SKRIPSI
Oleh:
Mochamad Andre Prayudi
NPM :194301097
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Keperdataan
Pembimbing:
Dr..Ina Budhiarti Supyan, S.H., M.Kn.
LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI
Oleh
MOCHAMAD ANDRE PRAYUDI
NPM:194301097
Pembimbing
Mengetahui,
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Bandung
i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul” TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN
VALIDASI BPHTB MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP
TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG DIBUAT
PPAT/PPATS DENGAN DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN
2009 JUNTO PERDA KABUPATEN BANDUNG NOMOR 17 TAHUN
2017”.
Skripsi ini membahas mengenai Tinjauan Yuridis penerapan validasi
BPHTB menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi pada akta jual beli tanah
yang dibuat ppat/ppats dengan dasar transaksi dan NJOP lama dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomo 28 Tahun 2009 Junto Perda Kabupaten Bandung
NO.17 Tahun 2017.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin berhasil tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh sebab itu, pertama-tama penulis sampaikan terimakasih kepada Allah SWT,
karena telah memberikan kelancaran dan kemudahan kepada penulis, dan juga
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada
semua pihak yang membantu dan mendukung penulis selama mengikuti
perkuliahan di Sekolah Tinggi Hukum Bandung, khususnya selama penulisan
skripsi ini. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih juga kepada yang
terhormat Ibu Dr.Hj.Ina Budhiarti Supyan, S.H., M.Kn., selaku dosen
pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya mengarahkan
dan membimbing penulis dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Selanjutnya, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Asep Suryadi, S.H., M.H. selaku Ketua Sekolah Tinggi Hukum
Bandung.
iii
2. Ibu Dr. Endang Pujiastuti, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua I Sekolah
Tinggi Hukum Bandung.
3. Ibu Dr. Tuti Herawati, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua II Sekolah Tinggi
Hukum Bandung.
4. Bapak Dr. H. Asep Rozali S.H., M.H. selaku Wakil Ketua III Sekolah
Tinggi Hukum Bandung.
5. Seluruh Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang telah mendidik
penulis dari awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.
6. Staf Administrasi dan Perpustakaan Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang
telah banyak membantu penulis.
7. Terima kasih kepada kakak saya, Mochamad Mulqi Prayudi dan Yoga
Rifaldi atas segala doa dan segala bantuan ketika saya mengerjakan skripsi
ini.
8. Terima kasih kepada yang terkasih Hafni Urbach Rabbani Deane atas
bantuan dan penyemangat motivasi saya agar terus mengerjakan skripsi ini
sehingga skripsi ini selasai dengan baik.
9. Terima kasih untuk sahabat-sahabat saya dikampus Iksan Hanafi, Ardian
Dwi, Aldo Galatheo yang selalu menanyakan kemajuan skripsi sehingga
memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini secepatnya
10. Terima kasih kepada teman-teman Kelas B angkatan 2019 Sekolah Tinggi
Hukum Bandung yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada orangtua saya
yang sangat saya cintai, yaitu: Alm.Bapak Yudi Tossin S. Pd dan Ibu Nathalia
Puspasari, Yang terus mendoakan saya agar saya sukses dalam menjalankan
kehidupan saya di dunia ini, dan skripsi ini juga sebagai persembahan terima
kasih saya kepada alm bapak yudi yang ingin kedua anaknya lulus sekolah di
perguruan tinggi. Tanpa orang-orang diatas tidak mungkinlah saya bisa
menyelesaikan tugas akhir ini.
Dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan,
untuk itu penulis mengharapkan segala saran dan masukan untuk memperbaiki
agar skripsi ini dapat selesai dengan maksimal.
iv
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang
membutuhkan sebagai referensi maupun bahan pertimbangan dan tentunya dapat
memberikan manfaat tersendiri bagi penulis, serta skripsi ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................vi
ABSTRAK...........................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
B. Identifikasi Masalah............................................................................5
C. Tujuan Penelitian................................................................................5
D. Kegunaan Penelitian...........................................................................6
E. Kerangka Pemikiran...........................................................................6
F. Metode Penelitian.............................................................................14
G. Sistematika Penulisan.......................................................................16
A. Tinjauan BPHTB..............................................................................18
vi
PPAT/PPATS
DENGAN DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2009 JUNTO PERDA KABUPATEN BANDUNG
NOMOR 17 TAHUN 2017..................................................................40
BAB V PENUTUP.............................................................................................53
A. Kesimpulan.......................................................................................53
B. Saran-Saran.......................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................55
vii
TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB MENGGUNAKAN
NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI
TANAH YANG DIBUAT PPAT/PPATS DENGAN DASAR
TRANSAKSI DAN NJOP LAMA DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2009 JUNTO PERDA
KABUPATEN BANDUNG
NOMOR 17 TAHUN
2017
viii
diterapkan aturan tersebut diatas, yang membuat terhambatnya proses validasi dan
mengharuskan membayar pajak BPHTB sesuai nilai pasar.
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2003), hlm. 5.
1
2
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.2 Maka dari itu, peralihan hak atas
tanah dan bangunan menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi pihak yang
mengalihkan maupun pihak yang menerima peralihan hak. Kewajiban tersebut
dimana setiap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan wajib menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak.
Pajak sebagai sumber penerimaan negara harus menjadi penerimaan utama
karena sumber-sumber penerimaan yang lain, selain seperti pajak, pendapatan
pengelolaan sumber alam sangat terbatas, bisa berkurang bahkan habis. Oleh
karena itu, kesadaran rakyat membayar pajak harus ditumbuhkembangkan secara
terus menerus agar pajak nantinya sebagai sumber utama untuk membiayai
pembangunan.3
Bea Perolehan Hak Atas Tanah (Selanjutnya disebut: BPHTB) memiliki
sejumlah permasalahan yang aktual dan menarik untuk diperhatikan sehubungan
aktifitas pemerintah dalam mengadministrasikan perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang tidak lain adalah peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan
setelah melaksanakan kewajiban membayar BPHTB. Kewajiban membayar
BPHTB, merupakan wewenang negara yang bersumber dari Pasal 33 ayat (3)
yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kemudian oleh ayat (5) UUD 1945 menyatakan ketentuan lebih lanjut
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang. ternyata secara implementatif
penerapan kewajiban pajak BPHTB minim informasi yang diberikan kepada
publik dengan masyarakat minim pemahaman dan pengetahuan tentang BPHTB.
Di dalam masyarakat terdapat ketidaktahuan siapa yang menjadi subjek wajib
bayar BPHTB, walaupun istilah “perolehan” menunjukkan bagi yang memperoleh
dan untuk jual beli penjual menjadi subjek wajib pajak penghasilan, tetapi
ditengah masyarakat masih terjadi antara penjual dan pembeli saling berkeras
melimpahkan kewajiban dan kerap membayar secara urunan dimana pembeli
2
Ibid
3
Setu Setiawan, Perpajakan Indonesia Edisi 2009, (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang Press, 2009), hlm.1.
3
4
Marihot Pahala Siahaan I. Op.Cit, hlm.6.
4
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka beberapa pokok
permasalahan yang akan diteliti antara lain:
1. Apakah sah menerapkan validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru
terhadap transaksi pada akta jual beli tanah yang dibuat PPAT/PPATS
dengan dasar transaksi dan NJOP lama?
2. Bagaimanakah menetapkan pajak BPHTB dengan Transaksi dan NJOP
lama Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 junto Perda
Kabupaten Bandung Nomor 17 tahun 2017?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui sah tidaknya menerapkan validasi BPHTB
menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi pada akta jual beli
tanah yang dibuat PPAT/PPATS dengan dasar transaksi dan NJOP
lama.
6
D. Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka hasil penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat ganda, baik manfaat praktis maupun manfaat
teoritis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berkaitan dengan
pengaturan tentang cara perhitungan, urutan-urutan dan pembagian
harta pailit dalam proses pemberesan harta pailit.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu
pengetahuan bagi masyarakat, untuk dapat mengetahui bagaimana
proses penyelesaian pemberesan harta pailit sebagai pelunasan atas
utang yang terdapat pada debitur pailit untuk selanjutnya dibagikan
kepada para kreditur yang memiliki hak yang berbeda-beda.
E. Kerangka Pemikiran
Penerimaan dari sektor perpajakan merupakan tulang punggung
penerimaan APBN. Sejak awal tahun 1980-an, penerimaan perpajakan sebagai
sumber utama penerimaan negara. Penerimaan pajak merupakan gambaran
partisipasi masyarakat dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan di negaranya. Apabila konstibusi penerimaan perpajakan semakin
besar terhadap APBN berarti partisipasi masyarakatnya semakin besar pula dalam
pembangunan di negaranya karena pada hakikatnya pajak berasal dari dan untuk
masyarakat.
Negara melihat peluang untuk mendapatkan pemasukan kas Negara dari sektor
Pajak salah satunya dengan adanya pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan bangunan (BPHTB) atas setiap perolehan hak atas tanah danbangunan.
7
5
Atep Adya Barata, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menghitung
Obyek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm 4.
6
Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, (Jakarta: Selemba Empat, 2011), hlm 1.
8
1. Asas keadilan. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus
ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak
diselenggarakan secara umum dan merata. Berkaitan dengan
pemungutan pajak, Smith (1723-1790) dalam Santoso menguraikan
asas pemungutan pajak yang lebih dikenal dengan The Four Maxims,
dengan uraian sebagai berikut:7
a. Pembagian tekanan pajak di antara Subjek Pajak masingmasing
hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu
seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing,
di bawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas
kepentingan). Dalam asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu
negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak,
dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan
pajak yang sama pula;
b. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan
tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainty”
ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai
subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu
pembayarannya;
c. “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in
which it is most likely to be convenient for the contributor to pay
it”. 8
Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut
convenience of payment) menetapkan bahwa pajak hendaknya
dipungut pada saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu
saat sedekatdekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang
bersangkutan;
d. “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep
out of the pockets of the people as little as possible over and above
what it brings into to public treasury of the State”. 9
7
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak ,( Bandung : PT. Refika
Aditama, Cet ke 21, 2008), hlm. 27-28.
8
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi, (Yogyakarta: CV Andy Offset, 2008), hlm. 2.
9
Ibid, hlm. 8.
9
10
Sinaga, DR. N. A, “Pemungutan Pajak Dan Permasalahannya di Indonesia” Jurnal
Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma”, Vol 7
No.1 (September 2016), hlm 150-151, https://doi.org/10.35968/jh.v7i1. diakses 26 April 2023.
10
11
Ibid, hlm. 29-37
12
Ibid, hlm. 37
13
Ibid, hlm. 41-42.
14
Ibid, hlm. 42
15
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 1999,
hlm 1-2.
11
Pengertian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tidak sama dengan nilai pasar.
NJOP merupakan harga rata-rata suatu objek pajak yang ditetapkan dengan
mekanisme tertentu, sedangkan nilai pasar merupakan Harga Jual Objek Pajak
(HJOP) yang terjadi secara wajar di pasar. Adanya kemungkinan HJOP yang
ditentukan oleh pasar akan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari NJOP yang
ditetapkan oleh pemerintah.16 Penetapan nilai perolehan dalam jual beli tanah dan
bangunan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) merupakan pokok bahasan utama lain dari penelitian ini. Menganalisis
temuan kerja lapangan berdasarkan konsep yang meliputi harga transaksi (dalam
undang-undang jual beli tanah), nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan
tata usaha negara, dan biaya untuk mendapatkan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB). yang sistem perpajakannya self assessment (dalam undang-undang
perpajakan), dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Harga transaksi dalam jual beli tanah
Jual beli tanah merupakan suatu kesepakatan antara kedua belah
pihak yang dimaksud di sini yaitu penjual dan pembeli dalam
melakukan suatu transaksi jual beli tanah dengan pembayaran tunai,
setelah itu barulah hak atas tanah tersebut dari penjual berpindah
kepada pembeli. Sehingga unsur dalam jual beli tanah adalah bidang
tanah yang dijual belikan dan harga transaksi yang sudah disepakati
yang dibayar dalam bentuk uang.
Menurut penjelasan pasal 2 ayat (2) Peraturan Daerah
Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang dimaksud dengan harga transaksi
adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang
bersangkutan (dalam hal ini penjual dan pembeli). 17
2. Nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan tata usaha negara
NJOP atau nilai jual objek pajak merupakan salah satu tolok
ukur yang menjadi dasar acuan dasar pengenaan BPHTB, maka dari itu
16
R. O.H. Monding dan R.J. Pusung, “Analisis Tingkat Akurasi Penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal Dua Kota Manado” Jurnal EMBA
Vol.4 No.4 (Desember 2016), hlm.993, https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571, diakses 26
April 2023.
17
Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pasal 2 ayat (2).
12
eksistensi nilai jual objek pajak atau yang sering kita dengar sebagai
NJOP dalam kaitannya sebagai acuan atau dasar pengenaan pajak akan
diuraikan sebagai berikut.
Menurut pasal 40 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022, penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh kepala daerah. Pasal 4
ayat (2) huruf a, pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten salah
satunya adalah pajak bumi dan bangunan (PBB). Pasal 5 ayat (1), jenis
pajak (yang salah satunya adalah PBB) merupakan jenis pajak yang
dipungut berdasarkan Penetapaan Kepala Daerah. Pasal 5 ayat (3),
dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak
(dalam hal ini adalah PBB) yakni Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT). Dari keempat pasal tersebut di atas, terlihat jelas bahwa
merupakan suatu keputusan tata usaha negara atau KTUN nilai jual
objek pajak (NJOP) yang dimuat dalam surat pemberitahuan pajak
terutang pajak bumi dan bangunan (SPPT-PBB). 18
Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan, keputusan penyelenggaraan
pemerintahan yang disebut juga dengan keputusan tata usaha negara
atau keputusan administrasi negara, yang selanjutnya disebut
keputusan adalah keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh instansi
atau pejabat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.19
Menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa putusan tata usaha negara
adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang memuat perbuatan hukum tata usaha negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. yang
bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata. 20
18
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 40 Ayat (7).
19
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Pasal 1 Angka 7.
20
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Pasal 1 Angka 9.
13
21
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 1 Angka 36.
22
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Pasal 1 Angka 5.
14
23
Indonesia. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, Pasal 12 Ayat 1.
24
Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Dan Bangunan, Pasal 10 Ayat 1.
15
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi di dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis,
yaitu bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh,
sistematis, serta akurat melalui suatu proses analisis dengan
menggunakan peraturan hukum, dan proses penerapan validasi
BPHTB menggunakan NJOP terbaru berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Junto Perda Kabupaten Bandung Nomor 17
tahun 2017.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Penelitian
yuridis normatif dilakukan melalui penelitian kepustakaan yang
meneliti data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tesier. Adapun bahan hukum yang
digunakan sebagai berikut.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
memiliki kekuatan hukum dan mengikat pada pihak-pihak
yang bersangkutan. Bahan hukum primer yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini, antara lain:
1) KUHPerdata
2) Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70
Tahun 2016 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan.
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Dan Bangunan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
25
Indonesia.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/ PMK.03/2007 tentang Cara
Pemeriksaan Pajak, Pasal 3 Ayat 1.
16
G. Sistematika Penulisan
Penyusunan penulisan skripsi agar dapat menyampaikan gambaran yang
jelas, mudah dipahami bagi pembaca. Maka penulis menyusun penulisan skripsi
menjadi lima bab dan setiap bab dibagi sub-sub sesuai pembahasan yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
17
A. Tinjauan BPHTB
1. Pengertian dan dasar hukum BPHTB
26
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2001, (Yogyakarta, Andi Offset, 2001), hlm. 272
27
Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas Tanah
dan Bangunan pasal 1 ayat 1.
28
Ibid, hlm. 31.
18
19
29
Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hlm. 271.
30
Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah pasal 85
20
k) Pemekaran Usaha
l) Hadiah
2) Pemberian hak baru karena
a) Kelanjutan pelepasan hak
b) Di luar pelepasan hak
31
Mardiasmo, Op. cit, hlm. 273
32
Ibid, hlm. 273.
33
Ibid, hlm.275.
21
34
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, Pasal 84 ayat (2)
35
Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa
Pemikiran, Jakarta, PT. Dina Aksara, 1988,) hlm.8.
22
pengertian “bumi” itu termasuk pula “tanah dan tubuh bumi di bawahnya
serta yang berada di bawah air” (UUPA Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 1 ayat 4).
Sehubungan dengan itu, penjelasan umum bagian II (1) menegaskan bahwa
“Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah,
yang dapat dihaki oleh seseorang”.36
Mengenai pengertian jual beli tanah menurut Harun Al Rashid, pada
hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada
pihak/orang lain yang berupa dari penjual kepada pembeli tanah.37Achmad
Chulaimi berpendapat bahwa pengertian jual beli tanah dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pengertian sebelum UUPA dan
Pengertian setelah berlakunya UUPA.
a) Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum UUPA
Sebelum berlakunya UUPA, di negara kita masih terdapat
“dualisme” dalam hukum agraria, hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi
hukum pertanahan kita, yaitu hukum adat dan hukum barat. Sehingga
terdapat juga dua macam tanah yaitu tanah adat (tanah Indonesia) dan
tanah barat (tanah Eropah).38
Pengertian hukum adat “jual beli” tanah adalah merupakan suatu
perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang
dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli
membayar harga (walaupun haru sebagian) tanah tersebut kepada
penjual. Sejak itu, hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada
pembeli. Dengan kata lain bahwa sejak saat itu pambeli telah mendapat
hak milik atas tanah tersebut. Jadi “jual beli” menurut hukum adat tidak
lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada
pembeli. Maka biasa dikatakan bahwa “jual beli” menurut hukum adat
itu bersifat “tunai” (kontan) dan “nyata” (konkrit).39 Sehubungan dengan
36
Harun Al Rashid, Sekilas tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya),
(Jakarta, Ghalia Indonesia), 1987, hlm. 50.
37
Achmad Chulaimi, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah dan
Pemindahannya, (Semarang, FH-UNDIP, 1986), hlm. 87-89.
38
A.P. Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung, Alumni, 1973, hlm.
40).
39
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1973, hlm. 30).
23
40
Boedi Harsono, Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak Milik
Atas Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA,
(Bandung-Jakarta, 1983).
41
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan
pelaksanaannya, (Bandung, Alumni, 1993), hlm. 86.
42
R.Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan ke-8. (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989), hlm.
11.
24
43
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,
(Bandung, Sumur, 1974), hlm. 13.
44
Hartono Soerjopratiknjo, Aneka Perjanjian Jual Beli, Cetakan 1, (Yogyakarta, Seksi
Notariat FH UGM, 1982), hlm. 5.
45
K. Wantjik Saleh, Op. cit, hlm. 32.
25
49
Achmad Chulaimi, Op. cit, hlm. 91.
50
Peranginangin, Effendi. Praktek Hukum Agraria : Permohonan Hak Atas Tanah.
(Yogyakarta, ESA Study Club, 1981), hlm. 9.
27
Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang
dapat dipunyaiorang atas tanah (Pasal 20 Undang Undang Pokok
51
R. Susanto, Hukum Pertanahan (Agraris), Cetakan 1,( Jakarta, Pradnya Paramita, 1980,)
hlm. 26.
52
Sudargo Gautama, Tafsiran UUPA,( Bandung, Alumni, 1973), hlm. 124.
53
Harun Al Rashid, Op. cit, hlm. 51.
54
K. Wantjik Saleh, Op. cit, hlm. 19.
28
tanah mempunyai fungsi sosial termasuk pula tanah yang berstatus Hak
Milik57.Luasnya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
kepada pemegang Hak Milik sebagaimana yang tersebut diatas, tidak
berarti pemegang Hak Milik dapat berbuat apa saja atau tanpa batas
atas penggunaan tanah tersebut. Meskipun tanah itu berstatus Hak
Milik, pemegang Hak Milik dibatasi dalam suatu koridor aturan yang
berlaku dimana pemegang hak wajib memperhatikan fungsi sosial atas
tanah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 6 Undang-Undang
Pokok Agraria yang artinya58:
a. Dalam aktivitas penggunaan atau pemanfaatan tanah tidak boleh
menimbulkan kerugian kepada orang lain.
b. Penggunaan tanah wajib disesuaikan dengan peruntukan yang telah
ditetapkan sesuai dengan rencana tata ruang.
c. Penggunaan atau pemanfaatan tanah wajib memperhatikan
kepentingan umum selain kepentingan pribadi.
d. Tanah yang digunakan atau dimanfaatkan harus dipelihara dengan
baik dan mencegah terjadinya kerusakan tanah.
e. Tanah yang digunakan tidak boleh diterlantarkan sehingga
menimbulkan kerugian atas tanah tersebut, baik dari sisi kesuburan,
penggunaan dan kemanfaatan atas tanah tersebut
Hapusnya Hak Milik atas tanah telah diatur dalam Pasal 27
UUPA59, yang menyatakan bahwa Hak Milik atas tanah hapus dan
berakibat tanahnya jatuh kepada Negara yaitu:
a. Karena pencabutan hak atas tanah berdasarkan Pasal 8.
b. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.
c. Kerena ditelantarkan.
d. Karena ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat 3,
yaitu karena subjek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek
Hak Milik atas tanah dan Pasal 26 ayat 2, yaitu: karena peralihan
57
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),( Sinar Grafika, Jakarta, 2005),
hlm.101
58
Irawan Soerodjo, Op.Cit, 2014, hal. 61-62.
59
Pasal 27 UUPA tentang Hapusnya Hak Milik.
30
60
Pasal 28 ayat 1, Pasal 29 UUPA dan lihat juga Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
mengatur tentang Hak Guna Usaha (HGU).
61
Sahnan, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press,( Malang, 2016),hlm 83-84
62
Ibid, hlm. 84
31
65
Pasal 34 UUPA tentang Hapusnya Hak Guna Usaha (HGU).
66
Pasal 35 UUPA tentang Hak Guna Bangunan (HGB).
33
73
Irawan Soerodjo, Op.Cit, 2014, hlm 66
74
Ibid, hlm. 67
36
75
Ibid, hlm. 68.
BAB III
KASUS POSISI
37
Adanya Surat Edaran Kepala BPN RI Nomor 5/SE/IV/2013 Tentang
Pendaftaran Hak Atas Tanah Atau Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah
Terkait.Dengan Pelaksanaan UU No. 28/2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, maka PPAT, Pejabat Lelang tidak perlu melakukan
penelitian SSPD
38
38
76
Bonus Aprianto Hernanda, “Problematika Validasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan Bangunan Atas Temuan Hasil Verifikasi Lapangan Nilai Bangunan Tidak
Sesuai Dengan Nilai Jual Objek Pajak Dan Nilai Perolehan Objek Pajak”,
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 3 No. 1, 2014, hlm. 12,
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/download/1548/1266/. diakses 12 Juli 2023.
39
Pada tahun 2023 nyonya X akan melakukan peralihan hak ke BPN dengan
dasar AJB No.XXX/2009 yang nyonya X buat pada tahun 2009 lalu dikarenakan
pada saat pembuatan akta jual beli nyonya X tidak melaksanakan proses
pembayaran pajak PPh dan BPHTB maka dengan itu nyonya X diharuskan
terlebih dahulu untuk membayar pajak tersebut.
Pada saat setelah melaksanakan pembayaran pajak tersebut, nyonya X
diharuskan melakukan validasi pajak yang sudah dibayarkan kepada Bapenda dan
Kpp pratama, namun pada saat dilakukan validasi BPHTB ternyata validasinya
ditolak dengan alasan NJOP tidak sesuai atau transaksi dibawah minimum NJOP
tahun 2023 sedangkan akta yang dibuat oleh nyonya X pada tahun 2009 sudah
sesuai dengan NJOP pada tahun itu. Bapenda dengan alasan aplikasi yang baru
tahun 2023 dipakai, tidak dapat memproses dan mengharuskan membayar
BPHTB sesuai dengan transaksi yang ditentukan aplikasi dan dapat dilakukan
proses validasi, Bapenda mengharuskan melakukan pembayaran dengan seolah-
olah transaksi menjadi 200 juta sesuai perhitungan aplikasi yang menurut
Bapenda merupakan NJOP terbaru atau NJOP 2023 yang ditetapkan aplikasi
tersebut.
Pada contoh kasus transaksi Nyonya X pada akta jual-beli Tahun 2009 di
PPATS yang bernilai Rp. 28Juta dan NJOP tahun 2009 bernilai Rp. 20Juta dengan
rincian luas tanah 100m2 dan NJOP permeter sebesar Rp. 200ribu, sedangkan
NJOP terbaru permeter bernilai Rp. 2Juta dan jika berdasarkan perhitungan
BPHTB dikalikan luas tanah menjadi Rp. 200Juta dikurangi NJOPTKP
Kabupaten Bandung yaitu sebesar Rp. 60Juta menjadi Rp.140Juta dan dikali 5%
dan nilai perolehan pajak BPHTB menjadi Rp. 7Juta. Pemohon atau Nyonya X
merasa keberatan dengan nilai tersebut yang dianggapnya terlalu besar dimana
transaksinya hanya Rp.28Juta.
Permasalahan tersebut diatas menimbulkan proses peralihan hak menjadi
terhambat karena hasil penelitian validasi BPHTB yang dilakukan Bapenda
menjadi salah satu syarat yang mutlak.
BAB IV
40
terdapat sisiran garapan sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan humus dan
lapisan dalam. Sedangkan selaku fenomena yuridis, c.q. hukum positif kita,
tanah itu dikualifikasikan sebagai “permukaan bumi”, sedangkan di
dalam
41
41
pengertian “bumi” itu termasuk pula “tanah dan tubuh bumi di bawahnya serta
yang berada di bawah air” (Undang Undang Pokok Agraria Pasal 4 ayat 1 jo Pasal
1 ayat 4). Sehubungan dengan itu, penjelasan umum bagian II (1) menegaskan
bahwa “Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah,
yang dapat dihaki oleh seseorang”.
77
Achmad Chulaimi berpendapat bahwa pengertian jual beli tanah dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pengertian sebelum UUPA dan
Pengertian setelah berlakunya UUPA.
Proses transaksi jual beli tanah dan bangunan, NJOP merupakan hal
yang wajib dipahami terlebih dahulu. Karena, dengan mengetahui Nilai
Jual Objek Pajak, maka akan tahu berapa besar dana dan pajak yang akan
ditanggung dari transaksi tersebut. Jadi, bisa dikatakan fungsi Nilai Jual
Objek Pajak sebagai penentu harga dan pertimbangan dalam menjual tanah
dan bangunan. Setelah menentukan nilai jual tersebut maka akan diketahui
Bea perolehan hak atas tanah dan Bangunan (BPHTB), BPHTB adalah
pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pelaksanan untuk melakukan transaksi jual beli tanah dan bangunan pada
kantor PPAT sebelum melakukan penandatanganan akta jual beli, PPAT akan
meminta bukti pembayaran pajak penjual (PPh) dan pembeli (BPHTB) jika belum
akan dibantu untuk pembuatan formulir pembayaran yang dipakai sebagai dasar
pembayaran pajak tersebut, Wajib Pajak BPHTB harus sudah membayar pajak
yang terutang sebelum akta jual beli tersebut diterbitkan atau ditandatangani oleh
PPAT/Notaris. Akta disini sebagai bukti telah terjadi jual beli tanah dan atau
bangunan. Jika akta tersebut ditandatangani sebelum dilunasinya pajak BPHTB
yang terutang, maka PPAT/Notaris tersebut akan terkena sanksi sesuai peraturan
yang berlaku.78
Perhitungan untuk pajak penjual (PPh) dalam PP Nomor 34 Tahun 2016
disebutkan bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian
pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, terutang
77
Achmad Chulaimi, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah dan
Pemindahannya, (Semarang, FH-UNDIP, 1986), hlm. 87-89.
78
Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia, (Bogor, 2008),
hlm. 13.
42
Pajak Penghasilan yang bersifat final. Tarifnya ada tiga, tergantung dari jenis
transaksinya yang dikenaikan dari jumlah bruto nilai pengalihan, yaitu 2,5% untuk
transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas
tanah dan/ atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana
yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan. Contohnya jika transaksi sebesar Rp. 100.000.000,-
dikalikan 2,5% hasilnya Rp. 2.500.000,- (biaya pajak yang harus dibayarkan
penjual).
Cara menghitung BPHTB yaitu 5 persen dari harga beli dikurangi Nilai
Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Misalnya harga tanah dan
bangunan sebesar Rp. 100.000.000,- dikurangi NJOPTKP wilayah kabupaten
bandung yaitu Rp 60.000.000,- lalu dikalikan 5 persen maka hasilnya Rp.
2.000.000,- yang menjadi nilai BPHTB.
Besaran NJOPTKP di masing-masing wilayah berbeda-beda, namun
berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah pasal 87 ayat 4 ditetapkan besaran paling rendah sebesar Rp 60
juta untuk setiap wajib pajak. Kendati demikian, apabila perolehan hak berasal
dari waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih memiliki
hubungan keluarga sedarah maka NJOPTKP ditetapkan paling rendah senilai Rp
300 juta. Besaran pokok pajak BPHTB yang terutang dihitung dengan mengalikan
tarif dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Adapun NPOPTKP
merupakan nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tarif BPHTB.79
Diwajibkan untuk melaporkan (validasi), setelah proses pembayaran
subjek pajak dilakukan, untuk PPh dilaksanakan di KPP (Kantor Pelayanan Pajak)
pratama diwilayah bidang tanah yang menjadi objek jual beli. Sedangkan untuk
BPTHB dilaporkan (validasi) kepada Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA)
setempat. Validasi PPh maupun BPHTB dapat dilakukan sendiri oleh wajib pajak
atau dibantu oleh PPAT. Persyaratan validasi PPh dan BPHTB yaitu:80
1. KTP para pihak dalam jual beli tanah dan bangunan tersebut;
79
Perkim.id. Bagaimana Rumus Menghitung Biaya BPHTB?. Perkim.id. 11 Mar, 2021.
https://perkim.id/perumahan/bagaimana-rumus-menghitung-biaya-bphtb. Diakses pada 09 Juli
2023.
80
Diperoleh dari jawaban yang menggunakan daftar pertanyaan dari staff Notaris-PPAT.
43
2. NPWP para pihak dalam jual beli tanah dan bangunan tersebut;
3. Bukti pembayaran PPh dan/atau BPHTB;
4. Foto copy akta jual beli;
5. Foto copy PBB; dan,
6. Lainnya berdasarkan aturan yang berlaku.
Dinas terkait akan memeriksa sesuai dengan aturan yang berlaku jika telah
dilakukannya pelaporan tersebut dan jika laporan tersebut telah memenuhi maka
dinas tersebut akan mengeluarkan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti
Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak baik pajak PPh ataupun BPHTB.
Dengan dasar nilai transaksi ini, maka nilai dasar yang digunakan dalam
perhitungan BPHTB tergantung dari kesepakatan para pihak dalam melakukan
transaksi. Sehingga kepastian kebenaran nilai transaksi yang dianggap telah
disetujui dan menjadi dasar perhitungan BPHTB tergantung dari kejujuran para
pihak. Tidak menutup kemungkinan nilai transaksi tersebut tidak sesuai dengan
yang sebenarnya yang sengaja dilakukan dengan maksud agar pajaknya lebih
rendah dari yang sebenarnya. Hal ini tentunya tidak mudah untuk menjamin
kapastian bahwa nilai transaksi yang digunakan sebagai dasar perhitungan
BPHTB itu adalah nilai transaksi yang sebenarnya ataukah tidak. Hal demikian
wajar dapat saja terjadi penurunan harga, mengingat pada umumnya para pihak
menghendaki pembayaran pajak yang lebih ringan. Dalam hal ini maka diperlukan
adanya validasi untuk melakukan penelitian dan verifikasi secara cermat tentang
kebenaran nilai transaksi yang digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB.
Validasi maksudnya adalah penelitian/verifikasi atas bukti pembayaran
yang berupa Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD), yang dilakukan oleh petugas
dinas yang berwenang, antara lain untuk meneliti kebenaran atas nilai yang
digunakan untuk menghitung BPHTB. Berdasarkan ketentuan undang-undang,
bahwa yang menjadi dasar perhitungan BPHTB adalah nilai transaksi.
Persoalan yang perlu dibahas adalah ketika dihadapan PPAT bisa
saja pihak-pihak mengaku bahwa nilai transaksinya tidak sesuai dengan
kenyataan, dalam arti lebih rendah dari yang sebenarnya, dengan maksud
agar pajak atau BPHTB nya ringan. Dalam hal terjadi demikian, maka
pada saat dilakukan validasi ini, ada kemungkinan nilai transaksinya harus
44
harus dibayar. Yang menjadi persoalan adalah ketika akta jual beli sudah
resmi ditandatangani dengan nilai transaksi sesuai dengan kesepakatan
antara penjual dan pembeli, di waktu kemudian pada saat diajukan validasi
terdapat berbedaan nilai transaksi menurut perhitungan dinas dan harus
diadakan perubahan. Dalam hal ini mana nilai transaksi yang sebenarnya,
apakah nilai yang telah disepakati pihak-pihak dan dimuat di dalam akta
yang sudah ditandatangani, atau nilai yang harus diikuti menurut
perhitungan dinas84. Sedangkan penggunaan nilai dalam akta yang tidak
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya ada konsekuensi yuridis,
sehingga apabila terjadi sengketa dapat menjadi batal. Sedangkan
keterangan dan pendapat yang diperoleh dari narasumber dari dinas
pendapatan Kabupaten/Kota yang berwenang mengelola BPHTB
menghendaki bahwa nilai yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan
BPHTB tetap menggunakan dasar nilai transaksi, dengan pertimbangan
bahwa nilai tanah selalu mengalami perkembangan terutama kenaikan,
sehingga tidak dapat itentukan secara tetap. Oleh karena itu juga
menghendaki tetap adanya kewajiban validasi pada setiap pembayaran
BPHTB untuk meneliti kesesuaian obyek pajak dan nilai transaksi yang
sebenarnya.
Keterangan dan pendapat yang diperoleh dari narasumber Kantor
Pertanahan, melainkan mengatakan bahwa prinsipnya berpegang pada
Surat dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 5 /SE/IV/2003
85
tentang Pendafataran Hak Atas Tanah atau Pendaftaran Hak atas Tanah
terkait dengan pelaksanaan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diperoleh pendapat dan keterangan
berkaitan dengan kewajiban validasi, yaitu bahwa kewajiban validasi atas
pembayaran BPHTB berbeda-beda antara wilayah Kabupaten dan Kota.
Bagi kantor pertanahan dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah ada
yang tidak mensyaratkan validasi, sementara ada yang mengambil jalan
tengah tidak mensyaratkan tetapi pada saat mengambil Sertifikat
dipersyaratkan adanya bukti pembayaran BPHTB (SSPD) yang sudah
84
Ibid hlm. 492
85
Ibid hlm. 493
47
divalidasi, juga ada yang tidak mensyaratkan tetapi ada instansi lain yaitu
pada saat validasi pembayaran pajak penjual (PPh) di KPP Pratama
mensyaratkan validasi BPHTB. Untuk itu dalam rangka menjamin
kepastian dalam pembayaran BPHTB, perlu adanya ketetapan nilai harga
tanah secara standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang, seperti
halnya dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan, dibuat Nilai Jual
Obyek Pajak (NJOP) yang dikeluarkan setiap tahun pajak oleh instansi
yang berwenang sebagai dasar menghitung pajak PBB. PBB tersebut
dimuat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi
danbangunan (SPPT PBB) dan disampaikan kepada wajib pajak setiap
tahun dan ditinjau secara periodik dengan menyesuaikan perkembangan
harga tanah di wilayah yang bersangkutan. Dalam menetapkan nilai harga
yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB, dapat dilakukan
dengan berkoordinasi antar instansi yang berhubungan, antara lain antara
dinas pendapatan pemerintah Kabupaten/ Kota dengan Kantor
Pertanahan.86
Nilai Perolehan Objek Pajak untuk jual beli adalah harga transaksi.
Ketentuan yang menyelaskan bahwa nilai perolehan obyek pajak adalah
nilai transaksi inilah yang perlu diadakan perubahan. Usulan perubahan
pasal tersebut yaitu menjadi sebagai berikut: bahwa yang dimaksud “Nilai
Perolehan Obyek Pajak” adalah nilai yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah Kabupaten/ kota melalui instansi yang diberi kewenangan untuk
itu, dengan ketentuan apabila belum ditetapkan nilai oleh instansi
dimaksud, maka nilai perolehan obyek pajak, dengan menggunakan Nilai
Obyek Pajak pada Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB) yang
tercantum pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT PBB) pada tahun yang bersangkutan. Dasar
pertimbangan usulan perubahan tersebut, agar terjamin adanya kepastian
nilai yang dipergunakan untuk menghitung BPHTB dan dengan sendirinya
juga berapa BPHTB yang harus dibayar oleh wajib pajak. Sehingga dari
sejak awal wajib pajak dengan mudah dan dapat memastikan berapa
86
R. Murjiyanto dan Samun Ismaya Op.cit hlm.501
48
BPHTB yang harus dibayar. Dengan adanya perhitungan yang sudah pasti
tersebut, maka akan mempermudah dan memberi kepastian wajib pajak
dalam membayar BPHTB dan tidak diperlukan lagi validasi yang harus
melalui prosedur yang rumit dan memakan waktu, dan dengan sendirinya
akan mempermudah dan mempercepat proses pendaftaran tanah lebih
lanjut pada Kantor Pertanahan yang berwenang. Sesuai tujuan utama
reformasi perpajakan menurut Chaizi Nasucha, adalah untuk mencapai
efektifitas yang tinggi, yaitu kemampuan untuk membuat biaya
administrasi penerimaan pajak sekecil-kecilnya.87
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 17 Tahung 2017 Pasal 58
ayat 1 sampai 5 dijelaskan bahwa dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Nilai perolehan yang dimaksud adalah: 88
1. jual beli adalah harga transaksi
2. tukar menukar adalah nilai pasar;
3. hibah adalah nilai pasar;
4. hibah wasiat adalah nilai pasar;
5. waris adalah nilai pasar;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihn adalah nilai pasar;
8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar;
9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai
pasar;
10. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar ;
11. penggabungan usaha adalah nilai pasar ;
12. peleburan usaha adalah nilai pasar
13. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
14. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
15. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga
16. transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
87
Andrian Sutedi, Opcit hlm. 107
88
Indonesia Peraturan Daerah Kabuaten Bandung Nomor.17 Tahun 2017 tentang
perubahan kedua atas peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 1 Tahun 2011 tentang pajak
Daerah Pasal 58 ayat 1-5.
49
Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan.
Dalam hal NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) belum ditetapkan pada saat terutang Pajak, NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan dapat didasarkan pada Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan.
Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) adalah bersifat sementara.
Dalam kasus posisi yang saya pakai transasksi yang dilakukan Nyonya X
senilai 28Juta pada tahun 2009 yang pada waktu itu NJOP tanah tersebut senilai
20Juta, berarti Nilai Perolehan BPHTB yang dipakai adalah Nilai transaksi karena
lebih besar dibandingkan dengan Nilai NJOP pada tahun tersebut.
Dari berbagai aturan tersebut proses pengenaan pajak yang
menggunakan NJOP baru menurut saya bertentangan dengan Pasal 58 ayat
2 Perda kabupaten Bandung No. 17 Tahun 2017 yaitu Jika Nilai Perolehan
Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a (Perolehan
BPHTB jual beli berdasarkan transaksi) sampai dengan huruf n tidak
diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan,
dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
Bahwa berdasarkan hal tersebut NJOP yang dipakai bukanlah NJOP
terbaru melainkan sesuai dengan NJOP Tahun 2009 (pada tahun terjadinya
perolehan). Dan apa yang dimaksud dengan perolehan pada undang-
undang nomor 28 tahun 2009 pada pasal 1 angka 41 yaitu Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan, dan angka 42 Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau
Badan.
50
89
Padmo Wahjono, Undang-undang Perpajakan Beserta Penjelasan dan Peraturan
Pelaksanaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 51.
51
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau
NJOP pengganti. NJOP yang didasarkan pada Pasal 79 UU No. 28 Tahun 2009, sebagai
berikut: Dalam menetapkan NJOP diatur dalam Pasal 79 sebagaimana jangka waktu
penetapan NJOP, Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Kepala Daerah dilakukan
setiap 3 tahun sekali, kecuali objek pajak tertentu yang besarannya dapat ditetapkan setiap
tahun tergantung perkembangan wilayahnya. Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu:90
1. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode
penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek
pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah
diketahui harga jualnya.
2. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu
objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan
penyusutan berdasarkan kondisi pisik objek tersebut.
3. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa salah satu
jenis pajak kabupaten/kota adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB). Hal ini menyebabkan BPHTB yang dulunya ditangani oleh
Pemerintah Pusat yang merupakan Pajak Pusat, sekarang ditangani sendiri oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota dan merupakan Pajak Daerah. Dengan demikian,
Kantor Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memungut BPHTB
sampai dengan 31 Desember 2010, sedangkan mulai tahun 2011, DJP tidak
berwenang memungut BPHTB lagi. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 ini, maka mengakibatkan Undang- Undang BPHTB tidak berlaku
lagi yaitu 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang pajak dan retribusi daerah tersebut. 91
Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan
retribusi daerah, BPHTB menjadi Pajak Daerah, maka Kabupaten Bandung yang
90
Arum Sri Pen problematika pemungutan BPHTB terhadap harga jual tanah
di kabupaten gresik Jurnal Pro Hukum: Vol . 11, No. 2, Agustus 2022, hlm 2.
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/1549. diakses 15 Juli 2023.
91
Pasal 180 ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi daerah.
52
peningkatan pajak di wilayah tersebut namun tetap memegang prinsip dan asas-
asas dalam pengenaan pajak itu sendiri.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Apakah sah penerapan validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru
terhadap transaksi jual beli tanah dengan dasar transaksi dan NJOP
lama
Berdasarkan UU No.38 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah Pasal 87 ayat 1 sampai 3 junto Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung No.17 Tahun 2017 Pasal 58 ayat 1 sampai 3 menyebutkan bahwa
dasar pengenaan BPHTB adalah NPOP, nilai perolehan objek pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a yaitu jual beli adalah nilai
transaksi, dan Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah
daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP
Pajak Bumi dan Bangunan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa penerapan
validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi jual beli
tanah dengan dasar transaksi dan NJOP lama menjadi tidak sah karena tidak
memakai NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
pada tahun terjadinya perolehan.
53
transaksi yaitu Rp.28Juta, dikarenakan transaksi tersebut dibawah NJOPTKP
maka BPHTB menjadi nihil.
54
54
B. Saran-Saran
1. Diharapkan kepada pegawai Bapenda agar melakukan penelitian
validasi BPHTB berdasarkan aturan yang ada, khusunya pada
penentuan perhitungan pajak BPHTB berdasarkan undang-undang
nomor 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah dan Peraturan
Daerah Kabupaten Bandung nomor 17 tahun 2017 tentang pajak
daerah.
2. Diharapkan kepada pegawai Bapenda agar dapat memberikan
pengetahuan tentang pajak BPHTB dengan lebih rinci, sehingga
masyarakat awam menjadi tahu tentang bagaimana proses menetapkan
pajak BPHTB.
54
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi. Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak
Milik Atas Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas
Tanah Menurut UUPA. Bandung-Jakarta. 1983.
HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika.
2005.
56
R. O.H. Monding dan R.J. Pusung. Analisis Tingkat Akurasi Penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal Dua Kota
Manado. Jurnal EMBA, 4(4), 993. 2016. Diakses 26 April 2023
https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571.
Saleh, K.W. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1973.
Siahaan, M.P. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Raja Grafindo
Persada. 2003.
Subekti, R. Aneka Perjanjian, Cetakan ke-8. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1989.
Sutedi, Adrian. Hukum Pajak dan Retribusi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia.
2008.
A. DATA PRIBADI
B. DATA KELUARGA
1. Ayah
a. Nama : Yudi Tossin S.Pd.
b. Agama : Islam
c. Pekerjaan : Wiraswasta
d. Alamat : Kp. Margaluyu rt 06/01 Nagreg Kabupaten
Bandung
2. Ibu
a. Nama : Nathalia Puspasari
b. Agama : Islam
c. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
d. Alamat : Kp. Margaluyu rt 06/01 Nagreg Kabupateb
Bandung
C. PENDIDIKAN
1. SD : SDN NAGREG II
2. SMP : SMPN 1 CICALENGKA
3. SMA : SMAN 1 CICALENGKA
Demikian riwayat hidup ini dibuat oleh penulis dengan sebenar-benarnya dan
dapat dipertanggungjawabkan.
60