran itu. Tuntutan
ganti rugi sebesar yang dituntut baru bisa dibenarkan, kalau memang
orang dapat meramalkan atau menduga adanya kemungkinan
munculnya kerugian sampai sebesar itu.
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Pasal 1244 KUH Perdata, jika
terjadi hal-hal yang tidak terduga (pembuktiannya di pihak debitur) yang
menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan perjanjian, hal
tersebut bukan termasuk ke dalam kategori force majeure, yang pengaturan
hukumnya lain sama sekali kecuali jika debitur dimintakan tanggung
jawabnya.

F. Upaya Hukum Akibat Pelanggaran Perjanjian Waralaba oleh Pemberi

Waralaba

Bagi Penerima waralaba yang dirugikan oleh pemberi waralaba dapat

menyelesaikan sengketanya melalui beberapa pilihan yang disepakati oleh para

pihak.

Menurut Widjaja Gunawan, (2002: 86) ada 4 macam tata cara penyelesaian

diluar pengadilan menurut hukum yang berlaku, yaitu:


56

a. Konsultasi

b. Negosiasi dan Perdamaian

c. Mediasi

d. Konsiliasi

Atas dasar perbuatan melawan hukum ini pihak yang merasa dirugikan dapat

menuntut adanya ganti kerugian sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

1. Badan Peradilan

a) Pengadilan Negeri

Penanganan sengketa waralaba di lingkup keperdataan, maka

penyelesaiannya melalui pengadilan negeri jika yang disengketakan adalah

mengenai masalah-masalah selain masalah HAKI. Jika yang disengketakan

dalam lingkup masalah HAKI (Hak cipta, paten, merek, dll) maka

penyelesaiannya di lingkup wilayah Pengadilan Niaga. Di lingkup

peradilan ini upaya hukum yang ditempuh jika salah satu pihak menolak

putusan dari pengadilan tingkat pertama (judex facti) maka bisa melakukan

banding kemudian kasasi.

b) Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang keberadaannya

diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman pada Pasal 15 ayat (1) yang berbunyi : Pengadilan khusus

hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.


57

Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman Yang dimaksud dengan pengadilan khusus dalam

ketentuan ini, antara lain, adalah : pengadilan anak, pengadilan niaga,

pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi,

pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan

umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha Negara.

Sengketa waralaba yang berhubungan dengan masalah HAKI misalnya

masalah penyalahgunaan merek yang tidak semestinya maka

penyelesaiannya melalui pengadilan Niaga. Upaya Hukum jika salah satu

pihak tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama (judex facti)

maka langkah selanjutnya adalah melakukan kasasi karena Pengadilan

Niaga tidak mengenal Tingkat Banding.

2. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak

konstruksi dan sengketa yang dimaksud adalah sengketa perdata (bukan

pidana). Misalnya, pilihan penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak

adalah Arbitrase. Dalam hal ini pengadilan tidak berwenang untuk mengadili

sengketa tersebut sesuai Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Menurut Gunawan Widjaja, (2002: 103) mengatakan :

Penyelesaian sengketa Pada umumnya penyelesaian sengketa dapat


dilakukan melalui forum pengadilan, namun demikian, dengan mengingat
akan sifat dari pemberian waralaba, penyelesaian perselisihan yang
dilakukan melalui forum peradilan dikhawatirkan oleh pihak pemberi
58

waralaba akan menjadi suatu forum "bukabukaan" bagi Penerima Waralaba


yang tidak beriktikad baik. Untuk menghindari hal tersebut maka sebaiknya
setiap sengketa yang berhubungan dengan perjanjian pemberian waralaba
diselesaikan dalam kerangka pranata alternatif penyelesaian sengketa,
termasuk di dalamnya pranata arbitrase.

Pranata penyelesaian sengketa alternatif, termasuk di dalamnya pranata

arbitrase di Indonesia saat ini telah diatur dalam suatu peraturan perundang-

undangan tersendiri, yaitu Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut ketentuan Pasal 5

ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa objek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah :

sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase

(dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) dapat dilakukan

hanya untuk sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut

hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak

yang bersengketa.

Tidak ada suatu penjelasan resmi mengenai maksud ketentuan Pasal 5

ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut, namun jika dilihat

pada Pasal 66 huruf (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, yang

berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, di mana pada

Penjelasan Pasal 66 huruf (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut

dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan

adalah : kegiatan-kegiatan antara lain bidang: perniagaan; perbankan;

keuangan; penanaman modal; industri; Hak Kekayaan Intelektual.


59

Ini berarti bahwa makna perdagangan sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 5 ayat (1) , seharusnya juga memiliki makna yang luas. Hal ini juga

sejalan dengan ketentuan selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2), yang memberikan

perumusan negatif, di mana dikatakan bahwa sengketa-sengketa yang dianggap

tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah : sengketa yang menurut

peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Dengan adanya ketentuan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan

Pasal 66 huruf (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut, maka sengketa

yang berhubungan dengan pemberian waralaba, baik yang berhubungan dengan

Hak atas Kekayaan Intelektual pada waralaba dapat diselesaikan melalui

pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa termasuk Arbitrase.

Jadi berdasarkan keseluruhan penjelasan di atas dapat disimpulkan

bahwa Pemberi Waralaba kerap melakukan pelanggaran atas isi perjanjian

waralaba dikarekanakan kedudukan yang superior dari si Pemberi Waralaba.

Semakin terkenal sebuah brand dari waralaba, maka semakin kecil bargaining

power (kekuatan bernegosiasi) dari penerima waralaba. Untuk melindungi

penerima waralaba, maka penerima waralaba dapat menuntut adanya ganti

kerugian berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh KUHPerdata. Untuk

penyelesaian sengketanya sendiri bisa dilakukan menggunakan cara di dalam

pengadilan (pengadilan negeri atau niaga) maupun di luar pengadilan

menggunakan cara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang dalam

prosesnya lebih mudah dibandingkan lewat jalur pengadilan.


60

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Perlindungan hukum pemberi waralaba atas wanprestasi yang dilakukan

penerima waralaba di Bengkulu Utara

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan wawancara

dengan responden 20 Juni Tahun 2017 dengan Ibu Siti Qoriah Rosydiana

sebagai Kepala Dinas Prindustrian dan Perdagangan Bengkulu Utara

sehubungan perlindungan hukum pemberi waralaba atas wanprestasi yang

dilakukan penerima waralaba di Bengkulu Utara yaitu penerima waralaba dapat

menuntut adanya ganti kerugian berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh

KUHPerdata jika penerima waralaba melakukan wanprestasi.

Pelanggaran terhadap perjanjian khususnya mengenai waralaba bisa

terjadi dalam beberapa cara, misalnya salah satu pihak dengan tegas

melepaskan tanggung jawabnya dan menolak melaksanakan kewajiban


61

pihaknya.

Akibat hukum dari melanggar perjanjian berupa wanprestasi dari

pemberi waralaba adalah sebagai berikut yaitu :

1. Setiap pelanggar perjanjian akan memberikan hak kepada pihak yang

dirugikan untuk memperoleh ganti rugi;

Jadi disini sesuai dengan permasalahan mengenai bagaimana jika penerima

waralaba melakukan wanprestasi, maka penerima waralaba harus

memberikan ganti rugi kepada pihak pemberi waralaba.

2. Jika pelanggaran itu cukup berat, akan memberikan hak kepada pihak yang

dirugikan untuk menghentikan perjanjian dan mengakhirinya.

Jika terjadi pelanggaran berupa tidak terpenuhinya syarat pokok

(condition), pihak yang dirugikan memperoleh hak menghentikan

perjanjian itu dan mengakhirinya. Syarat pokok dalam perjanjian waralaba

misalnya mengenai pembinaan dan pengawasan. Pemberi waralaba harus

senantiasa memberikan pembinaan dan pengawasan kepada penerima

waralaba selama perjanjian waralaba berlaku. Penerima waralaba tidak

boleh melepaskan tanggungjawabnya jika hal tersebut terjadi maka pihak

penerima waralaba dapat mengentikan perjanjian. Pemberi waralaba jika

tidak melakukan pembinaan dan pengawasan bagi penerima waralaba maka

berdasarkan PP No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba bisa dicabut Surat

Tanda Pendaftaran Usaha Waralabanya (STPUW). Sanksi ini berlaku jika


62

surat peringatan sudah melayang tiga kali. Tujuannya untuk mendidik dan

menertibkan para penerima waralaba supaya patuh kepada peraturan.

3. Jika salah satu pihak menolak kewajibannya dan melakukan pelanggaran

lebih dahulu, pihak yang dirugikan boleh menyatakan perjanjian itu

berakhir dan sekaligus melakukan gugatan, baik untuk memperoleh ganti

rugi karena pelanggaran maupun pemberian kompensasi yang layak karena

telah dilaksanakannya klausul perjanjian itu. Jadi jika penerimai waralaba

melakukan wanprestasi terhadap kalusul yang diperjanjikan maka pemberi

waralaba dapat membatalkan perjanjian tersebut sekaligus melayangkan

gugatan ganti kerugian ada penerima waralaba.

Apabila salah satu pihak telah melanggar perjanjian khususnya bagi

penerima waralaba betapapun ringannya pelanggaran itu, pihak lainnya

yakni pemberi waralaba dapat menuntut ganti rugi. Ini adalah upaya hukum

yang utama bagi pelanggaran perjanjian. Pada asasnya bentuk dari ganti

rugi yang lazim dipergunakan ialah kompensasi uang, oleh karena menurut

ahli-ahli Hukum Perdata maupun Yurisprudensi, uang merupakan alat yang

paling praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam

menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain uang, masih ada bentuk-bentuk lain

yang diperlukan sebagai ganti rugi, yaitu : pemulihan pemenuhan prestasi

perjanjian seperti semula (in natura) dan larangan untuk mengulangi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan wawancara

dengan responden 21 Juni Tahun 2017 dengan Bapak Purwanto sebagai


63

Pimpinan Waralaba CFC Bengkulu perlindungan hukum pemberi waralaba atas

wanprestasi yang dilakukan penerima waralaba di Bengkulu Utara yaitu

penerima waralaba dapat menuntut adanya ganti kerugian berdasarkan apa yang

telah ditetapkan oleh KUHPerdata jika pemberi waralaba melakukan

wanprestasi.

Adapun alasan terjadinya pelanggaran dalam suatu perjanjian yang

telah dibuat, dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu :

1. Karena adanya wanprestasi, yakni salah satu pihak mengingkari isi atau

klausul dari perjanjian tanpa alasan yang jelas.

2. Karena adanya Overmacht, atau suatu peristiwa yang tidak terduga pada

saat pembuatan perjanjian. Yakni misalnya adanya kenaikan harga BBM

dikarenakan krisis ekonomi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya

Bagi pemberi waralaba yang dirugikan oleh penerima waralaba dapat

menyelesaikan sengketanya melalui beberapa pilihan yang disepakati oleh para

pihak yaitu melalui :

1. Badan Peradilan (Pengadilan);

2. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan wawancara

dengan responden 21 Juni Tahun 2017 dengan Bapak Harusn sadli, Ibu Memei

Fitriani dan Bapak Zakaria masing-masing sebagai penerima Waralaba CFC

Bengkulu perlindungan hukum pemberi waralaba atas wanprestasi yang

dilakukan penerima waralaba di Bengkulu Utara yaitu pemberi waralaba dapat


64

menuntut adanya ganti kerugian berdasarkan apa yang telah ditetapkan dalam

perjanjian.

2. Prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba di Bengkulu Utara

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan wawancara

dengan responden 20 juni Tahun 2017 dengan Bapak Soumala Murni sebagai

Kepala Dinas Prindustrian dan Perdagangan Bengkulu Utara sehubungan

prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba di Bengkulu Utara adalah

seorang penerima waralaba harus melalui prosedur untuk mendapatkan Surat

Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) yakni : penyajian prosopektus

penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah didaftarkan pada instansi

terkait.

Terkait dengan permasalahan, maka pembahasan selanjutnyaa adalah

mengenai prosedur perolehan hak waralaba atau sering disebut dengan Surat

Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW). Untuk mendapatkan Surat

STPUW bagi penerima waralaba maka prosesnya adalah sebagai berikut :

penyajian Prospektus Penawaran Waralaba Kepada Calon Penerima Waralaba

yaitu suatu Prospektus harus mencakup semua rincian dan fakta material

mengenai Penawaran Umum dari suatu perusahaan, yang dapat mempengaruhi

keputusan pemodal. Prospektus harus dibuat sedemikian rupa sehingga jelas

dan komunikatif. Fakta-fakta dan pertimbangan-pertimbangan yang paling

penting harus dibuat ringkasannya dan diungkapkan pada bagian awal


65

Prospektus. Penyajian prospektus harus memegang prinsip kehati-hatian

apabila menggunakan foto, diagram, atau tabel pada Prospektus, karena bahan-

bahan tersebut dapat memberikan kesan yang menyesatkan. Pengusaha

Waralaba juga harus menjaga agar penyampaian informasi penting tidak

dikaburkan dengan informasi yang kurang penting yang mengakibatkan

informasi penting tersebut terlepas dari perhatian pembaca.

Prinsip Keterbukaan merupakan pedoman umum bagi suatu Perusahaan

Publik, dan pihak lain untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam

waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya yang dapat

berpengaruh terhadap keputusan pemodal. Tujuan prinsip keterbukaan terkait

dengan prospektus, pada dasarnya agar dapat diketahui secara jelas tentang

keadaan dan kondisi suatu perusahaan, karena secara riil apabila hendak

membeli suatu barang maka barang-barang tersebut haruslah jelas bentuknya,

statusnya dan memang berwujud.

Pemberi Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan

Penerima Waralaba, harus menyampaikan prospektus penawaran Waralaba

kepada Pemerintah (Deperindag) dan calon Penerima Waralaba dikarenakan

Pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha

Pemberi Waralaba baik dari luar negeri dan dalam negeri guna menciptakan

transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh

usaha nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa dengan Waralaba.

Disamping itu, Pemerintah dapat memantau dan menyusun data Waralaba baik
66

jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan. Disisi lain, apabila terjadi

kesepakatan perjanjian Waralaba, Penerima Waralaba harus menyampaikan

perjanjian Waralaba tersebut kepada Pemerintah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan wawancara

dengan responden 21 Juni Tahun 2017 dengan Bapak Purwanto sebagai

Pimpinan Waralaba CFC Bengkulu sehubungan prosedur izin permohonan

perolehan hak waralaba di Bengkulu Utara adalah seorang penerima waralaba

harus melalui prosedur untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha

Waralaba (STPUW) yakni : penyajian prosopektus penawaran waralaba dari

pemberi waralaba yang telah didaftarkan pada instansi terkait

Proses selanjutnya dalam pendaftaran waralaba berdasarkan

Kepmendag Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 adalah paling lambat lambat 30

(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba

Penerima Waralaba harus mendaftarkan permohonan untuk memperoleh Surat

Tanda Perolehan Usaha Waralaba ke instansi yang berwenang dengan lampiran

yang sesuai dengan Pasal 12 Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba

yakni :

1) Daftar Isian Permohonan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani

oleh Penerima Waralaba atau kuasanya di atas kertas bermeterai cukup,

diserahkan kepada pejabat penerbit STPUW dengan dilampirkan:

a. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/pengurus perusahaan;


67

b. Copy Izin Usaha Departemen/Instansi teknis;

c. Copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

d. Copy Perjanjian Waralaba;

e. Copy Keterangan tertulis (Prospektus usaha) Pemberi Waralaba;

f. Copy Surat Keterangan Legalitas Usaha Pemberi Waralaba.

2) Copy dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilampirkan

dokumen asli dan akan dikembalikan kepada pemohon STPUW setelah

selesai pemeriksaan mengenai keabsahannya.

Adapun instansi yang berwenang dalam proses pengurusan

permohonan dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPUW)

berdasarkan Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan

Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan wawancara

dengan responden 21 Juni Tahun 2017 dengan Bapak Harusn sadli, Ibu Memei

Fitriani dan Bapak Zakaria masing-masing sebagai penerima Waralaba CFC

Bengkulu prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba di Bengkulu

Utara adalah seorang penerima waralaba harus melalui prosedur untuk

mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) yakni :

penyajian prosopektus penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah

didaftarkan pada instansi terkait.


68

B. Pembahasan
1. Bahwa perlindungan hukum pemberi waralaba atas wanprestasi yang

dilakukan penerima waralaba di Bengkulu Utara

Waralaba merupakan suatu konsep bisnis berupa hak khusus yang

dalam pelaksanaannya melibatkan suatu kewajiban dari penerima waralaba

untuk menggunakan suatu sistem dan metode yang ditetapkan oleh Pemberi

Waralaba termasuk di dalamnya hak untuk mempergunakan merek dagang.

Kewajiban untuk mempergunakan metode dan tata cara atau prosedur yang

telah ditetapkan oleh Pemberi Waralaba oleh Penerima Waralaba membawa

akibat lebih lanjut bahwa suatu usaha waralaba adalah usaha yang mandiri,

yang tidak mungkin digabungkan dengan kegiatan usaha lainnya (milik

Penerima Waralaba). Ini berarti pemberian waralaba menuntut eksklusivitas

bagi Penerima Waralaba.

Setiap perorangan maupun badan usaha bisa mewaralabakan bisnisnya.

Hal tersebut seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (1) PP No. 42 Tahun 2007 tentang

waralaba yang berbunyi : Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang

perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha

dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan

dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian

waralaba.
69

Dari pengertian tersebut jelas bahwa subyek hukum yang bisa menjadi

pemberi waralaba adalah perorangan maupun badan usaha. Untuk bisa menjadi

Pemberi waralaba, setiap perorangan maupun badan usaha harus memiliki suatu

bisnis dengan konsep yang unik. Kriteria lebih spesifik diatur dalam Pasal 3 PP

No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba yang menyatakan bahwa : waralaba harus
23
memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Memiliki ciri khas usaha;

b. Terbukti sudah memberikan keuntungan;

c. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan

yang dibuat secara tertulis;

d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;

e. Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan

f. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.

Bahwa perlindungan hukum pemberi waralaba atas wanprestasi yang

dilakukan penerima waralaba di Bengkulu Utara yaitu pemberi waralaba dapat

menuntut adanya ganti kerugian berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh

KUHPerdata jika pemberi waralaba melakukan wanprestasi. Pelanggaran

terhadap perjanjian khususnya mengenai waralaba bisa terjadi dalam beberapa

cara, misalnya salah satu pihak dengan tegas melepaskan tanggung jawabnya

dan menolak melaksanakan kewajiban pihaknya.

Akibat hukum dari melanggar perjanjian berupa wanprestasi dari

penerima waralaba adalah sebagai berikut yaitu :


70

1. Setiap pelanggar perjanjian akan memberikan hak kepada pihak yang

dirugikan untuk memperoleh ganti rugi;

Jadi disini sesuai dengan permasalahan mengenai bagaimana jika penerima

waralaba melakukan wanprestasi, maka penerima waralaba harus

memberikan ganti rugi kepada pihak penerima waralaba.

2. Jika pelanggaran itu cukup berat, akan memberikan hak kepada pihak yang

dirugikan untuk menghentikan perjanjian dan mengakhirinya.

Jika terjadi pelanggaran berupa tidak terpenuhinya syarat pokok (condition),

pihak yang dirugikan memperoleh hak menghentikan perjanjian itu dan

mengakhirinya. Syarat pokok dalam perjanjian waralaba misalnya mengenai

pembinaan dan pengawasan. Pemberi waralaba harus senantiasa

memberikan pembinaan dan pengawasan kepada penerima waralaba selama

perjanjian waralaba berlaku. Penerima waralaba tidak boleh melepaskan

tanggungjawabnya jika hal tersebut terjadi maka pihak penerima waralaba

dapat mengentikan perjanjian. Pemberi waralaba jika tidak melakukan

pembinaan dan pengawasan bagi penerima waralaba maka berdasarkan PP

No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba bisa dicabut Surat Tanda Pendaftaran

Usaha Waralabanya (STPUW). Sanksi ini berlaku jika surat peringatan

sudah melayang tiga kali. Tujuannya untuk mendidik dan menertibkan para

pemberi waralaba supaya patuh kepada peraturan.

3. Jika salah satu pihak menolak kewajibannya dan melakukan pelanggaran

lebih dahulu, pihak yang dirugikan boleh menyatakan perjanjian itu berakhir
71

dan sekaligus melakukan gugatan, baik untuk memperoleh ganti rugi karena

pelanggaran maupun pemberian kompensasi yang layak karena telah

dilaksanakannya klausul perjanjian itu. Jadi jika pemberi waralaba

melakukan wanprestasi terhadap kalusul yang diperjanjikan maka penerima

waralaba dapat membatalkan perjanjian tersebut sekaligus melayangkan

gugatan ganti kerugian ada pemberi waralaba.

Apabila salah satu pihak telah melanggar perjanjian khususnya bagi

pemberi waralaba betapapun ringannya pelanggaran itu, pihak lainnya yakni

penerima waralaba dapat menuntut ganti rugi. Ini adalah upaya hukum yang

utama bagi pelanggaran perjanjian. Pada asasnya bentuk dari ganti rugi yang

lazim dipergunakan ialah kompensasi uang, oleh karena menurut ahli-ahli

Hukum Perdata maupun Yurisprudensi, uang merupakan alat yang paling

praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sesuatu

sengketa. Selain uang, masih ada bentuk-bentuk lain yang diperlukan sebagai

ganti rugi, yaitu : pemulihan pemenuhan prestasi perjanjian seperti semula (in

natura) dan larangan untuk mengulangi.

Adapun alasan terjadinya pelanggaran dalam suatu perjanjian yang

telah dibuat, dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu :

1. Karena adanya wanprestasi, yakni salah satu pihak mengingkari isi atau

klausul dari perjanjian tanpa alasan yang jelas.


72

2. Karena adanya Overmacht, atau suatu peristiwa yang tidak terduga pada

saat pembuatan perjanjian. Yakni misalnya adanya kenaikan harga BBM

dikarenakan krisis ekonomi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya

Bagi Pemberi waralaba yang dirugikan oleh penerima waralaba dapat

menyelesaikan sengketanya melalui beberapa pilihan yang disepakati oleh para

pihak yaitu melalui :

1. Badan Peradilan (Pengadilan);

2. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak

konstruksi dan sengketa yang dimaksud adalah sengketa perdata (bukan pidana).

Misalnya, pilihan penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak adalah

Arbitrase. Dalam hal ini pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa

tersebut sesuai Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Penyelesaian sengketa Pada umumnya penyelesaian sengketa dapat

dilakukan melalui forum pengadilan, namun demikian, dengan mengingat akan

sifat dari pemberian waralaba, penyelesaian perselisihan yang dilakukan melalui

forum peradilan dikhawatirkan oleh pihak pemberi waralaba akan menjadi suatu

forum "bukabukaan" bagi Penerima Waralaba yang tidak beriktikad baik. Untuk

menghindari hal tersebut maka sebaiknya setiap sengketa yang berhubungan

dengan perjanjian pemberian waralaba diselesaikan dalam kerangka pranata

alternatif penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya pranata arbitrase.


73

Pranata penyelesaian sengketa alternatif, termasuk di dalamnya pranata

arbitrase di Indonesia saat ini telah diatur dalam suatu peraturan perundang-

undangan tersendiri, yaitu Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-

Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, objek

perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan di

luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga alternatif

penyelesaian sengketa lainnya) dapat dilakukan hanya untuk sengketa di bidang

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-

undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak ada suatu

penjelasan resmi mengenai maksud ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase tersebut, namun jika dilihat pada Pasal 66

huruf (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, yang

berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, di mana pada

Penjelasan Pasal 66 huruf (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum

perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang: perniagaan; perbankan;

keuangan; penanaman modal; industri; Hak Kekayaan Intelektual. Ini berarti

bahwa makna perdagangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) ,

seharusnya juga memiliki makna yang luas. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan

selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2), yang memberikan perumusan negatif, di mana

dikatakan bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan


74

melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan

tidak dapat diadakan perdamaian. Dengan adanya ketentuan sebagaimana

dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 66 huruf (b) Undang-Undang No. 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase tersebut, maka sengketa yang berhubungan dengan

pemberian waralaba, baik yang berhubungan dengan Hak atas Kekayaan

Intelektual pada waralaba dapat diselesaikan melalui pranata Alternatif

Penyelesaian Sengketa termasuk Arbitrase.

Pemberi waralaba dapat menuntut adanya ganti kerugian berdasarkan apa

yang telah ditetapkan oleh KUHPerdata. Untuk penyelesaian sengketanya sendiri

bisa dilakukan menggunakan cara di dalam pengadilan (pengadilan negeri atau

niaga) maupun di luar pengadilan menggunakan cara arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa yang dalam prosesnya lebih mudah dibandingkan lewat jalur

pengadilan.

2. Prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba di Bengkulu Utara

Bahwa prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba di Bengkulu

Utara adalah seorang penerima waralaba harus melalui prosedur untuk

mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) yakni :

penyajian prosopektus penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah

didaftarkan pada instansi terkait.

Terkait dengan permasalahan, maka pembahasan selanjutnyaa adalah

mengenai prosedur perolehan hak waralaba atau sering disebut dengan Surat Tanda

Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW). Untuk mendapatkan Surat STPUW bagi


75

penerima waralaba maka prosesnya adalah sebagai berikut : penyajian Prospektus

Penawaran Waralaba Kepada Calon Penerima Waralaba yaitu suatu Prospektus

harus mencakup semua rincian dan fakta material mengenai Penawaran Umum dari

suatu perusahaan, yang dapat mempengaruhi keputusan pemodal. Prospektus harus

dibuat sedemikian rupa sehingga jelas dan komunikatif. Fakta-fakta dan

pertimbangan-pertimbangan yang paling penting harus dibuat ringkasannya dan

diungkapkan pada bagian awal Prospektus.

Penyajian prospektus harus memegang prinsip kehati-hatian apabila

menggunakan foto, diagram, atau tabel pada Prospektus, karena bahan-bahan

tersebut dapat memberikan kesan yang menyesatkan. Pengusaha Waralaba juga

harus menjaga agar penyampaian informasi penting tidak dikaburkan dengan

informasi yang kurang penting yang mengakibatkan informasi penting tersebut

terlepas dari perhatian pembaca.

Prinsip Keterbukaan merupakan pedoman umum bagi suatu Perusahaan

Publik, dan pihak lain untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu

yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya yang dapat berpengaruh

terhadap keputusan pemodal. Tujuan prinsip keterbukaan terkait dengan

prospektus, pada dasarnya agar dapat diketahui secara jelas tentang keadaan dan

kondisi suatu perusahaan, karena secara riil apabila hendak membeli suatu barang

maka barang-barang tersebut haruslah jelas bentuknya, statusnya dan memang

berwujud.

Pemberi Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan


76

Penerima Waralaba, harus menyampaikan prospektus penawaran Waralaba kepada

Pemerintah (Deperindag) dan calon Penerima Waralaba dikarenakan Pemerintah

memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha Pemberi Waralaba

baik dari luar negeri dan dalam negeri guna menciptakan transparansi informasi

usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam

memasarkan barang dan/atau jasa dengan Waralaba. Disamping itu, Pemerintah

dapat memantau dan menyusun data Waralaba baik jumlah maupun jenis usaha

yang diwaralabakan. Disisi lain, apabila terjadi kesepakatan perjanjian Waralaba,

Penerima Waralaba harus menyampaikan perjanjian Waralaba tersebut kepada

Pemerintah.

Proses selanjutnya dalam pendaftaran waralaba berdasarkan Kepmendag

Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat

Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba adalah paling lambat lambat 30 (tiga puluh)

hari kerja terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima

Waralaba harus mendaftarkan permohonan untuk memperoleh Surat Tanda

Perolehan Usaha Waralaba ke instansi yang berwenang dengan lampiran yang

sesuai dengan Pasal 12 Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan

dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yakni :

1) Daftar Isian Permohonan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani

oleh Penerima Waralaba atau kuasanya di atas kertas bermeterai cukup,

diserahkan kepada pejabat penerbit STPUW dengan dilampirkan:

a. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/pengurus perusahaan;


77

b. Copy Izin Usaha Departemen/Instansi teknis;

c. Copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

d. Copy Perjanjian Waralaba;

e. Copy Keterangan tertulis (Prospektus usaha) Pemberi Waralaba;

f. Copy Surat Keterangan Legalitas Usaha Pemberi Waralaba.

2) Copy dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilampirkan

dokumen asli dan akan dikembalikan kepada pemohon STPUW setelah selesai

pemeriksaan mengenai keabsahannya.

Adapun instansi yang berwenang dalam proses pengurusan permohonan

dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPUW) berdasarkan

Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara

Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba .


78

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan mengenai pembahasan permasalahan

di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Bahwa perlindungan hukum pemberi waralaba atas wanprestasi yang dilakukan

penerima waralaba di Bengkulu Utara yaitu pemberi waralaba dapat menuntut

adanya ganti kerugian berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh KUHPerdata

jika penerima waralaba melakukan wanprestasi.

2. Bahwa prosedur izin permohonan perolehan hak waralaba di Bengkulu Utara

adalah seorang penerima waralaba harus melalui prosedur untuk mendapatkan

Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) yakni : penyajian

prosopektus penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah didaftarkan

pada instansi terkait.

B. Saran

Penyelesaian sengketa waralaba hendaknya dilakukan di luar pengadilan terlebih

dahulu sehingga kerugian yang di derita penerima waralaba tidak bertambah lagi

dengan adanya proses hukum melalui pengadilan yang akan memakan waktu dan

biaya yang tidak sedikit.


79

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya,


Bandung,

..........., 1989, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.

..........., 1993, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Achmad Ichsan, 1996, Hukum Perdata IA, Pembimbing Masa, Jakarta.

Chairul Areasjid, 2000, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Cst Kansil, dkk., 2000, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta.

Dudu Duswara Machmudin, 2001, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Refika
Aditama, Bandung.

Gunawan Widjaya, 2004, Lisensi Atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum


Jaminan, Liberty, Yogyakarta.

Hardijan Rusli, 1996, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.

J. Satrio, Hukum Perikatan; Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999

Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.

---------, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bhakti,
Bandung.
80

---------, 2005, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra
Aditya Bakti, Bandung.

Muhamad Djumhana, 1999, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya


Bakti, Bandung.
Poerwadarminta, 1999, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Ridwan Syahrani, 1999, Seluk Beluk dan Azaz-Azaz Hukum Perdata, Alumni,
Bandung.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri,


Jakarta, Ghalia Indonesia.

Roy Sembel Tedy Ferdiansyah, Tujuh Jurus Pendanaan Di Tahun Kuda Air,
USAHAWAN No. 03 Th. XXXI, Jakarta, 2002.
B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


penyelesaian Sengketa

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang


penyelenggaraan Waralaba

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006


tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha
Waralaba

Anda mungkin juga menyukai