Anda di halaman 1dari 56

AKIBAT HUKUM PEMBERIAN HAK POLITIK MANTAN NARAPIDANA

SEBAGAI CALON KEPALA DAERAH

SKRIPSI

Oleh

MARINUS SONDA

2017040079

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAWERIGADING
MAKASSAR
2020
HALAMAN JUDUL

AKIBAT HUKUM PEMBERIAN HAK POLITIK MANTAN NARAPIDANA


SEBAGAI CALON KEPALA DAERAH

Diajukan sebagai salah satu syarat


Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Disusun dan diajukan oleh :

MARINUS SONDA

2017040079

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAWERIGADING
MAKASSAR
2020

i
PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Marinus Sonda

NIM : 2017040079

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : AKIBAT HUKUM PEMBERIAN

HAK POLITIK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI CALON KEPALA

DAERAH adalah BENAR merupakan hasil karya saya sendiri, bukan

merupakan pengambilalihan tulisan orang lain. Apabila dikemudian hari

terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan isi skripsi

ini hasil karya orang lain atau dikutip tanpa menyebut sumbernya, maka

saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 09 September 2022

Yang Menyatakan

Marinus Sonda

ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama Mahasiswa : Marinus Sonda

Nomor Induk : 2017040079

Fakultas : Hukum

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Proposal Skripsi : “Akibat Hukum Pemberian Hak Politik


Mantan Narapidana Sebagai Calon Kepala Daerah”

Telah diperiksa oleh pembimbing dan dinyatakan memenuhi syarat


untuk diujikan dihadapan Tim Penguji ujian Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Sawerigading Makassar.

Makassar, 09 September 2022


Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Melantik Rompegading, S.H.,M.H. Danil Pasanda , S.H.,M.H.

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sawerigading Makassar

Dr. Hj. Asmah, S.H.,M.H.


NIDN : 0918118001
iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa

melimpahkan kasih karunianya sehingga proses penyusunan skripsi yang

berjudul “Akibat Hukum Pemberian Hak Politik Mantan Narapidana

Sebagai Calon Kepala Daerah’’ ini dapat terselesaikan meskipun

pembahasan dan uraian yang sangat sederhana,

Penulis menyadari sepenuhnya, tanpa bantuan dan partisipasi dari

semua pihak, Baik berupa motifasi yang bersifat moril maupun material,

penyusunan skripsi ini tidak dapat terwujud. sederetan nama dan pihak

maupun lembaga yang sangat berjasa telah dengan iklhas memberikan

bantuan kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga proses

penyelesaian studi penulis di Perguruan Tinggi Universitas Sawerigading

Makassar (UNSA Makassar).

Karenanya itu, merupakan suatu kewajiban penulis untuk

mengucapkan terima kasih yang setinggi tingginya kepada :

1. Susanty I Mutia Syahadat S,Sos, M.Si, selaku Ketua Yayasan

Universitas Sawerigading Makassar.

2. Prof. Dr. Hj. Andi Melantik Rompegading, S.H.,M.H selaku Rektor

Universitas Sawerigading Makassar.

i
3. Ayahanda Dr. Amran Saharuddin, S.H.,M.Hum. selaku Wakil

Rektor III Bidang Kemahasiswaan Universitas Sawerigading

Makassar.

4. Dr. Hj, Asmah, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sawerigading Makassar.

5. Danil Pasanda, S.H., M.H. selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum

Universitas Sawerigading Makassar.

6. Prof. Dr. Hj. Andi Melantik Rompegading, S.H.,M.H selaku dosen

pembimbing I dan Danil Pasanda, S.H., M.H. selaku pembimbing II

7. Suluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum yang tidak bisa saya

sebutkan satu persatu

8. Support sistem terbaik saya yaitu keluarga besar saya yang selalu

memberikan dukungan dan doa terbaiknya berkat tetesan tetesan

keringat dan kerja kerasnya sehingga bisa membantu saya dalam

meyelesaikan skripsi ini dengan waktu yang tepat.

9. Kakak Masti Salo, Amd.Kep tercinta yang selalu memberikan

semangat dan supportnya selama penyelesaian skripsi ini

10. Seluruh Anggota Ikatan Duta Kampus Sulawesi Selatan yang terus

memberikan semangat tiada henti.

11. Alizha Noviana Putri, S.Pd., Lulu Marjania S.Tr.T, Fitri Ananda

selaku pengurus inti Ikatan Duta Kampus Yang telah memberikan

inspirasi untuk melanjutkan mengejar gelar dan cita-cita saya.

ii
12. Kepada Bpk Ali Rahman, S.H.,M.H yang telah memberi support

dan arahan sehingga skripsi ini bias terselesaikan.

13. Keluarga besar kerang wangir (ketemu Jarang Wacana Sering)

terutama untuk astrid, neneng, ratna yang memiliki jiwa jiwa luar

biasa dalam berjuang menuntut ilmu bersama sama dari awal

sampai akhir.

Atas segala bantuan mereka, saya selaku penulis hanya dapat

berdoa kepada Tuhan YME dapat memberikan imbalan yang setimpal

berupa pahala dan sempoga kita semua diberikan kesehatan dan

menjadikan kita cinta kepada ilmu dan dapat diamalkan kepada

masyarakat, bangsa dan Negara, Amin.

Makassar, 09 September 2022

Penulis

Marinus Sonda

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................... i

PERNYATAAN ORISIONILITAS .................................................... ii

PENGESAHAN PEMBIMBING ....................................................... iii

KATA PENGANTAR .......................................................................

ABSTRAK .......................................................................................

ABSTRACK.....................................................................................

DAFTAR ISI .................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................. 5
C. Tujuan Penulisan ............................................................... 5
D. Manfaat Penulisan ............................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Demokrasi Konstitusional................................................... 7
B. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) .......................... 10
C. Pencalonan Mantan Narapidana Sebagai
Kepala Daerah .................................................................. 16
D. Konsep Pemilihan Kepala Daerah ..................................... 22
1. Demokrasi Langsung ................................................... 22
2. Demokrasi Tidak Langsung (Demokrasi
Perwakilan) ................................................................. 23

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian.................................................................... 25
B. Pendekatan Penelitian........................................................ 25

i
C. Bahan Penelitian................................................................ 26
D. Analisis Data…………………………………………………... 27

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

42/PUU-XIII/2015 ................................................................ 28

B. Akibat Hukum Pemberian Hak Politik Mantan Narapidana Sebagai

Kepala Daerah..................................................................... 33

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................... 41

B. Saran................................................................................... 42

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum itu tertuang didalam Pasal 1

Ayat (3) UUD NRI 1945. Di dalam negara hukum, hukumlah yang

memegang peranan penting dalam penyelenggaran negara. 1

Didalam negara hukum akan terlihat ciri-cirinya, yaitu jaminan

perlindungan hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman atau

peradilan yang merdeka, dan legalitas dalam arti hukum, yaitu

bahwa baik pemerintah/ negara maupun warga negara dalam

bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.2 Ada tiga prinsip

dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan

dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum

dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process

of law).3

Disisi lain, Indonesia juga adalah negara Demokrasi,

konstitusional. Dalam sebuah negara demokrasi, pemilihan umum,

termasuk pemilihan kepala daerah (pemilukada) merupakan

sarauntuk mewujudkan kedaulatan rakyat untuk berperan aktif

dalam penyelenggaraan negara. Pemilihan umum di Indonesia

1
Jimly Asshiddiqie, 2011, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, hlm., 57
2
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2007,Panduan Pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan,
Bab, Pasal, dan Ayat, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, hlm., 46.
3
Ibid, hlm., 46-47

1
2

merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat untuk

berperan aktif dalam penyelenggaraan negara.4

Pemilihan umum di Indonesia merupakan wadah untuk

membentuk suatu pemerintahan yang demokratis melalui

mekanisme yang jujur dan adil. Pemilu adalah kensekwensi logis

dari dianutnya prinsip demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara, dimana prinsip dasar kehidupan demokratis adalah

setiap warga negara berhak ikut secara aktif dalam proses politik.

Oleh beberapa negara demokrasi, pemilu dianggap lambang dan

juga tolak ukur dari sistem demokrasi.5

Eksistensi pemilu diakui oleh negara dengan asas

kedaulatan rakyat, dan dilakukan di semua jenis tataran politik baik

sistem demokrasi, otoriter maupun totaliter. bagi beberapa negara

demokrasi, pemilu dianggap sebagai lambang dan juga tolak ukur

dari sistem demokrasi.6 Pemilihan umum adalah konsekwensi logis

dari dianutnya prinsip demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara, dimana prinsip dasar kehidupan demokratis adalah

setiap warga negara berhak ikut secara aktif dalam proses politik.7

Hak politik warga negara dalam pemilihan umum termasuk

pemilihan kepala daerah (pemilukada), yakni hak untuk memilih

4
Ahmad Zazili, “Pengakuan Negara Terhadap Hak-hak Politik (Rigth to Vote) Masyarakat
Adat Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum”, Jurnal Konstitusi, Vol .9 No. 1, 2012, h. 136.
5
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty,
Yogyakarta, 1993, h. 94.
6
Mirriam Budiardjo, Op. Cit., h. 461.
7
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty,
Yogyakarta, 1993, h. 94.
3

dan dipilih merupakan hak asasi yang dijamin dalam UUD NRI

1945. Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 huruf D ayat

(3) UUD NRI 1945 bahwa: ”setiap orang berhak memperoleh

kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Namun demikian

hak setiap orang untuk dipilih dalam Pemilu/Pemilukada dibatasi

oleh pasal 28 huruf J Ayat (2) yang menegaskan : “Dalam

menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai degan pertimbangan moral,

nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu

masyarakat demokratis.”

Pembatasan hak politik juga diatur dalam ketentuan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

Tentang pemililihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota8 Pasal 7 huruf

g bahwa: “Warga Negara Indonesia yang dapat menjadi calon

Gubernur, Calon Bupati, Calon Wali Kota adalah yang memenuhi

syarat diantaranya; (g). tidak pernah dijatuhi pidana penjara

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mem peroleh kekuatan

8
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5678, selanjutnya disingkat UU Nomor 8 Tahun 2015.
4

hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Ketentuan Pasal

7 huruf g UU Nomor 8 Tahun 2015 di atas memberikan batasan

bahwa mantan narapidana yang dihukum berdasarkan putusan

pengadilan tidak dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala

daerah.

Dari pasal diatas, dapat dilihat bahwa pembatasan hak

mantan narapidana dalam mencalonkan diri sebagai gubernur dan

wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota atau wakil walikota

agar bisa menduduki jabatan sebagai kepala daerah memang ada

pembatasan hak politik. Hal ini tentu menghilangkan dan merugikan

sebagai warga negara yang seharusnya memperoleh hak politik

untuk dipilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah atau Pemilu.

Akan tetapi Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor

No. 42/PUU-XIII/2015 memberikan hak bagi mantan narapidana

yang telah selesai menjalani hukuman untuk mencalonkan diri

sebagai calon kepala daerah, baik calon Gubernur, Bupati atau

Walikota. Yang berarti, semua mantan narapidana dapat

mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk memimpin

daerahnya masing-masing.

Tapi perlu dipertanyakan kembali. Apakah semua mantan

napi dapat mencalonkan diri? Dalam putusannya Mahkahma

Konstitusi tidak membatasi tindak pidana apa yang boleh


5

mencalonkan diri, jika dilihat diIndonesia, Indonesia telah darurat

kasus korupsi yang dilakukan oleh para kepercayaan masyarakat.

Tidak hanya dilingkungan eksekutif, legislatif atau yudikatif, bahkan

di lingkungan pemerintahan daerah pun telah banyak yang terlibat

kasus korupsi.

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis ingin

mengangkat permasalahan tersebut kedalam penulisan skripsi

dengan judul “AKIBAT HUKUM PEMBERIAN HAK POLITIK

MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI CALON KEPALA DAERAH”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti dapat

merumuskan uraian masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah analisis putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 42/PUU-XIII/2015 ?

2. Bagaimanakah akibat hukum pemberian hak politik mantan

narapidana sebagai calon kepala daerah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang penulis kemukakan,

maka penelitian ini mempunyai tujuan :

1. Untuk menegetahui analisis putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 42/PUU-XIII/2015.

2. Untuk mengetahui akibat hukum pemberian hak politik

mantan narapidana sebagai calon kepala daerah.


6

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi 2 (dua), yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

a. Melatih kemampuan penulis untuk melakukan penelitian

ilmiah sekaligus menuangkan hasilnya kedalam bentuk

tulisan.

b. Agar dapat menerapkan ilmu yang secara teoritis

diperoleh dibangku perkuliahan dan menghubungkannya

dengan kenyataan yang ada di dalam masyarakat.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan bacaam bagi mahasiswa yang tertarik

dengan masalah Akibat Hukum Pemberian Hak Politik

Mantan Narapidana Sebagai Calon Kepala Daerah.

b. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam

membuat kebijakan, masyarakat, dan pihak-pihakterkait

dalam pelaksanaan tugas masing-masing.


7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demokrasi Konstitusional

Teori demokrasi konstitusional tidak dapat lepas dari konsep

demokrasi dan nomokrasi, karena kedua konsep tersebut saling

berkonvergensi sehingga memunculkan konsep negara hukum

yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan negara

demokrasi berdasarkan hukum (constitutional democratic) atau

yang disebut sebagai negara demokrasi konstitusional

(constitutional democratcestate).9

Sistem politik demokrasi dipilih karena demokrasi

memberikan posisi penting bagi rakyat. Rakyat memliki kekuasaan

tertinggi dalam menentukan kebijakan negara melalui wakil-wakil

rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum.10

Salah satu perwujudan Negara demokrasi adalah adanya

sistem pemilu/pilkada yang memberikan hak kepada rakyat untuk

memilih dan dipilih secara demokratis. Pemilihan umum yang

dilaksanakan di Indonesia merupakan sarana untuk membentuk

pemerintahan yang demokratis melalui mekanisme yang jujur dan

adil.11 Kegiatan pemilihan umum (general election) dan atau pilkada

juga merupakan salah satu cara penyaluran hak asasi manusia

9
Bisarida dkk, “Komparasi Mekansime Penyelasaian Sengketa Pemilu di Beberapa
Negara Penganut Paham Demokrasi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 9, Nomor 3, 2012, h. 538.
10
Ibid.
11
Ahmad Zazili, Op. Cit. h. 136.

8
9

yang sangat prinsipil yaitu hak untuk memilih dan dipilih.

Sebagaimana yang dicantukan dalam Pasal 28 huruf D UUD NRI

1945 “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang

sama dalam pemerintahan”. Ini artinya Negara menjamin setiap

warga negaranya untuk mendapatkan hak untuk duduk dalam

pemerintahan baik sebagai Bupati, Walikota, gubernur atau

Presiden.

Tujuan pemilihan umum adalah untuk menerapkan prinsip-

prinsip demokrasi dengan cara memilih wakil rakyat di badan

legislative atau memilih kepala daerah di bidang eksekutif.

Pelaksanaan demokrasi melalui pemilu dan pemilukada diharapkan

berlangsung secara sehat jujur, adil dan demokratis sesiai dengan

semangat perundang-undangan yang telah ditetapkan.12

Standar acuan untuk mewujudkan pemilu yang benar-benar

demokratis, yaitu dalam pelaksanaan pemilu:

a. Harus memberikan kesempatan kepada semua partai

politik untuk bersaing secara bebas, jujur, dan adil.

b. Benar dimaksudkan untuk memilih wakil rakyat yang

berkualitas, berintergritas moral dan mencerminkan

kehendak rakyat.

c. Harus melibatkan semua warga Negara tanpa terkecuali,

sehingga rakyat benar-benar mempunyai kepercayaan

12
Ibid., h. 137
10

bahwa dirinya merupakan perwujudan dari kedaulatan

rakyat.

d. Dilaksanakan berdasarkan peraturan yang mendukung

kebebasan dan kejujuran, sehingga dengan adanya

undang-undang yang memberi kesempatan kebebasan

pada warga Negara, peluang kearah pemilu yang

demokratis dapat dicapai.

e. Mempertimbangkan instrumen penyelenggaranya,

karena sangat mungkin kepentingan-kepentingan

penyelenggara akan mengganggu kemurnian pemilu.

f. Pada persoalan yang lebih filosofis, pemilu hendaknya

lebih ditekankan pada manifestasi hak masyarakat untuk

menciptakan partisipasi masyarakat dalam

pemerintahan.13

Sebagai bagian dari sistem pemilu, Pemilihan kepala daerah

(pemilukada) merupakan aktualisasi demokrasi di daerah. Dalam

perpektif filosofis, munculnya ide tentang pilkada secara langsung

pada dasarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk

memperbaiki kualitas demokrasi di daerah. Pemilihan kepala

daerah secara langsung diharapkan dapat melahirkan pemimpin

yang mampu dan didukung oleh rakyat. Pilkada secara langsung

13
Bisarida dkk, Op. Cit. h. 537.
11

juga diharapkan dapat menjadi alat pergantian politik, dimana

orang terbaik di daerah bisa menjadi pemimpin.14

B. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

Doktrin mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) saat ini sudah

diterima secara universal sebagai a moral, political, and legal frame

work dalam membangun dunia yang lebih damai, bebas dari

ketakutan, penindasan dan perlakuan tidak adil. Oleh karena itu

jaminan dan perlindungan HAM dianggap sebagai ciri yang harus

ada pada setiap negara hukum (rechstaat).15Jaminan atas HAM

juga harus tercantum dalam undang-undang dasar atau konstitusi

tertulis suatu negara, dan dianggap sebagai poin terpenting yang

harus ada dalam sebuah konstitusi.16 Hak asasi manusia

merupakan hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak

lahir.17 Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan Hak Asasi

Manusia adalah hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan

manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

14
Suharizal, “Penguatan Demokrasi Lokal Melalui Penghapusan Jabatan Wakil Kepala
Daerah”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, 2010, h. 95.
15
Ciri-ciri negara hukum (rechsstaat) adalah sebagai berikut adanya Undang-Undang
Dasar atau Kontstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara
penguasa dan rakyat; adanya pembagian kekuasaan; dan adanya pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hakasasi manusia. Lihat Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara
Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011, h.74.
16
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2011,
h. 343.
17
Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2011, h. 167.
12

anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 18

Dengan kata lain, hal asasi merupakan hak yang melekat pada diri

manusia, bersifat kodrati dan fundamental, yang harus dilindungi

dan dihormati oleh setiap individu, masyarakat maupun negara.

Hakikat perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah menjaga

keselamatan eksistensi manusia secara utuh sebagai manusia

yang luhur (human dignity). Namun demikian, karena adanya

keanekaragaman karakteristik masyarakat, ideologi maupun

agama, akan ditemukan adanya perbedaan antara satu sama lain.

Satya Arinanto membagi generasi Hak Asasi Manusia ke dalam

empat generasi, yaitu: Generasi Pertama, ialah yang tergolong

dalam hak-hak sipil dan politik terutama yang berasal dari teori-teori

hukum reformis yang dikemukakan pada abad ke-17 dan ke-18,

yang berkaitan dengan revolusi Inggris, Amerika dan Perancis.

Dipengaruhi filsafat politik individualisme liberal dan doktrin soal

ekonomi laissez-faire, generasi pertama ini meletakkan posisi HAM

lebih pada terminologi yang negatif (bebas dari), dari pada

terminologi yang positif (hak dari). Generasi kedua, ialah yang

tergolong dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, yang berakar

secara utama pada tradisi sosialis yang membayang-bayangi di

18
Lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
13

antara sain-simonian pada awal abad ke-19 di Perancis dan secara

beragam diperkenalkan melalui perjuangan revolosioner dan

gerakan-gerakan kesejahteraan setelah itu. Generasi ketiga, ialah

mencakup hak-hak solidaritas (solidarity rights) merupakan

rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya, ia dapat

dipahami dengan cara terbaik sebagai suatu produk sekalipun

sebagian masih dalam proses pembentukan dari kebangkitan dan

kejatuhan negara bangsa dalam paruh kedua dari abad Rights.

Generasi keempat, ialah berlandaskan pada pemikiran bahwa

persoalan HAM tidak cukup hanya dipahami dalam konteks

hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi juga yang

bersifat horizontal, yaitu hubungan antar kelompok masyarakat,

antar golongan rakyat, bahkan antar satu kelompok masyarakat di

suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain.19

Indonesia sebagai negara hukum (rechsstaat), tentunya mengakui

akan keberadaan hak asasi manusia. Ini bisa dilihat dalam Undang-

Undang Dasar Tahun 1945, dan beberapa undang-undang lain,

yang merupakan ratifikasi perjanjjian internasional misalnya

Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

memuat pengakuan yang cukup luas terhadap hak asasi manusia.

Undang-undang tersebut menjamin hak-hak sipil dan politik, hak-

hak ekonomi, sosial dan budaya, sampai hak-hak kelompok seperti


19
Mexsasai Indra, Op. Cit., h. 170-171.
14

anak, perempuan dan masyarakat adat (indegenous people).

Undang-undang No. 39 th. 1999 secara jelas mengakui paham

natural rights yaitu melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati

yang melekat pada diri setiap manusia. Tidak hanya itu,

kategorisasi hak-hak di dalamnya merujuk pada dokumen

internasional mengani HAM, seperti UniversalDeclaration of Human

Rights, International Convenan on Civil and Political

Rights, International Convenan on Economic, Social and Cultural

Rights,International Convention on the Rights of Child, dan

sebagainya. Ketentuan hak asasi manusia yang terdapat dalam

Undang-Undang Dasar 1945 apabila digabung dengan Undang-

undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia, maka

dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok.

Kelompok pertama, yaitu kelompok yang menyangkut hak-

hak sipil antara lain:

1. Hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupanya;

2. Hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau

penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan

merendahkan martabat kemanusiaan;

3. Hak untuk bebas dari segala perbudakan.

Kelompok kedua, adalah hak-hak politik, ekonomi, sosial,

dan budaya antara lain:


15

1. Hak untuk berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat

secara dama baik dengan lisan maupun dengan tulisan.

2. Hak untuk memilih dan dipilih dalam lembaga perwakilan

rakyat.

3. Hak untuk diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.

4. Hak untuk memiliki hak milik pribadi.

Kelompok ketiga, adalah kelompok hak-hak khusus dan hak

atas pembangunan antara lain:

1. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapat

kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;

2. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan karena

fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;

3. Hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.20

Kelompok keempat, adalah kelompok yang mengatur

mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia

antara lain:

1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang

lain dalam tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan

bernegara;

2. Setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan

oleh undangundang dengan maksud semata-mata untuk


20
Jimly Assidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Bandung, 2012,
h. 364.
16

menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan

keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan

kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum;

3. Negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;

4. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia dibentuk

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat

independen.

Dari keempat kelompok hak asasi manusia tersebut terdapat

hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun atau nonderorablerights, yaitu: Hak untuk hidup, Hak untuk

tidak disiksa, Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, Hak

beragama, Hak untuk tidak diperbudak, Hak untuk diakui sebagai

pribadi di hadapan hukum, dan Hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut.21

C. Pencalonan Mantan Narapidana Korupsi Sebagai Kepala

Daerah

Pada Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa

kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

21
Dalam penelitian hukum normatif dapat digunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan kasus (case
approach),dan pendekatan perbandngan (comparative approach). Lihat Petter Mahmud
Marzuki, PenelitianHukum, Kencana, Jakarta, 2005, h. 96. Lihat pula Johny Ibrahim,
Teori & Metode PenelitianHukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2011, h. 299-321.
17

ketentuan UUD. Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan

bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan

rumusan pasal tersebut jelas bahwa negara Indonesia wajib

menjamin terlaksananya sebuah pemilihan umum yang bebas

tanpa terkecuali, sebagai bukti bahwa Indonesia merupakan negara

hukum. Pada konteks ini pemilihan kepala daerah dan pemilihan

umum berada pada dimensi hukum sebagai wujud hak asasi

manusia.22 Adanya prinsip persamaan di muka hukum harus

diartikan ketidakberpihakan terhadap setiap warga masyarakat di

mata hukum sehingga dapat dituntut dengan derajat yang sama

tanpa membedabedakannya dalam hal apapun, termasuk dalam

penyelenggaraan pemilihan umum.

Pemilihan umum tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan

pemerintah akan keabsahan kekuasaannya tetapi juga sebagai

sarana rakyat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Legalitas mantan narapidana

sebagai kandidat yang akan turut serta dalam pemilihan kepala

daerah dan pemilihan umum sangat sensitif untuk dibicarakan.

Iktikad baik lembaga penyelenggara pemilu dalam menghasilkan

calon terbaik dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum

harus didukung. Iktikad baik tersebut harus memperhatikan sumber

hukum yang berlaku demi tujuan hukum yakni keadilan,

22
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, Edisi Revisi, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro,Semarang, 2015, H.1
18

kemanfaatan dan kepastian hukum. Untuk itu sangat perlu

membahas legalitas mantan narapidana sebagai kandidat dalam

pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum. Legalitas

narapidana sebagai kandidat tidak terlepas dari putusan

Mahkamah Konstitusi yang dalam beberapa putusannya bersifat

konstitusional bersyarat terhadap kandidat yang pernah dinyatakan

bersalah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum

tetap.

Dalam Pasal 7 Undang-Undang nomor 8 tahun 2015,

sebagaimana dirubah terakhir kali melalui Undang-Undang nomor

10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti-Undang nomor 1 tahun 2014 Pemilihan Gubernur,

Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang, disebutkan bahwa

setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama

untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Calon Gubernur

dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati,

serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.

Rumusan tersebut pada dasarnya memberikan hak kepada

setiap warga negara Indonesia untuk dapat mencalonkan dirinya

sebagai kepala daerah. Akan tetapi, untuk melaksanakan hak

tersebut, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi,

yaitu:
19

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan

Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat

atas atau sederajat;

d. telah dihapus oleh undang-undang.

e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk

Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25

(dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon

Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil

Walikota;

f. mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari

penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil

pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim;

g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka

dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang

bersangkutan mantan terpidana;


20

h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap;

i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang

dibuktikan dengan surat keterangan catatan

kepolisian;

j. menyerahkan daftar kekayaan pribadi;

k. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara

perseorangan dan/atau secara badan hukum yang

menjadi tanggung jawabnya yang merugikan

keuangan negara;

l. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap;

m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki

laporan pajak pribadi;

n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil

Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil

Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam

jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon

Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati,

Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota;


21

o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk

calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk

Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah

yang sama;

p. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil

Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil

Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak

ditetapkan sebagai calon;

q. tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat

Bupati, dan penjabat Walikota;

r. telah dihapus oleh undang-undang.

s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan

Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan

calon peserta Pemilihan;

t. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai

anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian

Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil

serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan

sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; dan


22

u. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara

atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan

sebagai calon.

Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang nomor 8

tahun 2015, sebagaimana dirubah terakhir kali melalui Undang-

Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti-Undang nomor 1 tahun 2014 Pemilihan

Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang,

mensyaratkan orang yang berhak mencalonkan diri sebagai kepala

daerah adalah orang yang tidak pernah sebagai terpidana.

Sehingga berdasarkan rumusan pasal tersebut, dapat diartikan

apabila seseorang telah pernah dijatuhi hukuman pidana

berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap, maka orang tersebut tidak dapat lagi mencalonkan diri

sebagai kepala daerah.

Akan tetapi, dalam perkembangannya Pasal 7 ayat (2) huruf

g UndangUndang nomor 8 tahun 2015, sebagaimana dirubah

terakhir kali melalui UndangUndang nomor 10 tahun 2016 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 1 tahun 2015

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti-Undang

nomor 1 tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

Menjadi UndangUndang, telah diajukan Judicial Review ke


23

Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi

berdasarkan Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan

dalam amar putusannya bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g tersebut

tidak berkekuatan hukum tetap sehingga mantan narapidana tetap

mempunyai hak untuk dapat mencalonkan dirinya sebagai kepala

daerah.

D. Konsep Pemilihan Kepala Daerah

1. Demokrasi Langsung

Demokrasi langsung adalah sistem demokrasi yang semua

warga biasanya aktif terlibat di dalam pembuatan keputusan-

keputusan atau kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh

negara; mereka tidak mewakilkan pandangan, pikiran, atau

kepentingan mereka pada orang lain yang mengatasnamakan

mereka. Demokrasi langsung adalah yang lebihtua atau lebih

dikenal sebagai demokrasi masa Yunani kuno atau demokrasi

Athena. Demokrasi model ini biasanya dilaksanakan dalam

sebuah negara yang kecil dan dengan penduduk yang

jumlahnya kecil.

M. Solly Lubis, mengemukakan bahwa demokrasi langsung

atau demokrasi partisipatif adalah suatu sistem di mana

pengambilan keputusan tentang permasalahan umum

melibatkan warga Negara langsung. Ini adalah tipe demokrasi

“asli” yang berada di Athena kuno, di antara tempat-tempat lain.


24

Menurut Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 23 Dalam

demokrasi langsung, hak politik yang utama adalah warga

Negara berpartisipasi dalam pembuatan hukum atau pemilu.

2. Demokrasi Tidak Langsung (Demokrasi Perwakilan)

Demokrasi tidak langsung (sering disebut ‘demokrasi

perwakilan’) bersifat lebih umum dan diberlakukan oleh banyak

negara modern saat ini. Jumlah penduduk yang besar dan

wilayah negara yang sangat luas menyebabkan lebih dipilihnya

model demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan ini.

Dalam model ini warga akan memilih wakil-wakil atau pejabat-

pejabat yang akan membuat keputusan atau kebijakan politik,

merumuskan undang-undang dan menjalankan program untuk

kepentingan umum atas nama mereka. Warga mewakilkan

kepentingan, aspirasi, pikiran, atau pandangan mereka pada

para anggota dewan, pemimpin atau pejabat yang mereka pilih

melalui Pemilu. Dengan demikian kewenangan yang dimiliki

oleh penguasa atau pemerintah baik untuk membuat keputusan

atau kebijakan pemerintah dan untuk melaksanakannya

diperoleh berdasarkan persetujuan warganya yang diberikan

melalui Pemilu.

anggota dewan, pemimpin atau pejabat yang mereka pilih

melalui Pemilu. Dengan demikian kewenangan yang dimiliki


23
Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, cetakan
pertama, Sekretariat Jendral dan Kapanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006,
hlm. 77
25

oleh penguasa atau pemerintah baik untuk membuat keputusan

atau kebijakan pemerintah dan untuk melaksanakannya

diperoleh berdasarkan persetujuan warganya yang diberikan

melalui Pemilu.24

24
Ibid. hlm. 78
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang

menggunakan metode penelitian kepustakaan. tipe penelitian ini

bersifat deskriptif yang memapaparkan seputar kewenangan

Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar tahun 19945 pasca amandemen sesuai

kewenangannya yang diberikan oleh Undang-Undang No 24 tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

B. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, terdapat 5 (lima) pendekatan yang dapat

digunakan dalam penelitian hukum, yakni :25

a. Pendekatan kasus (case approach);

b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach);

c. Pendekatan historis (historical approach);

d. Pendekatan perbandingan (comparative approach);

e. Pendekatan konseptual (conceptual approach).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan

perundangan-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara

25
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011),
hlm. 93

26
27

menganalisa aturan dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum

tersebut

C. Bahan Penelitian

Untuk mendapatkan bahan penelitian tersebut, maka penelitian ini akan

dilakukan dengan studi pustaka yang mengkaji bahan hukum. Bahan

hukum sebagai bahan penelitian diambil dari bahan kepustakaan yang

berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier.

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat

yang terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945 amandemen, ketetapan MPR, undang-

undang tentang Mahkamah Konstitusi dan peraturan lainnya yang

terkait dengan keberadaan fungsi Mahkamah Konstitusi dalam

penelitian ini.

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan

mengenai bahan hukum primer yang sifatnya tidak terikat.

Misalnya buku-buku, pendapat ahli hukum, hasil-hasil penelitian

seperti jurnal, maupun makalah-makalah dalam seminar dan

artikel yang diperoleh dari internet yang berkaitan dengan

penelitian ini. mengingat spesifik penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif, maka dokumen yang ditekankan untuk dikaji dan

dicari lebih dalam adalah bahan hukum perundang-undangan


28

maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi

yang telah dikeluarkan, terutama mengenai konstitusionalitas

bersyarat. selain dari buku-buku, jurnal, artikel-artikel,

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penejelasan terhadap bahan hukum primer

yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. seperti kamus,

ensiklopedia, dan lain sebagainya yang relevan dengan

penelitian ini.

D. Analisis Bahan

Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian ini disusun dan dianalisis

kualitatif, kemudian selanjutnya data tersebut diuraikan secara deskriptif

guna memperoleh gambaran yang da0pat dipahami secara jelas dan

terarah untuk menjawab permasalahan yang diteliti.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015

Putusan Mahkamah Konstitusi No.42/PUU-XIII/2015, disebabkan

atas permohonan yang diajukan oleh Jumanto yang akan

mencalonkan diri sebagai kepala daerah di kabupaten Probolinggo

yang gagal karena terganjal kasus pidana korupsi. Dan fathor Rayid

yang akan mencalonkan diri sebagai bupati di Kabupaten Situbondo

yang terjerat kasus korupsi dengan pidana penjara 4 tahun dengan

denda 100.000.000 (serratus juta rupiah). Dengan adanya ketentuan

pasal 7 huruf g dan pasal 45 ayat 2 huruf K UU No. 8 tahun 2015

tentang Pemda, telah berlaku tidak adil padanya. Padahal secara

potensialtelah jelas dan nyata dijamin oleh UUD 1945 yaitu dalam

pasal 27 ayat (1), pasal 28C ayat (2), pasal 28D ayat (1) dan (3).

Dalam putusannya, Mahkamah Kontitusi memutuskan bahwa hanya

terpidana dengan vonis lima tahun penjara atau lebih, serta terpidana

dengan tindak pidana tertentu yang tidak bisa menjadi Kepala Daerah.

Adapun tindak pidana tersebut yang dimaksud adalah Delik Korupsi,

terorisme, delik terhadap keaman negara, serta delik lain yang dapat

memecah belah negara.

Mahkamah konstitusi dalam memutuskan perkara No. 42/PUU-

XIII/2015 dilakukan dengan sangat hati-hati dan melalui proses yang

panjang. Keputusan yang pada akhirnya dijatuhkan oleh Mahkamah

29
30

Konstitusi yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 yaitu :


26

1. Pasal 1 ayat (2), “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-undang Dasar”

2. Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah negara hokum”

3. Pasal 27 ayat (1), “Segala warga negara bersama

kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tidak

kecualinya”

4. Pasal 28C ayat (2), “setiap orang berhak untuk memajukan

didirnya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

memvbangun masyarakat, bangsa dan negaranya”

5. Pasal 28D ayat (1), “setiap warga negara berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hokum yang

adil sereta perlakukan yang sama dihadapan hokum”.

6. Pasal 28D ayat (3), “setiap warga negara berhak memperoleh

kesempatakan yang sama dalam pemerintahan.”

7. Pasal 28J ayat (2),”dalam menjalankan hak dan kebebasannya,

setiap orang wajib untuk tunduk kepada pembatasan yang

ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata

untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memnuhi tuntutan yang adil

26
Putusan Mahkamah Konstitusi No.42/PUU-XIII/2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.
31

sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keaman,

dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

8. Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan yang mendasarkan hokum diatas, mahkamah

konstitusi menyatakan bahwa penjelasan hokum yang berbunyi :

“Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap karena

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5

tahun atau lebih”. Yang terdapat pada pasal 7 huruf g dan pasal 45

ayat (2) huruf k UU No. 8/2015 tentang PEMDA bertentangan

dengan UUD 1945. Dan tidak mempunyai kekuatan hokum yang

mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat.

Berdasarkan penjelasan pasal-pasal diatas secara seksama

memang benar dalam Undang-Undang pemilu legislative dan

Undang-Undang PEMDA bertentangan dengan UUD 1945. Dengan

melarang seorang mantan narapidana menjadi pejabat berarti

sama halnya dengan membatasi hak asasi manusia seseorang

dalam konteks memilih dan dipilih dalam pemilu.

Dengan demikan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah

Konstitusi telah sesuai. Sebab putusan mahkamah konstitusi yeng

memperbolehkan mantan naripidana untuk menduduki jabatan

public dengan syarat-syarat tidak melakukan tibdak pidana


32

berulang-ulang. Sehingga dengan syarat tersebut dapat

menghilangkan kekhawatiran masyarakat terhadap manatan

narapidana.

Atas berdasarkan pertimbangan yang didasrkan pada dalil-dalil

pemohon, alat bukti surat, serta keterangan ahli yang diajukan

keterangan pemerintah dan pihak terkait. Akhirnya Mahkamah

Kontitusi memutuskan bahwa pasal a quo bertentangan dengan

UUD secara bersyarat. Bila seorang yang telah menjalani penjara

atau pemasyarakatan masih tidak dapat disamakan dengan orang

yang belum pernanh dipenjara, maka itu merupakan pengakuan

sistem pemasyarakatan Indonesia yang gagal. Artinya proses

pemasyarakatan selama ini dilakukan oleh negara tidak berhasil

mengembalikan kedudukan mantan narapidana sebagai anggota

masyrakat yang normal. Pada akhirnya putusan Mahkamah

Konstitusi yang memperbolehkan mantan narapidana untuk

menduduki jabatan public kepala daerah, baik bupati, wali kota,

maupun gubernur dengan syarat-syarata tertentu telah sesuai

dengan apa yang diperintahkan.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.42/PUU-XIII/2015

tentang memperbolehkan mantan narapidana untuk mencalonkan

diri sebagai anggota legislative, DPD dan Kepala Daerah ternyata

tidak begitu saja bisa diterimah oleh masyarakat. Sebab mereka

menganggap bahwa seorang mantan narapidana adalah seorang


33

yang dicatat moral dan identic dengan berbuat yang tidak baik. Jadi

masyarakat memberikan cap atau label yang kurang baik

terhadapnya.27 Banyak masyrakat yang berargumentasi bahwa

untuk menjdai pegawai saja diperlukan surat keterangan

berkelakuan baik dari kepolisian, apalagi untuk menduduki sebagai

jabatan pemerintahan. Apa jadinya jika sebuah pemerintahan

dipegang oleh orang-orang yang tidak mempunyai moral yang baik,

pasti akan sering berbuat hal-hal yang merugikan rakyat.

Argumentasi tersebeut hanya melihat dari segi negatifnya tanpa

mau melihat dari segi positifnya sari seorang manta narapidana.

Berdasarkan analisis diatas, putusan mahkamah konstitusi

No.42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan mantan narapidana boleh

mencalonkan sebagai anggota legislatif, DPD dan kepala daerah,

asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu. Putusan mahkamah

konstitusi tersebut terkait tentang permhonan pengujian terhadap

pasal 12 huruf g pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 1

tahun 2008 tentang pemilu legislatif dan pasal 58 huruf f Undang-

Undang No. 12 tahun 2008 tentang PEMDA, yang merupakan

norma hokum inkonstitusional bersyarat. Mahakamah konstitusi

memperbolehkan mantan narapidana untuk mencalonkan senbagai

anggota legislatif, DPD dan kepala daerah dengan syarat tertentu,

dengan dasar pertimbangan bahwah mahkamah konstitusi


27
Putusan Mahkamah Konstitusi No.42/PUU-XIII/2015 tentang memperbolehkan mantan
narapidana.
34

mempunyai wewenang untuk menguji pasal-pasal tersebut,

pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dan pada

pokok dalil-dalil permohonan pemohon.

B. Akibat Hukum Pemberian Hak Politik Mantan Narapidana Sebagai

Calon Kepala Daerah

Mahkamah konstutisi sebgai negative legislator mempunyai

kewenangan untuk membatalkan atau menghapus suatu aturan,

sehingga putusan MK mempunyai akibat hokum dan mempengaruhi

aturan hokum yang berlaku maupun yang tidak berlaku. Selain itu,

putusan MK tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang dikenai

perkara tetapi juga berlaku untuk seluruh warga negara yang tunduk

dalam konstitusi. Hal ini karena sifat norma Undang-undang yang

diujikan bersifat umum, sehingga sejak putusan tersebut dikeluarkan

maka putusan tersebut bersifat mengikat kepada seluruh warga

negara Indonesia.28

Norma yang diatur dalam pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun

2015 sebelum Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli 2015

bertujuan untuk memimpin dengan rekam jejak yang baik, yaitu

mempunyai integritas yang memadai, jujur, berwibawa, dan

mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.29 Sedangkan, putusan

MK No. 42/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa pasal 7 huruf g UU No.


28
Mohammad Aldy Firdaus, “Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Mantan
Narapidana yang menjadi Calon Kepala Daerah” Jurnal Novum, Vol. 1 No. 2, 2016, h. 9.
29
Achmadudin Rajab, “Tinjauan Hukum Eksistensi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
Setelah 25 Kali Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi pada Tahun 2015”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Vol. 46 No. 03, 2016, h. 355.
35

8 tahun 2015 bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hokum mengikat secara bersyarat sejauh tidak dimaknai dikecualikan

bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan dengan jujur

mengemukakan kepada public bahwa yang berssangkutan adalah

mantan narapidana. Selain itu, p[asal 45 ayat (2) huruf k UU No. 8

Tahun 2015 tentang perubahan atas UU No. 1 tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

menjadi Undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945

dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.30

Undang-Undang Dasar terkait pasal 7 huruf g dan pasal 45

ayat (2) huruf k Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas

Undang-Undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan

pemerintah junto Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 tentang

pemilihan gubernur, bupati dan walikota adalah kedua pasal 7 huruf g

dan pasal 45 ayat (2) huruf k tersebut telah menghukum dan

membatasi hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai calon

kepala daerah abgi mantan narapidana yang mendapatkan hukuman

5 tahun atau lebih. Padahal suatu norma yang terdapat didalam

Undang-Undang tidak dapat berlaku langsung memutus hak

seseorang begitu saja. Namun norma tersebut hanya dapat berlaku


30
Lihat Jurnal Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 Mengenai Hak Mantan
Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada Dan Implikasinya Bagi Pengisian Jabatan-
Jabatan Publik Lainnya.
36

dan dijalankan melalui putusan pengadilan atau seseoramg hanya

bisa dihukum dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hokum

tetap. 31

Wujud implikasi hokum juga terjadi dengan adanya

perubahan terhadap UU Nomor 8 Tahun 2015 menjadi Undang-

Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilukada khususnya pasal 7

huruf g yang sebelumnya berbunyi : tidak pernah dijatuhi pidana

penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, mengalami

perubahan ketentuan hukum yang berbunyi: tidak pernah sebagai

terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara

terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang

bersangkutan adalah mantan terpidana. 32

Putusan MK Nomor 42 Tahun 2015 mengabulkan

permohonan agar Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan Undang

Undang Dasar 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai

dikecualikan bagi mantan terpindana yang secara terbuka dan jujur

mengemukakan kepada publik bahawa yang bersangkutan mantan

31
Lihat Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi.
32
Undang-Undang Pemilukada Nomor 10 Tahun 2016 sebagaimana hasil perubahan dari Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang Pasal 7 huruf g.
37

terpidana.33 Namun dialam implementasinya putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 42 Tahun 2015 tersebut perbedaan tafsir terhadap

istilah terpidana dan mantan narapidana dikarenakan dalam

pertimbangan pengambilan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi

tersebut banyak meninjau putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu

Nomor 4/PUU-VII/2009, yang dimana memberi ruang kepada mantan

narapidana untuk proses adaptasi dengan masyarakat sekurang-

kurangnya 5 tahun setelah narapidana menjalani masa hukumannya.

Waktu 5 tahun tersebut adalah waktu yang wajar sebgai pembuktian

dari mantan narapidana tersebut telah berkelakuan baik dan tidak

mengulang perbuatan pidana sebagaimana tujuan dari

pemasyarakatan yang diatur dalam UU Pemasyarakatn. Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian dari Muzayanah dengan judul

peneitian kajian yuridis terhadap hak politik mantan narapidana untuk

mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah yang menyatakan

bahwa “masa 5 (lima) tahun merupakan rentang waktu yang ditentukan

berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi agar mantan narapidana

mampu beradaptasi dengan hidup bermasyarakat dan kembali menjalani

kehidupan yang baik dan berperilaku bermasyarakat, berbangsa dan

berbegara, sehingga dapat diterima masyarakat untuk dapat kembali

diterima dan dipilih apabila mampu menunjukkan sikap dan perilaku yang

baik walaupun pernah menjadi mantan narapidana”.34

33
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42 Tahun 2015. h. 74.
34
Muzayanah, kajian yuridis terhadap hak politik mantan narapidana untuk mencalonkan
diri pada pemilihan kepala daerah, Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan
Ganesha, Semarang, Vol. 6 No. 2, Agustus 2020, h. 531
38

Seseorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari

penjara atau lembaga pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang

yang telah menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji

untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Dengan demikian,

seseorang mantan narapidana yanng sudah bertaubat tersebut tidak

tepat jika diberikan hukuman lagi oleh undang-undang seperti yang

ditentukan dalam Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2015. Akan tetapi apabila putusan pengadilan menyatakan bahwa

seseorang itu dihukum dengan pencabutan hak politiknya, maka

dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Kemudian perlu diketahui juga penegakan Hak Asasi

Manusia, khususnya hak politik bagi mantan narapidana, bukan

semata-mata kepentingan manusia sendiri, dalam arti sempit, yang

lebih penting dari itu adalah diakuinya dan dihormatinya human dignty

martabat kemanusiaan setiap manusia, tanpa membedakan strata

sosial, status sosial, status politik, status hukum, etnik, agama,

keyakinan politik, budaya, ras, golongan dan sejenisnya.35

Sehingga setiap warga negara yang telah menjalani masa

hukuman (pidana penjara) berdasarkan putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap sama artinya dengan warga negara

lainnya yang dilahirkan dalam keadaan bersih, bebas, berharkat, dan

bermartabat serta sederajat dimata hukum.

35
Akhmad Nikhrawi Hamdi, Hak Eks Narapidana Menjadi Anggota Legislatif, Fisip,
Jurnal as-Siyasah Universitas Islam Kalimantan MAB, Banjarmasin, vol. 1 No. 1. 2016, h. 31
39

Dalam perspektif Negara hukum demokratis, maka akibat

hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu

kewajiban hukum karena berkaitan dengan pemenuhan hak-hak

konstitusional warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-

Undang Negara Republik Indonesia 1945 sebagai hukum tertinggi

Negara Indonesia.

penelitian ini ditulis secara spesifik untuk menjawab

pertanyaan besar yakni berhakkah seorang mantan narapidana

mendapatkan kehormatan untuk menjadi pemimpin di daerahnya.

Seorang kepala daerah, layaknya pejabat public yang lain berfungsi

sebagai teladan untuk masyarakat. Sosok seorang pemimpin tentunya

matang secara intelektual maupun moral. Secara intelektualitas,

masyarakat tentunya menginginkan daerahnya dipimpin oleh orang-

orang yang cerdas dalam berfikir dan bertindak. Hal ini penting,

karena seorang pemimpin harus mencarikan solusi kongkrit dan

terbaik bagi persoalan-persoalan yang menjadi kepentingan orang

banyak yang ia pimpin.

Begitupun secara moral dari aspek nilai dan etika tentunya

tentunya tidak seorangpun yang mau menyerahkan kekuasaan dan

nasib kehidupannya kepada orang yang bermasalah secara moral.

Menyerahkan kepentingan publik kepada orang yang bias dibilang

bermental “jahat”, kriminal dan tercela tentu akan membawa banyak

kerusakan dan kerugian bagi masyarakat. Secara moral, masyarkat


40

tentunya menginginkan para pemimpinnya sebagai teladan terdepan

dalam kehidupan sehari-hari. Hal inipun sangat penting mengingat

kekuasaan sangat dekat dengan penyalahgunaan. Tanpa kekuasaan,

kecenderungan seseorang untuk menjadi abuse tentu semakin besar.

Konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya

kepada para pemohon akan tetapi kepada warga Negara secara

keseluruhan yang tunduk terhadap konstitusi. Hal ini disebabkan

karena norma undang-undang yang dimohonkan untuk diuji adalah

norma yang berisfat umum. Untuk itu putusan MK telah mengikat

kepada seluruh rakyat Indonesia sejak putusan tersebut ditetapkan.

Sebagai negative legislator, setiap putusan Mahkamah

konstitusi berpengaruh terhadap apa yang menjadi hokum serta apa

yang tidak menjadi huku. Dalam konteks penelitian ini, putusan MK

nomor 42/PUU-XIII/2015 memiliki implikasi yuridis terhadap hak

mantan narapidana dalam menduduki jabatan kepala daerah.

Menurut Janedjri M. Gaffar,36 jabatan public atau jabatan

politik yang pengangkatannya baik melalui pemilihan langsung oleh

rakyat (yang selanjutnya disebut sebagai elected official) maupun

melalui cara lain, menuntut syarat kepercayaan masyarakat karena

jabatan public adlah jabatan kepercayaan. Setiap calon pejabat public

harus memenuhi semua syarat tertentu sehingga memperoleh pejabat

yang bersih, berwibawa, jujur dan mempunyai integritas moral yang

36
Janedjri M. Gaffar, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Konstitusi Press, 2013, hlm. 166
41

tinggi. Persyaratan tersebut, kecuali ditentukan sendiri didalam

Undang Undang dasar NRI Tahun 1945 adalah kewenangan

pembentuk undang-undang untuk menentukan sesuai dengan

kebutuhan yang menjadi tuntutan bagi jabatn public yang

bersangkutan serta dengan memperlihatkan ketentuan dari Pasal 28J

ayat (2) UUD NRI 1945.

Lebih lanjut lagi menurut Janedjri M. Gaffar,37 pencalonan

seseorang untuk dapat mengisi suatu jabatan public dengan tanpa

membeda-bedakan orang sebagaimana dimaksud oleh pasal 27 ayat

(1) UUD NRI 19445 bukan berarti bahwa Negara tidak boleh mengatur

atau memnetukan persyaratan, sepanjang pengaturan dan/atau

persyaratan merupakan tuntutan objektif yang dibutuhkan oleh suatu

jabatan atau aktivitas pemerintahan tertentu dan sepanjang

pengaturan tidak bersifat diskriminatif dalam penegrtian membeda-

bedakan orang atas dasar agama, ras, suku, bahasa, jenis kelamin,

keyakinan politik atau status sosial tertentu lainnya. Persyaratan

tersebut adalah sebagai mekanisme yang wajar dan memungkinkan

pemilihan berlangsung secara cermat dan menghasilkan pemilihan

yang terpercaya.

37
Janedjri M. Gaffar, Ibid, hlm. 167
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Analisis putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 tentang UU No.8

Tahun 2015 tentang Pengujian Undang-undang No.8 Tahun

2015 tentang perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang

penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota menjadi Undang-undang atas berlakunya Pasal 7

huruf g dan pasal 45 ayat (2) huruf k UU No.8 Tahun 2015

mengenai syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hokum tetap karena melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih untuk

mencalonkan diri dalam pemilihan umum keoala daerah.

Dalam putusannya, hakim konstitusi mengeluarkan putusa

conditionally unconstitutional, artinya pasal 7 huruf g UU Nomor

8 Thn 2015 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak

dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara

terbuka dan jujur mengemukakan kepada masyarakat bahwa

yang bersangkutan adalah mantan narapidana.

2. Akibat hukum Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 bahwa

seseorang mantan narapidana yang sudah bertaubat tersebut

42
43

tidak tepat jika diberikan hukuman lagi. Akibat hukum dari

putusan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu kewajiban

hukum karena berkaitan dengan pemenuhan hak-hak

konstitusional warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh

UU NRI 1945 sebagai hukum tertinggi Negara Indonesia. Akibat

hukum tersebut dapat dihapuskan apabila putusan pengadilan

yang mempunyai berkekuatan hukum tetap memberikan

putusan atas pencabutan hak politik.

B. Saran

1. hakim mahkamah konstitusi seharusnya menolak putusan

mahkamah konstitusi No 42/PUU-XIII/2015, sebab perkara yang

telah diuji pada Putusan Mahkamah Konstitusi No 14-17/PUU-

V/2007, Putusan Mahkamah Konstitusi No 4//PUU-VII/2009,

dan diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No

120/PUU-VII/2009

2. Mahkamah Konstitusi diharapkan bisa melakukan penemuan

hokum yang lebih baik lagi dengan mengkontruksi berdasarkan

asa keadilan dan asa kepastian hokum untuk seluruh rakyat

Indonesia. Selain daripada itu ada suatu harmonisasi hokum

atau keselarasan hokum dengan peraturan hokum lainnya agar

tidak menimbulkan multi tafsir yang menimbulkan persoalan

hokum baru tapi idealnya putusan Mahkamah Konstitusi dapat


44

menghasilkan norma hokum baru yang lebih menegakkan dan

menjamin hak konstitusional warga negara.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Achmadudin Rajab, “Tinjauan Hukum Eksistensi dari Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2015 Setelah 25 Kali Pengujian Undang-Undang

di Mahkamah Konstitusi pada Tahun 2015”, Jurnal Hukum dan

Pembangunan, Vol. 46 No. 03, 2016.

Akhmad Nikhrawi Hamdi, Hak Eks Narapidana Menjadi Anggota

Legislatif, Fisip, Jurnal as-Siyasah Universitas Islam Kalimantan

MAB, Banjarmasin, vol. 1 No. 1. 2016.

Ahmad Zazili, “Pengakuan Negara Terhadap Hak-hak Politik (Rigth to

Vote) Masyarakat Adat Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum”,

Jurnal Konstitusi, Vol .9 No. 1, 2012.

Bisarida dkk, “Komparasi Mekansime Penyelasaian Sengketa Pemilu di

Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi”, Jurnal

Konstitusi, Vol. 9, Nomor 3, 2012.

Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD

1945, Liberty, Yogyakarta, 1993.

Jimly Asshiddiqie, 2011, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,

Jakarta: Sinar Grafika.

Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Press,

Jakarta, 2011,

Janedjri M. Gaffar, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah

Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press, 2013


Johny Ibrahim, Teori & Metode PenelitianHukum Normatif, Bayu Media,

Malang, 2011.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678,

selanjutnya disingkat UU Nomor 8 Tahun 2015.

Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika

Aditama, Bandung,2011.

Mohammad Aldy Firdaus, “Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah

Konstitusi terhadap Mantan Narapidana yang menjadi Calon

Kepala Daerah” Jurnal Novum, Vol. 1 No. 2, 2016.

Muzayanah, "Kajian yuridis terhadap hak politik mantan narapidana untuk

mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah, Jurnal Komunikasi Hukum

Universitas Pendidikan Ganesha, Semarang, Vol. 6 No. 2, Agustus 2020, h.

514-533.

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2011.

Petter Mahmud Marzuki, PenelitianHukum, Kencana, Jakarta, 2005.

Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, Edisi Revisi, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro,Semarang, 2015.

B. Undang-Undang

Putusan Mahkamah Konstitusi No.42/PUU-XIII/2015 tentang

memperbolehkan mantan narapidana.


Putusan Mahkamah Konstitusi No.42/PUU-XIII/2015 Tentang Pemilihan

Kepala Daerah.

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia

Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Pemilukada Nomor 10 Tahun 2016 sebagaimana hasil

perubahan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota menjadi Undang-Undang Pasal 7 huruf g.

C. Jurnal

Jurnal Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015

Mengenai Hak Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam

Pilkada Dan Implikasinya Bagi Pengisian Jabatan-Jabatan Publik

Lainnya.

Suharizal, “Penguatan Demokrasi Lokal Melalui Penghapusan Jabatan

Wakil KepalaDaerah”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, 2010.

Anda mungkin juga menyukai